Anda di halaman 1dari 22

A.

Latar Belakang
Limfoma non-Hodgkin adalah kanker dari kelenjar getah bening karena itu mudah
menjalar ke tempat-tempat lain disebabkan kelenjar getah bening dihubungkan satu dengan
yang lain oleh saluran-saluran getah bening. Kanker kelanjar getah bening atau limfoma
adalah sekelompok penyakit keganasan yang bekaitan dan mengenai sistem limfatik.
Sistem limfatik merupakan bagian penting dari sistem kekebalan tubuh yang membentuk
pertahanan alamiah tubuh melawan infeksi dan kanker.
Limfoma merupakan penyakit keganasan yang sering ditemukan pada anak sepertiga
leukemia dan keganasan susunan syaraf pusat. Angka kejadian tertinggi pada umur 7-10
tahun dan jarang dijumpai pada usia dibawah 2 tahun. Laki-laki lebih sering bila
dibandingkan wanita dengan perbandingan 2,5 : 1. Angka kejadiannya setiap tahun
diperkirakan meningkat dan di USA 16,4 persejuta anak dibawah usia 14 tahun. Angka
kejadian limfoma malignum di Indonesia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Di
indonesia, terdapat beberapa kasus yang terjadi pada kanker Non-hodgkin’s lymphoma.
Contohnya yaitu Limfoma non-Hodgkin dari sinus sphenoid menyebabkan kelumpuhan
saraf terisolasi oculomotor. WHO memperkirakan sekitar 1,5 juta orang di dunia saat ini
hidup dengan NHL dan 300 ribu orang meninggal karena penyakit ini tiap tahun. Sekitar 55
persen dari NHL tipenya agresif dan tumbuh cepat.
NHL merupakan kanker tercepat ketiga pertumbuhannya setelah kanker kulit dan
paru-paru. Angka kejadian NHL meningkat 80 persen dibandingkan tahun 1970-an. Setiap
tahun angka kejadian penyakit ini meningkat 3-7 pesen. NHL banyak terjadi pada orang
dewasa dengan angka tertinggi pada rentang usia 45-60 tahun.
.Untuk lebih lanjut mengenai penyakit kanker Limfoma non-Hodgkin dan kasus-
kasusnya yang sering terjadi serta cara pengobatan penyakit ini dapat dijelaskan dalam
makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang dapat dikaji pada makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan limfoma non-Hodgkin (LNH/NHL) ?
2. Dimana saja lokasi kanker limfoma non-Hodgkin (LNH/NHL)?
3. Bagaimana klasifikasi limfoma non-Hodgkin (LNH/NHL)?
4. Apa penyebab dan faktor resiko limfoma non-Hodgkin (LNH/NHL)?
5. Bagaimana gejala limfoma non-Hodgkin (LNH/NHL)?
6. Jelaskan stadium-stadium limfoma non-Hodgkin (LNH/NHL)?
7. Bagaimana diagnosis limfoma non-Hodgkin (LNH/NHL)?
8. Bagaimana terapi limfoma non-Hodgkin (LNH/NHL)?
9. Sebutkan contoh-contoh kasus limfoma non-Hodgkin (LNH/NHL) dan bagaimana
terapinya?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan limfoma non-Hodgkin (LNH/NHL)
2. Untuk mengetahui dimana saja lokasi kanker limfoma non-Hodgkin (LNH/NHL)
3. Untuk mengetahui bagaimana klasifikasi limfoma non-Hodgkin (LNH/NHL)
4. Untuk mengetahui apa penyebab dan faktor resiko limfoma non-Hodgkin (LNH/NHL)
5. Untuk mengetahui bagaimana gejala limfoma non-Hodgkin (LNH/NHL)
6. Untuk mengetahui stadium-stadium limfoma non-Hodgkin (LNH/NHL)
7. Untuk mengetahui bagaimana diagnosis limfoma non-Hodgkin (LNH/NHL)
8. Untuk mengetahui bagaimana terapi limfoma non-Hodgkin (LNH/NHL)
9. Untuk mengetahui contoh-contoh kasus limfoma non-Hodgkin (LNH/NHL) dan
bagaimana terapinya

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Limfoma maligna non hodgkain (LNH) adalah suatu keganasan primer jaringan limfoid
yang bersifat padat. LNH adalah sekelompok penyakit heterogen. Sel ganas pada penyakit LNH
adalah sel limfosit yang berada pada salah satu tingkat deferensiasinya dan berproliferasi secara
banyak.
Limfoma maligna adalah kelompok neoplasma maligna/ganas yang muncul dalam kelenjar limfe
atau jaringan limfoid ekstranodal yang ditandai dengan proliferasi atau akumulasi sel-sel asli
jaringan limfoid (limfosit, histiosit dengan pra-sel dan derivatnya) (Shike, 1996).
Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak
diketahui, tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr yang ditemukan pada
limfoma Burkitt. Adanya peningkatan insidens penderita limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin
pada kelompok penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) pengidap virus HIV,
tampaknya mendukung teori yang menganggap bahwa penyakit ini disebabkan oleh virus. Awal
pembentukan tumor pada gangguan ini adalah pada jaringan limfatik sekunder (seperti kelenjar
limfe dan limpa) dan selanjutnya dapat timbul penyebaran ke sumsum tulang dan jaringan lain
(Soeparman, 1990).
Sistem limfatik berperan pada reaksi peradangan sejajar dengan sistem vaskular darah.
Biasanya ada penembusan lambat cairan interstisial kedalam saluran limfe jaringan, dan limfe
yang terbentuk dibawa kesentral dalam badan dan akhirnya bergabung kembali kedarah vena.
Bila daerah terkena radang, biasanya terjadi kenaikan yang menyolok pada aliran limfe dari
daerah itu. Telah diketahui bahwa dalam perjalanan peradangan akut, lapisan pembatas
pembuluh limfe yang terkecil agak meregang, sama seperti yang terjadi pada venula, dengan
demikian memungkinkan lebih banyak bahan interstisial yang masuk kedalam pembuluh limfe.
Bagaimanapun juga, selama peradangan akut tidak hanya aliran limfe yang bertambah , tetapi
kandungan protein dan sel dari cairan limfe juga bertambah dengan cara yang sama (Mansjoer
dkk, 1999).
Sebaliknya, bertambahnya aliran bahan-bahan melalui pembuluh limfe menguntungkan
karena cenderung mengurangi pembengkakan jaringan yang meradang dengan mengosongkan
sebagian dari eksudat. Sebaliknya, agen-agen yang dapat menimbulkan cedera dapat dibawa oleh
pembuluh limfe dari tempat peradangan primer ketempat yang jauh dalam tubuh. Dengan cara
ini, misalnya, agen-agen yang menular dapat menyebar. Penyebaran sering dibatasi oleh
penyaringan yang dilakukan oleh kelenjar limfe regional yang dilalui oleh cairan limfe yang
bergerak menuju kedalam tubuh, tetapi agen atau bahan yang terbawa oleh cairan limfe mungkin
masih dapat melewati kelenjar dan akhirnya mencapai aliran darah (Price, 1995).
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisis dapat menghasilkan petunjuk tentang
kemungkinan diagnosis ini dan evaluasi lebih lanjut secara langsung (misalnya hitung darah
lengap, biakan darah, foto rontgen, serologi, uji kulit). Jika adenopati sistemik tetap terjadi tanpa
penyebab yang jelas tanpa diketahui, biopsi kelenjar limfe dianjurkan. (Santoso, 2004). Biopsi
sayatan: Sebagian kecil jaringan tumur mame diambil melalui operasi dengan anestesi umum
jaringan tumor itu dikeluarkan, lalu secepatnya dikirim kelaborat untuk diperriksa. Biasanya
biopsi ini dilakukan untuk pemastian diagnosis setelah operasi (Soeparman, 1990). Anestesi
umum menyebabkan mati rasa karena obat ini masuk kejaringan otak dengan tekanan setempat
yang tinngi (Soeparman, 1990). Pada awal pembiusan ukuran pupil masih biasa, reflek pupil
masih kuat, pernafasan tidak teratur, nadi tidak teratur, sedangkan tekanan darah tidak berubah,
seperti biasa. (Santoso, 2004).

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Limfoma Non-Hodgkin (LNH/NHL)


Limfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan primer limfosit yang
dapat berasal dari limfosit B, limfosit T dan kadang (amat jarang) berasal dari sel NK
(“natural killer”) yang berada dalam sistem limfe; yang sangat heterogen, baik tipe
histologis, gejala, perjalanan klinis, respon terhadap pengobatan, maupun prognosis. LNH
merupakan kumpulan penyakit keganasan heterogen yang mempengaruhi sistem limfoid:
80% berasal dari sel B dan yang lain dari sel T. Pada LNH sebuah sel limfosit
berproliferasi secara tak terkendali yang mengakibatkan terbentuknya tumor. Seluruh sel
LNH berasal dari satu sel limfosit, sehingga semua sel dalam tumor pasien LNH sel B
memiliki imunoglobulin yang sama pada permukaan selnya
Non-hodgkin’s lymphoma (NHL/LNH) adalah suatu keganasan primer jaringan
limfoid yang bersifat padat. Sel ganas pada NHL adalah sel limsosit yang berada pada salah
satu tingkat diferensiasinya dan berproliferasi secara banyak. Dapat terjadi pada limfosit T
maupun limfosit B (Reksidoputro, 1996). Menurut golongan histologisnya limfoma dibagi
atas 3 kelompok besar yaitu : LNH derajat keganasan rendah, LNH derajat keganasan
menengah, dan LNH derajat keganasan tinggi.
LNH derajat keganasan rendah tidak harus diobati sedangkan LNH derajat
keganasan mencngah dan tinggi harus segera diobati karena dapat menimbulkan kematian
dalam beberapa bulan saja. Karena itu pcncntuan golongan histologis dan stadium penyakit
merupakan hal yang tcrpcnting dalam penatalaksanaan penderita limfoma non-Hodgkin.
Sekitar 50% penderita LNH yang berobat di Subbagian Hematologi-Onkologi Medik
Bagian Itmu Penyakit Dalam FKUI-Dibacakan pada: Simposium Lekemia dan Limfoma
Malignum, Padang, 25 Juli 1992
RSCM berusia antara 40 sampai 60 tahun. Tidak ada perbedaan berarti antara jumlah
penderita yang berusia an tara 40 sampai 50 tahun dan yang berusia antara 50 sampai 60
tahun. Pria lebih sering dijangkiti penyakit ini bila dibandingkan dengan wanita, yaitu 1,7
kali lebih sering. Perbandingan antara pria dan wanita yang terlihat di Jakarta sesuai
dengan apa yang terlihat pada orang Barat. Tempat jangkitan pertama penyakit ini adalah
seperti terlihat dari namanya, tentu saja kelenjar getah bening, yaitu pada sekitar 73%.

B. Lokasi Limfoma Non-Hodgkin (LNH/NHL)


Non-
Hodgkin lymphoma umumnya terjadi karena adanya lymphocyte yang bersifat kanker pada
kelenjar limpa, tetapi kondisi ini dapat juga menyebar ke bagian lain dari sistem lymphatic.
Termasuk pembuluh lymphatic, amandel, adenoid, limpa, timus dan sumsum tulang.
Kadang-kadang kondisi ini juga terjadi pada organ diluar sistem lymphatic. Keterlibatan
dinding dada lebih umum di NHLs sebagai akibat dari tambahan langsung dari penyakit dari
mediastinum. Kadang-kadang, dinding dada adalah situs utama limfoma extranodal.
Biasanya muncul sebagai lesi merusak tulang rusuk atau vertebra tubuh dengan jaringan
lunak sekitarnya massa. Pleura mungkin terlibat dengan tambahan langsung dari dinding
dada bersebelahan massa atau paru-paru penyakit. Paru-paru parenchyma adalah situs umum
keterlibatan oleh extranodal NLHs.
Pada 53% penderita yang berobat di FKUI-RSCM, penyakit ini mulai pada kelenjar Idler,
pada 16% mulai pada kelen jar getah bening inguinal, dan 4% mulai pada kelenjar getah
baling aksila. Pada 19,0% penderita penyakit ini mulai pada jaringan limfoid di luar kelenjar
getah bcning yaitu 9% pada cincin Waldeyer, 10% pada traktus gastrointestinal (jejas
Peycri). Hanya pada 8% penyakit ini mulai pada jaringan non- imfoid (jaringan orbita,
tulang dan lain-lain).
Dalam perjalanan penyakit penderita, metastasis pada daerah intratorakal timbul pada
12,6% penderita, pembcsaran limpa tcrjadi pada 10,7%, metastasis tulang terjadi pada 8%.
Pada 26,5% penderita, ukuran diameter sudah melebihi 10 cm. Lima puluh dclapan pencil
(58%) pendcrita tidak dapat lagi mengerjakan pekerjaan sehari-harinya dan harus berada di
tempat tidur selama 50% dari waktunya atau lebih. Gejala klinis, yaitu demam (38°C tanpa
gejala infeksi) dan penurunan berat badan (10% dalam waktu 6 bulan), ditemukan pada 35%
penderita.
C. Klasifikasi Limfoma Non-Hodgkin (LNH/NHL)
Penggolongan histologis LNH merupakan masalah yang rumit dan sukar, yang kerap
menggunakan istilah-istilah yang dimaksudkan untuk tujuan yang berbeda-beda sehingga
tidak memungkinkan diadakannya perbandingan yang bermakna antara hasil dari berbagai
pusat penelitian. Terdapat lebih dari 20 klasifikasi yang berbeda untuk NHL. Perkembangan
terakhir klasifikasi yang banyak dipakai dan diterima di banyak pusat kesehatan adalah
formulasi praktis (“Working Formulation”/WF) dan REAL/WHO (Revised European-
American Classification of Lymphoid Neoplasms). WF menjabarkan karakteristik klinis
dengan deskriptif histopatologis, namun belum menginformasikan jenis sel limfosit B atau
T, maupun berbagai patologis klinis yang baru. WF membagi LNH atas derajat keganasan
rendah, menengah dan tinggi yang mencerminkan sifat agresifitas mereka. Klasifikasi
WHO/REAL beranjak dari karakter imunofenotif (sel B, sel T dan sel NK) dan analisa
“lineage” sel limfoma. Klasifikasi terakhir ini diharapkan menjadi patokan baku cara
berkomunikasi di antara ahli hematologi-onkologi medik.
NHL derajat rendah

Ini termasuk penyakit seperti limfoma folikular dan makroglobulinemia Waldenström.


Biasanya kelainan timbul lambat, dengan progresi yang lambat pula. Kelainan ini biasanya bisa
dikontrol dengan kemoterapi oral. Seseorang dengan limfoma derajat rendah, jaringan limfoid
terkait mukosa, yang berbatasan dengan lambung, dianggap terkait dengan infeksi Helicobacter
pylori dan memberikan respon terhadap antibiotik. Sampai saat ini, belum tersedia penyembuhan
limfoma derajat rendah. Harapan hidup median adalah 8 – 10 tahun, tetapi angka kematian
bervariasi.

NHL derajat menengah dan tinggi

Penyakit-penyakit ini adalah penyakit yang agresif dengan onset dan progresivitas yang
cepat. Pasien dengan limfoma derajat sedang, jenis limfositik-nodular, pada awalnya cenderung
berada pada stadium yang lebih lanjut, dengan sekitar 60 – 80 % insiden terkenanya sumsum
tulang. Jaringan limfatik tonsilar pada orofaring dan nasofaring (disebut cincin Waldeyer) juga
merupakan tempat yang diserang pada 15 – 30 % pasien. Limfoma Burkitt dan imunoblastik
merupakan limfoma derajat tinggi dan mempunyai kecenderungan mengenai SSP. SSP juga
merupakan daerah yang sering terkena pada pasien relaps dengan penyakit stadium IV bersama
daerah lain yang sebelumnya terkena. Meskipun limfoma derajat sedang dan tinggi sangat
agresif dan fatal tanpa pengobatan, limfoma ini berespon terhadap kemoterapi dan berpotensi
untuk sembuh. Dengan kemoterapi intensif, 20 – 40 % pasien berusia < 60 tahun dapat sembuh.
Sisanya meninggal karena penyakit ini.

Tabel : perbedaan antara LNH indolen dan agresif.

Limfoma non Hodgkin indolen Limfoma non


Hodgkin agresif
Proporsi 40% – 50% 50% – 60%
Pertumbuhan Lambat Cepat
Penjelasan Sering tidak kelihatan gejala pada saat Gejala kelihatan
diagnosis; diagnosis bisa kapan saja sebelum
dalam berbagai kasus diagnosa
Pengobatan Kadang tidak butuh secepatnya Biasanya butuh
secepatnya
Outcome Respon baik terhadap pengobatan, Respon sangat
namun kadang bisa kambuh baik terhadap
pengobatan,
lebih mudah
disembuhkan

D. Penyebab dan Faktor Resiko Limfoma Non-Hodgkin (LNH/NHL)


Etiologi (penyebab) LNH tidak diketahui. Namun terdapat beberapa faktor resiko
terjadinya LNH antara lain :
Imuno Defisiensi: 25% kelainan herediter langka yang berhubungan dengan terjadinya
LNH antara lain adalah: severe combined immunodeficiency, hypogammaglobulinemia, common
variable immunodeficiency, Wiskott-Aldrich syndrome, dan ataxia-telangiectasia. Limfoma yang
berhubungan dengan dengan kelainan-kelainan tersebut seringkali dihubungkan pula dengan
Epstein-Barr virus (EBV) dan jenisnya beragam, mulai dari hiperplasia poliklonal sel B hingga
limfoma monoklonal.
Agen Infeksius: EBV DNA ditemukan pada 95% limfoma Burkitt endemik, dan lebih
jarang ditemukan pada limfoma Burkitt sporadik. Karena tidak pada semua kasus limfoma
Burkitt ditemukan EBV, hubungan dan mekanisme EBV terhadap terjadinya limfoma Burkitt
belum diketahui. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa infeksi awal EBV dan faktor lingkungan
dapat meningkatkan jumlah prekursor yang terinfeksi EBV dan meningkatkan resiko terjadinya
kerusakan genetik. EBV juga dihubungkan dengan posttransplant lymphoproliferative disorders
(PTLDs) dan AIDS-associated lymphomas.
Paparan Lingkungan dan Pekerjaan: Beberapa pekerjaan yang sering dihubungkan
dengan resiko tinggi adalah peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini disebabkan
adanya paparan herbisida dan pelarut organik.
Diet dan Paparan Lainnya: Resiko LNH meningkat pada orang yang mengkonsumsi
makanan tinggi lemak hewani, merokok, dan yang terkena paparan ultraviolet.

E. Gejala Limfoma Non-Hodgkin (LNH/NHL)


Gejala awal yang dapat dikenali adalah pembesaran kelenjar getah bening di suatu tempat
(misalnya leher atau selangkangan) atau di seluruh tubuh.
Kelenjar membesar secara perlahan dan biasanya tidak menyebabkan nyeri. Pada anak-anak,
gejala awalnya adalah masuknya sel-sel limfoma ke dalam sumsum tulang, darah, kulit, usus,
otak dan tulang belakang; bukan pembesaran kelenjar getah bening. Masulknya sel limfoma ini
menyebabkan anmeia, ruam kulit dan gejala neurologis (misalnya kelemahan dan sensasi yang
abnormal). Biasanya yang membesar adalah kelenjar getah bening di dalam, yang menyebabkan:
- pengumpulan cairan di sekitar paru-paru sehingga timbul sesak nafas
- penekanan usus sehingga terjadi penurunan nafsu makan atau muntah
- penyumbatan kelenjar getah bening sehingga terjadi penumpukan cairan.

Gejala Limfoma Non-Hodgkin


Gejala Penyebab Kemungkinan
timbulnya gejala
Gangguan pernafasan Pembesaran kelenjar getah bening di 20-30%
Pembengkakan wajah dada
Hilang nafsu makan Pembesaran kelenjar getah bening di 30-40%
Sembelit berat perut
Nyeri perut atau perut kembung
Pembengkakan tungkai Penyumbatan pembuluh getah bening 10%
di selangkangan atau perut
Penurunan berat badan Penyebaran limfoma ke usus halus 10%
Diare
Malabsorbsi
Pengumpulan cairan di sekitar Penyumbatan pembuluh getah bening 20-30%
paru-paru di dalam dada
(efusi pleura)
Daerah kehitaman dan menebal Penyebaran limfoma ke kulit 10-20%
di kulit yang terasa gatal
Penurunan berat badan Penyebaran limfoma ke seluruh tubuh 50-60%
Demam
Keringat di malam hari
Anemia Perdarahan ke dalam saluran 30%, pada
(berkurangnya jumlah sel darah pencernaan akhirnya bisa
merah) Penghancuran sel darah merah oleh mencapai 100%
limpa yang membesar & terlalu aktif
Penghancuran sel darah merah oleh
antibodi abnormal (anemia hemolitik)
Penghancuran sumsum tulang karena
penyebaran limfoma
Ketidakmampuan sumsum tulang untuk
menghasilkan sejumlah sel darah
merah karena obat atau terapi
penyinaran
Mudah terinfeksi oleh bakteri Penyebaran ke sumsum tulang dan 20-30%
kelenjar getah bening, menyebabkan
berkurangnya pembentukan antibodi

F. Stadium Limfoma Non-Hodgkin (LNH/NHL)


Dokter harus mengetahui tingkatan (tahapan) limfoma non-Hodgkin untuk merencanakan
pengobatan yang terbaik. Tahapan ini berdasarkan lokasi tempat sel-sel limfoma ditemukan (di
kelenjar getah bening atau di organ atau jaringan lain) dan jangkauan area yang terkena. Tahapan
limfoma non-Hodgkin adalah sebagai berikut:

 Stadium I: Sel-sel limfoma berada dalam satu kelompok kelenjar getah bening (misalnya
di leher atau di ketiak). Atau, jika sel-sel abnormal itu tidak berada dalam kelenjar getah
bening, tapi hanya pada satu bagian jaringan atau organ tubuh saja (misalnya di paru-
paru, tapi tidak di hati atau di sumsum tulang).
 Stadium II: Sel-sel limfoma berada sekurangnya di dua kelompok kelenjar getah bening,
pada sisi diafragma yang sama (baik di atas atau di bawah). Atau, sel-sel limfoma ini
berada di organ tubuh dan di kelenjar getah bening di sekitarnya (pada sisi yang sama
seperti diafragma) Mungkin ada sel-sel limfoma di kelompok kelenjar getah bening yang
lain di sisi diafragma yang sama.
 Stadium III: Limfoma terdapat dalam kelompok kelenjar getah bening di atas dan di
bawah diafragma. Juga dapat ditemukan di organ atau di jaringan di sekitar kelompok
kelenjar getah bening ini.
 Stadium IV: Limfoma ini berada di seluruh satu organ atau jaringan (selain di kelenjar
getah bening). Atau, berada dalam hati, darah, atau sumsum tulang.

G. Diagnosis Limfoma Non-Hodgkin (LNH/NHL)


Diagnosa NHL mengacu pada lebih dari 24 jenis kanker pada sistem getah bening. Untuk
menemukan pengobatan yang tepat atau pun memprediksi hasilnya, para dokter pertama-tama
harus menemukan sel getah bening mana yang diserang limfoma. Langkah pertama adalah
dengan mengambil sampel jaringan (biopsi) yang terkena limfoma untuk dianalisa. Sel itu
kemudian diberi pewarna khusus dan diamati melalui mikroskop untuk membandingkan ukuran
dan bentuk sel serta penampakan nukleus dan sitoplasmanya. Sel itu digolong-golongkan dalam
beberapa tingkatan yaitu: tingkat rendah untuk penyebaran yang lambat, tingkat sedang untuk
penyebaran yang agak cepat dan tingkat tinggi untuk penyebaran yang sangat cepat. Diagnosa
dikuatkan dengan CT-scan (computerized tomography scan) dan gambar MRI (magnetic
resonance imaging).
NHL bisa menyerang berbagai organ tubuh. Seseorang dengan HIV berkemungkinan
lebih besar mengalami limfoma pada lebih dari satu organ tubuh. Ronsen dada akan
memperlihatkan apakah paru-paru juga terkena. Biopsi sumsum tulang berguna untuk
mengetahui apakah limfoma itu menjalar ke sumsum tulang, tempat produksi sel darah merah
dan sel darah putih caranya ialah dengan mengambil sedikit sumsum tulang, yang kemudian
diamati dengan mikroskop untuk melihat ada-tidaknya ketidaknormalan sel. Yang terakhir,
gambaran beberapa ronsen khusus dapat berguna untuk melihat struktur kelenjar getah bening
yang membengkak dan memeriksa suplai darah dan getah bening pada kelenjar tersebut. Proses
ini disebut lymphangiography, memerlukan cairan berwarna biru yang dapat terlihat dengan
sinar X. cairan itu disuntikkan pada pembuluh darah di antara jari kaki dan kemudian dengan
menggunakan sinar X akan terlihat gambaran kelenjar getah bening ketika cairan itu
melewatinya.
H. Terapi Limfoma Non-Hodgkin (LNH/NHL)
Kemoterapi. Kemoterapi terutama diberikan untuk limfoma jenis derajat keganasan
sedang-tinggi dan pada stadium lanjut.
1. Radiasi.
Radiasi dosis tingi bertujuan untuk membunuh sel kanker dan mengecilkan ukuran tumor.
Terapi radiasi umumnya diberikan untuk limfoma derajat rendah dengan stadium awal.
Namun kadang-kadang dikombinasikan dengan kemoterapi pada limfoma dengan derajat
keganasan sedang atau untuk terapi tempat tertentu, seperti di otak.
Digunakan dua jenis terapi radiasi bagi penderita limfoma:
 Radiasi eksternal: Sebuah mesin besar akan mengarahkan sinar ke bagian tubuh di
mana sel-sel limfoma terkumpul. Terapi ini bersifat lokal karena hanya
mempengaruhi sel-sel di area yang diobati saja. Sebagian besar penderita pergi ke
rumah sakit atau klinik untuk dirawat 5 hari dalam seminggu, selama beberapa
minggu.
 Radiasi sistemik: Beberapa penderita limfoma akan mendapat suntikan bahan
radioaktif yang akan mengalir ke seluruh tubuh. Bahan radioaktif itu akan terikat
pada antibodi yang menargetkan dan menghancurkan sel-sel limfoma
2. Transplantasi sel induk
Terutama jika akan diberikan kemoterapi dosis tinggi, yaitu pada kasus kambuh. Terapi
ini umumnya digunakan untuk limfoma derajat sedang-tinggi yang kambuh setelah
terapi awal pernah berhasil. Orang dengan limfoma yang kambuh dapat memperoleh
transplantasi sel induk (stem cell). Transplantasi sel induk yang membentuk darah
memungkinkan orang mendapatkan kemoterapi dosis tinggi, terapi radiasi, atau
keduanya. Kemoterapi dosis tinggi ini akan menghancurkan sel-sel limfoma sekaligus
sel-sel darah normal dalam sumsum tulang. Kemudian, pasien akan mendapatkan sel-
sel induk yang sehat melalui tabung fleksibel yang dipasang di pembuluh darah balik
besar di area dada atau leher. Sel-sel darah yang baru akan tumbuh dari sel-sel induk
hasil transplantasi ini. Tranplantasi sel induk dilakukan di rumah sakit. Sel-sel induk ini
bisa didapatkan dari pasien sendiri
3. Observasi
Jika limfoma bersifat lambat dalam pertumbuhan, maka dokter mungkin akan
memutuskan untuk observasi saja. Limfoma yang tumbuh lambat dengan gejala yang
ringan mungkin tidak memerlukan terapi selama satu tahun atau lebih.
4. Terapi biologi.
Satu-satunya terapi biologi yang diakui oleh Food and Drug Administration (FDA)
Amerika Serikat saat ini adalah rituximab. Rituximab merupakan suatu antibody
monoclonal yang membantu system imun mengenali dan menghancurkan sel kanker.
Umumnya diberikan secara kombinasi dengan kemoterapi atau dalam
radioimunoterapi.
5. .
Radioimunoterapi

Merupakan terapi terkini untuk limfoma non-Hodgkin. Obat yang telah mendapat
pengakuan dari FDA untuk radioimunoterapi adalah ibritumomab dan tositumomab.
Terapi ini menggunakan antibody monoclonal bersamaan dengan isotop radioaktif.
Antibodi tersebut akan menempel pada sel kanker dan radiasi akan mengahancurkan sel
6. Kemoterapi

Kemoterapi menggunakan obat-obatan untuk membunuh sel-sel kanker. Terapi ini


disebut terapi sistemik karena obat akan mengalir di sepanjang aliran darah. Obat dapat
mencapai sel-sel kanker di hampir seluruh bagian tubuh.
Kemoterapi dapat mulut, melalui pembuluh darah balik, atau di ruang antara sumsum
tulang belakang. Pengobatan biasanya berupa rawat jalan, baik di rumah sakit/klinik
atau di rumah. Beberapa pasien harus menginap di rumah sakit selama pengobatan
untuk mendapatkan pengamatan yang seksama.
Jika pasien menderita limfoma di lambung akibat infeksi Helikobaktor, dokter dapat
mengobati limfoma ini dengan antibiotika. Setelah infeksi sudah disembuhkan, kanker
mulai dapat diobati.
Kombinasi sediaan kemoterapi pada Limfoma Non-Hodgkin.

Sediaan Obat Keterangan


Obat tunggal Klorambusil Digunakan pada limfoma tingkat rendah
Siklofosfamid untuk mengurangi ukuran kelenjar getah
bening & untuk mengurangi gejala
CVP (COP) Siklofosfamid Digunakan pada limfoma tingkat rendah
Vinkristin & beberapa limfoma tingkat menengah
(onkovin) untuk mengurangi ukuran kelenjar getah
Prednison bening & untuk mengurangi gejala
Memberikan respon yang lebih cepat
dibandingkan dengan obat tunggal
CHOP Siklofosfamid Digunakan pada limfoma tingkat
Doksorubisin menengah & beberapa limfoma tingkat
(adriamisin) tinggi
Vinkristin
(onkovin)
Prednison
C-MOPP Siklofosfamid Digunakan pada limfoma tingkat
Vinkristin menengah & beberapa limfoma tingkat
(onkovin) tinggi
Prokarbazin Juga digunakan pada penderita yang
Prednison memiliki kelainan jantung & tidak dapat
mentoleransi doksorubisin
M-BACOD Metotreksat Memiliki efek racun yg lebih besar dari
Bleomisin CHOP & memerlukan pemantauan ketat
Doksorubisin terhadap fungsi paru-paru & ginjal
(adriamisin) Kelebihan lainnya menyerupai CHOP
Siklofosfamid
Vinkristin
(onkovin)
Deksametason
ProMACE/CytaBOM Prokarbazin Sediaan ProMACE bergantian dengan
Metotreksat CytaBOM
Doksorubisin Kelebihan lainnya menyerupai CHOP
(adriamisin)
Siklofosfamid
Etoposid
bergantian dengan
Sitarabin
Bleomisin
Vinkristin
(onkovin)
Metotreksat
MACOP-B Metotreksat Kelebihan utama adalah waktu
Doksorubisin pengobatan (hanya 12 minggu)
(adriamisin) Kelebihan lainnya menyerupai CHOP
Siklofosfamid
Vinkristin
(onkovin)
Prednison
Bleomisin

I. Kasus-Kasus Penyakit Limfoma Non-Hodgkin SertaTreatment Disease


1. Limfoma non-Hodgkin dari sinus sphenoid (Park dkk, 2007).
Seorang wanita 53 tahun disampaikan kepada kantor rawat jalan Neurology dengan
sejarah tiga bulan sakit kepala dan diplopia. Tidak ada riwayat demam, penurunan berat
badan, atau noc-turnal berkeringat. Pasien tidak memiliki riwayat diabetes, hipertensi,
atau penyakit saraf dan faktor risiko untuk stroke. Tidak ada bruits serviks atau
limfadenopati di, daerah supraklavikula serviks atau ketiak yang dihargai. Pemeriksaan
neurologis mengungkapkan palsy occulomotor saraf lengkap kiri, dengan posisi ptosis,
mydriasis dan luar dari mata kiri. Hasil yang tersisa dari pemeriksaan fisik berada dalam
batas normal. Semua laboratorium serum dan nilai-nilai hormonal berada dalam rentang
normal.
Treatment disease ;
Pertama-tama yang dilakukan adalah scanMRI menunjukkan lesi jaringan lunak
homogen menduduki sinus sphenoid kiri dan menyerang gua-ous sinus kiri (Gambar 1). Massa
tersebut homogen ditingkatkan dengan suntikan Gadolinium, dan tidak ada perpanjangan
intradural tumor tercatat. Sebuah lesi-ruang strategis di dalam sinus sphenoid, seperti karsinoma,
mucocele, atau adenoma hipofisis ektopik, diduga sebagai diagnosis awal.

Selama operasi terbuka, sinus sphenoid kiri berisi pembuluh darah tumor gembur
merah, yang dibiopsi. Bagian beku dari biopsi intrasurgical didiagnosis sebagai kompatibel
dengan tumor sel kecil bulat. Diagnosis histologis terakhir adalah limfoma non-Hodgkin, dif-
sekering besar B-tipe sel, yang memiliki seragam, bulat-ke-oval dengan kromatin inti vesikuler
dan satu atau beberapa nukleolus mencolok. Sel-sel tumor positif untuk CD20 dan negatif untuk
CD3 (Gambar 2).

Pasien dirujuk ke onkologi medis untuk pementasan karya-up, termasuk biopsi sumsum
tulang dan tomografi emisi positron (PET), yang semuanya negatif. Pasien menerima kemoterapi
yang terdiri dari delapan siklus CHOP (siklofosfamid, adriamisin, vincris-tine (Oncovin), dan
prednison) dengan Rituximab pembantu. Setelah enam siklus kemoterapi, kelumpuhan saraf
diamati sebelumnya kiri ketiga benar-benar diselesaikan. Tidak ada luka meningkatkan dicatat
pada tindak lanjut MRI 6 bulan pascaoperasi (Gambar 3). Pasien saat ini sedang rutin tindak
lanjut bulanan di klinik onkologi medis.

Awal klinis penyajian kelumpuhan saraf oculomotor terisolasi tanpa defisit neurologis
tambahan langka, dan sifat dari tumor, yang menduduki sinus sphenoid, adalah sebuah situs
jarang didokumentasikan limfoma non-Hodgkin. Untuk pengetahuan kita, hanya ada enam kasus
didokumentasikan dari limfoma primer non-Hodgkin sphenoidal di literature. Karakteristik klinis
kasus-kasus ini teringkas pada Tabel 1. Ada total enam laki-laki dan satu perempuan
didokumentasikan dalam literatur, termasuk kasus kami. Usia rata-rata adalah 48 tahun (kisaran
5-78). Menyajikan gejala termasuk sakit kepala, gangguan visual dan cra-nial keterlibatan saraf.

2. Non Hodgkin Limfoma pada Lidah (Patte, 1997).


Seorang pasien laki-laki 40 tahun yang disajikan dengan riwayat pembengkakan perlahan-
lahan tumbuh di batas lateral kanan lidah 2 bulan lamanya. Dia tidak memiliki gejala
lainnya seperti penurunan demam, keringat malam, berat badan. Pemeriksaan setempat
mengungkapkan 5cm x 4cm jejas nodular melibatkan perusahaan batas lateral bagian kanan
lidah (Gambar 1). Bagian lain dari rongga mulut, orofaring, dan leher normal. Pemeriksaan
sistemik termasuk pernapasan, sistem jantung, saraf perut dan tengah normal. Investigasi:
Hb 12.4gm%, TLC 8,2 x 103 / uL, DLC trombosit L P-80% 20% dari 2,17 x 106 / uL. Dada
radiograf, kepala, leher dan perut tomografi komputer normal. Pemeriksaan CSF biasa-biasa
saja.
Treatment disease ;
Pemeriksaan histopatologi jejas lidah mengungkapkan sel bulat discretely ditempatkan
dengan hiperkromik tidak teratur inti, nukleolus mencolok, hanya sedikit sampai sedang jumlah
sitoplasma (Gambar 2). Immuno-histokimia evaluasi positif untuk LCA dan CD 20 (Gambar 3)
dan negatif untuk cytokeratin (CK), CD-3, Vimentin, S-100 sugestif dari tipe B Non Primer
Besar Hodgkin Limfoma sel. Ia dipentaskan sebagai IE. Dia mengenakan CHOP
(cyclophosphamide, vincristine, adriamisin, prednisolon) kemoterapi. Posting siklus pertama
kemoterapi, lesi sepenuhnya menghilang. (Gambar 4). Lebih lanjut, ia menerima 3 siklus lebih
CHOP, setelah itu ia tidak muncul untuk radioterapi berikutnya.

3. Non-Hodgkin Limfoma Paru-Paru (Kara, 2002).


Seorang pria 69 tahun itu disebut dengan diagnosis karsinoma sel skuamosa bronchogenic
diperoleh bronchoscopic sakit atanother biopsi. Dia disajikan dengan dada dan sakit punggung
dari dua bulan lamanya. Ia telah menjadi pekerja di pabrik kaca selama 15 tahun dan perokok
selama 45 tahun. Pada pemeriksaan fisik, suara napas yang berkurang pada zona kiri bawah
paru-paru. Selain itu, ia memiliki edema pretibial jelas di sisi kanan, yang disebabkan prosedur
angiografi, dilakukan delapan tahun sebelum masuk dan lesi hiperkeratosis di bagian belakang
kakinya. Data laboratorium berada dalam batas normal. Chest X-ray menunjukkan konsolidasi
pneumonia pada zona kiri bawah (Gambar 1). Pada computed tomography (CT), suatu hipodens,
massa soliter, berukuran 6x4x3 cm terlihat di segmen posterabasal dari lobus kiri bawah
(Gambar 2). Metastasis oemeriksaan adalah negatif. Bronkoskopi tidak menunjukkan lesi
endobronkial.
Pemeriksaan sitologi dari lavage bronchoalveolar dan sputum tidak definitif. Sebuah
lobektomi kiri bawah dengan diseksi kelenjar getah bening mediastinum dilakukan. Pemeriksaan
histologi menunjukkan limfoma paru primer tanpa keterlibatan kelenjar getah bening baik hilus
atau mediastinum (Gambar 3). Pewarnaan imunohistokimia dengan CD20, CD23, CD 43,
CD79a menunjukkan positif pada sel limfoid, dan mengungkapkan lowgrade limfoma zona B
marjinal utama sel paru-paru (Gambar 4). Pasien dirujuk ke onkologi medis untuk kemoterapi
lanjut.
Treatment disease ;
Limfoma yang paling utama paru-paru timbul dari jaringan mukosa terkait limfoid (MALT)
dari bronkus, yang diyakini menjadi konstituen normal dari pohon bronkial manusia dan jaringan
yang diperoleh dalam menanggapi paparan jangka panjang terhadap rangsangan antigenik
berbagai seperti merokok , infeksi, atau gangguan autoimun. Secara konsisten, temuan bahwa,
MALT tidak biasanya ditemukan di dalam lambung tetapi dikaitkan dengan gastritis
Helicobacter pylori kronis, mendukung saran ini. Proliferations limfoid reaktif seperti
pseudolymphoma, pneumonitis interstitial limfoid, granulomatosis lymphomatoid, dan
bronkiolitis folikel secara morfologis sulit dibedakan dari tumor primer ganas limfoid. Kerja
terbaru menetapkan bahwa banyak dari lesi sebenarnya bisa limfoma ganas.
Munculnya teknik imunohistokimia untuk mendeteksi monoclonality telah diselesaikan
banyak kontroversi mengenai definisi tumor limfoid paru-paru. Sebuah klasifikasi direvisi
neoplasma limfoid termasuk limfoma MALT diusulkan. Saat ini, klasifikasi pementasan yang
digunakan untuk limfoma ekstranodal adalah sebagai berikut:
a. Tahap IE : Keterlibatan paru-paru hanya (bisa bilateral)
b. Tahap II 1E : Lung dan kelenjar getah bening hilus
c. Tahap II 2E : Lung dan kelenjar getah bening mediastinum
d. Tahap II 2EW : Paru dan dinding dada berdekatan atau diafragma
e. Tahap III : Keterlibatan paru-paru dan kelenjar getah bening di bawah diafragma
f. Tahap IV : Keterlibatan difus dari satu atau lebih organ atau jaringan
extralymphatic.
Sebagian besar pasien dengan limfoma paru primer tidak menunjukkan gejala pada
presentasi dan penyakit ini sering ditemukan pada rontgen dada skrining. Gejala, jika ada,
umumnya tidak spesifik kecuali yang dominan sedikit kelainan pernapasan seperti batuk,
dyspnea, nyeri dada, dan hemoptisis. Kasus kami adalah gejala dan disajikan dengan nyeri dada.
Penampilan roentgenographic limfoma paru biasanya digambarkan sebagai massa alveolar
atau menyusup dengan tidak jelas dan margin bronchograms udara. Meskipun kurang umum,
kekeruhan bulat atau nodul mungkin muncul seperti dalam kasus yang disajikan. Dengan
demikian, temuan roentgenographic adalah variabel dan hanya dapat menyarankan kemungkinan
limfoma.
Sebagai prosedur diagnostik, bronkoskopi memiliki hasil diagnostik yang rendah, karena lesi
endoluminal cukup langka. Analisis lavage bronchoalveolar untuk penanda sel tumor dan dengan
teknik molekuler seperti flow cytometry mungkin menjadi bantuan dalam diagnosis limfoma
paru. Baik transthoracic biopsi jarum atau mediastinoscopy berguna dalam diagnosis. Dengan
demikian, intervensi bedah, baik oleh torakotomi atau tong, diperlukan untuk diagnosis pada
sebagian besar pasien terlihat dengan limfoma paru primer seperti dalam kasus kami.
Peran operasi dalam pengelolaan limfoma paru utama adalah untuk mendapatkan hasil
diagnostik dan terapi reseksi. Tumor dioperasi harus didekati dengan maksud reseksi lengkap,
sedangkan yang, besar dan dioperasi harus ditangani dengan reseksi terbatas seperti reseksi baji
atau bahkan prosedur biopsi untuk mendapatkan jaringan yang cukup untuk pemeriksaan
histologis. Hilus dan mediastinum diseksi kelenjar getah bening harus dilakukan sebagai
prosedur pementasan. Kami telah melakukan reseksi kuratif sebagai lobektomi dalam kasus
disajikan dan hilus-mediastinal kelenjar getah bening yang bebas dari tumor. Tingkat
kekambuhan lokal telah dilaporkan setinggi 50%, dan dengan demikian reseksi radikal termasuk
pneumonectomies telah direkomendasikan. Namun, reseksi diperpanjang atau kemoterapi
pascaoperasi bahkan tidak menawarkan hasil yang lebih baik prognostik.
Berbagai subtipe histologis limfoma non-Hodgkin dapat bermanifestasi sebagai limfoma
paru primer. Subtipe histologis yang paling umum dari limfoma paru primer adalah tingkat
rendah proses lymphoproliferative yang baik dibedakan B-sel tumor yang muncul untuk muncul
dari bronkus terkait jaringan limfoid (BALT). BALT merupakan bagian dari sistem yang lebih
luas dari kelas rendah limfoma ganas jenis MALT seperti yang ditemukan di daerah lambung.
Paru kelas rendah limfoma ganas jenis MALT cenderung tetap lokal di paru-paru untuk waktu
yang lama. Formulir ini dapat disebut sebagai subtipe dari marjinal-zona B-sel limfoma seperti
dalam kasus kami. Jenis histologis kedua yang paling sering limfoma non-Hodgkin untuk
melibatkan paru-paru yang menyebar besar B-sel limfoma.
Walaupun pengobatan yang optimal belum jelas, prognosis limfoma non-Hodgkin dari paru-
paru yang menguntungkan. Tahap penyakit atau kehadiran regional (hilus) metastasis kelenjar
getah bening tidak berkorelasi dengan prognosis yang lebih buruk, sedangkan tipe histologis
limfoma harus menjadi faktor prognostik. Limfoma maligna timbul dari MALT tetap lokal
sampai terlambat dalam sejarah alam mereka dan dengan demikian membawa withlymphomas
prognosis lebih baik dibandingkan yang timbul pada jaringan kelenjar getah bening dari tahap
yang sama. Limfoma Benar MALT rendah grade tumor dengan kursus, lambat malas, dan
kelangsungan hidup jangka panjang sangat mungkin. Non-MALT jenis limfoma paru-paru
umumnya tumor menengah atau bermutu tinggi dengan prognosis yang lebih buruk, yang bisa
menunjukkan transformasi untuk tipe sel besar
BAB IV
KESIMPULAN

1. Non-hodgkin’s lymphoma (NHL/LNH) adalah suatu keganasan primer jaringan limfoid


yang bersifat padat.
2. Kasus-Kasus pada Penyakit Limfoma Non-Hodgkin serta treatment disease antara lain
limfoma non-Hodgkin dari sinus sphenoid, Non Hodgkin limfoma pada lidah, dan Non-
Hodgkin limfoma paru-paru.
3. Tahap- tahap dalam pengobatan Non-Hodgkin Limfoma dapat dilakukan dengan cara
therapy medik dan therapy radiasi dan bedah.

DAFTAR PUSTAKA

Kara, Murat, Murat Ozkan dan Serpir Dizbay Sak, Primary Pulmonary Non-Hodgkin’s
Lymphoma. Jurnal of Ankara Medical School Vo. 24, No.4, 2002.
Mansjoer A, Triyanti, Savitri R, et al. Kapita selekta kedokteran. Jilid I. Edisi ketiga.
Jakarta:Media AesculapiusFKUI, 1999.

Park YM., et al, 2007, Non-Hodgkin’s Lyphoma of The Sphenoid Sinus Presenting As Isolated
Oculomotor Nerve Palsy. World Journal of Surgical Oncology.
Patte C. 1997 , Non Hodgkin’s Lymphoma. Dalam Pinkerton CR and Plowman PN penyunting.
Paediatric Oncology. Edisi ke-2. London; Chapman & Hall Medical;: 278-295

Price SA, Wilson LM. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC,
Jakarta.

Reksidoputro H., 1996, limfoma Malignum Non-Hogkin in Ilmu penyakit Dalam, Balai
Penerbit FKUI , Jakarta.
Santoso M, Krisifu C. Diagnostik dan Penatalaksanaan Limfoma Non-Hodgkin. Jakarta: Dexa
Media, 2004; 143-146.

Shike M (1996): Nutrition therapy for the Cancer Patient. In: Hamatology / Oncology Clinic of
North America 10 Number 1, pp 221 – 334.

Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1990.

Diposkan oleh Dwi Rahayu Kusumawati di 22.17


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar:

http://s1farmasiayu.blogspot.co.id/2013/05/v-behaviorurldefaultvmlo.html

Anda mungkin juga menyukai