Anda di halaman 1dari 36

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Limfoma Non Hodgkin

1.1.1 Epidemiologi Limfoma Non Hodgkin

Limfoma non Hodgkin (LNH) merupakan kelompok keganasan primer


limfosit yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan sel natural killer1.
Limfoma non Hodgkin menduduki peringkat ke 7 dari semua jenis kanker,
mewakili 4% dari semua diagnosis kanker. American Cancer Society
memperkirakan sebanyak 74.680 kasus limfoma non Hodgkin didiagnosis pada
tahun 2018. Limfoma non Hodgkin paling sering didiagnosis pada usia 65–74
tahun secara keseluruhan, usia rata-rata saat diagnosis adalah 67 tahun, kecuali
tingkat keganasan rendah dengan 37% kasus yang biasanya mengenai pasien
berusia 35-64 tahun tetapi hanya 16% kasus pada pasien berusia dibawah 35
tahun. Limfoma keganasan rendah jarang terjadi pada anak-anak. 1,2 Limfoma non
Hodgkin menduduki peringat ke-6 kanker terbanyak di Indonesia. Badan
Koordinasi Nasional Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia
(Bakornas Hompedin) menyatakan, insiden Limfoma lebih tinggi dari leukemia
dan menduduki peringkat ketiga kanker yang tumbuh paling cepat setelah
melanoma dan paru.

1.1.2 Etiologi dan Faktor Risiko

Etiologi terjadinya sebagian besar LNH sampai saat ini belum diketahui.
Ada beberapa faktor risiko terjadinya LNH yaitu3,4,5; usia 60 tahun ke atas, jenis
kelamin laki-laki dibandingkan perempuan dimana hal ini tidak diketahui
penyebabnya. Beberapa penelitian mengungkapkan adanya keterlibatan peran
varian genetik yang mendukung kelangsungan hidup dan pertumbuhan sel B
sehingga meningkatkan risiko terjadinya LNH, seperti variasi genetik di berbagai
jalur, termasuk sitokin, innate immunity, stres oksidatif, dan perbaikan apoptosis
DNA pada regio HLA. Beberapa penelitian mengungkapkan bahan-bahan seperti
benzene dan herbisida serta insektisida berhubungan dengan meningkatnya risiko

1
Limfoma Non Hodgkin. Beberapa pekerjaan yang dikaitkan dapat meningkatkan
risiko terkena LNH yaitu petani, pengguna pestisida, pekerja benzene, petani
karet, pekerja kilang minyak, pemadam kebakaran dan ahli kimia. Obat
kemoterapi yang digunakan dalam mengobati kanker dapat meningkatkan risiko
berkembangnya Limfoma Non Hodgkin beberapa tahun setelah penggunaan,
namun belum jelas diketahui apakah kejadian ini berhubungan dengan penyakit
kankernya sendiri ataupun efek dari pengobatannya. Penurunan fungsi imun juga
memiliki risiko tinggi menderita limfoma non Hodgkin, pasien penerima
transplantasi organ yang mengkonsumsi imunosupresan, pasien dengan
kemoterapi, human immunodeficiency virus (HIV), pada penyakit genetik seperti
ataxia-telangiectasia (AT) dan Wiskott-Aldrich syndrome, anak lahir dengan
defisiensi sistem imun. Beberapa kondisi penyakit autoimun seperti
rheumatoid arthritis, systemic lupus erythematosus (SLE), Sjogren
disease, Celiac disease (gluten sensitive enteropathy) meningkatkan risiko
menderita limfoma non Hodgkin. Infeksi virus seperti human T-cell lymphotropic
virus (HTLV-1), Infeksi Eipstein-Barr virus, Human herpes virus 8 (HHV-8) serta
HIV/AIDS menurunkan sistem imun yang berisiko meningkatkan kejadian
Limfoma non Hodgkin tipe tertentu, seperti primary CNS lymphoma, Burkitt
lymphoma, dan diffuse large B-cell lymphoma. Infeksi bakteri seperti Helicobacter
pylori, bakteri penyebab ulkus gaster berhubungan dengan mucosa-associated
lymphoid tissue (MALT) lymphoma pada gaster. Chlamydophila psittaci, bakteri
penyebab infeksi paru yang disebut psittacosis, berhubungan dengan MALT
lymphoma pada jaringan sekitar mata yang disebut ocular anexal marginal zone
lymphoma. Infeksi Campylobacter jejuni berhubungan dengan MALT lymphoma
yang disebut immunoproliferative small intestine disease. Infeksi kronis virus
hepatitis C (HCV) menjadi risiko splenic marginal zone lymphoma.

1.1.3 Patogenesis Limfoma Non Hodgkin

Prekursor limfosit dalam sumsum tulang adalah limfoblas. Perkembangan


limfosit terbagi dalam dua tahap, yaitu tahap yang tidak tergantung antigen
(antigent independent) dan tahap yang tergantung antigen (antigent dependent).
Sel induk limfoid berkembang menjadi sel pre-B pada tahap pertama, kemudian

2
menjadi sel B imatur dan sel B matur yang beredar dalam sirkulasi dikenal sebagai
naive B-cell. Apabila sel B terkena rangsangan antigen, maka proses
perkembangbiakan masuk tahap kedua yang terjadi dalam berbagai kopartemen
folikel kelenjar getah bening, dimana terjadi immunoglobuline gene
rearrangement. Tahap akhir menghasilkan sel plasma yang akan kembali ke
sumsum tulang 4.
Sistem kekebalan tubuh seperti sel limfosit T dan B yang matur akan
berproliferasi menjadi suatu sel yang disebut imunoblas T atau imunoblas B ketika
tubuh terpajan benda asing normalnya. Proses proliferasi ini berlangsung secara
berlebihan dan tidak terkendali pada LNH. Hal ini disebabkan akibat terjadinya
mutasi pada gen limfosit tersebut. Proliferasi berlebihan ini menyebabkan
ukuran dari sel limfosit itu tidak lagi normal, ukurannya membesar, kromatinnya
menjadi lebih halus, nukleolinya terlihat, dan protein permukaan selnya
mengalami perubahan4. Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma
merupakan akibat terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok sel
limfosit tua yang tengah berada dalam proses transformasi menjadi imunoblas
(terjadi akibat adanya rangsangan imunogen). Proses ini terjadi di dalam kelenjar
getah bening, dimana sel limfosit tua berada diluar "centrum germinativum"
sedangkan imunoblast berada di bagian paling sentral dari "centrum
germinativum". Beberapa perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain:
1) ukurannya makin besar; 2) Kromatin inti menjadi lebih halus; 3) Nukleoli
terlihat; 4) Protein permukaan sel mengalami perubahan reseptor4.

1.1.4 Diagnosis

1.1.4.1 Anamnesis

Anamnesis secara umum didapatkan:8,9,12 Pembesaran kelenjar getah bening


yang tidak nyeri pada satu atau lebih regio kelenjar getah bening perifer
(limfadenopati perifer). Gejala konstutisional yaitu demam tanpa sebab >38°C,
keringat pada malam hari, dan penurunan berat badan 10% dalam waktu 6 bulan.
Gangguan orofaring: timbulnya keluhan sakit tenggorok, nafas berbunyi atau
tersumbat. Penyakit di struktur orofaringeal (cincin Waldeyer) terdapat pada 5-
10% pasein. Anemia, netropenia dengan infeksi, atau trombositopeni dengan

3
purpura merupakan gambaran pada penderita penyakit sumsum tulang difus.
Sitopenia juga dapat disebabkan oleh autoimun. Hati dan limpa seringkali
membesar dan kelenjar getah bening retroperitonela atau mesentrika sering
terkena. Saluran gastrointestinal adalah lokasi ekstranodal yang paling sering
terkena setelah sumsum tulang, dan pasien bisa datang gejala nyeri abdomen
akut. Keluhan pada lambung dapat juga terjadi. Gejala pada organ lain seperti
pada kulit, otak, testis, atau tiroid sering terkena. Kulit juga secara primer terkena
pada dua jenis limfoma sel T yang tidak umum dan terkait erat yaitu mikosis
fungoides dan sindrom Sezary.

1.1.4.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dapat dilihat dari pembesaran kelenjar getah bening di


seluruh tubuh, yang biasanya terjadi pada leher, ketiak dan lipat paha, serta
kelainan/pembesaran organ ekstralimfatik seperti hepatomegaly, splenomegali.5,6

1.1.4.3 Pemeriksaan Penunjang

Pendekatan evaluasi diagnostik untuk pasien dengan LNH, meliputi:1,4

a. Laboratorium

a) Hematologi
Hematologi lengkap: Pemeriksaan darah lengkap seorang LNH dapat
dijumpai kondisi sebagai berikut:5
• Anemia normokromik normositik, keterlibatan sumsum tulang jarang
terjadi pada penyakit awal, tetapi jika terjadi, maka kegagalan sumsum
tulang berupa anemia leukositroblastik.
• Penyakit lanjut yang disertai dengan keterlibatan sumsum tulang,
seperti netropenia, eosinofilia, trombositopenia (khususnya jika limpa
membesar), atau gambaran leukoeritroblastik.
• Jumlah trombosit normal atau meningkat selama awal penyakit, dan
berkurang pada tahap selanjutnya.
• Tingkat sedimentasi eritrosit/ laju endap darah (ESR) dan protein C-
reaktif biasanya meningkat. Laju endap darah berguna dalam
memantau perkembangan penyakit.

4
Gambaran darah tepi : Dapat dijumpa sel sel limfoma (misalnya sel zona
selubung, sel limfoma folikuler berbelah, atau blast) dengan kelainan inti
yang bervariasi, dapat ditemukan pada darah tepi beberapa orang pasien.
b) Urinalisa yaitu pemeriksaan urine lengkap
c) Kimia klinik : Terjadi peningkatan asam urat serum. Pemeriksaan fungsi
hati yang abnormal memberikan kesan penyakit diseminata. Kadar LDH
serum meningkat pada penyakit yang lebih cepat berproliferasi dan luas
serta dapat digunakan sebagai suatu petanda prognostik.
b. Biopsi eksisional atau core biopsy Kelenjar Getah Bening
Biopsi KGB dilakukan cukup pada satu kelenjar yang paling representatif,
superfisial, dan perifer untuk menentukan penderita dengan LH atau LNH.
Ditemukan kelenjar perifer/superfisial yang representatif, maka tidak perlu biopsi
intraabdominal atau intratorakal. Kelenjar getah bening yang diperiksa disarankan
dari leher dan supraclavicular, pilihan kedua adalah axilla dan terakhir inguinal.
Pemeriksaan khusus dapat melakukan pemeriksaan immunohistokimia.

1.1.5 Penatalaksanaan

Terapi untuk LNH terdiri atas terapi spesifik untuk membunuh sel
limfoma dan terapi suportif untuk meningkatkan keadaan umum penderita atau
menanggulangi efek samping kemoterapi/radioterapi. Terapi spesifik untuk LNH
dapat diberikan dalam bentuk berikut: 7
1. Radioterapi
a. Penyakit yang terlokalisir (derajat I)
b. Ajuvan pada bulky disease
c. Tujuan paliatif pada stadium lanjut
2. Kemoterapi
a. Kemoterapi tunggal (singel agent)
Chlorambucil atau siklofosfamid untuk LNH derajat keganasan rendah
b. Kemoterapi kombinasi dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Kemoterapi kombinasi generasi I terdiri atas:
• CHOP (cyclophosphamide, doxorubicine, vincristine, prednison)
• CHOP-Bleo/Bacop (CHOP + bleomycine)

5
• COMLA (cyclophosphamide, vincristine, methotrexate with
leucovorin rescue)
• CVP/COP (cyclophosphamide, vincristine, prednison)
• C-MOPP (cyclophosphamide, mechlorethamine, vincristine,
prednison, procarbazine)
2. Kemoterapi kombinasi generasi II terdiri atas:
 COP-Blam (cyclophosphamide, mechlorethamine, vincristine,
prednison, bleomycin, doxorubicine, procarbazine).
 Pro-MACE-MOPP (prednison, methotrexate with leucovorin
rescue, doxorubicine, cyclophosphamide, etoposide,
mechlorethamine, vincristine, procarbazine).
 M-BACOD (methotrexate with leucovorin rescue, bleomycin,
doxorubicine, cyclophosphamide, vincristine, dexamethasone).
3. Kemoterapi kombinasi generasi II terdiri atas:
 COPBLAM III (cyclophosphamide, infusional vincristine,
prednison, infusional bleomycin, doxorubicine, procarbazine).
 ProMACE-CytaBOM (prednison, methotrexate with leucovorin
rescue, doxorubicine, doxorubicine, cyclophosphamide,
etoposide, cytarabine, bleomycin, vincristine, methotrexate with
leucovorin rescue).
 MACOP-B (methotrexate with leucovorin rescue, doxorubicine,
cyclophosphamide, vincristine, prednison, bleomycin).
Kemoterapi kombinasi CHOP terbukti paling efektif
dibandingkan kemoterapi kombinasi lain dari perkembangan terapi
sampai saat ini. Penambahan jenis kemoterapi ataupun lama
pemberian tidak menambah angka kesembuhan. Kemoterapi
generasi kedua dan ketiga jarang digunakan.
3. Transplantasi sumsum tulang dan transplantasi sel induk merupakan terapi
baru dengan memberikan harapan kesembuhan jangka panjang.
4. Kemoterapi dosis tinggi dengan rescue memakai peripheral blood stem cell
transplantasi.
5. Terapi dengan imunomodulator

6
Terapi dengan interferon diberikan untuk indolent lymphoma,
dikombinasikan dengan kemoterpai atau diberikan setelah kemoterapi untuk
memperpanjang masa remisi. Tetapi hasilnya sampai sekarang masih
kontroversial.
6. Targeted therapy
Antibodi monoklonal: rituximab suatu chimeric monoclonal
antibody ditujukan untuk antigen CD20 yang diekspresikan oleh semua sel
limfosit.
Pemberian rituximab intravena setiap minggu selama 4 minggu
memberikan remisi parsial pada 50% LNH indolen. Sekaran gcenderung
digabung dengan kemoterapi (CHOP) dan juga dicobakan pada LNH agresif.

1.2 Gitelman Syndrome

Sindrom Gitelman merupakan suatu kelainan resesif autosomal yang lebih


ringan dari sindrom Bartter dan seringkali tidak terdiagnosis sampai akhir masa
kanak-kanak bahkan dewasa. Sindrom ini biasanya simtomatik dan dapat
mengakibatkan manifestasi klinis serius, seperti kram yang dapat berat dan
melibatkan tangan serta kaki sering diamati pada hampir semua pasien, sebagian
disebabkan oleh hipokalemia dan hipomagnesemia. Pasien juga datang dengan
tetani (kurang lebih 10% pasien) terutama apabila terjadi gangguan dalam absorpsi
magnesium (vomitus, diare). Kelemahan berat juga diamati pada beberapa pasien
dan juga tekanan darah yang lebih rendah dari normal, konsisten dengan
kebocoran garam ginjal. Poliuria dan nokturia ditemukan pada 50- 80% pasien,
dapat juga disertai dengan kecanduan garam yang mengindikasikan disebabkan
oleh kehilangan garam dan air. Kemampuan konsentrasi biasanya dapat
dipertahankan, karena fungsi di tungkai asendens medular relatif utuh. Beberapa
pasien datang dengan awitan penyakit dini disertai dengan retardasi pertumbuhan.8
Pasien dengan sindrom Gitelman mempunyai mutasi dalam gen yang
mengkode kotransporter Na-Cl sensitif tiazid pada tubulus distal, yang seringkali
menyebabkan gangguan rute selular kotransporter. Gangguan pada transporter ini
dapat menyebabkan kebocoran magnesium dan seringkali terjadi penurunan
ekskresi kalsium, hal ini sama dengan pasien yang diinduksi tiazid dan berlawanan

7
dengan hiperkalsiuria yang dijumpai pada sindrom Bartter.

Gambar 1.1 Sistem Kotransporter pada Tubulus Distal. Peran Prostaglandin.9

Prostaglandin yang mampu menstimulasi pelepasan renin secara langsung,


berkontribusi terhadap kelainan elektrolit pada sindrom Bartter, seperti
peningkatan eksresi prostaglandin urin dan kemampuan inhibitor sintesis
prostaglandin dapat membalikkan sebagian besar perubahan biokimia serta
hormonal, kecuali pada gangguan primer reabsorpsi natrium. 8,9 Ekskresi
prostaglandin dan penggunaan inhibitor sintesis prostaglandin dengan kesan
normal hanya memberikan sedikit manfaat dalam sindrom Gitelman. Perbedaan
ini serupa dengan perubahan respons terhadap pemberian diuretik. Diuretik ansa
(seperti sindrom Bartter) meningkatkan ekskresi prostaglandin urin, paling tidak
melalui peningkatan sintesis prostaglandin di tungkai asendens tebal. Diuretik
tiazid (sama seperti sindrom Gitelman) menghasilkan hanya sedikit peningkatan
sekresi prostaglandin atau tidak sama sekali.9
Diagnosis pada keadaan yang kurang lebih sama ini berdasarkan pada
eksklusi kelainan lain. Vomitus dan penggunaan diuretik berlebihan adalah dua
sebab utama lainnya dari hipokalemia dan alkalosis metabolik pada pasien
normotensif. Pengukuran kadar renin dan aldosteron tidak berguna, karena
pada semua kondisi ini terdapat hiperksekresi renin. Vomitus dikaitkan dengan
kadar klorida urin yang rendah (<20 mEq/L), baik oleh karena hipovolemia dan
hipokloremia) dan pada beberapa pasien terdapat temuan klinis karakteristik
seperti jaringan ikat pada punggung tangan dan erosi gigi karena paparan terhadap
asam lambung.8,9
Kelainan tubular pada sindrom Gitelman tidak dapat diperbaiki, dan

8
mengakibatkan pemberian terapi seumur hidup yang bertujuan untuk
meminimalkan peningkatan prostaglandin aldosteron sekunder. Kombinasi anti
inflamasi nonsteroid (NSAID) dan diuretik hemat kalium (spironolakton atau
amilorid, dengan dosis 300-400 mg per hari untuk menghambat sempurna sekresi
kalium distal) dapat meningkatkan konsentrasi kalium plasma ke arah normal,
mengoreksi alkalosis metabolik dan hipomagnesemia secara parsial. Perbaikan
yang sama pada gambaran keadaan elektrolit dapat dicapai dengan penggunaan
penghambat ACE yang menurunkan produksi angiotensin II dan aldosteron.
Penurunan akut kadar angiotensin II dapat menyebabkan hipotensi simtomatik
pada beberapa kasus. Permasalahan ini seringkali bersifat sementara dan dapat
diminimalisasi dengan penggunaan dosis rendah pada awal terapi.10,11
Pasien sebagian besar membutuhkan suplementasi kalium dan magnesium
oral, hal ini dikarenakan terapi obat biasanya tidak efektif penuh. Pemulihan
kadar magnesium dan kalium normal seringkali sulit tercapai. Diare seringkali
menganggu dosis magnesium yang diberikan dan magnesium yang diserap
cenderung untuk kembali diekskresikan di urin. Pasien dengan gangguan transpor
pada ansa Henle mempunyai reabsorpsi kalium dan juga natrium serta klorida
pada lokasi tersebut. Menghambat sekresi kalium distal dengan amilorid dan atau
ACE-inhibitor tidak akan membalikan permasalahan reabsortif di ansa, dan
menyebabkan kebocoran kalium persisten. Hipomagnesemia juga dapat berperan
terhadap kehilangan kalium lewat suatu mekanisme yang belum pasti.11

9
BAB 2
ILUSTRASI KASUS

Telah dirawat seorang pasien laki-laki usia 51 tahun di bangsal Penyakit


Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 09 Maret 2023 pukul 01.20
WIB dengan:

Keluhan utama : (Autoanamnesis dan alloanamnesis)


Benjolan pada leher kanan dan kiri dan benjolan di selangkangan kanan
dan kiri makin lama makin membesar sejak 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit

Riwayat Penyakit Sekarang :


1. Benjolan pada leher kanan dan kiri makin lama makin membesar sejak 1
minggu yang lalu, benjolan telah di rasakan sejak 3 bulan yang lalu.
Benjolan berjumlah 3 buah, ukuran sebesar telur puyuh, perabaan dan tidak
nyeri. Benjolan pada selangkangan kanan dan kiri, makin lama makin
membesar sejak 1 minggu yang lalu. Benjolan telah di rasakan sejak 3 bulan
bulan sebelum masuk rumah sakit. Benjolan berjumlah 3 buah, ukuran
sebesar telur puyuh, dan tidak nyeri.
2. Demam meningkat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam sudah
dirasakan sejak 1 bulan yang lalu, berkeringat, tidak tinggi, hilang timbul,
disertai menggigil. Riwayat demam berulang 3 bulan yang lalu dengan
durasi 2 minggu.
3. Penurunan nafsu makan sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien
hanya makan 2 kali sehari dan hanya menghabiskan setengah porsi
makanan.
4. Penurunan berat badan lebih kurang 5 kg sejak 1 bulan sebelum masuk
rumah sakit.
5. Nyeri kepala di rasakan sejak 1 minggu yang lalu, nyeri di dirasakan seperti
diikat.

10
6. Nyeri di daerah ulu hati sejak 1 minggu yang lalu, nyeri hilang timbul dan
tidak menjalar.
7. Mual sejak 1 minggu yang lalu.
8. Muntah sejak 2 hari yang lalu, frekuensi 1–2 x sehari dan berjumlah ¼ gelas
orang dewasa berisi apa yang dimakan.
9. Nyeri tenggorokan tidak ada.
10. Batuk tidak ada.
11. Riwayat sakit kuning tidak ada.
12. Gangguan penciuman dan pengecapan tidak ada.
13. Sesak nafas tidak ada.
14. Buang air kecil warna, jumlah, dan frekuensi biasa. Nyeri saat buang air
kecil tidak ada. Riwayat buang air kecil merah tidak ada.
15. Buang air besar warna, jumlah, dan frekuensi biasa. Nyeri saat buang air
besar tidak ada. Riwayat buang air kecil merah tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu:

1. Riwayat TB paru tahun 2019 dan mendapat obat OAT dan dinyatakan
sembuh.
2. Pasien pada tanggal 03 Maret 2023 pernah dilakukan Biopsi Aspirasi Jarum
Halus (BAJAH) di RSUD M Zein dan didapatkan lesi limfoproliferatif,
kemungkinan hiperplasia reaktif KGB DD/ limfoma malignum Non Hodgkin.
3. Riwayat penyakit keganasan sebelumnya tidak ada.

Riwayat Pengobatan:
Riwayat pengobatan Obat Anti Tuberkulosis tahun 2019 dan dinyatakan
sembuh.

Riwayat Penyakit Keluarga:


1. Riwayat penyakit TB paru dalam keluarga tidak ada.
2. Riwayat hipertensi pada keluarga tidak ada.
3. Riwayat bengkak di dileher juga di temukan pada kakak pertama pada pasien
dan adik pasien.

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, dan Kebiasaan

11
1. Pasien adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara, bekerja sebagai sopir.
2. Pasien sudah menikah, tinggal bersama istri dan 3 orang anak. Pasien tinggal
di rumah permanen, dengan kondisi pencahayaan cukup, dan kebersihan
ruangan yang cukup baik. Sumber air minum dari air PDAM.
3. Pasien memiliki ekonomi menengah

Pemeriksaan Umum
Kesadaraan : Compos Mentis Cooperative
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Frekuensi Nadi : 90 x/menit, teratur, pengisian cukup
Frekuensi nafas : 18 x/menit
Suhu : 38 0C
SO2 : 98% free air
BB : 65 kg
TB : 168 cm
BMI : 23 (normoweight)
Ikterus : (-)
Edema : (-)
Anemia : (+)
Kulit : teraba lembab dan hangat, ruam (-), turgor kulit normal
Kelenjar getah bening : teraba pembesaran kelenjar getah bening collidextra,
jumlah 3 buah, ukuran 2x3x3cm, 3x3x2cm, 2x3x2cm.
Teraba pembesaran kelenjar getah bening colli sinistra,
jumlah 3 buah, ukuran 4x3cm, 3x3 cm, 6x3 cm, keduanya
sewarna kulit, permukaan rata, batas tegas, konsistensi
kenyal, tidak nyeri tekan, terfiksir. Teraba pembesaran
kelenjar getah bening Inguinal sinistra, jumlah 3 buah,
ukuran 2x3x2cm, 1x2x1 cm, 1x3x1 Teraba pembesaran
kelenjar getah bening inguinal dextra, jumlah 3 buah,
ukuran 1x2x1cm, 2x2x3 cm, 2x3x2 cm, keduanya sewarna
kulit, permukaan rata, batas tegas, konsistensi kenyal,
tidak nyeri tekan, terfiksir. Tidak teraba pembesaran

12
kelenjar getah bening di axilla.
Kepala : normocephale
Rambut : hitam dan tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), refleks
cahaya (+/+), pupil isokor diameter 3mm/3mm
Telinga : liang telinga lapang, nyeri tekan tragus (-), tanda- tanda
radang tidak ada.
Hidung : deviasi septum (-), hipertrofi konka (-), sekret (-)
Tenggorok : Faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tidak hiperemis
Gigi dan Mulut : Oral thrush (-), Gusi berdarah (-), caries (-),
stomatitis di gusi (-), atrofi papil lidah (-), hipertrofi
gingiva (-)

Leher : Pembesaran tiroid (-), JVP 5–2 cm H20

Thorak
Paru depan
Inspeksi : Statis : normochest
Dinamis : Gerakan dinding dada simetris kiri dan kanan
Palpasi : Fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor, batas pekak hepar setinggi RIC V
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-) wheezing (-/-)
Paru belakang
Inspeksi : Statis : normochest
Dinamis : Gerakan dinding dada simetris kiri dan kanan
Palpasi : Fremitus kanan
sama dengan kiri
Perkusi : Sonor, peranjakan paru 2 jari
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-) wheezing (-/-)

Jantung

13
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V kuat angkat,
thrill tidak ada, heaves (-)
Perkusi : Batas jantung kanan : LSD, atas : RIC II,
Batas jantung kiri: 1 jari medial LMCS RIC V
Pinggang jantung (+)
Auskultasi : Irama jantung reguler, M1>M2, P2<A2, bising (-)
Abdomen
Inspeksi : Tidak tampak membuncit

Palpasi : Supel, Nyeri tekan epigastrium (+) hepar teraba 2 jari di


bawah processus xyphoideus dan 1 jari bawah arcus
costa dengan tepi tumpul permukaan rata, nyeri tekan
tidak ada, konsistensi lunak, murphy sign (-), lien S1
Perkusi : Timpani, shifting dullnes (-) chessboard phenomenon -
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Punggung : Nyeri tekan dan nyeri ketok pada sudut CVA -/-
Alat kelamin : Tidak ada kelainan
Anggota gerak : Refleks fisiologis (+/+), refleks patologis (-/-), edema (-/-)

Laboratorium
Hematologi Lengkap

Hemoglobin : 9,0 gr/dL


Leukosit : 7.020/mm3
Trombosit : 156.000/mm3
Hematokrit : 25 %
Hitung jenis leukosit
- Basofil : 0%
- Eosinofil : 0%
- Neutrofil Batang : 4%
- Neutrofil Segmen : 86 %
- Limfosit : 4%
- Monosit : 6%
LED : 20 mm/jam
Gambaran Darah Tepi
- Eritrosit : Mikrositik hipokrom
- Leukosit : Jumlah cukup

14
- Trombosit : Jumlah cukup, morfologi normal
Kesan: Anemia mikrositik hipokrom, LED meningkat

Urinalisis

Makroskopis
- Warna : Kuning
- Kekeruhan : Negatif
- Berat Jenis : 1,021
- pH : 6,0
Mikroskopis
- Leukosit : 2-3 / LPB
- Eritrosit : 0-1 / LPB
- Silinder : Negatif
- Kristal : Negatif
- Epitel : Positif
- Bakteri : Negatif
Kimia
Protein : Negatif
Glukosa : Negatif
Bilirubin : Negatif
Urobilin : Positif
Kesan: Hasil dalam batas normal

Feses rutin

Makroskopis
- Warna : Kuning
- Konsistensi : Lunak
- Darah : Negatif
- Lendir : Negatif
- Protein : Negatif
- Lemak : Negatif
- Karbohidrat : Negatif
Mikroskopis
- Leukosit : 0-1 / LPB
- Eritrosit : 1-2 / LPB
- Amuba : Negatif
- Ascaris Lumbricoides : Negatif
- Ancylostoma Duodenale : Positif
- Oxyuris V : Negatif
- Trishiuris Trichura : Negatif
Kesan: Hasil dalam batas normal

15
EKG:

Irama Sinus QRS Komplek 0,08 detik


HR 80 x/menit ST segmen isoelektrik
Axis Normal Gelombang T inverted (-)
Gelombang P Normal SV1 + RV5 < 35
PR interval 0,12 detik R/SV1 <1

Kesan : sinus takikardia

Daftar masalah:
1. Limfadenopati
2. Hepatomegali
3. Demam
4. Anemia

Diagnosis kerja:
1. Diagnosis Primer
- Limfadenopati ec Limfoma
2. Diagnosis Sekunder
a. Hepatomegali ec malignancy
b. Anemia ringan mirkositik hipokrom ec penyakit kronis
c. Malaria
d. Sindrom dyspepsia tipe epigastric pain
3. Diagnosis banding:

16
a. Limfadenopati ec limfadenitis tuberculosis
b. Anemia ringan micrositik hipokrom ec defisiensi besi

Terapi:
a. Istirahat/ diet 1500 kkal (karbohidrat 1000 kkal, protein 150 kkal, lemak
350 kkal)
b. IVFD NaCl 0,9% 8 jam/kolf
c. Lansoprazol 1 x 30 mg
d. Sucralfat 3 x 500 mg/10 cc
e. Domperidone 3 x 10 mg
f. Paracetamol 3x500mg PO

Pemeriksaan anjuran:
a. Pemeriksaan MCV, MCH, MCHC, Retikulosit
b. Pemeriksaan besi serum, total iron binding capacity, Ferritin
c. Albumin, globulin, SGOT, SGPT
d. Ureum, kreatinin
e. Elektrolit (Natrium, Kalium, Klorida)
f. Gula Darah Sewaktu
g. Tes Cepat Molekuler Tuberkulosis
h. Chest X-Ray
i. Pemeriksaan malaria sedian apus tebal dan tipis

Follow up Jumat, 10 Maret 2021 pukul 07.00 WIB

S/ demam meningkat (+) berkeringat (+) Benjolan (+), nafsu makan menurun,
mual (+) muntah (-), nyeri perut ulu hati (+)

O/

Kesadaran TD HR RR T SpO2
CMC 110/70 90x/min 20x/min 38,1ºC 98%

Hasil Laboratorium
MCV : 66 fL SGOT : 21 u/L

17
MCH : 23 pg SGPT : 28 u/L
MCHC : 34 % Natrium : 121 mmol/L
Retikulosit : 1,06 Kalium : 2,8 mmol/L
SI : 31 mg/dL Chlorida : 88 mmol/L
TIBC : 161 mg/dL Ureum : 28 mg/dL
Feritin : > 1200 mg/mL Kreatinin : 0,8 mg/dL
Albumin : 3,5 g/dL GDS : 140 mg/dL
Globulin : 2,5 g/dL
Kesan: Hiponatremia, hipokalemia, hipokloridemia
Osmolaritas plasma : 254,3 (N : 285-295)
Kesan : hipoosmolar

Chest X-Ray :

Cor : bentuk dan ukuran normal.


CTR : <50%
Mediastinum superior tidak melebar, corakan bronkovaskular kedua paru baik
Sinus costofrenikus kanan dan kiri lancip
Kedua diafragma licin
Kesan: Cor dan pulmo dalam batas normal

Konsul Konsultan Hematologi Onkolgi Medik

Kesan :
a. Limfadenopati ec Limfoma
b. Anemia ringan mikrositik hipokrom ec penyakit kronis
Diagnosa Banding:
 Anemia ringan mikrositik hipokrom ec defisiensi besi

18
Advis:
a. Paracetamol 3x500mg PO
b. Transfusi PRC 1unit
c. Konsul bedah oncology

Konsul Konsultan Pulmonologi


Kesan :
a. Limfadenopati ec limfadenitis tuberkulosis

Diagnosa Banding:
- Limfadenopati ec Limfoma

Advis:
a. Paracetamol 3x500mg PO
b. BTA

Konsul konsultan Penyakit Tropik-Infeksi


Kesan :

- Malaria

Advis:
- Pemeriksaan sediaan apus darah tepi dan sediaan apus darah tebal malaria

Konsul Ginjal Hipertensi


Kesan :
1. Hiponatremia hipoosmolar euvolemik ec Sindrom Inappropiate Anti Diuretik
Horman ( SIADH )
2. Hipokalemia ec Gastrointestinal loss

Diagnosa Banding:
1. Hipokalemia ec renal loss ec Barter sindrom
2. Hipokalemia ec renal loss ec Gitelman Sindrom

Advis:
a. IVFD NaCL 3 % 1 kolf
b. Kalium slow release 3 x 600 mg

19
c. Cek osmolaritas plasma
d. Cek elektrolit urin, osmolaritas urin
e. USG ginjal
f. Cek magnesium dan AGD

Konsul Gastroenterohepatology
Kesan :
a. Hepatomegali ec malignancy
b. Sindrome dyspepsia tipe campuran

Advis:
a. Lansoprazole 1 x 30 mg
b. Sucralfate 3 x 10 cc
c. Domperidone 3 x 10 mg
d. USG Abdomen

A/
a. Limfadenopati ec Limfoma
b. Hepatomegali ec Malignancy
c. Syndrome dyspepsia tipe campuran
d. Hiponatremia hipoosmolar euvolemik ec SIADH
e. Hipokalemia ec Gastrointestinal tract

P/
a. Istirahat/ diet makanan biasa 1500 kkal (karbohidrat 1000 kkal, protein
150 kkal, lemak 350 kkal)
b. IVFD NaCl 3 % 1 kolf
c. Paracetamol 3x500mg PO
d. Lansoprazol 1 x 30 mg
e. Sucralfate 3 x 500 mg
f. Domperidone 3 x 10 mg
g. Kalium Slow Release 3 x 600 mg
h. BTA
i. Cek elekrolit urin, osmolaritas urin , cek sediaan apus darah tebal dan tipis

20
malaria , cek magnesium

Follow up Senin, 13 Maret 2023 pukul 07.00 WIB


S/ demam (+), berkeringat (+), nafsu makan belum membaik
O/
Kesadaran TD HR RR T SpO2
CMC 100/70 92x/min 20x/min 37,9ºC 98%

Hasil Laboratorium

Hemoglobin : 10 gr/dL AGD :7,55/30/87/28/3,2/96


Leukosit : 5.050/mm3 Clorida urin : 69,5
Trombosit : 156.000/mm3 Natrium Urine : 38,7
Hematokrit : 29 % Kalium Urine : 22,9
Basofil :0% Magnesium : 1,7
Eosinofil :0%
Neutrofil batang :4%
Neutrofil : 86 %
segmen
Limfosit :4%
Kesan: Anemia Ringan, Hipomagnesemia

BTA TB :

Hasil pemeriksaan : S P S ( Negatif)


Kesan: BTA Negatif

MALARIA:

Sediaan Darah tipis Malaria : tidak ditemukan parasit malaria


Sediaan Drah tebal malaria : tidak ditemukan parasit malaria
Kesan: Tidak ditemukan parasit malaria
Hasil pemeriksaan USG Abdomen

21
Hati  Membesar
 Permukaan rata
 Parenkim homogen
 Parenkim halus
 Pinggir tajam
 Vena tidak membesar
 Duktus billiaris tidak melebar
 SOL tidak ada
Vena porta normal (diameter : 0,89 cm) Asites (-)
Kandung empedu  Normal
 Dinding tipis
 Batu (+) multiple
 Polip (-)
Pankreas  Normal
 Batu/klasifikasi (-)
Lien  Membesar
 13.05
Ginjal  Tidak Melebar
Kiri dan kanan  Batu (-)
 Hidronefrose (-)
 Kista (-)

Efusi pleura kanan


Diagnosa USG: Hepatomegali, cholelithiasis (multiple)

Konsul konsultan Hematologi Onkologi Medik

Kesan :
- Limfadenopati ec Limfoma

Advis:
- Paracetamol 3x500mg PO

Konsul konsultan Pulmonologi


Kesan :
- Limfadenopati ec limfadenitis tuberkulosis

Advis:
- Menunggu Biopsi

Konsul Ginjal Hipertensi


Kesan :

22
1. Hiponatremia hiposomolar euvolemik ec SIADH
2. Hipokalemia ec Gastroinstinal loss
3. Hipomagnesemia ec renal oss

Diagnosa Banding:
1. Hipokalemia ec renal loss ec Barter sindrom
2. Hipokalemia ec renal loss ec Gitleman Sindrom

Advis:
a. Kalium slow release 3 x 600 mg
b. Drip MgSo4 8 gram dalam 500 cc Nacl 0.9% selama 24 jam, dilanjutkan
MgSO4 4 gram dalam 500 cc Nacl 0.9% selama 24 jam
c. Cek kalsium urin,
d. Osmolaritas urin
e. Kreatinine clereance dan TTKG,
f. USG Ginjal

Konsul Gastroenterohepatologi
Kesan :
a. Hepatomegali ec Malignancy
b. Sindrom dyspepsia tipe epigastric pain

Advis:
a. Lansoprazol 1 x 30 mg
b. Sucralfat 3 x 500 mg
c. Domperidon 3 x 10 mg

Konsul Bedah Onkologi


Kesan :
- Limfadenopaty ec Limfoma malignant Non Hodgkin dd Limfadenitis
tuberculosis
Advis:
- Byopsi Intoto

A/
a. Limfadenopati ec Limfoma

23
b. Tuberkulosis paru Relaps
c. Hepatomegali ec Malignancy
d. Hiponatremia hipoosmolar euvolemik ec SIADH
e. Hipokalemia ec Gastrointestinal tract
f. Hipomagnesemia ec renal loss
g. Sindrom dyspepsia tipe epigastric pain

P/
a. Istirahat/Makanan lunak tinggi kalori tinggi protein 2100 kkal (karbohidrat
1200 kkal , protein 400 kkal, lemak 500 kkal)
b. IVFD NaCl 0,9 % 1 kolf
c. Paracetamol 3x500mg PO
d. Lansoprazole 1 x 30 mg
e. Sucralfat 3 x 500 mg
f. Domperidon 3 x 10 mf
g. Kalium Slow Release 3 x 600 mg
h. Byopsi intoto
i. Drip MgSo4 8 gram dalam 500 cc Nacl 0.9% selama 24 jam, dilanjutkan
MgSO4 4 gram dalam 500 cc Nacl 0.9% selama 24 jam
j. Cek kalsium urin, creatinine clereance dan TTKG, cek elektrolit ulang

Follow up Rabu, 15 Maret 2021 pukul 07.00 WIB


S/ Demam (+) , nafsu makan makan membaik, mual (+) muntah (-), nyeri ulu hati (-)
O/
Kesadaran TD HR RR T SpO2
CMC 120/70 90x/min 18x/min 36,4ºC 99%

Hasil Laboratorium

Kalsium urine : <2 Osmolaritas Urine : 254 gil

24
Kreatinin Clearance : 57,1 TTKG :9
Natrium : 130 mg/dL Magnesium : 2,1
Kalium : 4,7 mg/dL
Klorida : 100 mg/dL
Kesan: Kalsiuria

Hasil pemeriksaan USG Ginjal

Ginjal Kanan  Bentuk / ukuran : normal / 10,26 cm


 Tepi: irreguler
 Echo densitas : normal
 Cortex dan Medulla : dapat didiffirensiasi
 Ukuran Cortex : 0.56 mm
 Piramida : normal
 Sistim Pelviokalik : tidak ada
 Batu, kista : tidak ada
Ginjal Kiri  Bentuk / ukuran : normal / 10,68 cm
 Tepi: irreguler
 Echo densitas : meningkat
 Cortex dan Medulla : dapat didiffirensiasi
 Ukuran Cortex : 0.91 mm
 Piramida : normal
 Sistim Pelviokalik : tidak ada
Kesan: proses inisiasi awal penyakit ginjal kronik

Konsul konsultan Hematologi Onkolgi Medik


Kesan :
- Limfadenopati ec Limfoma

Advis:
- Paracetamol 3 x 500 mg

Konsul konsultan Pulmonologi


Kesan :
- Limfadenopati colli bilateral ec limfadenitis tuberkulosis

Advis:
a. Paracetamol 3x500mg PO
b. Menunggu hasil biopsi
Konsul Ginjal Hipertensi
Kesan :

25
1. Hiponatremia hipoosmolar euvolemik ec SIADH
2. Hipokalemia ec renal loss gitelman sindroma (perbaikan)
3. Hipomagnesemia ec renal loss gitelman sindroma (perbaikan)

Advis:
- Terapi Lanjut

Konsul Gastroenterohepatologi
Kesan :
a. Hepatomegali ec Malignancy
b. Sindrom dyspepsia tipe epigastric pain

Advis: Acc rawat jalan

Konsul Bedah Onkologi

Kesan :
- Limfadenopaty ec Limfoma malignant Non Hodgkin dd Limfadenitis
tuberculosis
Advis:
a. Menunggu hasil biopsi
b. Acc rawat jalan

A/
1. Limfadenopati ec Limfoma
2. Hepatomegali ec Malignancy
3. Sindrome dyspepsia tipe epigastric pain
4. Hiponatremia ec Gastrointestinal tract loss
5. Hipokalemia ec renal loss ec gitelman sindroma (perbaikan)
6. Hipomagnesemia ec renal loss ec gitelman sindroma (perbaikan)
P/
a. Istirahat/Makanan lunak tinggi kalori tinggi protein 2100 kkal (karbohidrat
1200 kkal , protein 400 kkal, lemak 500 kkal)
b. IVFD NaCl 0,9 % 1 kolf
c. Paracetamol 3x500mg PO
d. Lansoprazole 1 x 30 mg
e. Sucralfat 3 x 500 mg
f. Domperidon 3 x 10 mf

26
g. Kalium Slow Release 3 x 600 mg
Follow up Jumat, 17 Maret 2021 pukul 07.00 WIB
S/ Demam (+) , nafsu makan makan membaik, nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-)
O/
Kesadaran TD HR RR T SpO2
CMC 120/70 90x/min 18x/min 36,4ºC 99%

Konsul konsultan Hematologi Onkologi Medik


Kesan :
- Limfadenopati ec Limfoma

Advis:
a. Paracetamol 3 x 500 mg
b. Cefixim 2 x 200 mg
c. Acc rawat jalan

Konsul konsultan Pulmonologi


Kesan :
- Limfadenopati Colli Bilateral ec limfadenitis tuberkulosis

Advis:
a. Paracetamol 3x500mg PO
b. Menunggu hasil biopsi
c. Acc rawat jalan

Konsul Ginjal Hipertensi


Kesan :
a. Hiponatremia hipoosmolar euvolemik ec SIADH (perbaikan)
b. Hipokalemia ec renal loss ec gitleman sindroma (perbaikan)
c. Hipomagnesemia ec renal loss gitleman sindroma (perbaikan)

Advis:
a. Terapi Lanjut
b. Acc Rawat jalan

Konsul Gastroenterohepatologi
Kesan :

27
a. Hepatomegali ec Malignancy
b. Syndrome dyspepsia tipe epigastric pain

Advis:
a. Sucralfat 3 x 500 mg
b. Lansoprazol 1 x 30 mg
c. Domperidon 3 x 10 mg

Konsul Bedah Onkologi

Kesan :
- Limfadenopaty ec Limfoma malignant Non Hodgkin dd Limfadenitis
tuberculosis
Advis:
a. Menunggu hasil biopsi
b. Acc rawat jalan

A/
a. Limfadenopati ec Limfoma
b. Hepatomegali ec Malignancy
c. Syndrome dispspsia tipe epigastric pain
d. Hiponatremia ec Hipoosmolar Euvolemik ec SIADH
e. Hipokalemia ec renal loss ec gitleman sindroma (perbaikan)
f. Hipomagnesemia ec renal loss ec gitleman sindroma (perbaikan)

P/
a. Istirahat/ diet makanan biasa 1500 kkal (karbohidrat 1000 kkal, protein
150 kkal, lemak 350 kkal)
b. Paracetamol 3x500mg PO
c. Lansoprazole 1 x 30 mg
d. Sucralfat 3 x 500 mg
e. Domperidone 3 x 10 mg
f. Acc rawat jalan

28
Senin, 20 Maret 2023 pukul 07.00 WIB

Hasil Biopsi
Makroskopik : Dua kantong jaringan
- I: Label KGB leher: sepotong jaringan putih,
kecoklatan, kenyal padat, ukuran 1,5x1x0,5 cm,
penampang putih kecoklatan, kapsul (+), cetak 1
kaset sisa (-)
- II: Label KGB inguinal: sepotong jaringan putih,
kecoklatan, kenyal padat, ukuran 1,5x1x1 cm,
penampang putih kecoklatan, kapsul (+), cetak 2
kaset sisa (-)
Mikroskopik - I dan II : Tampak potongan jaringan KGB dengan
kapsul jaringan ikat di bagian luar mengandung
proliferasi sel-sel dengan ukuran nyata (Sebagian
besar dengan makronuclei)
- Mitosis dapat ditemukan. Sel-sel ini tersusun difus
diantara beberapa sel limfosit matur. Tak tampak
lagi sentrum germinativum dalam sediaan ini
Diagnosis: Limfoma Maligna Non Hodgkin tipe Sel Sedang-Besar

Anjuran: Pemeriksaan IHK dengan antibody CD3, CD20, dan KI-67 untuk
konfirmasi diagnosis

Konsul konsultan Hematologi Onkologi Medik


Kesan :
- Limfoma Malignant Non Hodgkin tipe Sel Sedang - Besar

Advis:

- Cek Immuno Histo Kimia


- Direncanakan untuk kemoterapi CHOP (siklopospamid + doksorubisin +
vincristin + prednisone)

29
BAB 3
DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien laki-laki usia 51 tahun di bangsal Penyakit


Dalam RSUP Dr. M. Djamil dengan diagnosis akhir:
 Limfoma Malignant Non Hodgkin tipe sel sedang besar
 Anemia ringan mikrositik hipokrom ec penyakit kronis
 Hepatomegaly ec Malignancy
 Sindrom Gitelman
 Hiponatremia hipovolemik hipoosmolar ec renal loss ec. SIADH
 Sindrom dispepsia tipe epigastric pain

Diagnosis Limphoma Non Hodgkin dapat ditegakkan dari anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis pasien
berusia 51 tahun, secara epidemiologis, kasus baru LNH paling sering terdiagnosa
pada usia 50 – 75 tahun dan hanya 16% kasus pada pasien berusia dibawah 35
tahun. Keluhan utama pasien dengan LNH adalah pembesaran kelenjar, tidak
nyeri, Urutan pembesaran kelenjar yang tersering pada pasien dengan limfoma
maligna adalah leher (60-70%), aksila (10-15%), inguinal (6-12%), mediastinal
(6-11%), kelenjar para-aorta dan retroperitoneal. Gejala konstitusional seperti
berkeringat pada malam hari, dan demam subfebris yang berlangsung terus
menerus tidak ditemukan pada pasien namun penurunan berat badan > 10%
ditemukan pada pasien yang terjadi > 6 bulan terakhir.
Pada kasus ini, saat dilakukan pemeriksaan fisik ditemukan adanya
benjolan di daerah leher, lipatan paha, tidak nyeri serta bersifat kenyal.
Pembesaran kelenjar/limfadenopati pada LNH, tidak nyeri, dan padat kenyal
seperti karet sesuai dengan deskripsi pada kasus.
Pasien juga ditemukan hepatomegali yag mana hepatomegali merupakan
salah satu dari pemeriksan fisik dari gejala limfoma. Penelitian oleh James et all
hepatomegali jarang di temukan pada limfoma Hodgkin dan lebih sering terjadi di
limfoma non Hodgkin karna perjalan sistem limfe dan limfoma extra nodul lebih

30
sering ditemukan pada limfoma non Hodgkin.
Selain itu pada kasus juga dilakukan pemeriksaan biopsi intoto Tampak
potongan jaringan KGB dengan kapsul jaringan ikat di bagian luar mengandung
proliferasi sel-sel dengan ukuran nyata (Sebagian besar dengan makronuclei),
Mitosis dapat ditemukan. Sel-sel ini tersusun difus diantara beberapa sel limfosit
matur. Tak tampak lagi sentrum germinativum dalam sediaan ini. Hasil
pemeriksaan ini menunjukkan adanya malignant round cell tumor, yang mengarah
ke Non Hodgkin Lymphoma.
Berdasarkan tinjauan pustaka diagnosis LNH harus ditegakkan dari
pemeriksaan histologi biopsi eksisi kelenjar getah bening atau jaringan
ekstranodal. Penentuan stadium atau derajat berdasarkan klasifikasi Ann-Arrbor
yaitu pada derajat III E jika Keterlibatan daerah kelenjar getah bening pada
kedua sisi diafragma dengan gejala konstutional seperti demam, penurunan berat
badan, berkeringat pada malam hari. Pada pasien ditemukan benjolan di daerah
leher, ketiak dan lipatan paha, tidak nyeri, bersifat kenyal, disertai penurunan
berat badan, namun tidak disertai berkeringat di malam hari.
Pada kasus, pasien LNH derajat III E direncanakan di berikan kemoterapi
kombinasi generasi I, yaitu CHOP selain menunggu hasil Immuno Histo Kimia
(IHK) pada pasien ini. Terapi spesifik untuk LNH dapat diberikan dalam bentuk,
yaitu radioterapi, kemoterapi, transplantasi sumsum tulang dan 28 transplantasi
sel induk merupakan terapi baru dengan memberikan harapan kesembuhan jangka
panjang, kemoterapi dosis tinggi dengan rescue memakai peripheral blood stem
cell transplantasi, serta terapi dengan imunomodulator. Dimana dari
perkembangan terapi sampai saat ini kemoterapi kombinasi CHOP terbukti paling
efektif dibandingkan kemoterapi kombinasi lain. Penambahan jenis kemoterapi
ataupun lama pemberian tidak menambah angka kesembuhan. Oleh karena itu,
kemoterapi generasi kedua dan ketiga jarang digunakan.
Pasien datang dengan keluhan lemah letih dan disertai tampak pucat sejak
1 minggu yang lalu tanpa adanya riwayat perdarahan. Pemeriksaan labor
menunjukkan hasil Hemoglobin adalah 9,0 gr/dL, MCV/MCH/MCHC 66/23/34
dengan retikulosit 1,206% dan tes darah samar negatif. Sedian darah tepi
menunjukkan gambaran mikrositik hipokrom, dengan leukosit dan trombosit

31
dalam batas normal, Adapun nilai serum iron sebesar 31, TIBC 161, FE >1200.
Pada pasien ini ditemukan niai ferritin yang tinggi dan didiagnosis sebagai anemia
ringan mikrositik hipokrom ec penyakit kronis dan dapat menyingkirkan
diagnosis anemia akibat defisiensi ferritin. Pemeriksaan fungsi hati didapatkan
nilai SGOT/SGPT 21/28 U/l, albumin dan globulin 3,5/2,5 g/dL dan fungsi ginjal
dalam batas normal.. Pasien ditatalaksana sebagai anemia mikrositik hipokrom
karena penyakit kronik dan setelah penambahan 1 unit PRC Hb menjadi 10,0
g/dL.
Bakta I (2019) menerangkan anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan
gambaran morfologi dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi
menjadi anemia hipokromik mikrositer (MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg), anemia
normositik normokrom (MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg), dan anemia
makrositer (MCV > 95 fl). Algoritma anemia mikrositik hipokrom dengan
retikulosit normal atau turun, maka dilakukan pemeriksaan sum-sum tulang untuk
melihat apakah ada tanda aplasia, hipoplasia dan tanda-tanda leukemia. Jika hasil
pemeriksaan sum-sum tulang dalam batas normal maka anemia disebabkan
penyakit kronik.23
Mual dan muntah disertai penurunan nafsu makan dalam waktu 2 hari.
Dari pemeriksan fisik didapatkan kekuatan motorik simetris dan fungsi
sensibilitas dan sensitivitas dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium
didapatkan, natrium serum 121 mmol/L, kalium serum 2.8 mmol/L, klorida serum
101 mmol/L (osmolaritas serum 254 mOsml/kgH2O). Penelusuran lanjutan dari
hipokalemia didapatkan magnesium serum 1,7 mg/dl, kalsium serum 8,9 mg/dl,
kalsium urin < 2 mg/dl, natrium urin 38,7 mmol/l, kalium urin 22,1 mmol/l,
klorida urin 69,4 mmol/l (osmolaritas urin 25 mOsmol/kgH2O). Hasil analisa gas
darah di dapatkan kesan alkalosis metabolik dengan pH 7.535, Hco3- 28 dan
pCo2 30. Pasien didiagnosis dengan Gitelman syndrome (GS) dan sesuai dengan
Gambar 3.1.

32
Gambar 3.1 Alur Penegakan Diagnosis Pasien dengan Hipokalemia
(Disadur dari Harrison)

Gitelman syndrome (GS) merupakan tubulopati yang ditandai dengan


hipokalemia, alkalosis metabolik, hipomagnesemia dan hipokalsiuria. Gitelman
syndrome diturunkan secara autosomal resesif melalui gen SLC12A3 yang
mengkode thiazide-sensitive NaCl co-transporter (NCCT).24 Gejala klinis dapat
berupa episode tetani (khususnya saat demam atau kehilangan magnesium karena
muntah atau diare yang sering, parestesia, cepat lelah dan kelemahan umum.
Pasien GS asimptomatik tidak perlu diberikan terapi, hanya perlu kontrol rutin 1-2
kali per tahun. Pasien GS dengan adanya gejala kelelahan, kelemahan otot,

33
konstipasi, aritmia, tetani kram dan parestesia maka kadar kalium dan magnesium
perlu dievaluasi. Indikasi koreksi kalium pada pasien GS dapat dibedakan
menjadi: (1) indikasi mutlak: kalium harus diberikan segera pada pasien dengan
pengobatan digitalis, pasien ketoasidosis diabetikum, kelemahan otot pernapasan
dan hipokalemia berat (K < 2 meq/l), (2) indikasi kuat: kalium dapat diberikan
dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama yaitu pada insufisiensi koroner,
ensefalopati hepatikum, pasien menggunakan obat yang dapat menyebabkan K-
shift dari ekstraseluler ke intraseluler, dan (3) indikasi sedang : pemberian kalium
tidak harus segera pada kasus hipokalemia ringan (3-3.5 meq/L). Pada pasien
dengan serum kalium 2,5-3,5 meq/l dapat diberikan terapi substitusi oral.25
Kadar natrium rendah yaitu 121mmol/L (<135mmol/L), osmolaritas
plasma rendah yaitu 254,3 mOsm/kg (<285 mOsm/kg), osmolaritas urin sangat
meningkat yaitu 263 (≥100 mOsm/kg), yang menunjukkan adanya gangguan
mendilusikan urin. Konsentrasi natrium urin 38,7 mEq/L (≥25 mEq/L) dengan
status cairan ekstraseluer normal mengarahkan penyebab hiponatremi pada
peningkatan ADH. Peningkatan sekresi ADH dapat disebabkan oleh SIADH,
defisiensi glukokortikoid, atau hipotiroidisme. Insufiensi adrenal dapat
disingkirkan karena tidak ditemukan hipoglikemia, hiperkalemi, asidosis
metabolik dan deplesi cairan ekstraseluler. Manifestasi klinis hipotiroidisme tidak
ditemukan pada pasien ini. Dengan demikian hiponatremia yang paling mungkin
dengan status volume normal pada pasien ini adalah SIADH. Syndrome of
inappropriate antidiuretic hormone dapat terjadi sebagai akibat gejala endokrin
paraneoplastik, yaitu terjadi ketika sel kanker menghasilkan hormon atau peptida
yang menyebabkan gangguan metabolik, yaitu sekresi ADH ektopik yang
diakibatkan oleh adanya abnormal gen ADH, baik oleh sel tumor primer maupun
sel metastasis.

34
Gambar 3.2 Diagram Alur Diagnosis Hyponatremia (Modifikasi Dari Moritz Dan
Ayus)

Hubungan antara neoplasma pada penyakit gitleman sindroma di


simpulkan ada pengauruh gen mutase dari MUYTH, yaitu mengenai adenoma
colorectal dan fibro adenoma, dan juga ditemikan pada penyakit breast cancer
pada pasien dengan mutase gen her 2 pada breast cancer yang pada limfoma.
Pasien ini juga mengeluh adanya nyeri ulu hati, disertai adanya mual dan
muntah. Pasien ini didiagnosis dengan sindroma dispepsia tipe epigastric pain.
Berdasarkan kriteria Rome IV, dispepsia merupakan kombinasi dari empat gejala
yaitu rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu hati, dan terasa panas
pada ulu hati yang cukup mengganggu aktifitas dan terjadi minimal 3 hari per
minggu dalam tiga bulan terakhir dengan onset minimal sejak 6 bulan yang lalu.27

35
Djojonigrat (2018) menerangkan pada kasus dispepsia jika ditemukan alarm
symptom berupa anemia, hematemesis, melena, dan penurunan berat badan maka
perlu dilakukan eksplorasi diagnostik berupa endoskopi untuk menyingkirkan
penyebab organik.

Daftar Pustaka

1. American Cancer Society. Cancer Facts & Figures, 2018. Diunduh dari
(https://www.cancer.org/content/dam/cancer-org/research/cancer-facts-and
statistics/annual-cancer-facts-and-figures/2018/cancer-facts-and-figures-
2018.pdf).
2. Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2016. Panduan Penatalaksanaan
Limfoma Non-Hodgkin. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
3. Setioyohadi, B, 2009. Limfoma Non-Hodgkin. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam II. Ed V. Jakarta. P: 1251-60
4. Chiu B.CH., Hou N, 2015. Epidemiology and Etiology of Non-Hodgkin
Lymphoma. In: Evens A., Blum K. (eds) Non-Hodgkin Lymphoma. Cancer
Treatment and Research. Springer, Cham. Vol. 165. P:1-25.
5. Hoffbrand A.V., Moss P.A.H, 2016. Hoffbrand’s Essential Haematology. Ed
VII. Wiley-Blackwell. P:214-25
6. Bakta IM, 2007. Limfoma Maligna. Hematologi Klinik Ringkas. Cetakan I.
Jakarta. EGC. P:192- 219.
7. Nogai, H et al. 2011. Pathogenesis of Non-Hodgkin’s Lymphoma. Journal
of Clinical Oncology. Vol 29 (14). P: 1803-11
8. Azzahro AW, Mahmuda INN, 2020. Tantangan Dalam Diagnosis dan
Manajemen Kasus DVT Persisten. Bagian Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah. Surakarta P: 61-9.
9. JCS Guideline, 2011. Guidelines for the Diagnsosis, Treatment and
Prevention of Pulmonary Thromboembolism and Deep Vein Thrombosis.
Circ J. Vol. 75. P:1258- 81.
10. Kaushansky K, Lichtman MA, Prchal JT, Levi MM, Press OW, Burns L, et
al, 2016. Williams Hematology. Ed 9th. New York; McGraw-Hill.
11. Kruger PC, Eikelboom JW, Douketis JD, Hankey GJ, 2019. Deep Vein
Thrombosis: Update On Diagnosis And Management. MJA. P: 516-24.

36

Anda mungkin juga menyukai