2
3
keterangan :
1. Sel sentroblast
2. Sentrosit
3. Imunoblastik
4. Limfosit
1.1.2.Gambar histologist
1.1 definisi
Limfoma Non-Hodgkin (LNH) merupakan suatu keganasan pada sel limfosit T
maupun sel limfosit B yang sudah matur di dalam kelenjar getah bening atau sistem getah
bening secara keseluruhan.
1.3 patogenesis
Normalnya, ketika tubuh terpajan oleh zat asing, sistem kekebalan tubuh seperti
sel limfosit T dan B yang matur akan berproliferasi menjadi suatu sel yang disebut
imunoblas T atau imunoblas B. Pada LNH, proses proliferasi ini berlangsung secara
berlebihan dan tidak terkendali. Hal ini disebabkan akibat terjadinya mutasi pada gen
limfosit tersebut. Proliferasi berlebihan ini menyebabkan ukuran dari sel limfosit itu tidak
lagi normal, ia membesar, kromatinnya menjadi lebih halus, nukleolinya terlihat, dan
protein permukaan selnya mengalami perubahan. Hingga jadilah ia sel limfosit yang
ganas.
1.5 diagnosis
Untuk mendiagnosis LNH, pada anamnesis ditemukan gejala-gejala yang
bersangkutan, selain itu juga ditanyakan riwayat penyakit keluarga, riwayat pemakaian
obat, penyakit infeksi, kelainan darah, atau penyakit auto imun.Pada pemeriksaan fisik
didapatkan pembesaran KGB atau bisa juga disertai kelainan/ pembesaran organ.
a. Stadium I
Terserang satu Kelenjar Getah Bening pada daerah tertentu (I) atau ekstra
limfatik (IE)
b. Stadium II
Terserang lebih dari satu Kelenjar Getah Bening di daerah atas diafragma (II) atau
terserang ekstra limfatik dan lebih dari satu Kelenjar Getah Bening diatas
diafragma (IIE)
c. Stadium III
Terserang Kelenjar Getah Bening diatas dan dibawah diafragma (III) atau disertai
limpoma pada ekstra limfatik (IIIE), spken (IIIS) atau keduanya (10 SE)
d. Stadium IV
Tumor tersebar menyeluruh pada organ ekstra limfatik dengan terlibat Kelenjar
Getah Bening
1. USG
2. Foto thorak
4. Pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan Hb, Dl, pemeriksaan uji fungsi hati / ginjal
secara rutin).
5. Laparatomi
1.7 penatalaksanaan
Untuk terapi pasien LNH, tergantung tipe, stadium, usia dan kondisi kesehatan
organ lainnya. Untuk LNH indolen yang tidak menunjukkan gejala (asimptomatik),
cukup dilakukan observasi pada pasien dan jika menunjukkan gejala (simptomatik), pada
stadium I maupun II, pilihan terapi utamanya adalah radioterapi.
Untuk LNH indolen stadium III dan IV, jika proliferasi selnya lambat, bisa diberi
kemoterapi dengan obat chlorambucill cyclophosphamid oral, jika cepat dan
jangkauannya luas dapat diberikan CVP, C-MOPP atau BACOP.
Untuk LNH agresif, terapi yang diberikan adalah kemoterapi kombinasi dosis
tinggi.Radioterapi terkadang juga digunakan.
Terapi lain yang bisa digunakan adalah transplantasi sumsum tulang dan
transplantasi sel induk, serta terapi dengan imunomodulator seperti interferon yang
dikombinasi dengan kemoterapi untuk memperpanjang remisi, akan tetapi masih
kontroversial. Dari ke semua terapi tersebut, perlu juga dipetimbangkan efek samping
yang mungkin ditimbulkan.
1.8 prognosis
Prognosis LNH sangat beragarm, akan tetapi faktor utama yang menentukan adalah
tipe dari LNH itu sendiri. Secara internasional, prognosis ditetapkan melalui International
Prognostik Index (IPI), dengan spesifikasi sebagai berikut:
2.2 etiologi
Penyebab penyakit Hodgkin ini belum jelas. Diduga disebabkan oleh virus
Epstein-Barr, yang berawal dari satu kelenjar getah bening dan menyebar ke
sekitarnya secara perkontinuitatum. Jarang menyerang organ-organ ekstranodal
seperti lambung, testis dan tiroid.
2.3 patogenesis
Penyakit Hodgkin merupakan tumor ganas yang mengandung kedua jenissel jaringan
limfoid yaitu limfosit dan retikulurn.Dalam perkembangannyaterdapat pertumbuhan sel
Daltia. Terbentuknya sel Datia ini meialui prosesmitosis amitotic dan transformasi sel-sel
retikulum yang tersusun seperti biji kopi ciri khas nya adalah dua inti yang berbayangan
cermin yang masing-masingmengandung nucleolus asidofil besar yang dikelilingi oleh
zona yang jernih, memberikan gambaran seperti mata burung hantu atau dikenal dengan
Lacunar Cell" yaitu varient dari sel Reed Sternberg.
2.4 klasifikasi
a. Granuloma Hodgkin
Bentuk rnirip dengan radang menahun (granulornatosa) . Prognosanya buruk,
penderita meninggal dalam waktu 7 tahun
Mikroskopis:
Terlihat fibrosit yang luas dengan sebukan granulosit terutama eosinoltil,
limfosit, dan sel plasrna. lferdapat juga sel retikulurn (histiosit). Sel Reed
Sternberg paling banyak ditemukan. Sering terlihat daerah nekrosis
b. Sarkoma Hodgkin
Merupakan lanjutan dari granuloma dan para granuloma.ditemukan pada usia 16
tahun, dengan perbandingan pria dan wanita salna. Gambaran histologinya mirip
dengan sarcoma sel retikulum.Pertumbuhan pada sarcorna Hodgkin lebih cepat
dibanding bentuk penyakit Hodgkin lainnya.
Mikroskopis:
Terdiri dari sel-sel yang uniform. Tanda-tanda keganasan sangat jelasyaitu: sel besar
besar, sitoplasma banyak, nucleolus jelas dan banyakditemukan mitosis. Prognosa
sangat buruk dan harapan hidupsingkat Seiring dengan perjalanan penyakit bentuk
granuloma dan paragranulomaberkembang menjadi bentuk yang lebih ganas yaitu
sarcoma.
2.5 manifestasi klinis
Gejala utama adalah pembesaran kelenjar yang paling sering dan mudah dideteksi
adalah pembesaran kelenjar di daerah leher.Pembesaran di daerah dadaatau abdomen
lebih susah'dideteksi. Gejala laintergantung pada lokasi dan organ yang diserang. Pada
tipe gana (prognosa jelek) dan stadium lanjut sering disertai gejala sistemik yaitu:
1. Panas yangtidakjelas sebabnya
2. Pruritus
3. Berkeringat malam
4. Penurunan berat badan sebesar 10% selama 6 bulan.
5. Kadang-kadang kelenjar terasa nyeri saat penderita minum alcohol
2.6 diagnosa
a. Foto thorak, dipergunakan untuk menentukan keterlibatan kelenjar getah
bening mediastinum
b. Limfangiografi dan cr-Scan, bermanfaat dalam menegakkan diagnosa.
Limfangiografi menunjukkan perincian kelenjar yang lebih besar,
sedangkan CT-Scan mencakup daerah yang lebih lebar
c. USG: Banyak dipergunakan untuk melihat pembesaran kelenjar getah
bening di paraaorta dan sekaligus menuntun biopsy aspirasi jarurn halus
untuk konfinnasi sitologi
d. Laparatorni
Sering dilakukan untuk melihat kondisi kelenjar getah bening di iliaka dan
mesenterium dengan tujuan untuk menentukan stadium. Tapi sekarang
tindakan laparatomi tidak diperlukan lagi dengan adanya USG dan sitologi
biopsy aspirasi jarum halus
Stadium I
Keterlibatan daerah nodus tunggal (I) atau daerah ekstra nodus tunggal (IE).
Stadium II
Keterlibatan dua atau lebih daerah nodus pada sisi yang sama pada diafragma
atau keterlibatan yang terlokalisir dari organ ekstra nodus pada sisi yang
sama dari diafragma
Stadium III
Keterlibatan daerah nodus pada kedua sisi diafragma,hanya anodus
abdomen atas dan limfa terlibat), baik nodus atas maupun bawah
terlibat keterlibatan daerah ekstra nodus tunggal atau organ lain
sebagai penambahan atau mencakup limfa atau keduanya
Stadium IV
Keterlibatan satu atau lebih organ atau jaringan ekstralimfatik secara
menyebar, dengan atau tanpa pembesaran nodul limfatik.
2.7. prognosis
Stadium I dan II prognosa lebih baik dibandingkan stadium III dan IV.
Penyakit Hodgkin tipe sclerosis nodular prognosanya baik khususnya yang
mengenai daerah mediastinum pada wanita. Penyakit Hodgkin tipe predominan
limfosit jugd mempunyai prognosa yang baik dibandingkan dengan tipe selularitas
campuran atau tipe limfosit sedikit.
Gejala-gejala B, anemia, LED yang tinggi dan hitung limfosityang rendah
merupakan ciri-ciri prognosa yang buruk. Secara keseluruhan remisi lengkap
terjadi pada80% kasus, dan sekitar 60% masih hidup dalam keadaan sehat setelah
10 tahun
3. mycosis fungoides
Sel T yang
menginfiltrasi
epidermis dan dermis
Terbentuk mikroabses
pautrier disepanjang
basal epidermis.
Zat Kimia, iritasi fisik, dan mikroba sebagai penyebab limfoma sel-T kulit (CTCL) atau
mikosis fungoides (MF), tetapi bukti yang terkait dengan etiologi tidak meyakinkan. Mereka
mungkin memainkan peran antigen persisten , yang, dalam proses bertahap, menyebabkan
akumulasi mutasi pada onkogen, gen supresor, dan gen sinyal-transducing. Berbagai teori
juga melibatkan eksposur pekerjaan atau lingkungan (misalnya, Agen Oranye).
3.3 Pathogenesis
Dari semua limfoma kulit primer , 65 % adalah dari jenis sel-T . Imunofenotipe paling
umum adalah CD4 positif . Mikosisfungoides adalah limfoma ganas yang ditandai dengan
perluasan tiruan dari CD4 + ( atau pembantu ) sel memori T ( CD45RO + ) terdapat pada
kulit .Sel-sel T kulit normal dan ganas pada kulit melalui interaksi dengan sel endotel
kapiler dermal . Sel T kulit mengekspresikan kulit limfosit antigen ( CLA ) , sebuah molekul
adhesi yang menengahi tethering dari limfosit T pada sel endotel dalam venula postcapillary
kulit melalui interaksinya dengan E selektin .
Ruam kulit pada mikosis fungoides dapat terdiri dari patch, plak, atau tumor, yang
mungkin memiliki sejarah alam yang panjang. Durasi rata-rata dari timbulnya gejala kulit
untuk diagnosis adalah 6 tahun.Pada awal perjalanan fungoides mikosis, serta dalam kasus
eritroderma, lesi kulit mungkin tidak spesifik, dengan hasil biopsi nondiagnostic, sehingga
kebingungan dengan kondisi jinak adalah umum (misalnya, eksim, neurodermatitis, sindrom
pseudolymphoma).Mendapatkan biopsi diulang pada pasien yang memiliki dermatosis
kronis progresif atau yang kondisinya refrakter terhadap pengobatan topikal.Pada pasien
yang hadir dengan pruritus atau eritroderma, diagnosis mikosis fungoides sering
dimungkinkan melalui pemeriksaan situs noncutaneous (misalnya, darah, kelenjar getah
bening).
3.5 pemeriksaan
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan : Patch dan plak, tumor kulit, Eritroderma
(dermatitis exfolliative), limfadenopati. Sehingga perlu untuk kejelian lebih untuk
menilai klinis.
3.6 Penatalaksanaan
Pengobatan lain . Jika daerah luas yang terpengaruh, atau jika gejala tidak terkontrol ,
maka perawatan lain dapat dipertimbangkan .
3.7 prognosis
Ket :
Massa berbatas tegas dan berkapsul, dengan diameter 1 cm berwarna putih kecoklatan.
Pembesaran Besar
Ket :
: Folikel limfa nodus dengan germinal pusat yang mengandung limfosit yang
banyak yang melakukan aktivasi sitokin.
: Sinus Subscapular.
4.1 Epidemiologi
Peradangan kronis pada kelenjar limfe yang bersifat non-spesifik seringkali disebabkan oleh
suatu radang yang tidak spesifik atau tidak diketahui sebabnya.Limfadenitis kronik spesifik
biasanya disebabkan oleh infeksi kronis yang spesifik seperti tuberculosis, sifilis dan
toxoplasma.Diagnosis penyakit tergantung pada hasil pemeriksaan histologist dan
mikrobiologis dari jaringan kelenjar limfe ini (Ulfat, Shaikh 2010).
4.2 Etiologi
Lymphadenitis hampir selalu dihasilkan dari sebuah infeksi, yang kemungkinan disebabkan
oleh bakteri, virus, protozoa, ricketsia, atau jamur. Ciri khasnya, infeksi tersebut menyebar
menuju kelenjar getah bening dari infeksi kulit, telinga, hidung, atau mata atau dari beberapa
infeksi seperti infectious mononucleosis, infeksi cytomegalovirus, infeksi streptococcal,
tuberkulosis, atau sifilis. Infeksi tersebut bias mempengaruhi kelenjar getah bening atau
hanya pada salah satu daerah pada tubuh (Ulfat, Shaikh 2010).
4.3 Pathogenesis
- Follicular hyperplasia
Pola ini berkaitan dengan infeksi atau proses peradangan yang mengaktifkan sel B. Sel B
dalam berbagai tahap diferensiasi berkumpul di dalam pusat germinativum besar atau
oblong. Temuan yang menunjang diagnosis hiperplasia folikel adalah dipertahankannya
arsitektur kelenjar getah bening dengan jaringan limfoid normal di antara pusat
germinativum, nodus limfoid yang ukuran dan bentuknya sangat bervariasi, populasi
campuran limfosit pada tahap diferensiasi yang berbeda dan aktivitas fagositik dan
mitotik yang menonjol di pusat germinativum.( Aster, JC, 2007)
- Paracortical lymphoid hyperplasia
Pola ini ditandai dengan perubahan reaktif di dalam regio sel T kelenjar getah bening.Sel
T parafolikel mengalami ploriferasi dan transformasi menjadi menjadi imunoblast yang
mungkin menyebabkan lenyapnya folikel germinativum. Hyperplasia limfoid para
korteks terutama ditemukan pada infeksi virus atau setelah vaksinasi cacar, dan pada
reaksiimun yang dipicu oleh obat tertentu.( Aster, JC, 2007)
- Sinus histiocytosis
Pola reaktif ini ditandai dengan peregangan dan menonjolnya sinusoid limfe akibat
hipertrofi hebat sel endotel yang melapisinya dan infiltrasi oleh histiosit.Histiosit sinus
sering ditemukan pada kelenjar getah bening yang merupakan draina sel kanker dan
mungkin mencerminkan respons imun terhadap tumor atau produknya. (Aster, JC, 2007)
4.4 Tanda dan Gejala
Limfo nodus yang terinfeksi membesar dan biasanya lunak dan sangat menyakitkan.Kulit di
sepanjang kelenjar yang terinfeksi tampak merah dan terasa hangat.Orang tersebut bisa
mengalami demam dan kantung atau nanah (abses) terbentuk. Kelenjar tubuh yang membesar
yang tidak menyebabkan nyeri, atau kemerahan bias mengindikasikan gangguan serius
lainnya, seperti lymphoma, tuberculosis, atau Hodgkin lymphoma.( Ulfat, Shaikh 2010)
4.5 Pemeriksaan
- Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik diperiksa dan dirasakan pembesaran nodus limfa serta melihat
tanda injury dan infeksi disekitar nodus imfa yang bengkak. Biasanya, lymphadenitis bisa
didiagnosa berdasarkan gejala-gejala dasar, dan hal itu menyebabkan infeksi sekitarnya
yang nyata.( Ulfat, Shaikh 2010)
- Pemeriksaan Penunjang
Ketika penyebab tidak dapat diidentifikasi dengan mudah, biopsi dan kultur
kemungkinan diperlukan untuk memastikan diagnose dan untuk mengidentifikasikan
organism penyebab infeksi.( Ulfat, Shaikh 2010)
4.6 Penatalaksanaan
- Medika Mentosa
Pengobatan tergantung pada organisme yang menyebabkan infeksi. Untuk infeksi bakteri,
antibiotic biasanya diberikan secara infuse atau per oral. Analgesic digunakan dengan
tujuan untuk mengontrol nyeri, sedangkan NSAID digunakan untuk mengurangi
inflamasi dan nyeri.( Ulfat, Shaikh 2010)
- Non Medika Mentosa
Kompres air hangat bias membantu mengurangi rasa sakit pada peradangan batang getah
bening. Kadang kala batang yang membesar tetap kuat tetapi tidak lagi terasa lunak.
Abscesses harus dikeringkan dengan cara operasi.( Ulfat, Shaikh 2010)
4.7 Prognosis
Penanganan yang sesuai dengan antibiotic sering berakhir dengan kesembuhan
total.Bagaimanapun, dibutuhkan berminggu-minggu sampai berbulan-bulan untuk
menghilangkan bengkaknya.Waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan bergantung pada
penyebabnya. (Ulfat, Shaikh 2010)
5.METASTATIC UNDIFFERENTIATED CARCINOMA OF THE LYMPHOID
ORGAN
5.1 Mikroskopik
Adanya sarang
tumor disekitar
jaringan limpoid
5.2 Etiologi
Kanker dimulai ketika satu atau lebih mutasi genetik menyebabkan sel-sel normal untuk
tumbuh di luar kendali, menyerang struktur di sekitarnya dan akhirnya menyebar
(metastasis) ke bagian lain dari tubuh.Pada karsinoma nasofaring, proses ini dimulai pada
sel-sel skuamosa yang melapisi permukaan nasofaring.
Persis apa yang menyebabkan mutasi gen yang menyebabkan karsinoma nasofaring tidak
diketahui, meskipun faktor-faktor, seperti virus Epstein-Barr, yang meningkatkan risiko
kanker ini telah diidentifikasi. Namun, tidak jelas mengapa beberapa orang dengan semua
faktor risiko tidak pernah mengembangkan kanker, sementara yang lain yang tidak memiliki
faktor risiko yang jelas lakukan.(9)
5.3 Patogenesis
Deteksi virus Epstein-Barr (EBV) antigen nuklir dan DNA virus pada karsinoma
nasofaring telah mengungkapkan bahwa EBV dapat menginfeksi sel-sel epitel dan
berhubungan dengan transformasi ganas mereka. Salinan genom EBV telah ditemukan
dalam sel-sel preinvasive lesi, menunjukkan bahwa itu secara langsung berkaitan dengan
proses transformasi(9)
Pada tahap awal, karsinoma nasofaring mungkin tidak menimbulkan gejala apapun. Gejala
terlihat kemungkinan karsinoma nasofaring antara lain:
Sebuah benjolan di leher yang disebabkan oleh kelenjar getah bening bengkak
5.5 Pemeriksaan
Setelah diagnosis dikonfirmasi, perintah dokter Anda tes lainnya untuk menentukan
tingkatan (tahapan) dari kanker, seperti tes pencitraan. Tes pencitraan mungkin termasuk
computerized tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI), positron emission
tomography (PET) dan X-ray.(9)
Setelah dokter telah menentukan sejauh mana kanker Anda, angka Romawi yang
menandakan tahap yang ditugaskan. Tahap ini digunakan bersama dengan beberapa faktor
lain untuk menentukan rencana pengobatan dan prognosis Anda. Sebuah angka yang lebih
rendah berarti kanker kecil dan terbatas pada nasofaring. Sebuah angka yang lebih tinggi
berarti kanker telah menyebar ke luar nasofaring ke kelenjar getah bening di leher atau ke
area lain dari tubuh. Tahapan berbagai kanker nasofaring dari I sampai IV.(9)
5.6 Penatalaksanaan
Terapi radiasi
menggunakan sinar energi bertenaga tinggi, seperti sinar-X, untuk membunuh sel kanker.
Terapi radiasi untuk karsinoma nasofaring biasanya diberikan dalam prosedur yang
disebut radiasi sinar eksternal. Selama prosedur ini, Anda diposisikan di atas meja dan
mesin besar yang bermanuver di sekitar Anda, mengarahkan radiasi ke tempat yang tepat
di mana ia dapat menargetkan kanker Anda.
Kemoterapi
adalah pengobatan obat yang menggunakan bahan kimia untuk membunuh sel kanker.
Obat kemoterapi dapat diberikan dalam bentuk pil, diberikan melalui vena atau
keduanya.(9)
5.6 Prognosis
Prognosis (kesempatan pemulihan) dan pilihan pengobatan tergantung pada hal berikut:
Stadium kanker (apakah itu mempengaruhi bagian dari nasofaring, melibatkan seluruh
nasofaring, atau telah menyebar ke tempat lain di dalam tubuh).
Jenis kanker nasofaring.
Ukuran tumor.
Usia pasien dan kesehatan umum.(9)
DAFTAR PUSTAKA
American Cancer Society 2010,’ Non Hodgkin Lymphoma’, American Cancer Society,viewed
19 Maret 2012, from <www. Cancer.org>
Aster, JC 2007, “The Hematopoietic and Lymphoid System” dalam Vinay Kumar, et all,
Robbins Basic Pathology 8th edition, Elseiver, Philadelphia, pp. 456-459.
Aster, JC 2007, “Sistem Hematopoietik dan Limfoid” dalam Vinay Kumar, et all, Buku Ajar
Patologi Robbin, ed. 7, vol 2, EGC, Jakarta. pp. 484-489.
Densen, W 2008, Buku Ajar Onkologi Klinis, ed.2, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Hoffbrand, AV, Pettit, JE, Moss, PAH2005, Kapita Selekta Hematologi, EGC, Jakarta.
Klatt, EC 2006, Robbins and Cotran Atlas of Pathology International edition, Elseiver,
Philadelphia.
Owera, R 2008, “ Hodgkin Lymphoma” dalam Paul G. Schmitz (eds), Internal Medicine : Just
The Fact, Mc Graw Hill, Singapore, pp.416-419.
Reksodiputro,AH, Irawan, C 2009, ‘ Limfoma Non- Hodgkin (LNH), dalam Aru, W Sudoyo, et
all, Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam jilid II, ed. V, InternaPublishing, Jakarta, pp.1251-
1261.
Santoso, M, Krisifu, C 2004, ‘Diagnostik dan Penatalaksanaan Limfoma Non Hodgkin’, Dexa
Media, vol. 17, no.4, pp. 143-146, viewed 19 Maret 2012, from <
http://firm4n.files.wordpress.com/2007/03/lnh.pdf>
Sumantri, R 2009, ‘ Penyakit Hodgkin’, dalam Aru, W Sudoyo, et all, Buku Ajar Ilmu Penyakit
dalam jilid II, ed. V, InternaPublishing, Jakarta, pp. 1262-1265.
Toledo, JS 2004, “Hodgkin’s Disease”, Orphanet, pp. 119-129, viewed 19 Maret 2012, from
<http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-Hodgk.pdf>
Ulfat, Shaikh 2010, Lymphadenitis, viewed on 22 March 2012, accesed from
<http://emedicine.medscape.com/article/960858>.