Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Limfedema adalah suatu keadan kronis dan progresif yang terjadi karena
ketidak seimbangan antara filtrasi dan trasportasi pada sistem limfatik dimana terjadi
penumpukkan cairan protein pada intertisial, peradangan dan selanjutnya terjadi
hipertrofi jaringan lemak juga fibrosis. 1,2 Limfedema sering kali merupakan suatu hasil
dari pengobatan kanker, infeksi, trauma dan/atau malformasi struktur genetik yang
mengarah ke kerusakkan dan kelemahan pada area yang bersangkutan. 2

Lebih dari 200 juta penduduk dunia berisiko mengalami limfedema.3


Limfedema ditemukan pada 7,7% penderita kanker payudara yang dilakukan diseksi
nodul limfa axilla dan risiko dapat diturunkan 3-7% dengan sentinel lymph node biopsy
(SLNB).4

\
Limfedema diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, yaitu primer dan
sekunder. Limfedema primer berhubungan dengan perkembangan abnormal pada
sistem limfatik sedangkan limfedema sekunder biasanya terjadi akibat gangguan aliran
limfatik yang disebebakan oleh kadaan tertentu seperti trauma, infeksi, tumor atau hasil
operasi.4

Pada negara maju kasus limfedema seringnya ditemukan berhubungan dengan


keadaan setelah operasi, contohnya pada Limfedema yang berhubungan dengan kanker
payudara, sedangkan pada negara maju limfedema sering dikaitkan dengan penyakit
infeksi seperti filariasis yang disebabkan oleh infeksi dari Wuscheria bancrofti.4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Limfatik

Sistem limfatik terdiri atas jaringan limfatik dan pembuluh limfatik. Jaringan
limfatik merupakan jenis jaringan ikat yang mengandung banyak sel limfosit.
Jaringan limfatik didapatkan pada timus, nodus limfatikus, lien, dan nodulus
limfatikus. Jaringan limfatik penting untuk pertahanan imunologik tubuh terhadap
bakteri dan virus.5,6

Gambar 1. Sistem Limfatik. (Guyton AC, Hall JE., 2006)

Pembuluh limfe merupakan pembuluh yang membantu sistem kardiovaskular


dalam mengembalikan cairan dari ruangan jaringan tubuh, lalu pembuluh ini
mengembalikan cairan ke dalam darah. Sistem limfatik pada dasarnya merupakan
sistem penyaluran dan tidak memiliki sirkulasi. Pembuluh limfatik ditemukan di
seluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali sistem saraf pusat, bola mata, telinga
dalam, epidermis kulit, kartilago, dan tulang.5,6
Limfe adalah nama yang diberikan untuk cairan jaringan yang masuk ke
dalam pembuluh limfe. Kapiler limfe adalah anyaman pembuluh-pembuluh halus
yang mengalirkan limf dari jaringan. Kapiler limfe selanjutnya mengalirkan limfe
ke pembuluh limfa kecil yang akan bergabung membentuk pembuluh limfe besar.
Pembuluh limfe berbentuk seperti untaian rantai karena banyaknya katup yang
terdapat di sepanjang perjalanannya(gambar 2).5,6

Gambar 2. Pembuluh limfatik. (Guyton AC, Hall JE., 2006)

Sebelum limfa masuk ke aliran darah, cairan ini melalui paling sedikit satu
kelenjar limf, bahkan sering kali lebih dari satu. Pembuluh limf yang membawa
limf ke kelenjar limf disebut pembuluh aferen, sedangkan pembuluh yang
membawa limf keluar dari kelenjar limf disebut pembuluh eferen. Limf memasuki
aliran darah pada pangkal leher melalui pembuluh limf besar yang disebut duktus
limfatikus dexter dan duktus thoracicus.5,6
Pada dasarnya seluruh pembuluh limfe dari bagian bawah tubuh pada
akhirnya akan bermuara ke duktus torasikus, yang selanjutnya bermuara ke
dalam sistem darah vena pada pertemuan antara vena jugularis interna kiri dan
vena subklavia kiri.6
Cairan limfe dari sisi kiri kepala, lengan kiri, dan sebagian daerah toraks
juga memasuki duktus torasikus sebelum bermuara ke dalam vena. Cairan limfe
dari sisi kanan leher dan kepala, lengan kanan, dan bagian kanan toraks
memasuki duktus limfatikus kanan, yang akan bermuara ke dalam sistem darah
vena pada pertemuan antara vena subklavia kanan dan vena jugularis interna.6
Sistem limfatik berfungsi sebagai “mekanisme untuk kelebihan aliran”
(overflowmechanism) untuk mengembalikan kelebihan protein dan kelebihan
volume cairan ke sirkulasi dari ruang jaringan . Oleh karena itu, sistem limfatik
juga memiliki peran sntral dalam mengatur (1) konsentrasi protein dalam cairan
interstitial, (2) volume cairan interstitial, dan (3) tekanan cairan interstitial.
Sejumlah kecil protein terus keluar dari kapiler darah masuk ke dalam intertitium.
Hanya sejumlah kecil protein yang bocor, jika ada, yang kembali, ke sirkulasi
melalui ujung-ujung vena dari kapiler darah. Oleh karena itu, protein-protein ini
cenderung berakumulasi di cairan interstitial, dan hal ini kemudian akan
meningkatkan tekanan osmotik koloid cairan cairan intertitial.6
Peningkatan tekanan osmotik koloid dalam cairan intertisial akan menggeser
keseimbangan daya pada membran kapiler darah dalam membantu filtrasi cairan
ke dalam intertisium. Oleh karena itu, cairan bertukar tempat secara osmosis keluar
melalui dinding kapiler masuk ke dalam interstisium akibat protein, sehingga
meningkatkan volume cairan intertisial dan tekanan cairan intertisial.6
Peningkatan tekanan cairan intertisial akan sangat meningkatkan kecepatan
aliran limfe kemudian membawa keluar kelebihan volume cairan interstisial dan
kelebihan protein yang telah terakumulasi dalam ruang intertisial. Begitu
konsentrasi protein cairan intertisial mencapai nilai tertentu dan menyebabkan
peningkatan yang sebanding dalam volume cairan intertisial dan tekanan cairan
intertisial, pengembalian protein dan cairan melalui sistem limfatik menjadi cukup
besar untuk mengimbangi secara tepat kecepatan bocornya protein dan cairan ke
dalam intertisium dari kapiler darah. Oleh karena itu, nilai kuantitatif dari semua
faktor ini akan mencapai keadaan yang mantap. Faktor-faktor tersebut akan tetap
seimbang pada nilai ini sampai terjadi perubahan pada bocornya protein dan cairan
kapiler darah.6

2. Limfedema

1. Definisi

Limfedema adalah suatu kondisi patologis pada sistem limfatik yang


progresif dari sistem limfatik dimana terjadi penumpukan cairan protein pada
interstisial, peradangan dan dilanjutkan dengan terjadinya hipertofi jaringan lemak
juga fibrosis.7 Limfedema disebabkan oleh gangguan atau malformasi dari sistem
limfatik yang menyebabkan pembengkakkan dengan kadaer protein tinggi pada
organ yang bersangkutan. Jika tidak ditangani limfedema dapat menjadi kelainan
permanen yang dapat ditangani namun tidak dapat disembuhkan (irreversible).8

2. Epidemiologi

Limfedema primer merupakan kasus yang jarang ditemukan, terjadi pada 1


antara 100.000 individu di dunia. Limfedema sekunder lebih sering ditemukan
dengan angka kejadian 1 antara 1000 individu di America.9

Identifikasi angka kejadian dan prevalensi limfedema termasuk kompleks.


Perkiraan prevalensi untuk limfedema relatif tinggi, namun prevalensinya
cenderung diremehkan. Tidak ada penilaian yang dirancang secara prospektif dan
dilakukan secara ketat yang membatasi prevalensi sebenarnya dari penyakit ini. 9

Insiden limfedema paling banyak pada populasi onkologis. Satu dari 5


wanita yang menderita kanker payudara akan menderita limfedema. Pada kanker
kepala dan leher, komplikasi limfatik dan jaringan lunak dapat berkembang selama
18 bulan pertama pasca perawatan, dengan lebih dari 90% pasien mengalami
beberapa bentuk limfedema internal, eksternal atau gabungan. Pada populasi
onkoligis ginekologis, diseksi kelenjar getah bening yang lebih luas, yang
mendapatkan kemoterapi dan radioterapi, peningkatan indeks masa tubuh,
diagnosis kanker vulva / kanker vagina dan adanya limfedema pra-perawatan
diidentifikasi sebagai faktor risiko potensial terhadap perkembangan lymphedema.
9

3. Etiologi dan Klasifikasi

1. Limfedema Primer

Limfedema primer sangat jarang terjadi. Diperkirakan sekitar 1,15 di antara


100.000 orang yang berusia < 20 tahun, dan lebih sering terjadi pada wanita.10
1. Herediter
Limfedema kongenital yang merupakan penyakit herediter, adalah
penyakit Milroy. Penyakit ini adalah suatu autosomal dominan. Pada
penyakit ini terjadi mutasi gen di lokus 5q35.3, yaitu FLT4, yang
menyandikan untuk reseptor Vascular Endothelial Growth Factor
Receptor 3 (VEGFR3). Manifestasi klinis pada penyakit ini biasanya
muncul pada saat lahir hingga usia 1 tahun. Pada penyakit Milroy
biasanya terjadi limfedema bilateral mulai dari lutut sampai kaki yang
semakin lama semakin membesar seiring bertambahnya usia, serta dapat
juga terjadi hidrokel, ski jumptoenails, dan papilomatosis pada jari-jari
kaki.10,11,12,14

2. Limfedema Prekoks
Limfedema prekoks merupakan limfedema yang terjadi saat masa
pubertas, tetapi dapat juga terjadi pada dekade ketiga kehidupan.
Merupakan kasus yang paling sering ditemukan dari seluruh limfedema
primer (65-80%). Nama lain dari limfedema precox adalah penyakit
Meige, suatu penyakit autosomal dominan dimana terjadi mutasi gen
terjadi pada gen OXC2, yang berperan dalam metabolisme adiposit. Pada
70% kasus limfedema ditemukan secara unilateral dimana kaki kiri
didapatkan lebih terlibat dibanding sebelah kanan. Penyakit ini disertai
dengan beragam kelainan, seperti defek vertebra, malformasi
serebrovaskular, kehilangan pendengaran, dan distikiasis. 11,13,14

3. Limfedema Tarda
Limfedema tarda muncul pada usia lebih dari 35 tahun. Biasanya
disebabkan oleh adanya defek pada katup limfe yang menyebabkan
fungsi katup inkompeten. Defek katup yang terjadi sulit untuk
ditentukan merupakan apakah merupakan bawaan kongenital. Secara
histologi sering terlihat pola hiperplastic dengan limfatik yang berbelit-
belit dan peningkatan pada jumlah dan kaliber.14

2. Limfedema Sekunder

Limfedema sekunder adalah suatu kondisi didapat yang disebabkan


oleh disrupsi atau obstruksi sistem limfatik. Limfedema sekunder dapat disebabkan
oleh penyakit, trauma, atau suatu proses iatrogenik seperti pembedahan atau
radiasi. Di belahan dunia bagian barat, penyebab utama limfedema sekunder adalah
pembedahan dan terapi radiasi untuk kanker, seperti karsinoma mammae dan
pelvis, melanoma, kanker kepala/leher, sarkoma Kaposi). Di negara-negara
berkembang, penyebab utama limfedema sekunder adalah filariasis. Sebagaimana
drainase limfe merupakan penyangga edema yang utama, maka jelas bahwa
kegagalan limfatik lokal untuk mengkompensasi muatan limfe berlebih akan
menyebabkan edema. Penyebab limfedema sekunder lainnya ditunjukkan pada
tabel 1.15,16
Tabel 1. Penyebab limfedema sekunder15
Ca mammae
Radioterapi
Tumor Sarkoma Kaposi
Metastase kanker
Limfoma
Filariasis
Erisipelas
Infeksi Selulitis
TB
Limfogranuloma inguinal
Sindrom posttrombotik
Vaskular
Insufisiensi vena kronik
Limfadenektomi
Trauma Pemakaian torniquet
Sindrom Secretan
Statis (berdiri lama), premenstruasi,
Fungsional
kehamilan
Kontrasepsi oral, kortikosteroid,
Medikasi
antihipertensi, diuretik

4. Patofisiologi

Fungsi normal limfatik adalah untuk mengembalikan protein, lemak,


dan air dari interstisium ke ruang intravaskuler. Sekitar 40-50% serum protein
ditransportasikan melalui rute ini setiap hari. Tekanan hidrostatik yang tinggi di
kapiler arterial menekan cairan berprotein ke interstisium, menyebabkan
peningkatan tekanan onkotik interstisial yang mengimbangi pertambahan cairan.
Cairan interstisial dalam keadaan normal berkontribusi terhadap
makanan jaringan. Sekitar 90% cairan kembali ke sirkulasi melalui jalan masuk
kapiler vena. Sisa 10% terdiri dari protein berat molekul tinggi dan air yang
diikatnya, terlalu besar untuk melewati dinding kapiler vena. Hal itu
mengakibatkan sisa tersebut mengalir ke kapiler limfe yang tekanannya di bawah
tekanan atmosfer dan dapat menampung protein ukuran besar dan air yang
menyertainya. Protein kemudian berjalan melalui berbagai nodus limfe penyaring
sebelum bergabung dengan sirkulasi vena.

Gambar (Sjamsuhidajat R, De Jong W.,2003)

Pada keadaan patologis, kapasitas transport limfe berkurang. Hal ini


menyebabkan volume normal cairan interstisial melebihi tingkat pengembalian
limfatik, menyebabkan stagnasi protein dengan berat molekul besar di interstisium.
Hal ini biasanya terjadi setelah aliran berkurang 80% atau lebih. Akibatnya,
dibandingkan dengan bentuk edema lain yang konsentrasi proteinnya lebih rendah,
edema ini mengandung kadar protein yang tinggi atau limfedema, dengan
konsentrasi protein 1,0-5,5 g/mL. Tekanan onkotik yang tinggi di interstisium ini
menyebabkan akumulasi air meningkat di interstisium.
Gambar . (Ručigaj TP, Žunter VT,2011)

Akumulasi cairan interstisium menyebabkan dilatasi masif dari saluran


keluar yang ada dan inkompetensi katup yang menyebabkan aliran balik dari
jaringan subkutan ke pleksus dermal. Dinding limfatik menjadi fibrosis,
dan thrombi fibrinoid terakumulasi di dalam lumen, menyumbat kanal limfe yang
tersisa. Shunt limfovena spontan mungkin terbentuk. Noduslimfe mengeras dan
menyusut, kehilangan arsitektur aslinya.
Di interstisium, akumulasi protein dan cairan menginisiasi reaksi radang.
Aktivitas makrofag meningkat, menghasilkan destruksi serat elastis dan produksi
jaringan fibro-sklerotik. Fibroblast bermigrasi ke interstisium dan deposit kolagen.
Akibat dari reaksi radang ini adalah perubahan dari pitting edema ke edema
nonpitting sebagai karakteristik khas limfedema. Akibatnya, pengawasan imun
lokal tertekan, dan infeksi kronik, dan juga degenerasi maligna sampai
limfangiosarkoma dapat terjadi.

5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari limfedema secara umum terjadi akumulasi subkutan


cairan edema dan jaringan adiposa. Respon inflamasi berkembang dengan
akumulasi cairan intersitial yang kronis. Selain peradangan, aliran limfatik
melambat juga telah terbukti menyebabkan lipogenesis dan penumpukan lemak dan
kemudian menyebabkan peningkatan aktivasi fibrosit dan pertumbuhan jaringan
ikat. Selain hipertropi adiposa, pada penderita uga terjadi pembengkakkan daerah
subkutan yang semakin lama semakin kencang (terbentuk jaringan fibrosis).
Perubahan patologis awalnya sebagai pembengkakan pada tungkai atau area yang
terlibat, kemudian diikuti dengan perubahan-perubahan anatomis lainnya. Stadium
Limfedema ditunjukkan pada tabel 2. 6

Stage Deskripsi

Stadium 0 Masa laten atau subklinis dimana pembengkakan tidak jelas


meskipun transportasi getah bening terganggu. Stage 0 mungkin
ada selama berbulan-bulan atau tahun sebelum edema terjadi.

Stadium I Akumulasi awal dari cairan yang mengandung protein dimana


berkurang bila tungkai elevasi. Edema mulai terjadi dan
peningkatan proliferasi sel mulai terlihat.

Stadium II Pembengkakan jaringan dan edema tidak berkurang dengan kaki


elevasi dan terjadi perkembangan fibrosis.

Stadium III Limfedema (elephantiasis), volume edema non pitting, bertambah


dengan dermatosclerosis dan lesi papillomatous

Tabel 2. Stadium Limfedema6

6. Diagnosis

Penegakkan diagnosis suatu limfedema diperlukan anamnesis, pemeriksaan


fisis, dan pemeriksaan penunjang. Pasien datang dengan berbagai derajat
pembengkakan, dari pembengkakan ringan sampai berat dengan resiko komplikasi
yang bisa membahayakan hidupnya. Pasien dapat mengeluh ekstremitasnya lelah
atau adanya tekanan pada ekstremitas, tetapi nyeri jarang dirasakan. Riwayat
keluarga tidak khas pada limfedema, tetapi ciri-ciri lipedema, suatu lipodistrofi
yang menyebabkan pembesaran simetris pada ekstremitas bawah, sering terjadi
pada wanita. Pembengkakan yang terjadi pada limfedema umumnya mulai dari
distal dan berlanjut ke arah proksimal dalam hitungan bulan sampai tahun. Pada
pemeriksaan fisik, awalnya ditemukan pitting edema, tetapi perlahan menjadi non-
pitting edema karena terbentuknya fibrosis dan jaringan menjadi keras. Perubahan
kulit dapat terjadi yaitu ditemukan peau d’orange, tetapi jarang terjadi ulkus. Tanda
Stemmer ditemukan positif.17,18

7. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Pada anamnesis limfedema pasien paling sering datang dengan keluhan


utama bengkak pada ekstremitas bawah. Pembengkakan yang terjadi pada
limfedema umunya mula dari distral dan berlanjut ke arah proksimal dalam
hitungan bulan hingga tahun. Pada stadium awal akan suliy untuk membedakan
pembengkakan karena penyebab yang lain seperti, gagal jantung, gagal ginjal
kronik, kehilangan protein, dan lokal etiologi seperti lipedema, trombosis vena
dalam, vena kronis insifisiensi, myxedema, dan edema siklus atau idiopatik. Perlu
ditanyakan riwayat faktor risiko seperti pembedahan diseksi nodul, riwayat terapi
radiasi, riwayat trauma, riwayat infeksi, berpergian ke daerah endemik filariasi,
riwayat keganasan tumor dan riwayat keluarga dengan limfedema.

Pasien datang dengan keluhan ekstremitasnya lelah atau adanga tekanan


pada ekstremitas, tetapi nyeri jarang dirasakan. Riwayat keluarga tidak khas pada
limfedema, tetapi ciri-ciri limfedema, suatu lipodistrofi yang menyebabkan
pembesaran simetris pada ekstremitas bawah, sering terjadi pada wanita.
Pembengkakan yang terjadi pada limfedema umumnya mulai dari distal dan
berlanjut ke arah proksimal dalam hitungan bulan sampai tahun.

Pada pemeriksaan fisik, limfedema akan ditemukan pitting edema, tetapi


perlahan menjadi non-pitting edema karena terbentuknya fibrosis dan jaringan
menjadi keras. Perubahan kulit dapat terjadi yaitu ditemukan peau d’orange, tetapi
jarang terjadi ulkus. Tanda stemmer ditemukan positif.

Uji stemmer dapat digunakan untuk menandakan ada atau tidaknya


limfedema. Cara untuk melakukan uji stemmer adalah dengan cara mencubit dan
mengangkat lipatan kulit basal pada digiti II pedis dan digiti III manus. Jika lipatan
kulit basal dapat diangkat tanda stemmer negatif bila tidak tanda stemmer positif.
False positive tidak pernah terjadi. Sebaliknya, tanda negatif tidak menyingkirkan
kalau itu bukan limfedema. Uji stemmer ini cepat untuk mengetahui bila hasil
positif menandakan limfedema dan dapat dilakukan secepatnya terapi yang tepat.

8. Pemeriksaan Penunjang

1. Analisis Bioimpedansi

Bioelectric impedance analysis sering digunakan dalam analisis


komposisi tubuh dan memberikan analisis langsung tentang perbedaan
volume edema. Teknik ini terbukti dapat dipercaya dan memiliki
kemampuan dalam menunjukkan limfedema subklinis pada wanita
yang akan menjalani terapi kanker payudara. Teknik ini dapat
mendeteksi area kecil pada limfedema. Hanya saja, teknik ini tidak
akurat dan tidak dapat membedakan limfedema dengan penyebab
edema yang lain dan tidak dapat menentukan kapan edema temporer
akibat paskaoperasi menjadi edema yang kronik.5,18

2. Limfoskintigrafi

Limfoskintigrafi atau limfografi isotopik adalah suatu teknik


pencitraan noninvasif melalui injeksi technetium-labeled colloid ke
dalam jaringan subkutan. Radioisotop masuk ke dalam sistem limfatik
dan diperiksa menggunakan kamera gamma khusus. Teknik ini
menguntungkan namun resolusi gambar yang dihasilkan lebih kecil
dibandingkan limfangiografi. Limfoskintiografi merupakan gold
standar untuk limfedema karena akurat dalam menilai abnormalitas
kerusakan sistem limfe dengan menunjukkan aliran lambat limfe dan
area refluks limfe dan dapat memprediksi respon untuk tatalaksana.18

3. MRI

MRI dapat menunjukkan edema di kompartemen epifasial dan


pembesaran saluran limfatik. MRI juga dapat menunjukkan gambaran
khas limfedema yaitu penebalan kulit, “honeycombing” pada jaringan
subkutan karena terbentuknya fibrosis dan cairan mengelilingi
akumulasi adiposa, dan tidak adanya edema pada kompartemen
muskular.

4. CT Scan

Kegunaan CT-scan sama dengan pemeriksaan USG, yaitu untuk


mendeteksi lesi obstruksi seperti neoplasma, khususnya jika limfedema
terjadi spontan pada pasien dewasa karena menandakan adanya suatu
kompresi sistem limfatik akibat keganasan. Sensitivitasnya sebesar 97%
dan spesifisitasnya sebesar 100%.

5. Diagnosis Parasitologi

Pemeriksaan antigen filaria dapat ditemukan adanya antigen


filarial di dalam darah perifer, dengan atau tanpa mikrofilaria.
Pemeriksaan ini sekarang dipertimbangkan debagai diagnosis yang
paten infeksi filarial dan dipakai untuk memonitor efektivitas
pengobatan. Jika dicurigai filariasis limfatik, urin harus diperiksa secara
mikroskopik untuk menemukan adanya chyluria. Pada pemeriksaan
imunoglobulin serum, kadar Ig E serum yang meningkat ditemukan
pada pasien dengan penyakit filaria aktif.
9. Tatalaksana

Tatalaksana limfedema terdiri dari diagnosis yang akurat, klasifikasi yang baik
dan edukasi kepada pasien. Namun tidak ada kesembuhan yang mutlak pada
limfedema. Ada beberapa tatalaksana yang dapat dilakukan, yaitu cara non
pembedahan dan pembedahan. Cara non-pembedahan yang utama adalah complete
decongestive therapy (CDT), compression therapy, advance pneumatic compression
pumps dan olahraga.19

Edukasi pada pasien merupakan hal yang penting dan krusial. Perawatan diri
dan latihan untuk menurunkan risiko, drainase limfa, perawatan kulit, penggunaan
pakaian yang baik, nutrisi yang baik, olahraga serta kontrol berat badan adalah prioritas
dasar dari tatalaksana limfedema.19

1. Non Pembedahan.19
Complete Decongestive Therapy (CDT) dipertimbangkan sebagai
tatalaksana gold-standard dalam penanganan Limfedema yang terdiri dari 2
fase: reduktif dan perawatan. CDT adalah pilihan yang bagus dalam
menurunkan volume Limfedema yang terdiri dari 4 tahapan yaitu, Manual
Lymph Drainage, compression therapy, olahraga, dan perawatan kulit.
Kelemahan dari teknik ini adalah harga yang mahal, membutuhkan waktu yang
lama serta membutuhkan terapis yang tersertifikasi.
1. Manual lymph drainage (MLD)
MLD adalah teknik pijatan yang berbeda dari pijat pada umumnya dengan
bertujuan untuk drainase limfe
2. Compression Therapy
Compression therapy Termasuk kompresi yang efektif dengan bebatan
melingkar pada tungkai yang terkena. Perban elastis pendek memberikan
tekanan yang rendah saat pasien beristirahat dan bekerja yang
membebaskan otot berkontraksi untuk membantu aliran cairan interstisial.
Perban ini juga mengurangi fibrosis pada kulit. Pakaian kompresi berbeda
dengan perban kompresi dan bertujuan untuk jangka pakai yang lebih lama.
3. Olahraga
Olahraga sangat bermanfaat pada pasien limfedema. Disarankan untuk tetap
menggunakan perban kompresi dan pakaian kompresi selama aktifitas.
Pasien dengan limfedema atau yang memiliki risiko limfedema disarankan
untuk berolahraga, pada meta-analisis, didapatkan bahwa olahraga
mengurangi volume edema pada Breast Cancer Related Lymphedema
(BCRL).
4. Skin Care
Kebersihan merupakan hal yang penting pada pasien dengan limfedema.
Pelembab dengan pH yang rendah direkomendasikan untuk mengatasi kulit
pecah-pecah dan kering, yang bertujuan untuk mencegah masuknya
mikroorganisme.

5. Low-Level Laser Therapy

LLLT meningkatkan drainase limfatik dan dengan menstimulasi


pembentukan pembuluh limfe yang baru, dengan merubah motrisitas
limfatik dan mencegah pembentukan jaringan fibrotic. Biasanya,
penggunaan LLLT dikombinasikan dengan CDT. Serta dari sekian banyak
studi, hanya ada satu studi yang menyatakan bahwa LLLT menyebabkan
pembentukan selulitis pada pasien.

2. Pembedahan.19

1. Teknik Reduksi

1. Direct excision
Pengangkatan jaringan limfedema juga termasuk dalam teknik ini.
Walaupun teknik ini efektif dalam mengurangi volume, namun dapat
meninggalkan bekas. Serta memerlukan transfuse darah dan
penyembuhan luka yang lama. Eksisi langsung juga memerlukan
tindakan Full Thickness Skin Grafting atau Vacuum Assisted Closure
Therapy.
2. Liposuction
Operasi pengecilan pada ekstremitas yang terkena dengan metode
sedot lemak telah menunjukkan efektifitasnya dalam mengurangi
volume limfedema sampai mendekati normal. Teknik ini telah
digunakan pada limfedema kongenital atau yang didapat serta pada
kasus lipedema. Teknik ini mengharuskan pasien menjalani terapi
kompresi terlebih dahulu agar tidak terjadi regresi. Pasien yang akan
melakukan pengobatan dengan teknik ini juga harus menjalani
tindakan pre operatif tanpa adanya pitting edema. Hasil pengamatan
menunjukkan teknik ini efektif di kedua ekstremitas atas dan bawah,
namun lebih efektif pada ekstremitas atas. Komplikasi pada teknik ini
adalah infeksi, nekrosis kulit dan rekurensi.

2. Teknik Fisiologis

1. Lymphatic Venous Anastomosis (LVA)


Teknik ini dilakukan dengan membentuk hubungan antara sistem
limfatik dan pembuluh vena di ekstremitas distal ataupun proximal.
Limfatik superfisal ataupun profunda dianastomosiskan dengan vena
yang bersebelahan. Fluoresens juga digunakan untuk membantu
mengidentifikasi sistem limfatik dan mikroskop digunakan untuk
membantu dalam pembedahan mikro. Dalam pembedahan ini
digunakan teknik pembedahan super mikro (pembuluh yang berukuran
kurang dari 0,8 mm), dimana pembuluh limfa dan vena yang berdekatan
dianastomosiskan dengan mempertemukan kedua ujungnya.

2. Vascularized Lymph Node Transfer


Terdapat beberapa pilihan yang berbeda pada pemindahan nodus limfe,
yaitu asal nodus limfe yang diambil dari pendonor dan tempat
pemindahan pada penerima. Pilihan tempat asal nodus limfe untuk
pencangkokan sendiri yaitu, regio thorax lateral, region submentalis,
regio supraklavikular, region intraabdominal dan paha. Setiap tempat
asal memiliki beberapa keuntungan dan kerugian, serta berisikan variasi
nodus limfa yang terbagi dari 1-10. Nodus limfa juga dapat
dicangkokkan dengan kulit pendonor jika diperlukan. Operasi ini juga
memerlukan keahlian bedah mikro untuk melakukan anastomosis nodus
limfa dengan arteriola dan venula untuk mempertahankan suplai darah
ke jaringan yang dicangkokkan.

Pertimbangan pada pemindahan nodus limfe adalah dapat terjadinya


Limfedema pada lokasi donor. Pemetaan nodus limfe terbalik, dapat
dideskripsikan sebagai teknik untuk memperbaiki diseksi aksilla, dapat
digunakan untuk meminimalisir morbiditas nodus limfe. Secara klinis,
keuntungan dari pemindahan nodus limfe adalah untuk memperbaiki
fungsi imunologis pada ekstremitas dan memperbaiki drainase cairan.
BAB III

KESIMPULAN

Limfedema adalah suatu kondisi patologis pada sistem limfatik yang progresif
dari sistem limfatik dimana terjadi penumpukan cairan protein pada interstisial,
peradangan dan selanjutnya terjadi hipertofi jaringan lemak juga fibrosis. Limfedema
dibagi dalam dua klasifikasi yaitu limfedema primer yang terjadi karena jumlah
pembuluh limfe yang terbentuk lebih sedikit dari normal dan limfedema sekunder yang
disebabkan oleh adanya obstruksi aliran getah bening karena infeksi, radiasi, metastasis
tumordan pembedahan.

Secara epidemiologi insiden yang paling sering terjadi di dunia adalah


limfedema sekunder dengan penyebab tersering adalah filariasis karena infeksi dari
wuscheria bancrofti. Limfedema sangat jarang terjadi pada limfedema primer
diperkirakan sekitar 1,15 di antara 100.000 orang yang berusia < 20 tahun, dan lebih
sering terjadi pada wanita.

Pada penegakkan diagnosis limfedema diperlukan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dapat ditanyakan riwayat faktor
resiko seperti pembedahan diseksi nodul, riwayat terapi radiasi, riwayat trauma,
riwayat infeksi, travel ke daerah endemik filariasis, riwayat keganasan tumor, dan
riwayat keluraga yang memiliki limfedema. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan
pitting edema, tetapi perlahan menjadi nonpitting edema karena terbentuknya fibrosis
dan jaringan menjadi keras.

Perubahan kulit dapat terjadi yaitu ditemukan peau d’orange, tetapi jarang
terjadi ulkus. Tanda Stemmer ditemukan positif Limfoskintiografi merupakan gold
standar untuk limfedema karena akurat dalam menilai abnormalitas kerusakan sistem
limfe. Penanganan limfedema yaitu dengan Comprehensive decongestive therapy yang
terbukti aman dan efektif.
DAFTAR PUSTAKA

1. Damstra RJ, et al. The Dutch Lymphedema Guidelines Based on The


International Classification of Functioning, Disability, and Health and the
chronic care model. Journal of Vascular Surgery: Venous and Lymphatic
Disorders. 2017; 5(5): 756-765

2. McFarlane,DM.,FRCS., Michael,Ec.,FACS. 2017. Primary Upper Limb


Lymphedema : Case Report Of A Rare Pathology. The Permanente Journal.
January; 2017. 21:16-010.
3. Lymphoedema therapist
4. Lymphoedema: From diagnosis to treatment
5. Snell RS. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta :
EGC, 2006. p. 20-23.
6. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11th edition.
Philadelphia : Elsevier Inc., 2006. p. 190-1; 193.
7. Warren AG, et al. Lymphedema, A Comprehensive Review. Ann Plastic
Surgery. 2007; 59: 464-472.
8. Poage E, et al. Demystifying Lymphedema: Development of the Lymphedema
Putting Evidence Into Practice. Clinical Journal of Oncolgy Nursing. 2008;
12(6): 951-964
9. Sleigh BC, Manna B. Lymphedema. StatPearls Publishing: 2019.

10. Butler MG, Dagenais SL, Rockson SG, Glover TW. A Novel VEGFR3 Mutation
Causes Milroy Disease—Clinical Report. American Journal Of Medical
Genetics Part A 143A:1212–1217 (2007).
11. JM Weiss, BJ Spray. The Effect of Complete Decongestive Therapy on The
Quality of Life of Patients With Peripheral Lymphedema. Missoury,
USA.2002; 46-58.
12. Haghighinejad, Akbari.H, et al. The Effect of Complex Decongestive Therapy
on Post-breast Surgery Quality of Life in Breast Cancer Patients With
Unilateral Lymphedema and Its Predictive Factors. Shiraz University of
Medical Sciences. Iran. 2016; vol (10);17(1) : 841-846.
13. Ciocca RG. The Swollen Leg. In : Learning Surgery, The Surgery Clerkship
Manual. Springer. 2005. p. 524-5.
14. Rossy KM. Lymphedema. Medscape. 2018. Cited October 10 October 2019
Available at https://emedicine.medscape.com/article/1087313-overview#a4
15. McPhee SJ, Papadakis MA. Current Medical Diagnosis and Treatment.
Vascular Disease. McGrawHill Lange, 2008.
16. Antignani, P.L., B.-B Lee, et al. IUA-ISVI Consensus For Diagnosis Guideline
Of Chronic Lymphedema Of The Limbs. International Angiology Edizioni
Minerva Medica.
17. Antignani PL. Diagnosis and treatment of primary lymphedema—IUP
Consensus. International Angiology: a Journal Of The International Union Of
Angiology, December 2013.
18. NLN Medical Advisory Comittee. The Diagnosis And Treatment Of
Lymphedema. National Lymphedema Network, February 2011.
19. Kayiran O, Et al. Lymphedema: From Diagnosis to Treatment. Turkish Journal
Of Surgery. Turkey. 2017. Vol 33(2): 51-57

Anda mungkin juga menyukai