Anda di halaman 1dari 53

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kanker merupakan pertumbuhan sel-sel jaringan tubuh yang tidak

normal, berkembang dengan cepat, tidak terkendali, dan akan terus membelah

diri, selanjutnya menyusup ke jaringan sekitar (invasive) dan terus menyebar

melalui jaringan ikat, darah, dan menyerang organ-organ penting serta syaraf

tulang belakang. Kanker kolorektal adalah keganasan yang berasal dari

jaringan usus besar, terdiri dari kolon (bagian terpanjang dari usus besar)

dan/atau rektum (bagian kecil terakhir dari usus besar sebelum anus).1

Menurut American Cancer Society, kanker kolorektal adalah kanker

ketiga terbanyak dan merupakan kanker penyebab kematian ketiga terbanyak

pada pria dan wanita di Amerika Serikat. Berdasarkan survei GLOBOCAN

2012, insidens kanker kolorektal di seluruh dunia menempati urutan ketiga

(1360 dari 100.000 penduduk [9,7%], keseluruhan laki-laki dan perempuan)

dan menduduki peringkat keempat sebagai penyebab kematian (694 dari

100.000 penduduk [8,5%], keseluruhan laki-laki dan perempuan). Di Amerika

Serikat sendiri pada tahun 2016, diprediksi akan terdapat 95.270 kasus kanker

kolorektal baru, dan 49.190 kematian yang terjadi akibat kanker kolorektal.

Berdasarkan survei WHO 2014 kanker kolorektal sendiri menempati posisi

keempat dengan 694.000 kematian. 2,3,4

Secara keseluruhan risiko untuk mendapatkan kanker kolorektal adalah

1 dari 20 orang (5%). Risiko penyakit cenderung lebih sedikit pada wanita

dibandingkan pada pria. Banyak faktor lain yang dapat meningkatkan risiko
1
individual untuk terkena kanker kolorektal. Angka kematian kanker kolorektal

telah berkurang sejak 20 tahun terakhir. Ini berhubungan dengan

meningkatnya deteksi dini dan kemajuan pada penanganan kanker kolorektal. 2

Dari data Globocan 2012, insiden kanker kolorektal di Indonesia adalah

12,8 per 100.000 penduduk usia dewasa, dengan mortalitas 9,5% dari seluruh

kasus kanker. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, kanker

kolorektal merupakan penyebab kematian kedua terbesar untuk pria dan

penyebab kematian ketiga terbesar untuk wanita.2,5

Di Indonesia, kanker kolorektal sekarang menempati urutan ketiga,

kenaikan tajam yang diakibatkan oleh perubahan pada diet orang Indonesia,

baik sebagai konsekuensi peningkatan kemakmuran serta pergeseran ke arah

cara makan orang barat yang lebih tinggi lemak serta rendah serat. Meskipun

perkembangan pengobatan adjuvan akhir-akhir ini berkembang secara cepat

dan sangat maju, akan tetapi hanya sedikit saja meningkatkan harapan hidup

pasien kanker kolorektal bila sudah ditemukan dalam stadium lanjut. Saat ini

kanker kolorektal tetap termasuk dalam 10 besar kanker yang sering terjadi.

Observasi dari bagian patologi Anatomi RSCM, Jakarta menunjukan bahwa

pada tahun 1986-1990, penderita kanker kolorektal berjumlah 275 orang, dan

terus meningkat menjadi 368 orang pada tahun 1991-1995, sementara data

pada tahun 1999-2003 bahkan angkanya mencapai 584 orang. Ini

membuktikan terjadi peningkatan kejadian kanker kolorektal di Indonesia.6

Pada usia 40 tahun kanker kolorektal meningkat progresif, meningkat

tajam setelah usia 50 tahun lebih dari 90% kasus kanker kolorektal terjadi di

atas usia 50 tahun. Namun, pada dewasa ini kejadian kanker kolorektal tampak

mulai mengalami peningkatan pada beberapa individu. Bahkan di Amerika

2
Serikat, satu dari 10 penderia kanker kolorektal terdiagnosis saaat berusia 20-

49 tahun. Belum diketahui secara jelas apa yang mempengaruhi hal ini, diduga

pola diet yang tidak sehat seperti tingginya asupan lemak dan rendahnya

asupan serat, gaya hidup kebarat-baratan atau paparan lingkungan yang

intens akan meningkatkan kerentanan terjadinya kanker kolorektal pada usia

muda.7,8

Selain data mengenai usia, dicatat pula data mengenai jenis kelamin

penderita kanker kolorektal yang menunjukkan bahwa jenis kelamin penderita

kanker kolorektal di RSUD Ulin Banjarmasin periode April-September 2014

didominasi oleh laki-laki yaitu sebanyak 22 orang (56.41%) dan wanita

sebanyak 17 orang (43.59%). Seperti yang dilaporkan Ondrej et al. jenis

kelamin yang terbanyak menderita kanker kolorektal adalah laki-laki

dibandingkan wanita. Dengan adanya efek protektif hormon endogen wanita

inilah yang menyebabkan prognosis kanker kolorektal pada wanita lebih baik

dibandingkan pada laki-laki. Perbedaan antara wanita dan laki-laki dalam hal

kadar hormon, aktivitas sehari-hari dan dalam konsumsi makanan pun

dianggap bisa menjadikan perbedaan faktor risiko untuk menjadi kanker

kolorektal.9

Penderajatan untuk kanker kolorektal diambil dari American Joint

Committee on Cancer menggunakan sistem TNM. Pengertian T adalah tumor

yang dikategorikan dari Tx, To s/d T4, N untuk keterlibatan kelenjar getah

bening(KGB) yang dikategorikan dari Nx, No s/d N2, sedangkan M

menunjukkan ada atau tidaknya metastasis pada kanker. Lokasi yang paling

umum dari kanker kolorektal adalah kolon sigmoid (25%), rektum (21%),

sekum (20%), rectosigmoid junction (20%), transverse colon (5%) dan

3
ascending colon (10%). Apabila rectosigmoid junction dimasukkan ke bagian

sigmoid, maka 66 persen kejadian kanker kolorektal terjadi di area rektum dan

sigmoid. Sedangkan ditinjau dari jenis histopatologinya, gambaran yang paling

sering dijumpai adalah jenis adenokarsinoma, yaitu sebanyak 98.4% dan

mucinous adenocarcinoma sebanyak 1,6%.10

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang penulis paparkan diatas, maka

yang menjadi pertanyaan peneliti adalah “Bagaimana Hubungan Usia

dan Jenis Kelamin dengan Stadium dan Letak Kanker Kolorektal di

Rumah sakit Ibnu Sina?”.

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan usia dan jenis kelamin dengan

stadium dan letak kanker kolorektal di Rumah sakit Ibnu Sina.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui karakteristik usia pada kanker kolorektal.

2. Mengetahui karakteristik jenis kelamin pada kanker kolorektal.

3. Mengetahui stadium kanker kolorektal.

4. Mengetahui letak kanker kolorektal.

5. Mengetahui hubungan usia dengan stadium dan letak kanker

kolorektal di Rumah sakit Ibnu Sina.

6. Mengetahui hubungan jenis kelamin dengan stadium dan letak

kanker kolorektal di Rumah sakit Ibnu Sina


4
1.4 Manfaat penelitian

1. Menambah wawasan penulis dan masyarakat tentang hubungan

usia dan jenis kelamin dengan stadium dan letak kanker

kolorektal di Rumah sakit Ibnu Sina.

2. Memberikan informasi mengenai hubungan usia dan jenis

kelamin dengan stadium dan letak kanker kolorektal di Rumah

sakit Ibnu Sina.

3. Memberikan data pendukung agar dapat menjadi pertimbangan

untuk penelitian selanjutnya tentang kanker kolorektal yang lebih

luas dan mendalam.

4. Memberi data pendukung untuk upaya pencegahan kanker

kolorektal.

1.5 Hasil yang diharapkan

Penelitian yang dilakukan oleh penulis diharapkan dapat di

publikasikan secara lokal, nasional maupun internasional, agar hasil

yang telah didapatkan dapat dimanfaatkan secara luas.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kanker kolorektal adalah suatu penyakit dimana sel-sel pada kolon atau

rektum menjadi abnormal dan membelah tanpa terkontrol membentuk sebuah

massa tumor. Kanker kolorektal merupakan salah satu jenis kanker yang

terjadi pada mukosa kolon di mana penyakit ini mempunyai angka morbiditas

dan mortalitas yang tinggi.11

2.2 Anatomi

Intestinum crassum (usus besar) terdiri dari caecum, appendix

vermiformiis, colon , rectum dan canalis analis. Caecum adalah bagian

pertama intestinum crassum dan beralih menjadi colon ascendens. Panjang

dan lebarnya kurang lebih 6 cm dan 7,5 cm. Caecum terletak pada fossa iliaca

kanan di atas setengah bagian lateralis ligamentum inguinale.

Appendix Vermiformis berupa pipa buntu yang berbentuk cacing dan

berhubungan dengan caecum di sebelah kaudal peralihan ileosekal .Colon

ascendens panjangnya kurang lebih 15 cm, dan terbentang dari caecum

sampai ke permukaan visceral dari lobus kanan hepar untuk membelok ke kiri

pada flexura coli dextra untuk beralih menjadi colon transversum. Pendarahan

colon ascendens dan flexura coli dextra terjadi melalui arteri ileocolica dan

arteri colica dextra, cabang arteri mesenterica superior. Vena ileocolica dan

vena colica dextra, anak cabang mesenterika superior, mengalirkan balik darah

dari colon ascendens. Colon transversum merupakan bagian usus besar yang

6
paling besar dan paling dapat bergerak bebas karena bergantung pada

mesocolon, yang ikut membentuk omentum majus. Panjangnya antara 45-50

cm. Pendarahan colon transversum terutama terjadi melalui arteria colica

media, cabang arteria mesenterica superior, tetapi memperoleh juga darah

melalui arteri colica dextra dan arteri colica sinistra. Penyaluran balik darah dari

colon transversum terjadi melalui vena mesenterica superior. Colon

descendens panjangnya kurang lebih 25 cm. Colon descendens melintas

retroperitoneal dari flexura coli sinistra ke fossa iliaca sinistra dan disini beralih

menjadi colon sigmoideum. Colon sigmoideum disebut juga colon pelvinum.

Panjangnya kurang lebih 40 cm dan berbentuk lengkungan huruf S.Rectum

adalah bagian akhir intestinum crassum yang terfiksasi. Ke arah kaudal rectum

beralih menjadi canalis analis.12

2.3 Epidemiologi

Dari data Globocan 2012, insiden kanker kolorektal di Indonesia adalah

12,8 per 100.000 penduduk usia dewasa, dengan mortalitas 9,5% dari seluruh

kasus kanker. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, kanker

kolorektal merupakan penyebab kematian kedua terbesar untuk pria dan

penyebab kematian ketiga terbesar untuk wanita.2,5

Di Indonesia, kanker kolorektal sekarang menempati urutan ketiga,

kenaikan tajam yang diakibatkan oleh perubahan pada diet orang Indonesia,

baik sebagai konsekuensi peningkatan kemakmuran serta pergeseran ke arah

cara makan orang barat yang lebih tinggi lemak serta rendah serat. Meskipun

perkembangan pengobatan adjuvan akhir-akhir ini berkembang secara cepat

dan sangat maju, akan tetapi hanya sedikit saja meningkatkan harapan hidup

7
pasien kanker kolorektal bila sudah ditemukan dalam stadium lanjut. Saat ini

kanker kolorektal tetap termasuk dalam 10 besar kanker yang sering terjadi.

Observasi dari bagian patologi Anatomi RSCM, Jakarta menunjukan bahwa

pada tahun 1986-1990, penderita kanker kolorektal berjumlah 275 orang, dan

terus meningkat menjadi 368 orang pada tahun 1991-1995, sementara data

pada tahun 1999-2003 bahkan angkanya mencapai 584 orang. Ini

membuktikan terjadi peningkatan kejadian kanker kolorektal di Indonesia. 6

Pada usia 40 tahun kanker kolorektal meningkat progresif, meningkat

tajam setelah usia 50 tahun lebih dari 90% kasus kanker kolorektal terjadi di

atas usia 50 tahun. Namun, pada dewasa ini kejadian kanker kolorektal tampak

mulai mengalami peningkatan pada beberapa individu. Bahkan di Amerika

Serikat, satu dari 10 penderia kanker kolorektal terdiagnosis saaat berusia 20-

49 tahun. Belum diketahui secara jelas apa yang mempengaruhi hal ini, diduga

pola diet yang tidak sehat seperti tingginya asupan lemak dan rendahnya

asupan serat, gaya hidup kebarat-baratan atau paparan lingkungan yang

intens akan meningkatkan kerentanan terjadinya kanker kolorektal pada usia

muda.7,8

Selain data mengenai usia, dicatat pula data mengenai jenis kelamin

penderita kanker kolorektal yang menunjukkan bahwa jenis kelamin penderita

kanker kolorektal di RSUD Ulin Banjarmasin periode April-September 2014

didominasi oleh laki-laki yaitu sebanyak 22 orang (56.41%) dan wanita

sebanyak 17 orang (43.59%). Seperti yang dilaporkan Ondrej et al. jenis

kelamin yang terbanyak menderita kanker kolorektal adalah laki-laki

dibandingkan wanita. Dengan adanya efek protektif hormon endogen wanita

inilah yang menyebabkan prognosis kanker kolorektal pada wanita lebih baik

8
dibandingkan pada laki-laki. Perbedaan antara wanita dan laki-laki dalam hal

kadar hormon, aktivitas sehari-hari dan dalam konsumsi makanan pun

dianggap bisa menjadikan perbedaan faktor risiko untuk menjadi kanker

kolorektal.9

Penderajatan untuk kanker kolorektal diambil dari American Joint

Committee on Cancer menggunakan sistem TNM. Pengertian T adalah tumor

yang dikategorikan dari Tx, To s/d T4, N untuk keterlibatan kelenjar getah

bening(KGB) yang dikategorikan dari Nx, No s/d N2, sedangkan M

menunjukkan ada atau tidaknya metastasis pada kanker. Lokasi yang paling

umum dari kanker kolorektal adalah kolon sigmoid (25%), rektum (21%),

sekum (20%), rectosigmoid junction (20%), transverse colon (5%) dan

ascending colon (10%). Apabila rectosigmoid junction dimasukkan ke bagian

sigmoid, maka 66 persen kejadian kanker kolorektal terjadi di area rektum dan

sigmoid. Sedangkan ditinjau dari jenis histopatologinya, gambaran yang paling

sering dijumpai adalah jenis adenokarsinoma, yaitu sebanyak 98.4% dan

mucinous adenocarcinoma sebanyak 1,6%.10

2.4 Etiologi

Beberapa kelainan di kolon dapat menyebabkan terjadinya

karsinoma misalnya:

a. Ada kemungkinan besar tumor jinak kolon dapat mengalami

degenerasi maligna, terutama dari bentuk adenoma.

b. poliposis

Telah diketahui merupakan kondisi premaligna sekitar 70% dari

poliposis akan mengalami degenerasi maligna. Kolitis ulserativ sering

9
juga menyebabkan terjadinya karsinoma dari kolon, dan paling banyak

terdapat disegmen proksimal dari kolon

c. Virus

Pada pemeriksaan elektron mikroskop menemukan 3 tipe yang tak

biasanya yaitu “intracytoplasma particles”. Satu atau lebih di antaranya

mempunyai substansia aktif atau virus degenerative.

d. Herediter

Anak yang berasal dari orang tuanya yang menderita karsinoma

intestinal bahwa freuensi 3½ lebih banyak dari pada anak-anak yang

orang tuanya sehat.13

e. Kanker kolorektal dapat muncul melalui salah satu dari dua mutasi jalur

ketidak stabilan mikrosatelit atau ketidakstabilan kromosom. Mutasi

genetik adalah dasar dari kolon yang diturunkan sindrom kanker;

akumulasi dari mutasi somatik dalam sel adalah dasar dari kanker usus

besar sporadik.14

2.5 Patogenesis

Gambar 2.1 Perubahan genetik yang terjadi selama evolusi kanker kolorekta.

10
Kanker kolorektal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor

genetik dan faktor lingkungan. Kanker kolorektal yang sporadik muncul setelah

melewati rentang masa yang lebih panjang sebagai akibat faktor lingkungan

yang menimbulkan berbagai perubahan genetik yang berkembang menjadi

kanker. Kedua jenis kanker kolorektal (herediter dan sporadik) tidak muncul

secara mendadak melainkan melalui proses yang diidentifikasikan pada

mukosa kolon (seperti pada displasia adenoma).

Kanker kolon terjadi sebagai akibat dari kerusakan genetik pada lokus

yang mengontrol pertumbuhan sel. Perubahan dari kolonosit normal menjadi

jaringan adenomatosa dan akhirnya karsinoma kolon menimbulkan sejumlah

mutasi yang mempercepat pertumbuhan sel. Terdapat 2 mekanisme yang

menimbulkan instabilitas genom dan berujung pada kanker kolorektal yaitu :

instabilitas kromosom (Cromosomal Insyability atau CIN) dan instabilitas

mikrosatelit (Microsatellite Instability atau MIN). Umumnya asal kenker kolon

melalui mekanisme CIN yang melibatkan penyebaran materi genetik yang tak

berimbang kepada sel anak sehingga timbulnya aneuploidi. Mikrosatelit

Instabilitas (MIN) disebabkan oleh hilangnya perbaikan ketidak cocokan atau

Missmatch Repair (MMR) dan merupakan terbentuknya kanker pada sindrom

Lynch.

Awal dari proses terjadinya kanker kolon yang melibatkan mutasi

somatik terjadi pada gen Adenomatous Polyposis Coli (APC). Gen APC

mengatur kematian sel dan mutasi pada gen ini menyebabkan pengobatan

proliferasi yang selanjutnya berkembang menjadi adenoma.

Langkah awal dalam karsinogenesis kolorektal adalah dianggap

sebagai pembentukan Crypt Aberrant Focus (ACF). Transisi dari adenoma

11
menjadi karsinoma merupakan akibat dari mutasi gen supresor tumor p53.

Dalam keadaan normal protein dari gen p53 akan menghambat proliferasi sel

yang mengalami kerusakan DNA, mutasi gen p53 menyebabkan sel dengan

kerusakan DNA tetap dapat melakukan replikasi yang menghasilken sel-sel

dengan kerusakan DNA yang lebih parah. Replikasi sel-sel dengan kehilangan

sejumlah segmen pada kromosom yang berisi beberapa alel (misal loss of

heterizygosity), hal ini dapat menyebabkan kehilangan gen supresor tumor

yang lain seperti DCC (Deleted in Colon Cancer) yang merupakan transformasi

akhir menuju keganasan.11

2.6 Faktor Resiko

Terdapat beberapa faktor pemicu kanker kolorectal secara garis besar

dapat dibagi dua, yakni faktor yang tidak dapat dimodifi kasi dan yang dapat

dimodifi kasi.

1. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi

a. Usia

Diagnosis kanker kolorektal meningkat progresif sejak usia 40 tahun,

meningkat tajam setelah usia 50 tahun lebih dari 90% kasus kanker

kolorektal terjadi di atas usia 50 tahun. Angka kejadian pada usia 60-79

tahun 50 kali lebih tinggi dibandingkan pada usia kurang dari 40 tahun.

b. Faktor Herediter

Riwayat keluarga berkontribusi pada sekitar 20% kasus kanker

kolorektal. Kondisi yang paling sering diwariskan adalah Familial

Adenomatous Polyposis (FAP) dan Hereditary Nonpolyposis Colorectal

12
Cancer (HNPCC), dikenal sebagai sindrom Lynch. Gen-gen yang

berperan dalam pewarisan kanker kolorektal ini telah diidentifikasi.

HNPCC berhubungan dengan mutasi gengen yang terlibat dalam jalur

perbaikan DNA, disebut gen Mutl Homolog 1 (MLH1) dan Mutl Homolog

2 (MLH2). FAP disebabkan mutasi tumor supresor gen APC (Antigen

Presenting Cell). HNPCC terjadi pada 2-6% kanker kolorektal. Risiko

kanker kolorektal seumur hidup pada orang dengan mutasi HNPCC

berkisar 70-80% dan rerata umur saat didiagnosis adalah pada

pertengahan usia 40 tahun. Mutasi MLH1 dan MLH2 juga berhubungan

dengan peningkatan risiko relatif kanker lain, termasuk beberapa

keganasan ekstrakolon seperti kanker uterus, gaster, usus halus,

pancreas, ginjal, dan ureter. FAP ditemukan pada <1% kasus kanker

kolorektal. Tidak seperti individu dengan HNPCC yang mengalami

beberapa adenoma, individu dengan FAP mengalami pertumbuhan

ratusan polip, biasanya di awal usia 20 tahun. Pada usia 40 tahun,

hampir semua orang dengan kelainan ini didiagnosis kanker bila kolon

tidak diangkat. APC yang berhubungan dengan kondisi poliposis

diwariskan dengan pola autosom dominan. Sekitar 75-80% individu

dengan APC yang berhubungan dengan poliposis memiliki orang tua

dengan kondisi sama. Uji prenatal dan diagnosis genetik preimplantasi

dimungkinkan bila suatu penyakit yang menyebabkan mutasi

teridentifikasi pada anggota keluarga.

c. Faktor Lingkungan

Kanker kolorektal dipertimbangkan sebagai suatu penyakit yang

dipengaruhi lingkungan; faktor pola hidup, sosial, dan kultural ikut

13
berperan. Kanker kolorektal adalah suatu kanker dengan penyebab

penyebab yang dapat dimodifikasi, dan sebagian besar kasusnya

secara teori dapat dicegah. Bukti risiko lingkungan diperoleh melalui

studi para migran dan keturunannya. Di antara individu yang bermigrasi

dari daerah risiko rendah ke risiko tinggi, angka insidens kanker

kolorektal cenderung meningkat menyerupai populasi di area tersebut.

Selain faktor migrasi, terdapat beberapa faktor geografi yang

mempengaruhi perbedaan insidens kanker kolorektal, salah satunya

adalah insidens kanker kolorektal konsisten lebih tinggi pada penduduk

perkotaan. Orang yang tinggal di area perkotaan memiliki prediktor risiko

yang lebih kuat dibandingkan orang yang tidak lahir di area perkotaan.

2. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi

a. Pola Diet dan Nutrisi.

Diet berpengaruh kuat terhadap risiko kanker kolorektal, dan perubahan

pola makan dapat mengurangi risiko kanker ini hingga 70%. Insidens

kanker kolorektal meningkat pada orang-orang yang mengonsumsi

daging merah dan/atau daging yang telah diproses. Konsumsi daging

merah dilaporkan memiliki hubungan lebih erat dengan insidens kanker

rektum, sedangkan konsumsi daging yang diproses dalam jumlah besar

berhubungan dengan kanker kolon bagian distal. Implikasi lemak

dihubungkan dengan konsep tipikal diet Barat, terjadi perkembangan

flora bakterial yang mendegradasi garam empedu menjadi komponen N-

nitroso yang berpotensi karsinogenik. Mekanisme potensial asosiasi

positif antara konsumsi daging merah dengan kanker kolorektal ermasuk

adanya heme besi pada daging merah. Beberapa jenis daging yang

14
dimasak pada temperatur tinggi memicu produksi amino heterosiklik dan

hidrokarbon aromatik polisiklik, keduanya dipercaya merupakan bahan

karsinogenik. Penelitian membuktikan bahwa individu yang

mengonsumsi buah, sayuran, dan sereal memiliki risiko kanker

kolorektal lebih kecil. Perbedaan asupan diet berserat sertanperbedaan

geografik berperan pada insidens kanker kolorektal diet berserat

diperhitungkan sebagai faktor pembeda insidens kanker kolorektal di

Afrika dan negara-negara dengan gaya hidup Barat. Peningkatan

asupan diet serat mendilusi kandungan lemak, meningkatkan massa

feses, dan mereduksi waktu transit.

b. Aktivitas Fisik dan Obesitas

Dua faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan saling berhubungan,

aktivitas fisik dan kelebihan berat badan, dilaporkan berpengaruh pada

sepertiga kasus kanker kolorektal. Aktivitas tinggi berhubungan dengan

rendahnya insidens kanker kolorektal . Aktivitas fisik reguler dan diet

sehat membantu menurunkan risiko kanker kolorektal. Mekanisme

biologi yang berperan dalam hubungan antara menurunnya aktivitas fisik

dan kanker kolorektal mulai dipahami. Aktivitas fisik meningkatkan

angka metabolik dan meningkatkan ambilan oksigen maksimal. Dalam

jangka panjang, aktivitas reguler serupa meningkatkan efisiensi dan

kapasitas metabolik tubuh, juga menurunkan tekanan darah dan

resistensi insulin. Selain itu, aktivitas fisik meningkatkan motilitas usus.

Kurangnya aktivitas fisik harian juga meningkatkan insidens obesitas,

faktor lain yang berhubungan dengan kanker kolorektal. Kelebihan berat

badan dan obesitas meningkatkan sirkulasi estrogen dan menurunkan

15
sensitivitas insulin, juga dipercaya mempengaruhi risiko kanker, dan

berhubungan dengan penimbunan adipositas abdomen. Namun,

peningkatan risiko yang berhubungan dengan kelebihan berat badan

dan obesitas tampaknya tidak hanya berhubungan dengan peningkatan

asupan energi, hal ini juga dapat mencerminkan perbedaan efi siensi

metabolisme. Studi menunjukkan bahwa individu yang menggunakan

energi lebih efisien memiliki risiko kanker kolorektal lebih rendah. Skala

Indeks Massa Tubuh (IMT) memberikan pengukuran kelebihan berat

badan yang lebih akurat dibandingkan berat badan saja. Obesitas

menyebabkan penimbunan hormon, peningkatan kadar insulin dan

Insulin-Like Growth Factor-1 (IGF-1), pemicuan regulator pertumbuhan

tumor, gangguan respons imun dan stres oksidatif, sehingga memicu

terjadinya karsinoma kolorektal.

c. Merokok

Sebesar 12% kematian kanker kolorektal berhubungan dengan

kebiasaan merokok. Karsinogen rokok meningkatkan pertumbuhan

kanker kolorektal, dan meningkatkan risiko terdiagnosis kanker.

Merokok menyebabkan pembentukan dan pertumbuhan polip

adenomatosa, lesi prekursor kanker kolorektal. Terdapat hubungan

statistic signifikan berdasarkan dosis merokok pertahun setelah merokok

lebih dari 30 tahun individu dengan riwayat merokok lama dan kemudian

berhenti merokok tetap memiliki risiko kanker kolorektal. Polip berukuran

besar di kolon dan rektum dihubungkan dengan kebiasaan merokok

jangka panjang. Onset kanker kolorektal penderita pria dan wanita

perokok lebih muda.

16
d. Alkohol

Konsumsi alkohol reguler berhubungan dengan perkembangan kanker

kolorektal. Konsumsi alkohol merupakan faktor risiko kanker kolorektal

pada usia muda juga meningkatnya insidens kanker kolon distal.

Metabolit reaktif pada alkohol seperti asetaldehid bersifat karsinogenik.

Terdapat korelasi antara alkohol dan merokok, rokok menginduksi

mutasi spesifik DNA yang perbaikannya tidak efektif karena adanya

alkohol. Alkohol berperan sebagai solven, meningkatkan penetrasi

molekul karsinogen lain ke dalam sel mukosa. Efek alkohol dimediasi

melalui produksi prostaglandin, peroksidase lipid, dan generasi ROS

(Reactive Oxygen Species) bebas. Konsumsi tinggi alkohol biasanya

berhubungan dengan nutrisi rendah, sehingga jaringan rentan terhadap

karsinogenesis. Konsumsi alcohol 2-4 porsi per hari meningkatkan

risiko hingga 23% dibandingkan individu yang mengonsumsi kurang dari

1 porsi per hari. Porsi yang dimaksud adalah satuan jumlah minuman

yang dikeluarkan oleh National Institute on Alcohol Abuse and

Alcoholism, 1 porsi mengandung sekitar 14 gram alcohol murni,

volumenya berbeda-beda untuk minuman beralkohol yang beredar di

masyarakat – 1 porsi = 355 ml bir (kadar alkohol 5%), 148 ml wine

(kadar alkohol 7%), 29,5 ml brandy atau minuman keras lainnya (kadar

alkohol 40%) Riwayat mengonsumsi alkohol juga memiliki risiko tinggi.15

2.7 Gejala

Kebanyakan kasus kanker kolorektal didiagnosis pada usia sekitar 50

tahun dan umumnya sudah memasuki stadium lanjut sehingga prognosis juga
17
buruk. Keluhan yang paling sering dirasakan pasien adalah perubahan pola

buang air besar, perdarahan per anus (hematokezia dan konstipasi). Kanker

ini umumnya berjalan lamban, keluhan dan tanda-tanda fisik timbul sebagai

bagian dari komplikasi seperti obstruksi. Obstruksi kolon biasanya terjadi di

kolon transversum. Kolon desendens dan kolon sigmoid karena ukuran

lumennya lebih sempit daripada kolon yang proksimal. Obstruksi parsial

awalnya ditandai dengan nyeri abdomen, namun bila obstruksi total terjadi

akan menimbulkan nausea, muntah, distensi dan obstipasi. Kanker kolon dapat

berdarah sebagai bagian dari tumor yang rapuh dan mengalami ulserasi.

Meskipun perdarahan umumnya tersamar namun hematochesia timbul pada

sebagian kasus. Tumor yang terletak lebih distal umumnya disertai

hematokezia atau darah tumor dalam feses, tapi tumor yang proksimal sering

disertai dengan anemia defisiensi besi. Invasi lokal dari tumor menimbulkan

tenesmus, hematuria, infeksi saluran kemih berulang dan obstruksi uretra.

Abdomen akut dapat terjadi bila mana tumor tersebut menimbulkan perforasi.

Kadang timbul fistula antara kolon dengan lambung atau usus halus. Asites

maligna dapat terjadi akibat invasi tumor ke lapisan serosa dan sebaran ke

peritoneal. Metastasis jauh ke hati dapat menimbulkan nyeri perut, ikhterus

dan hipertensi portal.

Tanda dan gejala karsinoma kolon bervariasi tergantung dari lokasi

kanker di dalam usus besar. Ukuran dan ekstenbilitas usus ukuran kanan kira-

kira enam kali lebih besar daripada daerah sigmoid dan mengandung aliran

fekal yang cair. Tumor yang terletak di usus bagian kanan walaupun besar

cenderung menggantung (fungating) dan lunak, yang tidak tumbuh mengelilingi

usus. Sebagai salah satu akibatnya gejala dari tumor yang timbul di kolon

18
kanan tidak disebabkan oleh obstruksi walaupun pasien dapat mengalami rasa

yang tidak enak atau kolik di abdomen yang samar-samar. Lebih sering,

penyakit disertai dengan kehilangan darah kronis yang dideteksi dengan tes

darah samar. Sebaliknya tumor di daerah kiri cenderung keras dan tumbuh

mengelilingi usus, dan fungsi normal dalam daerah ini adalah sebagai

penyimpan massa feses yang keras. Gejala obstruksi akut atau kronis adalah

gambaran klinis yang penting. Di samping itu pasien dapat mengalami

perubahan dalam pola defekasi, memerlukan laksatif, atau penurunan kaliber

feses.Perdarahan adalah lebih jelas, dengan darah gelap atau darah merah

yang melapisi permukaan feses.

Gambaran klinis kanker kolorektal tergantung pada tempat tumor.

Sekitar seperempat tumor usus besar terletak pada kolon kanan.Kolon

transversal dan kolon desenden relatif jarang terkena, sehingga kebanyakan

tumor terletak pada kolon sigmoid dan rektum. Gejala berdasarkan lokasi

kanker dibagi menjadi :

1. Kolon kanan

a. Pasien dengan obstruksi : Sekitar seperempat pasien datang dengan

tanda obstruksi usus kecil di bagian bawah yaitu kolik, muntah,

konstipasi dan distensi. Foto polos abdomen memperlihatkan dilatasi

usus kecil.

b. Tanpa obstruksi : Banyak pasien yang datang tanpa obstruksi tidak

mempunyai gejala yang berhubungan dengan traktus gastrointestinal.

Mereka memberikan riwayat anemia dan penurunan berat badan akibat

perdarahan gastrointestinal samar. Gejala yang kompleks ini

memberikan kemungkinan karsinoma lambung, tetapi karsinoma kolon

19
kanan (yang seharusnya lebih membutuhkan terapi) seringkali

terlewatkan. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya massa yang

dapat dipalpasi dalam fossa iliaka kanan. Apakah ini ada atau tidak,

seluruh kolon harus diperiksa dengan kolonoskopi atau pada

pemeriksaan barium enema.

2. Kolon kiri

a. Pasien dengan obstruksi : Pada semua 25-30% pasien datang dengan

lesi pada kolon kiri datang sebagai pasien gawat darurat. Pasien dapat

menderita perforasi dengan abses perikolik atau bahkan peritonitis

umum tetapi lebih sering obstruksi usus besar. Sejauh ini penyebab

paling umum dari obstruksi usus besar adalah karsinoma, penting untuk

menyingkirkan penyebab lain yang mungkin dapat ditangani dengan

terapi konservatif. Pemeriksaan barium enema darurat diindikasikan

pada semua kasus obstruksi usus besar untuk mengkonfirmasi derajat

obstruksi dan untuk mendiagnosis pseudo-obstruksi yang tidak

membutuhkan pembedahan. Kolonoskopi darurat telah dianjurkan

sebagai alternatif dari pemeriksaan barium enema.

b. Pasien tanpa obstruksi : Gangguan kebiasaan defekasi merupakan

keluhan pasien yang datang tanpa obstruksi. Hal ini bisa berupa

konstipasi yang meningkat, diare atau berubah-ubah antara kedua hal

tersebut, pasien biasanya menemukan darah bersama feses dan

mengeluh nyeri atau rasa tidak enak pada abdomenbawah. Penurunan

berat badan umum ditemukan dan pada umumnya merupakan tanda

yang buruk. Karsinoma kadang-kadang bisa diraba dengan palpasi

abdomen.

20
3. Karsinoma rektum

Pasien dengan karsinoma rektum hampir tidak pernah datang sebagai

pasien gawat darurat.Pasien mengalami perdarahan yang jelas melalui

rektum.Mungkin terdapat perubahan kebiasaan defekasi dan sering

tenesmus, perasaan defekasi yang belum selesai dengan keinginan

defekasi yang berulang-ulang, tetapi yang keluar hanya lendir dan

darah.Tumor sampai 10 cm dari anal biasanya dapat dilihat dengan

sigmoidoskopi.11

2.8 Pemeriksaan penunjang

Pada pasien dengan gejala keberadaan kanker kolorektal dapat dikenali

dari beberapa tanda seperti : anemia mikrositik, hematozesia, nyeri perut, berat

badan turun atau perubahan defekasi oleh sebab itu perlu segera dilakukan

pemeriksaan endoskopi atau radiologi. Temuan darah samar di feses

memperkuat dugaan neoplasma namun bila tidak ada darah samar tidak dapat

menyingkirkan lesi neoplasma.

1. Laboratorium

Umumnya pemeriksaan laboratorium pada pasien adenoma kolon

memberikan hasil normal. Perdarahan intermitten dan polip yang besar

dapat dideteksi melalui darah samar feses atau anemia defisiensi besi. 11

Adapun tes laboratorium yang dapat dilakukan adalah sebagai

berikut:

a. Tes darah tinja okultisme positif ( Fecal Occult Blood Test / FOBT) :

Banyak dokter primer menggunakan digital tunggal FOBT sebagai tes

skrining utama mereka untuk kanker kolorektal. FOBT tunggal memiliki

21
kekhususan rendah untuk mendeteksi hemoglobin manusia, adalah

skrining yang buruk metode untuk kanker kolorektal (sensitivitas, 4,9%),

dan tidak pantas sebagai satu-satunya tes karena hasil negatif tidak

mengurangi peluang neoplasia tingkat lanjut. The American College of

Gastroenterologi merekomendasikan Imunokimia Feses Test (FIT)

sebagai pengganti FOBT untuk deteksi kanker kolorektal. Untuk

mengukur protein globin manusia. FIT Mendeteksi adenoma yang lebih

maju dari pada FOBT. Fecal Tes DNA adalah metode skrining yang

lebih baru yang mendeteksi sel kolon menumpahkan ke dalam aliran

tinja yang memiliki genetik spesifik atau perubahan epigenetik. Teknik ini

memiliki sensitivitas 97% dan spesifisitas 90% untuk tahap kanker

kolorektal I-III. Dalam uji coba yang melibatkan orang asimtomatik

dengan risiko rata-rata kanker kolorektal, multitarget tinja tes DNA

mendeteksi secara signifikan lebih banyak kanker dari pada FIT tetapi

memiliki lebih banyak hasil positif palsu. Tinggi biaya dan tingkat positif

palsu adalah yang utama hambatan menghambat penggunaan feses

yang lebih luas Tes DNA. Anemia mikrositik pada kanker kolorektal

dapat menjadi indikasi kehilangan darah kronis.

b. Penanda molekuler termasuk DNA abnormal dari sel kanker dapat

dideteksi. FIT dikombinasikan dengan tes DNA (FIT-DNA) telah

disetujui oleh FDA untuk skrining kolorektal. Satu penelitian

menunjukkan FIT-DNA memiliki sensitivitas yang lebih tinggi deteksi

kanker kolorektal dari satu kali FIT saja (92,3% vs 73,8%), tetapi

spesifisitas lebih rendah (86,6% vs 94,9%)

22
c. Meningkatnya Antigen Carcinoembryonic Plasma ( CEA) level: CEA

tidak berguna untuk screening karena bisa meningkatkan tidak

mematikan kondisi (merokok, IBD, penyakit hati alkoholik). Hasil CEA

yang normal tidak dikecualikan diagnosis kanker kolorektal.16

2. Pemeriksaan radiologi

Gambar 2.2 radiologi kanker kolon dengan menggunakan pemeriksaan barium enema

Pemeriksaan enema barium kontras ganda hanya mampu

mendeteksi 50% polip kolon dengan spesifitas 85%. Bagian rektosigmoid

sering untuk divisualisasi oleh karena itu pemeriksaan rektosigmoideskopi

masih diperlukan. Bila ada lesi yang mencurigakan pemeriksaan

kolonoskopi diperlukan untuk biopsi. Pemeriksaaan lumen barium teknik

kontras ganda merupakan alternatif lain untuk kolonoskopi namun

pemeriksaan ini sering tak bisa mendeteksi lesi berukuran kecil. Enema

barium cukup efektif untuk memeriksa memeriksa bagian kolon di balik

sturktur yang tak terjangkau dengan pemeriksaan kolonoskopi.

3. Kolonoskopi

Kolonoskopi merupakan cara pemeriksaan mukosa kolon yang

sangat akurat dan dapat sekaligus melakukan biopsi pada lesi yang

mencurigakan. Pemeriksaan kolon yang lengkap dapat mencapai >95%

23
pasien. Rasa tidak nyaman yang timbul dapat dikurangi dengan pemberian

obat penenang intravena meskipun ada risiko perforasi dan perdarahan.

Kolonoskopi dengan enema barium terutama untuk mendeteksi lesi kecil

seperti adenoma. Kolonoskopi merupakan prosedur terbaik pada pasien

yang diperkirakan menderita polip kolon. Kolonskopi mempunyai

sensitivitas 95% dan spesitivitas 99% paling tinggi untuk mendeteksi polip

adenomatous, di samping itu dapat melakukan biopsi untukmenegakkan

diagnosis secara histologis dan tindakan polipektomi penting untuk

mengangkat polip.

Diagnosis kanker kolon melalui sigmoidoskopi, barium enema atau

kolonoskopi dengan biopsi harus diikuti dengan prosedur penentuan stadium

untuk menentukan luasnya tumor. Pemeriksaan CT scan abdomen dan

radiografi dada harus dilakukan, adanya tumor yang terloksalisir biasanya

mengharuskan pembedahan radikal untuk mengeksisi tumor secara total

dengan tepi minimal 6cm dan dengan reseksi en bloc pada semua kelenjar

getah bening di akar mesenterium.11

2.9 Stadium dan Faktor Prognosis

Prognosis orang dengan kanker kolorektal berkaitan dengan kedalaman

penetrasi tumor ke dinding usus dan adanya keterlibatan kelenjar limfe regional

dan metastasis jauh. Variabel-variabel ini dimasukkan kedalam sistem

penentuan stadium yang diperkenalkan oleh dukes dan diterapkan ke dalam

metode klasifikasi TMN, dengan T mencerminkan kedalaman penetrasi tumor,

N adanya keterlibatan kelenjar limfe, dan M ada tidaknya metastasis jauh. Lesi

superfisial yang tidak mengenai kelenjar limfe regional dan tidak menembus

24
melalui submukosa (T1) atau otot (T2) disebut sebagai tumor stadium (T1-2

N0M0), tumor yang menembus hingga ke otot tetapi belum menyebar ke

kelenjar limfe disebut tumor stadium II (T3N0M0); keterlibatan kelenjar limfe

regional mendefinisikan stadium III (TxN1M0); dan penyebaran metastatik ke

tempat-tempat seperti hati, paru, atau tulang menunjukkan tumor stadium IV

(TxNxM1). Kecuali jika jelas terlihat secara kasat mata adanya metastasis,

stadium penyakit tidak dapat dipastikan secara akurat sebelum reseksi bedah

dan analisis patologik spesimen operasi. Belum jelas apakah deteksi

metastasis ke kelenjar limfe dengan tehnik molekular imunohistokia khusus

memiliki dampak prognostik serupa dengan deteksi yang dilakukan dengan

pemeriksaan mikroskopik cahaya biasa.

Sebagian besar kekambuhan setelah reseksi bedah suatu kanker usus

besar terjadi dalam tahun pertama sehingga kesintasan 5 tahun menjadi

indikator kesembuhan yang cukup sahih, kemungkinan kesintasan 5 tahun

untuk pasien dengan kanker kolorektal berkaitan dengan stadium. Dalam

beberapa dekade terakhir telah terjadi perbaikan prognosis jika dilakukan

pembandingan stadium-stadium yang setara. Penjelasan paling mungkin

untuk perbaikan ini adalah semakin lengkapnya penentuan stadium

intraoperasi dan patologik. Secara khusus, dari pemeriksaan patologik yang

lebih teliti dan rinci terungkap bahwa prognosis setelah reseksi kanker

kolorektal tidak hanya berkaitan dengan ada tidaknya keterlibatan kelenjar

limfe regional. Prognosis mungkin secara lebih presisi diukur dengan jumlah

kelenjar limfe yang terkena (satu sampai tiga kelenjar limfe versus empat atau

lebih), diperkirakan diperlukan minimal 12 sampel kelenjar limfe untuk

menentukan secara akurat stadium tumor. Prediksi lain untuk prognosis yang

25
buruk, setelah reseksi bedah total adalah penetrasi tumor menembus dinding

usus ke lemak perikolon, diferensiasi histologi yang buruk, perforasi dan/atau

perlekatan tumor ke organ sekitar (meninggkat resiko kekembuhan di regio

anatomi sekitar) dan invasi tumor ke vena. Berapapun stadium klinik

patologinya, peningkatan Antigen Karsinoembriogenik (CEA) plasma

perioperasi memprediksi kekambuhan tumor. Adanya aneuploidi dan delesi

kromosom 18q (melibatkan gen DCC) di sel tumor, tampaknya menunjukkan

resiko yang lebih tinggi untuk metastasis, terutama pada pasien dengan tumor

stadium II (T3N0M0). Sebaliknya deteksi instabilitas mikrosatelit di jaringan

tumor menunjukkan prognosis yang lebih baik. Berbeda dengan kebanyakan

kanker lain, prognosis pada kabnker kolorektal tidak dipengaruhi oleh urusan

lesi primer jika keterlibatan kelenjar limfe dan diferensiasi histologik telah

disamakan.

Kanker usus besar biasanya menyebar ke kelenjar limfe regional atau

ke hati melalui sirkulasi vena porta. Hati merupakan organ visera yang paling

sering mengalami metastasis, hati adalah tempat awal penyebaran jauh pada

sepertiga kasus kekambuhan kanker kolorektal dan terkena pada lebih dari dua

pertiga dari pasien-pasien tersebut pada saat meninggal. Secara umum

kanker kolorektal jarang muncul diparu, kelenjar limfe supraklavikula , tulang

atau otak tanpa lebih dulu menyebar kehati. Pengecualian untama adalah pada

pasien dengan tumor primer di rektum distal, yeng sel-sel tumor mungkin

menyebar melalui pleksus vena paravertebra, tidak melewati sistem vena

porta, dan karenanya mencapai paru atau kelenjar supraklavikula tanpa

melibatkan hati. Setelah deteksi metastasis jauh dahulu berkisar dari 6-9 bulan

(hepatomegali, kimia hati abnormal) hingga 24-30 bulan ( nodus kecil di hati

26
yang mulanya diidentifikasi dengan peningkatan CEA lalu CT Scan), tetapi

kini terapi sistemik yang efektif telah memperbaiki prognosis.17

Stadium dan faktor prognostis kanker kolorektal dapat dilihat pada tabel

dan gambar di bawah ini:

TX Tumor primer tidak dapat ditentukan


T0 Tidak ditemukan tumor primer
Tis Carcinoma in situ : invasi intraepithelial ke lamina propria
T1 Tumor menyebuk submukosa
T2 Tumor menyebuk muskularis propria
T3 Tumor menembus muskularis propria ke subserosa atau perikolika
atau jaringan perirektal
T4 Tumor menginfiltrasi organ atau struktur atau ke peritoneum visceral
Table 2.1 Tumor primer (T)

Nx KGB regional tidak dapat ditentukan


N0 Tidak terdapat keterlibatan kelenjar getah bening (KGB) regional
N1 Metastasis ke 1-3 KGB regional
N2 Metastasis ke 4 atau lebih KGB regional
Table 2.2 Kelenjar Limfe Regional (N)

Mx Metastasis ke 4 atau lebih KGB regional


M0 Tidak ditemukan adanya metastasis jauh
M1 Ditemukan metastasis jauh
Table 2.3 Metastasis Jauh (M)

Stadium
Deskripsi histopatologi Bertahan 5 tahun (%)
Dukes TMN Derajat

Kanker terbatas pada


A T1N0M0 I >90
mukosa/submukosa

Kanker mencapai
B1 T2N0M0 II 85
muskularis

27
Kanker cenderung
B2 T3N0M0 III masuk/melewati 70-80
mukosa

Tumor melibatkan
C TxN1M0 IV 35-65
KGB regional

D TxN2M1 V Metastasis 5
Table 2.4 Stadium kanker kolorektal

Harapan hidup pasien dengan kanker kolon bergantung pada derajat

penyebaran saat pasien datang. Prognosis pasien berhubungan dengan

dalamnya penetrasi tumor ke dinding kolon, keterlibatan KGB regional atau

metastasis jauh, penyebaran lokal yang dapat menyebabkan perlekatan

dengan struktur yang tak dapat diangkat, dan derajat histologi yang tinggi.

Semua variabel ini digabung sehingga dapat ditentukan sistem staging yang

dimodifikasi dari skala Dukes-Turnbull. Untuk semua pasien hasil

kelangsungan hidup adalah sekitar 25% tetapi pada pasien yang bisa diobati

dengan reseksi meningkat menjadi 50% dan jika tidak menembus seluruh

ketebalan dinding kolon maka harapan hidupnya hampir normal. Kriteria

terpenting adalah keterlibatan KGB regional saat dilakukan reseksi primer,

pasien dengan tumor yang belum menembus dinding kolon dan belum terdapat

keterlibatan KGB regional mempunyai harapan hidup 90%, tapi bila KGB

regional sudah terlibat angka harapan hidup menurun tinggal 40%. Jumlah

28
KGB regional yang terlibat juga penting, karena apabila lebih dari 3 KGB

regional terlibat angka harapan hidup menjadi lebih rendah yaitu 15-26%. Pada

intinya kanker yang sudah menunjukkan gejala biasanya pada stadium yang

sudah parah dan angka harapan hidup secara keseluruhan hanya berkisar

50%. Prognosis yang buruk juga terjadi pada pasien dengan usia muda,

menderita kanker koloid, dan menunjukkan gejala obstruksi atau perforasi.

Klasifikasi kanker kolorektal menurut Dukes-turnbull dapat dilihat pada

gambar di bawah ini:11

Gambar 2.3 Klasifikasi kanker kolorektal menurut Dukes-turnbull

2.10 Penatalaksanaan

Reseksi total tumor merupakan terapi optimal jika terdeteksi adanya lesi

ganas di usus besar. Evaluasi keberadaan metastasis termasuk pemeriksaan

29
fisik yang menyeluruh , foto toraks, pemeriksaan biokimiawi fungsi hati, dan

pengukuran kadar CEA plasma, perlu dilakukan sebelum pembedahan. Jika,

kemungkinan dilakukan kolonoskopi seluruh usus besar untuk menemukan

neoplasma lain dan/atau polip. Deteksi metastasis tidak menghilang

dilakukannya pembedahan pada pasien dengan gejala-gejala akibat tumor

misalnya perdarahan atau obstruksi saluran cerna, tetapi biasanya dilakukan

prosedur operasi yang kurang radikal. Pada saat laparotomi, keseluruhan

rongga peritoneum perlu diperiksa, dengan pemerijksaan teliti atas hati,

panggul dan hemidiagfragma serta perabaan yang cermat terhadap

keseluruhan usus besar. Setelah pulih dari reseksi total, pasien perludiamati

secara secaracermat selama 5 tahun dengan pemeriksaan fisik setiap

setengah tahun, dan pemeriksaan kimia darah setiap tahun. Jika tidak

dilakukan kolonoskopi lengkap sebelum operasi, pemeriksaan ini perlu

dilakukan beberapa bulan setelah operasi. Sebagian ahli cenderung mengukur

CEA plasma setiap 3 bulan karna sensitivitas inidalam mendeteksi

kekambuhan tumor yang tersembunyi. Pemeriksaan surveilans selanjutnya

dengan endoskopi atau radiografi usus besar, mungkin setiap 3 tahun

dianjurkan, karena pasien yang disembuhkan dari kanker kolorektal memiliki

probabilitas 3-5% untuk mengalamikanker kolon lainnya seumur hidup mereka

dan >15% resiko mengalami adenomatosa. Kekambuhan di anastomisis (garis

jahitan) jarang terjadi pada kanker kolorektal asalkan tepi sayatan adekuat dan

bebas tumor.

Tahap radiasi bagian panggul dianjurkan bagi pasien dengan kanker

rectum karena dapat menguragi hingga 20 -25% probabilitas kekambuhan

regional setelah reseksi bedah total tumor stadium II atau III, khususnya jika

30
tumor telah menembus serosa. Angka kekambuhan lokal yang tinggi ini

dipercayai disebabkan oleh kenyataan bahwa ruang anatomik didalam panggul

membatasi luas resesi dank arena jaringan pembuluh limfe yang luas dinding

samping panggul tepat di samping rektum mempermudanpenyebaran dini sel-

sel ganas ke jaringan yang tidak dapat diakses secara bedah. Penggunaan

diseksi tajam, bukan tumpul, pada kanker rektum (eksisi mesorektum total)

tampaknya mengurangi kemungkinan kekambuhan local sekitar 10%. Terapi

radiasi baik pra- taua pascaoperasi , mengurangi kemungkinan kekambuhan

panggul tetapi tidak memperpanjang kesintasan. Radioterapi praoperasi

diindikasikan untuk pasien dengan kanker rektum besar yang sulit direseksi;

lesi semacam ini dapat menciut untuk kemudian diangkat secara bedah. Terapi

radiasi tidak efektif sebagai pengobatan primer kanker kolon.

2.10.1 Terapi farmakologi

Terapi sistemik untuk pasien kanker kolorektal kini semakin efektif. 5-FU

masimerupakan tulang punggu dari penyakit ini. Respons parsial diperoleh

pada 15-20% pasien. Kemungkinan tumor berespon tampaknya lebih besar

pada pasien dengan metastasi hati ketika kemoterapi diinfuskan langsung ke

daalm arteri hepatika, tetapi terapi inraarteri mahal dan toksik serta tampaknya

tidak memperlama kesintasan secara bermakna. Pemberian secara

bersamaan asam folinat (leukovorin) memperbaiki kemanjuran 5-FU pada

pasien dengan kanker kolorektal stadium lanjut, mungkin dengan

meningkatkan peningkatan 5-FU ke enzim sasarannya, timidilat sintase.

Perbaikan 3 kali lipat dalam angka respons parsial pernah dihasilkan ketika

asam folinat dikombinasikan dengan 5-FU; namun, efek pada kesintasan

31
hanya marginal, dan dosis optimal masih belum diketahui. 5-FU biasanya

diberikan secara intravena tetapi juga dapat per oral dalam bentuk kapesitabin

dengan efektifitas yang tempaknya setara.

Irinotekan (CPT-11) suatu inhibitor topoisomerase 1, memperlama usia

harapan hidup jika dibandingkan dengan perawatan supuratif pada pasien

yang penyakitnya berkembang meskipun telah diberi 5-FU. Selain itu,

penambahan ironotekan ke 5-FU dan leukovorin (LV) meningkatkan angka

respons dan kesintasan pasien dengan penyakit metastase. Regimen FOLFIRI

adalah sebagai berikut; irinotekan, 180 mg/m2 sebagai infus 90 menit pada hari

1, LV, 400 mg/m2 sebagai infus 2 jam selama irinitekan, segera diikuti oleh

bolus 5-FU, 400 mg/m2 dan infu kontinu selama 46 jam sebanyak 2,4-3 9/m2

setiap 2 minggu. Diare adalah efek samping utama dari irinotekan. Oksaliplatin,

suatu analot platinum, juga memperbaiki angka respons jika ditambhakan ke 5-

FU dal LV sebagai terapi awal apsien dengan metastasis. Regimen FOLFOX

adalah sebagai berikut: infus 2 jam LV (400 mg/m 2) diikuti oleh bolus 5-FU

(400mg/m2 per hari) dan infus 22 jam ( 1200 mg/m 2) setiap 2 minggu, bersama

dengan oksaliplatin, 85 mg/m2 sebagai infus 2 jam pada hari 1. Oksaliplatin

sering menyebabkan neuropati sensorik dependen-dosis yang biasanya

mereda setelah penghentian terapi. FOLFIRI dan FOLFOX memiliki

kemanjuran setara.

Antibodi monoclonal juga efektif pada pasien dengan kanker kolorektal

tahap lanjut. Setuksimab (Erbitux) dan panitumumab (Vectibix) ditujukan

terhadap reseptor factor pertumbuhan epidermis (EGFR), suatu glikoprotein

transmembran yang berperan dalam julur-jelursinyal yeng mempengaruhi

pertumbuhan dan poliferasi sel tumor. Baik setuksimab maupun penitumumab,

32
jika diberikan tersendiri, terbuktibermanfaat bagi sebagian kecil pasien yang

pernah diobati, dan setuksimab tempaknya memiliki senergi terapetik dengan

obat-obat kemoterapi seperti irinotekan, bahkan pada pasien yang

sebelumnya resisten terhadap obat ini; hal ini mengisyaratkan bahwa

setuksimab dapatmemulihkan resistensi sel terhadap kemoterapi sitotoksik.

Pemberian setuksimab dan panimumab dapat menimbulkan ruam mirip akne

dengan kemunculan dan keparahan ruam berkolerasi dengan efikasi antitumor.

Inhibitor tirosin kinase EGFR misalnya arlotinib (Tarceva) tampaknya tidak

terlalu efektif pada kanker kolorektal.

Bevakizumab (Avastin) merupakan suatu antibodi monoclonal

yangditujukankepada faktor pertumbuhan endotel vascular (VEGF) dan

diperkirakan bekerjasebagai obat anti angiogenesis. Penambahan

bevakizumab ke kombinasi yang mengandung irinotekan dank e FOLFOX

memperbaiki hasil akhir yang diamati dengan kemoterapi saja. Pemberian

bavakizumab dapat menyebabkan hipertensi, proteinuria, dan peningkatan

resiko tromboemboli.

Pada pasien dengan metastasis soliter kehati tanpa bukti klinis atau

radiografik keterlibatan tumor lainnya perlu dipertimbangkan untuk menjalani

reseksi hati parsial, karena prosedur ini menghasilkan angka kesintasan 5

tahun 25-30% jika dilakukan pada pasien tertentu oleh dokter bedah yang

berpengalaman.

Pemberian 5-FU dan LV selama 6 bulan setelah reseksi tumor pada

pasien dengan penyakit stadium III menghasilkan penurunan 40% angka

kekambuhan dan perbaikan 30% pada kesintasan. Kemungkinan kekambuhan

juga semakin berkurang jika oksalipatin ditambahkan ke 5-FU dan LV

33
(misalnya FOLFOX) yang mengejutkan, penambahan irinitekan ke 5-FU dan

LV tidak meningkatkan hasil akhir. Pasien dengan tumor stadium II tampaknya

tidak memperoleh manfaat dari terapi adjuvant. Pada kanker rektum,

pemberian terapi modalitas kombinasi praoperasi atau pascaoperasi (5-FU

plus terapi radiasi) mengurangi resiko kekambuhan dan meningkatkan

kemungkinan kesembuhan pasien dengan tumor stadium II dan III, yang

memberi hasil lebih baik dengan ancangan praoperasi. 5-FU berfungsi sebagai

radiosensitizer jika diberikan bersama dengan terapiradiasi. Terapi adjuvant

yang memperpanjang usia digunakan pada sekitar separuh pasien diatas 65

tahun. Bila usia ini sama sekali tidak sesuai karena manfaat dan toleransi

terhadap terapi adjuvant pada pasien berusia >65 tahun tampaknya serupa

dengan pasien yang lebih muda.17

2.10.2 Terapi Integratif

a. Nutrisi

Bagian dari alasan untuk perbedaan dalam kanker kolorektal

kejadian di negara lain dibandingkan dengan yang di Amerika Serikat

adalah perbedaan dalam diet. Orang lain negara-negara, terutama

Asia, cenderung memiliki diet lebih tinggi serat, ikan, dan sayuran

dan lebih rendah dalam daging merah.

b. Serat

Sebuah meta analisis besar dari studi prospektif menemukan

itu peningkatan serat dalam makanan berkontribusi pada insiden

34
yang lebih rendah kanker usus besar, dengan serat makanan, serat

sereal, dan biji-bijian yang menunjukkan pengurangan terbesar.

c. Asam lemak omega-3

Asam lemak omega-3 ditemukan dalam ikan berdarah dingin.

Aktivitas mereka melawan kanker kolorektal melibatkan modulasi

aktivitas cyclooxygenase (COX) -2, perubahan fungsi reseptor

permukaan sel, peningkatan oksidatif stres, dan penciptaan lipid

antiinflamasi mediator. Studi epidemiologis telah menunjukkan

beragam hasil yang berkaitan dengan pengaruh lemak omega-3

asam pada risiko kanker kolorektal.

d. Kedelai

Makanan kedelai, yang terdiri dari kedelai (edamame), tahu,

tempe, susu kedelai,dll adalah bagian umum dari Diet Asia. Meta-

analisis 2010 tidak menemukan koneksi antara konsumsi kedelai dan

pengurangan risiko Kanker kolorektal. Namun, ketika memisahkan

jenis kelamin, konsumsi kedelai dikaitkan dengan pengurangan risiko

21% pada wanita, tetapi tidak pada pria

e. Daging Merah dan Olahan

Meta-analisis besar telah menemukan bahwa banyak

konsumsi daging merah dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker

kolorektal, dengan daging olahan berkontribusi untuk risiko yang

lebih besar. Ada peningkatan risiko sebesar 36% kanker kolorektal

untuk setiap 100 g / hari asupan daging merah dan 28% peningkatan

risiko untuk setiap 50 g / hari asupan yang diproses daging.

f. Bawang putih

35
Bawang putih dicirikan oleh kandungan yang tinggi senyawa

organosulfur dan flavonoid, dan bisa dikonsumsi mentah atau

dimasak. Konstituen sulfur alil di Indonesia bawang putih, yang terdiri

dari 1% dari berat keringnya, bertanggung jawab untuk manfaat

kesehatannya. Sifat antikankernya termasuk penyumbatan

pertumbuhan sel, proliferasi, dan angiogenesis; induksi apoptosis;

dan penghambatan COX-2 ekspresi. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa konsumsi bawang putih dapat menurunkan

risiko kanker kolorektal sebesar 30%, dengan efek perlindungan

yang lebih besar pada kolon distal.

g. Kontrol Glikemik

Gangguan glikemik yang terganggu adalah hasil dari diet

yang tinggi karbohidrat sederhana (fruktosa dan sukrosa), yang

mengarah untuk diabetes dan hipertrigliseridemia. Pada penelitian

ditemukan bahwa indeks glikemik, tetapi bukan beban glikemik,

dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker usus besar. Dianjurkan

untuk hindari karbohidrat sederhana dan gula olahan karena asosiasi

mereka dengan banyak penyakit kronis lainnya itu dapat

menyebabkan serangan jantung dan stroke.18

2.10.3 Terapi bedah

Terapi utama untuk kanker usus besar adalah pembedahan dengan

eksisi luas, mencakup daerah drainase limfe yang tepat. Untuk kebanyakan

pasien, eksisi yang tepat adalah hemikolektomi kiri atau kanan, tetapi pada

36
beberapa pasien dengan beberapa adenoma dan pasien muda dengan kanker,

beberapa ahli bedah menyarankan kolektomi total dan anastomosis ileorektal.

a. Karsinoma kolon kanan

Gambar 2.4 Pengangkatan usus dengan hemikolektomi kanan. A dianastomosis ke B.

Karsinoma kolon kanan dengan atau tanpa obstruksi diterapi dengan

hemikolektomi kanan dan anstomosis primer. Reseksi diindikasikan

meskipun ada metastasis hepatik, karena reseksi merupakan paliasi

terbaik.Pada pasien dengan obstruksi yang nyata, operasi harus dilakukan

sebagai tindakan darurat.Kadang-kadang reseksi tidak mungkin dilakukan,

dan ahli bedah harus memintas tumor dengan menganastomosis ileum ke

kolon transversal.

b. Karsinima kolon kiri

Gambar 2.5 Prosedur hemikolektomi kiri. A dianastomosis ke B

37
Jika tidak ada obstruksi usus, maka terpai pilihan untuk kanker kolon

kiri adalah eksisi luas dengan hemikolektomi kiri atau kolektomi sigmoid

dengan anstomosis primer. Reseksi dilakukan meskipun ada tumor

sekunder dari hepar, karena reseksi memberikan paliasi terbaik.Kolostomi

saja tidak pernahdipertimbangkan bila tidak ada obstruksi, karena

mempunyai nilai paliatif yang kecil.

Pada kasus dengan obstruksi kolon kiri, metode tradisional yang

digunakan adalah prosedur 3 tahap:

1. Kolostomi saja

2. Reseksi dengan anastomosis

3. Penutupan kolostomi

Perkembangan selanjutnya menunjukkan adanya kecenderungan ke

arah reseksi sebagai prosedur primer.Seringkali tidak dilakukan

anastomosis pada operasi darurat.Kolon atas yang tersisa dikeluarkan

seperti pada kolostomi, dan kolon bawah dikeluarkan (dengan

menghasilkan fistula mukus) atau ditutup (dengan prosedur Hartmann).

Operasi kedua dapat dilakukan jika pasien sudah benar-benar pulih dan

kesinambungan usus dapat dipertahankan.

Tindakan lebih lanjut dapat dilakukan dengan cara tidak hanya

mereseksi tumor tetapi juga melakukan anastomosis primer. Hal ini dibantu

dengan pembilasan kolon di atas meja operasi, yang membersihkan kolon

dari feses dan mengurangi disproporsi ukuran antara usus yang di atas

dan di bawah karsinoma yang direseksi. Pilihan lebih lanjut adalah

38
melakukan kolektomi subtotal dan anastomosis usus kecil ke sisa kolon

distal atau rektum.

c. Karsinoma rektum

Gambar 2.6 Prosedur reseksi anterior . A dianastomosis ke B,

Gambar 2.7 Prosedur reseksi abdominoperineal. A dieksteriorisasi sebagai ujung kolostomi.

Karsinoma setengah bagian atas rektum yang dioperasi dapat

dieksisi secara adekuat dan dianastomosis dengan baik.Prosedur ini

disebut reseksi anterior dan rektum.Anastomosis dapat dilakukan dengan

penjahitan manual, tetapi dengan adanya alat stapler sirkuler secara teknik

mempermudah untuk dilakukannya beberapa reseksi anterior.

39
Pilihan terapi untuk karsinoma rektum bagian bawah lebih bervariasi,

terapi standar untuk tumor <6cm dari tepi anal masih dengan eksisi

abdominoperineal rektum dengan kolostomi ujung. Terapi pilihan lain dapat

dipertimbangkan. Beberapa tumor yang berdiameter 5-6 cm dapat ditangani

dengan eksisi rektal dan anstomosis koloanal.Pada tumor kecil yang

berdiameter kurang dari 3-4 cm tanpa terlihat penyebaran ekstra rektal,

terapi lokal mungkin efektif; dengan pemilihan cermat, hasil akhir dapat

sangata baik.Metode yang memuaskan adalah eksisi lokal, dekstruksi

dengan diatermi dan radioterapilokal.17

d. Insisi tunggal laparoskopi kolektomi kanan

Indikasi

Semua indikasi jinak dan ganas untuk usus besar reseksi berlaku

untuk Single Incision Laparoscopic Colectomy (SILC) dan Multiport

Laparoscopic Colectomy (MPLC) serta kolon terbuka dan dubur operasi.

Seperti biasa, calon pasien yang ideal untuk kasus-kasus awal adalah

pasien yang sehat yang dekat dengan berat badan ideal mereka, siapa

belum pernah dioperasikan sebelumnya dan yang memiliki proses penyakit

jinak. Kontraindikasi

Pasien yang tidak stabil atau mereka yang mengancam jiwa patologi

(seperti perforasi dan peritonitis) bukan kandidat yang cocok untuk

laparoskopi kolektomi. Ada beberapa kontraindikasi relatif untuk SILC, mirip

dengan MPLC. Pasien yang dengan peritonitis atau beberapa operasi

sebelumnya kurang kemungkinan berhasil dioperasikan oleh laparoskopi

pendekatan. Pasien dengan anatomi kompleks karena proses penyakit

mereka, misalnya Crohn's penyakit dengan distensi dan obstruksi, mungkin

40
yang memiliki usus obstruksi dan distensi usus yang signifikan seringkali

paling baik dilayani oleh pendekatan terbuka karena pneumo peritoneum

yang memadai, dan karena itu isualisasi tidak bisa diamankan di sekitar

buncit usus. Mungkin tidak ada ruang di dalamnya yang berfungsi.

Akhirnya, penderita dengan besar massa teraba setelah induksi anestesi

umum akan membutuhkan yang sepadan sayatan untuk ekstraksi spesimen

dan mungkin yang terbaik dilayani dengan laparotomi terbuka. Pasien tidak

stabil atau mereka yang memiliki patologi yang mengancam jiwa (seperti

perforasi dan peritonitis) bukan kandidat yang cocok untuk kolektomi

laparoskopi.19

2.11 Perawatan Pascaoperasi

Jalur cepat pasca operasi rutin atau pemulihan yang ditingkatkan jalur

digunakan setelah SILC. Pasien dirawat dengan obat nyeri multimodalitas,

termasuk TAPP dan / atau blok lokal yang dilakukan di penutupan. Obat-

obatan antiinflamasi nonsteroidal diberikan secara intravena dari operasi kamar

dan selanjutnya selama 72 jam. Intravena dan acetaminophen oral diberikan

dengan tepat dan, akhirnya, anestesi yang dikontrol pasien dengan narkotika

ditawarkan. Pemberian makanan ditawarkan pada hari pasca operasi satu.

Ambulasi awal dan spirometri insentif didorong. Ketika pasien melewati

frekuensi dan mentolerir diet teratur dan obat nyeri oral mereka mungkin

dipulangkan ke rumah.

41
2.12 Komplikasi Operasi

Setiap operasi membawa risiko perdarahan dan infeksi. Risiko spesifik

untuk kolektomi dan Operasi laparoskopi berlaku untuk insisi tunggal

laparoskopi Kolektomi kanan. Ileus pasca operasi, obstruksi, dan kebocoran

anastomosis terlihat dengan frekuensi yang sama dalam multiplikasi

laparoskopi dan satu sayatan laparoskopi kolektomi kanan.19

2.13 Pemeriksaan dan Pengawasan Kanker Kolorektal

Indikasi Rekomendasi
Risiko rata-rata Dimulai pada usia 50 tahun Colonoskopi setiap 10
tahun.
Computed tomographic
kolonografi setiap 5 tahun
sigmoidoskopi fleksibel setiap 5 tahun
Double-contrast barium enema setiap 5 tahun
Stool tes darah setiap tahun atau tes DNA tinja dapat
diterima tetapi tidak disukai
Satu atau dua Kolonoskopi setiap 5 tahun dimulai pada usia 40
saudara tingkat tahun, atau 10 tahun lebih muda dari diagnosis
pertama paling awal, mana saja yang lebih dulu
dengan CRC pada
usia berapa pun atau
adenoma
pada usia <60 tahun
Herediter Konseling dan skrining genetik Kolonoskopi setiap 1
nonpolyposis kanker hingga 2 tahun, dimulai pada usia 25 tahun dan
kolorektal kemudian setiap tahun setelah usia 40 tahun
Familial Konseling dan pengujian genetik Sigmoidoskopi
adenomatous fleksibel setiap tahun, mulai saat pubertas
polyposis

42
dan varian
Riwayat pribadi Colonoscopy dalam 1 tahun dari reseksi kuratif,
kanker kolorektal ulangi pada 3 tahun dan kemudian setiap 5 tahun
jika normal
Riwayat pribadi Kolonoskopi setiap 3 hingga 5 tahun setelah
kolorektal pengangkatan semua polip indeks
adenoma

Inflammatory bowel Kolonoscopi setiap 1 hingga 2 tahun awal atau


disease setelah 15 tahun jika hanya penyakit sisi kiri.
Tabel 2.5 Pemeriksaan dan Pengawasan Kanker Kolorektal20

43
2.14 Kerangka Teori

Faktor Resiko
Usia
Herediter
Lingkungan
Pola diet Tumor kolorektal
Nutrisi
Aktifitas fisik
Obesitas
Merokok
Alkohol

Biopsi / Operasi

Benign Kanker
kolorektal

44
2.15 Kerangka Konsep

Jenis kelamin Stadium dan


dan usia letak kanker
kolorektal

: Variabel Independen

: Variabel Dependen

45
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan desain

penelitian analitik dengan pendekatan cross-sectional. Penelitian ini dilakukan

dengan melihat rekam medik pada pasien kanker kolorektal di Rumah sakit

Ibnu Sina tahun 2018-2019 yang merupakan objek utama dari penelitian ini.

Adapun data yang diperoleh dari rekam medik ini kemudian akan digunakan

sebagai bahan utama dalam melihat hubungan antara umur dan jenis kelamin

dengan stadium dan letak kanker kolorektal di Rumah Sakit Ibnu Sina.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat : Ruang Rekam Medis RS Ibnu Sina Makassar

Waktu : Maret 2019

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah pasien dengan diagnosis penyakit

Kanker Kolorektal di Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar pada 1 Januari

2014 - 31 Februari 2019.

3.3.2 Sampel

Sampel penelitian ini adalah pasien dengan diagnosis penyakit

Kanker Kolorektal di Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar pada 1 Januari

2014 - 31 Februari 2019.

46
3.3.3 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini, instrument penelitian yang digunakan adalah

rekam medik.

3.3.4 Tehnik Sampling

Dalam penelitian ini tehnik yang digunakan untuk pengambilan

sampel adalah total sampling atau semua populasi yang memenuhi criteria

untuk dijadikan sebagai sampel dalam penelitian.

3.4 Kriteria Sampel

a. Pasien dengan kanker kolorektal di RS. Ibnu Sina Makassar ttahun

2014-2019.

b. Pasien dengan kanker kolorektal yang memenuhi defenisi operasional

penelitian dan kriteri objektif.

c. Data rekam medik layak baca.

d. Data pasien tentang jenis kelamin, umur, stadium dan letak kanker

kolorektal tercantum dalam rekam medik.

3.5 Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder yaitu

berupa rekam medik yang didapatkan dari RS. Ibnu Sina Makassar tahun

2019.

Tehnik ini dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang hubungan

antara jenis kelamin dan umur dengan stadium dan letak kanker kolorektal di

RS. Ibnu Sina Makassar tahun 2019.

47
Dalam penelitian ini dilakukan tahap-tahap sebagai berikut:

a. Tahap persiapan

1. Memilih populasi.

2. Menentukan jumlah sampel.

3. Menentukan waktu pengambilan data.

b. Tahap pelaksanaan

1. Membuat/ meminta surat izin penelitian di tempat penelitian.

2. Memasukkan surat izin penelitian di tempat penelitian.

3. Mengelolah data yang telah diperoleh.

4. Menyajikan hasil penelitian.

c. Tehnik pengelolaan data

Pengelolaan data dilakukan dengan menggunakan program Microsoft

Excel dan SPSS. Data yang telah dikelolah kemudian disajikan delam bentuk

tabel dan dijelaskan dalam bentuk narasi untuk memperjelas hubungan antara

variable dependen dan variable independen.

48
3.6 Alur Penelitian

Identifikasi masalah: latar belakang masalah Tujuan penelitian


Tinjauan pustaka Defenisi operasional Membuat rencana
peneliatan

Surat izin penelitian dan kordinator KTI Fakultas Kedokteran UMI

Pelaporan surat izin penelitian ke RS. Ibnu Sina Makassar


(Direktur)

Izin penelitian ke bagian diklat RS Pelamonia

Pengumpulan data sekunder (meminta data rekam medik dari


bagian Medical Record RS. Ibnu Sina Makassar)

Identifikasi hasil rekam medik pasien kanker kolorektal

Mengklasifikasikan hasil rekam medik pasien kanker kolorektal

Mengelolah hasil rekam medik pasien kanker kolorektal

Hasil penelitian

Kesimpulan dari hasil

49
3.7 Etika Penelitian

Sehubungan dengan dilakukannya penelitian terhadap subjek, penelitian

yaitu catatan medik pasien diperlukan Ethical Clearance yang diperoleh dari

Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Fakultas Kedokteran UMI dan

meminta izin kepada instansi terkait dalam hal ini adalah Kordinator KTI dan

Direktur RS. Ibnu Sina Makassar.

3.8 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

3.8.1 Variabel Dependen

Karakteristik pasien kanker kolorektal

a. Jenis kelamin

1. Definisi operasional

Jenis kelamin adalah perbedaan bentuk, sifat dan

fungsi biologi laki-laki dan perempuan yang menentukan

peran mereka dalam menyelenggarakan upaya meneruskan

garis keturunan ataupun perbedaan biologis, hormonal dan

anatomis laki-laki dan perempuan.

2. Cara ukur

Mencatat direkam medik.

3. Alat ukur

Check List

4. Kriteria Objektif

 Laki-laki

 Perempuan

50
b. Umur

1. Definisi Operasional

Umur adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan)

2. Cara Ukur

Mencatatn direkam medik.

3. Alat Ukur

Check List.

4. Kriteria Objektif

 Resiko ≥ 40 tahun

 Tidak beresiko < 40 tahun

3.8.2 Variabel Independen

Karakteristik penyakit kanker kolorektal

a. Stadium Kanker Kolorektal

1. Definisi Operasional

Stadium kanker adalah cara pengukuran tingkat atau

staging kanker.

2. Cara Ukur

Mencatatn direkam medik.

3. Alat Ukur

Check List.

4. Kriteria Objektif

 Stadium dini / Berdifersiasi baik dan sedang

Sel-sel kanker masih menyerupai sel-sel jaringan normal.

51
 Stadium lanjut / Berdifersiasi buruk

Sel-sel kanker sudah banyak berbeda dari sifay

norma. Bersifat anaplasia yang berarti hilangnya

diferensiasi.

b. Letak Kanker Kolorektal

1. Definisi Operasional

Letak kanker kolorektal adalah tempat kanker dalam

dinding usus besar.

2. Cara Ukur

Mencatatan direkam medik.

3. Alat Ukur

Check List.

4. Kriteria Objektif

 Caecum

 Colon

 Rectal

 Anorectal

3.9 Hipotesis Penelitian

a. Usia berhubungan dengan stadium karsinoma kolorektal.

b. Usia berhubungan dengan letak karsinoma kolorektal.

c. Jenis kelamin berhubungan dengan stadium karsinoma kolorektal.

d. Jenis kelamin berhubungan dengan letak karsinoma kolorektal.

52
3.9 Analisis Data

Data diolah dengan program computer. Pertama, data diuji sebarannnya

apakah normal atau tidak dengan shapiro-wilk untuk kelompok kasus (n=30)

dan untuk kelompok kontrol (n=78) dengan kolmogorov-smirnov. Setelah

dilakukan uji univariat masing-masing variabel bebasnya, kemudian dilanjutkan

uji bivariat masing-masing variabel bebas dengan variabel terikatnya

menggunakan chi-square dan regresi logistik (usia) untuk memperoleh nilai

significancy dan odd rasio (OR). Batas nilai yang dianggap signifikan dalam

penelitian ini adalah jika p<0,05 dengan interval kepercayaan 95%. Bila

p<0,25, dilakukan uji multivariat dengan regresi logistik.

3.10 Etika Penelitian

Sehubungan dengan dilakukannya penelitian terhadap subyek,

penelitian yaitu catatan medik pasien diperlukan Ethical Clearance yang

diperoleh dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Fakultas Kedokteran

UMI. Peneliti menjaga kerahasiaan identitas masing-masing subyek penelitian,

dan peneliti menanggung biaya yang berkaitan dengan penelitian.

53

Anda mungkin juga menyukai