Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III


KASUS MENINGITIS

Di Susun Oleh :
Kelompok 4

1. Ignatius Manahulending (1814201027)


2. Merry Kansil (1814201121)
3. Diani Maarial (1814201137)

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA MANADO


FAKULTAS KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan
karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada
waktunya. Makalah ini tentang “Asuhan Keperawatan Pada anak dengan Meningitis”.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk menyelesaikan tugas Mata Kuliah Keperawatan
Medikal Bedah III.

Semoga makalah ini dapat membantu dalam melancarkan proses belajar penulis
maupun teman-teman lain. Dengan segala kerendahan hati, kami menyampaikan bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan sehingga diperlukan kritik dan saran yang sifatnya
membangun untuk penyempurnaan makalah ini. Jika ada kesalahan dari penyusunan
makalah ini mohon dimaafkan, dan semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.

Manado, 25 Oktober 2020

Kelompok 4

DAFTAR ISI
ii
HALAMAN JUDUL............................................................................ i
KATA PENGANTAR.......................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................. 1
1.1 Latar Belakang................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................ 1
1.3 Tujuan Penulisan............................................................. 2
1.4 Manfaat Penulisan........................................................... 2

BAB II TINJAUAN TEORI............................................................... 3


2.1 Definisi............................................................................ 3
2.2 Anatomi dan Fisiologi..................................................... 3
2.3 Klasifikasi........................................................................ 4
2.4 Penyebab.......................................................................... 5
2.5 Patofisiologi..................................................................... 6
2.6 Tanda dan Gejala............................................................. 7
2.7 Patoflowdiagram.............................................................. 9
2.8 Penatalaksanaan............................................................... 10

BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN............................. 11


3.1 Pengkajian........................................................................ 11
3.2 Diagnosa Keperawatan.................................................... 14
3.3 Intervensi Keperawatan................................................... 15
3.4 Deskripsi Kasus............................................................... 17

BAB IV PENUTUP............................................................................ 22
4.1 Kesimpulan...................................................................... 22
4.2 Saran................................................................................ 22

DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Meningitis adalah radang pada meningen (selaput) yang mengelilingi otak dan medulla
spinalis (Muttaqin, 2008). Meningitis dapat menyerang semua kelompok umur, meskipun
pada kenyataannya kelompok umur yang paling rawan terkena penyakit ini adalah anak-anak
usia balita dan orang tua (Andareot, 2015). Insidens 90% dari semua kasus meningitis
bacterial terjadi pada anak yang beusia kurang dari 5 tahun, insiden puncak terdapat pada
rentang usia 6 sampai 12 bulan. Rentang usia dengan angka mordibitas tertinggi adalah dari
lahir sampai 4 tahun (Betz & Sowden, 2009)

Meningitis dianggap sebagai darurat medis yang perlu di kenali dan di obati secara dini
untuk mencegah kerusakan neurologis. Disorientasi dan gangguan memori juga sering terjadi
saat penyakit berlanjut, pasien dapat mengalami letargi, tidak responsive dan koma. Selain
itu juga dapat terjadi yang merupakan akibat dari area iritabilitas di otak. ICP (Intracarmial
Pressure) meningkat akibat perluasan pembengkakan di otak atau hidrosefalus. Tanda awal
peningkatan ICP mencakup tingkat kesadaran dan defisit motorik lokal.

Pengetahuan dari orang tua sangat penting untuk mengenali gejala awal meningitis
sehingga anak mendapatkan pengobatan sesegera mungkin dan terhindar dari komplikasi
yang lebih parah. Anak dengan meningitis bakteri akut mengalami hilang pendengaran (0,5-
6,9% tipe sensorineural permanen dan 10,5% reversible) yang banyak terjadi pada anak yang
telah sakit selama 24 jam (Anurogo, 2014).

Perawat berperan penting dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien.


Mortalitas bergantung pada daya tahan tubuh pasien, cepatnya mendapat pengobatan, cara
pengobatan dan perawat lebih sering melakukan perawatan kepada pasien jika mengalami
keluhan, sehingga asuhan yang sering di berikan hanya bersifat biologis. Akibatnya anak
lebih sering mengalami stress hospitalitasi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi meningitis


2. Bagaimana anatomi dan fisiologis meningitis
3. Bagaimana klasifikasi meningitis
4. Apa penyebab meningitis
5. Bagaimana patofisiologi pada meningitis
6. Apa tanda dan gejala meningitis
7. Bagaimana patoflowdiagram dari meningitis
1
8. Bagaimana penatalaksanaan meningitis

1.3 Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum
Mampu mendeskripsikan asuhan keperawatan pada anak dengan kasus
meningitis.

2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan makalah ini adalah di harapkan penulis mampu :
a. Untuk mengetahui Definisi meningitis
b. Untuk mengetahui Bagaimana anatomi dan fisiologis meningitis
c. Untuk mengetahui Bagaimana klasifikasi meningitis
d. Untuk mengetahui Apa penyebab meningitis
e. Untuk mengetahui Bagaimana patofisiologi meningitis
f. Untuk mengetahui Apa tanda dan gejala meningitis
g. Untuk mengetahui Bagaimana patoflowdiagram dari meningitis
h. Untuk mengetahui Bagaimna pentalaksanaan meningitis

1.4 Manfaat Penulisan

1. Makalah ini dapat mengaplikasikan dan menambah wawasan ilmu pengetahuan.


2. Dapat memberikan sumbangan pikiran bagi mahasiswa untuk menambah wawasan dan
pengembangan ilmu pengetahuan dalam penerapan asuhan keperawatan dengan kasus
meningitis.

BAB II
2
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi

Meningitis adalah radang meningen (selaput) yang mengelilingi otak dan medulla
spinalis (Muttaqin,2008). Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan
serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf
pusat (Suriadi & Yuliani, 2010).
Infeksi meningeal biasanya muncul melalui aliran darah akibat infeksi lain (selulitis)
atau melalui perluasan langsung (setelah cedera traumatic pada tulang wajah).
Meningitis bacterial atau meningokokal juga muncul sebagai infeksi oportunis pada
pasien AIDS dan sebagai komplikasi dari penyakit limfe (Brunner & Suddart, 2013).

2.2 Anatomi dan Fisiologi

Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbgai fungsi
yang berbeda dan saling mempengaruhi. Satu fungsi saraf terganggu secara fisiologis
akan berpengaruh terhadap fungsi tubuh yang lain. Sistem saraf dikelompokan menjadi
dua bagian besar yaitu susunan saraf pusat/central nervous system (CNS) dan susunan
saraf perifer/peripheral nervous system (PNS). Susunan saraf pusat terdiri dari otak dan
medulla spinalis, sedangkan saraf perifer terdiri atas saraf-saraf yang keluar dari medulla
spinalis 31 pasang. Menurut fungsinya saraf perifer dibagi atas saraf afferent (sensori)
dan efferent (motorik).

Saraf afferent (sensorik) menghantarkan informasi dari reseptor-reseptor khusus


yang berada pada organ permukaan atau bagian dalam ke otak. Saraf efferent (motorik)
menyampaikan informasi dari otak ke medulla spinalis ke organ-organ tubuh seperti otot
rangka, otot jantung, otot-otot bagian dalam kelenjar-kelenjar. Saraf motorik memiliki
dua subdivisi yaitu devisi otonomik. Devisi somatic (volunteer) berperan dalam interaksi
antara tubuh dengan lingkungan luar. Serabut saraf berada pada oto rangka. Devisi
otonomik (involunter) mengendalikan seluruh respon involunter pada otot polos, otot
jantung dan kelenjar dengan cara mentransmisi impuls saraf melalui dua jalur yaitu saraf
simpatis yang berasal dari area toraks dan lumbal pada medulla spinalis dan saraf
parasimpatis yang berasal dari area otak dan sakral pada medulla spinalis (Tarwoto,
2009).

Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang,
melindungi struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah dan cairan sekresi
(cairan serebro spinal) lapisan luar terdpat durameter, lapisan tengah disebut arakhnoid,
dan lapisan sebelah dalam disebut piameter (Syaifuddin, 2006).
3
Meningen adalah merupakan jaringan membran penghubung yang melapisi otak
dan medulla spinalis. Ada 3 lapisan meningen yaitu : Durameter, arachnoid dan
piameter. Durameter adalah lapisan yang liat, kasar dan mempunyai dua lapisan
membran. Arachnoid adalah membrane bagian tengah, tipis dan berbentuk seperti laba-
laba. Sedangkan piameter adalah lapisan paling dalam, tipis merupakan membrane
vaskuler yang membungkus seluruh permukaan otak. Antara lapisan satu dengan
lapisan lainnya terdapat ruang meningeal yaitu ruang epidural merupakan ruang antara
tengkorak dan lapisan durameter, ruang subdural yaitu ruang antara lapisan durameter
dengan membran arachnoid, ruang subarachnoid yaitu ruang antara arachnoid dengan
piameter pada ruang subarachnoid ini terdapat cairan serebrospinalis (ASF) (Tarwoto,
2009).

2.3 Klasifikasi
Menurut Muttaqin (2008), meningitis di klasifikasikan sesuai dengan faktor
penyebabnya antara lain terdiri dari meningitis asepsis, sepsis dan tuberkulosa.
a. Asepsis
Meningitis asepsis mengacu pada salah satu meningitis virus.Meningitis ini
biasanya di sebabkan berbagai jenis penyakit yang di sebabkan virus seperti
gondongan, herpes simpleks dan herpes zooster. Eksudat yang biasanya terjadi
pada meningitis bakteri tidak terjadi pada meningitis virus dan tidak di temukan
organisme pada kultur cairan otak. Peradangan terjadi pada seluruh korteks serebri
dan lapisan otak. Mekanisme atau respons dari jaringan otak terhadap virus
bervariasi tergantung pada jenis sel yang terlibat.

b. Sepsis/ Meningitis Purulenta

4
Meningitis sepsis merupakan meningitis yang di sebabkan oleh organisme bakteri.
Penyebab meningitis bakteri akut yaitu Neisseria meningitidis (meningitis
meningokokus), streptococus pneumoniae (pada dewasa), dan haemophilus
influenzae(pada anak-anak dan dewasa muda).

c. Tuberkulosa
Meningitis tuberculosa di sebabkan oleh basilus tuberkel.Menurut Rich &
McCoredck, Meningitis tuberkulosa terjadi akibat komplikasi penyebaran
tuberkulosis primer, biasanya dari paru. Meningitis terjadi bukan karena
terinfeksinya selaput otak langsung oleh penyebaran hematogen, tetapi biasanya
sekunder melalui pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsum tulang
belakang atau vertebra yang kemudian pecah kedalam rongga arachnoid. Kadang
dapat juga terjadi perkontinuitatum dari mastoiditis atau spondilitis. Pada
pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosa ternyata merupakan
meningoensefalitis. (Ngastiyah, 2012).

2.4 Penyebab
Meningitis merupakan akibat dari komplikasi penyakit lain atau kuman secara
hematogen sampai ke selaput otak, misalnya pada penyakit faringotonsilitis,
pneumonia, bronkopneumonia, endokarditis dan dapat pula sebagai perluasan
kontinuitatum dari peradangan organ/jaringan di dekat selaput otak, misalnya abses
otak, otitis media, mastoiditis, trombosis sinus kavernosus dan lain-lain (Ngastiyah,
2012).

Penyebab meningitis adalah sebagai berikut :


a. Bakteri
Sebagian besar kasus meningitis pada neonatus disebabkan oleh flora dalam
saluran genitalia ibu. Streptokokkus grup B dan Escherichia collimerupakan
patogen yang sangat penting bagi kelompok usia ini. Pada anak berusia 6
bulan atau lebih haemophilus influenzae dan streptococcus pneumoniae

5
merupakan penyebab tersering. Selain itu meningitis juga di sebabkan
mycobacterium tuberculosa yang berawal dari penyakit TBC.
b. Virus: echovirus, coxsackie virus, virus gondongan dan virus imunodefisiensi
c. Faktor maternal: ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu
terakhir kehamilan
d. Faktor imunologi: defesiensi mekanisme imun, defesiensi imunoglobin dan
anak yang mendapat obat-obatan imunosupresi.
e. Anak dengan kelainan sistem saraf pusat , pembedahan atau injury yang
berhubungan dengan sistem persarafan (Suriadi & Yuliani, 2010).

2.5 Patofisiologi
Efek peradangan akan menyebabkan peningkatan cairan cerebro spinalis yang
dapat menyebabkan obstruksi, selanjutnya terjadi hidrosefalus dan peningkatan tekanan
intra kranial. Efek patologi dari peradangan tersebut adalah hiperemi pada meningen,
edema dan eksudasi yang menyebabkan peningkatan intrakranial. Organisme masuk
melalui sel darah merah pada blood brain barrier. Masuknya organisme dapat melalui
trauma, penetrasi prosedur pembedahan, pecahnya abses serebral atau kelainan sistem
saraf pusat. Otorrhea atau rhinorhea akibat fraktur dasar tengkorak dapat menimbulkan
meningitis, dimana terjadi hubungan antara Cerebral spinal fluid (CSF) dan dunia
luar.Masuknya mikroorganisme kesusunan saraf pusat melalui ruang sub arachnoid dan
menimbulkan respon peradangan pada via, arachnoid, CSF dan ventrikel, dari reaksi
radang muncul eksudat dan perkembangan infeksi pada ventrikel, edema dan skar
jaringan sekeliling ventrikel menyebabkan obstruksi pada CSF dan menimbulkan
Hidrosefalus. Meningitis bakteri; netrofil,monosit, limfosit dan yang lainnya
merupakan sel respon radang. Eksudet terdiri dari bakteri fibrin dan leukosit yang di
bentuk di ruang sub arachnoid. Penumpukan pada CSF akan bertambah dan
mengganggu aliran CSF di sekitar otak dan medula spinalis. Terjadi vasodilatasi yang
cepat dari pembuluh darah dapat menimbulkan ruptur atau trombosis dinding
pembuluh darah dan jaringan otak yang berakibat menjadi infarctCSF (Suriadi &
Yuliani, 2010).
2.6 Tanda dan Gejala

6
Menurut Wong, dkk (2010), manifestasi klinis meningitis antara lain:
a. Meningitis bakteri
1) Neonatus: tanda-tanda Spesifik
a) Sangat sulit menegakkan diagnosis
b) Manifestasi penyakit samar dan tidak spesifik
c) Pada saat lahir terlihat sehat tetapi dalam beberapa hari mulai terlihat
dan menunjukkan perilaku yang buruk
d) Menolak pemberian susu/makan
e) Kemampuan menghisap buruk
f) Diare
g) Tonus otot buruk
h) Penurunan gerakan
i) Fontanela yang penuh, tegang dan menonjol dapat terlihat pada akhir
perjalanan penyakit
j) Leher biasanya lemas (supel)
2) Neonatus: tanda-tanda non spesifik
a) Hipotermia atau demam (tergantung maturitas bayi)
b) Ikterus
c) Iritabilitas
d) Mengantuk
e) Kejang
f) Pernapasan ireguler atau apnea
g) Sianosis

h) Penurunan berat badan


3) Bayi dan anak yang masih kecil
a) Demam
b) Pemberian makan buruk
c) Vomitus
d) Iritabilitas yang nyata
e) Serangan kejang ( sering di sertai dengan tangisan bernada tinggi)
f) Fontanela menonjol

7
g) Kaku kuduk dapat terjadi atau tidak terjadi
h) Tanda brudzinski dan kernig tidak membantu dalam
penegakan diagnosis
4) Anak-anak dan remaja
a) Demam
b) Menggigil
c) Sakit kepala
d) Vomitus
e) Perubahan sensorik
f) Kejang
g) Iritabilitas
h) Agitasi
i) Dapat terjadi fotofobia, delirium, halusinasi, perilaku agresif,
mengantuk, stupor, koma dan kaku kuduk
j) Dapat berlanjut menjadi opistotonus
k) Tanda kernig dan brudzinski positif
l) Ruam ptikie atau purpurik (infeksi meningokokus), khusus nya jika
disertai dengan keadaan mirip syok
m) Telinga mengeluarkan sekret yang kronis (meningitis
pneumokokus).
b. Meningitis non bakteri (Aseptik)
Awitan meningitis aseptik bisa bersifat mendadak atau bertahap.
Manifestasi awal adalah sakit kepala, demam, malaise, gejala
gastrointestinal, dan tanda-tanda iritasi meningen yang timbul satu atau dua
hari setelah awitan penyakit. Nyeri abdomen, mual dan muntah merupakan
gejala yang sering ditemukan; nyeri punggung dan tungkai, tukak
tenggorokan serta nyeri dada kadang-kadang di jumpai dan dapat terjadi
ruam mukulopapular. Biasanya semua gejala ini menghilang secara spontan
dan cepat. Anak akan sembuh dalam waktu 3 sampai 10 hari tanpa dampak.

2.7 Patoflowdiagram

8
Virus Bakteri
(Penyebab)

Reaksi peradangan Organisme masuk


serebral ke aliran darah

Gangguan metabolime Reaksi radang dalam


serebral menginem bawah otak

Aliran darah serebral meningitis

Thrombus, aliran darah srebral


Kerusakan adrenal,kolabs
sirkulasi, kerusakan endotel &
nekrosis pembuluh darah Eksudat, purulan menyebar ke dasar
otak dan medula

Infeksi/septicemia jaringan Kerusakan neurologis


otak

Kaku kuduk
Perubahan fisiologis intrakarnial

Peningkatan permeabilitas ke CO2 Meningkat Aktivitas makrofak virus


otak
Pola napas tidak Pelepasan zat pirogen endogen
Bradikardi
efektif
Merangsang kerja berlebihan dari
Risiko perfusi serebral PG ED hipotalamus
tidak efektif
Instabil termogulasi Suhu tubuh sistemik

Hipertermia

2.8 Penatalaksanaan

9
a. Penatalaksanaan Medis
1) Meningitis purulenta :

a) Pemberian cairan secara intravena untuk menghindari


kekurangan cairan/elektrolit akibat muntah-muntah atau diare.
Bila pasien masuk dalam keadaan status konvulsivus, diberikan
diazepam 0,5 mg/kg BB/ kali intravena, dan dapat di ulang
dengan dosis yang sama 15 menit kemudian. Bila kejang belum
berhenti, ulangan pemberian diazepam berikutnya (yang ketiga
kali) dengan dosis yang sama diberikan secara intramuskular.
b) Setelah kejang dapat di atasi, diberikan fenobarbital dosis awal
untuk neonatus 30 mg, anak kurang dari 1 tahun 50 mg dan di
atas 1 tahun 75 mg. Selanjutnya untuk pengobatan rumat
diberikan fenobarbital dengan dosis 8-9 mg/kg BB/hari di bagi
dalam 2 dosis, diberikan selama 2 hari.
c) Berikan ampisisilin intravena sebanyak 400 mg/kg BB/ hari di
bagi dalam 6 dosis di tambah kloramfenikol 100 mg/ Kg BB/hari
intravena dibagi dalam 4 dosis . Pada hari ke-10 pengobatan di
lakukan pungsi lumbal ulangan dan bila ternyata menunjukkan
hasil yang normal pengobatan tersebut di lanjutkan 2 hari lagi.
Tetapi jika masih belum normal pengobatan di lanjutkan dengan
obat yang sama seperti di atas atau di ganti dengan obat yang
sesuai dengan hasil biakan dan uji resisten kuman.

BAB III

10
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1.1 Pengkajian
1. Pengkajian
Pengkajian pada pasien dengan kasus meningitis meliputi :
a. Identitas Pasien
Identitias pasien yang perlu dikaji meliputi : nama, tempat tanggal lahir/umur,
jenis kelamin, berat badan lahir, serta apakah bayi cukup bulan atau tidak, anak
ke, jumlah saudara dan identitas orang tua.

b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Alasan anak di bawa ke rumah sakit karena mengalami demam tinggi, sakit
kepala berat, kejang dan penurunan kesadaran.
2) Riwayat penyakit saat ini
Biasanya pasien meningitis keluhan gejala awal berupa sakit kepala dan
demam. Keluhan kejang perlu mendapat perhatian untuk dilakukan
pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat timbulnya kejang, stimulus apa
yang sering menimbulkan kejang dan tindakan apa yang telah diberikan dalam
upaya menurunkan keluhan kejang tersebut. Terkadang pada sebagian anak
mengalami penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran, keluhan
perubahan perilaku juga umum terjadi, sesuai dengan perkembangan penyakit
dapat terjadi letargi, tidak responsif dan koma.
3) Riwayat penyakit dahulu
Pasien meningitis biasanya pernah memiliki riwayat penyakit yang meliputi :
infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit dan
hemoglobinopatis lain, tindakan bedah saraf, riwayat trauma kepala dan
adanya pengaruh imunologis pada masa sebelumnya. Meningitis tuberkolosis
perlu dikaji tentang riwayat sakit TB. Riwayat imunisasi juga perlu di ketahui
seperti pemberian imunisasi BCG dan DPT Hib pada anak. Selain pengkajian
tentang riwayat kehamilan pada ibu diperlukan untuk melihat apakah ibu
pernah mengalami penyakit infeksi pada saat hamil (Muttaqin,2008).
4) Pengkajian pertumbuhan dan perkembangan anak
Pada pasien dengan meningitis organ yang mengalami gangguan adalah organ
yang berdekatan dengan fungsi memori, fungsi pengaturan motorik dan
sensorik, maka kemungkinan besar anak mengalami masalah ancaman
pertumbuhan dan perkembangan seperti retardasi mental, gangguan
kelemahab atau ketidakmampuan menggerakkan tangan maupun kaki
(paralisis). Akibat gangguan tersebut anak dapat mengalami keterlambatan
dalam mencapai kemampuan sesuai dengan tahap usia.

11
2. Pemeriksaan Fisik
1) Tingkat kesadaran
Kesadaran anak menurun apatis sampai dengan koma. Nilai GCS yang
berkisar antara 3 sampai dengan 9 (GCS normal 15) (Riyadi & Sukarmin,
2009).

2) Tanda-tanda vital
Pada pasien dengan meningitis biasanya di dapatkan peningkatan suhu tubuh
lebih dari normal. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-
tanda peningkatan TIK, pernapasan meningkat >30x/menit dan tekanan darah
biasanya normal atau meningkat karena tanda-tanda peningkatan TIK. (suhu
normal 36,5-37,40C, pernapasan normal : untuk anak 2 bulan -<12 bulan <
50x/menit, 12 bulan -<5 tahun < 40x/menit). Muttaqin, 2008).

3) Kepala
Pada neonates di temukan ubun-ubun menonjol, sedangkan pada anak yang
lebih besar jarang di temukan kelainan. Pada pemeriksaan meningeal pada
anak dengan meningitis akan ditemukan kuduk kaku. Terkadang perlu
dilakukan pemeriksaan lingkar kepala untuk mengetahui apakah ada
pembesaran kepala pada anak.

4) Mata
Pada pasien dengan kesadaran yang masih baik fungsi dan reaksi pupil
biasanya tidak ada kelainan, sedangkan pada pasien dengan penurunan
kesadaran tanda-tanda perubahan dari fungsi dan reaksi pupil mungkin akan di
temukan dengan alasan yang tidak di ketahui pasien meningitis mengeluh
mengalami fotofobia atau sensitif yang berlebihan terhadap cahaya.

5) Hidung
Biasanya tidak di temukan kelainan

6) Mulut
Mukosa bibir kering akibat kehilangan cairan melalui proses evaporasi.

7) Telinga
Terkadang di temukan keluarnya cairan dari telinga pada anak dengan
meningitis pneumokokus dan sinus dermal congenital terutama di sebabkan
oleh infeksi E.colli.

8) Dada

12
a) Thoraks
1. Inspeksi, akan Nampak penggunaan otot bantu pernapasan
2. Palpasi, pada pasien dengan meningitis jarang dilakukan dan biasnya
tidak ditemukan kelainan.
3. Auskultasi, ditemukannya bunti nfas tambahan seperti ronkhi pada
pasien dengan meningitis tuberkulosa dengan penyebaran primer dari
paru.
b) Jantung
Penurunan kesadaran pada anak akan di ikuti dengan denyut jantung yang
terkesan lemah < 100x/menit. (normal 100-140x/menit).

9) Kulit
Pada kulit saat inspeksi akan ditemukan ruam petekia dengan lesi purpura
sampai ekimosis pada daerah luas. Selain itu turgor kulit mengalami
penurunan akibat peningkatan kehilangan cairan.

10) Ekstremitas
Kekuatan otot menurun dan mengalami opistotunus. Pada tahap lanjut anak
mengalami gangguan koordinasi dan keseimbangan pada alat gerak.

11) Genitalia, jarang di temukan kelainan

12) Pemeriksaan saraf cranial


a) Saraf I, biasanya pada pasien dengan meningitis fungsi penciuman tidak
ada kelainan.
b) Saraf II, tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan
papiledema mungkin didapatkan terutama pada meningitis supuratif
disertai abses serebri dan efusi subdural yang menyebabkan terjadinya
peningkatan TIK berlangsung lama.
c) Saraf III, IV dan VI, pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada pasien
dengan meningitis yang tidak di sertai penurunan kesadaran biasanya
tanpa kelainan. Pada tahap lanjut meningitis yang telah mengganggu
kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan reaksi pupil akan di
dapatkan. Dengan alasan yang tidak di ketahui pasien meningitis
mengeluh mengalami fotofobia atau sensitive yang berlebihan terhadap
cahaya.
d) Saraf V, pada pasien dengan meningitis biasanya tidak didapatkan paralis
pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tida ada kelainan.
e) Saraf VII, persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris.
f) Saraf VIII, tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
g) Saraf IX dan X, kemampuan menelan baik.
13
h) Saraf XI, tidak ada atrofi otot strenokleidomastoides dan trapezius.
Adanya usaha dari pasien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk.
i) Saraf XII, lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi serta indera pengecap normal.

13) Sistem motorik


Kekuatan otot menurun, mengalami gangguan koordinasi pada alat gerak,
anak bisa mengalami hemiplegic dan /atau hemiparise.

14) Pemeriksaan ransangan meningeal


a) Kaku kuduk
Kaku kuduk adalah tanda awal. Adanya upaya untuk fleksi kepala
mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher. Fleksi
paksaam menyebabkan nyeri berat.
b) Tanda kernig positif
Ketika pasien di baringkan dengan paha dalam keadaan fleksi kearah
abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna.
c) Tanda brudzinski
Tanda ini di dapatkan apabila leher pasien di fleksikan, maka hasilnya
fleksi lutut dan pinggul, bila di lakukan fleksi pasif pada ekstremitas
bawah pada salah satu sisi, maka gerakan yang sama terlihat pada sisi
ekstremitas yang berlawanan (Muttaqin, 2008).

3.2 Diagnosa Keperawatan

a. Risiko perfusi serebral tidak efektif d.d cedera kepala


b. Pola napas tidak efektif b/d hambatan upaya napas
c. Hipertermia b/d peningkatan laju metabolisme

3.3 Intervensi Keperawatan

14
No Diagnosa keperawatan Intervensi Rasional
. (observasi)
1. Risiko perfusi serebral - Identifikasi penyebab - Mengetahui
tidak efektif d.d cedera
peningkatan TIK penyebab
kepala
- Monitor TTV terjadinya
- Monitor MAP (mean tekanan
arterial pressure) intracranial
- Monitor penurunan - Untuk
tingkat kesadaran mengetahui
- Monitor intake dan keadaan umum
output cairan
pasien
- Untuk
mengetahui
tekanan arteri
pasien selama
satu siklus
jantung
- Mengetahui
tingkat
kesadaran pasien
- Untuk
mengatahui
cairan yang
masuk dan
keluar dalam
tubuh pasien
2. Pola napas tidak efektif - Monitor pola napas - Untuk
b/d hambatan upaya
(frekuensi, mengetahui
napas
kedalaman,usaha kecepatan
napas) biasanya
- Monitor bunyi napas meningkatkan
tambahan (mis. dyspnea dan
Gurgling, mengi, terjadi
wheezing, ronkhi peningkatan

15
kering). kerja napas,
- Posisikan semi fowler kedalaman
atau fowler pernapasan
- Kolaborasi pemberian bervariasi
bronkodilator, tergantug derajat
ekspektoran, gagal napas.
mukolitik, jika perlu. - Untuk
mengetahui
kegagalan
pernapasan.
- Untuk membantu
ekspansi paru.
- Mempercepat
penyembuhan.
3. Hipertermia b/d - Identifikasi penyebab - Untuk
peningkatan laju
hipertermia (mis. mengetahui
metabolisme
Dehidrasi, terpapar penyebab
lingkungan panas, hipertermia.
penggunaan - Untuk
inkubator). mempertahankan
- Monitor suhu tubuh. suhu badan tetap
- Sediakan lingkungan normal.
yang dingin. - Untuk
- Kolaborasi pemberian mengurangi
cairan dan elektrolit demam
intravena, jika perlu. - Untuk
mengurangi
demam dan
mempertahankan
kan suhu tubuh
tetap normal.

16
3.4 Deskripsi Kasus

An.Z perempuan berusia 7 tahun datang ke RSUP Dr. M Djamil Padang pada tanggal 27
April 2017 pukul 24.56 WIB melalui IGD rujukan dari RSI Yasri Bukit Tinggi. Pasien
datang dengan keluhan demam selama 2 minggu, kejang seluruh tubuh sejak 6 jam
sebelum masuk, frekuensi 1 kali, lamanya 10 menit dan mengalami penurunan
kesadaran setelah kejang. An.Z di rawat ruang Akut IRNA Kebidanan dan anak dengan
diagnosa Meningitis Tb.

Hasil pengkajian
An.Z perempuan berusia 7 tahun datang ke RSUP Dr. M Djamil Padang pada
tanggal 27 April 2017 pukul 24.56 WIB melalui IGD rujukan dari RSI Yarsi
Bukit Tinggi. Pasien datang dengan keluhan demam selama 2 minggu, kejang
seluruh tubuh sejak 6 jam sebelum masuk, frekuensi 1 kali, lamanya 10 menit
dan mengalami penurunan kesadaran setelah kejang. An.Z di rawat di ruang
Akut IRNA Kebidanan dan anak dengan diagnosa medis Meningitis TB.

Riwayat kesehatan sekarang yang di dapatkan saat pengkajian tanggal 24 Mei


2017 pukul 14.30 WIB dengan hari rawatan ke-28, anak mengalami penurunan
kesadaran, tampak lemah dan nafas sesak, Ayah mengatakan anak demam, batuk
berdahak, refleks batuk lemah, tidak mampu bicara dan hanya mengerang.

Sedangkan Riwayat kesehatan dahulu yang dimiliki An.Z adalah sering


mengeluh sakit kepala, kemudian di belikan obat di warung namun sakit kepala
tidak hilang. pasien juga mengalami demam selama 2 minggu. Badan sudah
tampak kurus 3 bulan sebelum masuk RS dan tidak ditimbang. Pasien memiliki
riwayat kontak dengan penderita Tb (saudara laki-laki ayah), menderita TB
selama 2,5 tahun dan sudah mendapat obat OAT. An.Z tidak memiliki Riwayat
trauma kepala dan riwayat keluar cairan dari telinga.
Riwayat prenatal di dapatkan selama masa kehamilan istrinya tidak pernah
menderita penyakit yang berat. Ny.Y memeriksakan kehamilannya ke bidan
dengan teratur, Persalinan secara spontan dan di bantu oleh Bidan di Klinik
dengan usia kehamilan cukup bulan. Saat lahir bayi langsung menangis berat
badan lahirnya 2300 gr dan panjang lahir 40 cm. An.Z mendapatkan ASI eklusif
dan imunisasi yang lengkap.

Hasil pemeriksaan fisik didapatkan data GCS 9 (E4V2M3), TD 110/70


mmHg (Normal 120/80 mmHg), HR 87 x/i (Normal 60-100x/i), T 37,8 0 C
(Normal 36-37,5oC), RR 30 x/i. Hasil pengukuran BB 14,5 kg dan TB 105 Cm.
Pada pemeriksaan kepala di temukan bentuk kepala normal, mata simetris kiri
dan kanan, refleks pupil positif, sklera tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis.

17
Pada pasien tidak ditemukannya pernapasan cuping hidung. pasien terpasang
NGT serta O2 binasal kanul dengan kosentrasi 2L/i. Pemeriksaan bibir ditemukan
bibir kering dan pecah-pecah, lidah kotor dan rongga mulut kurang bersih
sedangkan pada telinganya tidak ada infeksi, dari telinga tidak ada keluar cairan
dan pada leher tidak ditemukannya kaku kuduk.

Hasil inspeksi pada paru-paru di dapatkan thoraks simetris kiri dan kanan,
terdapat tarikan dinding dada, saat di palpasi premitus kiri dan kanan sama, saat
di perkusi terdengar redup dan di auskultasi terdengar bronkial
dan ronkhi. Pemeriksaan jantung tidak ada masalah, iramanya reguler.

Pemeriksaan abdomen di dapatkan tidak ada asites dan bising usus normal.
Pada Ekstremitas atas kanan terpasang infus, sedangkan pada ekstremitas
bawah tampak kaku, spastik dan ekstensi abnormal. Pemeriksaan kulit
ditemukannya ruam kemerahan di seluruh tubuh, teraba panas, akralnya
hangat dan CRT kembali dalam 3 detik, tanda Kernig sign dan brdudzinski
tidak ditemukan. Pemeriksaan genitalia tidak ada kelainan, bentuk normal dan
lengkap.

Kegiataan aktivitas An.Z memiliki kebiasaan makan 3 x sehari, jenis nasi, lauk
dan sayur. Pola makan teratur dan habis. Jenis minum air putih, frekuensi minum
lebih dari 5 gelas/ hari. Tn.F mengatakan selama di rawat di rumah sakit An.Z
makan melalui NGT dengan Jenis MC 6x200 cc dan di berikan secara teratur.
Ketika sehat An.Z jarang tidur siang, tidur malam ± 10 jam/ hari dan teratur. Saat
di rawat anak tidur siang ± 2 jam dan tidur malam selama ± 7 jam, anak sering
terbangun. eliminasi BAB dan BAK di rumah sakit memakai pempers. BAK
warna normal, frekuensi 3-4x/hari cc/hari, tidak ada masalah BAK. sedangkan
BAB frekuensi 2x/ hari, warna kuning, konsistensi lunak dan tidak ada masalah.
ketika sehat An.Z mandi 2x sehari. Sedangkan selama di RS An.Z mandi lap
1x/hari, tidak pernah cuci rambut dan sikat gigi.

Hasil pemeriksaan diagnostik di peroleh data sebagai berikut: Pada tanggal 16


Mei 2017 didapatkan hasil
Hb 10,7 gr/dl (Normal 12-16), leukosit 8.620/mm3 (Normal 6000-18.000),
trombosit 229.000/mm3 (Normal 150.000-400.000), dan hematokrit 30%
(Normal 37-43%). Tanggal 18 Mei 2017 di dapatkan hasil pemeriksaan kalsium
8 mg/dl (Normal 8,1-10,4), natrium 132 mmol/L (Normal 136-145),
kalium 3,1 mmol/L (Normal 3,5-5,1) dan korida serum 107 mmol/L (Normal
97-111).

Hasil pemeriksaan Lumbal Pungsi pada tanggal 4 Mei 2017 di dapatkan hasil
volume ± 2 CC, kekeruhan negatif, warna bening, jumlah sel 8/mm3 dan glukosa
44 mg/dl.

Terapi pengobatan yang di dapatkan oleh pasien adalah INH 1x150 mg, luminal

18
2x30 gr, etambutol 1x250 mg, diazepam 3x1 mg, rifampisin 1x225 mg, Prednison
3x10 mg, pirazinamid 1x300 mg, Asam folat 1x1 mg, Ambroxol sirup 3x1/2 sdt,
Bicnat 3x3/4 tablet, Vit B6, diamox 3x150 gr, paracetamol 4x150 mg, , IVFD
KaEN 1 B 22 tts/i.

No Diagnosa keperawatan
.
1. Setelah dilakukan pengkajian dan di dapatkan diagnosa keperawatan :
Risiko perfusi serebral tidak efektif beruhubungan dengan cedera
kepala, dengan data subjektif: ayah mengatakan anak demam, batuk
berdahak, refleks batuk lemah, tidak mampu bicara dan hanya mengerang.
Data objektif: GCS 9 (E4V2M3), ekstremitas bawah kaku, ransangan
meningeal negatif, badan teraba panas T 37,8 oC, TD 110/70 mmHg,
HR
87x/i, P 30x/i, Hb 10,7 gr/dl, dan hasil pemeriksaan LP volume ± 2 CC,
kekeruhan negatif, warna bening, jumlah sel 8/mm 3 dan glukosa 44
mg/dL
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas :
dengan data subjektif: ayah mengatakan anak batuk berdahak, refleks
batuk lemah dan tampak sesak. Data objektif: terdapat tarikan dinding
dada, saat auskultasi terdengar bronkial dan ronkhi, TD 110/70 mmHg, P
30 x/i, T 37,80C, HR 87x/i.
3. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme :
dengan data subjektif: ayah mengatakan anak demam dan badannya
panas. Data objektif: kulit pasien teraba panas, TD 110/70 mmHg, P 30 x/i,
T 37,80C, HR 87x/i.

19
1. Intervensi keperawatan :
Rencana keperawatan untuk diagnosa pertama Risiko perfusi serebral
tidak efektif di tandai dengan cedera kepala, tujuannya, mencegah
peningkatan TIK dan terjadinya kejang. Intervensinya adalah
- Identifikasi penyebab peningkatan TIK
- Monitor TTV
- Monitor MAP (mean arterial pressure)
- Monitor penurunan tingkat kesadaran
- Monitor intake dan output cairan

Rencana keperawatan untuk diagnosa kedua Pola napas tidak efektif


berhubungan dengan hambatan upaya napas, tujuannya, Frekuensi
pernapasan normal , irama pernapasan reguler, adanya kemampuan untuk
mengeluarkan sekret dan tidak ada penggunaan otot bantu pernapasan.
Intervensinya adalah :
- Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman,usaha napas)
- Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, wheezing,
ronkhi kering).
- Posisikan semi fowler atau fowler
- Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika
perlu.

Rencana keperawatan untuk diagnosa ketiga Hipertemia berhubungan


dengan peningkatan laju metabolisme, tujuannya pernapasan pasien
normal, tidak terjadi perubahan warna kulit, mencegah terjadinya kejang
dan Sakit kepala. Intervensi nya adalah :
Identifikasi penyebab hipertermia (mis. Dehidrasi, terpapar
lingkungan panas, penggunaan inkubator).
Monitor suhu tubuh.
Sediakan lingkungan yang dingin.
Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena, jika
perlu.
2. Implementasi Keperawatan :
Implementasi yang dilakukan pada pasien selama pengelolaan kasus
adalah sebagai berikut : Untuk diagnosa pertama Risiko perfusi serebral di
tandai dengan cedera kepala, tindakan yang dilakukan :
- Mengidentifikasi penyebab peningkatan TIK
- Memonitor TTV
- Memonitor MAP (mean arterial pressure)
- Memonitor penurunan tingkat kesadaran
- Memonitor intake dan output cairan

Untuk diagnosa kedua Pola napas tidak efektif berhubungan dengan


hambatan upaya napas, tindakan yang di lakukan :
- Memonitor pola napas (frekuensi, kedalaman,usaha napas)
- Memonitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, wheezing,
ronkhi kering). 20

- Memposisikan semi fowler atau fowler


- Berkolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik,
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Hasil pengkajian didapatkan data bahwa An.Z mengalami penurunan


kesadaran dan nafas sesak, demam, batuk berdahak, refleks batuk lemah,
tidak mampu bicara dan hanya mengerang, pemeriksaan GCS 9 (E4V2M3),
pemeriksaan rangsangan meningeal tidak ditemukan,TTV di dapatkan TD
110/70 mmHg (Normal 120/80 mmHg), HR 87 x/i (Normal 60-100x/i), T
37,80 C, RR 30 x/i. Ekstremitas bawah spastik dan kaku, kaku serta terdapat
ruam kemerahan di seluruh tubuh. Sedangkan pada By.F Ibu mengatakan
anak demam, badan teraba panas, gelisah dan bayi hanya mampu
merintih.GCS 10 (E4V2M4), pemeriksaan kaku kuduk (-), kernig sign (-),
brudzinski (+), hasil pengukuran TD 160/120 mmHg, suhu 38,4 ºC (36,5-37,5
ºC) , nadi 92 x/i (normal 60-100 x/i) RR 28 x/i, pada mata strabismus,
ekstremitas bawah mengalami spastik dan terdapat ruam kemerahan di
seluruh tubuh.

2. Diagnosa keperawatan pada An.Z yaitu: Risiko perfusi serebral tidak efektif
berhubungan dengan cedera kepala, pola napas tidak efektif berhubungan
dengan hambatan upaya napas dan Hipertermia berhubungan dengan
peningkatan laju metabolisme.
4.2 Saran

Dapat mendeskripsikan pengkajian, diagnosa mendeskripsikan


intervensi dan implementasi keperawatan secara tepat dengan harus terlebih
dahulu memahami masalah dengan baik, serta mendokumentasikan hasil
tindakan yang telah dilakukan dengan benar.
Diharapkan pembaca dapat menggunakan atau memanfaatkan waktu
seefektif mungkin, sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan yang baik
pada pasien dengan kasus meningitis.

21
DAFTAR PUSTKA

Brunner & Suddart. 2013, Keperawatan Medikal Bedah: Edisi 12. Jakarta: EGC

PPNI (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Meisadona, dkk, 2015. Diagnosis dan Tatalaksana Meningitis

Bakterialis.
http://www.kalbemed.com/Portals/6/06_224Diagnosis%20dan%20Tatalak sana
%20Meningitis%20Bakterialis.pdf. Diakses pada tanggal 12 Juni 2017, pukul 24

22
TUGAS KELOMPOK 4

KEPERAWATAN MEDIKA BEDAH III

“JURNAL PENELITIAN MENINGITIS”

Di Susun Oleh :
Kelompok 4

Ignatius Manahulending (1814201027)


Merry Kansil (1814201121)
Diani Maarial (18201137)

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA MANADO


FAKULTAS KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
2020

Sari Pediatri, Vol. 13, No. 4, Desember 293


2011
Kejadian Meningitis Bakterial pada Anak usia 6-
18 bulan yang Menderita Kejang Demam
Pertama
Anggraini Alam
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr.
Hasan Sadikin, Bandung

Latar belakang. Kebijakan melakukan pungsi lumbal pada anak yang menderita kejang demam pertama
sudah ditinggalkan di negara maju seiring dengan penurunan kejadian meningitis bakterial sebagai
keberhasilan imunisasi terhadap Haemophilus influenzae tipe B (Hib) dan Streptococcus pneumonia.
Namun cakupan kedua jenis imunisasi tersebut di negara berkembang masih sangat rendah, sehingga
kebijakan melakukan prosedur pungsi lumbal pada penderita kejang demam pertama masih perlu
dipertimbangkan.
Tujuan. Mengetahui kejadian meningitis bakterial pada pasien yang mengalami kejang demam pertama
pada usia 6-18 bulan.
Metode. Penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang dilaksanakan di Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, dari 1 November 2007 sampai dengan 31 Desember
2010. Subyek penelitian adalah anak usia 6–18 bulan yang mengalami kejang demam pertama. Semua
subyek dilakukan pungsi lumbal, diagnosis meningitis bakterial ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
likuor cerebrospinal (LCS) adalah jumlah sel >7/mm3, perbandingan kadar gula dengan serum <0,4; protein
> 80 mg/dL, apus Gram ditemukan bakteri atau hasil biakan positif.
Hasil. Di antara 183 subyek penelitian, 72 (39,3%) pasien menderita meningitis bakterial yang terutama
ditemukan pada kelompok umur 6–12. Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok meningitis dan
bukan, yaitu lama kejang 15 menit (p=0,001), frekuensi kejang/24 jam (p=0,001), penonjolan ubun-ubun
besar (p=0,001), keluhan muntah, malas minum (p=0,001), serta pernah mendapat antibiotik sebelumnya
(p=0,001). Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa lama kejang 15 menit merupakan faktor utama
yang berhubungan secara bermakna dengan kejadian meningitis bakterialis (OR 15,84, IK95% 4,91–51,11,
p=0,001).
Kesimpulan. Kejadian meningitis bakterial pada kejang demam pertama usia 6–18 bulan masih cukup
tinggi terutama pada usia 6–12 bulan. Lama kejang 15 menit secara bermakna berhubungan dengan
kejadian meningitis bakterial. Disarankan pemeriksaan pungsi lumbal tetap harus dilakukan pada setiap
anak usia kurang dari 18 bulan yang menderita kejang demam pertama terutama apabila mengalami
kejang lebih dari 15 menit. Sari Pediatri 2011;13(4):293-8.

Kata kunci: usia 6–18 bulan, kejang demam pertama, meningitis bakterial, pungsi lumbal

Alamat korespondensi:
Dr. Anggraini Alam, Sp.A(K). Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Bagian
Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/
RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung. Jl. Pasteur 38. Telp. +6222-
2034426, Fax. +6222-2035957

Sari Pediatri, Vol. 13, No. 4, Desember 294


2011
Anggraini Alam: Kejadian meningitis bakterial pada kejang demam pertama

Kejang demam sering dijumpai pada anak, kejang demam me- rupakan tanda dan gejala suatu

K
sering membuat panik orang tua sehingga anak
dibawa ke rumah sakit, namun jarang sekali
berakibat fatal. 1,2 Insidensi
kejang demam bervariasi, yaitu 2%–5% di
Amerika Serikat dan Eropa Barat, 5%–10% di
infeksi SSP,6 namun sejak berbagai penelitian yang
dilaksanakan di negara maju memperlihatkan
risiko meningitis pada anak kejang demam
sederhana setara dengan anak demam tanpa kejang,
yaitu <1,3%, maka tindakan invasif tersebut mulai
India, 8,8% di Jepang, dan 14% di Guam, jarang dilakukan di negara maju.14-18 Meningitis
sedangkan data dari negara berkembang bakterial yang memberikan gejala pertama kejang
lainnya sangat terbatas. Kejang demam demam terjadi pada 24% kasus anak, 19 pada anak
umumnya muncul di sekitar usia 6 bulan usia prasekolah angka kejadian tersebut lebih
sampai 3 tahun, dan insidensi tertinggi pada
usia 18 bulan. Kejang pertama jarang
disebabkan oleh meningitis,3-6 namun apabila
disebabkan meningitis akan menimbulkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi, sehingga
sangat penting memastikan apakah kejang
merupakan manifestasi infeksi susunan saraf
pusat (SSP) atau bukan.7
Meningitis bakterial merupakan infeksi
SSP, terutama menyerang anak usia <2 tahun,
dengan puncak angka kejadian pada usia 6-
18 bulan. 8 Dibandingkan dengan beberapa
dekade yang lalu, pemberian antibiotik hanya
berhasil menurunkan angka kematian
meningitis bakterial sekitar separuh- nya,
sedangkan beberapa infeksi lain dapat ditekan
hingga duaratus kali.9 Penyebab utama
meningitis pada anak adalah Haemophilus
influenzae tipe B (Hib) dan Streptococcus
pneumoniae (invasive pneumococcal
diseases/IPD). Insidens meningitis bakterialis di
negara maju sudah menurun sebagai akibat
keberhasilan imunisasi Hib dan IPD. 10
Kejadian meningitis bakterial oleh Hib
menurun 94%, dan insidensi penyakit invasif
oleh S. pneumoniae menurun dari 51,5-98,2
kasus/100.000 anak usia 1 tahun menjadi 0
kasus setelah 4 tahun program imunisasi
nasional PCV7 dilaksanakan.11,12 Di Indonesia,
kasus tersangka meningitis bakterialis sekitar
158/100.000 per tahun, dengan etiologi Hib
16/100.000 dan bakteri lain 67/100.000, angka
yang tinggi apabila dibandingkan dengan
negara maju.13
Tindakan pungsi lumbal adalah cara yang
sangat penting untuk mengetahui apakah
Anggraini Alam: Kejadian meningitis bakterial pada kejang demam pertama

tinggi.20 Di Indonesia dengan cakupan


imunisasi Hib dan IPD sangat rendah, perlu
dipertimbangkan meningitis bakterial sebagai Hasil
salah satu penyebab kejang demam pertama.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui Didapatkan 259 kasus kejang demam pertama
kejadian meningitis bakterial pada anak anak usia 6–18 bulan berobat ke RSUP Dr.
usia 6–18 bulan yang menderita kejang Hasan Sadikin pada periode 1 November 2007
demam pertama. sampai 31 Desember 2010. Sebagian besar
pasien berasal dari daerah urban sekitar RSUP
Dr. Hasan Sadikin dan belum pernah
Metode

Penelitian observasional analitik dengan


desain potong lintang dilaksanakan di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP
Dr. Hasan Sadikin dari tanggal 1
November 2007 sampai dengan 31
Desember 2010. Subyek penelitian adalah
anak usia 6–18 bulan yang mengalami
kejang demam pertama. Semua subyek
dilakukan pungsi lumbal, diagnosis
meningitis bakterial ditegakkan
berdasarkan hasil pemeriksaan likuor
cerebrospinal (LCS): yaitu jumlah sel
>7/mm3, perbandingan kadar gula dengan
serum <0,4; protein >80 mg/dL, apus LCS
Gram ditemukan bakteri atau hasil kultur
positif. Pasien sindrom epilepsi, kelainan
neurologis kronik (palsi serebral,
hidrosefalus, tumor otak), serta gangguan
metabolik dan elektrolit, tidak
diikutsertakan dalam penelitian.
Variabel lama kejang, jumlah episode
kejang dalam 24 jam, penonjolan ubun-ubun
besar, muntah, malas minum/menetek, serta
pemberian antibiotik sebelum timbul kejang
demam, dibandingkan antara kelompok
yang menderita meningitis bakterial dengan
kelompok yang bukan meningitis bakterial
dengan menggunakan uji tabulasi silang
(metode kai kuadrat) dan uji Fischer exact.
Variabel yang menunjukkan perbedaan
yang bermakna dianalisis lebih lanjut
dengan metode regresi logistik multipel.
Penelitian telah mendapat persetujuan
Bagian Komite Etik Penelitian Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin.
mendapat imunisasi Hib maupun IPD. viridans (1), Enterococcus sp. (1), K. pneumoniae (1),
Enampuluh delapan (26,3%) pasien kejang A. baumannii (1), S. aureus (2), S. hemolyticus (2),
demam pertama menolak tindakan pungsi S. maltophilia (2), M. catarrhalis (2), E. aerogenes
lumbal. Pungsi lumbal dilakukan terhadap 191 (2), S.typhi (2), dan B. cepacia (2). Apus Gram LCS
(73,7%) pasien yang telah menandatangani bakteri gram-positif kokus tersusun duplo didapat
surat persetujuan untuk mengikuti penelitian, dari pasien dengan hasil kultur LCS B. cepacia dan
namun 8 subyek tidak memiliki data LCS S. viridans. Delapan (11,1%) pasien meningitis
lengkap sehingga didapatkan 183 subyek yang meninggal memiliki hasil kultur LCS S. pneumoniae,
dapat dianalisis (Gambar 1). H. influenzae B, S. aureus, S. epidermidis, S.
Di antara 183 subyek, 88 (48,1%) adalah viridans, sedangkan 3 pasien tidak ditemukan
laki- laki dan 95 (51,9%) bayi perempuan, rata- pertumbuhan bakteri. Tidak ada pasien dari
rata usia subyek 11,4 bulan, kisaran suhu tubuh kelompok bukan meningitis yang meninggal.
saat masuk rawat di rumah sakit 37,7–40,50C Tabel 2 memperlihatkan kelompok usia,
(median 38,70C). Jumlah leukosit berkisar jenis kelamin, kondisi kejang, tanda dan gejala
antara 3.000-54.000 (median 18.353/mm3, meningitis, serta riwayat pemberian antibiotik
nilai normal untuk usia 6–18 bulan 5.000– sebelumnya, pada pasien meningitis bakterialis
17.500/mm3).21 Hasil analisis LCS tertera pada dan yang bukan menderita meningitis
Tabel 1. bakterialis.
Didapatkan 72 (39,3%) pasien kejang Ditinjau dari variabel usia subyek,
demam pertama memenuhi kriteria meningitis bakterial lebih sering ditemukan
meningitis bakterial sedangkan 111 (60,7%) pada usia 6-<12 bulan (55,6% versus 36.9%,
pasien bukan meningitis. Semua subyek pada p=0,015), sedangkan pada usia 12–18 bulan
kelompok meningitis bakterial mengalami dan jenis kelamin tidak menunjukkan
peningkatan jumlah sel di atas >7 sel/ mm3, perbedaan bermakna diantara kelompok
pada 37/72 (51,2%) dan 29/72 (40,3%) sub- meningitis bakterial dan non meningitis. Lama
yek berturut-turut disertai dengan kejang 15 menit, frekuensi kejang >1 kali
perbandingan glukosa LCS/darah <0,4 dan dalam 24 jam, penonjolan ubun-ubun besar,
peningkatan nilai protein. Hasil kultur LCS keluhan muntah, malas minum atau menetek,
positif ditemukan pada 20/72 (27,7%) kasus serta telah mendapatkan antibiotik
meningitis, yaitu S. pneumoniae (1), S.

Kejang demam pertama


usia 6–18 bulan dan memenuhi kriteria inklusi (n = 259)

Dilakukan pungsi lumbal


Menolak dilakukan pungsi lumbal
(n = 191)
(n = 68)

Data tidak lengkap Data lengkap


(n = 8) (n = 183)

Meningitis Bukan meningitis


(n = 72) (n =111)

Gambar 1. Alur Penelitian


Sari Pediatri, Vol. 13, No. 4, Desember 295
2011
Tabel 1. Hasil analisis linier serobrospinal
Analisis Rerata n (%) Median Rentang
Jumlah sel (sel/mm3) >7 72 (39,3) 28 4–372
Perbandingan glukosa LCS : darah <0,4 37 (20,2) 0,6 0,15–1,8
Protein (mg/dL) >80 29 (15,8) 189 10–3.206

Sari Pediatri, Vol. 13, No. 4, Desember 296


2011
sebelumnya, terdapat perbedaan bermakna Pembahasan
diantara kedua kelompok.
Untuk mengetahui faktor utama yang Subyek dari penelitian ini dipilih anak usia 6–
paling berperan dalam membedakan antara 18 bulan karena memiliki insidens meningitis
pasien meningitis dan yang bukan, dilakukan bakterial yang lebih tinggi dibandingkan
analisis regresi logistik multipel (Tabel 3). kelompok usia lain. Disamping memiliki
Dari analisis tersebut, lama kejang 15 kesesuaian dengan fokus usia pada rekomendasi
menit adalah faktor risiko yang berhubungan
AAP untuk melakukan evaluasi prosedur
secara bermakna dengan kejadian meningitis
(OR 15,84, IK95% 4,91–51,11, p=0,001). neurodiagnostik pada anak dengan kejang
demam.24
Penelitian kami memperlihatkan kejadian
meningitis bakterialis yang cukup tinggi pada
anak dengan kejang

Tabel 2. Usia, jenis kelamin, gejala umum meningitis, dan riwayat pemberian antibiotik

Meningitis (n=72) Tidak meningitis (n=111)


Variabel n % n % P
Usia (bulan)
6–<12 40 55,6 41 36,9 0.015
12–18 32 44,4 70 63,1
Jenis kelamin
Laki-laki 36 50,0 52 46,8
Perempuan 36 50,0 59 53,2 0,67

Lama kejang (menit)


<15 29 40,3 106 95,5
15 43 59,7 5 4,5 0,001
Episode kejang dalam 24 jam (kali)
1 11 15,3 71 64,0
>1 61 84,7 40 36,0
Ubun-ubun besar menonjol 0,001
Ada 50 69,4 6 5,4
Tidak 22 30,6 105 94,6
Muntah-muntah 0,001
Ya 17 23,6 4 3,6
Tidak 55 76,4 107 63,4 0,001
M alas minum/menetek
Ya 12 16,7 0 0,0
Tidak 60 83,3 111 100,0 0,001
Riwayat pemberian antibiotik
Ada 38 52,8 22 19,8
Tidak 34 47,2 89 80,2 0,001
p<0,05 : bermakna

Tabel 3. Faktor risiko meningitis

IK95%
Faktor risiko Koefisien regresi SE Wald p OR Rendah Tinggi
Usia -0,073 0,487 0,022 0,881 0,930 0,358 2,417
Jenis kelamin 0,540 0,537 1,012 0,314 1,717 0,599 4,920
Lama kejang  15 menit 2,763 0,598 21,371 0,000 15,843 4,911 51,113
UUB menonjol -3,079 0,609 25,528 0,000 0,046 0,014 1,152
Malas minum/menetek -1,239 10,239 0,012 0,911 0,820 0,012 1,001
UUB: ubun-ubun besar
demam pertama usia 6–18 bulan yaitu 39,3%. meningitis. Rosenberg dkk, 26 melakukan
Penelitian di negara berkembang lain seperti di review terhadap pasien meningitis yang
Pakistan, Iran, dan Nigeria, menunjukkan bahwa mendapat antibiotik oral sebelumnya, ternyata
kejadian meningitis ditemukan pada sekitar tanda dan gejala meningitis menjadi tidak khas
25%–30% dari anak yang mengalami kejang yaitu hanya berupa kejang demam. Penelitian
demam.3,20,23 lain bahkan menunjukkan bahwa profil LCS
Namun berbeda apabila dibandingkan mendekati normal dan sulit mendapatkan hasil
dengan di negara maju, dengan semakin apus Gram dan kultur apabila pasien telah
baik keadaan sosioekonomi, pelayanan mendapat antibiotik >12 jam.27
kesehatan, dan cakupan imunisasi Hib dan Hasil penelitian kami diharapkan dapat
IPD, telah menurunkan kejadian meningitis menjadi pertimbangan para klinisi dalam
bakterialis pada anak dengan kejang demam mengelola pasien yang
menjadi 0,4%–1,2%.25
Ditinjau dari segi usia, meningitis bakterial
lebih sering ditemukan pada anak usia 6-<12
bulan yang mengalami kejang demam pertama
(p<0,05). Temuan tersebut harus mendapat
perhatian khusus karena pada anak berusia
muda tanda dan gejala meningitis seringkali
tidak khas sehingga sulit membedakan apakah
kejang demam yang terjadi merupakan tanda dan
gejala meningitis atau bukan meningitis.24
Lama kejang 15 menit pada kelompok
meningitis bakterial ditemukan pada 59,7%
subyek, lama kejang ini termasuk dalam kriteria
kejang demam kompleks.25 Penelitian kami
menunjukkan bahwa lama kejang 15 menit
merupakan faktor risiko utama untuk terjadi
meningitis bakterial pada anak usia 6–18 bulan
yang mengalami kejang pertama. Subyek yang
mengalami kejang sama atau lebih dari 15 menit
memiliki risiko lebih dari 15 kali lipat untuk
mengalami meningitis bakterial dibanding dengan
subyek dengan lama kejang kurang dari 15 menit.
Penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa
meningitis bakterial dengan gejala pertama
kejang demam, pada umumnya kejang demam
yang terjadi berbentuk kejang demam
kompleks.3,20,23
Hal lain yang menarik dari hasil penelitian
kami adalah pemberian antibiotik sebelum anak
mengalami kejang demam pertama memiliki
hubungan dengan gejala meningitis.
Pemberian antibiotik sebelum terjadinya
kejang demam pertama baik sistemik maupun
oral tampaknya berhubungan dengan kejadian
mengalami kejang demam pertama. Penelitian ini merupakan bagian dari Pan-Asia
Tindakan pungsi lumbal perlu dilakukan Epidemiologic Surveillance Network to Assess the Burden
pada anak kejang demam pertama usia 6– of Invasive Pneumococcal Disease.
18 bulan terutama yang mengalami kejang
15 menit, dengan mempertimbangkan pula
kondisi lain seperti pemberian antibiotik Daftar pustaka
sebelumnya serta status imunisasi Hib dan IPD.
1. Hampers LC, Trainer JL, Listernick R. Setting based
The American Academy of Pediatrics pada
practice variation in the management of simple
tahun 2011 menyatakan bahwa status
fibrile
imunisasi Hib dan IPD pasien merupakan
salah satu kondisi yang harus diperhitungkan
dalam menentukan apakah pemeriksaan
neurodiagnostik seperti pungsi lumbal perlu
dilakukan atau tidak.24
Keterbatasan penelitian ini adalah subyek
yang diambil adalah pasien yang datang ke
RSUP Dr. Hasan Sadikin, rumah sakit tipe A
yang merupakan rujukan untuk Propinsi Jawa
Barat. Penelitian lanjutan diperlukan dengan
mengikutsertakan sejawat di fasilitas kesehatan
primer dan di rumah sakit kota/kabupaten
untuk menggambarkan lebih baik kejadian
meningitis bakterial di masyarakat.

Kesimpulan

Prinsip kewaspadaan pada tiap anak usia 6–18


bulan yang mengalami kejang demam pertama
harus diterapkan terutama bila mengalami
kejang 15 menit karena memiliki risiko tinggi
mengalami meningitis bakterial. Tindakan
pungsi lumbal perlu dilaksanakan untuk
memastikan ada/tidaknya meningitis bakterial
atau infeksi SSP lain. Keterlambatan
penegakkan diagnosis dan tata laksana akan
berbahaya bagi keselamatan pasien di samping
meningkatkan kemungkinan kecacatan di
kemudian hari. Penundaan tindakan lumbal
pungsi tidak direkomendasikan pada anak usia
6–18 bulan yang mengalami kejang demam
pertama  15 menit.

Ucapan terima kasih


seizure. Acad Emerg Med 2000; 7:21-7. MB. Utility of lumbar puncture for first simple febrile
2. Verity CM. Do seizures damage the brain? The
epidemio- logical evidence. Arch Dis Child. 1998;78:70-
8.
3. Green SM, Rothrock SG, Clem KJ, Zurcher RF, Mellick
L. Can seizures be the sole manifestation of meningitis
in febrile children? Pediatrics 1993; 92:527-34.
4. American Academy of Pediatrics, provisional
Committee on Quality Improvement, Subcommittee
on Febrile Seizures. Practice parameter: the
neurodiagnostic evaluation of the child with a first
simple febrile seizure. Pediatrics 1996; 97:769-72.
5. Trainor JL, Hampers LC, Krug SE, Listernick R. Children
with first-time simple febrile seizures are at low risk of
serious bacterial illness. Academic Emerg Med 2001;
8:781-7.
6. Rosman NP. Evaluation of the child who convulses with
fever. Pediatr Drugs 2003; 5:457-61.
7. Sadleir LG, Scheffer IE. Febrile seizures. BMJ 2007; 334:
307-11.
8. Novariani M, Herini ES, SY Patria. Faktor risiko sekuele
meningitis bakterial pada anak. Sari Pediatri 2008;
9:342-7.
9. Feigin RD, Cutrer WB. Bacterial meningitis beyond the
neonatal period. Feigin RD, Cherry JD, Demmler-
Harrison GJ, Kaplan SL, penyunting. Textbook of
pediatric infectious diseases. Edisi ke-6. Philadelphia.
Sauders elsevier; 2009. h. 439-71.
10. Golnik A. Pneumococcal meningitis presenting with a
simple febrile seizure and negative blood-culture
result. Pediatrics 2007; 120:c428-33.
11. Suchat A,Robinso K,Wenger JD. Bacterial Meningitis in
The United States in 1995: Active Surveillance Team,
N Engl J Med 1997;337(14):970-6.
12. Black S,Shinefield A, Fireman B the Northern California
Kaiser Permanente Vaccine Study Center Group.
Efficacy, safety and immunogenicity of heptavalent
pneumococcal conjugate vaccinein children.Pediatr
Infect Dis J,2000;19:187-95.
13. Gessner BD, Sutanto A, Linehan M, Djelantik IGG,
Fletcher T, Gerudug K, dkk. Incidences of vaccine-
preventable Haemophilus influenzae type B
pneumonia and meningitis in Indonesian children:
hamlet-randomised vaccine-probe trial. Lancet 2005;
365:43-52.
14. Karande S. Febrile seizure: a review for family
physician. Indian J Medicine 2007; 61:161-72
15. Kimia AA, Capraro AJ, Hummel D, Johnston P, Harper
seizure among children 6 to 18 months of age. of antibiotic pretreatment on cerebrospinal fluid
Pediatrics 2009; 123:6-12. profiles of children with bacterial meningitis. Pediatrics
16. Nigrovic LE, Kuppermann N, Macias CG, Cannavino 2008; 122:726-30.
CR, Moro-Sutherland DM, Schremmer RD, dkk.
Clinical prediction rule for identifying children with
cerebrospinal fluid pleocytosis at very low risk o
bacterial meningitis. JAMA 2007; 297:52-60.
17. Kimia AA, Bne-Joseph EP, Rudloe T, Capraro A,
Sarco D, Hummel D, Johnston P, Harper MB. Yield
of lumbar puncture among children who present
with their first complex febrile seizure. Pediatrics
2010; 126:62-9.
18. Bartra P, Gupta S, Gomber S, Saha A. Predictors of
meningitis in children presenting with first febrile
seizure. Pediatr Neurol 2011; 44:35-9.
19. Chang YC, Guo NW, Huang CC, Tsai JJ. Working
memory of school-age cildren with a history of
febrile convulsions: a population study. Neurology
2001; 57:37-42.
20. Akpede GO, Sykes RM. Convulsions with fever as
a presenting feature of bacterial meningitis
among preschool children in developing
countries. Dev Med Child Neurol 1992; 34:524-9.
21. Pesce MA. Reference ranges for laboratory test
and procedures.Kliegman RM, Behrman RE,
Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia.
Saunders Elsevier; 2007. hlm. 2943-54.
22. Bartra P, Gupta S, Gomber S, Saha A. Predictors of
meningitis in children presenting with first febrile
seizure. Pediatr Neurol 2011; 44:35-9.
23. Ghotbi F, Shiva F. An assessment of the necessity
of lumbar puncture in children with seizure and
fever. J Pak Med Assoc 2009; 59:292-303.
24. American Academy of Pediatrics,
Subcommittee on Febrile Seizures. Febrile
seizures: guideline for neurodiagnostic
evaluation of the child with a simple febrile
seizure. Pediatrics 2011; 127:389-94.
25. National Institutes of Health. Consensus statement:
febrile
seizures—long-term management of children with
fever- associated seizures. Pediatrics 1980;
66:1009–12.
26. Rosenberg NM, Meert K, Marino D. Seizures
associated with meningitis. Pediatr Emerg Care
1992; 8:67-72.
27. Nigrovic LE, Malley R, Macias CG, Kanegaye JT,
Moro-Sutherland DM, Schremmer RD, dkk. Effect

Anda mungkin juga menyukai