Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK TIPE BAHAYA

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik


Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL
Rumah Sakit Umum Daerah dr.Zainoel Abidin
Banda Aceh

Oleh :

Indra Gunawan (NIM. 1807101030009)


Sandi Aulia Abadi (NIM. 1807101030010)
Gilang Widratama Putra (NIM. 1807101030011)
Taufiq Riski (NIM. 1807101030012)

Pembimbing : dr. Benny Kurnia, Sp. THT-KL(K), FICS

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM – BANDA ACEH
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya, penulisan laporan kasus ini telah dapat penulis
selesaikan. Selanjutnya shalawat dan salam penulis panjatkan kepangkuan Nabi
Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke
alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Adapun laporan kasus dengan judul ”OTITIS MEDIA SUPRATIF


KRONIK” ini diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan
Klinik Senior pada Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran
Unsyiah Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Benny Kurnia,


Sp.THT-KL(K),FICS, yang telah bersedia meluangkan waktu membimbing
penulis untuk penulisan tugas ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
para sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan dorongan moril dan materil
sehingga tugas ini dapat selesai pada waktunya.

Banda Aceh, Januari 2020

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 3
2.1. Anatomi Telinga Tengah ....................................................... 3
2.2. Definisi ................................................................................... 4
2.3. Etiologi ................................................................................... 5
2.4. Patofisiologi ........................................................................... 7
2.5. Klasifikasi .............................................................................. 8
2.6. Gejala Klinis .......................................................................... 9
2.7. Diagnosis................................................................................ 11
2.8. Penatalaksanaan ..................................................................... 13
2.9. Komplikasi ............................................................................. 16
BAB III LAPORAN KASUS ................................................................... 17
3.1. Identitas Penderita .................................................................. 17
3.2. Anamnesis .............................................................................. 17
3.2.1. Keluhan Utama ............................................................ 17
3.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang ......................................... 17
3.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu ............................................ 17
3.2.4. Riwayat Penggunaan Obat ........................................... 17
3.2.5. Riwayat Penyakit Keluarga ......................................... 17
3.2.6. Riwayat Kebiasaan Sosial ............................................ 18
3.3. Pemeriksaan Fisik .................................................................. 18
3.3.1. Status Present ............................................................... 18
3.3.2. Status Generalisata ....................................................... 18
3.3.3. Status Lokalisata .......................................................... 20
3.4. Pemeriksaan Penunjang ......................................................... 22
3.4.1. Audiometri ................................................................... 22
3.4.2. Pemeriksaan Fungsi Pendengaran ............................... 23
3.5. Diagnosis Kerja ...................................................................... 23
3.6 Diagnosis Banding ................................................................. 23
3.7. Penatalaksanaan ..................................................................... 23
3.7.1. Tindakan operatif ......................................................... 23
3.7.2. Terapi Medikamentosa ................................................. 23
3.8. Prognosis ................................................................................ 23
3.9. Edukasi ................................................................................... 24
BAB IV ANALISA KASUS ...................................................................... 25
BAB V KESIMPULAN ............................................................................ 28
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 29

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Otitis media supuratif kronik ialah infeksi kronik di telinga tengah lebih
dari 2 bulan dengan adanya perforasi membran timpani, sekret yang keluar dari
telinga tengah dapat terus menerus atau hilang timbul. Sekret bisa encer atau
kental, bening atau berupa nanah. Otitis media supuratif kronik (OMSK) didalam
masyarakat Indonesia dikenal dengan istilah congek, teleran atau telinga berair.
Kebanyakan penderita OMSK menganggap penyakit ini merupakan penyakit yang
biasa yang nantinya akan sembuh sendiri. Penyakit ini pada umumnya tidak
memberikan rasa sakit yang terlalu berat kecuali apabila sudah terjadi
komplikasi.1
Gangguan pendengaran terjadi pada 5% masyarakat di dunia yaitu
sebanyak 360 juta jiwa (328 juta penderita dewasa dan 32 juta penderita anak-
anak). Angka gangguan pendengaran dan ketulian di Indonesia merupakan angka
tertinggi di Asia Tenggara sekitar 16,8%. Angka gangguan pendengaran di
Indonesia terjadi paling banyak pada usia produktif dewasa (30-54 tahun) sekitar
28%. 2
Pada dasarnya keberhasilan pengobatan penyakit infeksi bakteri dengan
antibiotik merupakan hasil akhir dari 3 komponen, yaitu penderita, bakteri dan
antibiotika. Hal ini disebabkan karena penyakit infeksi bakteri adalah manifestasi
klinik dari interaksi antara penderita dan bakteri. Adapun untuk pengobatan
infeksi dibutuhkan antibiotika yang tepat dan daya tahan tubuh penderita itu
sendiri. Memilih antibiotika yang tepat dapat dilakukan berdasarkan sekurang-
kurangnya mengetahui jenis bakteri penyebab penyakit dan akan lebih baik lagi
apabila disertai dengan adanya hasil uji kepekaan pemeriksaan mikrobiologi.
Ketidak patuhan penderita dalam perawatan, kuman yang resisten, bentuk
anatomi telinga, adanya komplikasi, menyebabkan kesulitan dalam hal
pengobatan dan perawatan penderita OMSK.3
Angka kejadian OMSK di negara-negara berkembang lebih banyak
dibandingkan negara-negara maju. Hal ini disebabkan oleh faktor sosioekonomi,
higiene buruk dan kepadatan penduduk. OMSK biasanya terjadi pada sosial
ekonomi rendah, area pedesaan dengan kebersihan dan faktor nutrisi yang kurang.

1
Faktor risiko OMSK lainnya yaitu infeksi saluran pernafasan atas yang sering,
status imun yang buruk dan perokok pasif.4 Prevalensi morbiditas pada kasus
telinga dan gangguan pendengaran di Indonesia cukup tinggi, yaitu sebesar
18,5%, sedangkan prevalensi OMSK di Indonesia antara 3-5,2% atau kurang lebih
6,6 juta penduduk Indonesia menderita OMSK.5 OMSK dapat mengakibatkan
beberapa komplikasi dan kadang-kadang mengancam jiwa seperti kehilangan
pendengaran, meningitis, abses serebri, mastoiditis, parese nervus fasial,
kolesteatoma, jaringan granulasi dan empiema subdural.4

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga Tengah

Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas-batasnya adalah sebagai


berikut:1
-
Batas luar : membran timpani
-
Batas depan: tuba eustachius
-
Batas bawah: vena jugularis (bulbus jugularis)
-
Batas belakang: aditus ad antrum, kanalis facialis pars vertikalis
-
Batas atas: tegmen timpani (meningen/otak)
-
Batas dalam: berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semisirkularis
horizontal, kanalis facialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar
(round window) dan promontorium.

Telinga tengah terdiri dari suatu ruang yang terletak antara membrane
timpani dan kapsul telinga dalam, tulang-tulang dan otot yang terdapat
didalamnya beserta penunjangnya, tuba eustachius dan sistem sel-sel udara
mastoid. Bagian ini dipisahkan dari dunia luar oleh suatu membrane timpani
dengan diameter kurang lebih setengah inci. 1
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang
telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars
flaksida (membrane shrapnel), sedangkan bagian bawah pars tensa (membrane
propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar adalah lanjutan epitel
kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi olehsel kubus bersilia, seperti sel
epitel saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah yaitu lapisan
yang terdiri dari serat kolagendan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier
dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam. 1
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membrane timpani
disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light)
kearah bawah yaitu pukul 7 untuk membrane timpani kiri dan pukul 5 untuk
membrane timpani kanan. Membrane timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan

3
menarik garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus
pada garis itu di umbo, sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang,
bawah-depan serta bawah-belakang, untuk menyatakan letak perforasi membran
timpani. 1
Didalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun
dari luar kedalam yaitu, maleus, inkus dan stapes. Tulang pendengaran didalam
telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus melekat pada membrane
timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melakt pada stapes. Stapes terletak
pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antara tulang-
tulang pendengaran merupakan persendian. Tuba eustachius termasuk dalam
telinga tengah yang menghubungkan daerah nasifaring dengan telinga tengah.1

Gambar 1. Anatomi Telinga

2.2 Definisi

Otitis media merupakan suatu peradangan pada sebagian atau seluruh


mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel- sel mastoid.
Otitis media supuratif kronik adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan
perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus
menerus atau hilang timbul dengan atau tanpa disertai kolesteatoma. Sekret yang
keluar mungkin encer atau kental, dan dapat berupa nanah. Otitis media akut
dengan perforasi membran timpani dapat menjadi otitis media supuratif kronis

4
bila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Bila proses infeksi kurang dari 2 bulan,
disebut sebagai otitis media supuratif subakut.4

2.3 Etiologi

Terjadi OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada
anak, jarang dimulai setelah dewasa. Faktor yang menyebabkan OMSK terbagi 2,
diantaranya faktor otologi dan non-otologi. Faktor otologi penyebab OMSK yaitu
adanya infeksi telinga sebelumnya menyebabkan terjadinya infeksi berulang dan
berakhir menjadi OMSK, selain itu fungsi tuba Eustachius yang abnormal dapat
menjadi faktor predisposisi yang dijumpai pada anak dengan cleft palate dan
Down’s syndrom. Adapun faktor non-otologi diantaranya infeksi yang berasal dari
nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis) yang mencapai telinga tengah
melalui tuba Eustachius. Faktor Host yang berkaitan dengan insiden OMSK yang
relatif tinggi adalah defisiensi immun sistemik. Kelainan humoral (seperti
hipogammaglobulinemia) dan cell- mediated ( seperti infeksi HIV, sindrom
kemalasan leukosit) dapat manifestasi sebagai sekresi telinga kronis.6
Faktor risiko OMSK antara lain:
1. Lingkungan
Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi
mempunyai hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan
sosioekonomi, dimana kelompok sosioekonomi rendah memiliki insiden
yang lebih tinggi. Tetapi sudah hampir dipastikan hal ini berhubungan
dengan kesehatan secara umum, diet, tempat tinggal yang padat. 7

2. Genetik
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden
OMSK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai
faktor genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis
media, tapi belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder. 7

5
3. Otitis media sebelumnya.
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis
media akut dan / atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor
apa yang menyebabkan satu telinga dan bukan yang lainnya berkembang
menjadi keadaan kronis. 7

4. Infeksi
Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah hampir tidak
bervariasi pada otitis media kronik yang aktif menunjukan bahwa metode
kultur yang digunakan adalah tepat. Organisme yang terutama dijumpai
adalah Gram- negatif, flora tipe-usus, dan beberapa organisme lainnya. 7

5. Infeksi saluran nafas atas


Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran
nafas atas. Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah
menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara
normal berada dalam telinga tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan
bakteri. 7

6. Autoimun
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar
terhadap otitis media kronis. 7

7. Alergi
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi
dibanding yang bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian
penderita yang alergi terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteria atau
toksin-toksinnya, namun hal ini belum terbukti kemungkinannya.7

8. Gangguan fungsi tuba eustachius.


Pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat oleh edema
tetapi apakah hal ini merupakan fenomen primer atau sekunder masih belum
diketahui. Pada telinga yang inaktif berbagai metode telah digunakan untuk
mengevaluasi fungsi tuba eustachius dan umumnya menyatakan bahwa tuba
tidak mungkin mengembalikan tekanan negatif menjadi normal.7

6
Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perforasi membran timpani
menetap pada OMSK :6

- Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang mengakibatkan


produksi sekret telinga purulen berlanjut.
- Berlanjutnya obstruksi tuba eustachius yang mengurangi penutupan spontan
pada perforasi.
- Beberapa perforasi yang besar mengalami penutupan spontan melalui
mekanisme migrasi epitel.
- Pada pinggir perforasi dari epitel skuamous dapat mengalami pertumbuhan
yang cepat diatas sisi medial dari membran timpani. Proses ini juga mencegah
penutupan spontan dari perforasi.

2.4 Patofisiologi

Disfungsi tuba Eustachius merupakan penyebab utama terjadinya radang


telinga tengah ini (otitis media, OM). Pada keadaan normal, muara tuba
Eustachius berada dalam keadaan tertutup dan akan membuka bila kita menelan.
Tuba Eustachius ini berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara telinga
tengah dengan tekanan udara luar (tekanan udara atmosfer). Fungsi tuba yang
belum sempurna, tuba yang pendek, penampang relatif besar pada anak dan posisi
tuba yang datar menjelaskan mengapa suatu infeksi saluran nafas atas pada anak
akan lebih mudah menjalar ke telinga tengah sehingga lebih sering menimbulkan
OM daripada dewasa.5
Pada anak dengan infeksi saluran nafas atas, bakteri menyebar dari
nasofaring melalui tuba Eustachius ke telinga tengah yang menyebabkan
terjadinya infeksi dari telinga tengah. Pada saat ini terjadi respons imun di telinga
tengah. Mediator peradangan pada telinga tengah yang dihasilkan oleh sel-sel
imun infiltrat, seperti netrofil, monosit, dan leukosit serta sel lokal seperti
keratinosit dan sel mastosit akibat proses infeksi tersebut akan menambah
permiabilitas pembuluh darah dan menambah pengeluaran sekret di telinga
tengah. Selain itu, adanya peningkatan beberapa kadar sitokin kemotaktik yang

7
dihasilkan mukosa telinga tengah karena stimulasi bakteri menyebabkan
terjadinya akumulasi sel-sel peradangan pada telinga tengah.6
Mukosa telinga tengah mengalami hiperplasia, mukosa berubah bentuk
dari satu lapisan, epitel skuamosa sederhana, menjadi pseudostratified respiratory
epithelium dengan banyak lapisan sel di antara sel tambahan tersebut. Epitel
respirasi ini mempunyai sel goblet dan sel yang bersilia, mempunyai stroma yang
banyak serta pembuluh darah. Penyembuhan OM ditandai dengan hilangnya sel-
sel tambahan tersebut dan kembali ke bentuk lapisan epitel sederhana.7
Terjadinya OMSK disebabkan oleh keadaan mukosa telinga tengah yang
tidak normal atau tidak kembali normal setelah proses peradangan akut telinga
tengah, keadaan tuba Eustachius yang tertutup dan adanya penyakit telinga pada
waktu bayi.8

2.5 Klasifikasi

OMSK dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu OMSK tipe aman (tipe mukosa =
tipe benigna) dan OMSK tipe bahaya (tipe tulang = tipe maligna).7
Berdasarkan aktifitas sekret yang keluar dikenal juga OMSK tipe aktif dan
OMSK tenang. OMSK aktif adalah OMSK dengan sekret yang keluar dari kavum
timpani secara aktif, sedangkan OMSK tenang adalah yang keadaan kavum
timpaninya terlihat basah atau kering.9
Proses peradangan pada OMSK tipe aman terbatas pada mukosa saja, dan
biasanya tidak mengenai tulang. Perforasi terletak disentral. Umumnya OMSK
tipe aman jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pada OMSK tipe
aman tidak terdapat kolesteatoma. Kolesteatom adalah suatu kista epiterial yang
berisi deskuamasi epitel (keratin).8
Yang dimaksud OMSK tipe maligna adalah OMSK yang disertai dengan
kolesteatom. OMSK ini dikenal juga dengan OMSK tipe bahaya atau OMSK tipe
tulang. Perforasi pada OMSK tipe bahaya letaknya marginal atau di atik, kadang-
kadang terdapat juga kolesteatom pada OMSK dengan perforasi subtotal.
Sebagian besar komplikasi yang berbahaya atau fatal timbul pada OMSK tipe
bahaya.9

8
Bentuk perforasi membran timpani adalah :9
1. Perforasi sentral
Lokasi pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero-inferior dan postero-
superior, kadang-kadang sub total.

2. Perforasi marginal
Terdapat pada pinggir membran timpani dengan adanya erosi dari anulus
fibrosus. Perforasi marginal yang sangat besar digambarkan sebagai perforasi
total. Perforasi pada pinggir postero-superior berhubungan dengan kolesteatom.

3. Perforasi atik
Terjadi pada pars flasida, berhubungan dengan primary acquired
cholesteatoma.

2.6 Gejala Klinis


1. Telinga berair (otorrhoe)
Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer)
tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas
kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan
yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi
iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi.
Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat
disebabkan infeksi saluran nafas atas atau kontaminasi dari liang telinga luar
setelah mandi atau berenang.3,4
Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Sekret
yang sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma
dan produk degenerasinya. Dapat terlihat keping-keping kecil, berwarna putih,
mengkilap. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah
berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang
bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan polip telinga
dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang mendasarinya. Suatu sekret yang
encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis. 3,4

9
2. Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran. Biasanya
dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan
pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena
daerah yang sakit ataupun kolesteatom, dapat menghambat bunyi dengan efektif
ke fenestra ovalis. Bila tidak dijumpai kolesteatom, tuli konduktif kurang dari 20
db ini ditandai bahwa rantai tulang pendengaran masih baik. Kerusakan dan
fiksasi dari rantai tulang pendengaran menghasilkan penurunan pendengaran lebih
dari 30 db. 3,4
Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran
timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah.
Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya
rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatom bertindak sebagai
penghantar suara sehingga ambang pendengaran yang didapat harus
diinterpretasikan secara hati-hati.3
Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan
berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui jendela bulat (foramen
rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila terjadinya
labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf berat, hantaran tulang dapat
menggambarkan sisa fungsi kohlea.4

3. Otalgia (nyeri telinga)


Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila ada merupakan
suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya
drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan
pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau
ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh
adanya otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi
OMSK seperti Petrositis, subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis.3,4

4. Vertigo
Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya.
Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat

10
erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat
perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif
keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani yang
akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu.
Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo.
Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum. Fistula merupakan temuan
yang serius, karena infeksi kemudian dapat berlanjut dari telinga tengah dan
mastoid ke telinga dalam sehingga timbul labirinitis dan dari sana mungkin
berlanj ut menjadi meningitis. Uji fistula perlu dilakukan pada kasus OMSK
dengan riwayat vertigo. Uji ini memerlukan pemberian tekanan positif dan negatif
pada membran timpani, dengan demikian dapat diteruskan melalui rongga telinga
tengah. 3,4

2.7 Diagnosis

Diagnosis OMSK ditegakan dengan cara:


1. Anamnesis
Penyakit telinga kronis ini biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita
seringkali datang dengan gejala-gejala penyakit yang sudah lengkap. Gejala yang
paling sering dijumpai adalah telinga berair, adanya sekret di liang telinga yang
pada tipe tubotimpanal sekretnya lebih banyak dan seperti berbenang (mukous),
tidak berbau busuk dan intermiten, sedangkan pada tipe atikoantral, sekretnya
lebih sedikit, berbau busuk, kadangkala disertai pembentukan jaringan granulasi
atau polip, maka sekret yang keluar dapat bercampur darah. Ada kalanya
penderita datang dengan keluhan kurang pendengaran atau telinga keluar darah.6

2. Gejala klinis
Ada beberapa gejala klinis yang menyebabkan pasien berobat ke
pelayanan kesehatan, antara lain: 3,4
- Telinga berair (otorrhoe), sekret bersifat purulen (kental, putih) atau
mukoid (seperti air dan encer) tergantung stadium peradangan.

11
- Gangguan pendengaran, ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-
tulang pendengaran. Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula
bersifat campuran.
- Otalgia (nyeri telinga), nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan
bila ada merupakan suatu tanda yang serius.
- Vertigo, vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius
lainnya.

3. Pemeriksaan otoskopi
Pemeriksaan otoskopi akan menunjukan adanya dan letak perforasi. Dari
perforasi dapat dinilai kondisi mukosa telinga tengah.7

4. Pemeriksaan audiologi
Evaluasi audiometri, pembuatan audiogram nada murni untuk menilai
hantaran tulang dan udara, penting untuk mengevaluasi tingkat penurunan
pendengaran dan untuk menentukan gap udara dan tulang. Audiometri tutur
berguna untuk menilai ‘speech reception threshold’ pada kasus dengan tujuan
untuk memperbaiki pendengaran.7
Pemeriksaan penala adalah pemeriksaan sederhana untuk mengetahui
adanya gangguan pendengaran. Untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan
pendengaran dapat dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni, audiometri
tutur (speech audiometry) dan pemeriksaan BERA (brainstem evoked responce
audiometry) bagi pasien anak yang tidak kooperatif dengan pemeriksaan
audiometri nada murni.5

5. Pemeriksaan radiologi
Radiologi konvensional, foto polos radiologi, posisi Schüller berguna
untuk menilai kasus kolesteatoma, sedangkan pemeriksaan CT scan dapat lebih
efektif menunjukkan anatomi tulang temporal dan kolesteatoma.7

12
6. Pemeriksaan bakeriologik dengan media kultur pada OMSK
Identifikasi kuman didasarkan pada morfologi koloni kuman yang tumbuh
pada media kultur (agar darah) dan uji biokimia. Identifikasi bakteriologik dalam
tubuh manusia (dalam hal ini sekret telinga penderita OMSKBA) masih
mengandalkan teknik kultur murni. 7

2.8 Penatalaksanaan

Pengobatan penyakit telinga kronis yang efektif harus didasarkan pada


faktor faktor penyebabnya dan pada stadium penyakitnya. Dengan demikian pada
waktu pengobatan haruslah dievaluasi faktor-faktor yang menyebabkan penyakit
menjadi kronis, perubahan-perubahan anatomi yang menghalangi penyembuhan
serta menganggu fungsi, dan proses infeksi yang terdapat di telinga. Bila
didiagnosis kolesteatom, maka mutlak harus dilakukan operasi, tetapi obat-obatan
dapat digunakan untuk mengontrol infeksi sebelum operasi.3

A. Pengobatan konservatif
1. Pembersihan liang telinga dan kavum timpani (toilet telinga)
Tujuan toilet telinga adalah membuat lingkungan yang tidak sesuai untuk
perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan media
yang baik bagi perkembangan mikroorganisme. Cara pembersihan liang
telinga (toilet telinga): 3
 Toilet telinga secara kering (dry mopping)
Telinga dibersihkan dengan kapas lidi steril, setelah dibersihkan dapat di
beri antibiotik berbentuk serbuk. Cara ini sebaiknya dilakukan diklinik
atau dapat juga dilakukan oleh anggota keluarga. Pembersihan liang
telinga dapat dilakukan setiap hari sampai telinga kering.

 Toilet telinga secara basah (syringing)


Telinga disemprot dengan cairan untuk membuang debris dan nanah,
kemudian dengan kapas lidi steril dan diberi serbuk antibiotik. Meskipun
cara ini sangat efektif untuk membersihkan telinga tengah, tetapi dapat

13
mengakibatkan penyebaran infeksi ke bagian lain dan ke mastoid.
Pemberian serbuk antibiotik dalam jangka panjang dapat menimbulkan
reaksi sensitifitas pada kulit. Dalam hal ini dapat diganti dengan serbuk
antiseptik, misalnya asam boric dengan Iodine.

 Toilet telinga dengan pengisapan (suction toilet)


Pembersihan dengan suction pada nanah, dengan bantuan mikroskopis
operasi adalah metode yang paling populer saat ini. Kemudian dilakukan
pengangkatan mukosa yang berproliferasi dan polipoid sehingga sumber
infeksi dapat dihilangkan. Akibatnya terjadi drainase yang baik dan
resorbsi mukosa.

2. Pemberian antiobiotika topikal


Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dan sekret yang banyak
tanpa dibersihkan dulu, adalah tidak efektif. Bila sekret berkurang/tidak
progresif lagi diberikan obat tetes yang mengandung antibiotik dan
kortikosteroid. Dianjurkan irigasi dengan garam faal agar lingkungan
bersifat asam dan merupakan media yang buruk untuk tumbuhnya kuman.
Cara pemilihan antibiotik yang paling baik dengan berdasarkan kultur
kuman penyebab dan uji resistensi. Obat-obatan topikal dapat berupa
bubuk atau tetes telinga yang biasanya dipakai setelah telinga dibersihkan
dahulu. Bubuk telinga yang digunakan seperti: Acidum boricum dengan
atau tanpa iodine, Terramycin, atau Asidum borikum 2,5 gram dicampur
dengan khloromicetin 250 mg.2
Antibiotika topikal yang dapat dipakai pada otitis media kronik adalah: 1
 Polimiksin B atau polimiksin E. Obat ini bersifat bakterisid terhadap
kuman gram negatif, Pseudomonas, E.coli, Klebsiella, Enterobacter, tetapi
resisten terhadap gram positif, Proteus, B.fragilis, toksik terhadap ginjal
dan susunan saraf.
 Neomisin. Obat bakterisid pada kuma gram positif dan negatif, misalnya :
Stafilokokus aureus, Proteus sp. Resisten pada semua anaerob dan
Pseudomonas. Toksik terhadap ginjal dan telinga.

14
 Kloramfenikol. Obat ini bersifat bakterisid terhadap Staphylococcus
(koagulase positif dan grup A), E. Coli, Proteus, Proteus mirabilis,
Klebsiella, Enterobacter, Pseudomonas.

3. Pemberian antibiotik sistemik


Pemilihan antibiotik sistemik untuk OMSK juga sebaiknya berdasarkan
kultur kuman penyebab. Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1 minggu
dan harus disertai pembersihan sekret profus. Bila terjadi kegagalan
pengobatan, perlu diperhatikan faktor penyebab kegagalan yang ada pada
penderita tersebut. Antibiotika golongan kuinolon (siprofloksasin dan
ofloksasin) yaitu dapat derivat asam nalidiksat yang mempunyai aktifitas
anti pseudomonas dan dapat diberikan peroral. Tetapi tidak dianjurkan
untuk anak dengan umur dibawah 16 tahun. Metronidazol mempunyai
efek bakterisid untuk kuman anaerob. Metronidazol dapat diberikan
dengan dan tanpa antibiotik (sefaleksin dan kotrimoksasol) pada OMSK
aktif, dosis 400 mg per 8 jam selama 2 minggu atau 200 mg per 8 jam
selama 2-4 minggu). 4

B. Tindakan Pembedahan

Pengobatan yang tepat untuk OMSK maligna adalah operasi. Pengobatan


konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara
sebelum dilakukan pembedahan. Ada beberapa jenis pembedahan atau tehnik
operasi yang dapat dilakukan pada OMSK dengan mastoiditis kronis, terutama
yang berhubungan dengan pasien ini (OMSK tipe maligna), antara lain:1
 Mastoidektomi radikal: Dilakukan pada OMSK maligna dengan infeksi
atau kolesteatom yang sudah meluas. Tujuan operasi ini adalah untuk
membuang semua jaringan patologik dan mencegah komplikasi ke
intrakranial. Tidak memperbaiki pendengaran.
 Timpanoplasti dengan pendekatan ganda (Combined Approach
Tympanoplasty): Dikerjakan pada kasus OMSK tipe maligna atau OMSK
tipe benigna dengan jaringan granulasi yang luas. Tujuan operasi untuk
menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran tanpa

15
melakukan teknik mastoidektomi radikal (tanpa meruntuhkan dinding
posterior liang telinga).

C. Penatalaksanaan Non-Medikamentosa berupa Edukasi pada Pasien

 Pasien perlu diedukasi untuk menjaga kebersihan lingkungan dan


tubuhnya, terutama kebersihan telinga. Hygiene lingkungan sekitar tempat
tinggal juga perlu ditingkatkan. Lingkungan yang kotor dan lembap sangat
beresiko mengalami infeksi bakteri, virus, hingga parasit.3
 Jika operasi telah diputuskan dan dilaksanakan, pasien perlu diberitahu
untuk mengantisipasi hal-hal yang dapat mempengaruhi fungsi
pendengarannya, seperti berenang atau terlibat pada penerbangan pesawat.
Ditakutkan jika pasien lalai, maka fungsi pendengarannya dapat
memburuk. 4

2.9 Komplikasi

Komplikasi OMSK dapat dibagi atas: 9,10


1. Komplikasi intratemporal (komplikasi ekstrakranial) terdiri dari parese
n. Fasial dan labirinitis.
2. Komplikasi ekstratemporal (komplikasi intrakranial) terdiri dari abses
ekstradural, abses subdural, tromboflebitis sinus lateral, meningitis, abses
otak, hidrosefalus otitis.

16
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Puloh Adun
NRM : 1-22-54-72
Umur : 30 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Bogor
Tanggal masuk : 05/01/2020
3.2 Anamnesis

3.2.1 Keluhan Utama


Nyeri telinga kiri

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri telinga sebelah kiri. Keluhan ini sudah
dialami sejak 6 bulan yang lalu dan memberat dalam 2 hari terakhir. Pasien juga
mengeluhkan wajah merot dan tidak bisa menutup mata sebelah kiri. Sebelumnya
pasien mengatakan keluar cairan dari telinga sebelahh kiri kurang lebih 6 bulan
yang lalu, cairan yang keluar berwarna hijau terkadang berwarna kuning, kental
dan berbau. Keluhan keluar cairan awalnya hilang timbul, namun 1 tahun terakhir
muncul terus menerus, terutama pada saat bangun tidur dan terkena panas
matahari yang terlalu lama. Pasien mengeluhkan kepala seperti berdenyut-denyut,
terutama pada saat cairan keluar dari telinga. Pasien juga mengeluhkan penurunan
pendengaran telinga kiri sejak lebih kurang 6 tahun.

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah memiliki keluhan seperti ini sebelumnya.

3.2.4 Riwayat Penggunaan Obat


Pasien tidak ada mengkonsumsi obat sebelumnya

3.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan sama seperti pasien.

17
3.2.6 Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien sering mengorek telinga

3.3 Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Status Present
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 83 kali/menit
Suhu : 36,7oC
Pernapasan : 20 kali/menit
Tinggi badan : 168 cm
Berat badan : 60 kg

3.3.2 Status Generalisata


 Kepala
Rambut : Hitam
Bentuk : Normocephali
Wajah : Asimetris

 Mata
Konjungtiva : Pucat (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Pupil : Bulat isokor, 3mm/3mm
Reflek Cahaya : RCL (+/+) , RCTL (+/+)

 Paru
Inspeksi : Simetris, statis dan dinamis
Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikular (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

18
 Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V LMCS
Perkusi : Batas Jantung
Batas atas : ICS III Linea Mid Clavikula Sinistra
Batas kiri : ICS V Linea Mid Clavikula Sinistra
Batas kanan : ICS IV Linea Para Sternal Dextra
Auskultasi : BJ I > BJ II, bising (-), reguler

 Abdomen
Inspeksi : Simetris, distensi (-), tumor (-)
Palpasi : Soepel, Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani di keempat kuadran abdomen
Auskultasi : Peristalik kesan normal

 Anggota gerak

Superior Inferior
Pemeriksaan
Kanan Kiri Kanan Kiri

Sianosis Negative Negative Negative Negative

Edema Negative Negative Negative Negative

 Genitalia dan Anus


Tidak dilakukan pemeriksaan

19
3.3.3 Status Lokalisata
 Auricular
Bentuk Aurikular : Normotia
CAE : Lapang (+/+), Edema (-/-), Furunkel (-/-),
Membran Timpani : (Intak/ Perforasi subtotal), Refleks cahaya (+/-),
Jaringan granulasi (-/+) , kolesteatoma (-/+)
Sikatrik : -/-
Serumen : Minimal
Sekret : -/+
 Ar Nasal
Deviasi septum : -/-
Konka inferior : Eutrofi/Eutrofi
Mukosa hiperemis : -/-
Pasase udara : +/+
Sekret : -/-

 Ar Orofaring
Bibir : Dalam Batas Normal
Lidah : Dalam Batas Normal
Tonsil : T1-T1, Hiperemis (-/-)
Uvula : Terletak ditengah
Kripta melebar :-/-
Detritus : Tidak ada
Arkus faring :Simetris
Faring : Hiperemis (-), granul (-)
 Ar Coli
Trakhea : Terletak ditengah
Kelenjar tiroid : Tidak teraba pembesaran
Pembesaran KGB : Tidak ada pembesaran KGB
 Ar Maxillofacial
Wajah : Asimetris
Parese nervus fasialis : (-/+)

20
Nyeri tekan sinus
Maxillaris : (-/-)
Ethmoid : (-/-)
Sphenoid : (-/-)
Frontalis : (-/-)

Foto 3.1 Membran timpani auris sinistra

Foto 3.2 Parese nervus fasialis sinistra

21
3.4 Pemeriksaan Penunjang

MSCT Scan kepala irisan axial, coronal tanpa kontras 5 Januari 2020

Kesimpulan : Mastoiditis sinistra

22
Laboratorium 5 Januari 2020

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan

Hematologi

Hemoglobin 14,4 12-15 g/dL

Hematokrit 42 37-47 %

Eritrosit 5,0 4,2-5,4 106/mm3

Leukosit 11,1 4,5-10,5 103/mm3

Trombosit 253 150-450 103/mm3

MCV 85 80-100 fL

MCH 29 27-31 Pg

MCHC 34 32-36 %

RDW 12,9 11,5-14,5 %

MPV 9,4 7,2-11,1 fL

PDW 10,3 fL

Hitung jenis

Eosinofil 2 0-6 %

Basofil 1 0-2 %

Netrofil batang 0 2-6 %

Netrofil segmen 67 50-70 %

Limfosit 15 20-40 %

Monosit 15 2-8 %

Foto Thorax AP 5 Januari 2020

23
Kesimpulan : Cor dan pulmo tidak tampak kelainan

24
3.4.1 Pemeriksaan Fungsi Pendengaran

Tes Penala Dextra Sinistra

Rinne Positif Positif

Schwabach Sama dengan pemeriksa Memendek

Weber Lateralisasi

Kesimpulan Tuli sensorineural Tuli sensorineural

3.5 Diagnosa Kerja


Otitis Media Supuratif Kronik Telinga Kiri Tipe Bahaya Auris Sinistra

3.6 Diagnosis Banding


- Otitis Media Stadium Perforasi
- Otitis Media Difus
- Otitis Eksterna

3.7 Penatalaksanaan
3.7.1 Tindakan operatif

- Timpanomastoidektomy

3.7.2 Terapi Medikamentosa

- IV. Ceftazidine 1gr/12 jam


- IV. Ketorolac 3% 1amp/8 jam
- IV. Omeprazole 40 mg/12 jam
- IV. Methylprednisolon 125 mg/12 jam
- MST 2x10 mg

25
3.8 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
3.9 Edukasi
1. Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit dan komplikasinya
2. Mengatakan kepada pasien untuk tidak mengkorek-korek telinga
3. Menjaga kebersihan telinga dan telinga tetap kering
4. Memberitahukan kepada pasien untuk audiometri kembali pada 2-3 bulan
pasca operasi.

26
BAB IV
ANALISA KASUS

Telah dilakukan pemeriksan pada tanggal 10 Januari 2020, pada seorang


pria berusia 30 tahun dengan diagnosa otitis media supuratif kronik pada telinga
kiri tipe bahaya. Penegakkan diagnosa meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan nyeri telinga kiri bersifat
hilang timbul, keluar cairan dari telinga kiri konsistensi kental berwarna hijau dan
kuning terutama pada saat pagi hari dan saat cuaca panas, disertai penurunan
pendengaran yang dialami sejak awal sakit telinga. Pasien juga mengeluhkan
mukanya yang merot dan sulit menutup mata yang dialami sejak 1 bulan yang
lalu.
Pada pemeriksaan fisik telinga luar tidak ditemukan kelainan bentuk daun
telinga, tidak ada tanda-tanda peradangan, sikatrik, massa dan sekret yang keluar
dari liang telinga. Pada saat dilakukan palpasi ditemukan nyeri tekan dan nyeri
tarik pada retroaurikular telinga kiri. Pada pemeriksaan menggunakan otoskopi
telinga kiri, CAE keadaaan lapang tidak ditemukannya benda asing, furunkel,
massa. Ditemukan adanya secret di liang telinga, jaringan granulasi, dam mukosa
hiperemis. Membrane timpani tidak intak, terdapat perforasi subtotal. Pada
pemeriksaan penala, pada telimga kiri tes rinne positif, tes schawabah
memenedek, tes webber lateralisasi ke telinga kanan. Pada pemeriksaan
maxillofacial, didapatkan parese nervus fasialis sinistra. Pada telinga kanan masih
dalam batas normal.
Pada pemeriksaan penunjang CT-scan non kontras kepala, didapatkan
hasil mastoiditis sinistra. Pemeriksaan audiometri pada telinga kiri dan kanan
didapatkan severe sensorineural hearing loss dan mild sensorineural hearing loss
Keluhan keluar cairan ditelinga kiri disertai perforasi pada membran timpani
dan masih men pada pasien. Selain itu pada pemeriksaan fisik maxillofacial
didapatkan parese nervus fasialis sinistra. Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK)
adalah perforasi membran timpani dengan drainase dari telinga tengah dengan
waktu lebih dari 6-8 minggu. Supurasi kronis dapat terjadi dengan atau tanpa

27
kolesteatoma. Kolesteatoma adalah lesi masa kistik non-kanker yang terbentuk
dari pertumbuhan abnormal dari epitel gepeng berkreatin, debris kreatin dengan
atau tanpa reaksi inflamasi pada tulang temporal. OMSK terbagi menjadi dua
yaitu OMSK tipe tubotimpani atau benigna atau tipe aman dan OMSK tipe
atticoantral atau maligna atau tipe bahaya, oleh karena itu pasien didagnosis
dengan otitis media supuratif kronis tipe bahaya fase aktif. 11,12, 13
Pasien mengeluhkan keluar cairan pada telinga kiri dan pada pemeriksaan
menggunakan otoskop ditemukan perforasi membrane timpani sinistra. Selama
fase aktif, proses infeksi masih berjalan, epitel mukosa telinga tengah mengalami
perubahan menjadi mukosa sekretorik dengan sel goblet yang mengeksresi secret
mucoid atau mukopurulenn. Adanya infeksi aktif dan secret persisten yang
berlangsung lama menyebabkan mukosa mengalami proses pembentukan jaringan
granulasi dana tau polip. Akumulasi secret yang terkumpul pada telinga tengah
akan mengganggu proses drainase. Infeksi kronis maupun infeksi akut berulang
pada hidung, tenggorok dan teliga dapat menyebabkan gangguan fungsi hingga
infeksi dengan akibat otorae terus menerus atau hilang timbul. Peradangan pada
membrane timpani menyebabkan proses kongesti vaskuler, sehingga terjadi suatu
daerah iskemi, selanjutnya terjadi daerah nekrotik yang berupa bercak kuning,
yang bilang disertai tekanan akibat penumpukan secret dalam rongga timpani
dapat mempermudah terjadinya perforasi membrane timpani.12,13,14
Pasien mengeluhkan pendengaran yang berkurang, untuk menilai dan
menentukan jenis tuli dan derajat ketulian pada pasien dibutuhkan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan garputala dan audiometri. Pada pemeriksaan
garputala pada kedua telinga didapatkan hasil pemeriksaan tes Rinne positif, tes
Schwabach memedek, serta pada tes Weber ditemukan lateralisasi ke telinga
kanan, dapat disimpulkan pasien mengalami dan tuli sensorineural. Pada
pemeriksaan audiometri didapatkan hasilnya pada telinga kanan mild
sensorineural hearing lose dan sedangkan pada telinga kiri dengan severe
sensorineural hearing loss.
Infeksi kronik dari telinga tengah dapat menyebabkan edema dari lapisan
telingah tengah, perforasi membran timpani dan rusaknya ossikula auditiva yang
menyebabkan tuli konduktif 20-60 dB. Sedangkan pada tuli sensorineural

28
disebabkan kelainan dari koklearis, saraf kedelapan ataupun saluran auditorik
sentral, pada OMSK tuli sensorineural diakibat rusaknya telinga dalam (koklea)
terutama pada jalur saraf yang membawa sinyal dari telinga dalam ke otak.
Sensorineural hearing loss (SNHL) adalah gangguan kurang pendengaran yang
disebabkan oleh kerusakan pada telinga dalam (koklea), saraf kranial
vertibulokoklearis (N.VIII) atau jalur persarafan dari telinga dalam ke otak.
Gangguan ini merupakan penyebab tersering kurang pendengaran permanen
SNHL, merupakan kemampuan penderita untuk mendengarkan suara yang cukup
keras. Hal ini terlihat ketika penderita mendengarkan suara percakapan biasa
dalam ruangan tenang, suara tersebut tidak terdengar cukup jelas. Pada pasien ini
menderita OMSK tipe bahaya fase aktif telinga kiri disertai dengan sensorineural
hearing loss, gangguan pendengaran disebabkan karena bahan-bahan toksin yang
masuk ke dalam telinga dalam, melalui membrane timpani, menyebabkan
perubahan biokimiawi cairan di telinga dalam, sehingga merusak organ
didalamnya. Bakteri yang paling banyak ditemukan adalah Pseudomonas
aeruginosa, toksin yang dilepaskan oleh bakteri tersebut menyebabkan kerusakan
sel-sel rambut terutama pada basis koklea sehingga menyebabkan tuli
sensorineural. 13,14,15
Pasien juga didapatkan adanya parese nervus fasialis, hal ini disebabkan
oleh komplikasi dari OMSK yang diderita pasien. Parse nervus fasialis adalah
parese otot-otot wajah, pasien tidak dapat menggerakan atau kelemahan otot-otot
wajah sehingga wajah tampak asimetris. Pada kasus OMSK parese nervus fasialis
disebabkan oleh kolesteatom dan atau jaringan granulasi. Pada kasus ini
didapatkan jaringan granulasi, mengakibatkan penekanan nervus fasialis pada
segmen timpani. Letak lesinya dapat terjadi pada region ganglion genikolatum,
segmen mastoid, atau pada kanal auditori interna. Jaringan granulasi adalah
jaringan fibrosa yang terbentuk dari bekuan darah sebagai bagian dari proses
penyembuhan luka, sampai menjadi jaringan parut. Secara histologis terbentuknya
jaringan granulasi ditandai dengan proliferasi pembuluh darah baru
(neovaskularisasi) dan fibroblast. Rekrutmen dan stimulasi fibroblast dikendalikan
oleh banyak factor pertumbuhan seperti transforming growth factor-beta (TGF-b),
sitokin (interleukin 1) dan tumor necrosis factor (TNF) yang disekresikan oleh

29
leukosit dan fibroblast. Neovaskularisasi akan membantu mempercepat proses
granulasi dan normalisasi jaringan, yang berfungsi untuk menyuplai vitamin,
mineral, glukosa dan asam amino untuk memaksimalkan proses penyembuhan
luka. Apabila proses granulasi terus berlanjut yang disebabkan oleh proses infeksi
terus menerus maka jaringan granulasi akan dapat berkembang menjadi polip di
ruang telinga tengah, dan akan dapat merusak jaringan disekitarnya, salah satunya
dapat menekan jalannya nervus fasialis pada segmen timpani.14,15,16
Pada pasien juga didapatkan mastoiditis sinistra yang tampak pada
pemeriksaan ct-scan non kontras. Mastoidits merupakan salah satu komplikasi
yang disebabkan oleh OMSK. Mastoiditis adalah infeksi prosesus mastoid, bagian
tulang temporal yang berada di belakang telinga yang terdiri atas rongga-rongga
udara, cavum timpani, yang berhubungan langsung dengan antrum mastoid.
Infeksi yang terjadi di cavum timpani, sekret yang berada di cavum timpani
masuk ke tulang mastoid dan mengisi rongga-rongga mastoid yang seharusnya
diisi oleh udara.15,16

30
BAB V
KESIMPULAN

Telah dilaporkan satu kasus otitis media supuratif kronik telinga kiri Tipe
bahaya fase Aktif pada seorang laki-laki usia 30 tahun yang ditegakkan
diagnosanya berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Sebagai dokter umum, bila menemukan kasus Otitis Media Supuratif
Kronik telinga kiri Tipe Aman Fase Aktif edukasi yang dilakukan adalah :
 Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit dan komplikasinya
 Mengatakan kepada pasien untuk tidak mengkorek-korek telinga
 Menjaga kebersihan telinga dan telinga tetap kering

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala leher. five. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2012. 57–69 p.

2. WHO. Deaffness and hearing loos. 2017. Switzwerland; 2017.

3. Master A, Wilkinson E, Wagner R. Management of Chronic Suppurative


Otitis Media and Otosclerosis in Developing Countries. Otolaryngol Clin
North Am. 2018;51(3):593–605.

4. Verhoeff M, Van Der Veen EL, Rovers MM, Sanders EAM, Schilder
AGM. Chronic suppurative otitis media: A review. Int J Pediatr
Otorhinolaryngol. 2006;70(1):1–12.

5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia


2016. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan; 2016.
102 p.

6. Avnstorp MB, Homøe P, Bjerregaard P, Jensen RG. Chronic suppurative


otitis media, middle ear pathology and corresponding hearing loss in a
cohort of Greenlandic children. Int J Pediatr Otorhinolaryngol.
2016;83:148–53.

7. Jensen RG, Koch A, Homøe P. The risk of hearing loss in a population


with a high prevalence of chronic suppurative otitis media. Int J Pediatr
Otorhinolaryngol. 2013;77(9):1530–5.

8. Adhikari P, Joshi S, Baral D, Kharel B. Chronic Suppurative Otitis Media


in urban private school children of Nepal. Braz J Otorhinolaryngol.
2009;75(5):669–72.

9. Pelealu OCP. Mekanisme Imun Terbentuknya Kolesteatoma. J Biomedik.


2013;4(2).

32
10. Dubey SP, Larawin V. Complications of chronic suppurative otitis media
and their management. Laryngoscope. 2007;117(2):264–7.

11. Mahidiqbal, Adnan, Ihsanullah, Sharafat RM dan HG. Frequency of


Complication in Chronic Suppurative Otitis Media. J Saidu Med Coll.
2013;3(2):328-30.

12. Basak B, Gayen GC, Das M, Dhar G RR dan DA. Demographic profile of
CSOMin rural tertiary care hospital. IOSR J Pharm. 2014;4(6):43–6.

13. Agus widodo. Otitis Media Efusi. Surabaya: Fakultas Kedokteran


Universitasi Airlangga; 2016. p. 4–5.

14. Khatoon A, Rizvi M, Sultan A, Khan F, Sharma M SI et al. Chronic


suppurative otitis media: a clinicomicrobiological menace. Int J Res Med
Sci. 2015;3(8):1932-6.

15. Chandrashekharayya SH, Kavitha MM, Handi P, Khavasi P DS dan RM.


To study the level of awareness about complications of chronic suppurative
otitis media (CSOM) in CSOM patient. J Clin Diagnostic Res.
2014;8(2):59–61.

16. Adams george L. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta: EGC;
1997. 55–70 p.

33

Anda mungkin juga menyukai