Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan maternitas anak terpadu
D-III Keperawatan
Oleh :
Kelompok Anak
Dalam menyelesaikan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Karena
itu ucapan terima kasih kami sampaikan kepada keluarga tercinta atas dukungannya, para
dosen pembimbing, orang-orang terdekat atas pengertiannya, dan pihak-pihak lain yang telah
membantu kami dalam penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, dimana sebagai
manusia biasa tidak pernah luput dari kekhilafan, maka saran dan kritik yang sifatnya
membangun sangat kami harapkan. Dan saya berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi siapa saja yang membacanya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................................3
1.3 Tujuan........................................................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................................4
2.1 Definisi......................................................................................................................................4
2.2 Etiologi......................................................................................................................................4
2.3 Penyebab..................................................................................................................................5
2.4 Tanda dan Gejala Stunting.....................................................................................................7
2.5 Klasifikasi Stunting.................................................................................................................8
2.6 Patofisiologi Stunting...............................................................................................................9
2.7 Pathway..................................................................................................................................10
2.8 Dampak Stunting...................................................................................................................11
2.9 Diagnosis stunting..................................................................................................................11
BAB III ANALISA DAN PEMBAHASAN......................................................................................12
3.1. Program Pemerintah Dalam Penanganan Stunting..............................................................12
3.2. Faktor Penghambat Implementasi Penurunan Stunting......................................................14
BAB IV...............................................................................................................................................18
KESIMPULAN..................................................................................................................................18
4.1. Kesimpulan.........................................................................................................................18
4.2. Saran...................................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................20
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah lima
tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi
lahir akan tetapi kondisi stunting baru Nampak setelah bayi berusia 2 tahun (Erik et al.,
2020). Balita Pendek (Stunting) adalah status gizi yang didasarkan pada indeks PB/U atau
TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian status gizi anak, hasil pengukuran
tersebut berada pada ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai dengan -3 SD (pendek/
stunted) dan <-3 SD (sangat pendek / severely stunted). Stunting yang telah tejadi bila
tidak diimbangi dengan catch-up growth (tumbuh kejar) mengakibatkan menurunnya
pertumbuhan, masalah stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
berhubungan dengan meningkatnya risiko kesakitan, kematian dan hambatan pada
pertumbuhan baik motorik maupun mental. Stunting dibentuk oleh growth faltering dan
catcth up growth yang tidak memadai yang mencerminkan ketidakmampuan untuk
mencapai pertumbuhan optimal, hal tersebut mengungkapkan bahwa kelompok balita
yang lahir dengan berat badan normal dapat mengalami stunting bila pemenuhan
kebutuhan selanjutnya tidak terpenuhi dengan baik (Rahmadhita, 2020).
Data prevalensi anak balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization
(WHO) yang dirilis tahun 2018 menyebutkan Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga
dengan prevalensi tertinggi di South-East Asian Region setelah Timor Leste (50,5%) dan
India (38,4%) yaitu sebesar 36,4% (Teja, 2019). Rata-rata prevalensi balita stunting di
Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%. Angka prevalensi stunting di Indonesia masih
di atas 20%, artinya belum mencapai target WHO yang di bawah 20%.
Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang dihadapi
Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir,
pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti
gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari
tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017(Kemenkes RI, 2019). Survei
PSG diselenggarakan sebagai monitoring dan evaluasi kegiatan dan capaian program.
1
Berdasarkan hasil PSG tahun 2015, prevalensi balita pendek di Indonesia adalah 29%.
Angka ini mengalami penurunan pada tahun 2016 menjadi 27,5%. Namun prevalensi
balita pendek kembali meningkat menjadi 29,6% pada tahun 2017. Prevalensi balita
sangat pendek dan pendek usia 0-59 bulan di Indonesia tahun 2017 adalah 9,8% dan
19,8%. Kondisi ini meningkat dari tahun sebelumnya yaitu prevalensi balita sangat
pendek sebesar 8,5% dan balita pendek sebesar 19%. Provinsi dengan prevalensi tertinggi
balita sangat pendek dan pendek pada usia 0-59 bulan tahun 2017 adalah Nusa Tenggara
Timur, sedangkan provinsi dengan prevalensi terendah adalah Bali (Kemenkes RI, 2019).
Di tahun 2019 angka prevalensi stunting nasional turun menjadi 27,67%. Meski terlihat
ada penurunan angka prevelensi, tetapi stunting dinilai masih menjadi permasalahan
serius di Indonesia karena angka prevalensi masih di atas 20% (Teja, 2019).
Gizi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan tumbuh kembang anak yang
optimal. Gizi yang cukup dan seimbang sangat diperlukan dalam periode emas
pertumbuhan dan perkembangan anak. Periode emas dimulai sejak anak masih di dalam
kandungan hingga usia dua tahun atau yang sering disebut dengan istilah “seribu hari
pertama kehidupan anak”. Stunting pada anak balita merupakan konsekuensi dari
beberapa faktor yang sering dikaitkan dengan kemiskinan termasuk gizi, kesehatan,
sanitasi dan lingkungan. Ada lima faktor utama penyebab stunting yaitu kemiskinan,
sosial dan budaya, peningkatan paparan terhadap penyakit infeksi, kerawanan pangan,
akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan kurangnya pengetahuan ibu
mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah melahirkan.
Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal Care (pelayanan
kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post Natal Care dan pembelajaran dini yang
berkualitas (Aridiyah et al., 2015).
Kerangka intervensi stunting yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terbagi
menjadi dua, yaitu Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif. Kerangka
pertama adalah Intervensi Gizi Spesifik. Ini merupakan intervensi yang ditujukan kepada
anak dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan
stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan pada sektor
kesehatan. Kerangka intervensi stunting yang direncanakan oleh pemerintah yang kedua
adalah Intervensi Gizi Sensitif. Kerangka ini idealnya dilakukan melalui berbagai
kegiatan pembangunan diluar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70% intervensi
2
stunting. Sasaran dari intervensi gizi sensitif adalah masyarakat secara umum (Aridiyah et
al., 2015).
Pada masa pandemi Covid-19 telah merubah tatanan perilaku masyarakat, hal ini
diperlukan agar pandemi tidak meluas. Sehingga pembatasan dilakukan di segala sektor,
termasuk di bidang kesehatan. Hal ini membuat kegiatan penanganan stunting sedikit
terhambat. Pada masa ini juga pemerintah juga menggalakkan nilai-nilai gotong royong di
masyarakat, agar bersama dapat saling membantu bertahan dalam keadaan pandemi
Covid-19 ini. Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu solusi untuk dapat
bersama-sama bertahan dalam pandemi Covid-19 termasuk dalam penanganan stunting
(Candarmaweni & Yayuk Sri Rahayu, 2020).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Stunting adalah keadaan tubuh yang sangat pendek hingga melampaui
deficit 2 SD di bawah median panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi
referensia internasional . Stunting (tubuh pendek) menggambarkan keadaan gizi
kurang yang sudah berjalan lama dan memerlukan waktu bagi anak untuk
berkembang serta pulih kembali.
Perawakan pendek (stunting) merupakan suatu terminologi untuk tinggi
badan yang berada di bawah persentil 3 atau – 2 SD pada kurva pertumbuhan
yang berlaku pada populasi tersebut (idal, 2010).Stunting adalah status gizi yang
didasarkan pada indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan
berdasarkan umur (TB/U).
Tinggi badan menurut umur (TB/U) dapat digunakan untuk menilai status
gizi masa lampau, ukuran panjang badan dapat dibuat sendiri, murah dan mudah
di bawah. Sedangkan kelemahannya adalah tinggi badan tidak cepat naik
sehingga kurang sensitif terhadap masalah gizi dalam jangka pendek, perlu
ketelitian data umur, memerlukan 2 (dua) orang untuk mengukur anak
[ CITATION Agu15 \l 1033 ].
.2 Etiologi
Kondisi stunting tidak bisa ditandai lagi bila anak memasuki 2 tahun. Oleh
karena itu untuk mencegah terjadinya stunting pada anak, ibu perlu
mengkonsmsi asupan gizi yang layak terutama selama masa kehamilan hingga
anak lahir dan berusia 18 bulan.
Secara umum kekerdilan atau stunting disebabkan oleh gizi buruk pada ibu,
praktik pemberian dan kualitas makanan yang buruk, sehingga mengalam
infeksi serta tidak menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Tanda dan
gejala bayi balita mengalami stunting yaitu:
1. Gizi ibu dan praktik pemberan makanan yang buruk
4
Stunting dapat terjadi bila calon ibu mengalami anemia dan
kekurangan gizi. Wanita yang kekurangan berat badan atau anemia selama
masa kehamilan lebih mungkin memiliki anak stunting, bahkan beresiko
menjadi kondisi stunting yang akan terjadi secara turun temurun.
2. Sanitasi yang buruk
Stunting juga bisa terjadi pada anak-anak yang hidup dilingkungan
dengan sanitasi dan kebersihan yang tidak memadai. Sanitasi yang buruk
berkaitan dengan terjadinya penyakit diare dan infeksi cacing usus
(cacingan).
3. Penyebab lain
Anak yang terlahir dengan sindrom alkohol janin (fetus alcohol
syndrome/ FAS) juga mengalain stunting . FAS merupakan pola cacat yang
dapat terjadi pada janin karena sang ibu mengkonsumsi terlalu 10 banyak
minuman beralkohol saat sedang hamil. Anak dengan FAS memiliki
sekelompok rangkaian gejala yang mencakup bentuk wajah yang berbeda
dengan anak normal, pertumbuhan fisik terhambat, serta beberapa
gangguan mental.
.3 Penyebab
1. Pendidikan ibu
Penelitian mengenai hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian
stunting yang dilakukan di Kenya memberikan hasil bahwa balita yang
dilahirkan dari ibu yang berpendidikan beresiko lebih kecil untuk
mengalami malnutrisi yang dimanifestasikan sebagai wasting atau stunting
daripada balita yang dilahirkan dari ibu yang tidak berpendidikan
2. ASI Ekslusif
Stunting erat kaitannya dengan pola pemberian makanan terutama pada
2 tahun pertama kehidupan, yaitu air susu ibu (ASI) dan makanan
pendamping (MP–ASI) yang dapat mempengaruhi status gizi balita.
Proverawati (2010) menyebutkan ASI mengandung growth faktor yang
melindungi bayi terhadap infeksi dan juga merangsang pertumbuhan bayi
yang normal. Status menyusui juga merupakan faktor risiko terhadap
kejadian stunting. ASI Ekslusif atau lebih tepat peeberian ASI secara
Ekslusif adalah bayi hanya diberi ASI saja, tanpa tambahan cairan lain
5
seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa makanan
padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, bisuit, bubur nasi, dan tim.
Pemberian ASI secara ekslusif ini dianjurkan untuk jangka waktu
setidaknya selama 4 bulan, namun rekomendasi terbaru UNICEF dan WHA
dan banyak negara lainya adalah menetapkan jangka waktu pemberian ASI
Ekslusif selama 6 bulan.
3. Makanan pendamping ASI (MP–ASI)
Salah satu permasalahan dalam pemberian makanan pada bayi adalah
terhentinya pemberian ASI dan pemberian MP–ASI yang tidak cukup
(Depkes, 2000). WHO (2007) merekomendasikan pemberian Air Susu Ibu
(ASI) eksklusif 6 bulan pertama kehidupan dan dilanjutkan dengan
pengenalan MP–ASI dengan terus memberikan ASI sampai usia 2 tahun.
Menurut penelitian Teshome etal. (2009) menyatakan bahwa pengenalan
MP–ASI terlalu dini (< 4 bulan) berisiko menderita kejadian stunting
Pemberian makanan pada bayi dan anak merupakan landasan yang penting
dalam proses petumbuhan di seluruh dunia sekitar 30% anak di bawah 5
tahun mengalami stunting merupakan konsekuensi dari praktek pemberian
makanan yang buruk dan infeksi berulang. Ketika ASI tidak lagi mencukupi
kebutuhan nutrisi bayi, makanan pendamping ASI harus diberikan untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi balita selama periode umur 18-24 bulan.
4. Imunisasi
Imunisasi merupakan suatu proses yang menjadikan seseorang kebal
atau dapat melawan terhadap penyakit infeksi. Pemberian Imunisasi
biasanya dalam bentuk faksin. Faksin merangsang tubuh untuk membentuk
system kekebalan yang digunakan untuk melawan infeksi atau penyakit
5. Berat bayi lahir rendah (BBLR)
Berat bayi lahir rendah (BBLR) diartikan sebagai berat bayi ketika
lahir kurang dari 2500 gam dengan batas atas 2499 gram (WHO). Banyak
faktor yang mempengaruhi kejadian BBLR terutama yng berkaitan dengan
ibu selama masa kehamilan
6. Asupan makanan (konsumsi energi dan protein)
Asupan makanan berkaitan dengan kandungan nutrisi (zat gizi) yang
terkandung didalam makanan yang dimakan. Dikenal 2 jenis nutrisi yaitu
makro nutrisi dan mikro nutrisi. Makro nutris merupakan nutrisi yang
6
menyediakan kalori atau energi, diperlukan untuk pertumbuhan,
metabolisme, dan fungsi tubuh lainnya. Makro nutrisi. Nutrisi (zat gizi)
merupakan bagian yang penting dalam kesahatan dan pertumbuhan nutrisi
yang baik berhubungan dengan peningkatan kesehatan balita. Tampa nutrisi
yang baik akan mempercepat terjadinya stunting selama usia 6-18 bulan
[ CITATION ALR13 \l 1033 ].
7. Masih Terbatasnya Layanan Kesehatan ANC (Ante Natal Care), dan PNC
Pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan dan Post Natal
Care dan pembelajaran sangant dibutuhkan untuk terciptanya ibu hamul
sehat dan anak sehat. Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes
dan Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di posyandu
semakin menurun. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum
mengkonsumsi suplemen zat besi yang memadai serta masih terbatasnya
akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1 dari 3 anak
usia 306 tahun belum terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak Usia
Dini (Sutarto et al., 2018).
8. Masih Kurangnya Akses Rumah Tangga/Keluarga Konsumsi Makanan
Bergizi
Salah satu penyebab masyarakat khususnya ibu hamil yang kurang
mengkonsumsi makanan yang bergizi karena harga makanan bergizi di
Indonesia masih tergolong mahal (Sutarto et al., 2018).
9. Kurangnya Akses Ke Air Bersih dan Sanitasi
Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di
Indonesia masih buang air besar (BAB) di ruang terbuka, serta 1 dari 3
rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih.
Dalam hal ini peran sanitasi dapat mempengaruhi kejadian stunting,
karena sanitasi yang buruk akan mengakibatkan kejadian sakit, seperti yang
disampaikan pada penelitian sebelumnya. Penyediaan air berhubungan erat
dengan kesehatan. Di negara berkembang, kekurangan penyediaan air yang
baik sebagai sarana sanitasi akan meningkatkan terjadinya penyakit dan
kemudian berujung pada keadaan malnutrisi (Sutarto et al., 2018).
7
Menurut Kemenkes RI (2010), balita pendek atau stunting bisa diketahui
bila seorang balita sudah diukur panjang atau tinggi badannya, lalu
dibandingkan dengan standar dan hasil pengukurannya ini berada pada kisaran
normal, dengan ciri-ciri lain seperti:
1. Pertumbuhan melambat
2. Wajah tampak lebih mudah dari balita seusianya
3. Pertumbuha gigi terlambat
4. Usia 8-10 tahun nanti anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan
kontak mata terhadap orang di sekitarnya.
.5 Klasifikasi Stunting
Indikator yang biasa dipakai yaitu berat badan terhadap umur (BB/U),
tinggi badan terhadap umur (TB/U), dan berat badan terhadap tinggi badan
(BB/TB) ketiga indikator ini dapat menunjukan apakah seorang bayi balita
memiliki status gizi yang kurang, pendek (stunting), kurus (wasting) dan
obesitas.
1. Berat kurang (Underweight) Underweight
Merupakan klasifikasi dari status gizi BB/U. BB/U menunjukkan
pertumbuhan berat badan balita terhadap umurnya, apakah sesuai atau tidak
jika berat badan balita di bawah rata-rata, maka dikatakan Underweight.
2. Pendek (Stunting) Stunting
Merupakan klasifikasi dari indikator status gizi TB/U. balita yang
dikatakan stunting adalah ia yang memiliki tinggi badan tidak sesuai
dengan umurnya. Stunting merupakan akibat dari kurangnya asupan gizi
dalam jangka waktu yang panjang, sehingga balita tidak bisa mengejar
ketertinggalan pertumbuhan tinggi badannya.
3. Kurus (Wasting) Wasting
Merupakan salah satu klasifikasi dari indikator status gizi BB/TB.
Balita yang dikatakan kurus adalah mereka yang memiliki berat badan
rendah yang tidak sesuai terhadap tinggi badan yang dimilikinya. Wasting
merupakan tanda bahwa anak mengalami kekurangan gizi yang sangat
berat, biasanya terjadi karena kurangnya asupan makanan atau penyakit
infeksi, seperti diare.
4. Gemuk
8
Merupakan lawan dari kurus, dimana sama-sama didapatkan dari
penggukuran BB/TB.balita yang dikatakan gemuk adalah mereka yang
mempunyai berat badan lebih terhadap tinggi badan yang dimilikinya
[ CITATION Ari12 \l 1033 ]
.6 Patofisiologi Stunting
Pemantauan status gizi (PSG) 2017 menunjukan prevalensi balita stunting di
Indonesia masih tinggi, yakni 29,6% di atas batasan yang ditetapkan WHO (20%)
penelitian Ricardo dalam Bhutta tahun 2013 menyebutkan balita stunting
berkontribusi terhadap 1,5 juta (15%) kematian anak balita di dunia dan
menyebabkan 55 juta anak kehilangan masa hidup sehat setiap tahun.
Kekurangan gizi waktu lama itu terjadi sejak janin dalam kandungan sampai awal
kehidupan anak (1000 hari pertama kelahiran). Penyebabnya karena rendahnya
akses terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral serta
buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani. Faktor ibu dan pola
asuh yang kurang baik terutama pada perilaku dan praktik pemberian makan pada
balita juga menjadi penyebab anak stunting apabila ibu tidak memberikan asupan
gizi yang cukup dan baik [ CITATION Agu12 \l 1033 ].
Masalah stunting terjadi karena adanya adaptasi fisiologi pertumbuhan atau
non patologis, karena penyebab secara langsung adalah masalah pada asupan
makanan dan tingginya penyakit infeksi kronis terutama ISPA dan diare,
sehingga memberi dampak terhadap proses pertumbuhan balita (Sudiman, 2018).
Tidak terpenuhnya asupan gizi dan adanya riwayat penyakit infeksi berulang
menjadi factor utama kejadian kurang gizi. Factor social, ekonomi, pemberian
ASI dan MP-ASI yang kurang tepat, pendidikan orang tua, serta pelayanan
kesehatan yang tidak memadai akan mempengaruhi pada kecukupan gizi.
Kejadian kurang gizi yang terus berlanjut dan karena kegagalan dalam perbaikan
gizi akan menyebabkan pada kejadian stunting atau kurang gizi kronis. Hal ini
terjadi karena rendahnya pendapatan sehingga tidak mampu memenuhi
kecukupan gizi yang sesuai (Raiten & Bremer, 2020).
Pada balita dengan kekurangan gizi akan menyebabkan berkurangnya lapisan
lemak di bawah kulit. Hal ini terjadi karena kurangnya asupan gizi sehingga
tubuh memanfaatkan cadangan lemak yang ada. Selain itu imunitas dan produksi
albumin juga ikut menurun sehingga balita akan mudah terserang infeksi dan
9
mengalami perlambatan pertumbuhan dan perkembangan. Balita dengan gizi
kurang akan mengalami peningkatan kadar asam basa pada saluran cerna yang
akan menimbulkan diare (Raiten & Bremer, 2020).
.7 Pathway
Kurang pengetahuan
Intake Nutrisi
Orang Tua
Defisit Nutrisi
Diare
10
(Raiten & Bremer, 2020).
.8 Dampak Stunting
Dampak stunting dibagi menjadi dua, yakni ada dampak jangka panjang dan
juga ada jangka pendek. Jangka pendek kejadian stunting yaitu terganggunya
perkembangan otak, pertumbuhan fisik, kecerdasan, dan gangguan metabolisme
pada tubuh. Sedangkan untuk jangka panjangnya yaitu mudah sakit, munculnya
penyakit diabetes, penyakit jantung dan pembuluh darah, kegemukan, kanker,
stroke, disabilitas pada usia tua, dan kualitas kerja yang kurang baik sehingga
membuat produktivitas menjadi rendah (Kemenkes RI, 2016).
Stunting pada anak yang harus disadari yaitu rusaknya fungsi kognitif
sehingga anak dengan stunting mengalami permasalahan dalam mencapai
pertumbuhan dan perkembangan secara optimal. Stunting pada anak ini juga
menjadi faktor risiko terhadap kematian, perkembangan motorik yang rendah,
kemampuan berbahasa yang rendah, dan ketidakseimbangan fungsional (Anwar
dkk, 2014).
.9 Diagnosis stunting
Stunting sendiri akan mulai nampak ketika bayi berusia dua tahun (TNP2K,
2017). Stunting didefinisikan sebagai keadaan dimana status gizi pada anak
menurut TB/U mempunyai hasil Zscore - 3,0 SD s/d < -2,0 SD (pendek) dan
Zscore <-3,0 SD (sangat pendek). Hasil pengukuran Skor Simpang Baku (Z-
score) didapatkan dengan mengurangi Nilai Individual Subjek (NIS) dengan Nilai
Median Baku Rujukan (NMBR) pada umur yang bersangkutan, setelah itu
hasilnya akan dibagi dengan Nilai Simpang Baku Rujuk (NSBR). Jika tinggi
badan lebih kecil dari nilai median, maka NSBR didapatkan dengan cara
mengurangi median dengan – 1 SD. Jika tinggi badan lebih besar dari pada
median, maka NSBR didapatkan dengan cara mengurangi + 1 SD dengan median,
berikut ini rumus yang bisa digunakan :
11
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN
12
9. Memberikan pendidikan gizi masyarakat
10. Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi serta gizi pada remaja
11. Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin
12. Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.
13
Menurut Nisa (2018) ada berbagai kebijakan dan regulasi telah dikeluar kan pemerintah
dalam rangka penanggulangan stunting. Adapun kebijakan/regulasi tersebut, di antaranya
yaitu :
14
masing-masing bagian atau seksi di setiap OPD (organisasi perangkat daerah) nya.
Akan tetapi hal yang berbeda terdapat di Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan
Perlindungan Anak. OPD ini yang menyatakan bahwa sumber daya manusia mereka
kurang memadai karena banyak yang pensiun dan tidak semua pegawai sudah
mengikuti diklat. Sedangkan untuk sumber daya non manusia, yaitu anggaran, bisa
dibilang terbatas karena adanya beberapa program yang dibatasi oleh kuota dan
program-program dari OPD lain yang rata-rata belum bisa menyentuh keseluruhan,
sedangkan untuk fasilitas, yang dirasa masih kurang.
b) Rendahnya Pengetahuan
Informasi kepada masyarakat dilakukan melalui berbagai media, diantaranya
media dalam dan luar ruangan. Penyebaran informasi melalui media luar ruangan
yaitu dengan pemasangan baliho dan poster tentang stunting. Sedangkan untuk
penyebaran melalui media dalam ruangan, dilakukan melalui media cetak dan media
sosial. Di luar penyebaran informasi melalui media, juga dilakukan sosialisasi
langsung kepada masyarakat. Akan tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa
pengetahuan masyarakat terkait stunting masih rendah, bahkan ada yang masih asing
dengan istilah stunting. Hal ini berarti bahwa penyebaran informasi yang dilakukan
belum mampu diserap dengan baik oleh masyarakat atau belum bisa mencakup
seluruh lapisan masyarakat yang ada. Hal ini menandakan belum optimalnya
pemerintah dalam upaya penyebaran informasi, pemerintah cenderung kurang
memperhatikan penyebaran informasi di desa – desa sehingga pemasangan media dan
pemilihn media penyebaran secara tidak langsung hanya dapat dicerna oleh sebagian
masyarakat.
15
bersangkutan sehingga keberjalanan program menjadi terhambat dan kurang
maksimal. Sedangkan dukungan dari pemerintah terkait penanggulangan stunting
menunjukkan dukungan positif dengan dibentuknya Peraturan Bupati dan SK Tim
Koordinasi dan Tim Teknis Penanggulangan Stunting.
16
bisa menentukan kesuksesan program pencegahan stunting. Pemberdayaan
masyarakat dalam pencegahan stunting dapat juga dengan memanfaatkan pangan
lokal dengan membuat produk yang bergizi untuk makanan tambahan di desa (Solang,
2019).
17
BAB IV
KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah
lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk
usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal
setelah bayi lahir akan tetapi kondisi stunting baru Nampak setelah bayi berusia 2
tahun. Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah
lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk
usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal
setelah bayi lahir akan tetapi kondisi stunting baru Nampak setelah bayi berusia 2
tahun. Beberapa program pemerintah dalam penanganan stunting yaitu, Intervensi gizi
spesifik merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1000 Hari Pertama
Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan stunting, Pemberian
Makanan Tambahan (PMT) Balita Gizi Kurang oleh Kementerian
Kesehatan/Kemenkes melalui puskesmas dan posyandu Memberikan Pendidikan
Edukasi upaya pencegahan dan penanggulangan stunting. Dalam
mengimplementasikan sebuah program, pasti terdapat hambatan hambatan yang
menyebabkan program tersebut menjadi kurang maksimal dan tidak memberikan
dampak yang signifikan, yaitu :
a. Kurangnya pemerataan.
b. rendahnya pengetahuan.
c. Kurangnya dukungan masyarakat.
d. dampak covid-19 terhadap masyarakat.
e. pemberdayaan masyarakat dalam program pencegahan stunting.
f. factor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap stunting.
4.2. Saran
1. Bagi Puskesmas
Puskesmas diharapkan memberikan pengetahuan baik pencegahan hingga
penatalaksanaan stunting secara maksimal.
18
2. Bagi Instansi Pendidikan
Diharapakan dapat memberikan bantuan melalui beberapa penelitian sehingga
Stunting di Indonesia dapat berkurang.
19
DAFTAR PUSTAKA
Aridiyah, F. O., Rohmawati, N., & Ririanty, M. (2015). Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kejadian Stunting pada Anak Balita di Wilayah Pedesaan dan Perkotaan (The Factors
Affecting Stunting on Toddlers in Rural and Urban Areas) Farah. 3(12), 1–170.
https://doi.org/10.1007/s11746-013-2339-4
Candarmaweni, & Yayuk Sri Rahayu, A. (2020). Tantangan Pencegahan Stunting Pada Era
Adaptasi Baru “New Normal” Melalui Pemberdayaan Masyarakat Di Kabupaten
Pandeglang the Challenges of Preventing Stunting in Indonesia in the New Normal Era
Through Community Engagement. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI, 9(3),
136–146.
Erik, Rohman, A., Rosyana, A., Rianti, A., Muhaemi, E., & Yuni, E. E. (2020). Stunting Pada
Anak Usia Dini ( Study Kasus di Desa Mirat Kec Lewimunding Majalengka ). Jurnal
Pengabdian Masyarakat, 2(1), 24–36.
Kemenkes RI. (2019). buletin stunting. Kementerian Kesehatan RI, 301(5), 1163–1178.
Lestari, A. (2020). Edukasi Kader dalam Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Stunting di
Kecamatan Mondokan Kabupaten Sragen. AgriHealth: Journal of Agri-Food, Nutrition
and Public Health, 1(1), 7. https://doi.org/10.20961/agrihealth.v1i1.41106
Nisa, L. S. (2018). Kebijakan Penanggulangan Stunting Di Indonesia. Jurnal Kebijakan
Pembangunan, 13(2), 173–179.
Probohastuti, N. F., Rengga, D. A., & Si, M. (2020). IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
INTERVENSI GIZI SENSITIF PENURUNAN STUNTING DI KABUPATEN BLORA
IMPLEMENTATION OF NUTRITION-SENSITIVE INTERVENTIONS POLICY FOR
STUNTING DECREASE IN BLORA REGENCY. 1–16.
Rahmadhita, K. (2020). Permasalahan Stunting dan Pencegahannya. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Sandi Husada, 11(1), 225–229. https://doi.org/10.35816/jiskh.v11i1.253
Raiten, D. J., & Bremer, A. A. (2020). Exploring the Nutritional Ecology of Stunting: New
Approaches to an Old Problem. Nutrients, 12(2), 371.
Saputri, R. A. (2019). Upaya Pemerintah Daerah Dalam Penanggulangan Stunting Di
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Jdp (Jurnal Dinamika Pemerintahan), 2(2), 152–
168. https://doi.org/10.36341/jdp.v2i2.947
Sudiman. (2018). Stuntingatau pendek: awalperubahan patologis atau adaptasi
karenaperubahan sosial ekonomi yang berkepanjangan. Media Litbang Kesehatan, 18
(1).
Sutarto, S. T. T., Mayasari, D., & Indriyani, R. (2018). Stunting, Faktor
ResikodanPencegahannya. AGROMEDICINE UNILA, 5(1), 540–545.
Teja, M. (2019). Stunting Balita Indonesia Dan Penanggulangannya. Pusat Penelitian Badan
Keahlian DPR RI, XI(22), 13–18.
20
21