1.1 Definisi
Limfoma adalah nama umum untuk sekelompok kanker yang mempengaruhi sistem limfatik.
Dua jenis utama limfoma adalah limfoma Hodgkin (HL) dan limfoma non-Hodgkin (NHL).
Sebagian besar bentuk HL sangat dapat disembuhkan.
Di Amerika Serikat pada 2013, sekitar 9.290 orang diharapkan didiagnosis dengan
limfoma Hodgkin. Sekitar 172.937 orang hidup dengan, atau dalam remisi dari, HL.
Limfoma Hodgkin (HL), salah satu bentuk kanker yang paling dapat disembuhkan,
dinamai Thomas Hodgkin, ahli patologi Inggris. Pada tahun 1832, Dr. Hodgkin
menggambarkan beberapa kasus orang dengan gejala kanker yang melibatkan
kelenjar getah bening. Penyakit ini disebut "penyakit Hodgkin" selama sekitar 170
tahun. Secara resmi berganti nama menjadi "Limfoma Hodgkin" pada akhir abad ke-
20 - ketika menjadi jelas bahwa penyakit ini disebabkan oleh cedera pada DNA
limfosit (jenis sel darah putih). Kerusakan pada DNA didapat (terjadi setelah lahir)
daripada diturunkan. Perubahan DNA dalam limfosit menghasilkan perubahan kanker
yang — jika tidak diobati — menghasilkan pertumbuhan limfosit kanker yang tidak
terkontrol. Akumulasi limfosit kanker menghasilkan massa tumor yang ditemukan di
kelenjar getah bening dan situs lain dalam tubuh.)
Limfoma adalah sekumpulan keganasan primer pada kelenjar getah bening dan
jaringan limfoid. Berdasarkan tipe histologiknya, limfoma dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu Limfoma Non Hodgkin dan Hodgkin. Pada protokol ini hanya
akan dibatasi pada limfoma non-hodgkin.
Penyebab pasti limfoma Hodgkin maupun non-Hodgkin masih belum diketahui. Namun
diperkirakan aktivasi abnormal gen tertentu mempunyai peran dalam timbulnya semua jenis
kanker, termasuk limfoma.
HODGKIN :
- Pada penyakit ini ditemukan adanya perkembangan sel B abnormal atau
dinamakan sel Reed-Sternberg akibat pengaruh paparan virus epstein barr
(EBV). Terkait Proses Transkripsi sel B yang terganggu.
- Faktor resiko limfoma Hodgkin adalah infeksi virus onkogenik yang diduga
berperan dalam menimbulkan lesi genetic, virus memperkenalkan gen asing ke
dalam sel target. Virus-virus ini adalah virus Epstain-barr, Sitomegalovirus,
HIV dan Human Herpes Virus-6 (HHV-6). Faktor resiko lain adalah defisiensi
imun, misalnya pada pasien transplantasi organ dengan pemberian obat
imunosupresif atau pada pasien cangkok sumsum tulang. Keluarga dari pasien
pasien Hodgkin (adik-kakak) juga mempunyai risiko untuk terjadi penyakit
Hodgkin
NON HODGKIN :
Pada limfoma jenis ini penyakit berkembang dari limfosit yang abnormal yang
akan terus membelah dan bertambah banyak dengan tidak terkontrol akibat faktor
keturunan, kelainan sistem kekebalan, infeksi virus atau bakteria (HIV, HCV,
EBV, Helicobacter Sp), toksin lingkungan (herbisida, pengawet dan pewarna
kimia), mengonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok dan terkena
paparan ultraviolet. Pembelahan yang tak terkendali dari limfosit B dan T akibat
mutasi sel menjadi sel ganas.
1.3 Epidemiologi
Di negara maju Eropa dan Amerika, insiden HL memiliki dua puncak usia. Puncak pertama
pada segmen usia 20 – 30 tahun, di antaranya yang dominan adalah jenis nodular sklerotik,
puncak kedua pada usia di atas 50 tahun. Di negara berkembang termasuk China, kurva
insiden-usia untuk HL tidak menunjukkan puncak pertama, tapi terdapat peningkatan
mencolok insiden anak pria yang menderita HL jenis sel campur dan HL jenis deplesi
limfosit. HL pediatric 85% terjadi pada anak pria; di antara HL jenis nodular sclerosis pada
dewasa, penderita wanita agak lebih banyak dari pria; sedangkan pada HL jenis lain pada
dewasa, proporsi penderita pria jauh lebih tinggi dari penderita wanita, Insiden NHL kurang
lebih 8 kali lipat HL. Limfoma sel limfosit kecil terutama terjadi pada lansia; limfoma
limfoblastik terutama pada remaja pria dan dewasa muda; limfoma sel folikular terutama
pada setengah bawa; limfoma burkitt terutama pada anak dan dewasa muda.
Pada RIKESDAS tahun 2013 didapatkan prevalensi penderita limfoma berdasarlam hasil
wawancara mengenai diagnosis limfoma oleh doketr. Diketahui bahwa prevalensi limfoma di
Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar 0.06 perseribu, atau diperkirakan sebanyak 14.905
orang. Provinsi DI Yogyakarta memiliki presentase prevalensi limfoma tertinggi yaitu
sebesar 0.25 perseribu atau diperkirakan sebanyak 890 orang. Sedangkan provinsi jawa barat
memiliki estimasi jumlah penderita terbanyak yaitu sebanyak 2.728 orang. Jumlah penderita
limfoa ini dirasa cukup fantastis sehingga patut diwaspadai. Hendaknya masyarakat lebih
peduli terhadap deteksi dini kanker, khususnya limfoma, serta menambah pengetahuan
mengenai penyakit limfoma agar jumlah penderita limfoma tidak semakin bertambah.
Pada tahun 2010-2012, proporsi limfoma pada pasien laki-laki di RSK Dharmais lebih besar
dibandingkan dengan pasien perempuan. Proporsi pasien limfoma pada laki laki sedikit
meningkat pada tahun 2012, yaitu menjadi 59% pasien laki laki dan proporsi pasien sedikit
menurun menjadi 41% umur pasien limfoma di RSK Dharmais pada tahun 2010-2012 cukup
bervariasi. Kelompok umur 50-54 tahun merupakan kelompok umur pasien limfoma
terbanyak tahun 2010 dan 2011. Namun presentase tersebut menurun drastic pada tahun
2012. Sedangkan pasien limfoma terbanyak tahun 2012 adalah kelompok umur 45-49.
Pasien pada kelompok umur 35-39 tahun, 40-44 tahun, dan 60-64 tahun cukup tinggi.
Sementara itu, presentase pasien limfoma pada anak-anak umur 5-9 tahun juga cukup tinggi,
dengan demikian perlu diperhatikan bahwa limfoma tidak hanya menyerang orang yang
berusia paruh baya dan lanjut usia, namun dapat juga menyerang anak-anak. Sehingga para
orang tua harus lebih jeli dalam mendeteksi munculnya gejala limfoma pada anaknya.
1.4 Klasifikasi
Limfoma dibagi menjadi:
A. Limfoma Hodgkin (HL)
Karakteristik utama HL adalah set datia tumor berinti tunggal, inti banyak atau berinti
sepasang simetri yang disebut sel Hodgkin atau sel Reed-sternberg yang tersebar sporadic,
dengan latar belakang berbagai jenis sel radang reaktif nonneoplastik, termasuk limfosit, sel
plasma, granulosit eosinofilik dan unsur selular lain dan matriks fibrosis. Klasifikasi Rye
tahun 1969 membagi HL menjadi 4 jenis, yaitu predominan limfostik (LP), nodular sklerosis
(NS), sel campuran (MC) dan deplesi limfositik (LD), hingga kini masih luas digunakan.
Sistem klasifikasi WHO tahun 2001 yang baru hanya membuat perubahan sedikit, dengan
menambahakn satu jenis yaitu jenis klasik sarat limfosit. Menurut klasifikasi baru WHO, HL
dapat dibagi menjadi: HL jenis predominan limfosit nodular dan HL klasik, yang terkahir
lebih lanjut dibagi menjadi: jenis nodular sklerosis, jenis klasik sarat liimfosit, jenis sel
campuran dan jenis deplesi lmfosit.
1. Limfoma Hodgkin jenis predominan limfosit nodular (NLPHL)
NLPHL merupakan neoplasia sel B monoklonal yang ditandai proliferasi pleomorfik nodular
atau nodular dan difus, sel ganas yang tersebar sporadis dalam jaringan neoplastik sering kali
berbeda dari morfologi sel Reed- Sternberg klasik, sering kali berupa sel sangat besar berinti
tunggal, sedikit plasma, inti sering tampak terlipat atau lobular, disebut sebagai sel popkon
(popcorn cell) atau sel RS deformasi limfositik dan atau histiositik (sel L/H). Sel L/H ini
terletak di dalam jaring bundar besar yang terbentuk dari tonjolan yang dipenuhi sel dendritik
foliular dari sel limfosit non-neoplastik. Ekspresi imunologik: CD20+, CD79α+, BCL6+,
CD45+, EMA+/-, CD15-, CD30-. Ciri genetik: dapat ditemukan rearansemen gen Ig.
2. Limfoma Hodgkin klasik
Karakteristik Hl klasik adalah terdapatnya sel Reed Sternberg klasik atau sel Hodgkin berinti
tunggal dalam jaringan neoplasia, sel tumor berekspresi imunologik CD30 positif, CD15 juga
umumnya positif. Berdasarkan jumlah sel limfosit kecil, sel granulosit eosinofilik, netrofilik,
histiosit, sel plasma, fibroblas dan serat kolagen dan karakteristik sebuka reaktif lain di latar
belakangnya dan morfologi sel HRS, HL klasik dapat dibagi menjadi 4 subtipe histologik:
HL klasik kaya sel limfosit, HL nodular sklerosis, Hl sel campuran dan HL deplesi limfosit.
Kesemua subtipe histologik ini memiliki ekspresi imunologik dan ciri genetik sama, tapi
karakteristik klinis mereka dan hubungannya dengan Ebv tidak sama. Jenis ekspresi
imunologik: CD30+, CD15+ (75-85%), CD20+/-, CD79α-, BCL6-, CD45, EMA-, ALKI,
LMP1+/-. Ciri genetik: dapat ditemukan rearansemen gen Ig.
1. Limfoma Hodgkin klasik kaya limfosit (LRCHL): kaya sel limfosit kecil, latar
belakang tidak terdapat granulosit netrofilik dan granulosit eosinofilik difus
maupun sel HRS sporadis seperti karakteristik HL klasik. Terutama mengenai
kelenjar limfe superfisial, jarang ditemukan mengenai kelenjar limfe mediastinal
maupun membentuk massa limfatik besar.
2. Limfoma Hodgkin nodular sklerosis (NSHL). HL klasik yang ditandai dengan
setidaknya terdapat satu nodul dikelilingi serabut kolagen dan adanya sel HRS
bercelah. NSHL umunya ditemukan pada wanita muda, tersering mengenai
mediastinum, ekspresi kode LMP-1 dari EBV rendah (10-40%).
3. Limfoma Hodgkin sel campuran (MCHL): HL klasik yang ditandai denganlatar
belakang inflamattorik campuran difus atau nodular samar dan di dalamnya
tersebar spradis sel HRS tipikal. MCHL sering ditemukan pada dewasa, di dalam
lesi tak terdpat fibrosis nodular sklerosis. Tersering mengenai kelenjar limfe
superfisial, juga sering mengenai limpa, tapi jarang mengenai mediastinum, sering
terdapat sindrom B. Ekspresi kode LMP-1 dari EBV tinggi (sekitar 75%).
4. Limfoma Hodgkin deplesi limfosit (LDHL): HL klasik yang ditandai dengan
syaratnya sel HRS pleomorfik dan (atau) deplesi limfosit non-neoplastik, sering
disertai fibrosi difus. Tersering mengenai organ abdominal, kelenjar limfe
retroperitoneal dan sumsum tulang. Kelenjar limfe superfisial relatif jarang
terkena, secara klinis sering kali stadium lanjut, 80% terdapat sindrom B, sering
degan infeksi HIV dan EBV. LDHL paling jarang ditemukan, banyak yang dahulu
didiagnosis sebagai LDHL, kini diketahui sebagian besar adalah limfoma non-
Hodgkin dengan sel besar anaplastik atau difus, sebagian lainnya mungkin adalah
NSHL varian deplesi limfosit.
Perjalanan
Jenis Gambaran Mikroskopik Kejadian
Penyakit
Limfoma jenis campuran sel besar dan sel belah kecil difus
(a) (b)
Gambar 1. Gambaran histopatologis (a) Limfoma Hodgkin dengan Sel Reed Sternberg dan
(b) Limfoma Non Hodgkin
1.5 Patofisiologi
Pada umumnya limfoma berasal dari sel B pada germinal center atau post-germinal center.
Sel B yang normal pada germinal center dapat mengalami immunoglobulin class switching
(jadi misalnya tadinya dia bisanya cuman ngasilin IgM, kalo di germinal center dia bisa
ngasilin IgA juga), karena proses ini dan kesalahan hipermutasi somatik pada sel B, membuat
sel B pada germinal center mempunyai resiko tinggi mengalami mutasi.
Neoplasma pada limfoid dapat mengganggu fungsi normal imunitas tubuh, dapat terjadi
imunodefisiensi ataupun autoimun.
Prekursor limfosit dalam sumsum tulang adalah limfoblas. Perkembangan limfosit terbagi
dalam dua tahap, yaitu tahap yang tidak tergantung antigen (antigent independent) dan tahap
yang tergantung anrigent (antigent dependent).
Pada tahap I, sel induk limfoid berkembang menjadi sel pre-B, kemudian menjadi sel B
imatur dan sel B matur, yang beredar dalam sirkulasi, dikenal sebagai naive B-cell. Apabila
sel B terkena rangsangan antigen, maka proses perkembangan akan masuk tahap 2 yang
terjadi dalam berbagai kopartemen folikel kelenjar getah bening, dimana terjadi
immunoglobuline gene rearrangement. Pada tahap akhir menghasilkan sel plasma yang akan
pulang kembali ke sumsum tulang.
Normalnya, ketika tubuh terpajan oleh zat asing, sistem kekebalan tubuh seperti sel limfosit T
dan B yang matur akan berproliferasi menjadi suatu sel yang disebut imunoblas T atau
imunoblas B. Pada LNH, proses proliferasi ini berlangsung secara berlebihan dan tidak
terkendali. Hal ini disebabkan akibat terjadinya mutasi pada gen limfosit tersebut. Proliferasi
berlebihan ini menyebabkan ukuran dari sel limfosit itu tidak lagi normal, ukurannya
membesar, kromatinnya menjadi lebih halus, nukleolinya terlihat, dan protein permukaan
selnya mengalami perubahan.
Terdapat bukti bahwa pada respons imun awal sebagian naiv B cell dapat langsung
mengalami transformasi menjadi immunoblast kemudian menjadi sel plasma. Sebagian besar
naiv B cell dapat langsung mengalami transformasi menjadi immunoblast kemudian menjadi
sel plasma. Sebagian besar naiv B cell mengalami transformasi melalui mantle cell, follicular
B-blast, centroblast, centrocyte, monocyte B cell dan sel plasma.
Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat terjadinya mutasi gen
pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang tengah berada dalam proses
transformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat adanya rangsangan imunogen). Proses ini
terjadi di dalam kelenjar getah bening, dimana sel limfosit tua berada dlluar "centrum
germinativum" sedangkan imunoblast berada di bagian paling sentral dari "centrum
germinativum" Beberapa perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain: 1). Ukurannya
makin besar; 2). Kromatin inti menjadi lebih halus; 3). Nukleolinya terlihat; 4). Protein
permukaan sel mengalami perubahan reseptor.
Penataan ulang kromosom yang salah merupakan mekanisme mutasi yang penting terhadap
LNH sel B. Memahami mekanisme dasar yang berkontribusi terhadap proses ini relevan
dengan pembahasan epidemiologi saat ini. Sedikit yang diketahui tentang agen yang
mempengaruhi penyusunan ulang kromosom abnormal, namun pada pertemuan ini Kirschhas
telah memberikan bukti bahwa paparan kerja pestisida dapat meningkatkan laju pembentukan
rekombinasi yang salah [misalnya, inv (7) PL3, Q35)] antara gen reseptor sel T. Sementara
inversi ini tidak terkait dengan aktivasi onkogen, ini menunjukkan bahwa faktor-faktor
eksogen dapat mempengaruhi proses rekombinasi dalam sel. telah dijelaskan penyusunan
ulang kromosom, termasuk translokasi stabil dalam aplikator fumigan (pengasapan) terpajan
fosfin. Gen Ig di B-sel (dan T-sel reaktivitas gen dalam sel-T) mengalami perubahan
struktural yang luas selama perkembangan normal. Ada dua proses penataan ulang terpisah:
V-(D)-J penyusunan ulang yang terjadi selama tahap pro-B/pre-B awal dan berat rantai
isotipe beralih yang terjadi di matang perifer B-sel. Dalam setiap proses DNA rusak dan
bergabung kembali, enzim yang berbeda mungkin terlibat dalam kedua proses. V-(D)-J gen
menata ulang langkah melibatkan gen Ig dalam tiga lokus kromosom yang berbeda: DHJH,
VH DHJH pada kromosome (chr) 14; VKJK pada kromosom 2, dan V λJλ pada
kromosom 22.
Disamping itu, BCL-6 represor transkripsi yang sering mengalami translokasi dalam
limfoma, mengatur deferensiasi germinal center sel B dan peradangan. Skrining
mikroangiopati DNA mengidentifikasi gen-gen yang ditekan oleh BCL-6, termasuk banyak
gen aktivasi limfosit, menunjukkan bahwa BCL-6 memodulasi sinyal reseptor sel B. BCL-6
represi dari dua gen kemokin, MIP-1alpha dan IP-10, juga mungkin meminimalkan respon
inflamasi. Blimp-1, BCL-6 target lain, sangant penting untuk diferensiasi plasmacytic. Sejak
ekspresi BCL-6 tidak ada dalam sel plasma, represi balon-1 oleh BCL-6 dapat mengontrol
diferensiasi plasmacytic. Memang, penghambatan BCL-6 fungsi melakukan perubahan
indikasi diferensiasi plasmacytic, termasuk penurunan ekspresi c-Myc dan peningkatan
ekspresi siklus inhibitor p27KIP1 sel. Data ini menunjukkan bahwa transformasi maligna
oleh BCL-6 melibatkan penghambatan diferensiasi dan penigkatan proliferasi10,11.
Selain mutasi gen, penuaan mungkin merupakan faktor penting dalam patogenesis Kelompok
I LNH sel B, karena tumor ini terjadi terutama di kelompok usia yang lebih tua, dan
peningkatan angka kejadian dalam setiap kelompok usia lebih dari 55 tahun. Penjelasan
biologis bagaimana penuaan berpengaruh terhadap limfoma genesis belum dipahami dengan
baik. Efek penuaan pada sistem kekebalan tubuh telah dipelajari selama beberapa tahun.
Konsep bahwa penuaan adalah keadaan imunodefisiensi mungkin peryataan yang terlalu
umum. Pada pemeriksaan sumsum tulang ditemukan Clonotypes baru. Hasil yang didapatkan
oleh peneliti sebelumnya yaitu adanya disregulasi dari sistem kekebalan tubuh. Pertama,
diketahui bahwa timus berinvolusi sehingga sel T bergantung lebih banyak pada kolam
perifer. Selain itu, proliferasi sel T dan produksi IL-2 mengalami penurunan. Sel T
autoreaktif muncul dengan bertambahnya usia. Dalam garis keturunan sel B respon humoral
terhadap antigen asing menurun sementara produksi antibodi autoreaktif meningkat.
Perubahan dalam repertoar B-sel pada tikus terjadi dengan penuaan yang mungkin berubah
yaitu gen V, D,dan J. sel B manusia dari individu yang berusia tua mengalami proliferasi
50% kurang efisien dibandingkan dari usia muda, perbedaan ini mungkin karena gangguan
dalam komponen jalur transduksi sinyal tertentu dalam sel-B. Penuaan juga berhubungan
dengan ketidakseimbangan dalam T-dan B-repertoar. Pengaturan ukuran dan aktifitas
proliferasi clonotypes B-sel tertentu pada orang tua mungkin kurang dikontrol dengan baik
karena perubahan dalam kompartemen sel-T. Ini ditambah dengan peningkatan frekuensi
autoreaktif clonotypes, dapat menghasilkan populasi B-sel yang kurang patuh pada peraturan
oleh sel T, sehingga meningkatan risiko untuk mengalami pertumbuhan otonom.
Selain itu LNH sel B memiliki hubungan dengan keadaan immunodeficiency, yang paling
sering adalah oligoclonal atau poliklonal, dan ini telah mengangkat isu bahwa beberapa
limfoma ini lebih kepada lymphoproliferative daripada gangguan neoplastik. Banyak
limfoma timbul dalam berbagai bentuk immunodeficiency seperti EBV +, menunjukkan peran
partisipatif gen EBV dalam proses lymphomagenic. Mekanisme dasar untuk limfomagenesis
pada immunodeficiency diduga melibatkan gangguan pengawasan imunologi dan
kemampuan sel-T untuk menghilangkan sel-sel mengekspresikan antigen permukaan sel
atipikal. Dalam sel B virus dipertahankan sebagai plasmid dalam sitoplasma sel yang
beristirahat, sehingga sejumlah besar sel B terinfeksi. Kondisi ini akan mempengaruhi
pertumbuhan sel B menjadi sel ganas. Sel B yang baru terinfeksi (nonneoplastic) dan baris sel
lymphoblastoid yang dibiakkan dari darah orang yang terinfeksi terus-menerus
mengekspresikan beberapa protein virus EBNAs 1, 2a, 3a, 3b, 3c dan EBNA-LP, LMP1, 2A,
2B tapi menghasilkan sangat sedikit virus. Protein membran merupaka target antigen untuk
sitotoksik T-sel.
Sel yang berubah menjadi sel kanker seringkali tetap rnempertahankan sifat "dasar"nya.
Misalnya sel kanker dari limfosit tua tetap mempertahankan sifat mudah masuk aliran darah
namun dengan tingkat mitosis yang rendah, sedangkan sel kanker dari imunobias amat jarang
masuk ke dalam aliran darah, namun dengan tingkat mitosis yang tinggi.
Selain tanda dan gejala di atas, stadium limfoma maligna secara klinis juga dapat
ditentukan berdasarkan klasifikasi Ann Arbor yang telah dimodifikasi Costwell.
Tabel 2. Klasifikasi Limfoma Menurut Ann Arbor yang telah dimodifikasi oleh Costwell
Keterlibatan / Penampakan
Stadium
I Kanker mengenai 1 regio kelenjar getah bening atau 1 organ
ekstralimfatik (IE)
II Kanker mengenai lebih dari 2 regio yang berdekatan atau 2
regio yang letaknya berjauhan tapi masih dalam sisi diafragma
yang sama (IIE)
III Kanker telah mengenai kelenjar getah bening pada 2 sisi
diafragma ditambah dengan organ ekstralimfatik (IIIE) atau
limpa (IIIES)
IV Kanker bersifat difus dan telah mengenai 1 atau lebih organ
ekstralimfatik
Suffi
x
A Tanpa gejala B
B Terdapat salah satu gejala di bawah ini:
Penurunan BB lebih dari 10% dalam kurun waktu 6 bulan
sebelum diagnosis ditegakkan yang tidak diketahui
penyebabnya
Demam intermitten > 38° C
Berkeringat di malam hari
X Bulky tumor yang merupakan massa tunggal dengan diameter >
10 cm, atau, massa mediastinum dengan ukuran > 1/3 dari
diameter transthoracal maximum pada foto polos dada PA
b. Khusus
Immunohistokimia
Molekuler (hibridisasi insitu) EBV
2. Diagnosis awal harus ditegakkan berdasarkan histopatologi dan tidak cukup hanya
dengan sitologi. Pada kondisi tertentu dimana KGB sulit dibiopsi, maka kombinasi
core biopsy FNAB Bersama sama dengan Teknik lain (IHK, Flowcytometri dan lain-
lain) mungkin dapat mencukupi untuk diagnosis.
Laboratorium
1. Rutin
Hematologi:
-Darah perifer lengkap (DPL): Hb, Ht, leukosit, trombosit, LED, hitung jenis
-Gambaran darah tepi (GDT): morfologi sel darah
-Analisis urin: urin lengkap
Kimia klinik:
-SGOT, SGPT, Bilirubin (total/direk/indirek), LDH, protein total, albumin-globulin
-Alkali fosfatase, asam urat, ureum, kretinin
-Gula darah sewaktu
-Elektrolit: Na, K, Cl, Ca, P
-HIV, TBC, Hepatitis C (anti HCV, HBsAg)
Khusus:
- Gammar GT
- Serum Protein Elektroforesis (SPE)
- Imunoelektroforesa (IEP)
- Tes comb
- B2 mikroglobuliin
Aspirasi Sumsum Tulang (BMP) dan sumsum tulang dari 2 sisi spina iliaca
dengan hasil specimen minimal Panjang 1.5 cm, dan disarankan 2 cm.
Radiologi
Untuk pemeriksaan rutin/standard dilakukan pemeriksaan CT scan thoraks/abdomen.
Bila fasilitas tersedia, dapat dilakukan PET CT scan
Konsultasi THT
Bila cincin waldeyer terkena dilakukan laringoskopi
Cairan tubuh lain (cairan pleura, cairan asites, cairan liquor serebrospinal)
Jika dilakukan pungsi/aspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin, disamping
pemeriksaan rutin lainnya.
Konsultasi Jantung
Menggunakan echogardiogram untuk melihat fungsi jantung
STAGING
Menurut ann arbor
- Prior Ann Arbor staging divided patients according to absence (A) or presence (B) of
disease-related symptoms (B symptoms include weight loss >10%, fever, drenching night
sweats); these are not required in NHL staging since they are not prognostic
In addition, these guidelines offered consensus on further modifications to the Ann Arbor
staging classification, as shown in Table, below
*Stage II bulky disease is considered limited or advanced; this distinction is made on the
basis of histology and a number of prognostic factors.
Suffixes A and B are not required. X for bulky disease replaced with documenting of largest
tumor diameter. Definition of “bulky” disease varies, depending on lymphoma histology.
Based on jurnal Cancer American, the definition of “bulky” disease is often used to describe
large tumors in the chest. It is especially important for stage II lymphomas, as bulky disease
might need more intensive treatment.
Stratifikasi Risiko
Berdasarkan The International Prognostic Index (IPI), yang didesain sebagai model faktor
prognostic untuk jenis agresif limfoma non Hodgkin, dan berguna untuk memprediksi pasien
dengan limfoma tingkat rendah. Index ini juga bisa mengidentidikasi pasien dengan limfoma
tingkat tinggi yang dapat menyebabkan relaps, berdasarkan keterlibatan situs spesifik,
termasuk sumsum tulang, system saraf pusat, hati, testis, paru-paru dan limpa.
Setiap faktor itu bernilai 1 poin. Berdasarkan score IPI, pasien bisa dikatagorikan sebagai:
-Risiko rendah (0-1 poin)
-Risiko rendah-sedang (2 poin)
-Risiko sedang-tinggi (3 poin)
-Risiko tinggi (4-5 poin)
Dengan model ini, tingkat kelangsungan hidup yang bebas kambuh dan keseluruhan pada 5
tahun adalah sebagai berikut:
Diagnosis Banding
1. Infeksi
-Streptococci, stafilokokus
-Toxoplasmosis
-Cat-scratch disease (Bartonella henselae)
-Tuberculosis, mycobacteriosis atipikal
-EBV (mononucleosis infesius)
-HIV
2. Penyakit autoimun
-Rheumatoid arthritis
-Systemic lupus erythematodes
-Sjogren syndrome
3. Obat berkaitan dengan reaksi
-Antikonvulsif (fenitoin, karbamazepin)
-Antibiotik (penisilin, eritromisin)
- Asam Asetilsalisilik, allopurinol
5. Penyakit Limfoproliferatif
-Penyakit limfoproliferatif jinak (Penyakit Kikuchi, Penyakit Rosai-Dorfman)
-Penyakit Limfoproliferatif monoclonal (granulomatosis limfomatoid, limfomatoid papulosis)
6. Kanker
-Lymphoma (Hodgkin’s limfoma, NHL), Leukimia
-Metastasis dari tumor padat
LIMFOMA HODGKIN
Anamnesis
a. Gejala konstitusional yang terdiri atas:
1. Simptom B yang terdiri atas penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 6 bulang
terakhir, demam lebih dari 38 derajat celcius dan berkeringat di malam hari.
2. Demam Pel-Ebstein yaitu demam tinggi selama 1 samapai 2 minggu lalu terdapat periode
afebrile selama 1 sampai 2 minggu kemudian demam tinggi muncul kembali.
3. Pruritus yaitu rasa gatal pada sebagian atau seluruh tubuh.
4. Rasa nyeri yang timbul di daerah limfa setelah meminum alcohol/
b. Nyeri dada, batuk, sesak napas serta nyeri punggung atau nyeri tulang.
c. Riwayat keluarga dengan penyakit yang sama, terutama pada LH tipe Nodular Sclerotic
Pemeriksaan Fisik
1. Limfadenopati asimptomatik, yaitu pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri,
biasanya asimetrik dengan konsistensi yang padat kenyal seperti karet. Adapun predileksi
kelenjar getah bening yang biasanya terlibat, yaitu leher (60-70%), axila (10-15%), inguinal
(6-12%) mediastinum (6-11%), hilus paru, kelenjar para-aorta dan retro-peritoneal.
3. Sindrom superior vena cava dengan tanda dan gejalanya berupa distensi pada vena leher
dan dinding dada, edema pada wajah dan ekstremitas atas, sesak napas dan sakit kepala pada
penderita dengan limfadenopati mediastinum yang bersifat massif
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan hematologic, dapat ditemukan adanya anemia, neutrofilia, eosinophilia,
limfopenia, serta laju endap darah dan LDH (Lactate dehydrogenase serum) yang
meningkat pada pemeriksaan darah lengkap.
2. Pemeriksaan pencitraan, dapat ditemukan gambaran radiopaque dari nodul unilateral
atau bilateral yang berbatas tidak tegas serta konsolidasi pada pemeriksaan foto polos
dada proyeksi posterior anterior (PA); gambaran hiperdens dari massa jaringan lunak
multiple akibat agregasi nodul pada pemeriksaan CT scan dengan kontras didaerah
thorax, abdomen atau pelvis.
3. Pemeriksaan histopatologik, dapat ditemukan adanya sel reed Sternberg dengan latar
belakang sel radang pleomorf pada pemeriksaan biopso kelenjar getah bening.
4. Pemeriksaan immunohistokimia, dapat ditemukan penanda CD15, CD20 atau CD30
pada sel reed strenberg.
5. Pemeriksaan lainnya, seperti tes fungsi hati, ginjal dan paru, ekokardiografi
digunakan untuk mengetahui adanya tanda dan gejala keterlibatan organ lainnya
selain kelenjar getah bening serta tes kehamilan pada penderita wanita muda
Stage II bulky disease is considered limited or advanced; this distinction is made on the basis
of histology and a number of prognostic factors.
Suffixes A and B are not required. X for bulky disease replaced with documenting of largest
tumor diameter. Definition of “bulky” disease varies, depending on lymphoma histology.
Diagnosis Banding
-Metastasis karsinoma, termasuk metastasis dari kanker testis
-Tumor ekstragonad sel germinal
-Thymoma
-Adenoma, contohnya yang ada di dalam tiroid
-Infeksi dengan pembesaran nodul limfatikus (mononucleosis dan infeksi tenggorokkan)
-Sarcoidosis
-Kista leher lateral
-kalo ada keterlibatan sumsum tulang
Limfoma limfositik kecil, limfoma limfoblastik, limfoma burkit, leukimia
1.8 Tatalaksana
LIMFOMA HODGKIN
Penatalaksanaan limfoma Hodgkin (LH) berbeda-beda sesuai dengan tipe dan stadiumnya
dengan modalitas penatalaksanaan yang terdiri atas radioterapi, kemoterapi dan terapi
kombinasi. EORTC (European Organization for Research and Treatment of Cancer)
mengelompokkan penderita LH klasik ke dalam 3 stage berdasarkan atas kriteria yang terdiri
atas stadium LH dengan ada atau tidak adanya faktor resiko sebagaimana yang ditunjukkan
pada tabel dibawah ini.
C. LNH REFRAKTER/RELAPS
Pasien LNH refrakter yang gagal mencapai remisi, dapat diberikan terapi salvage
dengan radioterapi jika area yang terkena tidak ekstensif. Terapi pilihan bila
memungkinkan adalah kemoterapi salvage diikuti transplantasi sumsum tulang.
Kemoterapi salvage seperti R-DHAP maupun R-ICE
1.9 Komplikasi
Pada penderita limfoma maligna:
Komplikasi karena pertumbuhan kanker itu sendiri dan komplikasi karena penggunaan
kemoterapi.
Komplikasi karena pertumbuhan kanker itu sendiri dapat berupa sistem imun melemah
(meliputi demam, sakit kepala, kelelahan, nyeri otot), pansitopenia, perdarahan, infeksi,
kelainan pada jantung, kelainan pada paru-paru, sindrom vena cava superior, kompresi
pada spinal cord, infertilitas, kelainan neurologis, obstruksi hingga perdarahan pada
traktus gastrointestinal, nyeri, dan leukositosis jika penyakit sudah memasuki tahap
leukemia.
Infeksi: Dalam jangka panjang terjadi infeksi yang disebabkan oleh splenectomy
(jarang digunakan lagi)), efek immudofesiensi dalam pengobatan jangka panjang.
Kanker: peningkatan munculnya jenis kanker yang baru, terutama kanker payudara
pada wanita muda yang diterapi dengan radiasi mediastinal; peningkatan resiko
menjadi ganas.
Saraf dan otot: kemoterapi yg menstimulasi saraf; pengecilan pada otot-otot tubuh
1.10 Pencegahan
Cara pencegahan penyakit limfoma yaitu dengan cara mengurangi konsumsi zat yang bersifat
karsinogenik, memakan makanan yang mengandung zat anti-oksidan, rutin berolahraga dan
mengurangi terkena paparan zat kimia.
1.11 Prognosis
Menurut The International Prognostic Score, prognosis limfoma Hodgkin ditentukan oleh
beberapa faktor di bawah ini, antara lain:
Serum albumin < 4 g/dL
Hemoglobin < 10.5 g/dL
Jenis kelamin laki-laki
Stadium IV
Usia 45 tahun ke atas
Jumlah sel darah putih > 15,000/m3
Jumlah limfosit < 600/mm3 atau < 8% dari total jumlah sel darah putihJika pasien memiliki
0-1 faktor di atas maka harapan hidupnya mencapai 90%, sedangkan pasien dengan 4 atau
lebih faktor-faktor di atas angka harapan hidupnyahanya 59%.
Sedangkan untuk limfoma non-hodgkin, faktor yang mempengaruhi prognosisnya antara lain:
usia (>60 tahun)
Ann Arbor stage (III-IV)
hemoglobin (<12 g/dL)
jumlah area limfonodi yang terkena (>4) and
serum LDH (meningkat)
yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok resiko, yaitu resiko rendah (memiliki
0-1 faktor di atas), resiko menengah (memiliki 2 faktor di atas), dan resiko buruk (memiliki 3
atau lebih faktor di atas)