Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

Otosklerosis

Pembimbing:
dr. Wahyu BM, Sp. THT, MSi Med

Disusun Oleh :
Ega Farhatu Jannah 112012363
Theresia Amanda

Kepaniteraan Klinik 6 Maret – 8 April 2017


Departemen Telinga, Hidung dan Tenggorokan
RS PANTI WILASA “DR. CIPTO”
SEMARANG

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan referat dengan judul “Otosklerosis”.
Adapun pembuatan tulisan ini bertujuan untuk pemenuhan tugas Kepanitriaan Klinik di stase
Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, RS. Panti Wilasa dr. Cipto Semarang.
Penyusun menyadari bahwa referat ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penyusun mohon maaf apabila terdapat banyak
kekurangan dalam penyusunan referat ini dan mengharapkan saran serta kritik yang
membangun guna menambah ilmu dan pengetahuan penyusun dalam ruang lingkup ilmu
Telinga, Hidung dan Tenggorokan, khususnya yang berhubungan dengan referat ini.
Penyusun juga berharap referat ini dapat memberi manfaat dan dapat menambah
wawasan keilmuan di bidang kedokteran khususnya dalam lingkup ilmu Telinga, Hidung dan
Tenggorokan serta dapat memacu minat baca.

Semarang, Maret 2017

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................................ 2
DAFTAR ISI .................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 4
1.1 Latar belakang .................................................................................................... 4
1.2 Tujuan ............................................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 5
2.1.Anatomi dan Fisiologi Telinga ........................................................................... 5
2.1.1 Telinga Luar ....................................................................................... 5
2.1.2 Telinga Tengah .................................................................................... 6
2.1.3 Telinga Dalam ................................................................................... 8
2.1.4 Fisiologi ............................................................................................... 11
2.2.Definisi ................................................................................................................. 12
2.3 Etiologi ............................................................................................................... 12
2.4.Patologi .............................................................................................................. 13
2.5.Gejala Klinis ...................................................................................................... 14
2.6.Diagnosis ........................................................................................................... 15
2.6.1 Diagnosis .............................................................................................. 15
2.6.2 Diagnosis Banding .......................................................................... 16
2.7.Penatalaksanaan ............................................................................................ 16
2.7.1 Medikamentosa .................................................................................. 16
2.7.2 Operasi ............................................................................................... 17
2.7.3 Alat Bantu Dengar ......................................................................... 21
2.8 Prognosis ......................................................................................................... 21
BAB III KESIMPULAN .................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 23

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Otosklerosis merupakan penyakit pada kapsul tulang labirin yang mengalami
spongiosis di daerah kaki stapes, sehingga stapes menjadi kaku dan tidak dapat
menghantarkan getaran suara ke labirin dengan baik.1
Pada tahun 1881 Von Troltsch menemukan ketidaknormalan dimukosa telinga tengah
pada penyakit ini dan beliau yang pertama kali memberi istilah penyakit ini dengan
otosklerosis. Politzer pada tahun 1893, menjelaskan dengan benar mengenai otosklerosis
sebagai penyakit primer dari kapsul otik bukan hanya sebagai peristiwa inflamasi penyakit
telinga saja.2
Otosklerosis adalah salah satu dari bentuk hilangnya pendengaran pada orang dewasa
yang umum ditemukan, dengan prevalensi 0,3-0,4% pada Kaukasian. Prevalensinya rendah
pada orang kulit hitam, Asia. Perempuan terkena dua kali lebih banyak daripada laki-laki.
Penyakit ini ditandai dengan proses remodeling tulang yang abnormal yaitu pada kapsul otik.
Apabila lesi dari tulang yang remodeling menginvasi sendi stapedio-vestibulo, dan
menyebabkan gerakan stapes terganggu sehingga menjadi tuli konduktif, namun 10% dari
penderita mengalami tuli sensorineural walaupun penyebab tuli sensorineural disini tidak
diketahui, mungkin berkaitan dengan proses remodeling pada labirin, suatu proses sekresi
enzim menyebabkan kerusakan pada koklea.3

1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk pemenuhan tugas Kepanitriaan Klinik di
stase Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.
Serta makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang penyakit “Otosklerosis”
sehingga dapat melakukan deteksi, diagnosis dan penatalaksanaan yang baik.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Telinga


Anatomi telinga dibagi atas telinga luar,telinga tengah,telinga dalam: 4-6
2.1.1 Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran tympani.
Telinga luar atau pinna merupakan gabungan dari tulang rawan yang diliputi kulit. Daun
telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga (meatus akustikus eksternus)
berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, di sepertiga
bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasikelenjar keringat
= Kelenjar serumen) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga.
Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen, dua pertiga bagian
dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 - 3 cm. Meatus dibatasi oleh
kulit dengan sejumlah rambut, kelenjar sebasea, dan sejenis kelenjar keringat yang telah
mengalami modifikasi menjadi kelenjar seruminosa, yaitu kelenjar apokrin tubuler yang
berkelok-kelok yang menghasilkan zat lemak setengah padat berwarna kecoklat-coklatan
yang dinamakan serumen (minyak telinga). Serumen berfungsi menangkap debu dan
mencegah infeksi.

5
Gambar 2.1 : Telinga luar, telinga tengah, telinga dalam. Potongan Frontal Telinga 4-6

2.1.2 Telinga Tengah


Telinga tengah berbentuk kubus dengan :
 Batas luar : Membran timpani
 Batas depan : Tuba eustachius
 Batas Bawah. : Vena jugularis (bulbus jugularis)
 Batas belakang : Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis.
 Batas atas : Tegmen timpani (meningen / otak )
 Batas dalam : Berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis
horizontal, kanalis fasialis,tingkap lonjong (oval window),tingkap
bundar (round window) dan promontorium.
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan
terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut Pars flaksida (Membran
Shrapnell), sedangkan bagian bawah Pars Tensa (membrane propia). Pars flaksida hanya
berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam
dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai
satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin
yang berjalan secara radier dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam.
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membrane timpani disebut umbo.
Dimembran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier. Serabut inilah yang
menyebabkan timbulnya reflek cahaya yang berupa kerucut. Membran timpani dibagi dalam
4 kuadran dengan menarik garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak
6
lurus pada garis itu di umbo, sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-
depan serta bawah belakang, untuk menyatakan letak perforasi membrane timpani.
Didalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar
kedalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran didalam telinga tengah saling
berhubungan . Prosesus longus maleus melekat pada membrane timpani, maleus melekat
pada inkus dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang
berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan
persendian.
Telinga tengah dibatasi oleh epitel selapis gepeng yang terletak pada lamina propria
yang tipis yang melekat erat pada periosteum yang berdekatan. Dalam telinga tengah terdapat
dua otot kecil yang melekat pada maleus dan stapes yang mempunyai fungsi konduksi suara.
maleus, inkus, dan stapes diliputi oleh epitel selapis gepeng. Pada pars flaksida terdapat
daerah yang disebut atik. Ditempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang
menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam
telinga tengah yang menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.

Gambar 2.2 : Membran Timpani 4-6


Telinga tengah berhubungan dengan rongga faring melalui saluran eustachius (tuba
auditiva), yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan tekanan antara kedua sisi membrane
tympani. Tuba auditiva akan membuka ketika mulut menganga atau ketika menelan
makanan. Ketika terjadi suara yang sangat keras, membuka mulut merupakan usaha yang
baik untuk mencegah pecahnya membran tympani. Karena ketika mulut terbuka, tuba
auditiva membuka dan udara akan masuk melalui tuba auditiva ke telinga tengah, sehingga
menghasilkan tekanan yang sama antara permukaan dalam dan permukaan luar membran
tympani.

7
2.1.3 Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran
dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea
disebut holikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.
Kanalis semi sirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk
lingkaran yang tidak lengkap.
Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani
sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala
timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli
disebut sebagai membrane vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media
adalah membrane basalis. Pada membran ini terletak organ corti.
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran
tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel
rambut luar dan kanalis corti, yang membentuk organ corti.

8
Gambar 2.3 : Gambar labirin bagian membrane labirin bagian tulang, Telinga Dalam 4-6

Koklea
Bagian koklea labirin adalah suatu saluran melingkar yang pada manusia panjangnya
35mm. koklea bagian tulang membentuk 2,5 kali putaran yang mengelilingi sumbunya.
Sumbu ini dinamakan modiolus, yang terdiri dari pembuluh darah dan saraf. Ruang di dalam
koklea bagian tulang dibagi dua oleh dinding (septum). Bagian dalam dari septum ini terdiri
dari lamina spiralis ossea. Bagian luarnya terdiri dari anyaman penyambung, lamina spiralis
membranasea. Ruang yang mengandung perilimf ini dibagi menjadi: skala vestibule (bagian
atas) dan skala timpani (bagian bawah). Kedua skala ini bertemu pada ujung koklea. Tempat
ini dinamakan helicotrema. Skala vestibule bermula pada fenestra ovale dan skala timpani
berakhir pada fenestra rotundum. Mulai dari pertemuan antara lamina spiralis membranasea
kearah perifer atas, terdapat membrane yang dinamakan membrane reissner. Pada pertemuan
kedua lamina ini, terbentuk saluran yang dibatasi oleh:
1. membrane reissner bagian atas
2. lamina spiralis membranasea bagian bawah
3. dinding luar koklea

saluran ini dinamakan duktus koklearis atau koklea bagian membrane yang berisi endolimf.
Dinding luar koklea ini dinamakan ligamentum spiralis.disini, terdapat stria vaskularis,
tempat terbentuknya endolimf.

9
Gambar 2.4 : Koklea 5,6
Didalam lamina membranasea terdapat 20.000 serabut saraf. Pada membarana
basilaris (lamina spiralis membranasea) terdapat alat korti. Lebarnya membrane basilaris dari
basis koklea sampai keatas bertambah dan lamina spiralis ossea berkurang. Nada dengan
frekuensi tinggi berpengaruh pada basis koklea. Sebaliknya nada rendah berpengaruh
dibagian atas (ujung) dari koklea.

GAMBAR 2.5 : Organ korti 5,6


Pada bagian atas organ korti, terdapat suatu membrane, yaitu membrane tektoria. Membrane
ini berpangkal pada Krista spiralis dan berhubungan dengan alat persepsi pada alat korti.
Pada alat korti dapat ditemukan sel-sel penunjang, sel-sel persepsi yang mengandung rambut.
Antara sel-sel korti ini terdapat ruangan (saluran) yang berisi kortilimf.
Duktus koklearis berhubungan dengan sakkulus dengan peralatan duktus reunions. Bagian
dasar koklea yang terletak pada dinding medial cavum timpani menimbulkan penonjolan
pada dinding ini kearah cavum timpani. Tonjolan ini dinamakan promontorium.

Vestibulum
Vestibulum letaknya diantara koklea dan kanalis semisirkularis yang juga berisi
perilimf. Pada vestibulum bagian depan, terdapat lubang (foramen ovale) yang berhubungan
dengan membrane timpani, tempat melekatnya telapak (foot plate) dari stapes. Di dalam
vestibulum, terdapat gelembung-gelembung bagian membrane sakkulus dan utrikulus.

10
Gelembung-gelembung sakkulus dan utrikulus berhubungan satu sama lain dengan
perantaraan duktus utrikulosakkularis, yang bercabang melalui duktus endolimfatikus yang
berakhir pada suatu lilpatan dari duramater, yang terletak pada bagian belakang os
piramidalis. Lipatan ini dinamakan sakkus endolimfatikus. Saluran ini buntu.
Sel-sel persepsi disini sebagai sel-sel rambut yang di kelilingi oleh sel-sel penunjang
yang letaknya pada macula. Pada sakkulus, terdapat macula sakkuli. Sedangkan pada
utrikulus, dinamakan macula utrikuli.

Kanalis semisirkularisanlis
Di kedua sisi kepala terdapat kanalis-kanalis semisirkularis yang tegak lurus satu
sama lain. didalam kanalis tulang, terdapat kanalis bagian membran yang terbenam dalam
perilimf. Kanalis semisirkularis horizontal berbatasan dengan antrum mastoideum dan
tampak sebagai tonjolan, tonjolan kanalis semisirkularis horizontalis (lateralis).
Kanalis semisirkularis vertikal (posterior) berbatasan dengan fossa crania media dan tampak
pada permukaan atas os petrosus sebagai tonjolan, eminentia arkuata. Kanalis semisirkularis
posterior tegak lurus dengan kanalis semi sirkularis superior. Kedua ujung yang tidak
melebar dari kedua kanalis semisirkularis yang letaknya vertikal bersatu dan bermuara pada
vestibulum sebagai krus komunis.
Kanalis semisirkularis membranasea letaknya didalam kanalis semisirkularis ossea.
Diantara kedua kanalis ini terdapat ruang berisi perilimf. Didalam kanalis semisirkularis
membranasea terdapat endolimf. Pada tempat melebarnya kanalis semisirkularis ini terdapat
sel-sel persepsi. Bagian ini dinamakan ampulla.
Sel-sel persepsi yang ditunjang oleh sel-sel penunjang letaknya pada Krista ampularis
yang menempati 1/3 dari lumen ampulla. Rambut-rambut dari sel persepsi ini mengenai
organ yang dinamakan kupula, suatu organ gelatinous yang mencapai atap dari ampulla
sehingga dapat menutup seluruh ampulla.

2.1.4 Fisiologi pendengaran 4-6


Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energy bunyi oleh daun telinga dalam
bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang kekoklea. Getaran tersebut
menggetarkan membran timpani diteruskan ketelinga tengah melalui rangkaian tulang
pendengaran yang akan mengimplikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan
perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah
diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga

11
perilimfa pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang
mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relative antara membran basilaris
dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan
terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses
depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius
sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.

Gambar 2.6 : Fisiologi Pendengaran 1,4

2.2 Definisi
Otosklerosis adalah penyakit primer dari tulang-tulang pendengaran dankapsul tulang
labirin.Otosklerosis adalah suatu penyakit pada tulang pada bagian telinga tengah khususnya
pada stapes yang disebabkan pembentukan baru tulangspongiosus dan sekitar jendela ovalis
sehingga dapat mengakibakan fiksasi pada stapes.1

2.3 Etiologi 2,7,8


Penyebab otosklerosis belum diketahui pasti tetapi ada kemungkinan beberapa fakta
di bawah ini:
1. Berdasarkan anatomi.
Tulang labirin terbuat dari enchondral dimana terjadi sedikit perubahan selama
kehidupan, tapi terkadang pada tulang keras ini terdapat area kartilago yang oleh
karena faktor non spesifik tertentu diaktifkan untuk membentuk tulang spongios baru.

12
Salah satu area tersebut adalah fissula ante fenestram yang berada di depan oval
window yang merupakan predileksi untuk otospongiosis tipe stapedium.
2. Herediter, Sekitar 50% otosklerosis memiliki riwayat keluarga.
3. Ras, Kulit putih lebih banyak dari pada kulit hitam.
4. Jenis kelamin, Perempuan 2 kali lebih banyak dari pada laki-laki
5. Usia, Ketulian biasanya diawali pada usia 20 sampai 30 tahun dan jarang sebelum
usia 10 dan sesudah 40 tahun
6. Faktor lain seperti kehamilan, menopause, kecelakaan, setelah operasi besar
7. Penyakit paget, secara histologi sama dengan otosklerosis namun untuk
membedakannya penyakit paget ini bermula dari lapisan periosteal dan melibatkan
tulang endokondral. Keterlibatan tulang temporal dapat mengakibatkan tuli
sensorineural, namun keterlibatan stapes jarang dijumpai.

2.4 Patologi
Secara histologi proses otosklerosis terdiri dari dua fase. Fase awal ditandai oleh
resorbsi tulang dan peningkatan vaskularisasi. Bila kandungan dari maturasi kolagen
berkurang, tulang menjadi kelihatan spongios (otospongiosis).9,10 Pada fase lanjut, tulang
yang telah diresorbsi digantikan oleh tulang sklerotik yang tebal, sehingga dinamakan
otosklerosis.2 Pada pemeriksaan dengan pewarnaan hematoksilin eosin didapatkan warna
kebiruan yang disebut dengan mantel biru Manasse.9

PL. Dhingra mengklasifikasikan tipe otosklerosis sebagai berikut:7


1. Otosklerosis stapedial
Otosklerosis stapedial disebabkan karena fiksasi stapes dan tuli konduktif umumnya
banyak dijumpai. Lesi ini dimulai dari depan oval window dan area ini disebut ‘fissula
ante fenestram’. Lokasi ini menjadi predileksi (fokus anterior). Lesi ini bisa juga
dimulai dari belakang oval window (fokus posterior), disekitar garis tepi footplate
stapes (circumferential), bukan di footplate tetapi di ligamentum annular yang bebas
(tipe biskuit). Kadang-kadang bisa menghilangkan relung oval window secara lengkap
(tipe obliteratif).

13
2. Otosklerosis koklear
Otosklerosis koklear melibatkan region sekitar oval window atau area lain di dalam
kapsul otik dan bisa menyebabkan tuli sensorineural. kemungkinan disebabkan
material toksik di dalam cairan telinga dalam
3. Otosklerosis histologi
Tipe otosklerosis ini merupakan gejala sisa dan tidak dapat menyebabkan tuli
konduktif dan tuli sensorineural.

Gambar 4. Tipe otosklerosis stapedial. (A) Fokus anterior. (B) Fokus posterior. (C)
Sirkumperensial. (D) tipe biskuit. (E) Obliteratif.7

Lokasi predileksi untuk keterlibatan otosklerotik adalah:


1. Anterior oval window (80-90%)
2. Tepi dari round window (30-50%)

2.5 Gejala Klinik


Penyakit otosklerosis mempunyai gejala klinis sebagai berikut:7
1. Penurunan pendengaran
Gejala ini timbul dan biasanya dimulai pada usia 20-an, tidak terasa sakit dan
progresif dengan onset yang lambat. Biasanya tipe konduktif dan bilateral.
2. Paracusis willisii
Seorang pasien otosklerotik mendengar lebih baik di keramaian dari pada di
lingkungan yang sepi. Hal ini disebabkan oleh karena orang normal akan
meningkatkan suara di lingkungan yang ramai.

14
3. Tinnitus seringkali dijumpai pada koklear otosklerosis dan lesi yang aktif
4. Pasien bicara pelan dan monoton

2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding


26.1 Diagnosis

Diagnosis otosklerosis berdasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan audiometri. Diagnosis pasti dengan eksplorasi telinga tengah. Pendengaran
terasa berkurang secara progresif dan lebih sering terjadi bilateral. Otosklerosis khas terjadi
pada usia dewasa muda. Setelah onset, gangguan pendengaran akan berkembang dengan
lambat. Penderita perempuan lebih banyak dari laki-laki, umur penderita antara 11-45 tahun,
tidak terdapat riwayat penyakit telinga dan riwayat trauma kepala atau telinga sebelumnya.1,9
Pada pemeriksaan ditemukan membran timpani utuh, kadang-kadang tampak
promontorium agak merah jambu, terutama bila membran timpaninya transparan. Gambaran
tersebut dinamakan tanda Schwartze yang menandakan adanya fokus otosklerosis yang
sangat vaskuler.1
Pada pemeriksaan dengan garpu tala menunjukkan uji Rinne negatif. Uji Weber
sangat membantu dan akan positif pada telinga dengan otosklerosis unilateral atau pada
telinga dengan ketulian konduktif yang lebih berat.
Pemeriksaan audiometri menunjukkan tipikal tuli konduktif ringan sampai sedang
yang menunjukkan adanya penurunan hantaran udara pada frekuensi rendah. Hantaran tulang
normal. Air-bone gap lebih lebar pada frekuensi rendah. Dalam beberapa kasus tampak
adanya cekungan pada kurva hantaran tulang. hal ini berlainan pada frekuensi yang berbeda
namun maksimal pada 2000 Hz yang disebut dengan Carhart’s notch (5 dB pada 500 Hz, 10
dB pada 1000 Hz, 15 dB pada 2000 Hz dan 5dB pad 4000 Hz) Pada otosklerosis dapat
dijumpai gambaran Carhart’s notch.7,9,10

Gambar 5. Carhart’s notch.7

15
Timpanogram bisa menurun (As) atau normal. Refleks stapedial mungkin normal
pada fase awal tetapi tidak didapatkan pada fiksasi stapes. Speech reception threshold dan
speech discrimination sering normal, kecuali pada kasus dengan terlibatnya koklea.7,9,10

Gambar 6. Timpanogram.9
Secara klinis, pemeriksaan High-resolution computed tomography (CT) dan magnetic
resonance imaging (MRI) sedikit berguna untuk evaluasi otosklerosis. Pada high-resolution
computed tomography (CT), dapat diidentifikasikan lesi sklerotik.9

Gambar 6. CT Scan temporal potongan aksial menunjukkan area kapsul otik yang
radiolusen.10
26.2 Diagnosis Banding 3

1. Otitis media sekretori (otitis media dengan efusi)


2. Otitis media adhesi
3. Ossicular chain disruption
4. Fiksasi ossikular kongenital
5. Sindrom Vander Hoeve
6. Timpanosklerosis
7. Penyakit paget

16
2.7 Penatalaksanaan

2.7.1 Medikamentosa
Shambaugh dan Scott memperkenalkan penggunaan sodium fluoride sebagai
pengobatan dengan dosis 30-60 mg/hari salama 2 tahun, berdasarkan keberhasilan dalam
terapi osteoporosis. Sodium fluoride ini akan meningkatkan aktivitas osteoblast dan
meningkatkan volume tulang. Efeknya mungkin berbeda, pada dosis rendah merangsang dan
pada dosis tinggi menekan osteoblast. Biphosphonat yang bekerja menginhibisi aktivitas
osteoklastik dan antagonis sitokin yang dapat menghambat resorbsi tulang mungkin bisa
memberi harapan di masa depan. Saat ini, tidak ada rekomendasi yang jelas terhadap
pengobatan penyakit ini.7,9

Indikasi pemberian sodium fluoride

- Pasien otosklerosis yang tidak dapat dilakukan tindakan bedah memperlihatkan tuli
saraf progresif yang tidak sebanding dengan usianya.
- Pasien dengan tuli saraf di mana menunjukkan otosklerosis koklea.
- Pasien yang secara politomografi memperlihatkan perubahan spongiotik pada kapsul
koklea.
- Pasien dengan tanda Schwartze positif.

Kontraindikasi pemberian sodium fluoride.

- Pasien dengan nefritis kronis yang disertai retensi nitrogen


- Pasien dengan rheumatoid arthritis kronis
- Pada anak-anak yang pertumbuhan tulangnya belum sempurna
- Pasien yang alergi dengan fluorida
- Pasien dengan fluorosis tulang

Efek samping sodium floride.


Gangguan gastrointestinal adalah efek samping yang paling sering ditemukan namun
bisa dicegah dengan mengkonsumsinya setelah makan. Peningkatan pada gejala-gejala pada
persendian dapat timbul pada penderita.

17
2.7.2 Operasi
Penatalaksanaan operasi dengan stapedektomi dan stapedotomi telah digunakan
secara luas sebagai prosedur pembedahan yang dapat meningkatkan pendengaran pada
penderita dengan gangguan pendengaran akibat otosklerosis.11
a. Stapedektomi
Penatalaksanaan dengan operasi stapedektomi merupakan pengobatan pilihan.12
Stapedektomi merupakan operasi dengan membuang seluruh footplate. Operasi stapedektomi
pertama kali dilakukan oleh Jack dari Boston, Massachusetts pada 1893, dengan hasil yang
baik. Operasi stapedektomi pada otosklerosis disisipkan protesis di antara inkus dan oval
window. Protesis ini dapat berupa sebuah piston teflon, piston stainless steel, piston platinum
teflon atau titanium teflon. Piston teflon, merupakan protesis yang paling sering digunakan
saat ini. Hampir 90% pasien mengalami kemajuan pendengaran setelah dilakukan operasi
dengan stapedektomi.7

Gambar 7. (A). sebelum stapedektomi. (B). stapedektomi dan penggantian dengan Piston
Teflon.7

Gambar 8. Protesis stapes. (A) piston Teflon, (B) piston platinum Teflon,
(C) piston titanium Teflon.7

Dasar tindakan ini adalah membuat foramen oval yang paten, menutupnya suatu
membran baik alamiah maupun artifisial dan membuat hubungan antara inkus dengan
membran baru yang menutupi foramen ovale. Pemaparan daerah foramen ovale diperlukan
mikroskop operasi dan penahan spekulum. Insisi dibuat dibagian posterior dan superior
dinding liang telinga dan berjarak cukup dari anulus untuk menjamin tersedianya jabir kulit

18
yang cukup banyak yang menutup kerusakan dinding tulang yang dibuang untuk
memaparkan stapes. Lippy et al. 2008 menyatakan stapedektomi pada pasien tua (70-92
tahun) memberikan hasil yang sama baik seperti terlihat pada pasien yang lebih muda.
Pasien dengan usia tua bukan bearati tidak memiliki kestabilan yang lebih rendah dari pada
pasien dengan usia lebih muda. Jika ditemukan footplate salah satu telinga tertutup
(obliterated) maka terdapat 40% kemungkinan akan ditemukan pada telinga lainnya.1
b. Stapedotomi
Pada teknik stapedotomi, dibuat lubang di footplate, dilakukan hanya untuk tempat
protesis (Gambar 9). Teknik yang diperkenalkan oleh Fisch, sebuah lubang setahap demi
setahap dibesarkan dengan hand-held drill sampai diameter 0,6 mm. Stapes digantikan
dengan protesis yang dipilih kemudian ditempatkan pada lubang dan dilekatkan ke inkus.
Ukuran protesis yang digunakan sedikit lebih panjang (0,25 mm) dibandingkan dengan jarak
antara inkus dan footplate untuk memastikan kontak dengan ruang perilimf dan mencegah
pergeseran selama proses penyembuhan.
Banyak ahli otologi menganjurkan penggunaan laser pada stapedotomi. Keuntungan
penggunaan laser adalah mengurangi manipulasi terhadap suprastruktur dan footplate. Efek
termalnya dapat diabaikan. Kerugiannya adalah waktu lebih lama, mahal dan memerlukan
peralatan. Perkin dan Curto mempopulerkan kombinasi stapedotomi laser dengan jaringan
untuk menutup lubang. Graft vena dipasang di atas lubang yang dibor pada blok teflon.
Protesis dipasang pada lubang dan graft vena dibiarkan mengering dan melekat di protesis.
Serpihan tulang yang dibuat laser secara lembut disisihkan dengan sebuah pengait. Protesis
dengan graft yang melekat dipasang di atas fenestra dengan ujungnya menuju vestibulum dan
kemudian diletakkan di bawah inkus.7

Gambar 9. Teknik Stapedotomi (A) Fenestrasi footplate, (B) Menempatkan protesis di


fenestra.11

19
Gambar 10. Teknik stapedotomi dengan graft vena (A) Graft dilekatkan ke protesis,
(B) Laser stapedotomi, (C) Protesis dan graft dilekatkan.9

Sejak diperkenalkan operasi stapes selama lebih dari 40 tahun yang lalu banyak
penelitian menunjukkan keberhasilan dalam penatalaksanaan penurunan pendengaran pada
pasien dengan otosklerosis. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Marshese et al. 2006
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal hasil pendengaran antara
stapedektomi dengan stapedotomi.8

Kontraindikasi operasi 10

1. Pasien yang menderita penyakit diabetes melitus, hipertensi, gangguan pembekuan


darah.
2. Usia tua di atas 70 tahun.
3. Anak-anak.
4. Tuli konduktif dengan penyebab lain.
5. Adanya gangguan lain di telinga seperti otitis eksterna, otitis media aktif atau
perforasi membran timpani.
6. Pasien hanya memiliki satu telinga yang mendengar.
7. Kehamilan.

20
Kompikasi stapedektomi 2,10
1. Perforasi membran timpani
2. Paralisis nervus fasialis
3. Hematotimpanum
4. Fistula perilimf
5. Tuli sensorineural
6. Labirinitis
7. Otitis media akut

2.7.3 Alat Bantu Dengar


Alat bantu dengar dapat digunakan apabila pasien menolak untuk dilakukan operasi
atau keadaan umum yang tidak memungkinan untuk dilakukan tindakan operasi. Hal ini
merupakan penatalaksanaan alternatif yang efektif.7

2.8 Prognosis
Dua persen dari pasien yang menjalani operasi stapedektomi mengalami penurunan
fungsi pendengaran tipe sensorineural hearing loss. Penurunan pendengaran setelah
stapedektomi diperkirakan muncul pada rata-rata 3,2 dB dan 9,5 dB per dekade. Penurunan
frekuensi tinggi secara lambat dapat terlihat pada follow up jangka panjang. Satu dari 200
pasien kemungkinan dapat mengalami tuli total.10

21
BAB III
KESIMPULAN

1. Otosklerosis merupakan kelainan genetik pada kapsul tulang labirin yang disebabkan
oleh perubahan metabolisme tulang yang menyebabkan penebalan tulang pada fisula
ante fenestrum sehingga terjadi fiksasi pada footplate stapes.
2. Gejala klinis dari penyakit otosklerosis adalah penurunan pendengaran secara
progresif, biasanya tipe konduktif dan bilateral, paracusis willisii, tinnitus.
3. Diagnosis otosklerosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, audiometri dan
radiologi. Diagnosis pasti dengan eksplorasi telinga tengah.
4. Penatalaksanaan otosklerosis secara medikamentosa dengan sodium floride dosis 30-
60 mg/hari salama 2 tahun, operasi dengan stapedektomi maupun stapedotomi dan
alat bantu dengar.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Djaafar ZA, Helmi & Restuti RD. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2007.
p.64-77.
2. Roland PS & Samy RN. Otosclerosis. In : Bailey BJ. Head and Neck Surgery
Otolaryngology. Volume two. Philadelphia: J.B Lipincott Company; 2006.p. 2126-
37.
3. Ealy M & Smith RJH. Otosclerosis. Medical Genetic in the Clinical Practice of ORL.
Adv Otorhinolaryngol. Basel. Kanger. 2011; 70: 122-9.
4. Soetirto Indro,Bashiruddin Jenny,Bramantyo Brastho,Gangguan pendengaran Akibat
Obat ototoksik,Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga ,Hidung ,Tenggorok Kepala &
Leher.Edisi IV.Penerbit FK-UI,jakarta 2007,halaman 9-15,53-56.
5. Austin DF. Anatomi dan embriologi. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher. Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara; 2007.p. 101.
6. Dhingra PL. Otosclerosis. In: Diseases of Ear,Nose and Throat. 5th Ed. New Delhi:
Elsevier; 2010.p. 97-100.
7. Soetrito I, Hendarmin H & Bashiruddin J. Gangguan pendengaran. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI;
2007.p.10-22
8. Dhingra PL. Otosclerosis. In: Diseases of Ear,Nose and Throat. 5th Ed. New Delhi:
Elsevier; 2010.p. 97-100.
9. Boahene DK & Driscoll CL. Otosclerosis. In : Lalwani AK, ed. Current Diagnosis &
Treatment in Otolaryngology - Head & Neck Surgery. USA: The McGraw-Hill
Companies,Inc; 2008.p. 673-82.
10. Lippy WH & Berenholz LP. Pearls on otosclerosis and stapedectomy. Ear, Nose &
Throat Journal: 2008; 87 (6).p. 326
11. Meschese MR et al. Role of stapes surgery in improving hearing loss caused by
otosclerosis. The Journal of Laryngology & Otology :2007; 121.p. 438-43

23

Anda mungkin juga menyukai