Anda di halaman 1dari 27

AINDANA KHOIRUNNISA 1102014009

L.O 1. Memahami dan Menjelaskan Limfoma

1.1 Definisi
Limfoma adalah nama umum untuk sekelompok kanker yang mempengaruhi sistem limfatik.
Dua jenis utama limfoma adalah limfoma Hodgkin (HL) dan limfoma non-Hodgkin (NHL).
Sebagian besar bentuk HL sangat dapat disembuhkan.

Di Amerika Serikat pada 2013, sekitar 9.290 orang diharapkan didiagnosis dengan
limfoma Hodgkin. Sekitar 172.937 orang hidup dengan, atau dalam remisi dari, HL.

Limfoma Hodgkin (HL), salah satu bentuk kanker yang paling dapat disembuhkan,
dinamai Thomas Hodgkin, ahli patologi Inggris. Pada tahun 1832, Dr. Hodgkin
menggambarkan beberapa kasus orang dengan gejala kanker yang melibatkan
kelenjar getah bening. Penyakit ini disebut "penyakit Hodgkin" selama sekitar 170
tahun. Secara resmi berganti nama menjadi "Limfoma Hodgkin" pada akhir abad ke-
20 - ketika menjadi jelas bahwa penyakit ini disebabkan oleh cedera pada DNA
limfosit (jenis sel darah putih). Kerusakan pada DNA didapat (terjadi setelah lahir)
daripada diturunkan. Perubahan DNA dalam limfosit menghasilkan perubahan kanker
yang — jika tidak diobati — menghasilkan pertumbuhan limfosit kanker yang tidak
terkontrol. Akumulasi limfosit kanker menghasilkan massa tumor yang ditemukan di
kelenjar getah bening dan situs lain dalam tubuh.)

HL dibedakan dari jenis limfoma lainnya dengan adanya "sel Reed-Sternberg"


(dinamai untuk ilmuwan yang pertama kali mengidentifikasi mereka). Sel Reed-
Sternberg biasanya adalah sel B dan memiliki perbedaan dan variasi untuknya.
Frekuensi sel-sel ini terlihat dan variasi yang diamati membantu menentukan subtipe
pasien. Sel-sel lain yang terkait dengan penyakit ini disebut "sel Hodgkin."

 Limfoma adalah sekumpulan keganasan primer pada kelenjar getah bening dan
jaringan limfoid. Berdasarkan tipe histologiknya, limfoma dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu Limfoma Non Hodgkin dan Hodgkin. Pada protokol ini hanya
akan dibatasi pada limfoma non-hodgkin.

Limfoma Non Hodgkin (LNH) merupakan sekumpulan besar keganasan primer


kelenjar getah bening, yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan terkadang sel
NK. Saat ini terdapat 36 entitas penyakit yang dikategorikan sebagai LNH dalam
klasifikasi WHO. LNH merupakan keadaan klinis yang kompleks dan bervariasi
dalam hal patobiologi maupun perjalanan penyakit. Insidennya berkisar 63.190 kasus
pada tahun 2007 di AS dan merupakan penyebab kematian utama pada kanker pada
pria usia 20-39 tahun. Di Indonesia, LNH bersama-sama dengan limfoma Hodgkin
dan leukemia menduduki urutan peringkat keganasan ke-6.
1.2 Etiologi

Penyebab pasti limfoma Hodgkin maupun non-Hodgkin masih belum diketahui. Namun
diperkirakan aktivasi abnormal gen tertentu mempunyai peran dalam timbulnya semua jenis
kanker, termasuk limfoma.

 HODGKIN :
- Pada penyakit ini ditemukan adanya perkembangan sel B abnormal atau
dinamakan sel Reed-Sternberg akibat pengaruh paparan virus epstein barr
(EBV). Terkait Proses Transkripsi sel B yang terganggu.
- Faktor resiko limfoma Hodgkin adalah infeksi virus onkogenik yang diduga
berperan dalam menimbulkan lesi genetic, virus memperkenalkan gen asing ke
dalam sel target. Virus-virus ini adalah virus Epstain-barr, Sitomegalovirus,
HIV dan Human Herpes Virus-6 (HHV-6). Faktor resiko lain adalah defisiensi
imun, misalnya pada pasien transplantasi organ dengan pemberian obat
imunosupresif atau pada pasien cangkok sumsum tulang. Keluarga dari pasien
pasien Hodgkin (adik-kakak) juga mempunyai risiko untuk terjadi penyakit
Hodgkin

 NON HODGKIN :
Pada limfoma jenis ini penyakit berkembang dari limfosit yang abnormal yang
akan terus membelah dan bertambah banyak dengan tidak terkontrol akibat faktor
keturunan, kelainan sistem kekebalan, infeksi virus atau bakteria (HIV, HCV,
EBV, Helicobacter Sp), toksin lingkungan (herbisida, pengawet dan pewarna
kimia), mengonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok dan terkena
paparan ultraviolet. Pembelahan yang tak terkendali dari limfosit B dan T akibat
mutasi sel menjadi sel ganas.

1.3 Epidemiologi
Di negara maju Eropa dan Amerika, insiden HL memiliki dua puncak usia. Puncak pertama
pada segmen usia 20 – 30 tahun, di antaranya yang dominan adalah jenis nodular sklerotik,
puncak kedua pada usia di atas 50 tahun. Di negara berkembang termasuk China, kurva
insiden-usia untuk HL tidak menunjukkan puncak pertama, tapi terdapat peningkatan
mencolok insiden anak pria yang menderita HL jenis sel campur dan HL jenis deplesi
limfosit. HL pediatric 85% terjadi pada anak pria; di antara HL jenis nodular sclerosis pada
dewasa, penderita wanita agak lebih banyak dari pria; sedangkan pada HL jenis lain pada
dewasa, proporsi penderita pria jauh lebih tinggi dari penderita wanita, Insiden NHL kurang
lebih 8 kali lipat HL. Limfoma sel limfosit kecil terutama terjadi pada lansia; limfoma
limfoblastik terutama pada remaja pria dan dewasa muda; limfoma sel folikular terutama
pada setengah bawa; limfoma burkitt terutama pada anak dan dewasa muda.

Pada RIKESDAS tahun 2013 didapatkan prevalensi penderita limfoma berdasarlam hasil
wawancara mengenai diagnosis limfoma oleh doketr. Diketahui bahwa prevalensi limfoma di
Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar 0.06 perseribu, atau diperkirakan sebanyak 14.905
orang. Provinsi DI Yogyakarta memiliki presentase prevalensi limfoma tertinggi yaitu
sebesar 0.25 perseribu atau diperkirakan sebanyak 890 orang. Sedangkan provinsi jawa barat
memiliki estimasi jumlah penderita terbanyak yaitu sebanyak 2.728 orang. Jumlah penderita
limfoa ini dirasa cukup fantastis sehingga patut diwaspadai. Hendaknya masyarakat lebih
peduli terhadap deteksi dini kanker, khususnya limfoma, serta menambah pengetahuan
mengenai penyakit limfoma agar jumlah penderita limfoma tidak semakin bertambah.

Pada tahun 2010-2012, proporsi limfoma pada pasien laki-laki di RSK Dharmais lebih besar
dibandingkan dengan pasien perempuan. Proporsi pasien limfoma pada laki laki sedikit
meningkat pada tahun 2012, yaitu menjadi 59% pasien laki laki dan proporsi pasien sedikit
menurun menjadi 41% umur pasien limfoma di RSK Dharmais pada tahun 2010-2012 cukup
bervariasi. Kelompok umur 50-54 tahun merupakan kelompok umur pasien limfoma
terbanyak tahun 2010 dan 2011. Namun presentase tersebut menurun drastic pada tahun
2012. Sedangkan pasien limfoma terbanyak tahun 2012 adalah kelompok umur 45-49.

Pasien pada kelompok umur 35-39 tahun, 40-44 tahun, dan 60-64 tahun cukup tinggi.
Sementara itu, presentase pasien limfoma pada anak-anak umur 5-9 tahun juga cukup tinggi,
dengan demikian perlu diperhatikan bahwa limfoma tidak hanya menyerang orang yang
berusia paruh baya dan lanjut usia, namun dapat juga menyerang anak-anak. Sehingga para
orang tua harus lebih jeli dalam mendeteksi munculnya gejala limfoma pada anaknya.

1.4 Klasifikasi
Limfoma dibagi menjadi:
A. Limfoma Hodgkin (HL)
Karakteristik utama HL adalah set datia tumor berinti tunggal, inti banyak atau berinti
sepasang simetri yang disebut sel Hodgkin atau sel Reed-sternberg yang tersebar sporadic,
dengan latar belakang berbagai jenis sel radang reaktif nonneoplastik, termasuk limfosit, sel
plasma, granulosit eosinofilik dan unsur selular lain dan matriks fibrosis. Klasifikasi Rye
tahun 1969 membagi HL menjadi 4 jenis, yaitu predominan limfostik (LP), nodular sklerosis
(NS), sel campuran (MC) dan deplesi limfositik (LD), hingga kini masih luas digunakan.
Sistem klasifikasi WHO tahun 2001 yang baru hanya membuat perubahan sedikit, dengan
menambahakn satu jenis yaitu jenis klasik sarat limfosit. Menurut klasifikasi baru WHO, HL
dapat dibagi menjadi: HL jenis predominan limfosit nodular dan HL klasik, yang terkahir
lebih lanjut dibagi menjadi: jenis nodular sklerosis, jenis klasik sarat liimfosit, jenis sel
campuran dan jenis deplesi lmfosit.
1.    Limfoma Hodgkin jenis predominan limfosit nodular (NLPHL)
NLPHL merupakan neoplasia sel B monoklonal yang ditandai proliferasi  pleomorfik nodular
atau nodular dan difus, sel ganas yang tersebar sporadis dalam jaringan neoplastik sering kali
berbeda dari morfologi sel Reed- Sternberg klasik, sering kali berupa sel sangat besar berinti
tunggal, sedikit plasma, inti sering tampak terlipat atau lobular, disebut sebagai sel popkon
(popcorn cell) atau sel RS deformasi limfositik dan atau histiositik (sel L/H). Sel L/H ini
terletak di dalam jaring bundar besar yang terbentuk dari tonjolan yang dipenuhi sel dendritik
foliular dari sel limfosit non-neoplastik. Ekspresi imunologik: CD20+, CD79α+, BCL6+,
CD45+, EMA+/-, CD15-, CD30-. Ciri genetik: dapat ditemukan rearansemen gen Ig.
2.    Limfoma Hodgkin klasik
Karakteristik Hl klasik adalah terdapatnya sel Reed Sternberg klasik atau sel Hodgkin berinti
tunggal dalam jaringan neoplasia, sel tumor berekspresi imunologik CD30 positif, CD15 juga
umumnya positif. Berdasarkan jumlah sel limfosit kecil, sel granulosit eosinofilik, netrofilik,
histiosit, sel plasma, fibroblas dan serat kolagen dan karakteristik sebuka reaktif lain di latar
belakangnya dan morfologi sel HRS, HL klasik dapat dibagi menjadi 4 subtipe histologik:
HL klasik kaya sel limfosit, HL nodular sklerosis, Hl sel campuran dan HL deplesi limfosit.
Kesemua subtipe histologik ini memiliki ekspresi imunologik dan ciri genetik sama, tapi
karakteristik klinis mereka dan hubungannya dengan Ebv tidak sama. Jenis ekspresi
imunologik: CD30+, CD15+ (75-85%), CD20+/-, CD79α-, BCL6-, CD45, EMA-, ALKI,
LMP1+/-. Ciri genetik: dapat ditemukan rearansemen gen Ig.
1.   Limfoma Hodgkin klasik kaya limfosit (LRCHL): kaya sel limfosit kecil, latar
belakang tidak terdapat granulosit netrofilik dan granulosit eosinofilik difus
maupun sel HRS sporadis seperti karakteristik HL klasik. Terutama mengenai
kelenjar limfe superfisial, jarang ditemukan mengenai kelenjar limfe mediastinal
maupun membentuk massa limfatik besar.
2.   Limfoma Hodgkin nodular sklerosis (NSHL). HL klasik yang ditandai dengan
setidaknya terdapat satu nodul dikelilingi serabut kolagen dan adanya sel HRS
bercelah. NSHL umunya ditemukan pada wanita muda, tersering mengenai
mediastinum, ekspresi kode LMP-1 dari EBV rendah (10-40%).
3.   Limfoma Hodgkin sel campuran (MCHL): HL klasik yang ditandai denganlatar
belakang inflamattorik campuran difus atau nodular samar dan di dalamnya
tersebar spradis sel HRS tipikal. MCHL sering ditemukan pada dewasa, di dalam
lesi tak terdpat fibrosis nodular sklerosis. Tersering mengenai kelenjar limfe
superfisial, juga sering mengenai limpa, tapi jarang mengenai mediastinum, sering
terdapat sindrom B. Ekspresi kode LMP-1 dari EBV tinggi (sekitar 75%).
4.   Limfoma Hodgkin deplesi limfosit (LDHL): HL klasik yang ditandai dengan
syaratnya sel HRS pleomorfik dan (atau) deplesi limfosit non-neoplastik, sering
disertai fibrosi difus. Tersering mengenai organ abdominal, kelenjar limfe
retroperitoneal dan sumsum tulang. Kelenjar limfe superfisial relatif jarang
terkena, secara klinis sering kali stadium lanjut, 80% terdapat sindrom B, sering
degan infeksi HIV dan EBV. LDHL paling jarang ditemukan, banyak yang dahulu
didiagnosis sebagai LDHL, kini diketahui sebagian besar adalah limfoma non-
Hodgkin dengan sel besar anaplastik atau difus, sebagian lainnya mungkin adalah
NSHL varian deplesi limfosit.

Perjalanan
Jenis Gambaran Mikroskopik Kejadian
Penyakit

Limfosit Sel Reed-Stenberg sangat sedikit tapi ada 3% dari


Lambat
Predominan banyak limfosit kasus

Sejumlah kecil sel Reed-Stenberg &


Sklerosis 67% dari
campuran sel darah putih lainnya;  Sedang
Noduler kasus
daerah jaringan ikat fibrosa

Selularitas Sel Reed-Stenberg dalam jumlah yang 25% dari


Agak cepat
Campuran sedang & campuran sel darah putih lainnya kasus

Banyak sel Reed-Stenberg & sedikit


Deplesi 5% dari
limfosit  Cepat
Limfosit kasus
jaringan ikat fibrosa yang berlebihan

B. Limfoma Non Hodgkin (NHL)


Merupakan sekumpulan besar keganasan primer kelenjar getah bening, yang dapat berasal
dari limfosit B, limfosit T, dan terkadang sel NK. Morfologi limfoma non-Hodgkin kompleks
dan bervariasi. Sejak tahun 1960an, bermunculan berbagai metode klasifikasi. Dengan
perkembangan biologi, imunologi dan genetika molek ular, formula klasifikasi yang baru
akan lebih sesuai penggunaan klinis. Pada waktu diagnosis penyakit ini, harus jelas pasien
termasuk jenis yang mana, barulah dapat membantu dokter klinis memilih strategi terapi yang
tepat. Pewarnaan histopatologik dan imunohistokimia merupakan keharusan dalam dalam
diagnosis patologik, pemeriksaan ciri genetika molekular akan membantu klasifikasi lebih
lanjut. 

Keganasan rendah Limfoma jenis sel kecil

Limfoma jenis predominan sel belah kecil folikular


  Limfoma jenis campuran sel besar dan sel belah kecil folikular

Keganasan sedang Limfoma jenis sel besar folikular

Limfoma jenis predominan sel belah kecil difus

Limfoma jenis campuran sel besar dan sel belah kecil difus

Limfoma jenis sel besar difus

Keganasan tinggi  H. Limfoma jenis imunoblastik

Limfoma jenis limfoblastik (inti berkelok atau tidak berkelok)

Limfoma jenis sel kecil tak belah (Burkitt atau non-Burkitt)

1. Formulasi kerja terhadap limfoma non Hodgkin (working formulation)


Formulasi kerja merupakan suatu sistem klasifikasi limfoma non-Hodgkin yang dikemukakan
tahun 1982, klasifikasi ini terutama didasarkan pada kriteria morfologi (pola pertumbuhan
kelenjar limfe dan karakteristik sitologik sel tumor) dan sifat progresivitas biologik (tingkat
keganasan rendah, sedang, tinggi), bermanfaat tertentu dalam memprediksi survival dan
kurabilitas pasien. Kekurangan dari sistem klasifikasi ini adalah belum membedak aal tumor
dari sel B atau sel T, selain itu karena belum memanfaatkan teknik imunologi dan genetika
molekular, belum dapat mengidentifikasi jenis tertentu yang penting. Namun demikian,
karena penggunaannya secara klinis sudah relatif lama dan klasifikasinya sederhana, maka
masih memiliki nilai referensi tertentu.

2.      Klasifikasi limfoma dari WHO tahun 2001 


Perbedaan antara LH dengan LNH ditandai dengan adanya sel Reed-Sternberg yang
bercampur dengan infiltrat sel radang yang bervariasi. Sel Reed-Sternberg adalah suatu sel
besar berdiameter 15-45 mm, sering berinti ganda (binucleated), berlobus dua (bilobed), atau
berinti banyak (multinucleated) dengan sitoplasma amfofilik yang sangat banyak. Tampak
jelas di dalam inti sel adanya anak inti yang besar seperti inklusi dan seperti “mata burung
hantu” (owl-eyes), yang biasanya dikelilingi suatu halo yang bening.
5

              
(a) (b)

Gambar 1. Gambaran histopatologis (a) Limfoma Hodgkin dengan Sel Reed Sternberg dan
(b) Limfoma Non Hodgkin

1.5 Patofisiologi
Pada umumnya limfoma berasal dari sel B pada germinal center atau post-germinal center.
Sel B yang normal pada germinal center dapat mengalami immunoglobulin class switching
(jadi misalnya tadinya dia bisanya cuman ngasilin IgM, kalo di germinal center dia bisa
ngasilin IgA juga), karena proses ini dan kesalahan hipermutasi somatik pada sel B, membuat
sel B pada germinal center mempunyai resiko tinggi mengalami mutasi.

Neoplasma pada limfoid dapat mengganggu fungsi normal imunitas tubuh, dapat terjadi
imunodefisiensi ataupun autoimun.
Prekursor limfosit dalam sumsum tulang adalah limfoblas. Perkembangan limfosit terbagi
dalam dua tahap, yaitu tahap yang tidak tergantung antigen (antigent independent) dan tahap
yang tergantung anrigent (antigent dependent).

Pada tahap I, sel induk limfoid berkembang menjadi sel pre-B, kemudian menjadi sel B
imatur dan sel B matur, yang beredar dalam sirkulasi, dikenal sebagai naive B-cell. Apabila
sel B terkena rangsangan antigen, maka proses perkembangan akan masuk tahap 2 yang
terjadi dalam berbagai kopartemen folikel kelenjar getah bening, dimana terjadi
immunoglobuline gene rearrangement. Pada tahap akhir menghasilkan sel plasma yang akan
pulang kembali ke sumsum tulang.

Normalnya, ketika tubuh terpajan oleh zat asing, sistem kekebalan tubuh seperti sel limfosit T
dan B yang matur akan berproliferasi menjadi suatu sel yang disebut imunoblas T atau
imunoblas B. Pada LNH, proses proliferasi ini berlangsung secara berlebihan dan tidak
terkendali. Hal ini disebabkan akibat terjadinya mutasi pada gen limfosit tersebut. Proliferasi
berlebihan ini menyebabkan ukuran dari sel limfosit itu tidak lagi normal, ukurannya
membesar, kromatinnya menjadi lebih halus, nukleolinya terlihat, dan protein permukaan
selnya mengalami perubahan.

Terdapat bukti bahwa pada respons imun awal sebagian naiv B cell dapat langsung
mengalami transformasi menjadi immunoblast kemudian menjadi sel plasma. Sebagian besar
naiv B cell dapat langsung mengalami transformasi menjadi immunoblast kemudian menjadi
sel plasma. Sebagian besar naiv B cell mengalami transformasi melalui mantle cell, follicular
B-blast, centroblast, centrocyte, monocyte B cell dan sel plasma.

Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat terjadinya mutasi gen
pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang tengah berada dalam proses
transformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat adanya rangsangan imunogen). Proses ini
terjadi di dalam kelenjar getah bening, dimana sel limfosit tua berada dlluar "centrum
germinativum" sedangkan imunoblast berada di bagian paling sentral dari "centrum
germinativum" Beberapa perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain: 1). Ukurannya
makin besar; 2). Kromatin inti menjadi lebih halus; 3). Nukleolinya terlihat; 4). Protein
permukaan sel mengalami perubahan reseptor.

Penataan ulang kromosom yang salah merupakan mekanisme mutasi yang penting terhadap
LNH sel B. Memahami mekanisme dasar yang berkontribusi terhadap proses ini relevan
dengan pembahasan epidemiologi saat ini. Sedikit yang diketahui tentang agen yang
mempengaruhi penyusunan ulang kromosom abnormal, namun pada pertemuan ini Kirschhas
telah memberikan bukti bahwa paparan kerja pestisida dapat meningkatkan laju pembentukan
rekombinasi yang salah [misalnya, inv (7) PL3, Q35)] antara gen reseptor sel T. Sementara
inversi ini tidak terkait dengan aktivasi onkogen, ini menunjukkan bahwa faktor-faktor
eksogen dapat mempengaruhi proses rekombinasi dalam sel. telah dijelaskan penyusunan
ulang kromosom, termasuk translokasi stabil dalam aplikator fumigan (pengasapan) terpajan
fosfin. Gen Ig di B-sel (dan T-sel reaktivitas gen dalam sel-T) mengalami perubahan
struktural yang luas selama perkembangan normal. Ada dua proses penataan ulang terpisah:
V-(D)-J penyusunan ulang yang terjadi selama tahap pro-B/pre-B awal dan berat rantai
isotipe beralih yang terjadi di matang perifer B-sel. Dalam setiap proses DNA rusak dan
bergabung kembali, enzim yang berbeda mungkin terlibat dalam kedua proses. V-(D)-J gen
menata ulang langkah melibatkan gen Ig dalam tiga lokus kromosom yang berbeda: DHJH,
VH DHJH pada kromosome (chr) 14; VKJK pada kromosom 2, dan V λJλ pada
kromosom 22.

Disamping itu, BCL-6 represor transkripsi yang sering mengalami translokasi dalam
limfoma, mengatur deferensiasi germinal center sel B dan peradangan. Skrining
mikroangiopati DNA mengidentifikasi gen-gen yang ditekan oleh BCL-6, termasuk banyak
gen aktivasi limfosit, menunjukkan bahwa BCL-6 memodulasi sinyal reseptor sel B. BCL-6
represi dari dua gen kemokin, MIP-1alpha dan IP-10, juga mungkin meminimalkan respon
inflamasi. Blimp-1, BCL-6 target lain, sangant penting untuk diferensiasi plasmacytic. Sejak
ekspresi BCL-6 tidak ada dalam sel plasma, represi balon-1 oleh BCL-6 dapat mengontrol
diferensiasi plasmacytic. Memang, penghambatan BCL-6 fungsi melakukan perubahan
indikasi diferensiasi plasmacytic, termasuk penurunan ekspresi c-Myc dan peningkatan
ekspresi siklus inhibitor p27KIP1 sel. Data ini menunjukkan bahwa transformasi maligna
oleh BCL-6 melibatkan penghambatan diferensiasi dan penigkatan proliferasi10,11.

Selain mutasi gen, penuaan mungkin merupakan faktor penting dalam patogenesis Kelompok
I LNH sel B, karena tumor ini terjadi terutama di kelompok usia yang lebih tua, dan
peningkatan angka kejadian dalam setiap kelompok usia lebih dari 55 tahun. Penjelasan
biologis bagaimana penuaan berpengaruh terhadap limfoma genesis belum dipahami dengan
baik. Efek penuaan pada sistem kekebalan tubuh telah dipelajari selama beberapa tahun.
Konsep bahwa penuaan adalah keadaan imunodefisiensi mungkin peryataan yang terlalu
umum. Pada pemeriksaan sumsum tulang ditemukan Clonotypes baru. Hasil yang didapatkan
oleh peneliti sebelumnya yaitu adanya disregulasi dari sistem kekebalan tubuh. Pertama,
diketahui bahwa timus berinvolusi sehingga sel T bergantung lebih banyak pada kolam
perifer. Selain itu, proliferasi sel T dan produksi IL-2 mengalami penurunan. Sel T
autoreaktif muncul dengan bertambahnya usia. Dalam garis keturunan sel B respon humoral
terhadap antigen asing menurun sementara produksi antibodi autoreaktif meningkat.
Perubahan dalam repertoar B-sel pada tikus terjadi dengan penuaan yang mungkin berubah
yaitu gen V, D,dan J. sel B manusia dari individu yang berusia tua mengalami proliferasi
50% kurang efisien dibandingkan dari usia muda, perbedaan ini mungkin karena gangguan
dalam komponen jalur transduksi sinyal tertentu dalam sel-B. Penuaan juga berhubungan
dengan ketidakseimbangan dalam T-dan B-repertoar. Pengaturan ukuran dan aktifitas
proliferasi clonotypes B-sel tertentu pada orang tua mungkin kurang dikontrol dengan baik
karena perubahan dalam kompartemen sel-T. Ini ditambah dengan peningkatan frekuensi
autoreaktif clonotypes, dapat menghasilkan populasi B-sel yang kurang patuh pada peraturan
oleh sel T, sehingga meningkatan risiko untuk mengalami pertumbuhan otonom.

Selain itu LNH sel B memiliki hubungan dengan keadaan immunodeficiency, yang paling
sering adalah oligoclonal atau poliklonal, dan ini telah mengangkat isu bahwa beberapa
limfoma ini lebih kepada lymphoproliferative daripada gangguan neoplastik. Banyak
limfoma timbul dalam berbagai bentuk immunodeficiency seperti EBV +, menunjukkan peran
partisipatif gen EBV dalam proses lymphomagenic. Mekanisme dasar untuk limfomagenesis
pada immunodeficiency diduga melibatkan gangguan pengawasan imunologi dan
kemampuan sel-T untuk menghilangkan sel-sel mengekspresikan antigen permukaan sel
atipikal. Dalam sel B virus dipertahankan sebagai plasmid dalam sitoplasma sel yang
beristirahat, sehingga sejumlah besar sel B terinfeksi. Kondisi ini akan mempengaruhi
pertumbuhan sel B menjadi sel ganas. Sel B yang baru terinfeksi (nonneoplastic) dan baris sel
lymphoblastoid yang dibiakkan dari darah orang yang terinfeksi terus-menerus
mengekspresikan beberapa protein virus EBNAs 1, 2a, 3a, 3b, 3c dan EBNA-LP, LMP1, 2A,
2B tapi menghasilkan sangat sedikit virus. Protein membran merupaka target antigen untuk
sitotoksik T-sel.

Sel yang berubah menjadi sel kanker seringkali tetap rnempertahankan sifat "dasar"nya.
Misalnya sel kanker dari limfosit tua tetap mempertahankan sifat mudah masuk aliran darah
namun dengan tingkat mitosis yang rendah, sedangkan sel kanker dari imunobias amat jarang
masuk ke dalam aliran darah, namun dengan tingkat mitosis yang tinggi.

1.6 Manifestasi Klinis


Baik tanda maupun gejala limfoma hodgkin dan limfoma non-hodgkin dapat dilihat pada
tabel berikut ini.

Tabel 1. Manifestasi Klinis dari Limfoma


Limfoma Hodgkin Limfoma Non-Hodgkin
Anamnesis  Asimtomatik  Asimtomatik
limfadenopati limfadenopati
 Gejala sistemik (demam  Gejala sistemik (demam
intermitten, keringat intermitten, keringat
malam, BB turun) malam, BB turun)
 Nyeri dada, batuk, napas  Mudah lelah
pendek  Gejala obstruksi GI tract
 Pruritus dan Urinary tract.
 Nyeri tulang atau nyeri
punggung
 Teraba pembesaran  Melibatkan banyak
limonodi pada satu kelenjar perifer
kelompok kelenjar  Cincin Waldeyer dan
(cervix, axilla, inguinal) kelenjar mesenterik
 Cincin Waldeyer & sering terkena
kelenjar mesenterik  Hepatomegali &
Pemeriksaan jarang terkena Splenomegali
Fisik  Hepatomegali &  Massa di abdomen dan
Splenomegali testis
 Sindrom Vena Cava
Superior
 Gejala susunan saraf
pusat (degenerasi
serebral dan neuropati)

Selain tanda dan gejala di atas, stadium limfoma maligna secara klinis juga dapat
ditentukan berdasarkan klasifikasi Ann Arbor yang telah dimodifikasi Costwell.

Tabel 2. Klasifikasi Limfoma Menurut Ann Arbor yang telah dimodifikasi oleh Costwell
Keterlibatan / Penampakan
Stadium
I Kanker mengenai 1 regio kelenjar getah bening atau 1 organ
ekstralimfatik (IE)
II Kanker mengenai lebih dari 2 regio yang berdekatan atau 2
regio yang letaknya berjauhan tapi masih dalam sisi diafragma
yang sama (IIE)
III Kanker telah mengenai kelenjar getah bening pada 2 sisi
diafragma ditambah dengan organ ekstralimfatik (IIIE) atau
limpa (IIIES)
IV Kanker bersifat difus dan telah mengenai 1 atau lebih organ
ekstralimfatik
Suffi
x
A Tanpa gejala B
B Terdapat salah satu gejala di bawah ini:
 Penurunan BB lebih dari 10% dalam kurun waktu 6 bulan
sebelum diagnosis ditegakkan yang tidak diketahui
penyebabnya
 Demam intermitten > 38° C
 Berkeringat di malam hari
X Bulky tumor yang merupakan massa tunggal dengan diameter >
10 cm, atau, massa mediastinum dengan ukuran > 1/3 dari
diameter transthoracal maximum pada foto polos dada PA

1.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding


LIMFOMA NON HODGKIN
Anamnesis Umum

 Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) atau organ


 Malaise umum
 Berat badan menurun 10% dalam waktu 3 bulan
 Demam tinggi 38˚C selama 1 minggu tanpa sebab
 Keringat malam
 Keluhan anemia (lemas, pusing, jantung berdebar)
 Penggunaan obat-obatan tertentu
 Khusus:
-Penyakit autoimun (SLE, sjorgen, rheuma)
-Kelainan darah
-Penyakit infeksi (Toxoplasma, mononucleosis, tuberculosis, lues, dsb)
-Keadaan defisiensi imun
Pemeriksaan Fisik
 Pembesaran KGB
 Kelainan/pembesaran organ (hati/limpa)
 Performance status: ECOG atau WHO/Karnofsky
Pemeriksaan Penunjang
 Biopsi eksisional atau core biopsy
1. Biopsy KGB dilakukan cukup pada 1 kelenjar yang paling representative,
superfisial dan perifer. Jika terdapat kelenjar superfisial/perifer yang paling
representative, maka tidak perlu biopsi intraabdominal atau intratorakal. Kelenjar
getah bening yang disarankan adalah dari leher dan supraklavikular, pilihan kedua
adalah aksila dan pilihan terakhir adalah inguinal. Spesimen kelenjar diperiksa:
a. Rutin
Histopatologi: sesuai klasifikasi WHO terbaru

b. Khusus
Immunohistokimia
Molekuler (hibridisasi insitu) EBV

2. Diagnosis awal harus ditegakkan berdasarkan histopatologi dan tidak cukup hanya
dengan sitologi. Pada kondisi tertentu dimana KGB sulit dibiopsi, maka kombinasi
core biopsy FNAB Bersama sama dengan Teknik lain (IHK, Flowcytometri dan lain-
lain) mungkin dapat mencukupi untuk diagnosis.

 Laboratorium
1. Rutin
Hematologi:
-Darah perifer lengkap (DPL): Hb, Ht, leukosit, trombosit, LED, hitung jenis
-Gambaran darah tepi (GDT): morfologi sel darah
-Analisis urin: urin lengkap

Kimia klinik:
-SGOT, SGPT, Bilirubin (total/direk/indirek), LDH, protein total, albumin-globulin
-Alkali fosfatase, asam urat, ureum, kretinin
-Gula darah sewaktu
-Elektrolit: Na, K, Cl, Ca, P
-HIV, TBC, Hepatitis C (anti HCV, HBsAg)

Khusus:
- Gammar GT
- Serum Protein Elektroforesis (SPE)
- Imunoelektroforesa (IEP)
- Tes comb
- B2 mikroglobuliin

 Aspirasi Sumsum Tulang (BMP) dan sumsum tulang dari 2 sisi spina iliaca
dengan hasil specimen minimal Panjang 1.5 cm, dan disarankan 2 cm.

 Radiologi
Untuk pemeriksaan rutin/standard dilakukan pemeriksaan CT scan thoraks/abdomen.
Bila fasilitas tersedia, dapat dilakukan PET CT scan

 Konsultasi THT
Bila cincin waldeyer terkena dilakukan laringoskopi

 Cairan tubuh lain (cairan pleura, cairan asites, cairan liquor serebrospinal)
Jika dilakukan pungsi/aspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin, disamping
pemeriksaan rutin lainnya.

 Konsultasi Jantung
Menggunakan echogardiogram untuk melihat fungsi jantung

STAGING
Menurut ann arbor

Menurut Medscape 2020

- Prior Ann Arbor staging divided patients according to absence (A) or presence (B) of
disease-related symptoms (B symptoms include weight loss >10%, fever, drenching night
sweats); these are not required in NHL staging since they are not prognostic
In addition, these guidelines offered consensus on further modifications to the Ann Arbor
staging classification, as shown in Table, below

Table Non-Hodgkin lymphoma staging:


Stage Area of Involvement Extranodal (E) Status
I Single node or adjacent group Single extranodal lesions without nodal
of nodes involvement
II Multiple lymph node groups on Stage I or II by nodal extent with
same side of diagphragm limited contiguous extranodal
involvement
II Multiple lymph node groups on N/A (not available in this table)
Bulky* same side of diaphragm with
“bulky disease”
III Multiple lymph node groups on N/A
both sides of diagphragm;
nodes above the diaphragm
with spleen involvement
IV Multiple noncontiguous N/A
extranodal sites

*Stage II bulky disease is considered limited or advanced; this distinction is made on the
basis of histology and a number of prognostic factors.

Suffixes A and B are not required. X for bulky disease replaced with documenting of largest
tumor diameter. Definition of “bulky” disease varies, depending on lymphoma histology.

Based on jurnal Cancer American, the definition of “bulky” disease is often used to describe
large tumors in the chest. It is especially important for stage II lymphomas, as bulky disease
might need more intensive treatment.

Stratifikasi Risiko

Berdasarkan The International Prognostic Index (IPI), yang didesain sebagai model faktor
prognostic untuk jenis agresif limfoma non Hodgkin, dan berguna untuk memprediksi pasien
dengan limfoma tingkat rendah. Index ini juga bisa mengidentidikasi pasien dengan limfoma
tingkat tinggi yang dapat menyebabkan relaps, berdasarkan keterlibatan situs spesifik,
termasuk sumsum tulang, system saraf pusat, hati, testis, paru-paru dan limpa.

IPI termasuk kepada faktor risiko:


-Umur > dari sama dengan 60
-Meningkatkan laktat dehigrogenase
-Penyakit dengan stadium III atau IV
-ECOG performance status > dari sama dengan 2
-Dua atau lebih situs ekstranodal

Setiap faktor itu bernilai 1 poin. Berdasarkan score IPI, pasien bisa dikatagorikan sebagai:
-Risiko rendah (0-1 poin)
-Risiko rendah-sedang (2 poin)
-Risiko sedang-tinggi (3 poin)
-Risiko tinggi (4-5 poin)

Dengan model ini, tingkat kelangsungan hidup yang bebas kambuh dan keseluruhan pada 5
tahun adalah sebagai berikut:

-Faktor risiko 0-1: 75%


-Faktor risiko 2-3: 50%
-Faktor risiko 4-5: 25%

Diagnosis Banding
1. Infeksi
-Streptococci, stafilokokus
-Toxoplasmosis
-Cat-scratch disease (Bartonella henselae)
-Tuberculosis, mycobacteriosis atipikal
-EBV (mononucleosis infesius)
-HIV
2. Penyakit autoimun
-Rheumatoid arthritis
-Systemic lupus erythematodes
-Sjogren syndrome
3. Obat berkaitan dengan reaksi
-Antikonvulsif (fenitoin, karbamazepin)
-Antibiotik (penisilin, eritromisin)
- Asam Asetilsalisilik, allopurinol

4. Non cancer lain berkaitan dengan penyakit


-Sarcoidosis
-Amyloidosis
-Silicon implant
-Reaksi vaksin
-Penyakit metabolic (penyakit Gaucher)

5. Penyakit Limfoproliferatif
-Penyakit limfoproliferatif jinak (Penyakit Kikuchi, Penyakit Rosai-Dorfman)
-Penyakit Limfoproliferatif monoclonal (granulomatosis limfomatoid, limfomatoid papulosis)

6. Kanker
-Lymphoma (Hodgkin’s limfoma, NHL), Leukimia
-Metastasis dari tumor padat

LIMFOMA HODGKIN
Anamnesis
a. Gejala konstitusional yang terdiri atas:
1. Simptom B yang terdiri atas penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 6 bulang
terakhir, demam lebih dari 38 derajat celcius dan berkeringat di malam hari.
2. Demam Pel-Ebstein yaitu demam tinggi selama 1 samapai 2 minggu lalu terdapat periode
afebrile selama 1 sampai 2 minggu kemudian demam tinggi muncul kembali.
3. Pruritus yaitu rasa gatal pada sebagian atau seluruh tubuh.
4. Rasa nyeri yang timbul di daerah limfa setelah meminum alcohol/

b. Nyeri dada, batuk, sesak napas serta nyeri punggung atau nyeri tulang.
c. Riwayat keluarga dengan penyakit yang sama, terutama pada LH tipe Nodular Sclerotic

Pemeriksaan Fisik
1. Limfadenopati asimptomatik, yaitu pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri,
biasanya asimetrik dengan konsistensi yang padat kenyal seperti karet. Adapun predileksi
kelenjar getah bening yang biasanya terlibat, yaitu leher (60-70%), axila (10-15%), inguinal
(6-12%) mediastinum (6-11%), hilus paru, kelenjar para-aorta dan retro-peritoneal.

2. Splenomegali dan hepatomegaly tetapi jarang bersifat masif

3. Sindrom superior vena cava dengan tanda dan gejalanya berupa distensi pada vena leher
dan dinding dada, edema pada wajah dan ekstremitas atas, sesak napas dan sakit kepala pada
penderita dengan limfadenopati mediastinum yang bersifat massif

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan hematologic, dapat ditemukan adanya anemia, neutrofilia, eosinophilia,
limfopenia, serta laju endap darah dan LDH (Lactate dehydrogenase serum) yang
meningkat pada pemeriksaan darah lengkap.
2. Pemeriksaan pencitraan, dapat ditemukan gambaran radiopaque dari nodul unilateral
atau bilateral yang berbatas tidak tegas serta konsolidasi pada pemeriksaan foto polos
dada proyeksi posterior anterior (PA); gambaran hiperdens dari massa jaringan lunak
multiple akibat agregasi nodul pada pemeriksaan CT scan dengan kontras didaerah
thorax, abdomen atau pelvis.
3. Pemeriksaan histopatologik, dapat ditemukan adanya sel reed Sternberg dengan latar
belakang sel radang pleomorf pada pemeriksaan biopso kelenjar getah bening.
4. Pemeriksaan immunohistokimia, dapat ditemukan penanda CD15, CD20 atau CD30
pada sel reed strenberg.
5. Pemeriksaan lainnya, seperti tes fungsi hati, ginjal dan paru, ekokardiografi
digunakan untuk mengetahui adanya tanda dan gejala keterlibatan organ lainnya
selain kelenjar getah bening serta tes kehamilan pada penderita wanita muda

Table Hodgkin lymphoma staging:


Stage Area of Involvement Extranodal (E) Status
I Single node or adjacent group Single extranodal lesions without nodal
of nodes involvement
II Multiple lymph node groups on Stage I or II by nodal extent with
same side of diagphragm limited contiguous extranodal
involvement
II Multiple lymph node groups on N/A (not available in this table)
Bulky* same side of diaphragm with
“bulky disease”
III Multiple lymph node groups on N/A
both sides of diagphragm;
nodes above the diaphragm
with spleen involvement
IV Multiple noncontiguous N/A
extranodal sites

Stage II bulky disease is considered limited or advanced; this distinction is made on the basis
of histology and a number of prognostic factors.

Suffixes A and B are not required. X for bulky disease replaced with documenting of largest
tumor diameter. Definition of “bulky” disease varies, depending on lymphoma histology.

Diagnosis Banding
-Metastasis karsinoma, termasuk metastasis dari kanker testis
-Tumor ekstragonad sel germinal
-Thymoma
-Adenoma, contohnya yang ada di dalam tiroid
-Infeksi dengan pembesaran nodul limfatikus (mononucleosis dan infeksi tenggorokkan)
-Sarcoidosis
-Kista leher lateral
-kalo ada keterlibatan sumsum tulang
Limfoma limfositik kecil, limfoma limfoblastik, limfoma burkit, leukimia
1.8 Tatalaksana
LIMFOMA HODGKIN
Penatalaksanaan limfoma Hodgkin (LH) berbeda-beda sesuai dengan tipe dan stadiumnya
dengan modalitas penatalaksanaan yang terdiri atas radioterapi, kemoterapi dan terapi
kombinasi. EORTC (European Organization for Research and Treatment of Cancer)
mengelompokkan penderita LH klasik ke dalam 3 stage berdasarkan atas kriteria yang terdiri
atas stadium LH dengan ada atau tidak adanya faktor resiko sebagaimana yang ditunjukkan
pada tabel dibawah ini.

 Early stage favorable


Penatalaksanaan LH klasik early-stage favorable dilakukan dengan pemberian kemoterapi
regimen ABVD (Adriamycin 25 mg/ m2, IV, hari ke-1 dan 15; Bleomycin 10 mg/ m2, IV,
hari ke-1 dan 15; Vinblastine 6 mg/ m2, IV, hari ke-1 dan 15; Dacarbazine 375 mg/ m2, IV,
hari ke-1 dan 15) dalam 2 siklus dan diikuti dengan pemberian radioterapi sebesar 20 Gy.

 Early stage unfavorable


Penatalaksanaan LH klasik early-stage unfavorable dilakukan dengan pemberian kemoterapi
regimen ABVD (Adriamycin 25 mg/ m2, IV, hari ke-1 dan 15; Bleomycin 10 mg/ m2, IV,
hari ke-1 dan 15; Vinblastine 6 mg/ m2, IV, hari ke-1 dan 15; Dacarbazine 375 mg/ m2, IV,
hari ke-1 dan 15) dalam 4 siklus dan diikuti dengan pemberian radioterapi sebesar 30 Gy.
Penatalaksanaan lainnya yang lebih intensif yaitu dengan pemberian kemoterapi regimen
BEACOPP (Bleomycin 10 mg/ m2, IV, hari ke-1 dan 8; Etoposide 200 mg/ m2, IV, hari ke-1
sampai 3; Adriamycin 35 mg/ m2, IV, hari ke-1; Cyclophosphamide 1.250 mg/ m2, IV, hari
ke-1; Oncovin 1,4 mg/ m2, IV, hari ke-1 dan 8; Procarbazine 100 mg/ m2, oral, hari ke-1
sampai 7; Prednisone 40 mg/ m2, oral, hari ke-1 sampai 14) dengan dosis meningkat dalam 2
siklus serta diikuti dengan pemberian kemoterapi regimen ABVD dalam 2 siklus dan
radioterapi sebesar 30 Gy.

 Advanced stage disease


Penatalaksanaan LH klasik advanced-stage disease dilakukan dengan pemberian kemoterapi
regimen ABVD atau BEACOPP dalam 6 sampai 8 siklus dan diikuti dengan pemberian
radioterapi jika ukuran limfoma > 1,5 cm setelah pemberian kemoterapi regimen ABVD atau
> 2,5 cm setelah pemberian kemoterapi regimen BEACOPP.

 LH tipe nodular lymphocyte predominant


Penatalaksanaan LH tipe nodular lymphocyte predominant berbeda dengan penatalaksanaan
LH klasik oleh karena LH tipe ini memiliki karakteristik biologis yang berbeda dengan LH
klasik oleh karena adanya CD20. Pada penderita dengan stadium IA tanpa adanya faktor
resiko, dapat dilakukan pengangkatan kelenjar getah bening yang diikuti dengan watchful
waiting atau pemberian radioterapi sedangkan pada penderita dengan stadium yang lebih
lanjut, dapat dilakukan pemberian kemoterapi regimen ABVD yang dikombinasikan dengan
Rituximab.

 LIMFOMA NON HODGKIN


Pilihan terapi bergantung pada beberapa hal, antara lain :
 Tipe limfoma (jenis histologi)
 Stadium
 Sifat tumor (indolen/agresif)
 Usia
 Keadaan umum pasien

1. LNH INDOLEN / Low grade: (Ki-67 <30%)


Yang termasuk dalam kelompok ini adalah
 SLL/ small lymphocytic lumphoma/CLL = chronic lymphocytic lymphoma
 MZL (marginal zone lymphoma), nodal, ekstranodal dan splenic
 Lymphoplamsacytic lymphoma
 Follicular lymphoma gr 1-2
 Mycosis fungoides
 Primary cutaneus anaplastic large cell lymphoma

A. LNH INDOLEN STADIUM 1 dan 2


Radioterapi memperpanjang disease free survival pada beberapa pasien. Standar pilihan
terapi:
 Iradiasi
 Kemoterapi dilanjutkan dengan radiasi
 Kemoterapi (terutama pada stadium ≥ 2 menurut kriteria GELF)

 Kombinasi kemoterapi dan imunoterapi


 Observasi

B. LNH INDOLEN/low grade stadium II bulky, III,


Standar pilihan terapi
 Observasi (kategori 1) bila tidak terdapat indikasi untuk terapi, termasuk dalam
indikasi untuk terapi
o Terdapat gejala
o Mengancam fungsi organ
o Sitopenia sekunder terhadap limfoma
o Bulky
o Progresif
o Uji klinik
 Terapi yang dapat diberikan
o Rituximab dapat diberikan sebagai terapi kombinasi terapi lini pertama yaitu R-
CVP. Pada kondisi dimana Rituximab tidak dapat diberikan maka kemoterapi
kombinasi merupakan pilihan pertama misalnya: COPP, CHOP dan FND.
o Purine nucleoside analogs (Fludarabin) pada LNH primer
o Alkylating agent oral (dengan/tanpa steroid), bila kemoterapi tidak dapat
diberikan/ditoleransi (cyclofosfamid, chlorambucil)
o Rituximab maintenance dapat dipertimbangkan
o Kemoterapi intensif ± Total Body Irradiation (TBI) diikuti dengan stem cell
rescque dapat dipertimbangkan pada kasus tertentu
o Radioterapi paliatif, diberikan pada tumor yang besar (bulky) untuk mengurangi
nyeri/obstruksi
 LNH INDOLEN/low grade RELAPS
Standar pilihan terapi :
o Radiasi paliatif
o Kemoterapi
o Transplantasi sumsum tulang

2. LNH AGRESIF / High grade: (Ki-67 >30%)


Yang termasuk dalam kelompok ini adalah:
 MCL (Mantle cell lymphoma, pleomorphic variant)
 Diffuse large B cell lymphoma, Follicular lymphoma gr III, B cell lymphoma
unclassifiable with features between diffuse large B cell and Burkitt
 T cell lymphomas

A. LNH STADIUM I dan II


Pada kondisi tumor non bulku (diameter tumor <7.5 cm) dengan kriteria : pasien muda risiko
rendah atau rendah menengah (aaIPI score ≥ 2), bila fasilitas memungkinkan, kemoterapi
kombinasi R-CHOP 6 siklus merupakan protokol standar saat ini serta dapat dipertimbangkan
pemberian radioterapi (untuk konsolidasi), atau kemoterapi 3 siklus dilanjutkan dengan
radioterapi.

B. LNH STADIUM I-II (Bulky), III dan IV


 Bila memungkinkan, pemberian kemoterapi RCHOP 6 siklus ± radioterapi
konsolidasi, dipertimbangkan pada stadium I dan II
 Uji klinik pada stadium III dan IV

C. LNH REFRAKTER/RELAPS
 Pasien LNH refrakter yang gagal mencapai remisi, dapat diberikan terapi salvage
dengan radioterapi jika area yang terkena tidak ekstensif. Terapi pilihan bila
memungkinkan adalah kemoterapi salvage diikuti transplantasi sumsum tulang.
 Kemoterapi salvage seperti R-DHAP maupun R-ICE

3. LNH “Leukemia-Like”: Lymphoblastic, Burkitt, ”double hit” lymphoma.


 High dose chemoterapy plus radioterapi diikuti dengan transplantasi sumsum tulang

1.9 Komplikasi
Pada penderita limfoma maligna:
Komplikasi karena pertumbuhan kanker itu sendiri dan komplikasi karena penggunaan
kemoterapi.
 Komplikasi karena pertumbuhan kanker itu sendiri dapat berupa sistem imun melemah
(meliputi demam, sakit kepala, kelelahan, nyeri otot), pansitopenia, perdarahan, infeksi,
kelainan pada jantung, kelainan pada paru-paru, sindrom vena cava superior, kompresi
pada spinal cord, infertilitas, kelainan neurologis, obstruksi hingga perdarahan pada
traktus gastrointestinal, nyeri, dan leukositosis jika penyakit sudah memasuki tahap
leukemia.

 Komplikasi akibat penggunaan kemoterapi meliputi:

 Tokisisitas Hematologi: Anemia (segera tranfusi), thrombositopenia, resiko infeksi


meningkat (febrile neutropenia); myelodyplasia or leukemia akut

 Toksisitas Paru-paru: Terutama jika menggunakan bleomycin dan radiasi mengenai


bagian dada; Peningkatan resko kanker paru dan penyakit fibrotic paru (terutama para
perokok)

 Toksisitas jantung dari terapi anthraciclin: gagal jantung kongestif; peningkatan


resiko penyakit arteri coroner

 Infeksi: Dalam jangka panjang terjadi infeksi yang disebabkan oleh splenectomy
(jarang digunakan lagi)), efek immudofesiensi dalam pengobatan jangka panjang.

 Kanker: peningkatan munculnya jenis kanker yang baru, terutama kanker payudara
pada wanita muda yang diterapi dengan radiasi mediastinal; peningkatan resiko
menjadi ganas.

 Saraf dan otot: kemoterapi yg menstimulasi saraf; pengecilan pada otot-otot tubuh

 Psikiatri: Depresi dan kegelisahan berhubungan dengan diagnosis dan komplikasi


yang didapat dari terapi ini.

1.10 Pencegahan

Cara pencegahan penyakit limfoma yaitu dengan cara mengurangi konsumsi zat yang bersifat
karsinogenik, memakan makanan yang mengandung zat anti-oksidan, rutin berolahraga dan
mengurangi terkena paparan zat kimia.

1.11 Prognosis
Menurut The International Prognostic Score, prognosis limfoma Hodgkin ditentukan oleh
beberapa faktor di bawah ini, antara lain:
Serum albumin < 4 g/dL
Hemoglobin < 10.5 g/dL
Jenis kelamin laki-laki
Stadium IV
Usia 45 tahun ke atas
Jumlah sel darah putih > 15,000/m3
Jumlah limfosit < 600/mm3 atau < 8% dari total jumlah sel darah putihJika pasien memiliki
0-1 faktor di atas maka harapan hidupnya mencapai 90%, sedangkan pasien dengan 4 atau
lebih faktor-faktor di atas angka harapan hidupnyahanya 59%.
Sedangkan untuk limfoma non-hodgkin, faktor yang mempengaruhi prognosisnya antara lain:
usia (>60 tahun)
Ann Arbor stage (III-IV)
hemoglobin (<12 g/dL)
jumlah area limfonodi yang terkena (>4) and
serum LDH (meningkat)

yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok resiko, yaitu resiko rendah (memiliki
0-1 faktor di atas), resiko menengah (memiliki 2 faktor di atas), dan resiko buruk (memiliki 3
atau lebih faktor di atas)

Anda mungkin juga menyukai