TINJAUAN PUSTAKA
Etiologi terjadinya sebagian besar LNH sampai saat ini belum diketahui.
Ada beberapa faktor risiko terjadinya LNH yaitu3,4,5; usia 60 tahun ke atas, jenis
kelamin laki-laki dibandingkan perempuan dimana hal ini tidak diketahui
penyebabnya. Beberapa penelitian mengungkapkan adanya keterlibatan peran
varian genetik yang mendukung kelangsungan hidup dan pertumbuhan sel B
sehingga meningkatkan risiko terjadinya LNH, seperti variasi genetik di berbagai
jalur, termasuk sitokin, innate immunity, stres oksidatif, dan perbaikan apoptosis
DNA pada regio HLA. Beberapa penelitian mengungkapkan bahan-bahan seperti
benzene dan herbisida serta insektisida berhubungan dengan meningkatnya risiko
1
Limfoma Non Hodgkin. Beberapa pekerjaan yang dikaitkan dapat meningkatkan
risiko terkena LNH yaitu petani, pengguna pestisida, pekerja benzene, petani
karet, pekerja kilang minyak, pemadam kebakaran dan ahli kimia. Obat
kemoterapi yang digunakan dalam mengobati kanker dapat meningkatkan risiko
berkembangnya Limfoma Non Hodgkin beberapa tahun setelah penggunaan,
namun belum jelas diketahui apakah kejadian ini berhubungan dengan penyakit
kankernya sendiri ataupun efek dari pengobatannya. Penurunan fungsi imun juga
memiliki risiko tinggi menderita limfoma non Hodgkin, pasien penerima
transplantasi organ yang mengkonsumsi imunosupresan, pasien dengan
kemoterapi, human immunodeficiency virus (HIV), pada penyakit genetik seperti
ataxia-telangiectasia (AT) dan Wiskott-Aldrich syndrome, anak lahir dengan
defisiensi sistem imun. Beberapa kondisi penyakit autoimun seperti
rheumatoid arthritis, systemic lupus erythematosus (SLE), Sjogren
disease, Celiac disease (gluten sensitive enteropathy) meningkatkan risiko
menderita limfoma non Hodgkin. Infeksi virus seperti human T-cell lymphotropic
virus (HTLV-1), Infeksi Eipstein-Barr virus, Human herpes virus 8 (HHV-8) serta
HIV/AIDS menurunkan sistem imun yang berisiko meningkatkan kejadian
Limfoma non Hodgkin tipe tertentu, seperti primary CNS lymphoma, Burkitt
lymphoma, dan diffuse large B-cell lymphoma. Infeksi bakteri seperti Helicobacter
pylori, bakteri penyebab ulkus gaster berhubungan dengan mucosa-associated
lymphoid tissue (MALT) lymphoma pada gaster. Chlamydophila psittaci, bakteri
penyebab infeksi paru yang disebut psittacosis, berhubungan dengan MALT
lymphoma pada jaringan sekitar mata yang disebut ocular anexal marginal zone
lymphoma. Infeksi Campylobacter jejuni berhubungan dengan MALT lymphoma
yang disebut immunoproliferative small intestine disease. Infeksi kronis virus
hepatitis C (HCV) menjadi risiko splenic marginal zone lymphoma.
2
menjadi sel B imatur dan sel B matur yang beredar dalam sirkulasi dikenal sebagai
naive B-cell. Apabila sel B terkena rangsangan antigen, maka proses
perkembangbiakan masuk tahap kedua yang terjadi dalam berbagai kopartemen
folikel kelenjar getah bening, dimana terjadi immunoglobuline gene
rearrangement. Tahap akhir menghasilkan sel plasma yang akan kembali ke
sumsum tulang 4.
Sistem kekebalan tubuh seperti sel limfosit T dan B yang matur akan
berproliferasi menjadi suatu sel yang disebut imunoblas T atau imunoblas B ketika
tubuh terpajan benda asing normalnya. Proses proliferasi ini berlangsung secara
berlebihan dan tidak terkendali pada LNH. Hal ini disebabkan akibat terjadinya
mutasi pada gen limfosit tersebut. Proliferasi berlebihan ini menyebabkan
ukuran dari sel limfosit itu tidak lagi normal, ukurannya membesar, kromatinnya
menjadi lebih halus, nukleolinya terlihat, dan protein permukaan selnya
mengalami perubahan4. Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma
merupakan akibat terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok sel
limfosit tua yang tengah berada dalam proses transformasi menjadi imunoblas
(terjadi akibat adanya rangsangan imunogen). Proses ini terjadi di dalam kelenjar
getah bening, dimana sel limfosit tua berada diluar "centrum germinativum"
sedangkan imunoblast berada di bagian paling sentral dari "centrum
germinativum". Beberapa perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain:
1) ukurannya makin besar; 2) Kromatin inti menjadi lebih halus; 3) Nukleoli
terlihat; 4) Protein permukaan sel mengalami perubahan reseptor4.
1.1.4 Diagnosis
1.1.4.1 Anamnesis
3
purpura merupakan gambaran pada penderita penyakit sumsum tulang difus.
Sitopenia juga dapat disebabkan oleh autoimun. Hati dan limpa seringkali
membesar dan kelenjar getah bening retroperitonela atau mesentrika sering
terkena. Saluran gastrointestinal adalah lokasi ekstranodal yang paling sering
terkena setelah sumsum tulang, dan pasien bisa datang gejala nyeri abdomen
akut. Keluhan pada lambung dapat juga terjadi. Gejala pada organ lain seperti
pada kulit, otak, testis, atau tiroid sering terkena. Kulit juga secara primer terkena
pada dua jenis limfoma sel T yang tidak umum dan terkait erat yaitu mikosis
fungoides dan sindrom Sezary.
a. Laboratorium
a) Hematologi
Hematologi lengkap: Pemeriksaan darah lengkap seorang LNH dapat
dijumpai kondisi sebagai berikut:5
• Anemia normokromik normositik, keterlibatan sumsum tulang jarang
terjadi pada penyakit awal, tetapi jika terjadi, maka kegagalan sumsum
tulang berupa anemia leukositroblastik.
• Penyakit lanjut yang disertai dengan keterlibatan sumsum tulang,
seperti netropenia, eosinofilia, trombositopenia (khususnya jika limpa
membesar), atau gambaran leukoeritroblastik.
• Jumlah trombosit normal atau meningkat selama awal penyakit, dan
berkurang pada tahap selanjutnya.
• Tingkat sedimentasi eritrosit/ laju endap darah (ESR) dan protein C-
reaktif biasanya meningkat. Laju endap darah berguna dalam
memantau perkembangan penyakit.
4
Gambaran darah tepi : Dapat dijumpa sel sel limfoma (misalnya sel zona
selubung, sel limfoma folikuler berbelah, atau blast) dengan kelainan inti
yang bervariasi, dapat ditemukan pada darah tepi beberapa orang pasien.
b) Urinalisa yaitu pemeriksaan urine lengkap
c) Kimia klinik : Terjadi peningkatan asam urat serum. Pemeriksaan fungsi
hati yang abnormal memberikan kesan penyakit diseminata. Kadar LDH
serum meningkat pada penyakit yang lebih cepat berproliferasi dan luas
serta dapat digunakan sebagai suatu petanda prognostik.
b. Biopsi eksisional atau core biopsy Kelenjar Getah Bening
Biopsi KGB dilakukan cukup pada satu kelenjar yang paling representatif,
superfisial, dan perifer untuk menentukan penderita dengan LH atau LNH.
Ditemukan kelenjar perifer/superfisial yang representatif, maka tidak perlu biopsi
intraabdominal atau intratorakal. Kelenjar getah bening yang diperiksa disarankan
dari leher dan supraclavicular, pilihan kedua adalah axilla dan terakhir inguinal.
Pemeriksaan khusus dapat melakukan pemeriksaan immunohistokimia.
1.1.5 Penatalaksanaan
Terapi untuk LNH terdiri atas terapi spesifik untuk membunuh sel
limfoma dan terapi suportif untuk meningkatkan keadaan umum penderita atau
menanggulangi efek samping kemoterapi/radioterapi. Terapi spesifik untuk LNH
dapat diberikan dalam bentuk berikut: 7
1. Radioterapi
a. Penyakit yang terlokalisir (derajat I)
b. Ajuvan pada bulky disease
c. Tujuan paliatif pada stadium lanjut
2. Kemoterapi
a. Kemoterapi tunggal (singel agent)
Chlorambucil atau siklofosfamid untuk LNH derajat keganasan rendah
b. Kemoterapi kombinasi dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Kemoterapi kombinasi generasi I terdiri atas:
• CHOP (cyclophosphamide, doxorubicine, vincristine, prednison)
• CHOP-Bleo/Bacop (CHOP + bleomycine)
5
• COMLA (cyclophosphamide, vincristine, methotrexate with
leucovorin rescue)
• CVP/COP (cyclophosphamide, vincristine, prednison)
• C-MOPP (cyclophosphamide, mechlorethamine, vincristine,
prednison, procarbazine)
2. Kemoterapi kombinasi generasi II terdiri atas:
COP-Blam (cyclophosphamide, mechlorethamine, vincristine,
prednison, bleomycin, doxorubicine, procarbazine).
Pro-MACE-MOPP (prednison, methotrexate with leucovorin
rescue, doxorubicine, cyclophosphamide, etoposide,
mechlorethamine, vincristine, procarbazine).
M-BACOD (methotrexate with leucovorin rescue, bleomycin,
doxorubicine, cyclophosphamide, vincristine, dexamethasone).
3. Kemoterapi kombinasi generasi II terdiri atas:
COPBLAM III (cyclophosphamide, infusional vincristine,
prednison, infusional bleomycin, doxorubicine, procarbazine).
ProMACE-CytaBOM (prednison, methotrexate with leucovorin
rescue, doxorubicine, doxorubicine, cyclophosphamide,
etoposide, cytarabine, bleomycin, vincristine, methotrexate with
leucovorin rescue).
MACOP-B (methotrexate with leucovorin rescue, doxorubicine,
cyclophosphamide, vincristine, prednison, bleomycin).
Kemoterapi kombinasi CHOP terbukti paling efektif
dibandingkan kemoterapi kombinasi lain dari perkembangan terapi
sampai saat ini. Penambahan jenis kemoterapi ataupun lama
pemberian tidak menambah angka kesembuhan. Kemoterapi
generasi kedua dan ketiga jarang digunakan.
3. Transplantasi sumsum tulang dan transplantasi sel induk merupakan terapi
baru dengan memberikan harapan kesembuhan jangka panjang.
4. Kemoterapi dosis tinggi dengan rescue memakai peripheral blood stem cell
transplantasi.
5. Terapi dengan imunomodulator
6
Terapi dengan interferon diberikan untuk indolent lymphoma,
dikombinasikan dengan kemoterpai atau diberikan setelah kemoterapi untuk
memperpanjang masa remisi. Tetapi hasilnya sampai sekarang masih
kontroversial.
6. Targeted therapy
Antibodi monoklonal: rituximab suatu chimeric monoclonal
antibody ditujukan untuk antigen CD20 yang diekspresikan oleh semua sel
limfosit.
Pemberian rituximab intravena setiap minggu selama 4 minggu
memberikan remisi parsial pada 50% LNH indolen. Sekaran gcenderung
digabung dengan kemoterapi (CHOP) dan juga dicobakan pada LNH agresif.
7
dengan hiperkalsiuria yang dijumpai pada sindrom Bartter.
8
mengakibatkan pemberian terapi seumur hidup yang bertujuan untuk
meminimalkan peningkatan prostaglandin aldosteron sekunder. Kombinasi anti
inflamasi nonsteroid (NSAID) dan diuretik hemat kalium (spironolakton atau
amilorid, dengan dosis 300-400 mg per hari untuk menghambat sempurna sekresi
kalium distal) dapat meningkatkan konsentrasi kalium plasma ke arah normal,
mengoreksi alkalosis metabolik dan hipomagnesemia secara parsial. Perbaikan
yang sama pada gambaran keadaan elektrolit dapat dicapai dengan penggunaan
penghambat ACE yang menurunkan produksi angiotensin II dan aldosteron.
Penurunan akut kadar angiotensin II dapat menyebabkan hipotensi simtomatik
pada beberapa kasus. Permasalahan ini seringkali bersifat sementara dan dapat
diminimalisasi dengan penggunaan dosis rendah pada awal terapi.10,11
Pasien sebagian besar membutuhkan suplementasi kalium dan magnesium
oral, hal ini dikarenakan terapi obat biasanya tidak efektif penuh. Pemulihan
kadar magnesium dan kalium normal seringkali sulit tercapai. Diare seringkali
menganggu dosis magnesium yang diberikan dan magnesium yang diserap
cenderung untuk kembali diekskresikan di urin. Pasien dengan gangguan transpor
pada ansa Henle mempunyai reabsorpsi kalium dan juga natrium serta klorida
pada lokasi tersebut. Menghambat sekresi kalium distal dengan amilorid dan atau
ACE-inhibitor tidak akan membalikan permasalahan reabsortif di ansa, dan
menyebabkan kebocoran kalium persisten. Hipomagnesemia juga dapat berperan
terhadap kehilangan kalium lewat suatu mekanisme yang belum pasti.11
9
BAB 2
ILUSTRASI KASUS
10
6. Nyeri di daerah ulu hati sejak 1 minggu yang lalu, nyeri hilang timbul dan
tidak menjalar.
7. Mual sejak 1 minggu yang lalu.
8. Muntah sejak 2 hari yang lalu, frekuensi 1–2 x sehari dan berjumlah ¼ gelas
orang dewasa berisi apa yang dimakan.
9. Nyeri tenggorokan tidak ada.
10. Batuk tidak ada.
11. Riwayat sakit kuning tidak ada.
12. Gangguan penciuman dan pengecapan tidak ada.
13. Sesak nafas tidak ada.
14. Buang air kecil warna, jumlah, dan frekuensi biasa. Nyeri saat buang air
kecil tidak ada. Riwayat buang air kecil merah tidak ada.
15. Buang air besar warna, jumlah, dan frekuensi biasa. Nyeri saat buang air
besar tidak ada. Riwayat buang air kecil merah tidak ada.
1. Riwayat TB paru tahun 2019 dan mendapat obat OAT dan dinyatakan
sembuh.
2. Pasien pada tanggal 03 Maret 2023 pernah dilakukan Biopsi Aspirasi Jarum
Halus (BAJAH) di RSUD M Zein dan didapatkan lesi limfoproliferatif,
kemungkinan hiperplasia reaktif KGB DD/ limfoma malignum Non Hodgkin.
3. Riwayat penyakit keganasan sebelumnya tidak ada.
Riwayat Pengobatan:
Riwayat pengobatan Obat Anti Tuberkulosis tahun 2019 dan dinyatakan
sembuh.
11
1. Pasien adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara, bekerja sebagai sopir.
2. Pasien sudah menikah, tinggal bersama istri dan 3 orang anak. Pasien tinggal
di rumah permanen, dengan kondisi pencahayaan cukup, dan kebersihan
ruangan yang cukup baik. Sumber air minum dari air PDAM.
3. Pasien memiliki ekonomi menengah
Pemeriksaan Umum
Kesadaraan : Compos Mentis Cooperative
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Frekuensi Nadi : 90 x/menit, teratur, pengisian cukup
Frekuensi nafas : 18 x/menit
Suhu : 38 0C
SO2 : 98% free air
BB : 65 kg
TB : 168 cm
BMI : 23 (normoweight)
Ikterus : (-)
Edema : (-)
Anemia : (+)
Kulit : teraba lembab dan hangat, ruam (-), turgor kulit normal
Kelenjar getah bening : teraba pembesaran kelenjar getah bening collidextra,
jumlah 3 buah, ukuran 2x3x3cm, 3x3x2cm, 2x3x2cm.
Teraba pembesaran kelenjar getah bening colli sinistra,
jumlah 3 buah, ukuran 4x3cm, 3x3 cm, 6x3 cm, keduanya
sewarna kulit, permukaan rata, batas tegas, konsistensi
kenyal, tidak nyeri tekan, terfiksir. Teraba pembesaran
kelenjar getah bening Inguinal sinistra, jumlah 3 buah,
ukuran 2x3x2cm, 1x2x1 cm, 1x3x1 Teraba pembesaran
kelenjar getah bening inguinal dextra, jumlah 3 buah,
ukuran 1x2x1cm, 2x2x3 cm, 2x3x2 cm, keduanya sewarna
kulit, permukaan rata, batas tegas, konsistensi kenyal,
tidak nyeri tekan, terfiksir. Tidak teraba pembesaran
12
kelenjar getah bening di axilla.
Kepala : normocephale
Rambut : hitam dan tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), refleks
cahaya (+/+), pupil isokor diameter 3mm/3mm
Telinga : liang telinga lapang, nyeri tekan tragus (-), tanda- tanda
radang tidak ada.
Hidung : deviasi septum (-), hipertrofi konka (-), sekret (-)
Tenggorok : Faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tidak hiperemis
Gigi dan Mulut : Oral thrush (-), Gusi berdarah (-), caries (-),
stomatitis di gusi (-), atrofi papil lidah (-), hipertrofi
gingiva (-)
Thorak
Paru depan
Inspeksi : Statis : normochest
Dinamis : Gerakan dinding dada simetris kiri dan kanan
Palpasi : Fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor, batas pekak hepar setinggi RIC V
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-) wheezing (-/-)
Paru belakang
Inspeksi : Statis : normochest
Dinamis : Gerakan dinding dada simetris kiri dan kanan
Palpasi : Fremitus kanan
sama dengan kiri
Perkusi : Sonor, peranjakan paru 2 jari
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-) wheezing (-/-)
Jantung
13
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V kuat angkat,
thrill tidak ada, heaves (-)
Perkusi : Batas jantung kanan : LSD, atas : RIC II,
Batas jantung kiri: 1 jari medial LMCS RIC V
Pinggang jantung (+)
Auskultasi : Irama jantung reguler, M1>M2, P2<A2, bising (-)
Abdomen
Inspeksi : Tidak tampak membuncit
Laboratorium
Hematologi Lengkap
14
- Trombosit : Jumlah cukup, morfologi normal
Kesan: Anemia mikrositik hipokrom, LED meningkat
Urinalisis
Makroskopis
- Warna : Kuning
- Kekeruhan : Negatif
- Berat Jenis : 1,021
- pH : 6,0
Mikroskopis
- Leukosit : 2-3 / LPB
- Eritrosit : 0-1 / LPB
- Silinder : Negatif
- Kristal : Negatif
- Epitel : Positif
- Bakteri : Negatif
Kimia
Protein : Negatif
Glukosa : Negatif
Bilirubin : Negatif
Urobilin : Positif
Kesan: Hasil dalam batas normal
Feses rutin
Makroskopis
- Warna : Kuning
- Konsistensi : Lunak
- Darah : Negatif
- Lendir : Negatif
- Protein : Negatif
- Lemak : Negatif
- Karbohidrat : Negatif
Mikroskopis
- Leukosit : 0-1 / LPB
- Eritrosit : 1-2 / LPB
- Amuba : Negatif
- Ascaris Lumbricoides : Negatif
- Ancylostoma Duodenale : Positif
- Oxyuris V : Negatif
- Trishiuris Trichura : Negatif
Kesan: Hasil dalam batas normal
15
EKG:
Daftar masalah:
1. Limfadenopati
2. Hepatomegali
3. Demam
4. Anemia
Diagnosis kerja:
1. Diagnosis Primer
- Limfadenopati ec Limfoma
2. Diagnosis Sekunder
a. Hepatomegali ec malignancy
b. Anemia ringan mirkositik hipokrom ec penyakit kronis
c. Malaria
d. Sindrom dyspepsia tipe epigastric pain
3. Diagnosis banding:
16
a. Limfadenopati ec limfadenitis tuberculosis
b. Anemia ringan micrositik hipokrom ec defisiensi besi
Terapi:
a. Istirahat/ diet 1500 kkal (karbohidrat 1000 kkal, protein 150 kkal, lemak
350 kkal)
b. IVFD NaCl 0,9% 8 jam/kolf
c. Lansoprazol 1 x 30 mg
d. Sucralfat 3 x 500 mg/10 cc
e. Domperidone 3 x 10 mg
f. Paracetamol 3x500mg PO
Pemeriksaan anjuran:
a. Pemeriksaan MCV, MCH, MCHC, Retikulosit
b. Pemeriksaan besi serum, total iron binding capacity, Ferritin
c. Albumin, globulin, SGOT, SGPT
d. Ureum, kreatinin
e. Elektrolit (Natrium, Kalium, Klorida)
f. Gula Darah Sewaktu
g. Tes Cepat Molekuler Tuberkulosis
h. Chest X-Ray
i. Pemeriksaan malaria sedian apus tebal dan tipis
S/ demam meningkat (+) berkeringat (+) Benjolan (+), nafsu makan menurun,
mual (+) muntah (-), nyeri perut ulu hati (+)
O/
Kesadaran TD HR RR T SpO2
CMC 110/70 90x/min 20x/min 38,1ºC 98%
Hasil Laboratorium
MCV : 66 fL SGOT : 21 u/L
17
MCH : 23 pg SGPT : 28 u/L
MCHC : 34 % Natrium : 121 mmol/L
Retikulosit : 1,06 Kalium : 2,8 mmol/L
SI : 31 mg/dL Chlorida : 88 mmol/L
TIBC : 161 mg/dL Ureum : 28 mg/dL
Feritin : > 1200 mg/mL Kreatinin : 0,8 mg/dL
Albumin : 3,5 g/dL GDS : 140 mg/dL
Globulin : 2,5 g/dL
Kesan: Hiponatremia, hipokalemia, hipokloridemia
Osmolaritas plasma : 254,3 (N : 285-295)
Kesan : hipoosmolar
Chest X-Ray :
Kesan :
a. Limfadenopati ec Limfoma
b. Anemia ringan mikrositik hipokrom ec penyakit kronis
Diagnosa Banding:
Anemia ringan mikrositik hipokrom ec defisiensi besi
18
Advis:
a. Paracetamol 3x500mg PO
b. Transfusi PRC 1unit
c. Konsul bedah oncology
Diagnosa Banding:
- Limfadenopati ec Limfoma
Advis:
a. Paracetamol 3x500mg PO
b. BTA
- Malaria
Advis:
- Pemeriksaan sediaan apus darah tepi dan sediaan apus darah tebal malaria
Diagnosa Banding:
1. Hipokalemia ec renal loss ec Barter sindrom
2. Hipokalemia ec renal loss ec Gitelman Sindrom
Advis:
a. IVFD NaCL 3 % 1 kolf
b. Kalium slow release 3 x 600 mg
19
c. Cek osmolaritas plasma
d. Cek elektrolit urin, osmolaritas urin
e. USG ginjal
f. Cek magnesium dan AGD
Konsul Gastroenterohepatology
Kesan :
a. Hepatomegali ec malignancy
b. Sindrome dyspepsia tipe campuran
Advis:
a. Lansoprazole 1 x 30 mg
b. Sucralfate 3 x 10 cc
c. Domperidone 3 x 10 mg
d. USG Abdomen
A/
a. Limfadenopati ec Limfoma
b. Hepatomegali ec Malignancy
c. Syndrome dyspepsia tipe campuran
d. Hiponatremia hipoosmolar euvolemik ec SIADH
e. Hipokalemia ec Gastrointestinal tract
P/
a. Istirahat/ diet makanan biasa 1500 kkal (karbohidrat 1000 kkal, protein
150 kkal, lemak 350 kkal)
b. IVFD NaCl 3 % 1 kolf
c. Paracetamol 3x500mg PO
d. Lansoprazol 1 x 30 mg
e. Sucralfate 3 x 500 mg
f. Domperidone 3 x 10 mg
g. Kalium Slow Release 3 x 600 mg
h. BTA
i. Cek elekrolit urin, osmolaritas urin , cek sediaan apus darah tebal dan tipis
20
malaria , cek magnesium
Hasil Laboratorium
BTA TB :
MALARIA:
21
Hati Membesar
Permukaan rata
Parenkim homogen
Parenkim halus
Pinggir tajam
Vena tidak membesar
Duktus billiaris tidak melebar
SOL tidak ada
Vena porta normal (diameter : 0,89 cm) Asites (-)
Kandung empedu Normal
Dinding tipis
Batu (+) multiple
Polip (-)
Pankreas Normal
Batu/klasifikasi (-)
Lien Membesar
13.05
Ginjal Tidak Melebar
Kiri dan kanan Batu (-)
Hidronefrose (-)
Kista (-)
Kesan :
- Limfadenopati ec Limfoma
Advis:
- Paracetamol 3x500mg PO
Advis:
- Menunggu Biopsi
22
1. Hiponatremia hiposomolar euvolemik ec SIADH
2. Hipokalemia ec Gastroinstinal loss
3. Hipomagnesemia ec renal oss
Diagnosa Banding:
1. Hipokalemia ec renal loss ec Barter sindrom
2. Hipokalemia ec renal loss ec Gitleman Sindrom
Advis:
a. Kalium slow release 3 x 600 mg
b. Drip MgSo4 8 gram dalam 500 cc Nacl 0.9% selama 24 jam, dilanjutkan
MgSO4 4 gram dalam 500 cc Nacl 0.9% selama 24 jam
c. Cek kalsium urin,
d. Osmolaritas urin
e. Kreatinine clereance dan TTKG,
f. USG Ginjal
Konsul Gastroenterohepatologi
Kesan :
a. Hepatomegali ec Malignancy
b. Sindrom dyspepsia tipe epigastric pain
Advis:
a. Lansoprazol 1 x 30 mg
b. Sucralfat 3 x 500 mg
c. Domperidon 3 x 10 mg
A/
a. Limfadenopati ec Limfoma
23
b. Tuberkulosis paru Relaps
c. Hepatomegali ec Malignancy
d. Hiponatremia hipoosmolar euvolemik ec SIADH
e. Hipokalemia ec Gastrointestinal tract
f. Hipomagnesemia ec renal loss
g. Sindrom dyspepsia tipe epigastric pain
P/
a. Istirahat/Makanan lunak tinggi kalori tinggi protein 2100 kkal (karbohidrat
1200 kkal , protein 400 kkal, lemak 500 kkal)
b. IVFD NaCl 0,9 % 1 kolf
c. Paracetamol 3x500mg PO
d. Lansoprazole 1 x 30 mg
e. Sucralfat 3 x 500 mg
f. Domperidon 3 x 10 mf
g. Kalium Slow Release 3 x 600 mg
h. Byopsi intoto
i. Drip MgSo4 8 gram dalam 500 cc Nacl 0.9% selama 24 jam, dilanjutkan
MgSO4 4 gram dalam 500 cc Nacl 0.9% selama 24 jam
j. Cek kalsium urin, creatinine clereance dan TTKG, cek elektrolit ulang
Hasil Laboratorium
24
Kreatinin Clearance : 57,1 TTKG :9
Natrium : 130 mg/dL Magnesium : 2,1
Kalium : 4,7 mg/dL
Klorida : 100 mg/dL
Kesan: Kalsiuria
Advis:
- Paracetamol 3 x 500 mg
Advis:
a. Paracetamol 3x500mg PO
b. Menunggu hasil biopsi
Konsul Ginjal Hipertensi
Kesan :
25
1. Hiponatremia hipoosmolar euvolemik ec SIADH
2. Hipokalemia ec renal loss gitelman sindroma (perbaikan)
3. Hipomagnesemia ec renal loss gitelman sindroma (perbaikan)
Advis:
- Terapi Lanjut
Konsul Gastroenterohepatologi
Kesan :
a. Hepatomegali ec Malignancy
b. Sindrom dyspepsia tipe epigastric pain
Kesan :
- Limfadenopaty ec Limfoma malignant Non Hodgkin dd Limfadenitis
tuberculosis
Advis:
a. Menunggu hasil biopsi
b. Acc rawat jalan
A/
1. Limfadenopati ec Limfoma
2. Hepatomegali ec Malignancy
3. Sindrome dyspepsia tipe epigastric pain
4. Hiponatremia ec Gastrointestinal tract loss
5. Hipokalemia ec renal loss ec gitelman sindroma (perbaikan)
6. Hipomagnesemia ec renal loss ec gitelman sindroma (perbaikan)
P/
a. Istirahat/Makanan lunak tinggi kalori tinggi protein 2100 kkal (karbohidrat
1200 kkal , protein 400 kkal, lemak 500 kkal)
b. IVFD NaCl 0,9 % 1 kolf
c. Paracetamol 3x500mg PO
d. Lansoprazole 1 x 30 mg
e. Sucralfat 3 x 500 mg
f. Domperidon 3 x 10 mf
26
g. Kalium Slow Release 3 x 600 mg
Follow up Jumat, 17 Maret 2021 pukul 07.00 WIB
S/ Demam (+) , nafsu makan makan membaik, nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-)
O/
Kesadaran TD HR RR T SpO2
CMC 120/70 90x/min 18x/min 36,4ºC 99%
Advis:
a. Paracetamol 3 x 500 mg
b. Cefixim 2 x 200 mg
c. Acc rawat jalan
Advis:
a. Paracetamol 3x500mg PO
b. Menunggu hasil biopsi
c. Acc rawat jalan
Advis:
a. Terapi Lanjut
b. Acc Rawat jalan
Konsul Gastroenterohepatologi
Kesan :
27
a. Hepatomegali ec Malignancy
b. Syndrome dyspepsia tipe epigastric pain
Advis:
a. Sucralfat 3 x 500 mg
b. Lansoprazol 1 x 30 mg
c. Domperidon 3 x 10 mg
Kesan :
- Limfadenopaty ec Limfoma malignant Non Hodgkin dd Limfadenitis
tuberculosis
Advis:
a. Menunggu hasil biopsi
b. Acc rawat jalan
A/
a. Limfadenopati ec Limfoma
b. Hepatomegali ec Malignancy
c. Syndrome dispspsia tipe epigastric pain
d. Hiponatremia ec Hipoosmolar Euvolemik ec SIADH
e. Hipokalemia ec renal loss ec gitleman sindroma (perbaikan)
f. Hipomagnesemia ec renal loss ec gitleman sindroma (perbaikan)
P/
a. Istirahat/ diet makanan biasa 1500 kkal (karbohidrat 1000 kkal, protein
150 kkal, lemak 350 kkal)
b. Paracetamol 3x500mg PO
c. Lansoprazole 1 x 30 mg
d. Sucralfat 3 x 500 mg
e. Domperidone 3 x 10 mg
f. Acc rawat jalan
28
Senin, 20 Maret 2023 pukul 07.00 WIB
Hasil Biopsi
Makroskopik : Dua kantong jaringan
- I: Label KGB leher: sepotong jaringan putih,
kecoklatan, kenyal padat, ukuran 1,5x1x0,5 cm,
penampang putih kecoklatan, kapsul (+), cetak 1
kaset sisa (-)
- II: Label KGB inguinal: sepotong jaringan putih,
kecoklatan, kenyal padat, ukuran 1,5x1x1 cm,
penampang putih kecoklatan, kapsul (+), cetak 2
kaset sisa (-)
Mikroskopik - I dan II : Tampak potongan jaringan KGB dengan
kapsul jaringan ikat di bagian luar mengandung
proliferasi sel-sel dengan ukuran nyata (Sebagian
besar dengan makronuclei)
- Mitosis dapat ditemukan. Sel-sel ini tersusun difus
diantara beberapa sel limfosit matur. Tak tampak
lagi sentrum germinativum dalam sediaan ini
Diagnosis: Limfoma Maligna Non Hodgkin tipe Sel Sedang-Besar
Anjuran: Pemeriksaan IHK dengan antibody CD3, CD20, dan KI-67 untuk
konfirmasi diagnosis
Advis:
29
BAB 3
DISKUSI
30
sering ditemukan pada limfoma non Hodgkin.
Selain itu pada kasus juga dilakukan pemeriksaan biopsi intoto Tampak
potongan jaringan KGB dengan kapsul jaringan ikat di bagian luar mengandung
proliferasi sel-sel dengan ukuran nyata (Sebagian besar dengan makronuclei),
Mitosis dapat ditemukan. Sel-sel ini tersusun difus diantara beberapa sel limfosit
matur. Tak tampak lagi sentrum germinativum dalam sediaan ini. Hasil
pemeriksaan ini menunjukkan adanya malignant round cell tumor, yang mengarah
ke Non Hodgkin Lymphoma.
Berdasarkan tinjauan pustaka diagnosis LNH harus ditegakkan dari
pemeriksaan histologi biopsi eksisi kelenjar getah bening atau jaringan
ekstranodal. Penentuan stadium atau derajat berdasarkan klasifikasi Ann-Arrbor
yaitu pada derajat III E jika Keterlibatan daerah kelenjar getah bening pada
kedua sisi diafragma dengan gejala konstutional seperti demam, penurunan berat
badan, berkeringat pada malam hari. Pada pasien ditemukan benjolan di daerah
leher, ketiak dan lipatan paha, tidak nyeri, bersifat kenyal, disertai penurunan
berat badan, namun tidak disertai berkeringat di malam hari.
Pada kasus, pasien LNH derajat III E direncanakan di berikan kemoterapi
kombinasi generasi I, yaitu CHOP selain menunggu hasil Immuno Histo Kimia
(IHK) pada pasien ini. Terapi spesifik untuk LNH dapat diberikan dalam bentuk,
yaitu radioterapi, kemoterapi, transplantasi sumsum tulang dan 28 transplantasi
sel induk merupakan terapi baru dengan memberikan harapan kesembuhan jangka
panjang, kemoterapi dosis tinggi dengan rescue memakai peripheral blood stem
cell transplantasi, serta terapi dengan imunomodulator. Dimana dari
perkembangan terapi sampai saat ini kemoterapi kombinasi CHOP terbukti paling
efektif dibandingkan kemoterapi kombinasi lain. Penambahan jenis kemoterapi
ataupun lama pemberian tidak menambah angka kesembuhan. Oleh karena itu,
kemoterapi generasi kedua dan ketiga jarang digunakan.
Pasien datang dengan keluhan lemah letih dan disertai tampak pucat sejak
1 minggu yang lalu tanpa adanya riwayat perdarahan. Pemeriksaan labor
menunjukkan hasil Hemoglobin adalah 9,0 gr/dL, MCV/MCH/MCHC 66/23/34
dengan retikulosit 1,206% dan tes darah samar negatif. Sedian darah tepi
menunjukkan gambaran mikrositik hipokrom, dengan leukosit dan trombosit
31
dalam batas normal, Adapun nilai serum iron sebesar 31, TIBC 161, FE >1200.
Pada pasien ini ditemukan niai ferritin yang tinggi dan didiagnosis sebagai anemia
ringan mikrositik hipokrom ec penyakit kronis dan dapat menyingkirkan
diagnosis anemia akibat defisiensi ferritin. Pemeriksaan fungsi hati didapatkan
nilai SGOT/SGPT 21/28 U/l, albumin dan globulin 3,5/2,5 g/dL dan fungsi ginjal
dalam batas normal.. Pasien ditatalaksana sebagai anemia mikrositik hipokrom
karena penyakit kronik dan setelah penambahan 1 unit PRC Hb menjadi 10,0
g/dL.
Bakta I (2019) menerangkan anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan
gambaran morfologi dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi
menjadi anemia hipokromik mikrositer (MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg), anemia
normositik normokrom (MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg), dan anemia
makrositer (MCV > 95 fl). Algoritma anemia mikrositik hipokrom dengan
retikulosit normal atau turun, maka dilakukan pemeriksaan sum-sum tulang untuk
melihat apakah ada tanda aplasia, hipoplasia dan tanda-tanda leukemia. Jika hasil
pemeriksaan sum-sum tulang dalam batas normal maka anemia disebabkan
penyakit kronik.23
Mual dan muntah disertai penurunan nafsu makan dalam waktu 2 hari.
Dari pemeriksan fisik didapatkan kekuatan motorik simetris dan fungsi
sensibilitas dan sensitivitas dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium
didapatkan, natrium serum 121 mmol/L, kalium serum 2.8 mmol/L, klorida serum
101 mmol/L (osmolaritas serum 254 mOsml/kgH2O). Penelusuran lanjutan dari
hipokalemia didapatkan magnesium serum 1,7 mg/dl, kalsium serum 8,9 mg/dl,
kalsium urin < 2 mg/dl, natrium urin 38,7 mmol/l, kalium urin 22,1 mmol/l,
klorida urin 69,4 mmol/l (osmolaritas urin 25 mOsmol/kgH2O). Hasil analisa gas
darah di dapatkan kesan alkalosis metabolik dengan pH 7.535, Hco3- 28 dan
pCo2 30. Pasien didiagnosis dengan Gitelman syndrome (GS) dan sesuai dengan
Gambar 3.1.
32
Gambar 3.1 Alur Penegakan Diagnosis Pasien dengan Hipokalemia
(Disadur dari Harrison)
33
konstipasi, aritmia, tetani kram dan parestesia maka kadar kalium dan magnesium
perlu dievaluasi. Indikasi koreksi kalium pada pasien GS dapat dibedakan
menjadi: (1) indikasi mutlak: kalium harus diberikan segera pada pasien dengan
pengobatan digitalis, pasien ketoasidosis diabetikum, kelemahan otot pernapasan
dan hipokalemia berat (K < 2 meq/l), (2) indikasi kuat: kalium dapat diberikan
dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama yaitu pada insufisiensi koroner,
ensefalopati hepatikum, pasien menggunakan obat yang dapat menyebabkan K-
shift dari ekstraseluler ke intraseluler, dan (3) indikasi sedang : pemberian kalium
tidak harus segera pada kasus hipokalemia ringan (3-3.5 meq/L). Pada pasien
dengan serum kalium 2,5-3,5 meq/l dapat diberikan terapi substitusi oral.25
Kadar natrium rendah yaitu 121mmol/L (<135mmol/L), osmolaritas
plasma rendah yaitu 254,3 mOsm/kg (<285 mOsm/kg), osmolaritas urin sangat
meningkat yaitu 263 (≥100 mOsm/kg), yang menunjukkan adanya gangguan
mendilusikan urin. Konsentrasi natrium urin 38,7 mEq/L (≥25 mEq/L) dengan
status cairan ekstraseluer normal mengarahkan penyebab hiponatremi pada
peningkatan ADH. Peningkatan sekresi ADH dapat disebabkan oleh SIADH,
defisiensi glukokortikoid, atau hipotiroidisme. Insufiensi adrenal dapat
disingkirkan karena tidak ditemukan hipoglikemia, hiperkalemi, asidosis
metabolik dan deplesi cairan ekstraseluler. Manifestasi klinis hipotiroidisme tidak
ditemukan pada pasien ini. Dengan demikian hiponatremia yang paling mungkin
dengan status volume normal pada pasien ini adalah SIADH. Syndrome of
inappropriate antidiuretic hormone dapat terjadi sebagai akibat gejala endokrin
paraneoplastik, yaitu terjadi ketika sel kanker menghasilkan hormon atau peptida
yang menyebabkan gangguan metabolik, yaitu sekresi ADH ektopik yang
diakibatkan oleh adanya abnormal gen ADH, baik oleh sel tumor primer maupun
sel metastasis.
34
Gambar 3.2 Diagram Alur Diagnosis Hyponatremia (Modifikasi Dari Moritz Dan
Ayus)
35
Djojonigrat (2018) menerangkan pada kasus dispepsia jika ditemukan alarm
symptom berupa anemia, hematemesis, melena, dan penurunan berat badan maka
perlu dilakukan eksplorasi diagnostik berupa endoskopi untuk menyingkirkan
penyebab organik.
Daftar Pustaka
1. American Cancer Society. Cancer Facts & Figures, 2018. Diunduh dari
(https://www.cancer.org/content/dam/cancer-org/research/cancer-facts-and
statistics/annual-cancer-facts-and-figures/2018/cancer-facts-and-figures-
2018.pdf).
2. Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2016. Panduan Penatalaksanaan
Limfoma Non-Hodgkin. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
3. Setioyohadi, B, 2009. Limfoma Non-Hodgkin. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam II. Ed V. Jakarta. P: 1251-60
4. Chiu B.CH., Hou N, 2015. Epidemiology and Etiology of Non-Hodgkin
Lymphoma. In: Evens A., Blum K. (eds) Non-Hodgkin Lymphoma. Cancer
Treatment and Research. Springer, Cham. Vol. 165. P:1-25.
5. Hoffbrand A.V., Moss P.A.H, 2016. Hoffbrand’s Essential Haematology. Ed
VII. Wiley-Blackwell. P:214-25
6. Bakta IM, 2007. Limfoma Maligna. Hematologi Klinik Ringkas. Cetakan I.
Jakarta. EGC. P:192- 219.
7. Nogai, H et al. 2011. Pathogenesis of Non-Hodgkin’s Lymphoma. Journal
of Clinical Oncology. Vol 29 (14). P: 1803-11
8. Azzahro AW, Mahmuda INN, 2020. Tantangan Dalam Diagnosis dan
Manajemen Kasus DVT Persisten. Bagian Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah. Surakarta P: 61-9.
9. JCS Guideline, 2011. Guidelines for the Diagnsosis, Treatment and
Prevention of Pulmonary Thromboembolism and Deep Vein Thrombosis.
Circ J. Vol. 75. P:1258- 81.
10. Kaushansky K, Lichtman MA, Prchal JT, Levi MM, Press OW, Burns L, et
al, 2016. Williams Hematology. Ed 9th. New York; McGraw-Hill.
11. Kruger PC, Eikelboom JW, Douketis JD, Hankey GJ, 2019. Deep Vein
Thrombosis: Update On Diagnosis And Management. MJA. P: 516-24.
36