Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

OTITIS MEDIA EFUSI

Penyusun:

Shabrina Nur Afiati – 030.12.254

Pembimbing:

dr. Dumasari Siregar, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT


RSUD BUDHI ASIH JAKARTA
PERIODE 1 OKTOBER – 3 NOVEMBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

KATA PENGANTAR

i
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Otitis Media Efusi”. Tugas ini
disusun dalam rangka memenuhi syarat kepaniteraan Ilmu Penyakit THT Fakultas
Kedokteran Universtias Trisakti di RSUD Budhi Asih Jakarta.

Melalui kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. Dumasari
Siregar, Sp.THT-KL selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini dan kepada dokter-
dokter pembimbing lainnya yang telah bersedia membimbing penulis selama kepaniteraan
ini. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada para staf medis di lingkungan
RSUD Budhi Asih Jakarta dan teman-teman anggota kepaniteraan klinik THT yang telah
memberi dukungan dan bantuan kepada penulis.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam referat yang tertulis. Oleh karena
itu penulis meminta maaf sebesarnya dan sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca. Atas perhatian yang diberikan, penulis mengucapkan
terimakasih.

Jakarta, Oktober 2018

Shabrina Nur Afiati

ii
PENGESAHAN REFERAT

Judul:

OTITIS MEDIA EFUSI

SHABRINA NUR AFIATI

030.12.254

Telah diuji dan disajikan di hadapan Pembimbing

RSUD Budhi Asih Jakarta

Pada hari __________, ___ Oktober 2018

Jakarta, __ Oktober 2018

Pembimbing,

dr. Dumasari Siregar, Sp.THT-KL

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................... ii

PENGESAHAN REFERAT........................................................................... iii

DAFTAR ISI.................................................................................................. iv

DAFTAR TABEL........................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 2

2.1 Anatomi dan Fisiologi Telinga Tengah ................................................ 2

2.1.1 Anatomi Telinga Tengah (Cavum Timpani).................................... 4

2.1.2 Anatomi Membran Timpani............................................................ 5

2.1.3 Anatomi dan Fisiologi Tuba Eustachius......................................... 6

2.1.4 Fisiologi Telinga Tengah ............................................................... 9

2.2 Otitis Media Efusi................................................................................. 10

2.2.1 Definisi............................................................................................ 10

2.2.2 Epidemiologi................................................................................... 10

2.2.3 Etiologi............................................................................................ 10

2.2.4 Patofisiologi .................................................................................... 11

2.2.5 Manifestasi Klinik........................................................................... 13

2.2.6 Klasifikasi........................................................................................ 13

2.2.7 Penegakan Diagnosis ...................................................................... 14

2.2.8 Penatalaksanaan............................................................................... 18

iv
2.2.9 Prognosis.............................................................................................. 20

BAB III KESIMPULAN................................................................................ 21

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 22

v
DAFTAR TABEL

GAMBAR 1 Anatomi Cavum Nasi................................................................ 2

GAMBAR 2 Anatomi Telinga Tengah........................................................... 3

GAMBAR 3 Anatomi Membran Timpani ..................................................... 5

GAMBAR 4 Tuba Eustachius ....................................................................... 6

GAMBAR 5 Timpanometri............................................................................ 17

vi
BAB I
PENDAHULUAN

Telinga merupakan salah satu panca indera dalam tubuh manusia yang
memiliki peranan yang sangat penting karena memiliki fungsi sebagai alat
pendengaran dan keseimbangan. (1)
Otitis media efusi (OME) juga dikenal dengan otitis media serosa, otitis media
musinosa, otitis media sekretoria, otitis media mucoid (glue ear) adalah keadaan
terdapatnya sekret yang nonpurulen di telinga tengah, tetapi membrane timpani utuh.
OME merupakan salah satu penyebab ketulian tersering pada anak.(2)
OME merupakan salah satu masalah serius dalam pelayanan kesehatan di
seluruh dunia, bukan hanya menyulitkan bagi pasien dan keluarganya tapi juga
merupakan beban ekonomi yang menekan sistem pelayanan kesehatan.(2) Statistik
menunjukan 80-90% anak prasekolah pernah menderita OME, Kasus OME berulang
(OME Rekuren) menunjukan prevalensi yang cukup tinggi terutama pada anak usia
prasekolah sekitar 28-38% . (3) Di Amerika Serikat, 90% anak usia di bawah 10 tahun
pernah menderita OME. Insidens OME pada usia neonatus adalah 0-12%, usia 1
tahun 12%, usia 2 tahun 7-12%, usia 3-4 tahun 2-18%, usia 5 tahun 4-17%, usia 6-8
tahun 3-9%, dan usia 8-9 tahun 0-6%.(4)
OME menjadi alasan terbesar anak-anak untuk operasi dan setiap tahunnya
menghabiskan biaya sebesar 47,8 juta USD. Sementara di Amerika Serikat, sekitar 3
hingga 4 miliar USD setiap tahunnya dihabiskan untuk pengobatan OME. (4)
OME bisa mengakibatkan gangguan keterlambatan berbicara dan berbahasa
pada anak, gangguan pendengaran yang permanen, ketidaksempurnaan artikulasi,
masalah dalam berkomunikasi, gangguan performa anak di sekolah, dan gangguan
intelektual. Indentifikasi OME sedini mungkin penting untuk mencegah berbagai
komplikasi.(4)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA TENGAH

Gambar 1. Anatomi Telinga

Telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, telinga tengah
dan telinga dalam.

Telinga luar terdiri dari aurikula, membran timpani, liang telinga eksterna
yang memiliki bentuk seperti S dan 2/3 distalnya mempunyai kerangka tulang keras
dan 1/3 proksimalnya memiliki kerangka tulang rawan. Fungsi aurikula untuk

2
menangkap gelombang suara dan mengarahkannya ke dalam Meatus Akustikus
Externa (MAE), Liang telinga (MAE) berfungsi mengarahkan bunyi untuk masuk ke
dalam telinga tengah. Membran timpani memisahkan antara telinga luar dan telinga
tengah dimana membrana timpani ini terdiri dari jaringan fibrosa elastisberbentuk
bundar dan cekung. Membran timpani berfungi untuk mengubah bunyi menjadi
getaran.(5)

Telinga tengah merupakan ruangan berisi udara dan memiliki tiga tulang
pendengaran yaitu maleus, inkus dan stapes. Telinga dalam terletak di pars petrosus
os temporalis.(6)

Gambar 2. Anatomi Telinga Tengah

2.1.1. Anatomi Telinga tengah (Cavum Timpani)

3
Ruang telinga tengah disebut juga kavum timpani. Dilapisi oleh membrane
mukosa yang mempunyai batas sebelah lateral adalah membran timpani, batas
medialnya promontorium, batas superiornya adalah tegmen timpani,fosa cranii, batas
inferiornya adalah bulbus vena jugularis dan nervus fasialis, batas posterior pada
bagian atasnya terdapat pintu (aditus) yang menunjuk ke antrum mastoid dan batas
anterior berbatasan dengan arteri karotis dan muara tuba Eustachius. Kavum timpani
dihubungkan dengan nasofaring oleh tuba Eustachius. Kavum timpani secara vertikal
dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: (A) epitimpanum yaitu rongga yang berada disebelah
atas batas atas membran timpani; (B) mesotimpanum yaitu rongga yang terletak
diantara batas atas dan bawah membran timpani; (C) hipotimpanum yaitu rongga
yang berada di bawah batas bawah membran timpani. Telinga tengah terdapat tiga
tulang pendengaran, susunan dari luar ke dalam yaitu maleus, inkus dan stapes yang
saling berikatan dan berhubungan membentuk artikulasi. Struktur penting lainnya
juga terdapat di dalam kavum timpani seperti korda timpani, otot tensor timpani
kavum timpani dilapisi oleh mukosa saluran napas yang memiliki silia pada
permukaannya dan memiliki kelenjar mukus. Telinga tengah terdapat dua buah otot
yaitu, m. tensor timpani dan m. stapedius. M tensor timpani berorigo di dinding
semikanal tensor timpani dan berinsersio di bagian atas tulang maleus, inervasi oleh
cabang saraf trigeminus. Otot ini menyebabkan membran timpani tertarik ke arah
dalam sehingga menjadi lebih tegang.dan meningkatkan frekuensi resonansi sistem
penghantar suara dan melemahkan suara dengan frekuensi rendah. M. stapedius
berorigo di dalam eminensia pyramid dan berinsersio di ujung posterior kolumna
stapes, hal ini menyebabkan stapes kaku, memperlemah transmini suara dan
meningkatkan resonansi tulang-tulang pendengaran. Kedua otot ini berfungsi
mempertahankan , memperkuat rantai osikula dan meredam bunyi yang terlalu keras
sehingga dapat mencegah kerusakan organ koklea .(8) Sekret telinga tengah dihasilkan
oleh sel-sel goblet dan kelenjar mukus, yang sebagian besar berkumpul di sekitar
muara tuba Eustachius. Mukosa kavum timpani menutupi seluruh dinding tulangnya,
tulang-tulang pendengaran dan seluruh ligamen. Mukosa tersebut juga membentuk
lipatan-lipatan sehingga membagi kavum timpani menjadi beberapa ruangan yang

4
telah dijelaskan sebelumnya Kavum timpani mendapat perdarahan dari cabang-
cabang arteri karotis eksterna dan interna. Arteri timpani anterior (cabang dari
a.maksilaris) dan stilomastoid (cabang a.aurikularis posterior) merupakan pembuluh
utamanya.(9)

2.1.2. Anatomi Membran Timpani

Gambar 3. Anatomi Membran Timpani

Membran timpani (MT) merupakan lapisan cekung tipis berbentuk oval,


tersusun dari lapisan epidermis dibagian luar yang membentuk sudut dengan liang
telinga luar bagian superior 140° dan liang telinga luar bagian inferior 55° dengan
dinding dasar liang telinga, dengan diameter terbesar pada posterosuperior hingga
anteroinferior. MT membentuk penebalan cincin fibrokartilago pada sekelilingnya
yang disebut anulus timpanikus. Bagian MT di atas lipatan maleolus tersebut disebut
pars flaksida, sedangkan bagian bawahnya disebut pars tensa. MT merupakan struktur
berbentuk cekungan dengan bagian yang paling dalam pada daerah umbo Membran
timpani memiliki tiga lapisan, yaitu lapisan epitel paling luar adalah epidermis, yang
merupakan kelanjutan kulit liang telingabagian tengahnya terutama dibentuk oleh
lapisan fibrosa yang disebut lamina propria dan lapisan paling dalam yang dibentuk
oleh mukosa telinga tengah Epitel mukosa pada pars tensa memiliki ketinggian yang

5
bervariasi, dapat berupa lapisan skuamosa atau kuboid yang tipis, hingga terbentuk
epitel torak berlapis semu. Permukaan sel yang menghadap kavum timpani memiliki
mikrovili, dan pada daerah sel kuboid dan torak dapat ditemukan adanya silia, namun
silia ini tersebar tidak merata. Pada lapisan ini tidak ditemukan adanya sel goblet,
pada sel-sel yang tidak memiliki silia, dapat ditemukan granul sekresi. Lapisan
mukosa dipisahkan dari lamina propria oleh membran basal. Mukosa pada pars
flaksida dan pars tensa memiliki gambaran yang sama.(9)

2.1.3. Anatomi dan Fisiologi Tuba Eustachius

Tuba Eustachius atau tuba auditorius merupakan saluran yang


menghubungkan kavum timpani dengan nasofaring. Dari orifisium nasofaringeal
tuba Eustachius berjalan kearah latero-postero-superior menuju orifisium timpanal.
Dengan demikian orifisium timpanal lebih tinggi 2-2,5 cm dibandingkan level
orifisium nasofaringeal dengan membentuk sudut 400-450 dengan bidang horizontal
Panjang tuba Eustachius pada orang dewasa sekitar 31-38 mm.(10)

Gambar 4. Tuba Eustachius pada dewasa dan anak

Tuba Eustachius terdiri dari dua bagian yaitu pars oseus dan pars
kartilaginus. Pars oseus bermuara ke kavum timpani dan pars kartilaginus bermuara

6
ke nasofaring. Lumen dari kedua bagian tuba Eustachius ini berbentuk kerucut,
kedua puncaknya bertemu pada suatu bagian yang sempit disebut ismus.(10)
Pars Oseus (protimpanum), Merupakan sepertiga posterior panjang tuba
Eustachius (11-14 mm) yang bermuara ke kavum timpani di dinding anterior, dan
bagian ini selalu terbuka.Secara histologis sebagian ujung pars kartilageneus masuk
ke dalam pars osseus, sehingga hubungan kedua bagian tersebut tidak membentuk
mekanisme persendian. Orifisium timpanal terletak lebih tinggi dari hipotimpanum,
keadaan ini mengakibatkan tuba Eustachius tidak dapat melakukan drainase secara
pasif dari telinga tengah jika terjadi efusi
Pars Kartilaginus Bagian ini merupakan dua pertiga anterior panjang tuba
Eustachius yang terdiri dari membran dan kartilago, berbentuk terompet dengan
panjang 20-25 mm. Bagian medial berupa tulang rawan yang melengkung dan bagian
latero inferior berupa membrane dimana melekat otot tensor veli palatini. Bagian
tulang rawan terdiri dari 3 sampai 4 segmen yang dapat menggeser satu sama lain
sehingga dapat bergerak melingkar mengikuti gerakan menelan Pars kartilaginus
lebih banyak dalam keadaan tertutup akibat tekanan otot dan jaringan lemak (Ostman
fatty pad’s) di lateral membran dan baru terbuka jika membran tertarik ke lateral oleh
kontraksi otot tensor veli palatini pada waktu mengunyah atau menelan.(10)
Pada bayi dan anak-anak panjang tuba Eustachius kurang lebih separuh
dari dewasa, panjangnya ratarata 18 mm. Panjang pars kartiloginus kurang dari dua
pertiga tuba Eustachius sehingga pars oseus pada bayi relatif lebih panjang dan lebar
diameternya dibanding dewasa. Diameter ismus pada bayi dan anakanak juga lebih
kecil sekitar 2,4 mm – 0,8 mm dibanding dewasa 4,3 mm – 1,7 mm.Arah dari tuba
Eustachius amat bervariasi dari mendatar hingga membentuk sudut kurang lebih 10
derajat terhadap bidang horizontal. Tuba Eustachius tidak membentuk sudut pada
istmus tetapi hanya menyempit saja.Oleh karena itu sekresi dari telinga tengah tidak
mengalir dengan baik dan sekresi cairan dari nasifaring dapat lebih mudah masuk ke
dalam tuba Eustachius. Hal ini dapat meningkatkan resiko terjadinya otitis media
pada bayi.(11)

7
Terdapat 3 Fungsi Tuba Eustachius yaitu fungsi ventilasi, fungsi drainase dan fungsi
proteksi: (11)

1. Fungsi Ventilasi
Fungsi ini adalah dimana tuba eustachius mempertahankan tekanan udara (1
atm) didalam cavum timpani sama dengan tekanan udara luar atau sama dengan
tekanan atmosfir. Dalam keadaan normal, telinga tengah merupakan suatu ruang
tertutup dan penuh berisi udara. Mukosa telinga tengah secara perlahan-lahan akan
mengabsorbsi udara dan nitrogen dari telinga tengah sehingga akhirnya tekanan udara
dalam telinga tengah akan menurun. Dengan terbukanya tuba Eustachius secara
periodik maka udara akan masuk untuk menyeimbangkan lagi tekanan di telinga
tengah Pembukaan lumen tuba Eustachius dapat terjadi baik secara aktif dan pasif
Pembukaan secara aktif terjadi oleh kontraksi muskulus tensor veli palatine pada saat
menelan, menguap atau mengunyah Pembukaan secara pasif terjadi jika tekanan
didalam kavum timpani lebih tinggi dari pada tekanan atmosfir. Pembukaan tuba
Eustachius pada bayi dan anak-anak frekwensinya terjadi lebih sering dibanding
dewasa, sehingga bayi dan anak-anak mendapatkan kesulitan dalam mempertahankan
tekanan udara ditelinga tengah. (11)
 Fungsi Drainase
Mukosa kavum timpani dan tuba Eustachius memiliki sel-sel yang yang
menghasilakn sekret. Tuba Eustachius mengalirkan secret ini dari kavum
timpani kearah nasofaring dengan suatu transpor mukosiliar. Fungsi
drainase secret oleh tuba Eustachius dipengaruhi oleh aktifitas sel-sel
bersilia, grafitasi, gradasi tekanan udara sepanjang tuba Eustachius dan
viskositas secret itu sendiri.(12)
 Fungsi Proteksi
Proteksi ini dapat terjadi yaitu melalui anatomi fungsional tuba Eustachius-
telinga tengah, pertahanan mukosiliar dari lapisan membran mukosa dan
pertahanan imunologi lokal.Sebagai contoh pada saat kita mengunyah
maka bagian akhir proksimal tuba Eustachius akan terbuka, namun sekret
yang berasal dari nasofaring tidak dapat masuk ke telinga tengah karena
terdapat ismus pada tuba Eustachius. Perlindungan telinga tengah-mastoid

8
juga dilakukan oleh epitel respiratori lumen tuba Eustachius dengan cara
pertahanan imunologi lokal maupun pertahanan mukosilia, yaitu drainase.
(12)

2.1.4. Fisiologi Telinga Tengah

Organ konduksi di dalam telinga tengah ialah membran timpani, rangkaian


tulang pendengaran, ligamentum penunjang, tingkap lonjong dan tingkap bundar.
Kontraksi otot tensor timpani akan menarik manubrium maleus ke arah
anteromedial, mengakibatkan membran timpani bergerak ke arah dalam, sehingga
besar energi suara yang masuk dibatasi. Fungsi dari telinga tengah akan meneruskan
energi akustik yang berasal dari telinga luar ke dalam koklea yang berisi cairan.
Sebelum memasuki koklea bunyi akan diamplifikasi melalui perbedaan ukuran
membran timpani dan tingkap lonjong, daya ungkit tulang pendengaran dan bentuk
spesifik dari membran timpani. Meskipun bunyi yang diteruskan ke dalam koklea
mengalami amplifikasi yang cukup besar, namun efisiensi energi dan kemurnian
bunyi tidak mengalami distorsi walaupun intensitas bunyi yang diterima sampai 130
dB. Aktivitas dari otot stapedius disebut juga reflek stapedius pada manusia akan
muncul pada intensitas bunyi di atas 80 dB (SPL) dalam bentuk reflek bilateral
dengan sisi homolateral lebih kuat. Refleks otot ini berfungsi melindungi koklea,
efektif pada frekuensi kurang dari 2 khz dengan masa latensi 10 m/det dengan daya
redam 5-10 dB. Dengan demikian dapat katakan telinga mempunyai filter terhadap
bunyi tertentu, baik terhadap intensitas maupun frekuensi.(13)

2.2 Otitis Media Efusi

2.2.1 Definisi

9
Otitis media efusi (OME) adalah suatu penumpukan cairan dalam telinga
tengah dengan membrane timpani yang masih utuh tanpa disertai dengan tanda-
tanda infeksi akut. Adanya cairan di dalam telinga tengah mengakibatkan
terjadinya gangguan pendengaran.(14)

2.2.2 Epidemiologi

Dalam penelitian, ditemukan sejumlah 12,8 juta episode otitis media efusi
terjadi pada anak-anak yang berusia dibawah 5 tahun. Sedangkan anak-anak
yang berusia dibawah 2 tahun, 17% mengalami episode berulang. Serta 30%
dan 45% anak-anak dengan otitis media akut (OMA) mengalami otitis media
efusi setelah 30 hari, dan 10% mengalami otitis media efusi setelah 90 hari,
sebanyak 3,84 juta episode otitis media dengan efusi terjadi setiap tahun.
Prevalensi otitis media efusi lebih tinggi pada penduduk asli Amerika,
khususnya penduduk Navajo dan Eskimo, daripada di ras lain. Alasan untuk
frekuensi yang lebih tinggi pada populasi ini telah dikaitkan dengan sejumlah
faktor. Tidak ada perbedaan prevalensi antara populasi kulit putih dan hitam .
Meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik antara jenis
kelamin dalam hal insiden atau prevalensi, beberapa penelitian menunjukkan
bahwa laki-laki mungkin memiliki frekuensi yang sedikit lebih tinggi daripada
perempuan.(15)

2.2.3 Etiologi

Etiologi OME bersifat multiple, OME terjadi karena interaksi berbagai factor
alergi , faktor virus dan disfungsi tuba eustachius.
1. Kegagalan fungsi tuba Eustachi. Disebabkan oleh: (16)
a. Hiperplasia adenoid

b. Rinitis kronik dan sinusitis

10
c. Tonsilitis kronik. pembesaran tonsil akan menyebabkan obstruksi
mekanik pada pergerakan palatum molle dan menghalangi membukanya
tuba Eustachi.
d. Tumor nasofaring yang jinak dan ganas. Kondisi ini selalu menyebabkan
timbulnya otitis media unilateral pada orang dewasa.
e. Defek palatum, misalnya celah pada palatum atau paralisis palatum.(16)
2. Alergi
Alergi inhalans atau ingestan sering terjadi pada anak-anak. Ini tidak
hanya menyebabkan tersumbatnya tuba eustachi oleh karena udem tetapi
juga dapat mengarah kepada peningkatan produksi sekret pada mukosa
telinga tengah.(16)
3. Otitis media yang belum sembuh sempurna
Terapi antibiotik yang tidak adekuat pada OMSA dapat menonaktifkan
infeksi tetapi tidak dapat menyembuhkan secara sempurna. Akan
menyisakan infeksi dengan grade yang rendahProses ini dapat merangsang
mukosa untuk menghasilkan cairan dalam jumlah banyak. Jumlah sel
goblet dan kelenjar mukus juga bertambah.(16)
4. Infeksi virus
Berbagai virus adeno dan rino pada saluran pernapasan atas dapat
menginvasi telinga tengah dan merangsang peningkatan produksi sekret.(16)

2.2.4 Patofisiologi

Teori klasik menjelaskan disfungsi persisten tuba Eustachius (TE).


Fungsi TE adalah sebagai ventilasi, proteksi, dan drainase. Fungsi ventilasi untuk
menyeimbangkan tekanan udara telinga tengah sama dengan tekanan udara luar.
Fungsi proteksi untuk perlindungan telinga tengah terhadap tekanan dan sekret
nasofaring. Fungsi drainase untuk mengalirkan produksi sekret dari telinga

11
tengah ke nasofaring.(17) eori terbaru menjelaskan kejadian utama sebagai
peradangan pada mukosa telinga tengahdisebabkan oleh reaksi terhadap bakteri
sudah ada dalam telinga tengah. Bluestone dkkT menunjukkan(menggunakan
bukti radiografi) refluks sampai tuba Eustachius dapat dibuktikan pada anak-
anak rentanterhadap otitis media. Selanjutnya, Crapko dkk menunjukkan adanya
pepsin dalam ruang telinga tengahpada 60% anak dengan otitis media efusi.
Refluks ini tentu juga dapat terjadi pada individu yang sehat.Mediator-mediator
inflamasi dilepaskan sebagai akibat dari antigen bakteri menyebabkan produksi
genmusin. Produksi efusi musin berlebihan akan menjadi media yang cukup
untuk perkembangbiakanbakteri dan mengakibatkan otitis media akut

Teori terbaru menjelaskan kejadian utama sebagai peradangan pada


mukosa telinga tengahdisebabkan oleh reaksi terhadap bakteri sudah ada dalam
telinga tengah. Bluestone dkk menunjukkan(menggunakan bukti radiografi)
refluks sampai tuba Eustachius dapat dibuktikan pada anak-anak rentanterhadap
otitis media. Selanjutnya, Crapko dkk menunjukkan adanya pepsin dalam ruang
telinga tengahpada 60% anak dengan otitis media efusi. Refluks ini tentu juga
dapat terjadi pada individu yang sehat.Mediator-mediator inflamasi dilepaskan
sebagai akibat dari antigen bakteri menyebabkan produksi genmusin. Produksi
efusi musin berlebihan akan menjadi media yang cukup untuk
perkembangbiakanbakteri dan mengakibatkan otitis media akut.
Hampir keseluruhan otitis media efusi disebabkan gangguan fungsi tuba
Eustachius, Disfungsi TE bisa terjadi karena upper respiratory tract infection
(URTI), trauma, obstruksi mekanis, atau alergi yang mengakibatkan inflamasi.
Jika disfungsi tuba persisten, akan terbentuk tekanan negatif dalam telinga
tengah akibat absorpsi dan/atau difusi nitrogen dan oksigen ke dalam sel mukosa
telinga tengah. Selanjutnya sel mukosa akan menghasilkan transudasi, kemudian
akan terjadi akumulasi cairan serous, berupa efusi steril sehingga terjadi OME.
Jika disfungsi tuba Eustachius berlanjut, efusi menjadi media ideal untuk
tumbuhnya bakteri, sehingga OME berubah menjadi OMA. Beberapa ahli

12
mengoreksi teori ini karena ditemukan patogen pada OME, sama seperti pada
kasus OMA.(5)
Bakteri yang sering ditemukan pada OME antara lain S. pneumoniae, M.
catarrhalis, dan H. influenzae, semuanya mampu membentuk biofilm. Biofilm
adalah kumpulan sel mikroorganisme, khususnya bakteri yang menempel pada
permukaan mukosa dan memproduksi struktur tiga dimensi yang ditutupi matriks
eksopolisakarida. Biofilm ini mengakibatkan resistensi terhadap azitromisin dan
terjadinya OME persisten karena mencegah penetrasi obat. (5)

2.2.5 Manifestasi klinik


Anak-anak atau dewasa mungkin mengeluhkan pendengarannya yang
berkurang atau telinganya terasa penuh. Penderita OME jarang memberikan
gejala sehingga pada anak-anak sering terlambat diketahui. Gejala OME ditandai
dengan rasa penuh dalam telinga, terdengar bunyi berdengung yang hilang
timbul atau tersu menerus, gangguan pendengaran, serta rasa nyeri yang ringan
pada telinga. Dizziness juga dirasakan penderita OME. Gejala kadang bersifat
asimtomatik sehingga adanya OME diketahui oleh orang yang dekat dengan anak
misalnya orang tua atau guru.(17)
Anak-anak dengan OME juga kadang sering terlihat menarik-narik
telinga mereka atau merasa seperti telinganya tersumbat. Pada kasus yang lanjut
sering ditemukan adanya gangguan bicara dan perkembangan berbahasa.
Kadang-kadang juga ditemukan keadaan kesulitan dalam berkomunikasi dan
keterbelakangan dalam pelajaran.(18)
2.2.6 Klasifikasi

Otitis media serosa akut(16)
Otitis media serosa akut adalah keadaan terbentuknya sekret di telinga
secara tiba-tiba yang disebabkan oleh gangguan fungsi tuba. Kadaan akut ini
dapat disebakan antara lain oleh:
A. Sumbatan tuba, dimana terbentuk cairan di telinga tengah disebabkan oleh
tersumbatnya tuba secara tiba-tiba seperti pada barotraumas.

13
B Virus. Terbentuknya cairan ditelinga tengah yang berhubungan dengan
infeksi virus pada jalan nafas atas

C. Alergi terbentuknya cairan ditelinga tengah yang berhubungan dengan


keadaan alergi pada jalan nafas atas

D. Idiopatik


Otitis media serosa kronik
Batasan antara kondisi otitis media kronik hanya pada cara
terbentuknya secret. Pada otitis media serosa akut secret terjadi secara tiba-
tiba di telinga tengah dengan disertai rasa nyeri pada telinga, sedangkan pada
keadaan kronis secret terbentuk secara bertahap tanpa rasa nyeri dengan
gejala-gejala pada telinga yang berlangsung lama.Otitis media serosa kronik
lebih sering terjadi pada anak-anak, sedangkan otitis media serosa akut lebih
sering terjadi pada orang dewasa. Otitis media serosa unilateral pada orang
dewasa tanpa penyebab yang jelas harus selalu difikirkan kemungkinan
adanya karsinoma nasofaring. Sekret pada otitis ,.media serosa kronik dapat
kental seperti lem, maka disebut glue ear. Otitis media serosa kronik dapat
juga terjadi sebagai gejala sisa dari otitis media akut (OMA) yang tidak
sembuh sempurna.(16)

2.2.7 Penegakan Diagnosis


A. Anamnesis

14
Anak mengeluh pendengaran berkurang, biasanya ringan dan bisa
dideteksi dengan audiogram. Selain itu, anak juga mengeluh rasa tersumbat
pada telinga atau suara sendiri terdengar lebih nyaring atau berbeda
(diplacusis binauralis) pada telinga yang sakit. Otalgia sering ringan. Pada
anak balita, gejala sulit dikenali, tetapi timbul gangguan bicara dan bahasa
karena pendengaran berkurang, kadang orang tua mengeluh anaknya
berbicara dengan suara keras dan tidak respons saat dipanggil. Kadang
tidak ada gejala pada anak. Temuan lain yaitu adanya riwayat bepergian
dengan pesawat, diving, atau riwayat alergi.(5)

B. Otoskopi
Otoskopi dilakukan untuk menilai kondisi, warna, dan translusensi
membrane timpani. Macam-macam perubahan atau kelainan yang terjadi
pada membrane timpani dapat dilihat sebagaimana berikut:
1. Membran timpani yang terlihat suram dan kadang berwarna
kekuningan yang mengganti gambaran tembus cahaya. Selain itu
letak segitiga reflek cahaya pada kuadran anteroinferior memendek,
mungkin juga didapatkan peningkatan pembuluh darah kapilwe pada
membrane timpani tersebut. Pada kasus dengan cairan mukoid atau
mukopurulen membrane timpani berwarna lebih muda .
2. Membrane timoani retraksi yaitu bila manubrium malei terlihat lebih
pendek dan lebih horizontal, membrane terlihat cekung dan refleks
cahaya memendek. Warna mungkin akan berubah agak kekuningan.
3. Atelektasis, membrane timpani biasanya tipis, atropi dan mungkin
menempel pada inkus, stapes, dan promontorium. Khususnya pada
kasus-kasus yang sudah lanjut. Biasanya kasus seperti ini karena
disfungsi tuba eustachius dan OME yang sudah berjalan lama.

15
4. Membrane timpani dengan sikatrik, suram sampai retraksi berat
disertai bagian yang atropi didapatkan pada otitis media adesif oleh
karenaterjadi jaringan fibrosis ditelinga tengah sebagai akibat proses
peradangan sebelumnya yang berlangsung lama. Keadaan ini dapat
sebagai komplikasi otitis media supuratif yang menyebabkan
rusaknya mukosa telinga tengah. Waktu penyembuhan terbentuk
jaringan fibrotic yang menimbulkan perlekatan.
5. Gambaran air fluid levels atau bubles biasanya ditemukan pada OME
yang berisi cairan serosa.
6. Membrane timpani berwarna biru gelap atau ungu diperlihatkan pada
kasus hematotimpanum yang disebabkan oleh fraktur tulang
temporal, leukemia, tumor vaskuler telinga tengah. Sedang warna
biru yang lebih muda mungkin disebabkan oleh barotraumas.
7. Gambaran lain adalah ditemukannya sikatrik dan bercak infiltrasi.

Pemeriksaan otoskopi menunjukkan kecurigaan OME apabila


ditemukan tanda-tanda: (19)
a. Tidak terdapat tanda-tanda radang akut
b. Terdapat perubahan warna membrane timpani akibat refleks dari
adanya caira didalam kavum timpani
c. Membrane timpani tampak lebih menonjol
d. Membrane retraksi atau atelektasis
e. Didapatkan air fluid levels atau bubles, atau
f. Mobilitas membrane berkurang atau fiksasi

A. Otoskopi Pneumatik
Pemeriksaan ini menunjukkan membran timpani retraksi atau
bombans dengan mobilitas menurun. Sensitivitas pneumatik otoskopi
adalah 94% dan spesifisitasnya 80%; merupakan metode diagnosis
primer dan untuk membedakan OME dari OMA. Otoskopi pneumatik
dilakukan sebelum timpanometri.(5)
B. Audiometri Nada Murni
Pada pemeriksaan ini didapatkan tuli konduksi ringan sampai
sedang. Tuli konduksi bilateral persisten lebih dari 25 dB dapat
mengganggu perkembangan intelektual dan kemampuan berbicara anak.

16
Derajat ketulian menurut International Standard Organization (ISO): (20)
0-25 dB : normal
 >25-40 dB : tuli ringan
 >40-55 dB : tuli sedang
 >55-70 dB : tuli sedang berat
 >70-90 dB : tuli berat
 >90 dB : tuli sangat berat

C. Timpanometri

Timpanometri memberikan penilaian objektif mobilitas membran


timpani, fungsi TE, dan fungsi telinga tengah dengan mengukur jumlah
energi suara yang dipantulkan kembali oleh probe kecil yang
ditempatkan pada liang telinga. Prosedur ini tidak nyeri, relatif
sederhana, dan dapat dilakukan dengan portable screening unit. Hasil
pemeriksaan timpanometri disebut timpanogram.(21) Timpanometri
digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis OME. Pada timpanogram
didapatkan hasil tipe B atau C membran timpani terbatas karena adanya
cairan atau perlekatan dalam kavum timpani. Sensitivitas dan
spesifisitas timpanometri cukup tinggi (sensitivitas 94%, spesifisitas 50-
70%) jika dibandingkan dengan miringotomi.(21)

Gambar 5. Timpanometri

2.2.8 Tatalaksana

Pengobatan OME masih menjadi perdebatan karena cara konservatif


ataupun operatif masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Harus

17
diteliti adanya faktor risiko yang akan menjadi predisposisi sekuele atau
memprediksi OME persisten.(5)

Faktor risiko yang memperlambat resolusi spontan OME: (5)

1. Penurunan pendengaran >30 dB


2. Riwayat penggunaan tube timpanostomi sebelumnya
3. Tidak pernah menjalani operasi Adenoidektomi

Faktor risiko sekuele OME: (5)


1. Permanent hearing loss
2. Keterlambatan atau gangguan berbicara dan berbahasa
3. Autism spectrum disorder dan pervasive development disorder lainnya
4. Sindrom (misalnya sindrom Down) atau gangguan kraniofasial yang
meliputi keterlambatan bicara, bahasa, dan kognitif
5. Kebutaan atau gangguan visual yang tidak bisa dikoreksi
6. Cleft palate, yang berhubungan atau tidak berhubungan dengan
sindrom
7. Gangguan pertumbuhan

Observasi ketat sangat dianjurkan untuk anak-anak dengan faktor risiko


di atas. Tes pendengaran disarankan jika OME menetap selama 3 bulan atau
lebih. Pada anak-anak tanpa risiko, disarankan evaluasi setiap 3-6 bulan sampai
efusi terserap, teridentifikasinya struktur membran timpani abnormal, gangguan
pendengaran, bicara, dan bahasa. Dengan strategi observasi, penggunaan tube
ventilation di Inggris berkurang dari 43.300 pada tahun 1994-1995 menjadi
25.442 pada tahun 2009-2010. Penatalaksanaan OME yang pernah diteliti
antara lain: (5)
a. Kortikosteroid
Secara teori, kortikosteroid bermanfaat untuk pengobatan
OME. Mekanisme anti-inflamasi terjadi karena penghambatan
fosfolipase A2, yang kemudian menghambat pembentukan asam
arakidonat, sehingga menghambat sintesis mediator inflamasi,
peningkatan regulasi ion natrium transepitelial, menyebabkan
pengosongan cairan dari telinga tengah dan menekan produksi musin

18
dengan cara menekan musin5ac (MUC5AC). Bukti ilmiah perbaikan
jangka pendek penggunaan kortikosteroid intranasal masih terbatas.(5)
Clinical practice guideline dari American Academy of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery tidak merekomendasikan
penggunaan kortikosteroid oral ataupun intranasal. Metaanalisis
menunjukkan tidak ada manfaat steroid oral dalam 2 minggu, tetapi
steroid oral dengan antimikroba lebih bermanfaat jangka pendek
dibandingkan antimikroba saja; setelah beberapa minggu perbedaan
manfaat tidak signifikan. Outcome setelah 12 minggu penggunaan
kortikosteroid intranasal plus antibiotik ekuivalen dengan pemberian
antibiotik saja.(5)
b. Antibiotik
Banyaknya studi yang menunjukkan bakteri pada cairan efusi,
menyebabkan amoksisilin dipergunakan sebagai antibiotik lini
pertama. Mendel, et al, melaporkan pada 518 pasien anak dengan
OME, penyembuhan dengan amoksilin dengan atau tanpa kombinasi
antihistamin dekongestan 2 kali lebih tinggi dibandingkan plasebo.
Namun, antibiotik rutin tidak dianjurkan karena risiko resistensi.
Penggunaan antibiotik jangka panjang dengan atau tanpa
kortikosteroid tidak terbukti efektif untuk OME. Ciprofloxacin topikal
(fluoroquinolonototopikal) juga dapat digunakan. Fluoroquinolon
tidak menyebabkan toksisitas koklear atau vestibuler. Penggunaannya
diindikasikan pada pasien OME bilateral pediatrik yang sudah
dioperasi dengan myringotomi-tube insertion. Dosisnya 6 mg pada
masing-masing telinga kemudian cairan efusi diisap dengan suction.(5)
c. Miringotomi
Miringotomi (timpanostomi) - pemasangan pipa ventilasi untuk
evakuasi cairan dari dalam telinga tengah. Tujuannya adalah
menghilangkan cairan di telinga tengah, mengatasi gangguan
pendengaran, mencegah kekambuhan, mencegah gangguan
perkembangan kognitif, bicara, bahasa, dan psikososial.(5)

19
Indikasi pembedahan pada OME tergantung status
pendengaran, gejala, risiko tumbuh kembang, dan kemungkinan efusi
sembuh spontan. Operasi dilakukan setelah pengobatan konservatif
selama 3 bulan gagal.(22)

2.2.9 Prognosis

Otitis media dengan efusi (OME) adalah penyebab utama


gangguan pendengaran pada anak-anak. Kondisi ini dikaitkan dengan
perkembangan bahasa yang terlambat pada anak-anak berusia kurang
dari 10 tahun, dengan tuli konduktif, dengan ambang konduksi udara
rata-rata 27,5 desibel (dB), tetapi otitis media efusi juga telah
dikaitkan dengan tuli sensorineural.(17)
Secara umum, prognosis untuk otitis media dengan efusi baik.
Sebagian besar episode sembuh secara spontan tanpa intervensi, dan
banyak yang tidak terdiagnosis. Namun, 5% dari anak-anak yang tidak
diobati dengan pembedahan memiliki otitis media efusi yang persisten
pada 1 tahun. Intervensi bedah secara signifikan meningkatkan
pembersihan efusi telinga tengah pada populasi ini, tetapi manfaat
untuk perkembangan bicara dan bahasa serta kualitas hidup masih
kontroversial.

BAB III

KESIMPULAN

Otitis media efusi (OME) ialah terdapatnya sekret yang nonpurulen di telinga
tengah, tetapi keadaan membrane timpani masih utuh. OME merupakan salah satu
masalah serius karena merupakan penyebab ketulian tersering pada anak. pada anak
memerlukan perhatian mengingat komplikasi yang bisa mempengaruhi aspek

20
perkembangan anak, seperti bahasa dan inteligensia.(5) OME sering terjadi pada bayi
dan anak-anak sehingga cukup sulit dalam melakukan diagnosis penyakitnya. Orang
terdekar dan banyak berinteraksi dengan anak tersebut menjadi sumber informasi
yang baik untuk mendapatkan riwayat penyakit secara komplit. Perhatian orang tua
dan guru sangat membantu dalam menegakkan diagnosis.(19)

Etiologi dan patofisiologi OME sangat multifaktorial, saling menunjang dan


saling terkait. Pada bayi dan anank-anak, status imunilogi sangat oentung untuk
menjaga daya tahan tubuh terhadap infeksi.(2)

Anamnesis dan pemeriksaan fisik diperlukan dalam penegakan diagnosis


OME. Penggunaan alat otoskopi pneumatic, timpanomtri, audiometric untuk
pemeriksaan fisik sangat membantu dalam penegakan diagnosis OME. Tindakan
operatif berupa miringotomi dengan pemasangan pipa ventilasi masih merupakan
pilihan utama, terutama pada anak dengan faktor risiko. Untuk pasien anak dengan
OME tanpa faktor risiko, watchful waiting masih bisa dilakukan.(5)

DAFTAR PUSTAKA

1. Restuti RD, Sosialisman, Otitis Media Efusi, Kumpulan naskah


simposiumnasional perkembangan terkini penatalaksanaan beberapa
penyakit otitis media, Malang, Agustus 2009.
2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Otitis Media Non
Supuratif. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorokan, Kepala & Leher. Jakarta: Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012. Hal 67
3. Soepriyadi, Widodo A. 2008. Diagnosis Otitis Media Efusi. Journal
Universitas Airlangga. ISSN 23378417. 1(2):41-8

21
4. Duke T, Kelly J, Weber M, English M, Campbell H. Otitits Media with
Effusion. ICHRC. 2006. Accessed at http://www.ichrc.org/693-otitis-
media-efusi
5. Choung YH, Shin YR, Choi SJ, Park K, Lee JB, Han DH, et al. 2008.
Management for the children with otitis media with effusion in the tertiary
hospital. Clin Experiment. Otorhinolaryngol. 1(4):201-5.
6. Aquinas R. 2017. Tatalaksana Otitis Media Efusi Pada Anak. CDK-254.
44(7):472-7
7. Daniel M, Umer SI, Fergie N, Birchall JP, Bayston R. 2012. Bacterial
involvement in otitis media with effusion. Internat Journal Pediatric
Otorhinolaryngol. (76):1416-22
8. Ganong WF. 2009. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta:
EGC
9. Dhingra, P. L., Dhingra S., 2014. Diseases of Ear, Nose, Throat, Head and
Neck Surgery. 6th Edition. Elsevier: India, 192-196
10. Harmadji S, Jusri RK. 2013. Anatomi dan Fisiologi Tuba Eustachius.
Journal Kedokteran Unair. Accessed at
http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtkl13565a752e2full.pdf
11. Lee K.J. Eustachian tube. In: Lee K.J, editor. Essential Otolaryngology
Head & Neck Surgery. 8th edition. McGraw-Hill Medical Publishing
Divition. p.9-10.
12. Bluestone CD and Klein JO. Otitis media & Eustachian tube dysfunction.
In : Pediatric Otolaryngology. 4th edition.Volume 1. Saunders P.497-517.
13. Bluestone CD. Physiology of the middle ear and Eustachian tube. In
Paparella, editor. Otolaryngology – Head & Neck. 3th edition.
Philadelphia, WB Saunders Company; 1991.p.163-83.
14. Widyasaputra MT. 2014. Jurnal Kedokteran Diponegoro. Accessed at
http://eprints.undip.ac.id/44825/3/Maureen_22010110120088_Bab2KTI.p
df
15. Thrasher RD, Allen GC. Middle Ear, otitits media with effusion.
Accessed at http://www.emedicine.com/ent/topic209.htm.
16. Higgins TS. 2018. Epidemiology, Otitis Media With Effusion. Accessed at
https://emedicine.medscape.com/article/858990-overview#a5

22
17. Dhingra, PL. Editor: Otitis Media With Effusion. Disease of Ear, Nose and
Throat. New Delhi: B.I.Churchill Livingstone Pvt ltd.2005.p 64-67.
18. Higgins TS. Otitis media with effusion [Internet]. 2017. Accessed at:
http://emedicine.medscape.com/article/858990-overview#showall
19. Megantara, Imam. 2008. Infoemasi kesehatan THT: Otitis Media Efusi. [5
screens] accessed at http://www.perhati-kl.org/
20. The Johns Hopkins University School of Medicine and the Institute for
Johns Hopkins Nursing. A view through distinguishing acute otitis media
from otitis media with effusion. Accessed at
http://www.rand.org/pubs/monograph_reports/MR1283/mr1283.ch15.pdf
21. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Jenis Dan Derajat
Ketulian Serta GAP. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorokan, Kepala & Leher. Jakarta: Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012. Hal 20
22. Felman AS. Tympanometry: Procedures, interpretation, and variables. In:
Feldman AS, Wilber LA, editors. Acoustic impedance and adimittance:
The measurement of middle ear function. Williams & Wilkins: Baltimore;
1976 .p.103.

23
24

Anda mungkin juga menyukai