Anda di halaman 1dari 7

iki onok 2 versi, pilihen salah 1 wae. tapi koyoke sing apik versi 2. terserah wes.

versi 1:
Diagnosis Sinusitis Akut dan Kronis
Dalam menegakkan diagnosis penyakit sinusitis baik akut maupun kronik harus
melakukan beberapa langkah seperti anamnesis (riwayat pasien), pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang lainnya. Penegakkan diagnosis tersebut harus dilakukan
dengan cermat sebab ini akan sangat mempengaruhi dokter terutama dalam
penatalaksanaan pasien. Berikut langkah-langkah dalam mendiagnosis sinusitis baik
akut maupun kronis.
a) Sinusitis Akut
Anamnesis
Riwayat rhinitis allergi, vasomotor rhinitis, nasal polyps, rhinitis medicamentosa
atau immunodeficiency harus dicari dalam mengevaluasi sinusitis. Sinusitis lebih sering
terjadi pada orang yang mengalami kelainan kongenital pada imunitas humoral dan
pergerakan sillia, cystic fibrosis dan penderita AIDS. Sinusitis yang disebabkan oleh
bakteri sering salah diagnosis. Faktanya hanya 4050 % dari kasus yang berhasil
didiagnosis dengan tepat oleh dokter. Meskipun kriteria diagnosis sinusitis akut telah
ditetapkan, tak ada satu tanda atau gejala yang kuat dalam mendiagnosis sinusitis yang
disebabkan bakteri. Akan tetapi, sinusitis akut yang disebabkan bakteri harus dicurigai
pada pasien yang memperlihatkan gejala ISPA yang disebabkan virus yang tidak
sembuh selama 10 hari atau memburuk setelah 57 hari.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, hal-hal yang mungkin kita temui pada pasien seperti
purulent nasal secretion, purulent posterior pharyngeal secretion, mucosal erythema,
periorbital erythema, tenderness overlying sinuses, air-fluid levels on transillium of the
sinuses dan facial erythema.
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium
ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate) dan C-reactive protein meningkat pada

pasien sinusitis tapi hasil ini tidak spesifik. Hasil pemeriksaan darah lengkap juga
diperlukan sebagai acuan pembanding. Pemeriksaan sitologi nasal berguna untuk
menjelaskan beberapa hal seperti allergic rhinitis, eosinophilia, nasal polyposis dan
aspirin sensitivity. Kita juga dapat melakukan kultur pada produk sekresi nasal akan
tepai sangat terbatas karena sering terkontaminasi dengan normal flora.

Pemeriksaan Imaging
Pemerikasaan ini dilakukan terutama untuk mendapatkan gambaran sinus yang

dicurigai mengalami infeksi. Ada beberapa pilihan imaging yang dapat dilakukan yaitu
plain radiography (kurang sensitif terutama pada sinus ethmoidal), CT scan (hasilnya
lebih baik dari pada rontgen tapi agak mahal), MRI (berguna hanya pada infeksi jamur
atau curiga tumor) dan USG (penggunaannya terbatas).
b) Sinusitis kronik
Anamnesis
Sinusitis kronik lebih sulit didiagnosis dibandingkan dengan sinusitis akut. Dalam
menggali riwayat pasien harus cermat, jika tidak maka sering salah diagnosis. Gejala
seperti demam dan nyeri pada wajah biasanya tidak ditemukan pada pasien sinusitis
kronik.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaaan fisik pasien sinusitis kronik ditemukan beberapa hal seperti
pain or tenderness on palpation over frontal or maxillary sinuses, oropharyngeal
erythema dan purulent secretions, dental caries dan ophthalmic manifestation
(conjunctival congestion dan lacrimation, proptosis).
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan kultur hapusan nasal tidak memiliki nilai diagnostik. Kadangkadang

pada hapusan nasal ditemukan juga eosinopil yang mengindikasikan adanya penyebab
alergi. Pemeriksaan darah lengkap rutin dan ESR secara umum kurang membantu,
akan tetapi biasanya ditemukan adanya kenaikan pada pasien dengan demam. Pada
kasus yang berat, kultur darah dan kultur darah fungal sangat diperlukan. Tes alergi
diperlukan untuk mencari penyebab penyakit yang mendasari.

Pemeriksaan Imaging
Imaging yang tersedia untuk membantu dalam menegakkan diagnosis sinusitis

kronis seperti plain radiography, CT scan, dan MRI. Prinsip penggunaannya sama pada
sinusitis akut.
versi 2:
Diagnosis Sinusitis
1. Anamnesis (Gejala Subjektif)
a. Nyeri
Sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak. Secara
anatomi, apeks gigi-gigi depan atas (kecuali gigi insisivus) dipisahkan dari lumen sinus
hanya oleh lapisan tipis tulang atau mungkin tanpa tulang hanya oleh mukosa,
karenanya sinusitis maksila sering menimbulkan nyeri hebat pada gigi-gigi ini
(Ballenger, 1997).
b. Sakit kepala
Merupakan tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis. Wolff
menyatakan bahwa nyeri kepala yang timbul merupakan akibat adanya kongesti dan
udema di ostium sinus dan sekitarnya (Ballenger, 1997). Penyebab sakit kepala
bermacam-macam, oleh karena itu bukanlah suatu tanda khas dari peradangan atau
penyakit pada sinus. Jika sakit kepala akibat kelelahan dari mata, maka biasanya
bilateral dan makin berat pada sore hari, sedangkan pada penyakit sinus sakit kepala
lebih sering unilateral dan meluas kesisi lainnya (Ballenger, 1997). Sakit kepala yang

bersumber di sinus akan meningkat jika membungkukkan badan kedepan dan jika
badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat
istirahat ataupun saat berada dikamar gelap (Ballenger, 1997). Nyeri kepala pada
sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan berkurang atau hilang setelah
siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, tetapi mungkin karena pada
malam hari terjadi penimbunan ingus dalam rongga hidung dan sinus serta adanya
statis vena (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
c. Nyeri pada penekanan
Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada penyakit
di sinus-sinus yang berhubungan dengan permukaan wajah (Ballenger, 1997).
d. Gangguan penghindu
Indra penghindu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium bau yang tidak
tercium oleh hidung normal. Keluhan yang lebih sering adalah hilangnya penghindu
(anosmia). Hal ini disebabkan adanya sumbatan pada fisura olfaktorius didaerah konka
media. Oleh karena itu ventilasi pada meatus superior hidung terhalang, sehingga
menyebabkan hilangnya indra penghindu (Ballenger, 1997).
Pada kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filament terminal nervus
olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus, indra penghindu dapat kembali normal
setelah infeksi hilang (Ballenger, 1997).
2. Pemeriksaan Fisik (Gejala Objektif)
a. Pembengkakan dan udem
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut, dapat terjadi
pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari
mendapati sensasi seperti pada penebalan ringan atau seperti meraba beludru
(Ballenger, 1997).
b. Sekret nasal

Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan supuratif, sinussinuslah yang merupakan pusat fokus peradangan semacam ini (Ballenger, 1997).
Adanya pus dalam rongga hidung seharusnya sudah menimbulkan kecurigaan adanya
suatu peradangan dalam sinus. Pus di meatus medius biasanya merupakan tanda
terkenanya sinus maksila, sinus frontal atau sinus etmoid anterior, karena sinus-sinus
ini bermuara ke dalam meatus medius (Ballenger, 1997).
c. Transiluminasi
Transluminasi mempuyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk
pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak
tersedia (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).
3. Pemeriksaan radiologi
a. Foto rontgen sinus paranasal
Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain: Waters, PA dan Lateral.
Tepi mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada foto rontgen, tetapi jika ada infeksi
tepi mukosa akan tampak karena udema permukaan mukosa. Permukaan mukosa
yang membengkak dan udema tampak seperti suatu densitas yang paralel dengan
dinding sinus. Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas pada resesus
alveolaris antrum maksila biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal dari gigi atau
daerah periodontal. Jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat
adanya batas cairan (air fluid level) pada foto dengan posisi tegak (Ballenger, 1997;
Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
b. CT-Scan (Computer Tomography) sinus paranasal
Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada penampang
CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan komplikasi, CT-Scan adalah cara
yang terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah (Ballenger, 1997).
CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan, memberikan visualisasi
yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek osteomeatal, rongga-rongga sinus
dan struktur-struktur yang mengelilinginya seperti orbita, lamina kribiformis, dan kanalis

optikus. Obstruksi anatomi pada komplek osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi akan
terlihat jelas (Ballenger, 1997).
CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan menggunakan sistem
gradasi yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk digunakan
secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan. Lund-MacKay
Radiologic Staging System ditentukan dari lokasi Gradasi Radiologik sinus maksila,
etmoid anterior, etmoid posterior dan sinus sphenoid, Penilaian Gradasi radiologik dari
0-2, Gradasi 0 : Tidak ada kelainan, Gradasi 1 : Opasifikasi parsial Gradasi 2 :
Opasifikasi komplit (Mackay IS dan Lund VJ, 1997).
c. Nasoendoskopi
Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas pemeriksaan karena
dapat melihat bagian-bagian rongga hidung yang berhubungan dengan faktor lokal
penyebab sinusitis. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat adanya kelainan
septum nasi, meatus media, konka media dan inferior, juga dapat mengetahui adanya
polip atau tumor (Ballenger, 1997).
Diagnosis Sinusitis Kronis
Gejala klinik rinosinusitis kronis menurut American Academy of Otolaryngic
Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS) adalah rinosinusitis yang
berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2 gejala mayor atau lebih atau 1 gejala mayor
disertai 2 gejala minor atau lebih (Setiadi M, 2009).
Berdasarkan kriteria Task Force on Rinosinusitis, gejala mayor skor diberi skor 2
dan gejala minor skor 1, sehingga didapatkan skor gejala klinik sebagai berikut; Gejala
Mayor: Nyeri sinus = skor 2, Hidung buntu = skor 2, Ingus purulen = skor 2, Post nasal
drip = skor 2, Gangguan penghidu = skor 2, Sedangkan Gejala Minor: Nyeri kepala =
skor 1, Nyeri geraham = skor 1, Nyeri telinga = skor 1, Batuk = skor 1, Demam = skor 1,
Halitosis = skor 1 dan skor total gejala klinik = 16 Pengukuran skor total gejala klinik
dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
sedang-berat (skor 8), dan ringan (skor <8) dengan Skor total gejala klinik:
skala nominal (Setiadi M, 2009).

Anda mungkin juga menyukai