PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Limfoma (kanker kelenjar getah bening) merupakan bentuk keganasan dari sistem limfatik
yaitu sel-sel limforetikular seperti sel B, sel T dan histiosit sehingga muncul istilah limfoma malignum
(maligna = ganas). Ironisnya, pada orang sehat sistem limfatik tersebut justru merupakan komponen
sistem kekebalan tubuh. Ada dua jenis penyakit yang termasuk limfoma malignum yaitu penyakit
Hodgkin (PH), yang diderita sang rocker, dan limfoma non Hodgkin (LNH). Keduanya dibedakan
berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi dimana pada PH ditemukan sel Reed Sternberg.
Sifat LNH lebih agresif dan jumlah penderitanya lebih banyak dibandingkan PH bahkan terus
meningkat setiap tahun seiring semakin banyaknya kasus HIV. Oleh karena itu, dalam edisi ini
Farmacia lebih khusus membahas LNH.
The American Cancer Society memperkirakan terdapat 53.600 kasus baru setiap tahun dan
23.800 di antaranya meninggal dunia akibat LNH pada tahun 1997. Di Indonesia, menurut Prof Dr dr
Arry Haryanto SpPD KHOM, LNH menduduki peringat ke-6 kanker terbanyak.
LNH lebih sering diderita pada usia lanjut dengan usia pertengahan (median) 50 tahun. Laki-
laki lebih sering menderita LNH daripada perempuan dengan rasio 2:1. Insidennya meroket tiap
tahun sekitar 3-4% dan 4 kali lebih banyak daripada PH. Jenis LNH yang paling sering diderita pada
anak-anak adalah limfoma Burkitt sedangkan pada dewasa muda adalah limfoma limfoblastik
keganasan tinggi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Jelaskan apa saja tentang limfoma maligna?
1.3 Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah pembaca dapt mengerti dan paham mengenai
penyakit limfoma maligna dan pengaplikasiannya dalam asuhan keperawatan
1.4 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Limfoma maligna, berlainan dengan leukemia, merupakan transformasi neoplastik sel yang
terutama berada di jaringan limfoid. Dua farina utama limfoma maligna adalah limfoma non-Hodgkin
dan penyakit Hodgkin. Walaupun kedua tumor ini menyebuk organ retikuloendotel, secara biologis
dan klinis keduanya berbeda.
Limfoma (kanker kelenjar getah bening) merupakan bentuk keganasan dari sistem limfatik
yaitu sel-sel limforetikular seperti sel B, sel T dan histiosit sehingga muncul istilah limfoma malignum
(maligna = ganas).
Dalam kondisi normal, sel limfosit merupakan salah satu sistem pertahanan tubuh.
Sementara sel limfosit yang tidak normal (limfoma) bisa berkumpul di kelenjar getah bening dan
menyebabkan pembengkakan. Sel limfosit ternyata tak cuma beredar di dalam pembuluh limfe, sel
ini juga beredar ke seluruh tubuh di dalam pembuluh darah karena itulah limfoma bisa juga timbul di
luar kelenjar getah bening. Dalam hal ini, yang tersering adalah di limpa dan sumsum tulang. Selain
itu, bisa juga timbul di organ lain seperti perut, hati, dan otak.
Limfoma maligna merupakan bagian dari penyakit pada klien yang mengalami masalah pada
hematologi.Limfoma maligna merupakan penyakit keganasan primer dari jaringan limfoid yang
bersifat padat (solid) meskipun kadang-kadang dapat menyebar secara sistemik
1. Penyakit Hodgkin
2.3 Limfoma Hodgkin
A. Pengertian
Limfoma hodgin merupakan limfoma yang khas ditandai oleh adanya sel reed Sternberg
dengan latar belakang sel-sel radang pleomorf
B. Epidimiologi
Limfoma hodgin merupakan penyakit yang relative jarang dijumpai, hanya merupakan 1 %
dari seluruh kanker. Dinegara barat insidennya dilaporkan 3,5/100.000/ tahun pada laki-laki dan
2,6/100.000/tahun pada wanita. Di Indonesia belum ada laporan angka kejadian limfoma hodgin,
berdasarkan jenis kelamin LImfoma Hodgkin lebih banyaka pada laki-laki dengan perbandingan 1,2:
1. Penyakit limfoma hodgin terutama ditemukan pada orang dewasa muda antara usia 18-35 tahun
dan pada seseorang di atas 50 tahun
C. Etiologi
Penyebab limfoma Hodgkin sampai saat ini tidak diketahui secara pasti, namun salah satu
yang paling dicurigai adalah virus Epstein-barr. Biasanya dimulai pada satu kelenjar getah bening dan
menyebar ke sekitarnya secara per kontiunatum atau melalui sistem saluran kelenjar getah beningke
kelenjar-kelenjar sekitarnya. Meskipun jarang sesekali menyerang juga organ-organ ekstranodal
seperti lambung, testis. dan tiroid, pada penemuan statistik, penyakit ini didapatklan pada kelas
sosioekonomi lebih tinggi dan insidennya meningkat pada keluarga dengan riwayat penyakit Hodgkin
D. Klasifikasi
Pada umumnya limfoma Hodgkin diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi RYE yang membagi
penyakit Hodgkin menjadi 4 golongan
Ø Pada tipe ini limfodit kecil merupakan sel latar belakang yang domnan, hanya sedikit sel R-S yang
dijumpai
Ø Jumlah sel R-S mulai banyak dijumpai dalam jumlah seimbang dengan limfosit
Ø Kurang dari 5% limfoma Hodgkin tetapi merupakan tipe yang paling agresif
Ø Sebagian besar terdiri dari atas sel R-S sedangkan limfosit jarang sekali ditemui
Ø Tiep ini merupakan tipe yang paling sering dijumpai yaitu 40-69 % dari seluruh penyakit Hodgkin
E. Gejala Klinis
1. Gejala utama adalah pemebesaran kelenjar yang terserimg dan termudah terdeteksi adalah
pembesaran kelenjar didaerah leher
2. Gejala selanjutnya bergantung pada lokasi penyakit dan organ-organ yang diserang. Pada jenis ganas
dan penyakit yang telah dalam stadium lanjut sering di\sertai gejala-gejala sistemik, yaitu : demam
yang tidak jelas penyebabnya, berkeringat malam, dan penurunan berat badan sebesar 10 % selama
6 bulan. Kadang-kadang kelenjar terasa nyeri bila klien minum alcohol
3. Hampir semu sistem dapat diserang penyakuit ini, seperti saluran pencernaan, pernafasan,
persarafan, dan vaskularisasi
F. Tingkatan Penyakit
Stadium II Penyakit menyerang dua atau lebih KGB pada satu sisi diafragma (atas
atau bawah diafragma); atau satu organ ekstralimfatik dan satu atau lebih
KGB pada satu sisi diafragma (IIE)
Stadium III Penyakit menyerang KGB pada kedua sisi diafragma, yang dapat disertai
dengan keterlibatan limpa (IIIS) atau terlokalisasi pada satu organ
ekstralimfatik (IIIE) atau keduanya (IIISE)
Stadium IV Penyakit menyerang KGB secara difus mengenai satu atau lebih organ
ekstralimfatik, dengan atau tanpa disertai keterlibatan pada KGB
Ø Laboratorium: darh rutin, faal hati, faal ginjal, dan fosfatase alkali
Ø bipedal lymphangiograhy
H. Pemeriksan Penunjang
1. Secara patologis anatomi didapatkan gambaran khas yang merupakan gambaran sel keganasan
Ø Sel reed strenberg: merupakan sel R-S, ukuran besar, serta berinti banyak dan polipoid
Ø Sel Hodgkin : H-cell yang merupakan sel pre-Sternberg lacunar
- Varian L dan H
- Varian pleomorf
2. Pada pemeriksaan daerah didapatkan anemia yang bersifat normositer normokromik, leukositos
moderat yang disebabkan oleh netrofilia, limfopenia, laju endap darah meningkat, serta LDH
(Lactate dehydrogenase serum) meningkat
I. Penatalaksanaan
1. Radioterapi
a. Merupakan moalitas terapi utamauntuk penyakit Hodgkin yang terlokalisasi derajat I dan II. Dosis
radiasi adalah 4000-5000 rad
b. Diberikan dengan tekhnik penyinaran extended field (lesi di atas atau di bawah diafragma) atau total
nodal irradiation (TNI) untuk lesi di atas dan di bawah diafragma
2. Kemoterapi
Merupakan pilihan utama untuk penyakit derajat III dan IV. Kombinasi yang paling utama
digunakan adalah sebagai berikut :
a. Regimen MOPP
b. Regimen ABVD
Ø Dacar
Komplikasi
3. Komplikasi yang dialami pasien dengan limfoma maligna dihubungkan dengan penanganan dan
berulangnya penyakit. Efek-efek umum yang merugikan berkaitan dengan kemoterapi meliputi :
alopesia, mual, muntah, supresi sumsum tulang, stomatitis dan gangguan gastrointestinal. Infeksi
adalah komplikasi potensial yang paling serius yang mungkin dapat menyebabkan syok sepsis. Efek
jangka panjang dari kemoterapi meliputi kemandulan, kardiotoksik, dan fibrosis pulmonal.
4. Efek samping terapi radiasi dihubungkan dengan area yang diobati. Bila pengobatan pada nodus
limfa servikal atau tenggorok maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut : mulut kering, disfagia, mual,
muntah, rambut rontok, dan penurunan produksi saliva.Bila dilakukan pengobatan pada nodus limfa
abdomen, efek yang mungkin terjadi adalah muntah, diare, keletihan, dan anoreksia
Limfoma non Hodgkin merupakan suatu kelompok penyakit heterogen yang didefinisikan
sebagai keganasan jaringan limfoid selain penyakit Hodgkin
B. Insidens
Lebih dari 45.0000 klien didiagnosa sebagai limfoma non Hodgkin (LNH) setiap tahun di
Amerika serikat. Di Indonesia frkuensi relative LNH jauh lebih tinggi dibandingkan dengan limfoma
Hodgkin
C. Etiologi
Ø Virus Epstein-Barr yang berhubunga dengan limfoma burkitt (sebuah penyakit yang ditemukan di
Afrika)
D. Kalsifikasi
Klasifikasi KIEl membagi LNH menjadi dua golongan besar berikut ini :
Kalsifikasi Kiel sudah menyesuaikan dengan kompartmen dari kelenjar getah bening serta
membedakan asal sel, apakah dari limfosit B atau limfosit T
Menurut Hariyanto, penentuan derajat penyakit LNH di bagi menjadi empat tahap berikut
1. Tahap I
a. Pengambilan riwayat penyakit yang cermat
Ø hemogram lengkap
Ø torak PA
e. Fine needle aspiaration pada klenjar getah bening yang dicurigai pada sisi lain diafragma
2. Tahap II
pada penderita dengan dugaan stadium I derajat keganasan tinggi atau stadium I dan II
derajat keganasan menengah dilakukan biopsy summsum tulang bilateral
3. Tahap III
Penderita dengan stadium I derajat keganasan tinggi atau stadium I dan II derajat keganasan
menengah dilakukan penelitian radiologi traktus gastrointestinal
4. Tahap IV
F. Gejala Klinis
Gejala klinis yang dirasakan pada sebagian besar klien asimptomatik adalah
7. Anemia infeksi dan perdarahan dapat dijumpai pada kasus yang mengenai sumsum tulang secara
difus
G. Pemeriksaaan diagnsotik
2. Pemeriksan kromosom : adanya kelainan yang khas (limfoma burkitt’s. follicular limfoma)
4. Pemeriksan pertanda imunologis : untuk menentukan jenis sel (sel T atau B) serta perkembangannya
H. Penatalaksanaan
1. Radioterapi
LNH sangat radiosensitive, radio terapi ini dapt dilakukan untuk penyakit local, stadium I limfoma
indolendan untuk tujuan paliatif pada stadium lanjut
2. Kemoterapi
Ø LNH indolen derajat ringan dengan menggunakan klorambusil atau siklofosfamid dengan atau tanpa
prednisone
5. Kemoterapi dosis tinggi dengan memakai peripheral blood stem cell transplantation
6. Terapi dengan imunomodulator, terapi yang dilakukan dengan interferon dikombinasikan dengan
kemoterapi
Alternatif:
Asimtomatik atau bulk kecil:
Total-body irradiation
Prognosis pasien secara umum baik. Bila lesi terlokalisasi dan pasien tidak mempunyai gejala
khas sel B, radioterapi menjadi pilihan utama. Jenis radioterapinya adalah radiasi lapangan terbatas
(involved field radiotherapy/IFRT) dengan dosis 35-45 Gy dalam 10-20 fraksi selama 2-4 minggu.
Angka ketahanan hidup 5 tahun pada pasien dengan stadium 1 dan 2 yang ditatalaksana
dengan radioterapi adalah sekitar 70%. Kebanyakan kekambuhan terjadi pada daerah yang tidak
diradiasi.
Alternatif terapi yang lain adalah hanya melihat dan menunggu (watch-and-wait) sampai
penyakit menunjukkan progresifitas atau dengan menggunakan kemoterapi saja. Kemoterapi yang
diberikan adalah klorambusil atau siklofosfamid. Pada stadium terbatas keganasan rendah,
kemoterapi adjuvan diikuti radiasi akan menurunkan risiko kekambuhan.
Radiasi total KGB (total lymphatic irradiation/TLI) tidak digunakan pada stadium I dan II
karena belum ada bukti yang mendukung bahwa TLI lebih baik daripada IFRT.
Penatalaksanaan pada stadium lanjut keganasan rendah masih kontroversial. Ada yang
hanya melihat dan menunggu tetapi ada juga yang memberikan kemoterapi tunggal atau malah
gabungan kemo-radioterapi.
Terapi pada stadium III keganasan rendah meliputi IFRT dengan dosis rendah atau
menggunakan regimen tunggal alkylating agent seperti klorambusil atau siklofosfamid. Selain itu TLI
dosis tinggi juga dapat dilakukan bahkan dapat menurunkan kejadian kekambuhan dan
meningkatkan angka ketahanan hidup. Radiasi total tubuh (total body irradiation/TBI) dapat
dilakukan sebagai terapi paliatif. Dosis TBI yang dianjurkan adalah 1-1,5 Gy dengan 10cGy tiap fraksi,
5 fraksi tiap minggu, diikuti masa vakum (tidak dilakukan radiasi) selama 2-3 minggu, kemudian
ditambah 1,7 Gy.
Secara keseluruhan keberhasilan kuratif dari radioterapi pada stadium I dan II keganasan
menengah berkisar 40-50%. Yang menjadi faktor kegagalan radioterapi adalah stadium II dengan
keterlibatan KGB > 2, ukuran tumor > 2-3 cm, usia > 60 tahun, ada gejala sel B, dan keterlibatan
organ ekstralimfatik selain abdomen, tiroid dan cincin Waldeyer. Pada pasien IA dan IIA yang
terlokalisasi, usia < 60 tahun, dan ukuran tumor (< 2,5 cm) menunjukkan angka keberhasilan 70-80%
dengan IFRT saja.
Anjuran dosis radiasi untuk mengontrol tumor lokal adalah 30-35 Gy, 1,75-3 Gy tiap fraksi
selama 3-4 minggu. Pada beberapa keadaan seperti limfoma otak primer, ukuran tumor besar, dan
beberapa limfoma sel T, dosis radiasi tersebut kurang berhasil dalam mengontrol tumor lokal.
Sebagai alternatifnya dapat digunakan kemoterapi. Kombinasi kemoterapi dan radioterapi bahkan
mampu menghilangkan gejala dalam jangka waktu yang lama. Sebaliknya keberhasilan dengan
kemoterapi saja belum ada penelitian sahih sampai saat ini.
Anjuran terapi pada limfoma sel berukuran besar stadium I atau II adalah kemoterapi CHOP
(siklofosfamid, doksorubisin, vinkristin, prednison) jangka pendek sebanyak 3 siklus, kemudian
diikuti IFRT bila ukuran tumor tidak besar; atau kemoterapi jangka panjang diikuti radiasi bila ukuran
tumor > 10 cm atau adanya keterlibatan organ eksralimfatik
Pada stadium lanjut (III atau IV), kemoterapi dengan regimen CHOP merupakan terapi baku.
Penggunaan radioterapi sebagai adjuvan masih kontroversial. Akan tetapi pada beberapa keadaan,
radioterapi dapat mencegah kekambuhan. Radioterapi dapat mencegah kekambuhan testis
kontralateral pada limfoma testis. Radioterapi adjuvan dapat dipertimbangkan pada pasien usia
lanjut yang tidak diperbolehkan mendapat kemoterapi dosis tinggi dan transplantasi sumsum tulang.
Dengan demikian, radioterapi pada stadium lanjut sebenarnya lebih diperuntukkan sebagai terapi
paliatif daripada kuratif.
Ø IFRT
IFRT merupakan teknik radioterapi yang umum dipakai pada LNH. Pada stadium IA atau IE,
daerah KGB diradiasi secara in toto. Misalnya, bila cincin Waldeyer ikut terlibat, radiasi harus
dilakukan pada seluruh KGB di daerah leher hingga daerah infraklavikular. Sementara itu, pada kasus
dimana saluran pencernaan ikut terlibat, radiasi harus diberikan dengan lapang pandang seluruh
abdomen.
Pada stadium II atau III-IV, terkadang pasien masih memiliki sisa tumor (residu) meski telah
menyelesaikan siklus kemoterapi dengan lengkap. Biasanya KGB residu paling sering ditemukan di
mediastinum, dapat juga di retroperitoneum, leher dan daerah inguinal. Disinilah IFRT berperan
sehingga angka ketahanan hidup pasien lebih tinggi.
Ø TBI
TBI digunakan sebagai terapi paliatif pada LNH keganasan rendah. Sedangkan pada
keganasan menengah dan tinggi dimana angka kekambuhan cukup tinggi yaitu 50-60%, perlu
dilakukan salvage therapy yang terdiri dari kemoterapi dan terapi mieloablatif. TBI termasuk dalam
komponen mieloablatif.
Oleh karena lapangan radiasi dari TBI sangat luas (seluruh tubuh) maka biasanya toleransi
pasien rendah sehingga dosis TBI pun diatur sedemikian rupa yaitu dengan total dosis adalah 150
cGy dalam 10 fraksi, 2 kali setiap minggu.
Ø Terapi Paliatif
Masalah utama dari LNH adalah metastasis ke tulang atau saraf tulang belakang. Bila hal itu
terjadi, penanganannya sangat sulit terutama bila mengenai daerah paraspinal. Steroid diberikan
sebagai terapi inisial yaitu dexametason parenteral 4-8 mg setiap 8 jam.
Selain medikamentosa, radioterapi juga dapat digunakan sebagai terapi paliatif. Radioterapi
yang diberikan harus mencakup batas aman (safe margin) yaitu 3-5 cm di atas dan bawah dari batas
luar tumor. Dosis hiperfraksinasi (30 Gy/10 fraksi) mengakibatkan dekompresi yang cepat dan
perbaikan gejala neurologis pada kasus LNH paraspinal. Dosis radiasi pada metastasis tulang adalah
30 Gy dalam 10 fraksi selama 2 minggu atau 20 Gy dalam 5 fraksi selama 1 minggu.
Ø Rituximab
Hasil penelitian yang dilakukan oleh kelompok limfoma dunia (GELA atau Group d’Etude des
Lymphomes de l’adulte) menyimpulkan, kombinasi rituximab dengan CHOP memberi angka
kesembuhan yang lebih baik daripada CHOP saja. Penelitian yang dipimpin oleh Prof Mark Hertzberg
dari University of Sydney ini menunjukkan adanya perbedaan angka harapan hidup yang cukup
signifikan. Sekitar 53% pasien LNH yang diterapi kombinasi dapat hidup setelah 3 tahun pengobatan,
sedangkan yang diterapi CHOP saja hanya 35%. Rituximab merupakan antibodi monoklonal yang
bekerja spesifik hanya pada sel tumor sehingga efek toksisistasnya kecil.
Saat ini pengembangan terapi terus dilakukan terutama yang mengarah pada targeted
therapy. Usaha itu bukan tanpa alasan sebab LNH adalah salah satu penyakit kanker yang potensial
untuk disembuhkan. Dengan demikian, kita dapat membuka kembali harapan sang rocker, juga
pasien-pasien lainnya.
I. Komplikasi
Akibat efek samping pengobatan biasanya terjadi aplasia sumsum tulang, gagal jantung.
gagal ginjal. serta neuritis oleh obat vinkristin
Komplikasi yang dialami pasien dengan limfoma maligna dihubungkan dengan penanganan
dan berulangnya penyakit. Efek-efek umum yang merugikan berkaitan dengan kemoterapi meliputi :
alopesia, mual, muntah, supresi sumsum tulang, stomatitis dan gangguan gastrointestinal. Infeksi
adalah komplikasi potensial yang paling serius yang mungkin dapat menyebabkan syok sepsis. Efek
jangka panjang dari kemoterapi meliputi kemandulan, kardiotoksik, dan fibrosis pulmonal.
Efek samping terapi radiasi dihubungkan dengan area yang diobati. Bila pengobatan pada
nodus limfa servikal atau tenggorok maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut : mulut kering,
disfagia, mual, muntah, rambut rontok, dan penurunan produksi saliva.Bila dilakukan pengobatan
pada nodus limfa abdomen, efek yang mungkin terjadi adalah muntah, diare, keletihan, dan
anoreksia
2.5 Patofisiologi
Proliferasi abmormal tumor dapat memberi kerusakan penekanan atau penyumbatan organ
tubuh yang diserang. Tumor dapat mulai di kelenjar getah bening (nodal) atau diluar kelenjar getah
bening (ekstra nodal).
Gejala pada Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, mudah digerakkan (pada
leher, ketiak atau pangkal paha). Pembesaran kelenjar tadi dapat dimulai dengan gejala penurunan
berat badan, demam, keringat malam. Hal ini dapat segera dicurigai sebagai Limfoma. Namun tidak
semua benjolan yang terjadi di sistem limfatik merupakan Limfoma. Bisa saja benjolan tersebut hasil
perlawanan kelenjar limfa dengan sejenis virus atau mungkin tuberkulosis limfa.
Beberapa penderita mengalami demam Pel-Ebstein, dimana suhu tubuh meninggi selama
beberapa hari yang diselingi dengan suhu normal atau di bawah normal selama beberapa hari atau
beberapa minggu. Gejala lainnya timbul berdasarkan lokasi pertumbuhan sel-sel limfoma.
PATHWAY
Usia : Penyakit limfoma maligna banyak ditemukan pada usia dewasa muda yaitu antara 18-
35 tahun dan pada orang diatas 50 tahun
Pekerjaan : Beberapa pekerjaan yang sering dihubugkan dengan resiko tinggi terkena limfoma maligna
adalah peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini disebabkan adanya paparan herbisida
dan pelarut organik.
B. Keluhan Utama
Keluhan utama pada pasien dengan limfoma maligna biasanya adalah demam yang
berkepanjangan
Pasien mengatakan tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelum sakit, tetapi
pasien mengatakan bahwa kondisi tubuhnya sangat kelelahan, dan daya tahan tubuhnya kurang.
Pasien mengatakan bahwa ada benjolan pada daerah leher yang bisa digerakkan dan
semakin membesar serta di barengi dengan demam tinggi yang berkepanjangan dan sering
berkeringat di malam hari.
Pada kelainan limfoma maligna faktor keturunan merupakan faktor yang bisa menyebabkan
penyakit ini
Ø Inspeksi , tampak warna kencing campur darah, pembesaran suprapubic bila tumor sudah besar.
Ø Palpasi, teraba tumor masa suprapubic, pemeriksaan bimanual teraba tumor pada dasar buli-buli
dengan bantuan general anestesi baik waktu VT atau RT.
III. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah yaitu hemogran dan trombosit. LED sering meninggi dan kemungkinan
ada kaitannya dengan prognosis. Keterlibatan hati dapat diketahui dari meningkatnya alkali
fosfatase, SGOT, dan SGPT
Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) sering dipergunakan pada diagnosis pendahuluan
limfadenopati jadi untuk identifikasi penyebab kelainan tersebut seperti reaksi hiperplastik kelenjar
getah bening, metastasis karsinoma, dan limfoma maligna. Ciri khas sitologi biopsi aspirasi limfoma
Hodgkin yaitu populasi limfosit yang banyak aspek serta pleomorfik dan adanya sel Reed-Sternberg.
Apabila sel Reed-Sternberg sulit ditemukan adanya sel Hodgkin berinti satu atau dua yang berukuran
besar dapat dipertimbangkan sebagai parameter sitologi Limfoma Hodgkin.
Penyulit diagnosis sitologi biopsi aspirasi pada Limfoma non-Hodgkin adalah kurang sensitif
dalam membedakan Limfoma non-Hodgkin folikel dan difus. Pada Limfoma non-Hodgkin yang hanya
mempunyai subtipe difus, sitologi, biopsi aspirasi dapat dipergunakan sebagai diagnosis definitif.
Penyakit lain dalam diagnosis sitologi biopsi aspirasi Limfoma Hodgkin ataupun Limfoma
non-Hodgkin adalah adanya negatif palsu termasuk di dalamnya inkonklusif. Untuk menekan jumlah
negatif palsu dianjurkan melakukan biopsi aspirasi multipel hole di beberapa tempat permukaan
tumor. Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai dengan gambaran klinis, maka
pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi.
3. Histopatologi
Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga identifikasi subtipe histopatologi
walaupun sitologi biopsi aspirasi jelas limfoma Hodgkin ataupun Limfoma non-Hodgkin.
4. Radiologi
a. Foto thoraks
b. Limfangiografi
c. USG
d. CT scan
5. Laparotomi rongga abdomen sering dilakukan untuk melihat kondisi kelenjar getah bening pada
iliaka, para aorta dan mesenterium dengan tujuan menentukan stadium.
IV. Analisa Data
Tgl/ Pengelompokan Data Masalah Keperawatan Etiologi
Jam
Ds : Pasien mengatakan Resiko tinggi infeksi
Virus epstein barr
bahwa tubuhnya demam
Do : Melemahkan
limfosit
- Pembesaran kelenjar
limfe
Menyererang
imunitas
- Perdarahan
Anemia
Malnutrisi
Resiko infeksi
Ds: Pasien mengatakan Hipertermi
Virus epstein barr
bahwa pasien demam
Do: Melemahkan
limfosit
- Suhu tubuh 38 C
- Nadi Menyererang
imunitas
- Nadi 102 x/mnt
Inflamasi
- RR 22x/mnt
Hipertermi
Ds: Pasien mengatkan baha Nyeri
Virus epstein barr
badan cepat lelah dan nyeri
Do: Melemahkan
limfosit
- Mata terlihat kuyu
Menyererang
- Menarik napas panjang imunitas
- Nyeri skala 8
Kerusakan organ
Hepatomegali
Nyeri
Ds: Pasien mengatakan Ansietas
Virus epstein barr
bahwa tidak mengerti
tentang pengobatan
Melemahkan
Do: limfosit B,T
Kegelisahan
Menyererang
imunitas
Disstres
Takut
Kurang
pengetahuan
Khawatir
Ansietas
Ds: Pasien mengatakan Nutrisi kurang dari
Virus epstein barr
bahwa Nafsu makan kebutuhan
menurun
Melemahkan
Do: limfosit
Kelainan su-tul
Anemia
V. Diagnosa Keperawatan
No Tgl /Jam Diagnosa Keperawatan
07.00 WIB
2 2 Oktober 2011 Hipertermia b.d ketidakefektifan termoregulasi sekunder terhadap inflama
07.00 WIB
3 2 Oktober 2011 Nyeri b.d interupsi sel saraf
07.00 WIB
4 2 Oktober 2011 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang ku
kebutuhan metabolic dan penurunan absorbsi zat gizi
07.00 WIB
6 2 Oktober 2011 Ansietas b.d kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis, pengobata
07.00 WIB
VI. Intervensi
Pengetahuan:
pengendalian infeksi
Deteksi Risiko
Pengendalian Risiko
Suhu : 36,5-37 C
Nadi : 80-100x/mnt
Tabel Noc. Hipertermi
1 2 3
Suhu (36,5-37,5)
Mual
RR (18-24 x/mnt)
Perilaku
mengendalikan nyeri
Nyeri : efek merusak
Tingkat Nyeri
Asupan
makanan dan
cairan
Nilai Gizi
Kontrol ansietas
Koping
Kontrol impuls
Penahanan Mutilasi
Diri
Keterampilan
Interaksi Sosial
Tabel NIC : Ansietas
Tgl/ jam No Tujuan/ Kriteria Hasil Aktivitas Intervensi R
DX
6 Tujuan : Setelah Pengkajian 1. Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien1. M
dilakukan terapi setiap 3x sehari r
selama 1x 24 jam
dan penjelasan 2. Selidiki dengan pasien tentang tekhnik yang telah2. M
kepada pasien dan dimiliki dan belum dimiliki y
keluarga, ansietas Pendidikan 1. sediakan informasi factual menyangkut diagnosis,1. M
atau kecemasan untuk pasien/ perawatan, dan prognosis k
menjadi berkurang keluarga
dan menghilang 2. Intruksikan pasien tentang penggunaan teknik relaksasi 2. M
t
Kriteria Hasil : 3. Jelaskan semua prosedur, termasuk sensasi yang
biasanya dirasakan selama prosedur 3. M
-Kontrol agresi baik p
Aktivitas 1. Berikan pengobatan untuk mengurangi ansietas sesuai1. M
- Kontrol ansietas kolaboratif dengan kebutuhan
baik Aktivitas lain 1. Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan1. M
pikiran dan perasaan
- Koping baik 2. M
2. Bantu pasien untuk memfokuskan pada situasi saat ini. p
- Kontrol impuls baik
3. Yakinkan kembali pasien dengan menyentuh, saling3. M
- Ketrampilan member empatik secara verbal dan nonverbal, dorong m
interaksi sosial baik pasien untuk mengekspresikan kemarahan dan iritasi d
serta ijinkan pasien untuk menangis
- Pemahaman
mutilasi diri baik
VII. Implementasi
No DK Tgl/ Jam IMPLEMENTASI
1 3 oktober 2011 Memantautanda/ gejala infeksi : suhu tubuh 37,8 o C , Nadi : 95/ mnt
11.00 Mengkaji faktor yang meningkatkan serangan infeksi (misalnya tanggap imun ren
12.15 Menjelaskan kepada pasien/ keluaraga mengapa sakit dan pengobatan meningka
12.15 Mnginformasikan pada orang tua mengenai jadwal imunisasi untuk difteri, tetanu
12.30 Menjelaskan alas an/keuntungan dan efek samping imunisasi
13.00 Mengajarkan kepada pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk dan men
13.15 10. Mengajarkan kepada pasien dan keluarganya tanda/ gejala infeksi dan kapan haru
13.30 11. Mengikuti petunjuk pelaporan terhadap infeksi yang dicurigai dan/ budaya yang p
08.00 Memantau tekanan darah 130/90, nadi 95x/mnt, dan pernafasan 20 x/mnt
13.30 Mengajarkan indikasi keletihan karena panas dan tindakan kedaruratan yang dipe
14.00 10. Mengkolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat antisepiretik, sesuai den
11. Mengguunakan matras dingin dan mandi air hangat untuk mengatasi gangguan su
12. Melepaskan pakaian yang berlebihan dan tutupi pasien dengan hanya selembar p
13. Menggunakan waslap dingin ( atau kantong es yang dibalut dengan pakaian ) pada
3 4-10-2011 Menggunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan pertama untuk mengum
10.00 Meminta pasien untuk menilai nyeri/ ketidaknyamanan pada skala 0-10, dan skal
11.45 Menginformasikan kepada pasien/ keluarga tentang prosedur yang dapat mening
12.00 Memberikan
informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, seberapa
ketidaknyamanan dari prosedur
13.00
Mengajarkan
penggunaan teknik nonfarmakologi (seperti : terapi music, relaksa
14.00
hangat/dingin, dan masase) sebelum, setelah dan jika memungkinkan, selama
terjadi/ meningkat dan selama pengguanaan tindakan pengurangan nyeri yang lai
Mengelola nyeri pascaoperasi awal dengan pemberian opiat yang terjadwal ( mis
11. Membantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas daripada nyeri/ ketida
melalui televise, radio, tape, dan kunjungan
08.00 Menimbang pasien pada interval yang tepat dengan hasil BB naik 0,5 kg
09.00 Mengajarkan pasien/ keluarga tentang makanan yang bergizi dan tidak mahal
09.15 Mendiskusikan
dengan ahli gizi dalam menentukan kebutuhan protein untuk
protein atau jehilangan protein
09.45
Merujuk ke dokter untuk menentukan penyebab perubahan nutrisi
10.00
Merujuk ke program gizi komunitas yang tepat jika pasien tidak dapat membeli at
10.15
10. Membuat perencanaan makan dengan pasien untuk dimasukkan ke da
11.00
kesukaan/ketidaksukaan pasien, suhu makanan
13.00
11. Menganjurkan pasien untuk menampilkan tujuan makan dan aktivitas pada lokasi
12. Menawarkan makanan porsi besar pada siang hari ketika nafsu makan tinggi
Menyelidiki dengan pasien tentang tekhnik yang telah dimiliki dan belum dimiliki
Meyakinkan
kembali pasien dengan menyentuh, saling member empatik secara
mengekspresikan kemarahan dan iritasi serta ijinkan pasien untuk menangis
VIII. Evaluasi
6-10-2011 Resiko tinggi infeksi b.d imunosupresi dan malnutrisi S: Pasien mengatakan bahwa tubuhnya de
08.00 WIB O:
-Suhu 37,8 C
-Nadi 95 x/mnt
6-10-2011 Hipertermia b.d ketidakefektifan termoregulasi sekunder S: Pasien mengatakan bahwa sudah tidak
terhadap inflamasi
08.00 WIB O:
- Nadi 95 x/mnt
RR 20x/mnt
P: Lanjutkan intervensi
6-10-2011 Nyeri b.d interupsi sel saraf S: Pasien mengatkan bahwa Nyeri sudah
Nyeri skala 5
P: Lanjutkan Intervensi
6-10-2011 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d S: Pasien mengatakan bahwa Nafsu maka
08.00 WIB intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan kebutuhan O:
metabolic dan penurunan absorbsi zat gizi
- Berat badan naik 0,5 kg
6-10-2011 Ansietas b.d kurang pengetahuan tentang penyakit, S:Pasien mengatakan bahwa tmulai meng
prognosis, pengobatan dan perawatan
08.00 WIB O:
Kegelisahan menghilang
Khawatir mereda
P: Hentikan intervensi
BAB IV
PENUTUP
1. Simpulan
Dari makalah di atas dapat disimpulkan bahwa Limfoma maligna, berlainan dengan
leukemia, merupakan transformasi neoplastik sel yang terutama berada di jaringan limfoid.
Dua farina utama limfoma maligna adalah limfoma non-Hodgkin dan penyakit Hodgkin.
Walaupun kedua tumor ini menyebuk organ retikuloendotel, secara biologis dan klinis
keduanya berbeda.
Limfoma (kanker kelenjar getah bening) merupakan bentuk keganasan dari sistem limfatik
yaitu sel-sel limforetikular seperti sel B, sel T dan histiosit sehingga muncul istilah limfoma
malignum (maligna = ganas).
Dalam kondisi normal, sel limfosit merupakan salah satu sistem pertahanan tubuh.
Sementara sel limfosit yang tidak normal (limfoma) bisa berkumpul di kelenjar getah bening
dan menyebabkan pembengkakan. Sel limfosit ternyata tak cuma beredar di dalam
pembuluh limfe, sel ini juga beredar ke seluruh tubuh di dalam pembuluh darah karena
itulah limfoma bisa juga timbul di luar kelenjar getah bening. Dalam hal ini, yang tersering
adalah di limpa dan sumsum tulang. Selain itu, bisa juga timbul di organ lain seperti perut,
hati, dan otak
selain itu juga penulis telah mencantumkan etiologi, tanda gejala, klasifikasi, patofisiologi,
terapi, pemeriksaan penunjang dan juga pada aplikasi asuhan keperawatan yang
berdasarkan Nic noc.
2. Saran
Saran dari penulis unruk pembaca adalah agar pembaca memahami tentang penyakit
limfoma maligna dan pengaplikasian pada asuhan keperwatan
DAFTAR PUSTAKA
Rohmah Nikmatur dan Saiful Walid. 2009. Proses Keperawatan Teori dan Aplikasi. Jogjakarta: Ar-
ruzz media
Handayani, Wiwik.Andi sulistyo H. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem
Hematologi. Jakarta : Salemba Medika.