Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN

ASUHAN KEPERAWATAN (OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS)

DEPARTEMEN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

OLEH :

(BANGKIT YOUGA PRATAMA)

(201810300511059)

PROGRAM DIII KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2020
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN (OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS)

DEPARTEMEN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

KELOMPOK 4

NAMA: BANGKIT YOUGA PRATAMA

NIM: 201810300511059

TGL PRAKTEK/MINGGU KE : 29 Maret – 3 April 2021/ MINGGU 5

Malang, 29 Maret 2021


Mahasiswa, Pembimbing,

(Bangkit Youga Pratama) (Anis Ika Nur Rohmah, M.Kep. Sp.Kep.MB.)

Page 2 of 43
LEMBAR PENILAIAN

NAMA MAHASISWA : Bangkit Youga Pratama


NIM :201810300511059
TGL PRAKTEK : 29 Maret – 3 April 2021

MINGGU KE :5

No Kompetensi Nilai
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

Malang, 29 Maret 2021


Mahasiswa, Pembimbing,

(Bangkit Youga Pratama) (Anis Ika Nur Rohmah, M.Kep. Sp.Kep.MB.)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................................2
LEMBAR PENILAIAN............................................................................................................3
DAFTAR ISI...........................................................................................................................4
BAB I. LAPORAN PENDAHULUAN......................................................................................5
A. Definisi.......................................................................................................................5
B. Etiologi.......................................................................................................................5
C. Epidemologi...............................................................................................................5
D. Tanda dan Gejala.......................................................................................................5

Page 3 of 43
E. Patofisologi................................................................................................................5
F. Pemeriksaan Penunjang............................................................................................5
G. Penatalaksanaan........................................................................................................5
H. Konsep Asuhan Keperawatan (FOKUS PADA KASUS).............................................5
I. Diagnosa Keperawatan (SDKI).................................................................................5
J. Luaran Keperawatan (SLKI).....................................................................................5
K. Intervensi Keperawatan (SIKI).................................................................................5
L. Daftar Pustaka...........................................................................................................5
BAB II. ASUHAN KEPERAWATAN......................................................................................6
A. CASE REPORT............................................................................................................6
B. Pengkajian (Focus Assesement)...............................................................................6
C. Analisa Data...............................................................................................................6
D. Diagnosa Keperawatan (SDKI).................................................................................6
E. Luaran Keperawatan (SLKI).....................................................................................6
F. Luaran Keperawatan (SIKI)......................................................................................6
BAB III. INTERVENSI KEPERAWATAN (EVIDENCE BASED NURSING).........................7
A. Masalah Keperawatan...............................................................................................7
B. Intervesi by Evidence Based Nursing (Journal).......................................................7
C. Daftar Pustaka (Sumber Reference).........................................................................7
BAB IV. DIRECTLY OBSERVED PROCEDURAL SKILL (DOPS)........................................8
1. Judul Tindakan Keperawatan...................................................................................8
2. Judul Tindakan Keperawatan...................................................................................8
3. Judul Tindakan Keperawatan...................................................................................8
4. Judul Tindakan Keperawatan...................................................................................8
5. Judul Tindakan Keperawatan...................................................................................8
BAB V. PERKULIAHAN DENGAN PRAK...........................................................................10
Daftar Pustaka......................................................................................................................11

Page 4 of 43
BAB I. LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
Otitis media (OM) merupakan suatu keadaan kompleks dari infeksi dan inflamasi
yang menyerang telinga tengah. Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah
peradangan pada mukosa telinga tengah dan ruang mastoid yang berlangsung lebih
dari 3 bulan ditandai dengan adanya perforasi pada membran timpani dan keluarnya
cairan secara terus menerus atau hilang timbul dari liang telinga. Otitis media supuratif
kronik adalah peradangan kronik telinga tengah dengan perforasi membran timpani
dan riwayat keluarnya sekret dari telinga lebih dari dua bulan, baik terus-menerus
maupun hilang timbul (Sari & Imanto, 2020).

Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) adalah penyakit akibat terjadinya


peradangan kronik ditelinga tengah dan mastoid disertai adanya perforasi membran
timpani yang persisten dan berulang. Otitis media supuratif kronis (OMSK), adalah
infeksi pada telinga tengah dan rongga mastoid, yang ditandai dengan keluarnya sekret
dari telinga tengah (otorhoea) dengan perforasi membran timpani. OMSK merupakan
kelanjutan dari otitis media akut (OMA) dan disertai keluarnya sekret secara persisten
dari telinga tengah melalui perforasi membran timpani (Umar et al., 2019).

Gambar 1. Anatomi Telinga


Otitis media supuratif kronis dibedakan atas dua yaitu OMSK tanpa kolesteatom
dan OMSK dengan kolesteatom. Otitis media supuratif kronis tanpa kolesteatom
disebut juga tipe aman. Pada tipe aman peradangan terjadi pada mukosa dan tidak
mengenai tulang. Perforasi membran timpani terletak di sentral. Tipe ini jarang
menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Otitis media supuratif kronis yang disertai
dengan kolesteatom disebut juga tipe bahaya. Perforasi membran timpani letaknya
marginal atau di atik. Sebagian besar komplikasi yang berbahaya atau fatal timbul pada
OMSK dengan kolesteatom ini (Amelia, 2020).

Page 5 of 43
B. Etiologi
Pada otitis media supuratif kronik, bakteri penyebab OMSK yaitu bakteri aerob
(Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, S. aureus, Streptococcus pyogenes, Proteus
mirabilis, Klebsiella species) atau bakteri anaerob (Bacteroides, Peptostreptococcus,
Proprionibacterium). Bakteri ini cukup jarang ditemukan pada kulit dari liang telinga
luar, namun dapat berproliferasi dengan adanya trauma, inflamasi, luka robek atau
kelembaban yang tinggi. Bakteri ini bisa masuk ke telinga tengah melalui perforasi
kronik. Di antara bakteri ini, P.aeruginosa sering disebut sebagai penyebab destruksi
progresif telinga tengah dan struktur mastoid melalui toksin dan enzim (Wahyono et
al., 2020).

Penyebab terjadinya otitis media dengan atau tanpa diikuti adanya perforasi
membran timpani adalah bakteri. Dimana pada keadaan tanpa perforasi bakteri inilah
yang menjadi pemicu timbulnya infeksi akut, sedangkan pada keadaan dengan
perforasi membran timpani, bakteri ini akan masuk ke dalam telinga tengah dan
berkolonisasi. Menurut penelitian Bluestone dan Klein tahun 1983, bakteri yang
banyak ditemukan pada keadaan akut adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, dan Staphylococcus aereus(Wahyono et al., 2020).

Penyebab otitis media supuratif kronik adalah multifaktorial yang bila tidak
ditangani dengan baik akan menimbulkan komplikasi berbahaya seperti komplikasi
intratemporal dan intracranial. Telinga tengah dapat menjadi terinfeksi bila bakteri
masuk dari saluran eksterna atau nasofaring melalui tuba eustachii. Mikroorganisme
juga berperan besar dalam kejadian OMSK, baik bakteri aerob maupun anaerob.
Penyebab terbanyak adalah Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella, Staphylococcus
aureus, Proteus mirabilis (Wahyono et al., 2020)

Pada otitis media supuratif kronik, bakteri penyebab OMSK yaitu bakteri aerob
(Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, S. aureus, Streptococcus pyogenes, Proteus
mirabilis, Klebsiella species) atau bakteri anaerob (Bacteroides, Peptostreptococcus,
Proprionibacterium). Bakteri ini cukup jarang ditemukan pada kulit dari kanal
eksternal, namun dapat berproliferasi dengan adanya trauma, inflamasi, luka robek
atau kelembaban yang tinggi. Bakteri ini bisa masuk ke telinga tengah melalui perforasi
kronik. Di antara bakteri ini, P.aeruginosa sering disebut sebagai penyebab destruksi
progresif telinga tengah dan struktur mastoid melalui toksin dan enzim (Wahyono et
al., 2020)

C. Epidemologi
Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan salah satu penyakit yang umum
ditemukan pada praktik otorhinolaryngology. OMSK lebih sering terjadi pada negara-
negara berkembang. Prevalensi OMSK di dunia adalah sekitar 65-330.000.000/tahun.
Otitis media supuratif kronik dianggap sebagai salah satu penyebab tuli yang
terbanyak, terutama di negaranegara berkembang, dengan prevalensi antara 1- 46%.
Di Indonesia antara 2,10-5,20%, Korea 3,33%, dan Madras India 2,25%. Prevalensi
tertinggi didapat pada penduduk Aborigin diAustralia dan bangsa Indian di Amerika
Utara. 2 Angka kejadian OMSK di negara berkembang sangat tinggi dibandingkan
dengan negara maju. Hal ini disebabkan oleh faktor higiene yang kurang, faktor
sosioekonomi, gizi yang rendah, kepadatan penduduk, serta masih adanya
kesalahpahaman masyarakat terhadap penyakit ini sehingga mereka tidak berobat
sampai tuntas (Novian et al., 2018).

Page 6 of 43
Sampai saat ini didapatkan kasus gangguan pendengaran disebabkan oleh OMSK
sebanyak 164 juta, 90% diantaranya terjadi di negara berkembang. Prevalens
terjadinya OMSK pada Negara berkembang di Asia masih tergolong tinggi yaitu 2-4%
termasuk Indonesia, Filipina, Thailand, dan Malaysia ditunjukkan oleh data dari World
Health Organization (WHO). Sedangkan di negara maju seperti Australia dan Eropa
tergolong rendah berkisar 0,4 % termasuk Inggris, Denmark, dan Finlandia. Menurut
WHO Regio Pasifik Barat dan Asia Tenggara, yaitu China, India serta negara Asia
lainnya, digolongkan sebagai region dengan jumlah kematian tertinggi dari otitis media
dan prevalens OMSK paling tinggi. 4,5 Pada penelitian dari 12 daerah di Indonesia
didapatkan prevalens 27 dari 1000 anak sekolah mengalami OMSK dan daerah dengan
angka prevalens OMSK tertinggi adalah Bali dan Bandung. Menurut Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) Kementrian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2013, prevalensi
gangguan pendengaran akibat OMSK sebesar 2,6 % dari seluruh total penduduk
Indonesia dengan distribusi terbanyak pada usia lebih dari 45 tahun. Keadaan gizi yang
buruk, tingkat sanitasi rendah, infeksi saluran nafas berulang, fasilitas kesehatan yang
kurang memadai, serta tingkat ekonomi masyarakat yang rendah merupakan faktor
risiko terjadinya OMSK. Berdasarkan status ekonomi, secara umum disimpulkan bahwa
infeksi telinga memiliki prevalensi lebih tinggi dalam masyarakat dengan status
ekonomi rendah (Novian et al., 2018).

D. Tanda dan Gejala


Gejala otitis media supuratif kronis antara lain otorrhoe yang bersifat purulen atau
mukoid, terjadi gangguan pendengaran, otalgia, tinitus, rasa penuh di telinga, dan
kadang-kadang vertigo. Gejala yang paling utama adalah otorea yang berbau dan juga
penurunan pendengaran. Gejala berupa otalgia jarang ditemukan, kecuali pada otitis
media akut. Otalgia yang menetap khususnya yang sering berhubungan dengan sakit
kepala biasanya terjadi setelah komplikasi penyakit ke susunan saraf pusat. Jika ada
keluhan vertigo maka kemungkinan terjadi labirintitis atau fistula labirin. Vertigo
munculnya terutama pada waktu akan membersihkan sekret serta tindakan aspirasi
sekret, sedangkan nistagmus spontan yang muncul bersamaan dengan vertigo
kemungkinan disebabkan oleh fistula labirin (Trivel, 2014).

a. Telinga berair (otorrhoe)


Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer)
tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar
sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan yang keluar
mukopus tidak berbau busuk dan sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga
tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekret biasanya hilang
timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi saluran nafas atas atau
kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang (Handoko et al., 2019).
Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adanya sekret telinga. Sekret yang
sangat bau, berwarna kuning abu - abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan produk
degenerasinya. Dapat terlihat keping - keping kecil, berwarna putih dan mengkilap.
Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang
karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah
berhubungan dengan adanya jaringan granulasi, polip telinga dan merupakan tanda
adanya kolesteatom yang mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri
mengarah kemungkinan tuberculosis (Handoko et al., 2019).

Page 7 of 43
b. Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang - tulang pendengaran. Biasanya
dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan pendengaran
mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit
ataupun kolesteatom dapat menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis.
Apabila tidak dijumpai kolesteatom, tuli konduktif kurang dari 20 db ini ditandai
bahwa rantai tulang pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang
pendengaran menghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30 db. Beratnya
ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan
dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah (Handoko et al., 2019).
Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya
rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatom bertindak sebagai
penghantar suara sehingga ambang pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan
secara hati- hati. Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi perlahan - lahan dengan
berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui jendela bulat (foramen rotundum)
atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Apabila terjadinya labirinitis
supuratif akan terjadi tuli saraf berat, hantaran tulang dapat menggambarkan sisa
fungsi kohlea (Handoko et al., 2019).
c. Otalgia ( nyeri telinga)
Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK dan bila ada merupakan suatu tanda
yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus.
Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret,
terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis serta ancaman pembentukan abses
otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin karena adanya otitis eksterna
sekunder dan nyeri merupakan tanda berkembangnya komplikasi OMSK seperti
petrositis, subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis (Handoko et al., 2019).
d. Vertigo
Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya. Keluhan
vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding
labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan
udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi
hanya karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih
mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan
menyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum.
Fistula merupakan temuan yang serius karena infeksi kemudian dapat berlanjut dari
telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga timbul labirinitis dan mungkin
dapat berlanjut menjadi meningitis. Uji fistula perlu dilakukan pada kasus OMSK
dengan riwayat vertigo, uji ini memerlukan pemberian tekanan positif dan negatif pada
membran timpani, dengan demikian dapat diteruskan melalui rongga telinga tengah
(Handoko et al., 2019).

Tanda- tanda klinis OMSK menurut (Handoko et al., 2019) :

a. Adanya abses atau fistel retroaurikular.


b. Jaringan granulasi atau polip diliang telinga yang berasal dari kavum timpani.
c. Pus yang selalu aktif atau berbau busuk (aroma kolesteatom).
d. Foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatom.

Page 8 of 43
E. Patofisologi
Patogenesis OMSK belum diketahui secara lengkap, tetapi dalam hal ini merupakan
stadium kronis dari otitis media akut (OMA) dengan perforasi yang sudah terbentuk
diikuti dengan keluarnya sekret yang terus menerus. Perforasi sekunder pada OMA
dapat menjadi kronis tanpa kejadian infeksi pada telinga tengah misal perforasi kering
dan disebut sebagai keadaan inaktif dari otitis media kronis. Terjadinya otitis media
nekrotikan terutama pada masa anak–anak menimbulkan perforasi yang besar pada
gendang telinga. Setelah penyakit akut berlalu, gendang telinga tetap berlubang atau
sembuh dengan membran yang atrofi yang kemudian dapat kolaps kedalam telinga
tengah, memberi gambaran otitis atelectasis (Novian et al., 2018)

OMSK berawal dari infeksi akut terlebih dahulu. Patofisiologi dari OMSK yaitu
karena adanya iritasi dan inflamasi mukosa telinga tengah yang disebabkan oleh
multifaktorial, diantaranya infeksi karena virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba,
alergi, sistem imun tubuh turun, lingkungan dan sosial ekonomi. Kemungkinan
penyebab tersebut mengakibatkan terjadinya Otitis Media Akut (OMA) (Novian et al.,
2018).

Respon inflamasi yang ditimbulkan berupa udem mukosa. Jika proses inflamasi
tetap berjalan, maka menyebabkan terjadinya ulkus dan merusak epitel. Mekanisme
pertahanan tubuh penderita dalam menghentikan infeksi dapat menyebabkan adanya
jaringan granulasi yang dapat berkembang menjadi polip di ruang telinga tengah. Jika
proses inflamasi, ulserasi, infeksi dan terbentuknya jaringan granulasi terus berlanjut
maka akan merusak jaringan sekitarnya, termasuk akan menyebabkan perforasi
gendang telinga yang disebut Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) (Novian et al.,
2018).

Page 9 of 43
Pathway Otitis Media Supuratif Kronik (Laisitawati et al., 2017).

Infeksi skunder Trauma, benda


(ISPA) Bakteri
Streptococcus Rupture Gendang Telinga
Invasi bakteri

Otitis media akut

Otitis media supuratif kronis

Proses peradangan Peningkatan Tekanan udara pada Pengobatan tidak


produksi cairan telinga tengah (-) tuntas
serosa
Kesulitan/sakit MK : Nyeri Kronis Retraksi merman
menelan Infeksi berlanjut sampai
Akumulasi cairan timpani
mucus dan serosa ke telinga dalam
MK : Risiko Defisit
Hantaran
Nutrisi Erosi pada kanalis
suara/udara yang
semiserkularis
diterima

Vertigo Kolesteatom
MK : Gangguan
Persepsi Sensori
(Pendengaran) MK : Risiko Cedera Masdiotektomi

MK : Ansietas MK : Nyeri akut


F. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis omsk ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan THT
terutama pemeriksaan otoskopi. Pemeriksaan penala dilakukan untuk mengetahui
adanya ganggu pendengaran. Untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan
pendengaran maka dilakukan pemeriksaan foto rontgen mastoid serta kultur dan uji
resistensi kuman dan bakteri dari sekret telinga (Laisitawati et al., 2017).

Pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan cara pengambilan swab telinga, lalu
dikultur pada media agar yang telah ditentukan. Bakteri yang telah dibiakkan akan
dilakukan pewarnaan gram untuk menentukan gram (+) dan gram (-). Kultur bakteri
dilakukan untuk mengetahui bakteri yang menyebabkan OMSK (Laisitawati et al.,
2017).

G. Penatalaksanaan
Terapi pada OMSK tidak jarang memerlukan waktu yang lama dan berulang-ulang.
Keadaan ini disebabkan adanya perforasi membran timpani yang permanen, sehingga
telinga tengah berhubungan dengan dunia luar,terdapat sumber infeksi pada
nasofaring,hidung,dan sinus paranasal, dan juga sudah terbentuknya jaringan patologik
yang ireversibel dala rongga mastoid serta gizi dan higiene yang berkurang. Prinsip
terapi OMSK tipe benigna adalah konservatif atau dengan medikamentosa.Bila sekrat
keluar terus – menerus maka diberikan obat pencuci telinga berupa larutan H2O2 3%
selama 3-5 hari. Setelah sekret berkurang maka terapi dilanjutkan dengan memberikan
obat tetes yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid, akan tetapi obat tetes
telinga tidak dianjurkan dipakai lebih dari 2 minggu karena yang dijual dipasaran
mengandung ototoksik untuk OMSK yang sudah tenang. Secara oral juga diberikan obat
makan antibiotik secara oral dari golongan ampisillin atau eritromisin ( bila pasien
alergi terhadap penisillin ) sebelum hasil resistensi diterima. Pada pasien yang
dicurigai telah resistensi terhadap ampisillin dapat diberikan ampisillin asam klavunat
(Sari & Imanto, 2020).

Bila sekret telah kering dan dilakukan observasi setelah 2 bulan dan masih
terdapat perforasi maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti. Operasi
ini bertujuan untuk menghentikan secara permanen, memperbaiki membran timpani
yang perforasi, mencegah atau mengurangi komplikasi yang lebih berat. Bila terjadi
infeksi yang berulang yang mengakibatkan sekret tetap ada maka dilakukan
pengobatan terhadap sumber infeksi atau pun perlu juga dilakukan pembedahan
misalnya adenoidektomi dan tonsilektomi. Prinsip terapi OMSK tipe malignan adalah
pembedahan yaitu mastoidektomi dengan timpanopplasti atau pun tidak. Terapi
medikametosa merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan.
Mastoidektomi terdiri dari mastoidektomi sederhana, mastoidektomi radikal,
mastoidektomi radikal modifikasi, miringoplasti, timpanoplasti, dan juga pendekatan
ganda timpanoplasti. Jenis mastoidektomi dilakukan bergantung pada luasnya infeksi
ataupun luas nya cholesteatoma sesuai dengan luasnya infeksi atau luas kerusakan
yang sudah terjadi (Sari & Imanto, 2020).

H. Konsep Asuhan Keperawatan (FOKUS PADA KASUS)


Pada dasarnya proses keperawatan adalah suatu metode ilmiah yang
sistematis dan terorganisir untuk memberikan asuhan keperawatan kepada
klien. Kegiatan dalam proses keperawatan dirancang langkah demi langkah
dengan urutan yang khusus dengan menggunakan pendekatan ilmiah, serta
berfokus pada respons manusia agar memperoleh pengertian yang relevan
dengan status kesehatan klien. Proses keperawatan merupakan lima tahap
proses yang konsisten, sesuai dengan perkembangan profesi keperawatan (rani,
2019).
Anamnesis pada OMSK meliputi keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu, dan pengkajian psikososial (pada anak perlu dikaji
dampak hospitalisasi) (Pane et al., 2018).
a. Keluhan utama Hal yang sering menjadi alas an klien atau orang tua
membawa anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan
b. Riwayat penyakit sekarang Faktor riwayat penyakit sangat penting
diketahui untuk mengetahui jenis kuman penyebab. Disini harus ditanya
dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai terjadinya
serangan, sembuh atau bertambah buruk.
c. Riwayat penyakit dahulu Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien
yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi
keluhan sekarang
d. Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien otitis media Supuratif Kronis
antara lain Pengkajian terhadap pendidikan, pekerjaan, latar belakang
budaya, agama, interaksi keluarga, konsep diri, status mental, respon
emosional.
e. Pengkajian terhadap tanda-tanda vital, rasa nyeri, berat badan, respon
psikologis, kebutuhan nutrisi, kebutuhan cairan, komplikasi yang
terjadi.
f. Data yang perlu dikaji pada pasien otitis media supuratif kronis antara
lain:
a) Aktivitas/istirahat : penurunan aktivitas, tidur terganggu.
b) Eliminasi : Keluaran urine
c) Nutrisi : Anoreksia, mual/muntah
d) Nyeri
I. Diagnosa Keperawatan (SDKI)
1. Risiko Defisit Nutrisi (D.0032)
2. Nyeri kronis (D.0078)
3. Gangguan Persepsi Sensori :Pendengaran (D.0085)
4. Risiko Cedera (D.0136)
5. Nyeri Akut (D.0077)
6. Ansietas (D.0080)
(Tim Pokja PPNI, 2017)

J. Luaran Keperawatan (SLKI)


1. Status nutrisi (L.03030)
2. Persepsi sensori (L.09083)
3. Tingkat Nyeri (L.08066)
4. Tingkat cedera (L.14136)

Page 12 of 43
5. Tingkat Nyeri (L.08066)
6. Tingkat ansietas (L.09093)
(Tim Pokja PPNI, 2019)

K. Intervensi Keperawatan (SIKI)


No SDKI SLKI SIKI
.
1. Risiko Defisit Nutrisi Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nutrisi
(D.0032) keperawatan 3x24 jam (I.03119)
Status nutrisi membaik Observasi:
dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi status
1. Porsi makan yang nutrisi
dihabiskan meningkat 2. Identifikasi alergi
(5) dan intoleransi
2. Berat badan membaik makanan
(5) 3. Identifikasi
3. Indeks Masa Tubuh perlunya penggunaan
(IMT) membaik (5) selang nasogastric
4. Frekuensi makan 4. Monitor asupan
membaik (5) makanan
5. Membrane mukosa 5. Monitor berat
membaik (5) badan
Terapeutik:
6. Lakukan oral
hygiene sebelum
makan, Jika perlu
7. Sajikan makanan
secara menarik dan
suhu yang sesuai
8. Hentikan
pemberian makanan
melalui selang
nasogastric jika
asupan oral dapat
ditoleransi
Edukasi
9. Anjurkan posisi
duduk, jika mampu
10. Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
11. Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan jenis
nutrien yang
dibutuhkan

Page 13 of 43
2. Nyeri Kronis Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri
(D.0078) keperawatan 3x24 jam (I. 08238)
Tingkat Nyeri menurun Observasi:
dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi lokasi,
1. Keluhan nyeri karakteristik, durasi,
menurun (5) frekuensi, kualitas,
2. Meringis menurun (5) intensitas nyeri
3. Sikap protektif 2. Identifikasi skala nyeri
menurun (5) 3. Identifikasi respons
4. Gelisah menurun (5) nyeri non verbal
5. Kesulitan tidur 4. Identifikasi faktor
menurun (5) yang memperberat
6. Frekuensi nadi dan memperingan
membaik (5) nyeri
5. Identifikasi
pengetahuan dan
keyakinan tentang
nyeri
6. Identifikasi pengaruh
nyeri pada kualitas
hidup
7. Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik:
8. Berikan teknik
nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa
nyeri
9. Kontrol lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri
10. Fasilitasi istirahat dan
tidur
11. Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri
Edukasi
12. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
13. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
14. Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi
15. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

Page 14 of 43
3. Gangguan Persepsi Setelah dilakukan tindakan Manajemen Halusinasi
Sensori :Pendengaran keperawatan 3x24 jam (I.09288)
(D.0085) Persepsi sensori membaik Observasi
dengan kriteria hasil: 1. Monitor perilkau yang
1. Verbalisasi mendengar mengidentifikasi
isikan menurun (5) halusinasi
2. Distorsi sensori 2. Monitor dan
menurun (5) sesuaikan tingkat
3. Perilaku halusinasi aktivitas dan stimulasi
menurun (5) lingkungan
4. Respon sesuai 3. Monitor isi halusinasi
stimulus membaik (5) (mis.kekerasan atau
membahayakan diri)
Terapeutik
4. Pertahankan
lingkungan yang aman
5. Lakukan tindakan
keselamatan ketika
tidak dapat
mengontrol perilaku
(mis.limit setting,
pembatasan
wilayah,pengekangan
fisik,seklusi)
Edukasi
6. Anjurkan memonitor
sendiri situasi
terjadinya halusinasi
7. Anjurkan bicara pada
orang yang dipercaya
untuk memberi
dukungan dan umpan
balik korektif
terhadap halusinasi
8. Anjurkan melakukan
distraksi
(mis.mendengarkan
music,melakukan
aktivitas dan teknik
relaksasi)
9. Ajarkan pasien dan
keluarga cara
mengontrol halusinasi
Kolaborasi
10. Kolaborasi pemberian
obat antipsikotik dan
antiansietas, jika
perlu.
4. Risiko Cedera Setelah dilakukan tindakan Manajemen Keselamatan
(D.0136) keperawatan 3x24 jam Lingkungan (I. 14513)
Tingkat cedera menurun Oservasi

Page 15 of 43
dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi
1. Kejadian cedera kebutuhan
menurun (5) keselamatan (mis.
2. Luka/lecet menurun Kondisi fisik, fungsi
(5) kognitif, dan riwayat
3. Toleransi aktivitas perilaku)
meningkat (5) 2. Monitor peruahan
4. Nafsu makan status keselamatan
meningkat (5) lingkungan
5. Toleransi makan Terapeutik:
meningkat (5) 3. Hilangkan bahaya
6. Tekanan darah keselamatan
membaik (5) lingkungan (mis.
7. Frekuensi nadi Fisik, biologi, dan
membaik (5) kimia), jika
8. Frekuensi napas memungkinkan
membaik (5) 4. Modifikasi
9. Denyut nadi apical lingkungan untuk
membaik (5) meminimalkan ahaya
10. Denyut nadi radialis dan risiko
membaik (5) 5. Sediakan alat antu
11. Pol istirahat/tidur keamanan
membaik (5) lingkungan (mis.
Commode chair dan
pegangan tangan)
6. Gunakan perangkat
pelindung (mis.
Pengekangan fisik,
rel samping, pintu
terkunci, pagar)
7. Hubungi pihak
berwenang sesuai
masalah komunitas
(mis. Puskesmas,
polisi, damkar)
8. Fasilitsi relokasi ke
lingkungan yang
aman
9. Lakukan program
skrining bahaya
lingkungan (mis.
Timbal)
Edukasi:
10. Ajarkan individu,
keluarga dan
kelompok resiko
tinggi bahaya
lingkungan

5. Nyeri Akut (D.0077) Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri


keperawatan 3x24 jam (I. 08238)

Page 16 of 43
Tingkat Nyeri menurun Observasi:
dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi lokasi,
1. Keluhan nyeri karakteristik, durasi,
menurun (5) frekuensi, kualitas,
2. Meringis menurun (5) intensitas nyeri
3. Sikap protektif 2. Identifikasi skala nyeri
menurun (5) 3. Identifikasi respons
4. Gelisah menurun (5) nyeri non verbal
5. Kesulitan tidur 4. Identifikasi faktor
menurun (5) yang memperberat
6. Frekuensi nadi dan memperingan
membaik (5) nyeri
5. Identifikasi
pengetahuan dan
keyakinan tentang
nyeri
6. Identifikasi pengaruh
nyeri pada kualitas
hidup
7. Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik:
8. Berikan teknik
nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa
nyeri
9. Kontrol lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri
10. Fasilitasi istirahat dan
tidur
11. Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri
Edukasi
12. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
13. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
14. Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi
15. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

6. Ansietas (D.0080) Setelah dilakukan tindakan Reduksi Ansietas

Page 17 of 43
keperawatan 3x24 jam (I. 09314)
Tingkat ansietas menurun Observasi:
dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi saat
1. Verbalisasi tingkat ansietas
kebingungan menurun berubah
(5) 2. Identifikasi
2. Verbalisasi khawatir kemampuan
akibat kondisi yang mengambil keputusan
dihadapi menurun (5) 3. Monitor tanda-tanda
3. Perilaku gelisah ansietas
menurun (5) Terapeutik:
4. Perilku tegang 4. Ciptakan suasana
menurun (5) teraupetik untuk
5. Konsentrasi membaik menumbuhkan
(5) kepercayaan
6. Pola tidur membaik 5. Temani pasien untuk
(5) mengurangi
kecemasan, jika
memungkinkan
6. Pahami situasi yang
membuat ansietas
7. Dengarkan dengan
penuh perhatian
8. Gunakan pendekatan
yang tenang dan
meyakinkan
9. Motivasi
mengidentifikasi
situasi yang memicu
kecemasan
Edukasi
10. Jelaskan prosedur,
termasuk sensasi
yang mungkin dialami
11. Informasikan secara
faktual mengenai
diagnosis,
pengobatan, dan
prognosis
12. Anjurkan keluarga
untuk tetap bersama
pasien
13. Latih kegiatan
pengalihan untuk
mengurangi
ketegangan
14. Latih teknik relaksasi
(Tim Pokja PPNI, 2018)
L. Daftar Pustaka
Amelia, M. R. (2020). Identifikasi Mikroorganisme Penyebab Otitis Media Supuratif Kronik
Dan Kepekaannya Terhadap Antibiotik. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 11(1),

Page 18 of 43
579–584. https://doi.org/10.35816/jiskh.v11i1.351
Anisa, K. (2019). Efektifitas Kompres Hangat Untuk Menurunkan Suhu Tubuh Pada an.D
Dengan Hipertermia. Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan: Wawasan Kesehatan, 5(2), 122–
127. https://doi.org/10.33485/jiik-wk.v5i2.112
Dewi, A. K. (2016). Perbeedaan Penurunan Suhu Tubuh Antara Pemberian Kompres Hangat
Dengan Tepid Sponge Bath Pada Anak Demam. Jurnal Keperawatan Muhammadiyah,
1(1), 63–71. http://journal.um-surabaya.ac.id/index.php/JKM/article/view/366/272
Handoko, E., Indrasworo, D., & Nursalim, A. H. (2019). Hubungan Derajat Kolesteatoma
dengan Keberhasilan Mastoidektomi Radikal pada Otitis Media Supuratif Kronis
dengan Kolesteatoma. Oto Rhino Laryngologica Indonesiana, 49(2), 99.
https://doi.org/10.32637/orli.v49i20.302
Haryani, S., Adimayanti, E., & Astuti, A. P. (2018). Pengaruh Tepid Sponge Terhadap
Penurunan Suhu Tubuh Pada Anak Pra Sekolah Yang Mengalami Demam Di Rsud
Ungaran. Jurnal Keperawatan Dan Kesehatan Masyarakat Cendekia Utama, 7(1), 44.
https://doi.org/10.31596/jcu.v0i0.212
Ida, R., & Doby, P. (2020). EFEKTIFITAS PERBEDAAN KOMPRES HANGAT DAN DINGIN
TERHADAP PERUBAHAN SUHU TUBUH PADA ANAK DI RSUD DR. M. YUNUS
BENGKULU. 8487(2), 246–255.
Laisitawati, A., Ghanie, A., & Suciati, T. (2017). Hubungan Otitis Media Supuratif Kronik
dengan Derajat Gangguan Pendengaran di Departemen THT-KL RSUP Dr . Mohammad
Hoesin Palembang Periode 2014-2015 morbiditas yang lebih tinggi . Salah satu akibat
Pada OMSK gangguan pendengaran dapat terjadi akibat infe. Majalah Kedokteran
Sriwijaya, 49(2), 57–65.
Novian, G., Suherlan, E., & Azhali, B. A. (2018). Hubungan Usia dan Jenis Kelamin dengan
Prevalensi Otitis Media Supuratif Kronik di Rumah Sakit Umum Daerah Al Ihsan Tahun
2018.
Pane, D. N., Fikri, M. EL, & Ritonga, H. M. (2018). GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN
PERAWAT DALAM PENERAPAN STANDAR ASUAHAN KEPERAWATAN DIRUANGAN
RAWAT INAP INTERNA RSUD DATOE BHINANGKANG Lutfiani. Journal of Chemical
Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
Pangesti, N. A., Krisna, B., & Mukti, A. (2020). STUDI LITERATUR : PERBANDINGAN
PENERAPAN TEKNIK TEPID WATER SPONGE DAN KOMPRES HANGAT UNTUK
MENURUNKAN SUHU TUBUH PENDAHULUAN Kejang demam adalah kejang yang
terjadi pada saat bayi atau anak mengalai demam tanpa infeksi sisitem saraf pusat
yang terjadi pa. 8, 297–304.
rani, M. (2019). Pelaksanaan Pengkajian Dalam Proses Keperawatan.
https://doi.org/10.31227/osf.io/qmd42
Sari, M. R. N., & Imanto, M. (2020). Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Terhadap
Otitis Media Supuratif Kronik ( OMSK ) The Relationship Between Clean and Healthy
Life Style With Chronic Suppurative Otitis Media. Pendidikan Dokter, Fakultas
Kedokteran, Universitas Lampung, 9, 158–165.
Tim Pokja PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi dan

Page 19 of 43
Indikator Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). DPP PPNI.
Tim Pokja PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi dan
Tindakan Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). DPP PPNI.
Tim Pokja PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan Kreteria
Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). DPP PPNI.
Trivel, M. (2014). Fakultas ilmu kesehatan. Journal Kesehatan Fikes UMM Surakarta,
1(0271), 4–5.
Umar, N. S., Pary, M. I., & Soesanty. (2019). Karakteristik Pasien Otitis Media Supuratif
Kronik di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H Chasan
Boesoirie Periode Januari –Juli 2019. Kieraha Medical Journal, 1(1), 1(1), 60–65.
Wahyono, D. J., Darmawan, A. B., Alfason, L., Simbolon, R., Wijayanti, S. P. M.,
Paramaiswari, W. T., Salsabila, K., & Safari, D. (2020). Staphylococcus aureus and
Pseudomonas aeruginosa in Tubotympanic Chronic Suppurative Otitis Media Patients
in Purwokerto, Indonesia. The Indonesian Biomedical Journal, 12(4), 340–348.
https://doi.org/10.18585/inabj.v12i4.1218

Page 20 of 43
BAB II. ASUHAN KEPERAWATAN

A. CASE REPORT
Judul Case Report
Otitis Media Supuratif Kronis Tipe Kolesteatom dengan Komplikasi Meningitis dan
Paresis Nervus Fasialis Perifer
Isi Case Report
Seorang laki-laki berusia 18 tahun datang ke IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang
pada tanggal 12 Desember 2016 dengan keluhan tidak bisa mendengar pada telinga
kanan sejak 1 hari yang lalu. Dari alloanamnesis diketahui bahwa satu minggu
sebelumnya pasien mengeluhkan sakit kepala yang dirasakan hilang timbul disertai
dengan demam tinggi terus menerus. dan sejak satu hari yang lalu pasien tidak bisa
diajak berkomunikasi oleh keluarga. Sejak 1 bulan yang lalu keluar cairan terus
menerus dari telinga kanan, cairan berwarna kuning, berbau dan tidak bercampur
dengan darah. Pendengaran terasa berkurang sejak 10 tahun yang lalu terutama
pada telinga kanan Pasien biasanya membersihkan cairan yang keluar dengan
cotton bud. Pasien memiliki riwayat telinga berair hilang timbul sejak 15 tahun
yang lalu, terutama bila demam dan batuk pilek. Juga terdapat riwayat bengkak di
belakang telinga kanan 15 tahun yang lalu. Telinga berdenging dan pusing berputar
tidak ada. Pasien seorang tamatan sekolah menengah pertama dan bekerja sebagai
buruh di perkebunan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dengan keadaan umum
lemah dan kesadaran somnolen. Tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 92x/menit,
nafas 22x/menit dan suhu 38° C BB 58kg, TB 168cm. Pada pemeriksaan telinga
kanan, liang telinga lapang, terdapat sekret warna kuning dan berbau, tidak ada
jaringan granulasi, tidak tampak kolesteatom, membran timpani perforasi subtotal.
Pemeriksaan retroaurikula kanan tidak ada bengkak dan sikatrik. Pada telinga kiri,
liang telinga lapang, tidak ada sekret, membran timpani atrofi. Retroaurikula kiri
tidak ada edema dan kemerahan. Pemeriksaan hidung dan tenggorok tidak ada
kelainan.
Pemeriksaan penala, fungsi keseimbangan dan pemeriksaan nervus fasialis
belum dapat dilakukan. Pada pemeriksaan rangsangan meningeal, terdapat kaku
kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski. Hasil laboratorium Hb 14,2 gr/dL, leukosit
18.200/mm3, trombosit 169.00/mm3, hematokrit 42%, PT 11,9 detik, APTT 36
detik, glukosa sewaktu 138 mg/dl, natrium 133 Mmol/L, kalium 3,2 Mmol/L dan
klorida 102 Mmol/L. Hasil pemeriksaan laboratorium darah menunjukkan kesan
leukositosis, hiponatremia dan hipokalemia. Pada tomografi komputer mastoid
tampak perselubungan pada kavum mastoid kanan sehingga pneumotisasi air sel
mastoid menghilang. Tulang pendengaran destruksi, tegmen timpani dan mastoid
intak. Koklea dan kanalis semisirkularis dapat terlihat. (gambar 2). Sedangkan pada
tomografi komputer kepala tidak tampak gambaran lesi maupun pelebaran
ventrikel dan midline berada di tengah.

Page 21 of 43
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang ditegakkan diagnosis OMSK
AD suspek tipe kolesteatom dengan suspek komplikasi meningitis dan paresis
nervus fasialis, trombositopenia dan sepsis. Pasien dikonsulkan ke bagian
neurologi bedah saraf dan penyakit dalam. Dari neurologi tidak terdapat tanda
peningkatan intrakranial dan didiagnosis suspek meningitis. Pasien rawat bersama
dengan neurologi di bagian THT KL. Dari bagian bedah saraf tidak ada kelainan
akut. Bagian penyakit dalam menegakkan diagnosis trombositopenia ec suspek
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) sekunder ec sepsis dan penurunan
kesadaran ec meningitis.
Pasien kemudian dirawat di bangsal THT KL. Diberikan terapi IVFD NaCl 20
tetes/menit, seftriakson injeksi 2x2 gr, metronidazol infus 3x500 mg,
siprofloksasin infus 2x200 mg IV, parasetamol infus 3x500 mg, ofloksasin tetes
telinga 2x5 tetes dan H2O2 2x5 tetes pada telinga kanan. Deksametason diberikan
4x10 mg dengan tappering off per tiga hari. Pasien direncanakan untuk dilakukan
tindakan operasi timpani mastoidektomi dinding runtuh setelah pemberian terapi
medikamentosa selama dua minngu.
Rawatan hari ketiga, tanggal 15 Desember 2017, pasien dalam keadaan umum
lemah, dengan kesadaran komposmentis. Demam tidak ada, sakit kepala
berkurang, keluar cairan berwarna kuning dan berbau dari telinga kanan
berkurang. Tanda rangsangan meningeal ada. Pemeriksaan nervus fasialis
menunjukkan HB III dengan fungsi motorik terbaik 62% (gambar 3). Pada
pemeriksaan penala didapatkan kesan tuli konduktif telinga kanan (table 1).

Page 22 of 43
Pada hari rawatan ke kempat tanggal 16 Desember 2016, dilakukan pungsi
lumbal oleh bagian neurologi dengan analisis cairan serebrospinal didapatkan nilai
glukosa 25 mg/dL, jumlah sel 42/mm3, hitung jenis Polimorfonuklear 2% dan
Mononuklear 98%. Kesan meningitis bakterialis. Terapi dilanjutkan sesuai dengan
terapi sebelumnya. Pemberian injeksi deksametason dikurangi menjadi 4x5 mg
pada hari ke empat rawatan sedangkan injeksi siprofloksasin 2x500 mg dihentikan
setelah lima hari pemberian. Hasil pemeriksaan kultur dan sensitivitas dari cairan
telinga pada hari ke delapan rawatan didapatkan kuman Staphylococcus aureus
yang sensitif dengan seftriakson, gentamisin, siprofloksasin, sefoperazon dan
meropenem.
Pada hari ke lima belas rawatan tanggal 27 Desember 2016, dilakukan operasi
timpano mastoidektomi dinding runtuh telinga kanan. Operasi dimulai dengan
prosedur aseptik dan antiseptik dilanjutkan dengan pemasangan duk steril.
Dilakukan penandaan insisi 2 mm dari sulkus retroaurikula kanan, dilanjutkan
dengan anestesi infiltrasi adrenalin 1:200.000, diteruskan dengan insisi kulit yang
horizontal terhadap kulit dan tangensial terhadap liang telinga. Diambil graft dari
fasia profunda muskulus temporalis. Dilakukan pemaparan mastoid dengan
landmark segitiga McEwen, dilanjutkan dengan pengeboran mastoid dan tampak
jaringan putih kekuningan menyerupai kolesteatom memenuhi kavum mastoid.
Pengeboran dilanjutkan sampai ditemukan antrum. Kolesteatom yang memenuhi
kavum mastoid dibersihkan. Tampak sinus sigmoid terpapar, tegmen intak, kanalis
dan nervus fasialis terpapar pada segmen mastoid. Dilakukan pengangkatan
jaringan kolesteatom dari kanalis dan nervus fasialis. Kanalis semisirkularis tidak
terpapar. Tampak destruksi pada dinding posterior dan dinding posterior

Page 23 of 43
diruntuhkan. Pada cavum timpani tampak destruksi pada maleus. Tampak
kolesteatom pada mukosa telinga tengah. Kolesteatom diangkat dan dibersihkan.
Selanjutnya dilakukan meatoplasti dan obliterasi daerah pengeboran. Kemudian
dipasang graft dan difiksasi dengan spongostan, dilanjutkan dengan pemasangan
tampon gulung sofratul di liang telinga. Luka operasi dijahit lapis demi lapis,
dipasang verban, balut tekan dan operasi selesai. Jaringan kolesteatom yang
diambil pada saat operasi dikirim untuk pemeriksaan patologi anatomi.
Pasca operasi, pasien dirawat di bangsal THT dengan terapi IVFD RL 20
tetes /menit, seftriakson injeksi 2x2 gr, deksametason injeksi 2x5 mg, drip
tramadol 50 mg dalam RL. Pada hari kedua setelah operasi, pada tanggal 28
Desember 2016 pasien dalam keadaan umum sedang, kesadaran komposmentis,
terasa nyeri pada telinga kanan yang tertutup verban, sakit kepala berkurang,
tidak ada mual, muntah, telinga berdenging dan pusing berputar. Wajah mencong
ada dan kaku kuduk tidak ada. Pemeriksaan penala dengan hasil weber lateralisasi
ke kanan dan pemeriksaan nervus fasialis perifer HB III.
Hari ke tiga setelah operasi, pada tanggal 29 Desember 2017 verban dibuka
dan dilakukan redresing pada luka jahitan di belakang telinga. Luka jahitan kering,
tidak ada tanda infeksi dan radang Terapi dilanjutkan dan obat analgetik injeksi
diganti dengan parasetamol tablet 3x500 mg. Diberikan ofloksasin tetes telinga
2x5 tetes pada telinga kanan. Hari keempat setelah operasi pada tanggal 30
Desember 2017, pasien diperbolehkan pulang dan melanjutkan pengobatan di
poliklinik THT-KL. Pasien diberikan obat pulang sefiksim 2x200 mg, parasetamol
3x500 mg, ofloksasin tetes telinga 2x5 tetes pada telinga kanan. Pasien disarankan
untuk kontrol ulang 5 hari lagi.
Tanggal 1 Januari 2017, pasien masuk ke IGD dengan keluhan utama sakit
kepala yang disertai muntah sejak 1 hari sebelumnya. Pasien sadar dan tidak ada
demam maupun kejang. Pasien didiagnosis meningitis bakterialis dengan
diagnosis banding abses serebri. Pasien dirawat di bagian neurologi. Diberikan
terapi IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit, seftriakson injeksi 2x2 gr, metronidazol
injeksi 3x500 mg, deksametason injeksi 4x10 mg, dengan tappering off, ranitidin
tablet 2x50 mg, ofloksasin tetes telinga 2x5 tetes
Pasien dirawat bersama oleh bagian otologi di bangsal neurologi. Pada
pemeriksaan fisik, telinga kanan terpasang tampon dalam liang telinga dan verban
pada belakang telinga. Nyeri pada belakang telinga ada, tidak ada keluhan pusing
berputar dan telinga berdenging. Pemeriksaan nervus fasialis didapatkan
kelumpuhan pada otot wajah dengan House Brackmann III (gambar.4)

Page 24 of 43
Pada hari ketiga rawatan, pada tanggal 4 Januari 2017 dilakukan redresing
dan buka jahitan belakang telinga. Tidak ada tanda radang di belakang telinga.
Pada hari keduabelas rawatan tanggal 12 Januari 2017, pasien dalam kondisi baik.
Wajah mencong ada, tidak ada nyeri pada telinga, tidak ada pusing berputar, tidak
ada telinga berdenging. Luka di belakang telinga kering dan tidak ada tanda
radang. Pemeriksaan nervus fasialis dengan HB III. Pasien pulang pada hari
tersebut, diberikan terapi sefiksim tablet 2x200 mg, parasetamol tablet 3x500 mg,
metronidazol tablet 3x500 mg, ranitidin tablet 2x150 mg dan ofloksasin tetes
telinga 2x5 tetes pada telinga kanan. Pasien dianjurkan kontrol ulang ke poli THT 1
minggu kemudian.
Pasien kontrol ulang ke poliklinik THT-KL pada tanggal 30 Januari 2017. Tidak
ada keluhan telinga berair, pusing berputar, nyeri pada telinga dan telinga terasa
penuh. Tidak ada keluhan wajah mencong. Pada pemeriksaan fisik, telinga kanan,
luka bekas operasi di belakang telinga baik, tidak ada radang. Pemeriksaan liang
telinga lapang, sekret minimal, graft terpasang baik, tidak ada jaringan granulasi.
Telinga kiri, hidung dan tenggorok tidak ada kelainan. Pada pemeriksaan nervus
fasialis, tidak ada paresis pada otot wajah. Pasien dengan House Brackmann I
(gambar 5). Pasien diberikan obat tetes ofloksasin 2x5 tetes pada telinga kanan.
Pada tanggal 1 Maret 2017, tiga bulan pasca operasi pasien kontrol ke
poliklinik THT KL. Tidak ada keluhan pada telinga. Pada pemeriksaan fisik telinga
kanan, luka jahitan kering tidak ada tanda radang, liang telinga lapang, sekret tidak
ada, graft baik. Pemeriksaan nervus fasialis HB I. Dari hasil pemeriksaan
audiometri pada tanggal 15 Maret 2017, tiga setengah bulan pasca operasi
didapatkan hasil tuli konduktif derajat ringan dengan ambang dengar 36,25 dB
pada telinga kanan dan tuli konduktif derajat ringan dengan ambang dengar 27,5
dB pada telinga kiri (gambar 6).

Page 25 of 43
Daftar Pustaka (Sumber Reference)
(Menggunakan Reference Manager Mendeley dan Sumber Reference 10 Tahun
Terakhir)

B. Pengkajian (Focus Assesement)


FORMAT PENGKAJIAN
(Focus Assesment)

DATA UMUM
Nama : An. X Tanggal MRS : 12/12/2016
Umur : 18 Tahun Tanggal pengkajian : -
Jenis Kelamin : Laki-laki No. Registrasi :-
Pendidikan :-
Alamat :-
Dx. Medis : Otitis Media Supuratif Kronis Tipe Kolesteatom

DATA KHUSUS
1) Subyektif:
Riwayat penyakit sekarang  Keluhan utama saat MRS
 Keluhan utama saat MRS Seorang laki-laki berusia 18 tahun datang
 Keluhan utama saat pengkajian ke IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang pada
PQRST (bila keluhannya nyeri) tanggal 12 Desember 2016 dengan keluhan

Page 26 of 43
- Provoke tidak bisa mendengar pada telinga kanan
- Quality sejak 1 hari yang lalu.
- Regio  Keluhan utama saat pengkajian
- Severity Dari Alloanamnesis diketahui bahwa satu
- Time minggu sebelumnya pasien mengeluhkan
sakit kepala yang dirasakan hilang timbul
disertai dengan demam tinggi terus
menerus dan sejak satu hari yang lalu
pasien tidak bisa diajak berkomunikasi oleh
keluarga. Sejak 1 bulan yang lalu keluar
cairan terus menerus dari telinga kanan,
cairan berwarna kuning, berbau dan tidak
bercampur dengan darah. dengan keluhan
tidak bisa mendengar pada telinga kanan
Pendengaran terasa berkurang sejak 10
tahun yang lalu terutama pada telinga
kanan Pasien biasanya membersihkan
cairan yang keluar dengan cotton bud.
Riwayat kesehatan sebelum sakit  Penyakit yang pernah diderita
 Penyakit yang pernah diderita Pasien memiliki riwayat telinga berair
 Obat-obatan yang biasa dikonsumsi hilang timbul sejak 15 tahun yang lalu,
 Kebiasaan berobat terutama bila demam dan batuk pilek. Juga
 Riwayat alergi terdapat riwayat bengkak di belakang
 Lain lain telinga kanan 15 tahun yang lalu. Telinga
berdenging dan pusing berputar tidak ada.
 Obat-obatan yang biasa dikonsumsi
Tidak ada
 Kebiasaan berobat
Tidak ada
 Lain lain
Tidak ada
Riwayat kesehatan keluarga Tidak ada riwayat keluarga yang memiliki
keluhan yang sama seperti yang pasien
alami

2) Obyektif
Keadaan umum Lemah (somnolen) 3,4,3
Tanda-tanda vital BP: 110/80 mmHg N: 92 x/menit
RR: 22 x/menit T: 38 ºC
BB : 58 kg TB: 168 cm
IMT : 20,55 kg/m2
Body system
B1 (breathing/pernapasan)  Pergerakan dada: simetris/tidak simetris
 Penggunaan otot bantu napas: ada/tidak

Page 27 of 43
 Suara nafas:
vesikuler/wheezing/ronchi/rales
Lokasi…
 Batuk: produktif/tidak
 Warna sputum: tidak ada
 Alat bantu nafas: tidak ada
 Lain-lain: tidak ada
B2 (bleeding/cardiovascular)  Suara jantung: S1, S2, S3, S4 (tunggal,
gallop, murmur)
 Irama jantung: regular/irregular
 CRT: <2 detik
 JVP: normal/meningkat
 Edema: ada/tidak ada
 Lain-lain: tidak ada
B3 (brain/persyarafan)  GCS: E3 V4 M3.
 Reaksi cahaya pupil: kanan/kiri
 Diameter pupil: isookor/anisookor
 Lain-lain :
 pemeriksaan telinga kanan, liang telinga
lapang, terdapat sekret warna kuning dan
berbau, tidak ada jaringan granulasi, tidak
tampak kolesteatom, membran timpani
perforasi subtotal. Pemeriksaan
retroaurikula kanan tidak ada bengkak dan
sikatrik. Pada telinga kiri, liang telinga
lapang, tidak ada sekret, membran timpani
atrofi. Retroaurikula kiri tidak ada edema
dan kemerahan. Pemeriksaan hidung dan
tenggorok tidak ada kelainan.
B4 (bladder/perkemihan)  Urine: jumlah -
 Kateter: terpasang/tidak ,hari ke….
 Gangguan BAK: ya ……..(sebutkan) / tidak
B5 (bowel)  Mukosa bibir: kering/lembab
 Lidah: kotor/bersih
 Nyeri telan: ya/tidak
 Abdomen: distensi/tidak
 Peristaltic usus:
normal/meningkat/menurun
nilai…..
 Mual: ya/tidak
 Muntah: ya/tidak
Jumlah/frekuensi…
 Hematemesis: ya/tidak
Jumlah/frekuensi…

Page 28 of 43
 Melena : ya/tidak
Jumlah/frekuensi…
 Terpasang NGT: ya/tidak
 Diare/konstipasi: ya/tidak
 Lain-lain…
B6 (bone/musculoskeletal)  Turgor: baik/jelek
 Perdarahan eksternal: ada/tidak
 Icterus: ada/tidak ada
 Akral:
hangat/dingin/kering/lembab/basah/
pucat/kemerahan
 Pergerakan sendi: bebas/terhambat
 Fraktur: ada …(sebutkan letak dan jenis)/
tidak ada
 Luka terbuka: ada …(sebutkan letak dan
jenis)/ tidak ada
 Lain-lain…
Pemeriksaan Penunjang  Laboratorium
 Laboratorium Hasil laboratorium Hb 14,2 gr/dL, leukosit
 Diagnostik lain 18.200/mm3, trombosit 169.00/mm3,
hematokrit 42%, PT 11,9 detik, APTT 36 detik,
glukosa sewaktu 138 mg/dl, natrium 133
Mmol/L, kalium 3,2 Mmol/L dan klorida 102
Mmol/L. Hasil pemeriksaan laboratorium darah
menunjukkan kesan leukositosis, hiponatremia
dan hipokalemia
 Diagnostik lain
Tidak ada
Terapi Diberikan terapi IVFD NaCl 20 tetes/menit,
seftriakson injeksi 2x2 gr, metronidazol infus
3x500 mg, siprofloksasin infus 2x200 mg IV,
parasetamol infus 3x500 mg, ofloksasin tetes
telinga 2x5 tetes dan H2O2 2x5 tetes pada
telinga kanan. Deksametason diberikan 4x10
mg dengan tappering off per tiga hari.
Lain-lain Tidak ada

Page 29 of 43
Tanda tangan

Nama terang : Bangkit Youga Pratama


C. Analisa Data
Data fokus Etiologi Masalah
DS: Gangguan pendengaran Gangguan Komunikasi
1. Orang tua klien Verbal (D.0119)
mengatakan
Pendengaran terasa
berkurang sejak 10
tahun yang lalu
terutama pada
telinga kanan.
2. Orang tua klien
mengatakan klien
mengeluh tidak bisa
mendengar pada
telinga kanan
3. Orang tua klien
mengatakan sejak
satu hari yang lalu
pasien tidak bisa
diajak berkomunikasi
oleh keluarga.
DO:
1. Klien tampak tidak
mampu mendengar
DS: Proses Penyakit Hipertermia (D.0130)
1. Orang tua klien
mengatakan bahwa
satu minggu
sebelumnya pasien
mengeluhkan sakit
kepala yang
dirasakan hilang
timbul disertai
dengan demam tinggi
terus menerus.
DO:
TTV
BP: 110/80 mmHg
N: 92 x/menit
RR: 22 x/menit
T: 38 ºC
DS: Kurang terpapar informasi Gangguan Integritas
1. Orang tua klien tentang upaya kulit/jaringan (D.0129)
mengatakan Pasien mempertahankan/melindungi
biasanya integritas jaringan
membersihkan
cairan yang keluar

Page 30 of 43
dengan cotton bud.
2. Orang tua klien
mengatakan Sejak 1
bulan yang lalu
keluar cairan terus
menerus dari telinga
kanan, cairan
berwarna kuning,
berbau dan tidak
bercampur dengan
darah.
DO:
1. Telinga pasien
tampak terdapat
kerusakan
jaringan/lapisan kulit
D. Diagnosa Keperawatan (SDKI)
1. Hipertermia b.d proses penyakit d.d Orang tua klien mengatakan bahwa satu
minggu sebelumnya pasien mengeluhkan sakit kepala yang dirasakan hilang
timbul disertai dengan demam tinggi terus menerus, BP: 110/80 mmHg , N: 92
x/menit, RR: 22 x/menit, T: 38 ºC (D.0130)
2. Gangguan Integritas kulit/jaringan b.d Kurang terpapar informasi tentang
upaya mempertahankan/melindungi integritas jaringan d.d Orang tua klien
mengatakan Pasien biasanya membersihkan cairan yang keluar dengan cotton
bud, Orang tua klien mengatakan Sejak 1 bulan yang lalu keluar cairan terus
menerus dari telinga kanan, cairan berwarna kuning, berbau dan tidak
bercampur dengan darah, Telinga pasien tampak terdapat kerusakan
jaringan/lapisan kulit (D.0129)
3. Gangguan komunikasi verbal b.d Gangguan pendengaran d.d Orang tua klien
mengatakan Pendengaran terasa berkurang sejak 10 tahun yang lalu terutama
pada telinga kanan, Orang tua klien mengatakan klien mengeluh tidak bisa
mendengar pada telinga kanan, Orang tua klien mengatakan sejak satu hari
yang lalu pasien tidak bisa diajak berkomunikasi oleh keluarga, Klien tampak
tidak mampu mendengar (D.0119)
(Tim Pokja PPNI, 2017)

E. Luaran Keperawatan (SLKI)


1. Termoregulasi (L.14134)
2. Integritas Kulit dan Jaringan (L.14125)
3. Komunikasi verbal (L.13118)
(Tim Pokja PPNI, 2019)

F. Intervensi Keperawatan (SIKI)


No. SDKI SLKI SIKI
1. Hipertermia b.d proses Setelah dilakukan Manajemen Hipertermia
penyakit (D.0130) tindakan keperawatan (I. 15506)
3x24 jam diharapkan Observasi:
Termoregulasi membaik 1. Identifikasi
dengan kriteria hasil: penyebab
1. Menggigil menurun hipertermia (mis.

Page 31 of 43
(5) dehidrasi, terpapar
2. Suhu tubuh membaik lingkungan panas,
(5) penggunaan
3. Suhu kulit membaik inkubator)
(5) 2. Monitor suhu tubuh
3. Monitor kadar
elektrolit
4. Monitor haluaran
urine
5. Monitor komplikasi
akibat hipertermia
Terapeutik:
6. Sediakan
lingkungan yang
dingin
7. Longgarkan atau
lepaskan pakaian
8. Basahi dan kipasi
permukaan tubuh
9. Berikan cairan oral
10. Hindari pemberian
antipiretik atau
asprin
11. Berikan oksigen,
jika perlu
Edukasi
12. Anjurkan tirah
baring
Kolaborasi
13. Kolaborasi
pemberian cairan
dan elektrolit
intravena, jika perlu

2. Gangguan Integritas Setelah dilakukan Perawatan Integritas


kulit/jaringan b.d tindakan keperawatan Kulit (I.11353)
Kurang terpapar 3x24 jam diharapkan Perawatan Integritas
informasi tentang upaya Integritas Kulit dan Kulit
mempertahankan/melin Jaringan meningkat Observasi:
dungi integritas jaringan dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi
(D.0129) 1. Kerusakan jaringan penyebab gangguan
menurun (5) integritas kulit
2. Kerusakan lapisan Terapeutik:
kulit menurun (5) 2. Ubah posisi tiap 2
3. Suhu kulit membaik jam jika tirah baring
(5) 3. Gunakan produk
berbahan petrolium
atau minyak pada
kulit kering
4. Hindari produk
berbahan dasar

Page 32 of 43
alkohol pada kulit
Edukasi
5. Anjurkan
menggunakan
pelembab
6. Anjurkan minum air
yang cukup
7. Anjurkan
meningkatkan
asupan nutrisi
8. Anjurkan
menghindari
terpapar suhu
ekstrem
9. Anjurkan mandi dan
menggunkan sabun
secukupnya

3. Gangguan komunikasi Setelah dilakukan Promosi Komunikasi:


verbal b.d gangguan tindakan keperawatan Defisit Pendengaran
pendengaran (D.0119) 3x24 jam diharapkan (I.13493)
Komunikasi verbal Observasi:
meningkat dengan 1. Periksa kemampuan
kriteria hasil: pendengaran
1. Kemampuan 2. Monitor akumulasi
mendengar serumen berlebihan
meningkat (5) 3. Identifikasi metode
2. Kesesuaian ekspresi komunikasi yang
wajah/tubuh disukai pasien (mis.
meningkat (5) Lisan, tulisan,
3. Respons perilaku gerakan bibir,
membaik (5) bahasa isyarat)
Terapeutik:
1. Gunakan bahasa
sederhana
2. Gunakan bahasa
isyarat, jika perlu
3. Verivikasi apa yang
dikatakan atau
ditulis pasien
4. Fasilitasi
penggunaan alat
bantu dengar
5. Berhadapan dengan
pasien secara
langsung selama
berkomunikasi
6. Pertahankan kontak
mata selama
berkomunikasi
7. Hindari kebisingan

Page 33 of 43
saat berkomunikasi
8. Hindari
berkomunikasi lebih
dari 1 meter dari
pasien
9. Lakukan irigasi
telinga, jika perlu
10. Pertahankan
kebersihan telinga
Edukasi:
11. Anjurkan
menyampaikan
pesan dengan
isyarat
12. Ajarkan cara
membersihkan
serumen dengan
tepat
(Tim Pokja PPNI, 2018)

Page 34 of 43
BAB III. INTERVENSI KEPERAWATAN (EVIDENCE BASED NURSING)

Intervensi dalam askep yg disusun wajib menyertakan EBN nya (minimal


menyertakan 5 jurnal).
A. Masalah Keperawatan
Hipertermia b.d Proses Penyakit (D.0130)

B. Intervesi by Evidence Based Nursing (Journal)


1. Judul Jurnal
EFEKTIFITAS PERBEDAAN KOMPRES HANGAT DAN DINGIN TERHADAP
PERUBAHAN SUHU TUBUH PADA ANAK DI RSUD DR. M. YUNUS BENGKULU
(Ida & Doby, 2020).
2. Judul Jurnal
Perbeedaan Penurunan Suhu Tubuh Antara Pemberian Kompres Hangat
Dengan Tepid Sponge Bath Pada Anak Demam (Dewi, 2016).
3. Judul Jurnal
Efektifitas Kompres Hangat Untuk Menurunkan Suhu Tubuh Pada an.D
Dengan Hipertermia (Anisa, 2019).
4. Judul Jurnal
STUDI LITERATUR: PERBANDINGAN PENERAPAN TEKNIKTEPID WATER
SPONGEDAN KOMPRES HANGATUNTUK MENURUNKAN SUHU
TUBUHPADA ANAK YANG MENGALAMI KEJANG DEMAM (Pangesti et al.,
2020)
5. Judul Jurnal
Pengaruh Tepid Sponge Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Pada Anak Pra
Sekolah Yang Mengalami Demam Di Rsud Ungaran (Haryani et al., 2018)

C. Daftar Pustaka (Sumber Reference)


Anisa, K. (2019). Efektifitas Kompres Hangat Untuk Menurunkan Suhu Tubuh Pada
an.D Dengan Hipertermia. Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan: Wawasan Kesehatan, 5(2),
122–127. https://doi.org/10.33485/jiik-wk.v5i2.112
Dewi, A. K. (2016). Perbeedaan Penurunan Suhu Tubuh Antara Pemberian Kompres
Hangat Dengan Tepid Sponge Bath Pada Anak Demam. Jurnal Keperawatan
Muhammadiyah, 1(1), 63–71. http://journal.um-
surabaya.ac.id/index.php/JKM/article/view/366/272
Haryani, S., Adimayanti, E., & Astuti, A. P. (2018). Pengaruh Tepid Sponge Terhadap
Penurunan Suhu Tubuh Pada Anak Pra Sekolah Yang Mengalami Demam Di Rsud
Ungaran. Jurnal Keperawatan Dan Kesehatan Masyarakat Cendekia Utama, 7(1),
44. https://doi.org/10.31596/jcu.v0i0.212
Ida, R., & Doby, P. (2020). EFEKTIFITAS PERBEDAAN KOMPRES HANGAT DAN DINGIN
TERHADAP PERUBAHAN SUHU TUBUH PADA ANAK DI RSUD DR. M. YUNUS
BENGKULU. 8487(2), 246–255.

Page 35 of 43
Pangesti, N. A., Krisna, B., & Mukti, A. (2020). STUDI LITERATUR : PERBANDINGAN
PENERAPAN TEKNIK TEPID WATER SPONGE DAN KOMPRES HANGAT UNTUK
MENURUNKAN SUHU TUBUH. 8, 297–304.

Page 36 of 43
BAB IV. DIRECTLY OBSERVED PROCEDURAL SKILL (DOPS)

Menganalisa 5 tindakan via Youtube yang sesuai dengan intervensi yang


disusun dalam askep sebagai pemantapan DOPS
1. Judul Tindakan Keperawatan
Pengukuran Suhu Tubuh

a) Definisi
Nilai hasil pemeriksaan suhu merupakan indikator untuk menilai
keseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran panas. Nilai ini
akan keseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran panas. Nilai
ini akanmenunjukan peningkatan bila pengeluaran panas meningkat.
kondisi demikian menunjukan peningkatan bila pengeluaran panas
meningkat. kondisi demikian dapat juga di sebabkan oleh vasodilatasi,
berkeringat dan lain-lain. Demikian dapat juga di sebabkan oleh
vasodilatasi, berkeringat dan lain-lain. Demikian sebaliknya, bila
pembentukan panas maeningkat maka nilai suhu tubuh akan sebaliknya,
bila pembentukan panas maeningkat maka nilai suhu tubuh
akanmenurun. Kondisi ini dapat di lihat pada peningkatan metabolisme
dan kontraksimenurun. Kondisi ini dapat di lihat pada peningkatan
metabolisme dan kontraksi otot. Pengukuran suhu tubuh dapat di
lakukan secara oral (mulut), rektal, dan otot. Pengukuran suhu tubuh
dapat di lakukan secara oral (mulut), rektal, dan aksila
b) Tujuan Tindakan
Pengukuran suhu tubuh di lakukan untuk mengetahui rentang suhu
tubuh.
c) Prosedur Tindakan
Jelaskan prosedur pada klien, cuci tangan, gunakan sarung tangan, atur
posisi pasien tentukan letak aksila dan bersihkan daerah aksila dengan
menggunakan tisu, turunkan termometer di bawah suhu 34oC-35Oc,
letakan termometer pada daerah aksila dan lengan pasien & leksi di atas
dada, setelah 3-10 menit termometer diangkat dan di baca hasilnya, catat
hasil, bersihkan termometer dengan kertas tisu, cuci dengan air sabun,
desinfektan, bilas dengan air bersih, dan keringkan, cuci tangan setelah
prosedur di lakukan.
d) Sumber Reference: https://youtu.be/noPa-UalLeM
2. Judul Tindakan Keperawatan
Pemeriksaan Fungsi Pendengaran

a) Definisi
Adalah prosedur untuk memeriksa kemampuan mendengar seseorang.
Pemeriksaan dilakukan dengan mengukur seberapa baik gelombang
suara terhantar ke otak.

Page 37 of 43
Proses mendengar terjadi ketika gelombang suara masuk ke telinga dan
menyebabkan getaran pada gendang telinga.
b) Tujuan Tindakan
untuk mengukur seberapa baik fungsi pendengaran seseorang.
c) Prosedur Tindakan
Pemeriksa akan meletakkan garpu tala pemeriksaan di belakang telinga
atau pada puncak kepala Anda, Pemeriksa akan memukulkan garpu tala
sehingga garpu tala tersebut bergetar dan menghasilkan suara, Anda
akan diminta memberitahukan pemeriksa ketika Anda mendengar nada
pada berbagai volume atau bila Anda mengarkan suara hanya pada
telinga kiri, telinga kanan, atau dapat mendengarkan pada kedua telinga
dengan sama baiknya
d) Sumber Reference: https://youtu.be/TNfEc17p1-4
3. Judul Tindakan Keperawatan
Terapi pemberian oksigen

a) Definisi
adalah tindakan medis untuk menyalurkan oksigen ke dalam tubuh lewat
alat bantu. Terapi oksigen diindikasikan pada orang dewasa dan anak
dengan PaO2<60 mmHg atau saturasi O 2<90% pada kondisi istirahat
dalam udara Sedangkan pada neonatus, terapi oksigen diindikasikan bila
PaO2<50 mmHg atau saturasi O2<88%
b) Tujuan Tindakan
Tujuannya adalah kadar oksigen di dalam tubuh tercukupi sehingga
fungsi organ berjalan lancar.
c) Prosedur Tindakan
Bantu klien pada posisi semi fowler jika memungkinkan, untuk
memberikan kemudahan ekspansi dada dan pernafasan lebih mudah. ,
Pasang peralatan oksigen dan humidifier, Nyalakan oksigen dengan
aliran sesuai advis, Periksa aliran oksigen pada selang, Sambung nasal
kanul dengan selang oksigen, Pasang nasal kanul pada hidung, Letakkan
ujung kanul ke dalam lubang hidung dan selang serta kaitkan dibelakang
telinga atau mengelilingi kepala. Yakinkan kanul masuk lubang hidung
dan tidak ke jaringan hidung, Plester kanul pada sisi wajah, selipkan kasa
di bawah selang pada tulang pipi untuk mencegah iritasi, Kaji respon
klien terhadap oksigen dalam 15-30 menit, seperti warna, pernafasan,
gerakan dada, ketidaknyamanan dan sebagainya, Periksa aliran dan air
dalam humidifier dalam 30 menit, Kaji klien secara berkala untuk
mengetahui tanda klinik hypoxia, takhikardi, cemas, gelisah, dyspnoe dan
sianosis, Kaji iritasi hidung klien. Beri air / cairan pelumas sesuai
kebutuhan untuk melemaskan mukosa membrane, Catat permulaan
terapi dan pengkajian data
d) Sumber Reference: https://youtu.be/8Lw8A0GFHDE

Page 38 of 43
4. Judul Tindakan Keperawatan
Perawatan Telinga

a) Definisi
Mencuci dan membersihkan rongga telinga agar telinga tetap bersih dan
terhindar dari infeksi.
b) Tujuan Tindakan
Membersihkan/mengeluarkan nanah, kotoran telinga dan benda asing
dari rongga telinga, Mencegah infeksi pada telinga, Membantu
memperjelas pendengaran pasien, Memberikan rasa nyaman pada
pasien.
c) Prosedur Tindakan
Persiapkan alat, Cuci tangan dan kenakan handskun, Kaj kondisi strktur
telinga luar dan salurannya, Jelaskan pada klien tentang tujuan dan
prosedur yang akan dilakukan, Atur suplai di sisi tempat tidur, Minta
klien mengambil posisi miring dengan telinga yang akan di  bersihkan
berada di atas, Pasang perlak dan pegalas di bawah kepala pasien, Tutup
tubuh klien dengan handuk, Jika serumen atau drainase menyumbat
bagian paling luar saluran telinga, seka dengan lembut mengenakan lidi
kapas. Jangan mendorong serumen kedalam untuk menghambat atau
menyumbat saluran, Luruskan saluran elinga dengan menarik daun
telinga ke bawah dan kebelakang (pada anak-anak) atau ke atas dan ke
luar (dewasa), Memasukkan 3 tetesan gliserin  pada waktu tidur dan
tetes hidrogen  peroksida. Pegang alat 1 cm di atas saluran telinga,
Masukkan kira-kira 250ml ar hangat (30˚C) k e kanal telinga luar,
Letakkan bengkok di bawah telinga yang terkena, Gunakan water pik
untuk mengirigasi ke dalam kanal telinga
d) Sumber Reference: https://youtu.be/mjbavNwkYIQ
5. Judul Tindakan Keperawatan
Pemberian Kebutuhan cairan dan elektrolit melalui intravena

a) Definisi
Pemasaangan infus merupakan prosedur pemenuhan kebutuhan cairan
danelektrolit yang dilakukan bagi klien yang memerlukan cairan melalui
intravena(infus).nutrisi bagi klien yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan nutrisi per oral atauadanya gangguan fungsi menelan,
Tindakan ini dilakukan dengan didahuluipemasangan pipa lambung.
b) Tujuan Tindakan
Memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit, Infus pengobatan dan
pemberian nutrisi.
c) Prosedur Tindakan
Jelaskan prosedur yang akan dilakukan, Cuci tangan, Hubungkan cairan
dan infus set dengan mnusukkan ke bagian karet atau akses selang ke
botol infus, Isi cairan ke dalam set infus dengan menekan ruang tetesan
hingga terisi sebagian dan buka klem selang hingga cairan memenuhi

Page 39 of 43
selang dan udara selang keluar, Letakkan pengalas di bawah tempat
(vena) yang akan dilakukan penginfusan, Lakukan pembendungan
dengan torniket (karet pembendung) 10 – 12 cmdiatas tempat
penusukan dan anurkan pasien untuk menggemgam dengan gerakan
sirkular (bila sadar), Gunakan sarung tangan steril, Desinfeksi daerah
yang akan ditusuk dengan kapas alkohol, Lakukan penusukan pada vena
dengan meletakkan ibu jari dibagian bawah vena dan posisi jarum
(abocath) mengarah ke atas, Perhatikan keluarnya darah melalui jaru
(abocath/surflo) maka tarik keluar bagian dalam (jarum) sambil
meneruskan tusukan ke dalam vena, Setelah jarum infus bagian dalam
dilepaskan/dikeluarkan, tahan bagian atas vena dengan menekan
menggunakan jari tangan agar darah tidak keluar. Kemudian bagian
infus dihubungkan/disambungkan dengan selang infus, Buka pengatur
tetesan dan atur kecepatan sesuai dengan dosis yang diberikan, Lakukan
fiksasi dengan kasa steril, Tuliskan tanggal dan waktu pemasangan infus
serta catat ukuran jarum, Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan, Catat
jenis cairan, letak infus, kecepatan aliran, ukuran dan tipe jarum infus.
d) Sumber Reference: https://youtu.be/THrp7POWftU

Page 40 of 43
BAB V. PERKULIAHAN DENGAN PRAKTISI DARI RUMAH SAKIT

Tuliskan Resume/Rangkuman Materi

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Page 41 of 43
Daftar Pustaka

Amelia, M. R. (2020). Identifikasi Mikroorganisme Penyebab Otitis Media Supuratif


Kronik Dan Kepekaannya Terhadap Antibiotik. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi
Husada, 11(1), 579–584. https://doi.org/10.35816/jiskh.v11i1.351
Anisa, K. (2019). Efektifitas Kompres Hangat Untuk Menurunkan Suhu Tubuh Pada
an.D Dengan Hipertermia. Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan: Wawasan Kesehatan, 5(2),
122–127. https://doi.org/10.33485/jiik-wk.v5i2.112
Dewi, A. K. (2016). Perbeedaan Penurunan Suhu Tubuh Antara Pemberian Kompres
Hangat Dengan Tepid Sponge Bath Pada Anak Demam. Jurnal Keperawatan
Muhammadiyah, 1(1), 63–71. http://journal.um-
surabaya.ac.id/index.php/JKM/article/view/366/272
Handoko, E., Indrasworo, D., & Nursalim, A. H. (2019). Hubungan Derajat Kolesteatoma
dengan Keberhasilan Mastoidektomi Radikal pada Otitis Media Supuratif Kronis
dengan Kolesteatoma. Oto Rhino Laryngologica Indonesiana, 49(2), 99.
https://doi.org/10.32637/orli.v49i20.302
Haryani, S., Adimayanti, E., & Astuti, A. P. (2018). Pengaruh Tepid Sponge Terhadap
Penurunan Suhu Tubuh Pada Anak Pra Sekolah Yang Mengalami Demam Di Rsud
Ungaran. Jurnal Keperawatan Dan Kesehatan Masyarakat Cendekia Utama, 7(1),
44. https://doi.org/10.31596/jcu.v0i0.212
Ida, R., & Doby, P. (2020). EFEKTIFITAS PERBEDAAN KOMPRES HANGAT DAN DINGIN
TERHADAP PERUBAHAN SUHU TUBUH PADA ANAK DI RSUD DR. M. YUNUS
BENGKULU. 8487(2), 246–255.
Laisitawati, A., Ghanie, A., & Suciati, T. (2017). Hubungan Otitis Media Supuratif Kronik
dengan Derajat Gangguan Pendengaran di Departemen THT-KL RSUP Dr .
Mohammad Hoesin Palembang Periode 2014-2015 morbiditas yang lebih tinggi .
Salah satu akibat Pada OMSK gangguan pendengaran dapat terjadi akibat infe.
Majalah Kedokteran Sriwijaya, 49(2), 57–65.
Novian, G., Suherlan, E., & Azhali, B. A. (2018). Hubungan Usia dan Jenis Kelamin dengan
Prevalensi Otitis Media Supuratif Kronik di Rumah Sakit Umum Daerah Al Ihsan
Tahun 2018.
Pane, D. N., Fikri, M. EL, & Ritonga, H. M. (2018). GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN
PERAWAT DALAM PENERAPAN STANDAR ASUAHAN KEPERAWATAN
DIRUANGAN RAWAT INAP INTERNA RSUD DATOE BHINANGKANG Lutfiani.
Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
Pangesti, N. A., Krisna, B., & Mukti, A. (2020). STUDI LITERATUR : PERBANDINGAN
PENERAPAN TEKNIK TEPID WATER SPONGE DAN KOMPRES HANGAT UNTUK
MENURUNKAN SUHU TUBUH PENDAHULUAN Kejang demam adalah kejang yang
terjadi pada saat bayi atau anak mengalai demam tanpa infeksi sisitem saraf pusat
yang terjadi pa. 8, 297–304.
rani, M. (2019). Pelaksanaan Pengkajian Dalam Proses Keperawatan.
https://doi.org/10.31227/osf.io/qmd42
Sari, M. R. N., & Imanto, M. (2020). Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

Page 42 of 43
Terhadap Otitis Media Supuratif Kronik ( OMSK ) The Relationship Between Clean
and Healthy Life Style With Chronic Suppurative Otitis Media. Pendidikan Dokter,
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung, 9, 158–165.
Tim Pokja PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi dan
Indikator Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). DPP PPNI.
Tim Pokja PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi dan
Tindakan Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). DPP PPNI.
Tim Pokja PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan
Kreteria Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). DPP PPNI.
Trivel, M. (2014). Fakultas ilmu kesehatan. Journal Kesehatan Fikes UMM Surakarta,
1(0271), 4–5.
Umar, N. S., Pary, M. I., & Soesanty. (2019). Karakteristik Pasien Otitis Media Supuratif
Kronik di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H
Chasan Boesoirie Periode Januari –Juli 2019. Kieraha Medical Journal, 1(1), 1(1),
60–65.
Wahyono, D. J., Darmawan, A. B., Alfason, L., Simbolon, R., Wijayanti, S. P. M.,
Paramaiswari, W. T., Salsabila, K., & Safari, D. (2020). Staphylococcus aureus and
Pseudomonas aeruginosa in Tubotympanic Chronic Suppurative Otitis Media
Patients in Purwokerto, Indonesia. The Indonesian Biomedical Journal, 12(4), 340–
348. https://doi.org/10.18585/inabj.v12i4.1218

Page 43 of 43

Anda mungkin juga menyukai