Anda di halaman 1dari 19

LIMFEDEMA PADA KARSINOMA NASOFARING PASCAKEMORADIASI

Tissa Indriaty

Abstrak

Seiring dengan meningkatnya angka kesintasan hidup pasien dengan keganasan, maka
rehabilitasi untuk pasien-pasien tersebut juga menjadi semakin penting. Keganasan tidak
hanya meninggalkan defisit fungsional, tapi juga gejala sisa dari terapi yang dapat
mengganggu fungsi dan kualitas hidup pasien. Gejala sisa yang penting di antaranya adalah
limfedema sekunder yang terjadi akibat gangguan atau obstruksi jalur limfatik akibat
penyakit keganasan itu sendiri atau akibat terapi berupa pembedahan dan radioterapi.
Prevalensi limfedema yang didapat semakin besar karena bertambahnya jumlah kasus
keganasan yang mendapatkan terapi. Manifestasi klinis limfedema dapat berupa edema yang
ireversibel dan, bila tidak diterapi dengan baik, dapat berlanjut menjadi fibrosis,
nyeri/parestesia, dan limfangiosarkoma. Limfedema didiagnosa terutama secara klinis. Saat
ini belum terdapat metode pencitraan rutin untuk menilai struktur dan fungsi pembuluh
limfe.1,2,4

Kata kunci: limfedema, keganasan kepala dan leher, pascapembedahan, pascaradioterapi,


rehabilitasi

Abstract

As cancer survival continues to improve, rehabilitation for cancer patients becomes more
important. Not only can residual functional deficits result from malignancies but also
sequelae from therapeutic interventions can lead to functional impairment and worsened
quality of life. An important and sometimes over looked sequelae is the secondary
lymphedema that develops after disruption of lymphatic pathways by disease or as a
consequence of surgery or radiotherapy. The prevalence of acquired lymphedema is
increased due to larger number of cancer patients who get therapy. Lymphedema is
manifested by irresolvable edema and, if left untreated, can progress to fibrosis,
pain/paresthesia, and rarely lymphangiosarcoma. Currently, the diagnosis of lymphedema is
mainly clinical. There are no routine imaging studies readily available to image the
lymphatics vessels and function.

Key words: lymphedema, head and neck malignancy after therapy, rehabilitation

Pendahuluan Gejala dan tandanya dapat terlihat saat


pasien baru lahir. Limfedema sekunder
Limfedema merupakan retensi cairan terjadi akibat kerusakan sistem limfatik.
terlokalisasi dan pembengkakan jaringan Kerusakan ini dapat disebabkan oleh
akibat terganggunya sistem limfatik. infeksi, trauma, keganasan, pengangkatan
Limfedema dapat terjadi primer maupun kelenjar limfe, radiasi, atau jaringan parut
sekunder. Limfedema primer terjadi akibat pascaradiasi atau pembedahan. Selain itu,
perkembangan abnormal sistem limfatik.

Universitas Indonesia 1
limfedema dibagi menjadi limfedema literatur Eropa menyebutkan prevalensi
eksternal dan internal. Limfedema limfedema sekunder secara umum sekitar
eksternal melibatkan struktur eksternal 12-54%. Deng dkk1 mendapatkan
seperti wajah, leher, dan bahu. Sedangkan prevalensi limfedema internal, eksternal,
limfedema internal melibatkan struktur dan keduanya sebesar 75,3% pada pasien
internal seperti lidah, laring, dan faring.1,2,4 dengan keganasan kepala dan leher
pascaterapi tiga bulan atau lebih. Lokasi
Limfedema dapat mengakibatkan tersering terjadinya limfedema eksternal
gangguan fungsi vital secara signifikan, adalah area submental dan leher. Lokasi
termasuk di antaranya gangguan fungsi tersering terjadinya limfedema internal
menelan, fonasi, dan respirasi. Klinisi tergantung pada derajatnya. Predileksi
harus selalu waspada terhadap pada derajat ringan adalah aritenoid, dasar
kemungkinan limfedema sebagai lidah, dinding faring posterior, dan plika
komplikasi lanjut pada pasien dengan faringoepiglotika. Derajat menengah
keganasan kepala dan leher. Edukasi terutama mengenai rima interaritenoid,
terhadap pasien dan keluarga mengenai valekula, dan plika ariepiglotika
efek samping terapi keganasan harus sedangkan derajat yang berat paling sering
mencakup kemungkinan terjadinya ditemukan pada sinus piriformis dan rima
limfedema dan manifestasi klinisnya. interaritenoid.1
Penilaian limfedema harus tercakup di
dalam pemeriksaan rutin. Pemeriksaan Anatomi Sistem Limfatik Kepala dan
endoskopik juga harus mampu menilai Leher dalam Kaitannya dengan
terjadinya limfedema pada struktur- Limfedema
struktur penting.1,7
Limfedema kepala dan leher menunjukkan
Presentasi kasus ini disajikan bertujuan adanya gangguan pada sistem limfatik di
untuk meningkatkan pengetahuan dan area tersebut. Penyebabnya bervariasi,
kesadaran tentang limfedema sebagai baik kerusakan anatomis maupun
komplikasi jangka panjang pada pasien fungsional. Penyebab kondisi patologis ini
keganasan kepala dan leher, khususnya dapat dikategorikan menjadi kongenital,
karsinoma nasofaring (KNF), pascaradiasi. inflamasi, infeksi, keganasan, atau
Pembahasan menitikberatkan pada penyebab lain (lihat tabel 1).5
penegakan diagnostik, evaluasi, dan tata
laksana limfedema. Kepala dan leher memiliki banyak kelenjar
getah bening dan saluran limfe. Anatomi
Kekerapan Limfedema Pascaterapi dan kapasitas fungsi sitem limfatik kepala
Keganasan Kepala dan Leher dan leher mempengaruhi derajat dan
lokalisasi limfedema. Edema pada daerah
Prevalensi limfedema semakin besar wajah sering terjadi pascaradiasi dan
seiring dengan bertambahnya jumlah kasus pembedahan.5, 13
keganasan yang mendapatkan terapi.
Insiden limfedema sekunder pascaterapi
keganasan kepala dan leher mencapai 22-
56%.4

Universitas Indonesia 2
Tabel 1. Etiologi Limfedema5

Fungsi limfatik didasarkan pada prinsip


Starling. Cairan kaya protein bergerak
melalui taut interendotelial secara
ultrafiltrasi. Edema dicegah dengan
meningkatkan output limfatik sebagai
respon terhadap meningkatnya jumlah air
pada sistem limfatik. Proses ini berjalan
melalui kerja sistem saraf otonom dan
mekanisme Starling. Aliran limfe per unit
waktu dapat mencapai maksimal, dikenal
dengan kapasitas transpor, sekitar sepuluh
kali aliran limfe basal. Insufisiensi limfatik
terjadi bila beban limfatik melebihi
Gambar 1. Anatomi Sistem Limfatik kapasitas transpor, sehingga terjadi edema
Kepala dan Leher5 pada interstisial. Sistem ini memegang
peranan penting dalam pertahanan biologis
Fisiologi Sistem Limfatik Kepala dan dan sistem respon imun. Limfosit yang
Leher terdapat pada limfe superfisial ditranspor
dan akan mempresentasikan antigen pada
Kapiler pembuluh limfe memiliki diameter
kelenjar limfe sehingga meningkatkan
sekitar 100 μm. Ujung limfatik yang
efisiensi dan mempercepat respon imun
berfenestrasi mampu mengabsorbsi protein
tubuh terhadap antigen asing.5,7
plasma pada cairan insterstisial yang
ukurannya terlalu besar untuk memasuki Patofisiologi Limfedema
kapiler vena secara langsung. Sistem
limfatik memiliki otot polos yang Limfedema merupakan kondisi patologis
berfungsi memompa cairan limfe dan di mana terjadi akumulasi cairan jaringan
mencegah aliran retrograd melalui sistem interstisial yang berlebihan. Akumulasi ini
katup. Fungsi utama limfatik kutan adalah terjadi akibat terganggunya drainase limfe
menjaga keseimbangan dan jumlah protein oleh penyebab kongenital atau penyebab
limfatik dengan cara drainase cairan yang didapat. Meskipun umumnya
interstisial dari kulit ke pembuluh darah. limfedema mengenai ekstremitas, efeknya

Universitas Indonesia 3
dapat terjadi juga pada regio lain seperti prosedur pembedahan, radioterapi, atau
kepala dan leher.4 akibat invasi langsung tumor ke limfatik
dan sumbatan jaringan sekitar limfe oleh
Berbeda dengan edema vena, di mana massa tumor. Limfedema pada keganasan
peningkatan tekanan kapiler secara tidak kepala dan leher umumnya terjadi pada 2-
langsung dapat menstimulasi produksi 6 bulan pascaterapi. Pasien dengan
limfe, limfedema disebabkan oleh keganasan kepala leher dan payudara
berkurangnya transpor limfatik sehingga memiliki kemungkinan mengalami
terjadi stasis. Limfedema sekunder limfedema lebih besar dibanding
umumnya terjadi setelah prosedur keganasan lain. 1,7
pembedahan, trauma, inflamasi, atau
karena neoplasma.4 Radiasi mengakibatkan kerusakan DNA
dan non-DNA pada struktur di sekitar
Olszewski dkk4 melakukan penelitian lapangan radiasi. Setelah radiasi selesai,
dengan model anjing. Pada hewan terjadi proses penyembuhan luka. Namun
percobaan ini terjadinya interupsi mekanik kerusakan jaringan yang sangat berat dapat
terhadap pembuluh limfe ekstremitas menyebabkan limfedema atau fibrosis.13
mampu mengakibatkan limfedema setelah
periode beberapa bulan hingga tahun. Inflamasi kronik diduga berperan penting
Sebelum edema yang jelas muncul, terjadi dalam patogenesis limfedema. Akumulasi
perubahan limfangiografik tanpa cairan limfe pada jaringan interstisial
akumulasi cairan interstisial. Pembuluh mengaktifkan respon inflamasi di mana
pengumpul limfe mengalami fibrosis dan terjadi infiltrasi masif sel-sel inflamasi.
kehilangan permeabilitas normalnya. Karena telah terjadi disfungsi limfatik,
Stasis limfe yang telah terjadi akan maka sitokin dan kemokin yang normalnya
membawa akumulasi protein dan metabolit dibersihkan dari interstisial akan tetap
seluler, seperti protein makromolekuler berada di jaringan dan merekrut sel-sel
dan asam hialuronat, ke ruang inflamasi lainnya sehingga prosesnya akan
ekstraseluler. Kemudian akan diikuti oleh terus berjalan.13
peningkatan tekanan osmotik koloid
jaringan sehingga terjadi akumulasi air dan Limfedema dibagi menjadi limfedema
peningkatan tekanan hidraulik interstisial.4 internal dan eksternal. Limfedema internal
merupakan pembengkakan yang terjadi
Gambaran histopatologis pada limfedema pada mukosa saluran pernapasan dan
kronik antara lain penebalan membran saluran cerna atas beserta jaringan lunak di
basal pembuluh limfe, fragmentasi dan sekitarnya (area laring dan faring)
degenerasi serat elastin, peningkatan sedangkan limfedema eksternal terjadi
jumlah fibroblas dan sel-sel inflamasi, pada kulit dan jaringan lunak kepala dan
serta peningkatan jumlah substansi dasar leher.1
dan deposit kolagen patologis. Proses yang
terjadi pada akhirnya mengakibatkan Pasien dengan keganasan kepala dan leher
fibrosis subkutan yang progresif.4 berisiko tinggi mengalami limfedema
sekunder. Pembedahan, radiasi, dan
Limfedema pada keganasan dapat terjadi kemoterapi dapat menyebabkan kerusakan
akibat rusaknya struktur limfe oleh pada struktur dan fungsi limfatik,

Universitas Indonesia 4
kerusakan jaringan lunak hingga terjadi (peau d’orange) dan tanda Stemmer.
pembentukan jaringan parut dan fibrosis. Tanda Stemmer merupakan
Komplikasi awitan lambat ini sering ketidakmampuan kulit dorsum jari-jemari
terlupakan atau diacuhkan oleh klinisi. kaki untuk meregang. Limfedema internal
Limfedema dapat mengganggu fungsi vital dapat dinilai melalui pemeriksaan
4
tubuh (bernapas dan menelan) dan psikis endoskopi serat lentur.
karena mempengaruhi estetika area wajah
dan leher.1 Bila setelah anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang adekuat masih diperlukan
Diagnosis Limfedema pemeriksaan tambahan, terdapat beberapa
alternatif pemeriksaan penunjang.
Pada banyak pasien, riwayat perjalanan Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk
penyakit dan gejala klinis dapat konfirmasi adanya gangguan aliran limfe.
mendukung diagnosis limfedema Terdapat beberapa metode pencitraan
sekunder. Pada awal terjadinya limfedema, limfatik, baik pencitraan yang anatomis
atau dengan pembengkakan yang ringan maupun fungsional. Termasuk di
atau intermiten, sangat sulit untuk antaranya adalah limfografi,
membedakan limfedema dengan tipe limfoskintigrafi isotopik, kapilaroskopi
edema lainnya. Dalam anamnesis harus limfatik, magnetic resonance imaging
diingat bahwa terdapat penyakit lain (MRI), tomografi komputer (TK), dan
seperti miksedema, lipedema, trombosis ultrasonografi (USG).4
vena dalam, selulitis, atau infeksi lain yang
juga dapat menyebabkan
4,7
pembengkakan.

Pasien umumnya mengeluh terdapat


pembengkakan pada area submental atau
wajah. Pembengkakan ini dipengaruhi oleh
posisi sehingga biasanya keluhan bengkak
pada wajah memberat pada pagi hari saat
bangun tidur dan akan membaik setelah
pasien bangun. Limfedema dapat cukup
berat hingga mengganggu pergerakan dan
fungsi rahang, leher, dan bahu. Keluhan Gambar 2. Limfedema internal yang
lain yang sering diabaikan oleh pasien tervisualisasi pada pemeriksaan endoskopi
adalah perubahan suara, gangguan serat lentur4
menelan, nyeri telinga kronik, dan
Limfografi Langsung dan Tidak Langsung
sumbatan hidung. Limfedema dapat
membaik secara spontan namun dapat juga Limfangiografi dengan kontras merupakan
memberat hingga terjadi fibrosis dan satu-satunya pemeriksaan anatomis yang
gangguan fungsional.7 mampu menggambarkan dengan presisi
kondisi duktus limfatikus atau kelenjar
Di antara tanda-tanda distribusi cairan
limfe. Namun tidak dapat dipungkiri
abnormal pada jaringan adalah perubahan
bahwa pemeriksaan ini bersifat invasif dan
klasik pada kutis serta fibrosis subkutis
penggunaannya terbatas pada kasus-kasus
Universitas Indonesia 5
yang direncanakan untuk terapi operatif kelenjar limfe mayor dapat tervisualisasi
limfatik. Pencitraan ini tidak lagi sehingga mampu memberikan detil
diindikasikan pada kasus limfedema struktural dan fungsional sistem limfatik.
ekstremitas. Limfografi tidak langsung Kelainan yang umum terjadi pada
paling baik untuk membedakan lipedema limfedema adalah terhambatnya transpor
dengan limfedema. Pencitraan ini sudah tracer, hilang atau terhambatnya
mulai ditinggalkan dan digantikan visualisasi kelenjar limfe, pengisian oleh
perannya oleh limfoskintigrafi isotopik.4 aliran retrograd, dan aliran balik dermal.4

Tabel 2. Klasifikasi Miller4

Limfoskintigrafi Isotopik Kapilaroskopi Limfatik

Limfoskintigrafi isotopik menjadi baku Kapilaroskopi limfatik atau


emas dalam penegakkan diagnosis mikrolimfangio-grafi fluoresen
limfedema. Pencitraan ini digunakan untuk memungkinkan visualisasi aliran limfatik
menilai morfologi dan mengukur fungsi kulit melalui analisa pencitraan digital dan
limfatik perifer secara objektif dalam mampu menggambarkan kondisi
evaluasi terapi (fisioterapi dekongestif, mikrovaskuler, pertukaran transkapiler
pembedahan, maupun terapi tertentu, dan mikrosirkulasi limfatik.4
medikamentosa). Tracer makromolekul
radionuklida diinjeksikan secara Prosedur Pencitraan Lainnya
subdermal pada regio interdigitalis dari MRI, TK, dan USG menggambarkan
ekstremitas yang terlibat. Tracer tersebut perubahan struktural pada limfedema.
ditranspor oleh sistem limfatik dan akan Karakteristik limfedema secara radiologis
termonitor secara semikuantitatif oleh adalah tidak ditemukannya edema di
kamera gamma. Saluran limfatik dan
Universitas Indonesia 6
antara kompartemen otot. Hal ini Di antara klasifikasi yang digunakan
membedakan limfedema dengan edema secara universal adalah klasifikasi oleh
lainnya. MRI, sendiri atau kombinasi Foldi, Herpetz, dan Miller.4
dengan kontras supramagnetik
(limfangiomagnetogram), memberikan Klasifikasi Foldi membagi limfedema
tambahan informasi. MRI juga dapat menjadi empat stadium berdasarkan
digunakan untuk monitor dan menilai gejala klinis dan reversibilitas perjalanan
keberhasilan terapi limfedema.4 penyakit. Untuk limfedema unilateral,
Herpetz membagi limfedema menjadi
Klasifikasi Limfedema enam stadium berdasarkan volum.

Tabel 3. Klasifikasi Limfedema13

Untuk kepentingan evaluasi terapi, Klasifikasi yang paling detil adalah


berbagai sistem klasifikasi limfedema klasifikasi Miller yang membagi
telah diajukan namun tidak semuanya limfedema ke dalam lima derajat
dapat diaplikasikan secara rutin ataupun berdasarkan lima kriteria : inspeksi,
digunakan untuk followup secara objektif. palpasi, efek elevasi tungkai terhadap

Universitas Indonesia 7
edema, gangguan fungsi, dan terapi (lihat Group and The European Organisation for
tabel 2).4 Research and Treatment of Cancer
(RTOG/EORTC) dan sistem LENT-
Untuk limfedema eksternal, terdapat SOMA. Kedua sistem ini hanya menilai
beberapa kriteria yang dapat digunakan, di derajat limfedema pada laring dan tidak
antaranya berdasarkan Common Toxicity digunakan untuk menilai area anatomi lain
Criteria for Adverse Events (CTCAE) oleh seperti faring dan oral cavity.13
National Cancer Institute (NCI) dan
klasifikasi limfedema berdasarkan Edema pada laring dan faring pascaradiasi
American Cancer Society (ACS). CTCAE dapat dinilai dengan skala Patterson.
membagi limfedema menjadi 5 tingkat Melalui pemeriksaan endoskopi, skala
(grade 1-5) sedangkan ACS membagi ke Patterson menilai sebelas struktur dan dua
dalam 3 stadium (0-III). Kedua sistem ini area yang sensitif mengalami edema.
dapat diperbandingkan (contohnya grade 1 Struktur yang dinilai adalah dasar lidah,
= stadium 0; grade 2 = stadium I). dinding faring posterior, epiglotis, plika
Kelemahan kedua sistem ini adalah tidak faringoepiglotika, plika ariepiglotika,
memasukan manifestasi klinis seperti ruang interaritenoid, prominensia
perubahan pada kulit atau fibrosis dan krikofaring, aritenoid, plika vokalis, plika
ketidakmampuan untuk menilai limfedema ventrikularis, dan komisura anterior.
pada mukosa (lihat tabel 3).13 Sedangkan dua area yang dievaluasi yaitu
valekula dan sinus piriformis. Skala ini
Selain dua klasifikasi di atas, untuk memiliki reliabilitas intrarater dan
limfedema eksternal terdapat pula validitas yang tinggi.13
klasifikasi berbasis patologi seperti
Clinical Classification of Lymphedema Belum adanya satu sistem klasifikasi
(CCL) dan Stages of Lymphedema Scale. universal untuk evaluasi limfedema
CCL yang dibuat oleh International mengakibatkan kesulitan dalam menilai
Society of Lymphology mengevaluasi efektivitas berbagai modalitas terapi atau
limfedema ekstrimitas melalui tiga membandingkan antarmodalitas terapi.4,13
komponen yaitu edema, perubahan kulit
(termasuk fibrosis), dan pengaruh elevasi Kegawatdaruratan pada Limfedema
tungkai terhadap edema. Stages of Kondisi gawat darurat terjadi pada
Lymphedema Scale juga menilai tiga limfedema derajat berat di mana telah
komponen, yaitu karakteristik patologi, terjadi ulserasi kulit, edema serebri, tanda-
manifestasi klinis (gejala dan tanda), serta tanda obstruksi saluran napas hingga
metode diagnostik (lihat tabel 3). trakeostomi diindikasikan, serta disfagia
Meskipun klasifikasi patologi ini tidak hingga asupan nutrisi sangat kurang.13
spesifik untuk digunakan pada limfedema
kepala dan leher, namun sistem ini Tata Laksana Limfedema
membangun pola berpikir untuk memulai
Bagaimanapun patogenesisnya, limfedema
tata laksana pasien.13
merupakan kondisi kronik yang
Limfedema internal dapat dievaluasi mengakibatkan stres fisik dan psikologis
menggunakan sistem yang dikeluarkan bagi pasien serta menjadi tantangan
oleh The Radiation Therapy Oncology bagi klinisi. Limfedema memiliki berbagai

Universitas Indonesia 8
pilihan terapi guna mengurangi volum kecil terhadap proses degeneratif yang
edema dan mencegah akumulasi cairan terus berjalan pada regio limfedema.
dan komplikasi sekunder.4 Proses kompleks ini terjadi akibat produksi
radikal oksigen reaktif yang tidak
Pendekatan Fisioterapi terkontrol secara lokal. Oleh karena itu,
Vodder menyatakan bahwa limfedema tata laksana limfedema kronik harus
dapat diterapi dengan drainase pembuluh mampu menekan produksi radikal
limfe menggunakan teknik massage oksigen.4
khusus. Teknik drainase limfe manual ini Obat-obatan yang paling sering digunakan
menjadi dasar berkembangnya combined dalam tata laksana limfedema adalah
physical decongestive therapy (CPDT). benzopiron dan enzim proteolitik.
CPDT mencakup manual lymphatic Benzopiron bekerja dengan cara
drainage, latihan remedial, balut menstimulasi aktivitas makrofag,
nonelastik atau balut kompresif, dan meningkatkan degradasi proteolitik dan
perawatan kulit menyeluruh selama bersihan protein pada ruang insterstisial
minimal 1-2 minggu. Pendekatan sehingga mengurangi tekanan onkotik dan
fisioterapi direkomendasikan untuk semua cairan edema. Coumarin mampu
stadium dan telah terbukti aman dan memperbaiki limfedema dengan cara
efektif. Segera setelah program CPDT merangsang proteolisis melalui
selesai, volum edema berkurang dan peningkatan aktivitas protease makrofag
setelah tiga tahun kontrol, efek terapi pada daerah yang mengalami limfedema
bertahan pada lebih dari 50% pasien.4 dan stimulasi sel-sel sistem imun lainnya.
Fisioterapi lain untuk memperbaiki Coumarin juga menekan produksi anion
drainase limfatik antara lain kompresi superoksida dan hydrogen peroksida oleh
pneumatik intermiten, terapi panas, dan monosit sehingga memicu reabsorpsi
terapi ultrasound. Meskipun komplikasi protein. Loprinzi et al menemukan efek
akibat fisioterapi ini belum dilaporkan, hepatotoksik coumarin pada 6% wanita
namun perlu diperhatikan bahwa tekanan sehingga obat ini tidak direkomendasikan
akibat terapi kompresif pneumatik dapat untuk digunakan jangka panjang.4
merusak kulit dan residu protein yang Flavonoid, antioksidan alami yang berasal
tertinggal setelah perpindahan cairan dapat dari tumbuhan, dilaporkan berperan dalam
menginduksi inflamasi sekunder dan pengobatan limfedema. Namun demikian
mempercepat perubahan fibrosklerotik.4 antioksidan ini belum digunakan dalam
Untuk pasien-pasien dengan limfedema terapi limfedema dan masih perlu studi
persisten atau progresif, terapi jangka panjang yang memadai.
medikamentosa dan pembedahan dapat International Society of Lymphology tidak
menjadi pilihan utama atau tambahan.4 menjadikan flavonoid sebagai terapi
substitusi limfedema.4
Medikamentosa
Kortikosteroid dan diuretik juga tidak
Meskipun fisioterapi dapat mengontrol direkomendasikan dalam pengobatan
volum edema dan menormalisasi limfedema persisten. Kortikosteroid
hipertensi mikrolimfatik, namun efeknya mampu mengurangi pembengkakan pada

Universitas Indonesia 9
limfedema kronis secara cepat namun terjadi nekrosis kulit, ulserasi,
durasi efeknya singkat. Komplikasi pembentukan fistel, dan eksaserbasi
penggunaannya antara lain pasien menjadi edema. Debulking dapat diperluas dengan
rentan infeksi. Diuretik bekerja dengan melakukan transfer pedikel omentum atau
cepat mengurangi cairan limfedema interposisi flap pedikel vaskuler sebagai
namun mengakibatkan peningkatan saluran limfatik.4
konsentrasi protein pada jaringan
edematosa sehingga memicu proses Pada beberapa kasus, teknik suction dapat
fibrosklerotik.4 mengangkat jaringan subkutan yang
berlebihan. Suction juga dapat dikombinasi
Pembedahan dengan prosedur eksisi, contohnya pada
eksisi kulit parsial.4
Terapi pembedahan pada limfedema masih
kontroversial. Secara umum, prosedur Suplementasi Selenium
pembedahan diindikasikan bila terapi
medis gagal. Dua pendekatan utama Selenium (natrium selenit) menjadi pilihan
pembedahan yaitu microsurgery dan terapi terkini untuk limfedema. Efek
prosedur eksisi.4 antiedematosa-nya telah terbukti namun
belum digunakan secara luas. Studi klinis
Dengan microsurgery dapat dilakukan menunjukkan bahwa natrium selenit
anastomosis limfatiko-limfatik, limfatiko- menekan produksi radikal oksigen
vena-limfatik, limfatiko-vena, dan kelenjar sehingga terjadi reduksi spontan volum
limfe-vena. Prosedur ini umumnya limfedema, meningkatkan efektivitas
dilakukan pada limfedema yang terjadi fisioterapi dan menurunkan insiden infeksi
pascapembedahan atau limfedema primer erisipelas.4
yang mengalami oklusi proksimal dan
saluran limfe di distal daerah oklusi masih Penelitian oleh Bruns dkk4 pada 48 pasien
intak. Pasien-pasien limfedema mendapatkan bahwa selenium memiliki
pascainflamasi, terkait radiasi, atau yang efek positif pada limfedema sekunder
primer dengan oklusi distal bukan kandidat terkait radiasi, baik pada kasus limfedema
untuk microsurgery, begitu pula pasien ekstremitas maupun kepala dan leher,
yang gangguan limfatiknya telah termasuk edema endolaring. Kualitas
berlangsung lebih dari dua tahun. Angka hidup pasien juga menunjukkan perbaikan
keberhasilan microsurgery, diukur dengan secara signifikan. Dari penelitian ini tidak
parameter reduksi volum dan penilaian didapatkan kontraindikasi penggunaan
subyektif, mencapai 80%.4 selenium selain kondisi hiper-selenium
pada pasien.4
Prosedur eksisi mengangkat seluruh
jaringan epifasia yang mengalami Selenium merupakan komponen
limfedema. Indikasi tindakan ini adalah fungsional beberapa jenis enzim
limfedema yang telah mengalami fibrosis antioksidan yang penting. Pada reaksi
lanjut dan elefantiasis. Prosedur yang enzimatik ini, selenium berperan sebagai
disebut juga dengan “debulking” ini tidak pusat reaksi reduksi-oksidasi (redoks).
memperbaiki aliran limfe dan dapat Mekanisme ini menjaga integritas
merusak sistem limfatik kulit sehingga membran, mencegah produksi prostasiklin,

Universitas Indonesia 10
dan menurunkan kecenderungan kerusakan mengurangi paparan suhu yang
oksidatif biomolekul seperti lemak dan ekstrim.18,19
lipoprotein. Selenium meningkatkan
aktivitas enzim antioksidatif endogen yaitu Latihan fisik dapat memperbaiki drainase
glutation peroksidase.4 limfe.Perlu diperhatikan waktu yang tepat
untuk memulai latihan fisik, jenis latihan
Tata Laksana Khusus Limfedema pada yang tepat, dan apakah harus
Kepala dan Leher menggunakan compression garment
selama latihan. Posisi tidur dengan
Manual lymphatic drainage (MLD) dan beberapa bantal juga dapat meningkatkan
simple lymphatic drainage (SLD) drainase limfe.18,19
merupakan kunci utama dalam tata laksana
limfedema kepala dan leher. Kompresi Pencegahan infeksi kulit dilakukan dengan
tekanan rendah dapat diberikan dengan menghindari trauma pada area yang
pemasangan bandaging atau garments mengalami limfedema. Gunakan tabir
yang dibuat khusus. Bantalan busa surya dengan faktor proteksi tinggi bila
densitas rendah dapat digunakan untuk akan terpapar cahaya matahari. Paparan
memberikan tekanan lokal. Area leher suhu yang ekstrim seperti sauna, mandi air
tidak boleh diberikan kompresi. Untuk panas, kompres panas atau kompres es,
mengatasi limfedema kelopak mata dapat harus dihindari. Pasien harus diedukasi
dilakukan pembedahan.6 untuk segera kontrol bila terdapat tanda-
tanda infeksi seperti demam, kulit teraba
Pencegahan Limfedema Sekunder Pada panas, kulit kemerahan, dan nyeri.18,19
Keganasan Kepala dan Leher
Evaluasi Pasien Limfedema
Dalam tata laksana keganasan kepala dan
leher, khususnya KNF, harus dijelaskan Secara klinis, limfedema harus dinilai
kepada pasien dan keluarga perihal risiko derajatnya menggunakan sistem seperti
terjadinya limfedema beserta tanda dan klasifikasi Miller. Kualitas hidup pasien
gejalanya. Hal ini dimaksudkan agar dievaluasi menggunakan visual analog
pasien segera datang pada stadium awal score (VAS). Penilaian klinis ini dilakukan
limfedema sehingga keberhasilan terapi sebelum, selama, dan sesudah terapi.
pun semakin baik.18,19 Untuk evaluasi efek pengobatan,
diperlukan pemeriksaan pencitraan.4
Limfedema sekunder pada keganasan
kepala dan leher tidak dapat sepenuhnya Laporan Kasus
dicegah. Yang dapat dilakukan adalah
menurunkan risiko terjadinya limfedema Pasien wanita berusia 45 tahun datang ke
dan, bila telah terjadi, mengurangi derajat Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah
beratnya limfedema. Beberapa hal yang Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
dapat dilakukan antara lain latihan fisik, Mangunkusumo (RSUPN CM) pada Juli
posisi tidur dengan kepala lebih tinggi, 2011 dengan keluhan sesak yang
pencegahan infeksi kulit, menggunakan memberat sejak dua hari yang lalu. Pasien
pakaian yang longgar pada area leher, dan juga mengeluhkan gangguan menelan,
terdapat perubahan konsistensi makanan
yang dapat ditelan. Pasien tidak dapat

Universitas Indonesia 11
menelan nasi sehingga setiap hari makan wajah regio submandibula, submental,
bubur. Minum pun kadang tersedak. maksila, zigoma, serta mandibula bilateral
Terdapat rasa mengganjal di tenggorok, terdapat edema yang tidak hiperemis dan
perubahan suara menjadi serak, dan napas pada palpasi tidak fluktuatif serta tidak
berbunyi hilang timbul. nyeri. Kelenjar getah bening leher sulit
dinilai. Pada foto polos jaringan lunak
Sejak tiga bulan sebelumnya (April 2011), servikal didapatkan gambaran
pasien mengeluh wajah bagian pipi kanan penyempitan jalan napas atas setinggi
dan kiri bengkak dan terasa nyeri terutama vertebra servikal tiga hingga empat. Foto
saat bangun tidur. polos toraks menunjukkan paru dan
jantung dalam batas normal. Pasien
didiagnosis obstruksi jalan napas atas
derajat 1, KNF pasca kemoradiasi, dan
sumbatan limfe servikal. Kemudian
diputuskan untuk dilakukan trakeostomi
dalam narkose. Pascatindakan trakeostomi,
pasien menjalani perawatan di ruang rawat
THT. Perawatan yang diberikan berupa
pengawasan tanda-tanda vital dan
perdarahan, edukasi perawatan kanul
berupa suction berkala, cuci kanul dalam 2
kali sehari, dan ganti kassa setiap hari.
Pasien juga mendapatkan medikamentosa
intravena berupa ceftriakson 1 x 2 g, asam
traneksamat 3 x 500 mg, ranitidin 2 x 50
mg, dan tramadol 3 x 100 mg.

Gambar 3. Status Lokalis Pascatrakeostomi tidak didapatkan


dispneu, retraksi, dan stridor. Pada stoma
Sebelumnya, pada tahun 2006, pasien didapatkan pasase udara lancar dan sekret
didiagnosa mengalami karsinoma serohemoragik. Tidak didapatkan
nasofaring (KNF) stadium III dan telah krepitasi. Pada pemeriksaaan foto polos
mendapatkan terapi berupa kemoterapi toraks tidak didapatkan tanda-tanda
sebanyak 3 siklus dan radiasi sebanyak 33 komplikasi trakeostomi seperti emfisema
kali. Pasien tidak melanjutkan kemoterapi subkutis, pneumomediastinum, dan
karena merasa benjolan leher saat itu telah pneumotoraks.
mengecil. Pada tahun 2010, benjolan di
leher muncul kembali dan pasien Pada perawatan hari ke-2, pasien
menjalani radiasi kembali. dikonsulkan ke Departemen Radiasi
Onkologi untuk kemungkinan radioterapi
Saat datang ke IGD RSUPN CM pada Juli guna mengecilkan edema wajah. Pasien
2011, didapatkan trismus sehingga kondisi juga direncanakan untuk pemeriksaan
oral cavity dan orofaring tidak dapat tomografi komputer nasofaring dan
dinilai. Pada pemeriksaan fisik, pada servikal.

Universitas Indonesia 12
Dalam perawatan hari ke-4 didapatkan Semenjak diberikan terapi tambahan,
edema wajah meluas ke regio palpebra pasien merasa keluhan nyeri dan bengkak
inferior orbita dekstra dan labia oris. Pada pada wajah, termasuk kelopak mata,
inspeksi didapatkan edema dengan berkurang. Pada pemeriksaan fisik
permukaan mengkilat, tidak hiperemis. didapatkan edema dan kepadatan pada
Pada palpasi ditemukan kalor dan nyeri wajah berkurang serta tidak hiperemis lagi
tekan. Tidak terdapat fluktuasi. dibanding pemeriksaan pada hari
sebelumnya.
Pemeriksaan tomografi komputer regio
nasofaring dan servikal tanggal 28 Juli Pada 1 Juli 2011 pasien pernah
2011 menunjukkan masih terdapat massa dikonsulkan dari Poli Onkologi THT
di nasofaring hingga ke spasium parafaring kepada Divisi Bronkoesofagologi THT
dan orofaring disertai limfadenopati untuk evaluasi fungsi menelan dengan
sepanjang coli kanan dan kiri sampai ke menggunakan endoskop serat lentur
supraklavikula, submandibula, submental, (Functional Endoscopic Evaluation on
curiga infiltrasi parotis disertai edema dan Swallowing atau FEES). Didapatkan
bendungan limfatik pada subkutis regio edema pada epiglottis, aritenoid bilateral,
coli dan wajah. Tampak terpasang kanul dan plika ventrikularis bilateral disertai
setinggi torakal 1. aspirasi sekret dan makanan ke dalam
saluran napas tanpa refleks batuk.
Pasien kemudian dikonsulkan ke Berdasarkan hasil pemeriksaan FEES,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam (IPD) disimpulkan bahwa pasien mengalami
untuk saran tata laksana selanjutnya. Oleh disfagia neurogenik fase orofaring dengan
teman sejawat IPD, pasien didiagnosis risiko tinggi aspirasi makanan ke saluran
pascatrakeostomi atas indikasi obstruksi napas. Pasien kemudian disarankan untuk
saluran napas atas, edema wajah et causa diet per NGT.
obstruksi saluran limfe, KNF T1N3M0
pasca kemoradiasi, leukositosis dan Staging ulang dilakukan dengan
trombositosis reaktif, dan anemia pemeriksaan bonescan, foto polos toraks,
normositik normokrom. Pasien dan USG abdomen. Foto polos toraks
direncanakan untuk pemeriksaan darah menunjukkan tidak terdapat tanda-tanda
perifer lengkap (DPL), hitung jenis, metastasis paru. USG abdomen
morfologi darah tepi, urinalisis lengkap, menunjukkan tidak tampak tanda-tanda
hemostasis lengkap, staging ulang, dan metastasis organ intraabdomen. Pasien
disarankan untuk konsul Departemen direncanakan untuk menjalani kemoradiasi
Radioterapi. Pasien diberikan terapi berupa tergantung hasil bonescan.
infus cairan NaCl 0,9% 21 tetes per menit,
diet cair via nasogastric tube (NGT) Pasien dipulangkan pada perawatan hari
sebanyak 6 x 100 cc, ukur minum urin ke-21 (10 Agustus 2011) dengan terapi
(UMU) balans seimbang per 12 jam, pulang berupa amoksisilin-asam
deksametason 4 x 5 mg intravena, dan klavulanat 3 x 625 mg, deksametason 3 x
disarankan untuk konsul Divisi Hemato 5 mg, laxadine 3 x 10 ml, ambroxol 3 x 15
Onkologi Medik (HOM) IPD. ml, dan ranitidine 2 x 150 mg melalui
NGT. Pasien juga diedukasi untuk kontrol

Universitas Indonesia 13
setelah ada hasil bonescan yang Hasil pemeriksaan USG Doppler pada 16
dijadwalkan pada 25 Agustus 2011. November 2011 menunjukkan tidak
terdapat trombus, vena jugularis interna
Pada 6 September 2011 pasien kontrol sinistra mengalami peningkatan velocity
poli Onkologi THT membawa hasil dan vena jugularis interna dekstra tidak
bonescan yang menunjukkan gambaran dapat dinilai. Edema wajah yang dialami
metastasis tulang servikal bawah, pasien dinilai terjadi karena penyempitan
vertebrae torakal 1-4, torakal 7-9, lumbal vena jugularis interna. Pasien kemudian
1, sakrum sisi kanan dan kiri, femur kiri, dikonsulkan ke Departemen Bedah
sacroilliac joint dan ischium kanan. Pasien Vaskuler dan direncanakan pemeriksaan
kemudian dikonsulkan ke Divisi HOM TK venografi. Selama proses penegakkan
IPD untuk tata laksana kemoterapi full etiologi edema pada wajah, kemoterapi
dose. belum dimulai.
Pada 7 November hingga 14 Desember Hasil TK venografi menunjukkan tidak
2011 pasien kembali menjalani perawatan terdapatnya sumbatan, stenosis, aneurisma,
di ruang rawat penyakit dalam. Pasien maupun malformasi vaskuler. Pasien rawat
masih mengalami edema pada regio wajah bersama TS Bedah Vaskuler dengan
dan palpebra orbita. Pasien didiagnosis diagnosis edema fasial. Pasien kemudian
KNF rekuren lokoregional dengan dijadwalkan untuk USG Doppler di Bedah
metastasis, edema wajah suspek Vaskuler.
limfedema, hiperkalemia, dan anemia
normositik normokrom. Pasien mendapat Pasien dikonsulkan ke Departemen
terapi berupa IVFD NaCl 0,9% 21 tetes Rehabilitasi Medik (RM) untuk fisioterapi.
per menit, diet blender 1700 kkal, asam Oleh TS IPD, pasien direncanakan untuk
mefenamat 3 x 500 mg, Ca glukonas 1 venografi di Pelayanan Jantung Terpadu
ampul bolus pelan. Pasien direncanakan (PJT) dan dilakukan bebat wajah dengan
untuk menjalani kemoterapi siklus pertama elastic verband. Venografi di PJT belum
dengan Cisplatin dan 5 fluorourasil (FU). disetujui oleh penjamin dan pasien tidak
Pada perawatan hari ke-3 pasien sanggup membiayai sendiri sehingga
direncanakan untuk pemeriksaan pemeriksaan ini tertunda.
hemostasis dan USG Doppler karotis
sehingga kemoterapi ditunda dulu. Bila Oleh TS RM, Ny. P didiagnosis sebagai
USG Doppler menunjukkan insufisiensi edema fasial, underweight, skoliosis
vena (karena sikatriks), pasien torakal dengan penurunan kemampuan
direncanakan stent vena atau bypass pengembangan dada, metastasis vertebra
sebelum kemoterapi. Pada pemeriksaan servikal bawah, torakal 1-4 dan 7-9,
hemostasis didapatkan hasil PT 11,2 lumbal 1, dan sakrum. Pasien diberikan
(kontrol 12,6), APTT 31,6 (kontrol 32), edukasi mengenai cara konservasi energi
fibrinogen 446, dan d-dimer 600. Pasien dan proper body mechanic yaitu dengan
kemudian diberikan heparinisasi untuk menghindari gerakan fleksi dan
trombosis dengan target APTT 1,5 – 2,5 menghindari jatuh. Terapi yang diberikan
kali kontrol. adalah latihan range of movement (ROM)
tungkai atas dan bawah, chest
physiotherapy (latihan pengembangan

Universitas Indonesia 14
dada, huffry coughing, dan pernapasan saat bangun tidur. Pada limfedema, pasien
diafragma), massage limfedema fasial, umumnya mengeluh terdapat
korset lumbosakral, dan Philladelphia pembengkakan pada area submental atau
collar dengan lubang trakeostomi bila wajah. Pembengkakan ini dipengaruhi oleh
edema fasial sudah berkurang. Pasien posisi sehingga biasanya keluhan bengkak
kemudian di-followup oleh Divisi pada wajah memberat pada pagi hari saat
Pulmonologi RM. bangun tidur dan akan membaik setelah
pasien bangun. Limfedema dapat cukup
Pasien menolak kemoterapi dengan berat hingga mengganggu pergerakan dan
carboplatin dan 5-FU karena khawatir fungsi rahang, leher, dan bahu.1 Hal ini
wajahnya membengkak. Pasien kemudian sesuai dengan kondisi yang ditemukan
diberikan alternatif kemoterapi paliatif pada pasien.
dengan antikanker berupa capecitabin 500
mg 5 tablet per hari (2 tablet pada pagi hari Pada pemeriksaan fisik didapatkan regio
dan 3 tablet pada malam hari). Pasien submandibula, submental, maksila,
dipulangkan dengan target terapi paliatif. zigoma, serta mandibula bilateral
Terapi pulang berupa capecitabin 2500 mengalami edema yang tidak hiperemis
mg per hari, tramadol 3 x 50 mg, dan pada palpasi tidak fluktuatif serta tidak
parasetamol 3 x 500 mg, omeprazole 2 x nyeri. Gambaran ini sesuai dengan
20 mg, ondansentron 3 x 8 mg, cefixime 2 limfedema eksternal. Pada pemeriksaan
x 200 mg, sukralfat 4 x 15 cc, bebat endoskopi serat lentur didapatkan edema
elastik, dan tidak perlu radiasi. pada epiglotis, aritenoid bilateral, dan
plika ventrikularis bilateral yang
Pasien tidak melanjutkan kemoterapi menggambarkan bahwa pada pasien juga
dengan capecitabin karena masalah tejadi limfedema internal.
keuangan. Pasien dengan pembayaran
Askes dan capecitabin tidak ditanggung Pada foto polos jaringan lunak servikal
oleh Askes. didapatkan gambaran penyempitan jalan
napas atas setinggi vertebra servikal tiga
Diskusi hingga empat. Penyempitan jalan napas ini
Penegakkan diagnosis limfedema pada mungkin terjadi karena limfedema internal
pasien ini berdasarkan pada anamnesis, mengenai area laring faring seperti yang
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan tergambarkan pada pemeriksaan endoskopi
penunjang. Dari anamnesa didapatkan serat lentur.
pasien mengeluh adanya gangguan Pemeriksaan TK mengkonfirmasi
menelan, gangguan bicara, dan bahkan limfedema pada pasien. Pada pemeriksaan
gangguan bernapas. Keluhan ini dapat TK nasofaring dan servikal didapatkan
terjadi akibat limfedema internal pada area limfadenopati sepanjang coli kanan dan
mukosa saluran pernapasan dan saluran kiri sampai ke supraklavikula,
cerna atas beserta jaringan lunak di submandibula, dan submental disertai
sekitarnya (area laring dan faring).1 edema dan bendungan limfatik pada
Pasien juga mengeluhkan bengkak dan subkutis regio coli dan wajah.
nyeri pada area wajah terutama pagi hari

Universitas Indonesia 15
Hasil TK venografi menunjukkan tidak awal yang mencekung dengan penekanan.
terdapat sumbatan, stenosis, aneurisma, Limfedema derajat 2 pada klasifikasi
maupun malformasi vaskuler. Gambaran Miller ditata laksana dengan fisioterapi.
ini belum dapat menunjang diagnosis Pilihan tata laksana adalah dengan CPDT.
limfedema. Pasien direncanakan CPDT mencakup manual lymphatic
pemeriksaan USG Doppler oleh TS Bedah drainage, latihan remedial, balut
Vaskuler dan venografi oleh TS IPD nonelastik atau balut kompresif, dan
namun sayangnya rencana pemeriksaan perawatan kulit menyeluruh selama
tersebut belum terlaksana karena masalah minimal 1-2 minggu.4
finansial.
Berdasarkan klasifikasi CTCAE dan ACS,
Diagnosis limfedema pada pasien ini limfedema pada pasien termasuk ke dalam
ditegakkan melalui anamnesis, stadium III/ grade 4 yang merupakan
pemeriksaan fisik, dan ditunjang oleh TK. limfedema derajat berat dengan intake
Berdasarkan literatur, limfedema yang sangat menurun dan memerlukan
umumnya didiagnosis secara klinis.2,4 pemasangan NGT. Saat datang ke IGD,
pada pasien terdapat tanda-tanda obstruksi
Pasien mengalami limfedema sekitar 5 jalan napas atas dan dilakukan
tahun pascakemoradiasi. Berdasarkan trakeostomi.
literatur, limfedema dapat terjadi dalam
hitungan bulanan hingga tahunan Dalam perawatan di bangsal THT,
pascaterapi namun paling sering terjadi limfedema mengalami perbaikan. Selain
pada 2-6 bulan pascaterapi. Limfedema karena limfedema dapat mengalami
pada pasien dapat terjadi akibat rusaknya perbaikan secara spontan, kemungkinan
struktur limfe pascaradioterapi atau akibat juga perbaikan terjadi karena efek
invasi langsung tumor ke limfatik dan kostikosteroid yang diberikan oleh TS IPD
sumbatan jaringan sekitar limfe oleh massa yaitu deksametason 4 x 5 mg yang
tumor.1,4,7 diberikan secara intravena. Kortikosteroid
mampu mengurangi pembengkakan pada
Pada pasien dipikirkan pula diagnosis limfedema kronis secara cepat namun
banding sindrom vena kava superior durasi efeknya singkat. Perlu diperhatikan
(SVKS). Saat datang ke IGD, pada pasien komplikasi penggunaannya antara lain
terdapat gejala dan tanda SVKS yaitu pasien menjadi rentan terhadap infeksi.4
sesak sebagai gejala utama dan edema area
kepala dan leher. SVKS disingkirkan
karena pada pemeriksaan fisik tidak
ditemukan pelebaran vena area kepala,
leher, dan dada bagian atas dan pada
pemeriksan foto polos toraks didapatkan
jantung dan paru dalam batas normal.20

Menurut klasifikasi Miller, limfedema


pada pasien tergolong ke dalam derajat 2
di mana terdapat perubahan warna kulit
menjadi kekuningan dan penebalan kulit Gambar 4. Philladelphia collar neck

Universitas Indonesia 16
Berdasarkan hasil pemeriksaan staging kasus ini adalah perempuan. Setiap hari
ulang, didapatkan metastasis tulang. pasien selalu mematut dirinya pada cermin
Pasien direncanakan untuk menjalani untuk melihat perubahan pada wajahnya.
kemoterapi full dose dengan cisplatin dan Oleh karena itu, limfedema, khususnya
5 FU namun pasien menolak karena pada pasien pascakemoradiasi KNF, harus
khawatir wajahnya kembali membengkak mendapat perhatian lebih.
pascakemoterapi. Sesuai dengan protokol,
KNF dengan metastasis jauh diberikan Daftar Pustaka
kemoterapi full dose. Regimen kemoterapi 1. Deng J, Ridner SH, Dietrich MS,
yang paling efektif untuk KNF adalah Wells N, Wallston KA, Sinard RJ,
yang berbasis platinum dan regimen ini et al. Prevalence of Secondary
paling sering digunakan pada kasus KNF Lymphedema in Patients with
rekuren dan metastasis. Karena menolak, Head and Neck Cancer. J Pain
pasien kemudian ditawarkan alternatif Symptom Manage, 2011 : 1-9.
kemoterapi oral berupa capecitabin. Untuk 2. Maus EA, Tan I, Rasmussen JC,
pasien-pasien KNF rekuren Marshall MV, Fife CE, Smith LA,
pascakemoterapi berbasis platinum, seperti et al. Near-infrared Fluorescence
pada kasus ini, tidak terdapat standar wajib Imaging of Lymphatics in Head
untuk kemoterapi berikutnya. Toksisitas and Neck Lymphedema. Head and
menjadi pertimbangan utama untuk Neck, 2010 : 1-7.
pemilihan regimen. Capecitabin 3. Endrizzi CM. A critical review of
merupakan antikanker oral golongan research regarding head and neck
fluoropiramidin karbamat. Obat ini akan lymphedema and the
diubah oleh timidin fosforilase menjadi 5- implementation and utilization of
FU di sel kanker. Aktivitas capecitabin Complex Decongestive
yang selektif terhadap sel kanker Physiotherapy including the use of
memungkinkan paparan 5-FU yang manual therapy. ProQuest
kontinyu dengan efek samping yang lebih Dissertations and Theses (PQDT),
rendah. Kelebihan lain regimen ini adalah 2009: 1-242.
pemberiannya (per oral) yang lebih 4. Bruns F, Micke O, Bremer M.
nyaman bagi pasien.21 Current Status of Selenium and
Pada perawatan selanjutnya di akhir 2011 Other Treatments for Secondary
(ruang perawatan IPD), pasien Lymphedema. J Support Oncol,
dikonsulkan ke RM dan mendapat terapi 2000; 1; 121-130.
massage limfedema fasial dan 5. Feely MA, Olsen Kd, Gamble GL,
direncanakan pemasangan Philladelphia Davis MD, and Pittelkow MR.
collar dengan lubang trakeostomi bila Cutaneous Lymphatics and
edema fasial sudah berkurang. Chronic Lymphedema of the Head
and Neck. Clin Anat, 2012 ; 25: 72-
Selain faktor medis, perlu digarisbawahi 85.
pula bahwa limfedema area kepala dan 6. Moffatt C, Doherty D, Morgan P.
leher memberi dampak psikologis yang Best Practice for The Management
besar bagi pasien, apalagi pasien dalam of Lymphoedema. London:

Universitas Indonesia 17
Medical Education Partnership Head and Neck Cancer. Oncology
(MEP); 2006. p. 1-58. Nursing Forum 2011; 38: 1-10
7. Murphy BA, Gilbert J, Cmelak A, 14. Raguse JD, Pfitzmann R, Bier J,
and Ridner SH. Symptom Control and Klein M. Lower-extremity
Issues and Supprtive Care of lymphedema following neck
Patients With Head and Neck dissection-an uncommon
Cancers. Clinical Advances in complication after cervical ligation
Hematology & Oncology, 2007; 5: of the thoracic duct. Oral
807-22. Oncology, 2007; 43: 835-7.
8. Withey S, Pracy P, Rhys-Evans P. 15. Williams AF, Franks PJ, Moffatt
Sensory Deprivation as a CJ. Lymphoedema: estimating the
Consequence of Severe Head and size of the problem. Palliative
Neck Lymphoedema. The Journal Medicine 2005; 19: 300-313.
of Laryngology and Otology, 2001; 16. Augustine E. Types of
115: 62-4. Compression Garments used with
9. Hadamitzky C, Pabst R, Vogt PM, Patients Experiencing
Radtke C. Treatment options for Lymphedema Following Medical
head and neck lymphoedema after Intervention for Head and Neck
tumour resection and radiotherapy. Cancer. Rehabilitation Oncology;
Hannover: Elsevier Ltd; 2011. p. 2001; 19: 21.
1226-7. 17. Robless P, Lim J, Geroulakos G.
10. Mihara M, Uchida G, Hara H, Lymphoedema. In: Vascular
Hayashi Y, Moriguchi H, Surgery. London: Elsevier Ltd;
Narushima M, at al. 2010. p. 268-272.
Lymphaticovenous anastomosis for 18. American Society of Clinical
facial lymphoedema after multiple Oncology. Head and Neck
courses of therapy for head-and- Lymphedema: Swelling After
neck cancer. Journal of Plastic, Cancer Treatment. Diunduh dari
Reconstructive, and Aesthetic http://www.cancer.net/patient pada
Surgery, 2011; 64: 1221-77. 3 Agustus 2012.
11. Bruns F, Buntzel J, Mucke R, 19. National Cancer Institute.
Schonekaes K, Kisters K, Micke O. Lymphedema: Managing
Selenium in the Treatment of Head Lymphedema. Diunduh dari
and Neck Lymphedema. Med Princ http://www.cancer.gov/cancertopic
Pract 2004; 13: 185-190. s/pdq/supportivecare/lymphedema/
12. Deng J. The Impact of Secondary Patient/page2 pada 3 Agustus
Lymphedema After Head and Neck 2012.
Cancer Treatment on Symptoms, 20. PubMed Health. Superior Vena
Functional Status, and Quality of Cava Obstruction. Diunduh dari
Life. Ann Arbor: ProQuest; 2010. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhea
p. 1-159. lth/PMH0002087 pada 7 Agustus
13. Deng J, Ridner SH, and Murphy 2012.
BA. Lymphedema in Patients With 21. Chua D, Wei Wi, Sham JST, Au
GKH. Capecitabine Monotherapy
Universitas Indonesia 18
for Recurrent and Metastatic
Nasopharyngeal Cancer. Jpn J Clin
Oncol 2008; 38 (4): 244-49.

Universitas Indonesia 19

Anda mungkin juga menyukai