Anda di halaman 1dari 22

LIMFOMA NON HODGKIN

- Gambaran Makroskopik dan Histologis


a. Gambaran makroskopis

b. Gambaran histologi

- Epidemiologi
Pada tahun 2000 di amerika serikat diperkirakan terdapat 54.900 kasus baru, dan
26.100 orang meninggal karena LNH. Di amerika serikat, 5% kasus LNH baru terjadi
pada pria, dan 4% pada wanita/ tahunnya. Insidensi LNH di amerika serikat menurut

1
National cancer institute tahun 1996 adalah 15,5 per 100.000. LNH secara umum lebih
sering terjadi pada pria. Insidensi LNH meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan
mencapai puncak pada kelompok usia 80- 84 tahun1.
- Etiologi
Penyebab pasti belum diketahui. Empat kemungkinan penyebabnya adalah1.
1. Faktor keturunan.
2. Kelainan sistem kekebalan.
3. Infeksi virus atau bakteria (HIV, HCV, EBV, Helicobacter Sp).
4. Toksin lingkungan (herbisida, pengawet dan pewarna kimia).
- Patogenesis
Seperti sel darah lainnya, sel limfosit dalam kelenjar limfe juga berasal dari sel-sel
induk muktipotensial didalam sumsum tulang. Sel induk multipotensial pada tahap awal
bertransformasi menjadi sel progenitor limfosit yang kemudian berdiferensiasi melalui
dua jalur. Sebagian mengalami pematangan dalam kelenjar thymus untuk menjadi sel
limfosit T, dan sebagian lagi menuju kelenjar limfe atau tetap berada dalam sumsum
tulang dan berdiferensiasi menjadi sel limfosit B2.
- Tanda dan Gejala
Gejala dan tanda NHL meliputi pembengkakan kelenjar getah bening (pada leher,
ketiak atau pangkal paha). Pembesaran kelenjar tadi dapat dimulai dengan gejala
penurunan berat badan, demam, keringat malam. Tidak ada tes deteksi dini untuk NHL.
Bila gejala di atas dijumpai, maka disarankan pergi ke dokter untuk pemeriksaan lebih
lanjut2.
- Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik tampak1:
 Pembesaran KGB
 Kelainan pembesaran organ
 Performace status : ECGO atau WHO/ karnofsky
- Pemeriksaan Penunjang1:
 Pemeriksaan laboratorium : Hb, leukosit, LED, hapusan darah, faal hepar, faal
ginjal, LDH. Diperlukan untuk melihat kemungkinan penyakit infeksi (juga dapat
menyebabkanpembesaran kelenjar getah bening).
 Biopsi kelenjar getah bening yang membesar

2
 Pemeriksaan penunjang lainnya adalah rontgen, CT-scan, PET-scan, dan biopsi
sumsum tulang mungkin diperlukan untuk melihat apakah penyakit ini telah
menyebar kesumsum tulang.
 Limfografi, IVP, Arteriografi.
- Manajemen Penatalaksanaan1:
a. Medikamentosa
Terapi yang dilakukan biasanya melalui pendekatan multidisiplin. Terapi yang
dapat dilakukan adalah:
1. Derajat Keganasan Rendah (DKR)/indolen:
Pada prinsipnya simtomatik
 Kemoterapi: obat tunggal atau ganda (per oral),jika dianggap perlu: COP
(Cyclophosphamide, Oncovin, dan Prednisone);
 Radioterapi: LNH sangat radiosensitif.Radioterapi ini dapat dilakukan
untuk lokal dan paliatif;
 Radioterapi: Low Dose TOI + Involved Field Radiotherapy saja.
2. Derajat Keganasan Mengah (DKM)/agresif limfoma
 Stadium I: Kemoterapi (CHOP/CHVMP/BU)+radioterapi CHOP
(Cyclophosphamide Hydroxydouhomycin, Oncovin, Prednisone)
 Stadium II - IV: kemoterapi parenteral kombinasi, radioterapi berperan
untuk tujuan paliasi.
3. Derajat Keganasan Tinggi (DKT)
DKT Limfoblastik (LNH-Limfoblastik)
 Selalu diberikan pengobatan seperti Leukemia Limfoblastik Akut (LLA);
 Re-evaluasi hasil pengobatan dilakukan pada:
1. Setelah siklus kemoterapi ke-empat.
2. Setelah siklus pengobatan lengkap.
b. Non Medika mentosa
 Pembedahan
Dapat dilakukan dengan cara splenektomi. Jika limpa sudah terkena
limfoma non Hodgkin, pengangkatan ini dikenal sebagai splenektomi. Ini
dilakukan dengan anestesi umum. Orang yang telah menjalani splenektomi lebih
mungkin terkena infeksi bakteri, dan seharusnya mendapat vaksinasi untuk
mencegahnya1.

3
- Komplikasi
Akibat langsung penyakitnya3:
 Penekanan terhadap organ khususnya jalan nafas, usus dan saraf
 Mudah terjadi infeksi, bisa fatal
Akibat efek samping pengobatan3:
 Aplasia sumsum tulang
 Gagal jantung oleh obat golongan antrasiklin
 Gagal ginjal oleh obat sisplatinum
 Neuritis oleh obat vinkristin6
- Prognosis
Banyak pasien yang dapat mencapai respons sempurna, sebagian diantaranya dengan
limfoma sel besar difus, dapat berada dalam keadaan bebas gejala dalam periode waktu
yang lama dan dapat pula disembuhkan. Pemberian regimen kombinasi kemoterapi
agresif berisi doksorubisin mempunyai respons sempurna yang tinggi berkisar 40-80%1.

4
LIMFOMA HODGKIN

- Gambaran Makroskopik dan Histologis


a. Gambaran Makroskopis

b. Gambaran Histologis

- Epidemiologi
Limfoma Hodgkin memiliki insiden di seluruh dunia dari 62.000 kasus pada tahun
2002. Dibandingkan dengan Amerika Utara dan Eropa, limfoma Hodgkin relatif jarang
terjadi di Jepang (yang disesuaikan menurut umur insiden 0,3 per 100.000 laki-laki) dan
Cina (yang disesuaikan menurut umur insiden 0,2 per 100.000 laki-laki). Di negara
berkembang, kejadian tersebut cellularity campuran (MCHD) dan limfosit-habis
(LDHD) subtipe lebih tinggi. Sebaliknya, yang nodular-sclerosis (NSHD) subtipe yang
paling sering di negara maju4.

5
Tingkat kejadian limfoma Hodgkin di Amerika Serikat bervariasi menurut ras dan
jenis kelamin. Kejadian AS di kasus per 100.000 orang adalah 3,3 untuk laki-laki kulit
putih, 2,8 untuk perempuan kulit putih, 3,2 untuk pria kulit hitam, 2,4 untuk wanita
hitam, 1,5 untuk Asia / Kepulauan Pasifik laki-laki, dan 1,0 untuk Asia / Pasifik
Kepulauan betina. Secara keseluruhan, limfoma Hodgkin agak lebih sering terjadi pada
laki-laki daripada perempuan. Dominasi laki-laki yang diamati terlihat terutama pada
anak-anak, di antaranya 85% dari kasus yang pada laki-laki4.
Tingkat insiden usia-spesifik limfoma Hodgkin memiliki distribusi bimodal pada
kedua jenis kelamin, memuncak pada orang dewasa muda (usia 15-34 tahun) dan orang
tua (> 55 tahun). Di Amerika Serikat, orang dewasa muda biasanya telah NSHD,
sedangkan anak-anak (usia 0-14 tahun) dan orang tua lebih sering memiliki subtipe
MCHD4.
- Etiologi
Etiologi limfoma Hodgkin tidak diketahui. Agen infeksius, khususnya EBV,
mungkin terlibat dalam patogenesis. Dalam sebanyak 50% dari kasus, sel-sel tumor
EBV-positif, positif EBV lebih tinggi dengan MCHD (60-70%) dibandingkan dengan
NSHD (15-30%). Hampir 100% dari HIV-terkait kasus yang EBV-positif (Bradley,
2012). Sebuah studi epidemiologi dari Denmark dan Swedia menunjukkan peningkatan
risiko EBV-positif limfoma Hodgkin pada pasien dengan riwayat yang dilaporkan sendiri
dari infeksi mononucleosis (IM) pada masa remaja. Waktu inkubasi rata-rata dari IM
gejala limfoma Hodgkin adalah 2,9 tahun4.
Pasien dengan infeksi HIV memiliki insiden yang lebih tinggi dari limfoma Hodgkin
dibandingkan dengan populasi tanpa infeksi HIV. Namun, limfoma Hodgkin tidak
dianggap sebagai acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) terdefinisi neoplasma.
Predisposisi genetik mungkin berperan dalam patogenesis limfoma Hodgkin. Sekitar 1%
dari pasien dengan limfoma Hodgkin memiliki riwayat keluarga penyakit. Saudara dari
individu yang terkena memiliki 3 - 7 kali lipat peningkatan risiko untuk mengembangkan
limfoma Hodgkin. Risiko ini lebih tinggi pada kembar monozigot. Leukosit antigen
manusia (HLA)-DP alel lebih sering terjadi pada limfoma Hodgkin4.
- Patogenesis
Seperti diklasifikasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), limfoma Hodgkin
ada dalam 5 jenis. Empat dari-nodular sclerosis, cellularity campuran, limfosit habis, dan
limfosit yang kaya-disebut sebagai limfoma Hodgkin klasik. Jenis kelima, nodular
dominan limfosit penyakit Hodgkin (NLPHD), adalah entitas yang berbeda dengan
gambaran klinis yang unik dan paradigma pengobatan yang berbeda (Bradley, 2012).
Dalam limfoma Hodgkin klasik, sel neoplastik adalah Reed-Sternberg (RS) sel. Reed-
Sternberg sel terdiri dari hanya 1-2% dari massa sel tumor total. Sisanya terdiri dari
berbagai reaktif, sel-sel inflamasi campuran yang terdiri dari limfosit, sel plasma,
neutrofil, eosinofil, dan histiosit. Kebanyakan Reed-Sternberg sel B-sel asal, berasal dari
pusat-pusat germinal kelenjar getah bening tetapi tidak lagi mampu menghasilkan
antibodi. Beberapa kasus limfoma Hodgkin telah diidentifikasi di mana sel Reed-
Sternberg adalah T-sel asal tetapi ini jarang terjadi, akuntansi untuk 1-2% dari limfoma
Hodgkin klasik. Reed-Sternberg sel secara konsisten mengekspresikan CD30 (Ki-1) dan
CD15 (Leu-M1) antigen. CD30 merupakan penanda aktivasi limfosit yang diungkapkan

6
oleh sel limfoid reaktif dan ganas dan pada awalnya diidentifikasi sebagai antigen
permukaan sel pada Reed-Sternberg sel. CD15 merupakan penanda akhir granulosit,
monosit, dan sel T aktif yang biasanya tidak diungkapkan oleh sel-sel dari garis
keturunan B. Dalam campuran-cellularity penyakit Hodgkin (MCHD), yang merupakan
15-30% dari kasus, yang menyusup biasanya menyebar. Reed-Sternberg sel dari tipe
klasik (besar, dengan bilobate, inti ganda atau multiple, dan, besar eosinofilik nucleolus).
MCHD biasanya mempengaruhi kelenjar getah bening perut dan limpa. Pasien dengan
histologi ini biasanya memiliki penyakit stadium lanjut dengan gejala sistemik. MCHD
adalah jenis histologis yang paling umum diamati pada pasien dengan human
immunodeficiency virus (HIV)4.
- Tanda dan Gejala
Temuan fisik adalah sebagai berikut4:
 Limfadenopati asimtomatik dapat hadir (di atas diafragma di 80% dari pasien).
 Gejala Konstitusi (misalnya, penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan,
demam, berkeringat di malam hari) yang hadir di 40% dari pasien. Secara kolektif,
yang dikenal sebagai "gejala B”.
 Demam Intermittent diamati pada sekitar 35% kasus, jarang, demam Pel-Ebstein
klasik diamati (demam tinggi selama 1-2 minggu diikuti oleh periode afebris dari 1-
2 minggu).
 Nyeri dada, batuk, sesak napas, atau kombinasi dari hal-hal ini dapat hadir karena
massa mediastinum besar atau keterlibatan paru-paru, jarang terjadi hemoptisis.
 Pasien mungkin hadir dengan pruritus.
 Nyeri di situs penyakit nodal, dipicu oleh minum alkohol, terjadi dalam waktu
kurang dari 10% dari pasien tetapi khusus untuk limfoma Hodgkin.
 Nyeri tulang jarang terjadi.
- Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan4:
 Teraba, limfadenopati dapat dilihat di daerah serviks (leher, 60-80%), ketiak (ketiak,
6-20%), dan, lebih umum, di daerah inguinal (selangkangan, 6-20%), melainkan
digambarkan sebagai adenopati karet.
 Keterlibatan cincin Waldeyer (belakang tenggorokan, termasuk amandel) atau
oksipital (belakang bawah kepala) atau daerah epitrochlear (dalam lengan atas dekat
siku) yang jarang diamati.
 Splenomegali dan / atau hepatomegali mungkin didapatkan.
 Superior vena cava syndrome dapat berkembang pada pasien dengan limfadenopati
mediastinum besar.
Berikut beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan4:
 Biopsy
 Imaging
 Staging laparotomy
 Staging
 Blood studies

7
- Penatalaksanaan4
 Konsultasi
 Radiation therapy
 MOPP (mechlorethamine, vincristine, procarbazine, prednisone)
 ABVD (Adriamycin [doxorubicin], bleomycin, vinblastine, dacarbazine)
 Stanford V (doxorubicin, vinblastine, mustard, bleomycin, vincristine, etoposide,
prednisone)
 BEACOPP (bleomycin, etoposide, doxorubicin, cyclophosphamide, vincristine,
procarbazine, prednisone)
 Immunotherapy
 Long-term monitoring
- Komplikasi
Efek yang mungkin terjadi dari pengobatan yaitu terjadinya cardiac disease,
pulmonary disease, secondary cancers, infertilitas, komplikasi infeksi. Komplikasi
lainnya yaitu Lhermitte syndrome (sensasi listrik-shock yang terpancar di sepanjang
punggung dan kaki pada fleksi leher) yang dapat terjadi pada sekitar 15% pasien setelah
iradiasi mantel. Lhermitte sindrom tidak terkait dengan pengembangan myelitis radiasi,
dan tidak memerlukan pengobatan. Sindrom ini bisa berlangsung selama berbulan-bulan,
namun pada akhirnya akan menyelesaikan tanpa gejala sisa jangka panjang4.
- Prognosis
Lima tahun tingkat ketahanan hidup penyakit-spesifik untuk pasien dengan limfoma
Hodgkin adalah sebagai berikut:
 Tahapan I dan II - 90%
 Tahap III - 84%
 Tahap IV - 65%
Selain tahap penyakit, banyak faktor berkontribusi terhadap kemungkinan
kelangsungan hidup dari limfoma Hodgkin. Ini dianggap cocok untuk setiap pasien
dengan jenis yang tepat dan intensitas terapi4.

8
MYCOSIS FUNGOIDES

- Gambaran Makroskopik dan Histologis


a. Gambaran Makroskopik

b. Gambaran Histologis (Mikroskopik Sehat)

- Epidemiologi
Mikosis fungoides (MF), jenis yang paling umum dari sel-T limfoma kulit, yang
lebih sering pada orang lanjut usia. Meskipun jarang terjadi di masa kanak-kanak dan

9
remaja, telah terjadi peningkatan pengakuan bahwa MF mungkin timbul pada anak-anak
dan dewasa muda. Diagnosis sulit dalam tahap awal penyakit karena meniru beberapa
gangguan kulit jinak termasuk eksim, psoriasis, dan dermatitis kontak5.
- Etiologi
Etiologi MF masih belum diketahui, tetapi berbagai teori telah didalilkan, seperti
stimulasi antigenik kronis, atopi, dan, tempat kerja, lingkungan, dan paparan virus5.
- Patogenesis
Mekanisme hipopigmentasi dalam varian MF masih belum jelas. Ini telah
dipostulasikan bahwa sel-sel limfoid atipikal menginfiltrasi epidermis menyebabkan
degenerasi melanosit dan melanogenesis yang abnormal sebagai akibat dari cedera sel
non spesifik. Sebaliknya, penulis lain mengusulkan bahwa hilangnya pigmen hasil dari
sebuah kerusakan pada transfer melanosom dari melanosit ke keratinosit5.
Epidermal menginfiltrasi di hipopigmentasi MF dilaporkan menjadi dominan dari
CD8-positif limfosit, bagaimanapun, pasien kami memiliki epidermal infiltrat dengan
limfosit CD4-sebagian besar positif5.
Mikosis fungoides bermanifestasi sebagai fase pramikotik inflamatorik dan
berkembang melalui fase plak sampai fase tumor. Secara histologis, terjadi infiltrasi sel T
neoplastik, yang nukleusnya sering tampak serebriformis karena pelipatan membran
nukleus, ke epidermis dan dermis atas. Seiring dengan perkembangan penyakit, terjadi
penyebaran ke kelenjar getah bening dan visera. Sindrom Sezary adalah penyakit terkait
yang mengenai kulit dan kulit bermanifestasi secara klinis sebagai eritroderma
eksfoliativa generalisata disertai leukemia sel Sezary yang intinya juga serebriformis. Sel
Sezary dalam darah juga dapat ditemukan pada hampir 25% kasus mikosis fungoides
pada fase plak atau tumor6.
- Tanda dan Gejala
Hipopigmentasi Mycosis Fungoides merupakan varian atipikal, jarang dan unik MF
ditandai dengan bercak hipopigmentasi atau lebih umum dalam kombinasi dengan bercak
eritematosa atau plak, biasanya diamati pada individu berkulit gelap, dan sangat jarang di
Kaukasia dan orang lain dengan jenis kulit wajar5.
Asimtomatik bercak kulit hipopigmentasi merata di leher, tungkai, badan, payudara,
bokong dan konsultan dermatologists khawatir dalam seri kasus kami. Beberapa lesi
menunjukkan atrofi, kerut halus, sedikit bersisik permukaan ditambahkan ke ketajaman
klinis7.

10
- Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
a. Pemeriksaan fisik:
Pada pemeriksaan fisik dapat dilihat pasien yang menderita mikosis fungoides
hadir dengan pruritus, bentuk iregular, bercak bersisik, dan plak yang mungkin
muncul eritematous. Dari waktu ke waktu, lesi ini dapat menjadi tumur kutaneus
agak tebal dengan tampilan ‘seperti jamur’ (fungoides). Mikosis fungoides
berlangsung pada tingkat yang bervariasi. Oleh karena itu, pasien mungkin datang
dengan bercak kutaneus, plak, dan tumor di berbagai lokasi, seperti keterkaitan
ekstrakutaneus8.
b. Pemeriksaan penunjang9:
 Pemeriksaan hitung darah (biasanya tidak ada bukti keterkaitan sumsum
tulang sampai pada mikosis fungoides stadium 3 dan diatasnya; limfositosis
biasanya terjadi pada sindrom Sézary)
 Apusan darah (sel Sézary >10% dari total limfosit pada sindrom Sézary
 Subset sel T (CD4+ sel T meningkat dengan rasio CD4/CD8 meningkat (>10)
pada sindrom Sézary
 Kimiawi dasar, tes fungsi liver, kalsium, dan fosfat
 ESR (meningkat pada penyakit lanjutan)
 LDH (sebagai marker lymphoma burden)
 Serologi HTLV1 (indikasi sel T matur limfoma/leukemia)
 Biopsi kulit untuk histopatologi (mikosis fungoides; infiltrasi limfosit atipikal
secara sitologi (CD3+, CD4+, CD8-) pada dermis bagian atas menunjukkan
epidermotropism; kumpulan limfosit atipikal pada epidermis membentuk
mikroabses Pautrier; sindrom Sézary: sama dengan mikosis fungoides tetapi
epidermotropism kadang-kadang tidak ada)
 Biopsi lymph node (sindrom Sézary: infiltrasi sel Sézary yang padat (CD3+,
CD4+, CD8-); hilangnya arsitektur)
 Studi pengaturan gen reseptor sel T pada kulit, darah, dan lymph node (jika
tersedia)
 Radiography dada
 Untuk sindrom Sézary yang dicurigai dan mikosis fungoides stadium 2 dan
diatasnya: CT scan dada, abdomen, dan pelvis, biopsi sumsum tulang, biopsi
lymph node

11
Gold standar untuk diagnosis mikosis fungoides adalah light microscopy pada
spesimen histologik. Bagaimanapun, indeks tinggi pada kecurigaan klinis penting
untuk memicu pemeriksaan biopsi dan jaringan8.
- Penatalaksanaan
a. Medikamentosa8,9:
 Terapi emollient umum
 Kemoterapi topikal (mechlorethamine, carmustine)
 Immunotherapy (interferon)
 Retinoid (bexarotene)
 Denileukin diftitox, merupakan immunotoksin aktif yang melawan sel expressing
reseptor IL-2
 Extracorporeal photophoresis indikasi untuk sindrom Sézary dan mikosis
fungoides eritrodermik
 Topical nitrogen mustard
 Topical steroid

b. Non medikamentosa9:
 Phototherapy (UVB atau PUVA=Psoralen ultraviolet A therapy)
 Radiotherapy
- Komplikasi
Pada stadium 2 mikosis fungoides, dan diatasnya9:
 Lymphadenopathy
 Anemia
 Hepatosplenomegali
 Gejala ‘B’: demam, penurunan berat badan, berkeringat malam

Pada sindrom Sézary9:


 Demam, malaise, lemah
 Hipo- dan hipertermia
 Penurunan berat badan dan malabsorbsi
 Limfadenopati
 Infeksi bakteri sekunder akibat sepsis sistemik
 Takikardi, hipotensi, dan gagal jantung

12
 Gagal ginjal akut
 Disfungsi liver
 Penyakit tromboembolik
 Sindrom kebocoran kapiler
- Prognosis
Beberapa studi menunjukkan bahwa faktor prognostik signifikan pada mikosis
fungoides dipengaruhi oleh jenis dan luasnya kerusakan kulit dan ada tidaknya penyakit
ekstrakutan, yang menentukan stadium klinis secara keseluruhan. Pasien dengan bercak
atau plak yang terbatas (stadium 1A) memiliki hasil pengobatan yang lebih baik. Pasien
dengan penyakit disertai bercak dan/atau plak yang merata (stadium IB/IIA) memiliki
median harapan hidup 11 sampai 12 tahun, dengan lebih dari 20% mengalami progresi
ke stadium TNMB yang buruk. Pasien yang terdiagnosis dengan penyakit tumor (T3)
atau erythroderma (T4) memiliki hasil pengobatan yang buruk, dengan median harapan
hidup 4 sampai 5 tahun. Harapan hidup aktual pasien dengan penyakit T3/T4 juga
bergantung pada variabel prognostik lainnya, yaitu transformasi sel besar atau
keterlibatan darah. Pasien ini juga memiliki resiko yang lebih besar untuk perkembangan
penyakit ekstrakutan. Pasien yang menderita penyakit ekstrakutan memiliki median
angka harapan hidup 1,5 sampai 3 tahun10.

13
LIMFADENITIS KRONIK: LIMFADENITIS GRANULOMATOSUS
SESUAI TUBERKULOSIS

- Gambaran Makroskopik dan Histologis


a. Gambaran makroskopik

b. Gambaran histologis

- Etiologi

Tuberculosis (TB) merupakan penyebab utama morbiditas dan kematian sejak


dahulu kala. k dahulu kala. Agen etiologi penyakit ini adalah Mycobacterium
tuberculosis yang ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 188211.

14
- Epidemiologi
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa sekitar 1,9 miliarmanusia
(sepertiga penduduk dunia) telah terinfeksi kuman TB. Setiap detik ada satu orangyang
terinfeksi TB di dunia ini.1 Di Indonesia TB merupakan masalah utama kesehatan
masyarakat. Jumlah penderita TBdi Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah
India dan Cina dengan jumlah sekitar10% dari total jumlah penderita TB di dunia.
Diperkirakan setiap tahun ada sekitar 539.000kasus baru dengan kematian sekitar
100.000 orang. Insiden kasus TB Basil Tahan Asam(BTA) positif sekitar 110 per
100.000 penduduk12.
- Patogenesis
Pathogenesis limfadenitis mikobakterial perifer belum sepenuhnya diketahui.
Tuberculous lymphadenitis umumnya diduga sebagai manifestasi dari penyakit sistemik.
Organisme M. tuberculosis, biasanya memasuki tubuh manusia melalui traktus
respiratorius dan menyebar melalui limfogematogen. Infeksi primer terjadi melalui
paparan awal basil tuberkel. Basil ini kemudian bertahan pada alveolus terminalis pada
paru-paru dan memperbanyak diri sehingga membentuk Ghon’s focus. Aliran limfatik
membuat basil ditelan oleh makrofag pada bagian hilus pulmonalis dan nodus limfoideus
mediastinum dan membentuk kompleks primer. Peripheral lymphadenitis dapat terjadi
pada waktu dimana infeksi awal atau pda reaktivasi infeksi primer utama. Walaupun
demikian, patogenesis tuberculous lymphadenitis tidak dapat benar-benar dijelaskan
melalui mekanisme penyakit paru parenkim, dan rute alternatif penyebaran ke nodus
limfatikus, seperti pada tonsil dan adenoid11.
- Tanda dan gejala
Demam, berkeringat, dan penurunan berat badan sering ditemukan. Kebanyakan
pasien dengan keterlibatan nodus mediastinal dan hilar akan terkena TB paru dan
menyebabkan dispnea dan takipnea. Pasien HIV dengan limfadenitis TB bisa terkena
infeksi oportunistik lainnya pada saat yang bersamaan. Y Jones dan Campbell
mengklasifikasikan lymph nodes tuberculosis ke dalam beberapa stadium12.
a. Stadium 1: pembesaran, tegas, mobile, nodus yang terpisah yang menunjukkan
hyperplasia reaktif non-spesifik.
b. Stadium 2: rubbery nodes yang berukuran besar yang terfiksasi ke jaringan
sekitarnya.
c. Stadium 3: perlunakan sentral akibat pembentukan abses.
d. Stadium 4: formasi abses collar-stud.
e. Stadium 5: formasi traktus sinus Manifestasi yang jarang ditemukan pada pasien
dengan keterlibatan mediastinal lymph node yaitu disfagia, fistula
oesofagomediastinal, dan fistula trakeo-esofageal
- Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
 Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik ditemukan massa yang terpisah-pisah atau ³matted nodes´
yang terfiksasi ke jaringan sekitarnya, kadang disertai dengan indurasi kulit di
bawahnya. Kadang-kadang , draining sinus, fluktuasi, atau eritema nodosum
dijumpai pada lokasi tersebut. -Limfadenopati Servikal Nodus limfe servikal
biasanya terlibat pada limfadenitis TB dengan 63-77% dari kasus. Massa unilateral
biasanya sering muncul di bagian anterior atau posterior triangular servikalis, tetapi

15
nodus limfe submandibular dan supraklavikular juga terlibat. Lesi bilateral jarang
dijumpai, mungkin terjadi kurang dari 10% kasus . Meskipun, kebnanyakan pasien
mempunyai manifestasi di satu lokasi, nodus-nodus yang lain di lokasi tersebut
dapat terlibat juga. -Nodus-nodus lain yang terlibat Meskipun regio servilkalis sering
terkena, lokasi lain juga sering dilaporkan. Tuberkulosis pada nodus limfe aksilaris,
inguinalis, mesentrik, mediastinal, dan intramammaris telah dilaporkan.
Tuberkulosis limfadenopati mediastinal dapat disertai dengan disfagia, perforasi
esofagus, paralisis pita suara akibat terlibatnya nercus laringeal rekurens, dan oklusi
arteri pulmonalis yang mirip dengan gejala emboli paru. Isolated TB Iutroabdominal
lymphhadenopathy sering mengenai nodus limfe di regio periportal, diikuti dengan
nodus limfe perpankreas dan mesentric. Nodus limfe hepar yang terkena
menyebabkan jaundis, trombosis vena portal, dan hipertensi portal. Kompresi
ektrinsik pada arteri renalis akibat limfadenopati tuberkulosis abdominal
menyebabkan hipertensi renovaskular. Koinfeksi HIV dapat mempengaruhi
manifestasui klinis limfadenitis TB. Pasien dengan AIDS dan pada derajat yang
lebih ringan, pasien yang hanya terinfeksi HIV, cenderung memiliki manifestasi TB
diseminata dengan keterlibatan lebih dari satu lokasi nouds limfe12.
 Pemeriksaan penunjang
Uji tuberkulin.
Untuk menegakkan apakah seseorang terinfeksi kuman BTA dapat dilakukan
pemeriksaan diagnosis dengan tuberkulin yang disuntikkan intrakutan menurut
Mantoux. Uji ini berguna untuk mengetahui adanya reaksi hipersensitivitas lambat
terhadap kuman tuberkulosis. Tuberkulin adalah fraksi protein dari kuman
tuberkulosis, yang bila disuntikkan pada orang yang pernah terinfeksi tbc (baik yang
aktif maupun yang “tidur”) akan menyebabkan pembengkakan kulit dalam 24-72
jam akibat akumulasi sel limfosit di daerah penyuntikan. Penebalan dan radang kulit
lebih dari 10 mm disebut negatif. Reaksi negatif palsu dapat terjadi pada pasien yang
anergi12.
Pemeriksaan patologi.
Tuberkulum, biasanya sebesar 1 sampai 3 mm, terbentuk sebagai reaksi radang di
sekitar sekelompok basil tbc. Sebagian besar terdiri dari sel epiteloid yang berasal
dari histiosit dan makrofag. Beberapa sel itu akan membesar dan berinti banyak dan
disebut sel raksasa Langhans. Di tengah tuberkulum terjadi nekrosis keju, sedangkan
lapisan luarnya terdiri dari sel limfosit. Struktur histologi ini merupakan gambaran
patologi khas tbc. Gambaran patologi jaringan hasil biopsi atau sisa jaringan debris
pada dasarnya menunjukkan radang spesifik seperti ini pula. Diagnosis dengan cara
ini cukup tinggi keandalannya, meskipun tetap harus dipikirkan diagnosis banding
yang memberikan gambaran hampir sama12.
Gejala dan tanda klinik juga khas. Kecuali tbc milier, penyakit tbc bersifat
berkembang lambat tanpa tanda radang akut. Bengkak radang biasanya jelas, tetapi
tidak ada hiperemia, panas dan nyeri setempat. Kalau terbentuk abses, disebut “abses
dingin”. Radang tbc merupakan radang spesifik/khas. Kadang radang disertai
dengan pembentukan banyak cairan seperti pada pleuritis eksudativa, peritonitis
eksudativa atau perikarditis eksudativa. Jika banyak terbentuk jaringan ikat,
16
radangnya dinamai produktiva atau sika. Nekrosinya menghasilkan massa seperti
salep atau keju sehingga disebut pengejuan atau caseosa, misalnya limfadenitis
kaseosa12.
Nekrosis yang mencair membentuk abses dingin sebab tidak ada demam umum
maupun setempat. Sering terjadi fistel tunggal atau multipel di kulit dari limfadentis
tbc di leher, atau di lipat paha dari osteomielitis. Spondilitis pada vertebra torakal
atau lumbal sering mengalirkan nanahnya ke luar melalui fasia otot psoas. Pada
tempat jaringan nekrosis/keju yang telah keluar itu mungkin terjadi ruang yang
disebut keverne seperti di paru atau diginjal12.
Pemeriksaan bakteriologi.
Pemeriksaan bekteriologi merupakan satu-satunya pembuktian mutlak akan adanya
tuberkulosis. Sediaan apus untuk identifikasi kuman BTA dapat dilakukan dengan
pewarnaan Ziehl Neelsen atau Kenyon-Gabet-Tan. Biakan kuman dilakukan dengan
medium Lowenstein Jensen atau Middlebrook 7H-11. Bahan yang diperiksa adalah
sputum, cairan lambung, air kemih, cairan sinovium, atau debris bergantung dari
letak penyakit12.
Karena basil tbc sangat lambat berkembang biak, diperlukan waktu enam hingga
delapan minggu untuk mengetahui hasil biakan. Marmot dapat dipakai untuk biakan
binatang. Hasil pemeriksaan ini dapat diperoleh setelah enam minggu. Pembelahan
sel menuntut 20-24 jam12.
Pemeriksaan radiologi.
Gambaran radiologis tuberkulosis sering dapat menegakkan diagnosis tuberkulosis,
meskipun diagnosis pastinya adalah dari pemeriksaan bakteriologis.
Diagnosis terapi percobaan Diagnosis dapat juga ditegakkan secara exjuvantibus
dengan terapi percobaan dengan menggunakan antituberkulosis. Pada sebagian
penderita tersangka tuberkulosis yang tidak didukung oleh gambaran klinis,
mikrobiologi maupun patologi, cara diagnosis ini dapat dilakukan. Efek
antituberkulosis ini paling sedikit baru dapat dinantikan setelah tiga minggu12.
- Penatalaksanaan
 Medika mentosa
Pada prinsipnya sama dengan pengobatan pada Tuberkulosis paru. Saat ini
direkomendasikan pengobatan dengan menggunakan obat paru lini pertama (selain
injeksi streptomycin) dengan kombinasi 4 obat selama 2 bln dan dilanjutkan INH,
Rifampicin selama 4 bln. Atau dapat diberikan dengan kombinasi 3 jenis obat dan
dilanjutkan dengan INH dan Rifampicin selama 7 bulan. Mengenai suntikan
streptomycin untuk limfadenits maka saat ini tidak direkomendasikan oleh WHO.
Hal ini juga dibuktikan oleh BTS (British Thoracic Society) yang melakukan clinical
trial menggunakan suntikan streptomycin dan hasilnya memperlihatkan tidak jauh
lebih baik dibanding kombinasi HRZE (INH, Rifampicin, Pyrazinamid dan
Etambutol) 12.

17
 Non medikamentosa
Terapi bedah.
Pusat radang tuberkulosis terdiri dari pengejuan yang dikelilingi jaringan fibrosa.
Seperti halnya infeksi lain, adanya jaringan nekrosis akan menghambat penetrasi
antibiotik ke daerah radang sehingga pembasmian kuman tidak efektif. Oleh karena
itu sarang infeksi di berbagai organ misalnya kaverne di paru dan debris di tulang
harus dibuang. Jadi, tindak bedah menjadi syarat mutlak untuk hasil baik terapi
medis. Selain itu tindak bedah juga diperlukan untuk mengatasi penyulit, misalnya
pada tuberkulosis paru yang menyebabkan destruksi luas dan empiema, pada
tuberkulosis usus yang menimbulkan obstruksi atau perforasi, dan osteitis atau
artritis tuberkulosa yang menimbulkan cacat12.

- Prognosis
Akan sembuh total tergantung keteraturan terapi12.

18
LIMFADENITIS KRONIK NON SPESIFIK

- Gambaran Makroskopik dan Histologis


a. Gambaran makroskopik

a. Gambaran histopatologis

- Epidemiologi
Peradangan kronis pada kelenjar limfe yang bersifat non-spesifik seringkali
disebabkan oleh suatu radang yang tidak spesifik atau tidak diketahui sebabnya.
Limfadenitis kronik spesifik biasanya disebabkan oleh infeksi kronis yang spesifik

19
seperti tuberculosis, sifilis dan toxoplasma. Diagnosis penyakit tergantung pada hasil
pemeriksaan histologist dan mikrobiologis dari jaringan kelenjar limfe ini13.
- Etiologi
Lymphadenitis hampir selalu dihasilkan dari sebuah infeksi, yang kemungkinan
disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa, ricketsia, atau jamur. Ciri khasnya, infeksi
tersebut menyebar menuju kelenjar getah bening dari infeksi kulit, telinga, hidung, atau
mata atau dari beberapa infeksi seperti infectious mononucleosis, infeksi
cytomegalovirus, infeksi streptococcal, tuberkulosis, atau sifilis. Infeksi tersebut bias
mempengaruhi kelenjar getah bening atau hanya pada salah satu daerah pada tubuh 13.
- Pathogenesis
a. Follicular hyperplasia.
Pola ini berkaitan dengan infeksi atau proses peradangan yang mengaktifkan sel
B. Sel B dalam berbagai tahap diferensiasi berkumpul di dalam pusat germinativum
besar atau oblong. Temuan yang menunjang diagnosis hiperplasia folikel adalah
dipertahankannya arsitektur kelenjar getah bening dengan jaringan limfoid normal di
antara pusat germinativum, nodus limfoid yang ukuran dan bentuknya sangat
bervariasi, populasi campuran limfosit pada tahap diferensiasi yang berbeda dan
aktivitas fagositik dan mitotik yang menonjol di pusat germinativum14.
b. Paracortical lymphoid hyperplasia
Pola ini ditandai dengan perubahan reaktif di dalam regio sel T kelenjar getah
bening. Sel T parafolikel mengalami ploriferasi dan transformasi menjadi menjadi
imunoblast yang mungkin menyebabkan lenyapnya folikel germinativum.
Hyperplasia limfoid para korteks terutama ditemukan pada infeksi virus atau setelah
vaksinasi cacar, dan pada reaksiimun yang dipicu oleh obat tertentu14.
c. Sinus histiocytosis
Pola reaktif ini ditandai dengan peregangan dan menonjolnya sinusoid limfe
akibat hipertrofi hebat sel endotel yang melapisinya dan infiltrasi oleh histiosit.
Histiosit sinus sering ditemukan pada kelenjar getah bening yang merupakan draina
sel kanker dan mungkin mencerminkan respons imun terhadap tumor atau
produknya14.
- Tanda dan Gejala
Limfo nodus yang terinfeksi membesar dan biasanya lunak dan sangat menyakitkan.
Kulit di sepanjang kelenjar yang terinfeksi tampak merah dan terasa hangat. Orang
tersebut bisa mengalami demam dan kantung atau nanah (abses) terbentuk. Kelenjar
tubuh yang membesar yang tidak menyebabkan nyeri, atau kemerahan bias
mengindikasikan gangguan serius lainnya, seperti lymphoma, tuberculosis, atau Hodgkin
lymphoma13.
- Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik diperiksa dan dirasakan pembesaran nodus limfa serta
melihat tanda injury dan infeksi disekitar nodus imfa yang bengkak. Biasanya,
lymphadenitis bisa didiagnosa berdasarkan gejala-gejala dasar, dan hal itu
menyebabkan infeksi sekitarnya yang nyata13.

20
b. Pemeriksaan Penunjang
Ketika penyebab tidak dapat diidentifikasi dengan mudah, biopsi dan kultur
kemungkinan diperlukan untuk memastikan diagnose dan untuk mengidentifikasikan
organism penyebab infeksi13.
- Penatalaksanaan
a. Medika Mentosa
Pengobatan tergantung pada organisme yang menyebabkan infeksi. Untuk
infeksi bakteri, antibiotic biasanya diberikan secara infuse atau per oral. Analgesic
digunakan dengan tujuan untuk mengontrol nyeri, sedangkan NSAID digunakan
untuk mengurangi inflamasi dan nyeri13.
b. Non Medika Mentosa
Kompres air hangat bias membantu mengurangi rasa sakit pada peradangan
batang getah bening. Kadang kala batang yang membesar tetap kuat tetapi tidak lagi
terasa lunak. Abscesses harus dikeringkan dengan cara operasi13.
- Prognosis
Penanganan yang sesuai dengan antibiotic sering berakhir dengan kesembuhan total.
Bagaimanapun, dibutuhkan berminggu-minggu sampai berbulan-bulan untuk
menghilangkan bengkaknya. Waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan bergantung pada
penyebabnya13.

21
DAFTAR PUSTAKA
1. Reksodiputro 2009, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V, Interna Publishing,
Jakarta.
2. Fridman Michal, 2010, ‘Multiple indicators of ambient and personal ultraviolet
radiation exposure and risk of non-Hodgkin lymphoma’, United States JPPB, Volume
101, Issue 3:321–325
3. Armitage 2009, ‘Staging Non-Hodgkin Lymphoma’, CAJC, Volume 55, Issue 6: 368–
376.
4. Bradley 2012. Hodgkin Lymphoma, viewed on 19 February 2013.
<http://emedicine.medscape.com/article/201886-overview#showall>.
5. Nazareth F, Quaresma MV, Bernardes F, Castro CGC, Nahn E P, Nery JAC, Rochael
MC, Lupi O. Hypopigmented Mycosis Fungoides in a 7-Year-Old Boy. Journal of
Cosmetics, Dermatological Sciences and Applications. 2012 February 9; 2012(2): 64-
67.
6. Kumar V, Cotran R, Robbins S 2007, Buku Ajar Patologi Edisi 7 Volume 2. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
7. Ranawaka RR, Abeygunasekara PH, Silva MVC. Hypopigmented Mycosis Fungoides
in Type V Skin: A Report of 5 Cases. Journal in Dermatological Medicine, Hindawi.
2011 August 25; 2011(10): 4.
8. Greenberg, Michael I 2005, Greenberg’s Text-Atlas of Emergency Medicine,
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
9. Creamer, Daniel et al 2011, Acute Adult Dermatology: Diagnosis and Management,
Manson Publishing, London.
10. Horwitz, S.M., Olsen, E.A., Duvic, M., Porcu, P., Kim, Y.H., 2008. ‘Reviem of the
Treatment of Mycosis Fungoides and Sezary Syndrome: A Stage-Based Approach’
Journal of the National Comprehensive Cancer Network. Vol. 6, No. 4, pp. 436-442.
11. Handa, Uma 2012, ‘Nodal tuberculosis revisited: a review’, J Infect Dev Ctries 2012,
6(1):6-12.
12. Depkes RI (Eds), 2007, Pedoman Nasional: Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2
Cetakan Pertama, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
13. Ulfat, Shaikh 2010, Lymphadenitis, viewed on 22 March 2012, <http://emedicine.
medscape.com/article/960858>.
14. Aster, JC et al 2007, Robbins Basic Pathology 8th edition, Elseiver, Philadelphia.

22

Anda mungkin juga menyukai