Anda di halaman 1dari 25

CASE BASED DISCUSSION

OTOMIKOSIS

Oleh:
I Gede Dimas Kharisma Mahardika
(017.06.0011)

Pembimbing:
dr. I Putu Sudiasa, Sp. THT-KL

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI SMF THT
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANGLI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL – AZHAR MATARAM
2021
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
nikmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyusun dan menyelesaikan
laporan Case Based Discussion dengan judul “Otomikosis”. Laporan Case Based
Discussion ini disusun untuk memenuhi penugasan dalam menempuh kepaniteraan
klinik di bagian SMF THT RSUD Bangli.

Dalam menyelesaikan laporan Case Based Discussion ini, kami banyak


memperoleh bimbingan, petunjuk, dan dukungan dari berbagai pihak. Maka dari itu
izinkan penulis untuk mengucapkan terimakasih kepada :

1. dr. I Putu Sudiasa, Sp. THT-KL selaku pembimbing yang senantiasa


memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan Case Based
Discussion.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi dalam
penyusunan laporan Case Based Discussion.
3. Keluarga tercinta yang senantiasa memberikan dorongan dan motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman saya yang terbatas untuk menyusun
laporan ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat
diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bangli, 20 Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Telinga .................................................................. 2
2.2 Otomikosis ................................................................................................. 6
2.2.1 Definisi ............................................................................................... 6
2.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko ................................................................. 6
2.2.3 Manifestasi Klinis .............................................................................. 7
2.2.4 Patofisiologi ....................................................................................... 8
2.2.5 Diagnosis ............................................................................................ 9
2.2.6 Penatalaksanaan................................................................................ 11
2.2.7 Komplikasi ....................................................................................... 12
BAB III LAPORAN KASUS .............................................................................. 13
3.1 Identitas Pasien ........................................................................................ 13
3.2 Anamnesa ................................................................................................. 13
3.3 Pemeriksaan Fisik .................................................................................... 14
3.4 Diagnosis .................................................................................................. 18
3.5 Planning ................................................................................................... 18
3.6 Follow Up ................................................................................................ 19
3.7 Prognosis .................................................................................................. 19
BAB IV PENUTUP ............................................................................................. 20
4.1 Kesimpulan .............................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Otomikosis adalah infeksi telinga yang disebabkan oleh jamur atau infeksi
jamur yang superficial pada pinna dan meatus auditorius eksternus. Otomikosis
sering terjadi di negara tropis dan subtropis dengan derajat kelembaban yang tinggi
sekitar 70-80% dengan suhu udara sekitar 15-30o C. Prevalensi terjadinya kasus
otomikosis dapat tersebar di seluruh dunia. Sekitar 5-25% dari total kasus otitis
eksterna merupakan kasus otomikosis. Frekuensi terjadinya infeksi ini bervariasi
berdasarkan perbedaan area geografis yang dihubungkan dengan faktor lingkungan
(temperatur, kelembaban relatif) dan dihubungkan juga dengan perubahan musim.
Kondisi ini menyebabkan adanya gatal pada liang telinga, pengelupasan epitel
superficial, dan adanya penumpukan debris yang berbentuk hifa, disertai supurasi
dan nyeri. Spesies yang paling sering menjadi penyebab otommikosis adalah
Aspergillus flavus (42,4%), A. niger (35,9%), A. fumigatus (12,5%), A. candidus
(7,1%), A. terreus (1,6%), dan Paecilomyces variotii (0,5%). Otomikosis bisa
terjadi dengan atau tanpa gejala. Gejala yang paling sering terjadi adalah pruritus.
Namun dapat pula terjadi gejala lain seperti otalgia, otorrhea, kehilangan
pendengaran, dan tinnitus (Lita M, 2016).
Faktor predisposisi dari otomikosis adalah infeksi telinga kronis, obat tetes
telinga, steroid, perenang (telinga basah merupakan predisposisi infeksi jamur),
infeksi jamur lain yang ada di dalam tubuh seperti dermatomikosis atau vaginitis,
status immunocompromised, kekurangan gizi pada anak-anak dan perubahan
hormonal menimbulkan infeksi seperti yang terlihat selama menstruasi atau
kehamilan. Meskipun otomikosis jarang mengancam nyawa, tetapi menjadi
tantangan untuk pasien dan dokter karena membutuhkan perawatan jangka panjang
dan tindak lanjut, dan kendala tingkat kekambuhan yang tinggi. Pengobatan pada
otomikosis selain dengan terapi obat yang adekuat, perlu diperhatikan juga hygiene
dari liang telinga itu sendiri, mengurangi kelembapan dan faktor-faktor
predisposisinya (Lita M, 2016).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Telinga


Telinga merupakan organ yang paling berperan dalam pendengaran dan
keseimbangan tubuh manusia. Telinga manusia menerima dan mentransmisikan
gelombang bunyi ke otak di mana bunyi tersebut akan dianalisa dan
diintrepetasikan. Telinga dibagi menjadi 3 bagian seperti pada gambar 1 (Pearce,
2016).

Gambar 1. Anatomi Telinga

Secara anatomi, organ pendengaran dibagi menjadi telinga luar, telinga


tengah dan telinga dalam.

a. Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga (aurikula), liang telinga (meatus
acusticus eksterna) sampai membran timpani bagian lateral. Daun telinga
dibentuk oleh tulang rawan dan otot serta ditutupi oleh kulit. Kearah liang
telinga lapisan tulang rawan berbentuk corong menutupi hampir sepertiga
lateral, dua pertiga lainnya liang telinga dibentuk oleh tulang yang ditutupi
kulit yang melekat erat dan berhubungan dengan membran timpani. Bentuk
daun telinga dengan berbagai tonjolan dan cekungan serta bentuk liang telinga
yang lurus dengan panjang sekitar 2,5 cm, akan menyebabkan terjadinya
resonansi bunyi sebesar 3500 Hz. Sepertiga bagian luar terdiri dari tulang

2
3

rawan yang banyak mengandung kelenjar serumen dan rambut, sedangkan dua
pertiga bagian dalam terdiri dari tulang dengan sedikit serumen (Pearce, 2016).
Telinga luar mendapatkan suplai darah dari cabang arteri carotis
eksterna, adapun vaskularisasi bagian anterior dari a . Auriculo temporalis (a.
temporalis superficialis), bagian posterior dari a. Auricularis posterior, bagian
medial dari a. Auricularis profunda ( a. Maxillaris) (Pearce, 2016).
Persarafan telinga luar terdiri dari Nervus auricularis mayor cabang
nervus spinalis C2-C3 yang menginervasi kulit auricula dan 1/3 lateral kulit
diatas permukaan prosesus mastoideus. Nervus occipitalis minor (bag C2)
menginervasi kulit auricula 1/3 posterior. Nervus auriculo temporalis
merupakan cabang N. V (trigeminus) yang menginervasi kulit auricula 2/3
anterior, 1/2 bagian anterior KAE dan membrana timpani. Nervus tympanicus,
cabang dari N IX (N glosopharyngeus) yang menginervasi permukaan luar
membran timpani. Nervus Arnold cabang dari nervus vagus (N. X) yang
menginervasi sebagian kecil auricula, 1/2 bagian posterior kanalis auditorius
eksternus dan membran timpani (Pearce, 2016).
Meatus dilapisi oleh kulit, dan sepertiga bagian luarnya mempunyai
rambut, kelenjar sebasea, dan glandula seruminosa. Glandula ini adalah
modifikasi kelenjar keringat yang menghasilkan sekret berwarna coklat
kekuningan yang disebut serumen. Rambut dan serumen merupakan barier yang
lengket, untuk mencegah masuknya benda asing dan berfungsi untuk menolak
air. Folikel rambut banyak terdapat pada 1/3 bagian luar liang telinga. Kelenjar
sebasea pada telinga berkembang baik pada daerah konka, ukuran diameternya
0,5- 2,2mm. Batas akhir untuk bagian telinga luar adalah membrana tympani
(Pearce, 2016).
Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani dan
memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membran ini memiliki
panjang vertikal rata-rata 9-10 mm, diameter antero-posterior kira-kira 8- 9 mm,
dan ketebalannya rata-rata 0,1 mm. Letak membran timpani tidak tegak lurus
terhadap liang telinga akan tetapi miring yang arahnya dari belakang luar ke
muka dalam dan membuat sudut 450 dari dataran sagital dan horizontal.
4

Membran timpani berbentuk kerucut, dimana bagian puncak dari kerucut


menonjol ke arah kavum timpani yang dinamakan umbo. Dari umbo ke muka
bawah tampak refleks cahaya (cone of ligt). Membran timpani mempunyai tiga
lapisan yaitu :
1) Stratum kutaneum (lapisan epitel) berasal dari liang telinga.
2) Stratum mukosum (lapisan mukosa) berasal dari kavum timpani.
3) Stratum fibrosum (lamina propria) yang letaknya antara stratum
kutaneum dan mukosum.
b. Telinga Tengah
Telinga tengah berbentuk kubus yang terdiri dari membrana timpani,
cavum timpani, tuba eustachius, dan tulang pendengaran. Bagian atas membran
timpani disebut pars flaksida (membran Shrapnell) yang terdiri dari dua
lapisan, yaitu lapisan luar merupakan lanjutan epitel kulit liang telinga dan
lapisan dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia. Bagian bawah membran timpani
disebut pars tensa (membran propria) yang memiliki satu lapisan di tengah,
yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin (Pearce,
2016).
Tulang pendengaran terdiri atas maleus (martil), inkus (landasan), dan
stapes (sanggurdi) yang tersusun dari luar kedalam seperti rantai yang
bersambung dari membrana timpani menuju rongga telinga dalam. Prosesus
longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan
inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang
berhubungan dengan koklea. Hubungan antara tulang-tulang pendengaran
merupakan persendian (Pearce, 2016).
Tuba eustachius disebut juga tuba auditori atau tuba faringotimpani
berbentuk seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan
kavum timpani dengan nasofaring. Pada orang dewasa panjang tuba sekitar 36
mm berjalan ke bawah, depan dan medial dari telinga tengah dan pada anak
dibawah 9 bulan adalah 17,5 mm (Pearce, 2016).
Tuba terdiri dari 2 bagian yaitu:
1) Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian).
5

2) Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3
bagian).
Prosessus mastoideus merupakan bagian tulang temporalis yang
terletak di belakang telinga. Ruang udara yang berada pada bagian atasnya
disebut antrum mastoideus yang berhubungan dengan rongga telinga tengah.
Infeksi dapat menjalar dari rongga telinga tengah sampai ke antrum mastoideus
yang dapat menyebabkan mastoiditis (Saladin, 2014).
c. Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari dua bagian, yaitu labirin tulang dan labirin
membranosa. Labirin tulang terdiri dari koklea, vestibulum, dan kanalis semi
sirkularis, sedangkan labirin membranosa terdiri dari utrikulus, sakulus, duktus
koklearis, dan duktus semi sirkularis. Rongga labirin tulang dilapisi oleh
lapisan tipis periosteum internal atau endosteum, dan sebagian besar diisi oleh
trabekula (susunannya menyerupai spons) (Pearce, 2016).
Koklea (rumah siput) berbentuk dua setengah lingkaran. Ujung atau
puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala vestibuli
(sebelah atas) dan skala timpani (sebelah bawah). Diantara skala vestibuli dan
skala timpani terdapat skala media (duktus koklearis). Skala vestibuli dan skala
timpani berisi perilimfa dengan 139 mEq/l, sedangkan skala media berisi
endolimfa dengan 144 mEq/l mEq/l. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar
skala vestibuli disebut membrana vestibularis (Reissner’s Membrane)
sedangkan dasar skala media adalah membrana basilaris. Pada membran ini
terletak organ corti yang mengandung organel-organel penting untuk
mekanisme saraf perifer pendengaran (Pearce, 2016).
Vaskularisasi telinga dalam berasal dari A. Labirintin cabang A.
Cerebelaris anteroinferior atau cabang dari A. Basilaris atau A. Verteberalis.
Arteri ini masuk ke meatus akustikus internus dan terpisah menjadi A.
Vestibularis anterior dan A. Kohlearis communis yang bercabang pula menjadi
A. Kohlearis dan A. Vestibulokohlearis. A. Vestibularis anterior memperdarahi
N. Vestibularis, urtikulus dan sebagian duktus semisirkularis (Pearce, 2016).
6

2.2 Otomikosis
2.2.1 Definisi
Otomikosis merupakan penyakit inflamasi telinga luar yang disebabkan
oleh infeksi jamur, dan dapat menyebabkan inflamasi difus di kulit meatus yang
bisa menyebar ke auricula maupun lapisan epidermal membran timpani (Barati B
dkk, 2017; Rusmardjono, 2011).
Berdasarkan waktu, otomikosis didefinisikan sebagai infeksi akut,
subakut, maupun kronik akibat ragi dan filamentosa jamur yang dapat merusak
epitel squamosa meatus acusticus external (Rusmardjono, 2011).
2.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko
Otomikosis biasanya disebabkan oleh beberapa spesies dari jamur yang
bersifat saprofit. Pada sekitar 75% kasus otomikosis, genus Aspergillus merupakan
agen kausative utama, dengan penyebab tersering disebabkan oleh A. Niger, dan
terkadang disebabkan oleh A. flavus and A. Fumigatus. Jamur ini kadang-kadang
didapatkan dari liang telinga tanpa adanya gejala apapun kecuali rasa tersumbat
dalam telinga, atau dapat berupa peradangan yang dapat menyerang epitel kanalis
atau gendang telinga dan menimbulkan gejala-gejala akut. Kadang-kadang dapat
pula ditemukan Candida albicans (Chander J dalam Firza, 2012).

Jenis Jamur Insidensi (%)


Aspergillus Niger 205 (48,35%)
Aspergillus Funigatus 144 (33,96%)
Candida Albicans 52 (12,26%)
Aspergillus Flavus 23 (5,43%)
Faktor-faktor yang berperan dalam perubahan lingkungan kanalis akustikus
eksterna yang kemudian mengakibatkan jamur saprofit menjadi patogen,
diantaranya (Barati B dkk, 2017):

1) Kelembapan: Saluran telinga mudah terinfeksi pada keadaan kelembaban yang


tinggi dan cuaca yang panas dapat memudahkan terjadinya pertumbuhan dan
proliferasi bakteri dan jamur dalam saluran telinga. Hal ini terutama terjadi di
daerah tropis dan subtropis.
7

2) Penggunaan cotton bud: terlalu sering membersihkan telinga menggunakan


cotton bud dapat mengakibat trauma lokal pada saluran telinga sehingga
memudahkan terjadinya infeksi, pertumbuhan dan proliferasi bakteri dan
jamur.
3) Perenang: Jika terlalu banyak air masuk ke dalam saluran telinga, misalnya saat
berenang, terutama di air yang mengandung klorin atau membersihkan telinga
dengan air pada saat mandi akan memudahkan jamur bertumbuh dan
berproliferasi karena air tersebut meningkatkan kelembaban, meningkatkan pH
dan membersihkan serumen yang melengket pada mukosa saluran telinga yang
pada keadaan normal sebenarnya berfungsi melindungi dan mempertahankan
mukosa saluran telinga. Dengan demikian, perenang sebaiknya menggunakan
ear plug atau penyumbat telinga pada saat berenang.
4) Pasien imunokompromis: Pada pasien dengan imunokompromis, infeksi jamur
menjadi lebih mudah terjadi karena sistem imun pasien tidak mampu
melindungi tubuhnya.
5) Penggunaan antibiotik tetes telinga jangka panjang: keadaan normal telinga
dan sel epitel mukosa saluran telinga dapat mengalami perubahan akibat
penggunaan jangka panjang tetes telinga antibotik, sehingga memudahkan
terjadi pertumbuhan dan proliferasi jamur. Perubahan tersebut juga dapat
mengakibatkan flora normal dalam saluran telinga berubah menjadi patologis.
6) Riwayat otitis eksterna bakterial, supuratif kronis otitis media (OMSK) dan
pasca operasi rongga mastoid : Permukaan epitel yang rusak menyebabkan
penurunan ekskresi dari kelenjar apokrin dan serumen yang mengubah
lingkungan KAE menjadi tempat yang baik untuk pertumbuhan
mikroorganisme (pH normal 3-4) (Barati B dkk, 2017).

2.2.3 Manifestasi Klinis


Otomikosis bisa terjadi dengan atau tanpa gejala. Gejala yang paling sering
terjadi adalah (Sampath C, dkk 2019) :
a. Rasa Gatal
Hal ini disebabkan terjadinya eksfoliasi kulit oleh jamur yang tumbuh
sehingga terjadi pengelupasan kulit yang kemudian bercampur dengan jamur
8

itu sendiri membentuk masa debris yang basah. Massa basah ini selanjutnya
mengiritasi kulit liang telinga yang sudah terkelupas tadi sehingga timbul rasa
gatal. Dengan digaruk akan memperberat rasa gatal tersebut. Seperti
disebutkan rasa gatal ini merupakan keluhan yang paling sering dialami oleh
pasien.
b. Rasa penuh pada liang telinga.
c. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran biasanya ringan saja akibat adanya massa seperti busa
yang besar pada liang telinga yang terutama disebabkan oleh jamur Aspergillus
niger.
d. Sakit pada telinga
Keluhan sakit pada dasarnya merupakan keluhan lanjutan setelah gatal dan
liang telinga dikorek-korek, sehingga membuat trauma dan menimbulkan
reaksi radang yang diikuti infeksi bakteri. Keluhan ini merupakan keluhan
kedua terbanyak.
Rasa sakit pada telinga bisa bervariasi mulai dari hanya berupa perasaan tidak
enak pada telinga, perasaan penuh dalam telinga, perasaan seperti terbakar
hingga berdenyut diikuti nyeri yang hebat. Keluhan rasa sakit yang dikeluhkan
sering menjadi gejala yang mengelirukan, walaupun rasa sakit tersebut
merupakan gejala yang dominan. Derajat rasa sakit belum bisa
menggambarkan derajat peradangan yang terjadi. Hal ini dijelaskan
bahwasanya kulit dari liang telinga luar langsung berhubungan dengan
periosteumdan perikondrium, sehingga edema dermis akan menekan serabut
saraf yang mengakibatkan rasa nyeri.
2.2.4 Patofisiologi
Patofisiologi otitis eksterna fungi berkaitan dengan anatomi, fisiologi dan
histologi kanalis akustikus eksterna. Kanalis akustikus eksterna adalah sebuah
saluran atau kanal dengan panjang rata-rata 2,5 cm dan lebar rata-rata 7,9 mm pada
orang dewasa. Saluran atau kanal ini berbentuk silinder dan dilapisi dengan epitel
berlapis gepeng bertanduk hingga ke bagian luar membrana timpani. Bagian depan
9

dari resesus membrana timpani, hingga isthmus sering menjadi tempat akumulasi
debris keratin dan serumen dan sulit dibersihkan (Anwar K, dkk 2014).
Serumen memiliki suatu zat antimikotik, bakteriostatik dan insect repellent.
serumen terdiri dari lipid (46-73%), protein, asam amino bebas, mineral, lisosim,
imunoglobulin, dan asam lemak tak jenuh. Asam lemak tak jenuh rantai panjang
yang terdapat pada kanalis akustikus eksterna yang normal dapat menghambat
pertumbuhan bakteri. Komposisi hidrofobik ini memungkinkan serumen berperan
dalam mengeluarkan air dari kanalis akustikus eksterna, serta membuat permukaan
kanalis tidak permeabel, dan mencegah maserasi dan kerusakan epitel (Vennewald
I, 2017).
Flora normal atau komensal yang terdapat di dalam kanalis akustikus
eksterna diantaranya, Staphylococcus epirdemidis, Corynebacterium sp, Bacillus
sp, gram positif cocci (Staphylococcus aureus, Streptococcus sp, non-pathogenic
micrococci), gram negative bacilli (Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli,
Hemophilus influenza, Morazella catarrhalis, etc) dan jenis jamur miselia dari
genus Aspergillus dan Candida sp. Flora normal atau komensal ini tidak bersifat
patogen apabila lingkungan kanalis aksutikus eksterna dan keseimbangan antara
bakteri dan jamur tetap terjaga (Anwar K, dkk 2014).
2.2.5 Diagnosis
Penegakan diagnosis pada otomikosis diawali dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (Vennewald I, 2017).

a. Anamnesis
Adanya keluhan rasa gatal, rasa penuh pada liang telinga, dan kadang di sertai
nyeri.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik umumnya, pada liang telinga akan tampak berwarna
merah, ditutupi oleh skuama, dan kelainan ini ke bagian luar akan dapat meluas
sampai muara liang telinga dan daun telinga sebelah dalam. Pada liang telinga
dapat terjadi penyempitan dalam berbagai derajat. Penyempitan disebabkan
reaksi peradangan pada lapisan kulit liang telinga luar karena infeksi jamur.
Didapati adanya akumulasi debris fibrin yang tebal, pertumbuhan hifa
10

berfilamen yang berwana putih dan panjang dari permukaan kulit. Sedangkan
pada membrana tympani dapat dijumpai kongesti dan peradangan pada
gendang telinga meskipun pada kebanyakan kasus tidak ditemukan kelainan
Tempat yang terinfeksi menjadi merah dan ditutupi skuama halus. Bila meluas
sampai kedalam, sampai ke membran timpani, maka akan dapat mengeluarkan
cairan serosanguinos.

Gambar 2. Otomikosis yang terjadi pada telinga, jamur berwarna kehitaman

c. Pemeriksaan Penunjang
Preparat Langsung
Skuama dari kerokan kulit liang telinga diperiksa dengan KOH 10 % akan
tampak hifa-hifa lebar, berseptum, dan kadang-kadang dapat ditemukan
spora-spora kecil dengan diameter 2-3u.

Gambar 3. Gambar Jamur pada pemeriksaan KOH 10% perbesaran 400x


Pembiakan
Skuama dibiakkan pada media Agar Saboraud dextrose, dan dieramkan
pada suhu kamar. Koloni akan tumbuh dalam satu minggu berupa koloni
filament berwarna putih. Dengan mikroskop tampak hifa-hifa lebar dan
11

pada ujung-ujung hifa dapat ditemukan sterigma dan spora berjejer


melekat pada permukaannya (Ajay P dkk, 2018).

2.2.6 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan pada pasien otomikosis adalah pengangkatan jamur
dari liang telinga, menjaga agar liang telinga tetap kering serta bersuasana asam,
pemberian obat anti jamur, serta menghilangkan faktor risiko. Tindakan
pembersihan liang telinga bisa dilakukan dengan berbagai macam cara antara lain
dengan lidi kapas/kapas yang dililitkan pada aplikator, pengait serumen, atau
suction. Terapi otomikosis dengan anti jamur membutuhkan waktu ± 2 minggu
untuk mencegah rekurensi. Terapi berkelanjutan diberikan walaupun pasien sudah
bebas dari gejala (Vennewald I, 2017).
Pengobatan ditujukan untuk menjaga agar liang telinga tetap kering, jangan
lembab, dan disarankan untuk tidak mengorek-ngorek telinga dengan barang-
barang yang kotor seperti korek api, garukan telinga, atau kapas. Kotoran-kotoran
telinga harus sering dibersihkan. Pengobatan yang dapat diberikan seperti :
Larutan asam asetat 2-5 % dalam alkohol yang diteteskan kedalam liang
telinga atau dapat menggunakan cotton bud.
Larutan povidon iodin 5% atau tetes telinga yang mengandung campuran
antibiotik.
Pemberian fungisida topikal spesifik
▪ Clotrimazole, salah satu agen terapi yang paling efektif dalam otomikosis
dan memiliki efek antibakteri sehingga sering digunakan untuk
pengobatan infeksi campuran dari bakteri-jamur, dan tidak memiliki efek
ototoksisitas.
▪ Ketoconazole dan flukonazole merupakan antifungal spektrum luas dan
komponen kimianya efektif mengobati penyebab umum otomikosis
seperti Aspergillus dan Candida albicans.
▪ Nystatin adalah antibiotik makrolida poliena yang menghambat sintesis
sterol pada membran sitoplasma. Banyak cetakan dan ragi yang sensitif
terhadap Nystatin termasuk spesies Candida
12

Edukasi : tidak mengorek-ngorek telinga baik dengan cotton bud telinga


ataupun jari, mencegah air tidak masuk ke telinga dengan menutup
menggunakan kapas, menjaga kelembaban dan pH normal seperti tidak
menggunakan obat tetes antibiotik berlebihan pada kanalis auditorius
eksternus (Vennewald I, 2017).
2.2.7 Komplikasi
Komplikasi dari otomikosis yang pernah dilaporkan adalah perforasi dari
membran timpani dan otitis media serosa, tetapi hal tersebut sangat jarang terjadi,
dan cenderung sembuh dengan pengobatan. Patofisiologi dari perforasi membran
timpani mungkin berhubungan dengan nekrosis avaskular dari membran timpani
sebagai akibat dari trombosis pada pembuluh darah. Angka insiden terjadinya
perforasi membran yang dilaporkan dari berbagai penelitian berkisar antara 12-16
% dari seluruh kasus otomikosis. Tidak terdapat gejala dini untuk memprediksi
terjadinya perforasi tersebut, keterlibatan membran timpani sepertinya merupakan
konsekuensi inokulasi jamur pada aspek medial dari telinga luar ataupun
merupakan ekstensi langsung infeksi tersebut dari kulit sekitarnya (Vennewald I,
2017).

.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


1. Nama inisial : IWM
2. Tanggal lahir : 16 April 1997
3. Umur : 24 tahun
4. Jenis Kelamin : Laki-laki
5. Alamat : Br. Sunting
6. Status Perkawinan : Belum Menikah
7. Agama : Hindu
8. Pekerjaan : Tidak Bekerja
9. Tanggal MRS : 11 Oktober 2021
10. No RM : 307070
3.2 Anamnesa
1. Keluhan Utama : Gatal pada telinga kanan dan kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Poli THT RSUD Bangli (11/10/2021) pukul
10.00 wita dengan keluhan gatal pada liang telinga sejak 10 hari SMRS.
Keluhan gatal dirasakan pasien pada liang telinga kiri dan kanan serta
dirasakan pasien terus-menerus sampai mengganggu aktivitas sehari-
hari. Pasien mengatakan beberapa kali membersihkan kedua telinganya
dengan cotton bud dan terkadang mengorek telinga menggunakan jari
tangan.
Pasien mengatakan telinganya sempat kemasukan air setelah
melakukan aktifitas berenang. Selain itu pasien juga mengeluhkan
terasa penuh di kedua liang telinga dan terkadang disertai nyeri. Nyeri
dirasakan memberat setelah pasien membersihkan berulang kali
telinganya dengan cotton bud. Riwayat keluar cairan dari liang telinga,
telinga berdenging, demam, batuk dan pilek disangkal.

13
14

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengatakan tidak pernah mengalami hal seperti ini dan
tidak pernah mengalami penyakit di bagian telinga, hidung dan
tenggorokan sebelumnya. Riwayat penyakit kronis seperti diabetes
mellitus, hipertensi, penyakit jantung dan penyakit lainnya disangkal
pasien.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluhan serupa yang dialami oleh keluarganya.
Riwayat penyakit kronis seperti diabetes mellitus, hipertensi, penyakit
jantung dan penyakit lainnya di keluarganya disangkal.
5. Riwayat Sosial dan Kebiasaan
Merokok dan konsumsi alkohol disangkal pasien. Pola makan dan
pola minum pasien dalam batas normal dan pasien mengatakan bahwa
sering berolahraga.
6. Riwayat Alergi
Pasien menyangkal adanya riwayat alergi.
7. Riwayat Pengobatan
Pasien menyangkal adanya riwayat pengobatan.
3.3 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : tampak sakit ringan
2. Kesadaran : composmentis (GCS : E4V5M6)
3. Tanda vital : tidak dilakukan
4. Status Generalis
a. Kepala : normocephali, rambut berwarna hitam
b. Mata : konjungtiva anemis (-) , sklera ikterik (-) , reflek pupil (+)
isokor, edema palpebral (-)
c. THT : sesuai status lokalis
d. Mulut : sianosis (-), bibir pucat (-), mukosa bibir kering (-)
e. Leher: deviasi trakea (-) ,pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar
tiroid (-)
15

f. Pemeriksaan Thorax :
Pulmo : Tidak Dilakukan
Cor : Tidak Dilakukan
g. Abdomen : Tidak Dilakukan
h. Ekstremitas : Tidak Dilakukan

5. Pemeriksaan Status Lokalis


A. Pemeriksaan Telinga
No Bagian Telinga Kanan Telinga Kiri
Telinga
Pemeriksaan Telinga Luar
1. Auricula • Bentuk normal • Bentuk normal
• Deformitas (-) • Deformitas (-)
• Hematoma (-) • Hematoma (-)
• Edema (-) • Edema (-)
• Nyeri tarik (-) • Nyeri tarik (-)

2. Preaurikuler • Nyeri tekan tragus (-) • Nyeri tekan tragus (-)


• Fistula • Fistula (-)
• Edema (-) • Edema (-)
• Abses (-) • Abses (-)

3. Retroaurikular • Hiperemis (-) • Hiperemis (-)


• Nyeri tekan (-) • Nyeri tekan (-)
• Benjolan (-) • Benjolan (-)
• Fistula (-) • Fistula (-)

4. MAE • Liang telinga sempit • Liang telinga sempit


• Hiperemis (-) • Hiperemis (-)
• Terdapat debris • Terdapat debris
berwarna putih berwarna putih
• Hifa (+) • Hifa (+)
• Serumen (+) • Serumen (+)
16

5. Membran • Sulit dinilai karena • Sulit dinilai karena


Timpani liang telinga sempit liang telinga sempit
dan terdapat hifa. dan terdapat hifa.
• Setelah dilakukan • Setelah dilakukan
tindakan spooling : tindakan spooling :
- membran timpani - membran timpani
intak intak
- reflek cahaya (+) - reflek cahaya (+)
- perforasi (-) - perforasi (-)
- bulging/ retraksi (-) - bulging/ retraksi (-)

6. Mastoid • Edema (-) • Edema (-)


• Nyeri ketok (-) • Nyeri ketok (-)

Tes Penala / Pendengaran


1. Berbisik (+) Normal (+) Normal
2. Weber Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi
3. Rinne (+) Normal (+) Normal
4. Swabach Pasien mendengar = Pasien mendengar =
pemeriksa pemeriksa

B. Pemeriksaan Hidung
No. Bagian Kavum nasi dexta Kavum nasi sinistra
Hidung
1. Pemeriksaan Inspeksi : Inspeksi :
Hidung Luar • Bentuk normal • Bentuk normal
• Deformitas (-) • Deformitas (-)
• Hiperemis (-) • Hiperemis (-)
• Septum deviasi (-) • Septum deviasi (-)
Palpasi : Palpasi :
• Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
17

2. Rhinoskopi • Vestibulum : • Vestibulum :


Anterior - Sekret (-) - Sekret (-)
- Massa (-) - Massa (-)
- Hiperemis (-) - Hiperemis (-)
• Kavum nasi lapang • Kavum nasi lapang
• Septum deviasi (-) • Septum deviasi (-)
• Deformitas (-) • Deformitas (-)
• Mukosa merah muda • Mukosa merah muda
• Sekret (-) • Sekret (-)
• Konka media dan • Konka media dan
inferior dekongesti inferior dekongesti
• Meatus media tidak • Meatus media tidak ada
ada polip polip

Gambar :

C. Pemeriksaan Mulut dan Tenggorokan


No. Bagian Keterangan
1. Arkus Faring Simetris
2. Gigi Gigi lengkap, caries gigi (-)
3. Mukosa Bukal Warna mukosa merah muda, hiperemis (-).
4. Mukosa Gigi Warna mukosa merah muda, hiperemis (-), karies gigi
(-)
5. Palatum Durum Hiperemis (-), massa (-)
& Palatum Mole
6. Mukosa Faring Hiperemis (-), edema (-), massa (-), granul (-).
7. Tonsil Permukaan rata, edema (-), Hiperemis (-), ukuran
tonsil (T1-T1).
18

Gambar :

3.4 Diagnosis

Otomikosis Aurikula Dextra, Sinistra

3.5 Planning
a. Planning Pemeriksaan Penunjang : Tidak dilakukan
b. Planning Terapi
❖ Terapi Farmakologi :
▪ Cefixime tab 200mg 2x1
▪ Ketoconazole cream 2% 2x1
❖ Terapi Non Farmakologi :
▪ Spooling Aurikula dextra, sinistra
▪ Toilet telinga
c. KIE :
❖ Menggunakan obat secara rutin
❖ Jangan mengorek telinga dengan cotton bud
❖ Jangan sampai air masuk ke dalam telinga
❖ Kontrol kembali 3 hari kemudian
19

3.6 Follow Up

Kamis, 14 Oktober 2021


(10.00 wita)

S Pasien kontrol ke poliklinik THT dengan keluhan gatal sudah berkurang.

O Status THT Aurikula Dextra Status THT Aurikula Sinistra

• Aurikula: Radang (-), nyeri • Aurikula: Radang (-), nyeri


aurikula (-), nyeri tekan aurikula (-), nyeri tekan
tragus (-) tragus (-)
• Retroaurikula: Radang (-), • Retroaurikula: Radang (-),
nyeri tekan mastoid (-) nyeri tekan mastoid (-)
• Meatus akustikus eksternus: • Meatus akustikus eksternus:
Lapang, mukosa hiperemi (-), Lapang, mukosa hiperemi (-),
sekret (-), terdapat squama sekret (-), terdapat skuama
tipis/debris minimal. tipis / debris minimal.
• Membran Timpani: Intak, • Membran Timpani: Intak,
hiperemis (-), reflex cahaya hiperemis (-), reflex cahaya
arah jam 5, Cont of light (+) arah jam 5, Cont of light (+)

A Otomikosis Aurikula Dextra, Sinistra

P Spooling aurikula dextra, sinistra


Toilet telinga dengan pemberian Povidone Iodine
Pemberian salep Ketokenazole 2% selama 2 minggu

3.7 Prognosis
Ad Vitam : bonam
Ad Fungsionam : bonam
Ad Sanationam : bonam
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Telah dilaporkan kasus pasien laki-laki berusia 24 tahun datang ke Poli
THT RSUD Bangli dengan keluhan gatal pada telinga kanan dan kiri sejak 10
hari SMRS. Dari hasil anamnesis didapatkan informasi bahwa pasien
mengatakan beberapa kali membersihkan kedua telinganya dengan cotton bud
dan terkadang mengorek telinga menggunakan jari tangan. Pasien mengatakan
telinganya sempat kemasukan air setelah melakukan aktifitas berenang. Selain
itu pasien juga mengeluhkan terasa penuh di kedua liang telinga dan terkadang
disertai nyeri. Nyeri telinga dirasakan terus-menerus dan dirasakan memberat
setelah pasien membersihkan berulang kali telinganya yang terasa gatal dengan
cotton bud. Riwayat keluar cairan dari liang telinga, telinga berdenging,
demam, batuk dan pilek disangkal. Dari hasil pemeriksaan fisik dan status
lokalis pada telinga dengan menggunakan otoskop terlihat kedua liang telinga
kiri dan kanan pasien sempit, hiperemis dan terdapat debris berwarna putih
disertai adanya hifa. Pada pemeriksaan hidung dengan menggunakan spekulum
hidung tidak ditemukan adanya kelainan. Serta pada pemeriksaan tenggorokan
tidak tampak adanya peradangan pada mukosa dinding faring serta tonsil
T1/T1.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan,
kondisi pasien ini mengarah ke diagnosis yaitu Otomikosis Aurikula Dextra,
Sinistra. Kemudian pada pasien ini telah di lakukan pembersihan liang telinga
kiri dan telinga kanan untuk mengeluarkan debris pada kedua telinga. Pasien
ini di berikan terapi antibiotik oral serta pemberian antijamur topikal telinga
dan diberikan edukasi untuk dianjurkan kembali kontrol setelah 2 hari agar
dapat dievaluasi hasil terapi yang diberikan. Berdasarkan hasil follow up
pasien, menunjukan adanya perbaikan, kemudian dilakukan kembali
pembersihan liang telinga dan pemberian salep Ketoconazole 2%.

20
DAFTAR PUSTAKA

Ajay Philip, Regi Thomas, Anand Job, V. Rajan Sundaresan, Shalini Anandan, and
Rita Ruby Albert., 2018. Effectiveness of 7.5 Percent Povidone Iodine in
Comparison to 1 Percent Clotrimazole with Lignocaine in the Treatment of
Otomycosis,” ISRN Otolaryngology

Anwar K, Gohar MS., 2014. Otomycosis:clinicalfeatures, predisposing factors and


treatment implications. Pak J Med Sci. 30(3):564-7.

Barati B, Okhovvat SAR, Goljanian A, Omrani MR, 2017. Otomycosis in Central


Iran: a clinical and mycological study.Iranian Red Crescent Med J.
13(12):873-76.

Chander, Jagdish. 2009. Aspergillus otomycosis. Diakses melalui website


http://www.aspergillus.org.uk/secure/treatment/otomyc.php.

Lita M, Hanggoro Sapto, Ety A, Yunita S., 2017. Otomikosis Auris Dextra pada
Perenang. Jurnal Medula Universitas Lampung, Volume 6, Nomor 1.

Pearce, Evelyn. 2016. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta; Gramedia
Syaifuddin. Jakarta: EGC.

Rusmarjono, Soepardi EA. 2011. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorokan, Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit FK UI.

Sampath Chandra Prasad, Subbannayya Kotigadde, Manisha Shekhar, et al., 2019.


Primary Otomycosis in the Indian Subcontinent: Predisposing Factors,
Microbiology, and Classification,” International Journal of Microbiology.

Soepardi, Efiaty A., Iskandar I., Bashiruddin J., Astuti Ratna D., 2017. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 7.
Jakarta : Balai Penerbit FK UI.

21
Vennewald, I., Nat, R., Klemm E, 2017. Otomycosis: Diagnosis and treatment.
Clinics in Dermatology; 28: 202–211.

22

Anda mungkin juga menyukai