DOSEN FASILITATOR :
Edy Siswantoro,S.Kep.,M.Kes
DISUSUN OLEH :
Kelompok 13
Grasela (0119023)
MOJOKERTO
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah yang telah memberikan kita
bahasa Indonesia,karena dengan adanya bahasa Indonesia kita mampu menyatukan bangsa
Indonesia dari berbagai suku untuk menjadi rakyat yang madani.
Shalawat salam kita hadiahkan kepada nabi Muhammad saw, keluaga, dan para
sahabatnya dan semoga kita mendapat syafa’at besok di hari kiamat.
Atas kerja sama kelompok, alhamdulillah makalah ini bisa di selesaikan yang insha Allah
sesuai dengan yang di harapkan. Kami mengharap kritik dan saran agar kami dapat memperbaiki
kekurangan, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Kelompok 13
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Limfoma atau tumor ganas limfoid dibedakan menjadi limfoma nonHodgkin dan
limfoma Hodgkin. Perbedaan limfoma Hodgkin dan limfoma nonHodgkin didasarkan
pada perbedaan gambaran histologi dan fenotip sel-sel tumor ( Küppers et al, 2012 ) .
Limfoma nonHodgkin merupakan jenis tumor ganas yang sering dijumpai. Di
Yogyakarta limfoma nonHodgkin termasuk dalam sepuluh besar keganasan yang paling
banyak ditemukan. Limfoma nonHodgkin memiliki sub kelompok yang sangat heterogen
dengan klasifikasi yang selalu berkembang (Taylor & Hartsock, 2011). Berdasarkan
klasifikasi WHO, limfoma non-Hodgkin dapat dibedakan dalam kelompok limfoma sel B
dan limfoma sel T/NK (Jaffe et al , 2001). Limfoma nonHodgkin sel B merupakan kasus
terbanyak, meliputi 75-80 % dari seluruh kasus limfoma non-Hodgkin. Dari seluruh
subtipe limfoma nonHodgkin sel B , diffuse large B cell lymphoma merupakan subtipe
yang paling banyak dijumpai (Sukpanichnant, 2004 ; Sahni & Desai, 2007) Di seluruh
dunia sudah banyak dilaporkan angka kejadian limfoma nonHodgkin berdasarkan
klasifikasi terbaru dari WHO. Klasifikasi WHO dapat memberikan informasi mengenai
biologi tumor, sifat alami dan respon pengobatan sehingga pengelolaan tumor limfoid
dapat lebih optimal. Di Indonesia ataupun di Yogyakarta pada khususnya, profil angka
kejadian limfoma maupun diffuse large B cell lymphoma berdasarkan klasifikasi WHO
masih jarang dilaporkan. Diffuse large B cell lymphoma merupakan proliferasi difus sel-
sel limfoid B neoplastik besar dengan ukuran inti sama atau melebihi inti makrofag atau
lebih dari dua kali ukuran limfosit normal (Jaffe et al, 2001).
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
1. Agar dapat mengetahui definisi limfoma.
2. Agar dapat mengetahui jenis dari limfoma.
3. Agar dapat mengetahui perbedaan limfoma.
4. Agar dapat mengetahui etiologi limfoma.
5. Agar dapat mengetahui patofisiologis limfoma.
6. Agar dapat mengetahui gejala dari limfoma.
7. Agar dapat mengetahui pemeriksaan fisik limfoma.
8. Agar dapat mengetahui asuhan keperawatan dari limfoma.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI LIMFOMA
Limfoma dikenal juga sebagai kanker getah bening. Kanker ini dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu limfoma Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin. Secara umum, gejala kedua jenis limfoma ini
memang mirip. Namun, cara penanganan dan peluang kesembuhannya berbeda.
Sistem getah bening atau limfatik terdiri dari kelenjar, pembuluh, dan cairan getah bening yang
tersebar di berbagai bagian tubuh, mulai dari leher, ketiak, lipatan paha, hingga perut.
Fungsi utama sistem limfatik adalah menghasilkan sel-sel darah putih yang dapat menjaga
kekebalan tubuh. Ketika terjadi kanker getah bening atau limfoma, sel darah putih limfosit
mengalami perubahan dan memperbanyak diri secara berlebihan.
Risiko munculnya limfoma lebih besar pada penderita penyakit autoimun dan HIV/AIDS, pria,
serta lansia. Penelitian juga menunjukkan bahwa orang yang memiliki keluarga dengan riwayat
limfoma memiliki risiko lebih tinggi terkena limfoma.
Kanker jenis ini lebih sering terjadi pada orang berusia 15-35 tahun atau 55 tahun
ke atas. Ini mempengaruhi lebih banyak pria daripada wanita, namun banyak yang dapat
berhasil diobati sampai sembuh.
Jenis ini lebih sering terjadi pada orang berusia di atas 55 tahun dan merupakan
salah satu kanker paling umum yang mempengaruhi orang berusia lebih dari 75 tahun ke
atas.LNH dibagi menjadi dua jenis, yaitu LNH level tinggi yang banyak menyerang
orang di atas usia 50 tahun dan dalam banyak kasus ini dapat disembuhkan. Sementara
itu, LNH level rendah membutuhkan waktu lama untuk berkembang.Namun, penderita
kanker level ringan yang lambat ini membuat penderitanya baru mendapat penanganan
ketika dalam stadium lanjut. Jika sudah dalam level ini, dokter umumnya akan
melakukan tindakan pengendalian daripada penyembuhan.
Perbedaan utama dari limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin adalah jenis sel limfosit yang
terlibat. Selain itu, perbedaan antara limfoma Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin juga dapat
diketahui melalui beberapa hal berikut ini:
a. Faktor usia
Limfoma Hodgkin biasanya dialami oleh dua kelompok usia, yaitu kelompok usia 20-30
tahun dan kelompok usia di atas 55 tahun. Sementara, limfoma non-Hodgkin biasanya dialami
oleh lansia yang telah berusia di atas 60 tahun.
b. Angka Kejadian
Angka kejadian limfoma Hodgkin jauh lebih rendah dibandingkan dengan limfoma non-
Hodgkin. Hanya 12% dari total kasus limfoma didiagnosis sebagai limfoma Hodgkin. Selain itu,
angka kejadian limfoma Hodgkin pun dilaporkan terus menurun bila dibandingkan dengan angka
kejadian limfoma non-Hodgkin yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
d. Metode penanganan
Limfoma non-Hodgkin memiliki lebih banyak subtipe dibandingkan limfoma Hodgkin,
sehingga jenis pengobatannya lebih bervariasi tergantung subtipe limfoma yang dialami
penderita.Metode pengobatan yang umum dilakukan untuk limfoma Hodgkin adalah kemoterapi,
radioterapi, dan operasi. Sedangkan limfoma non-Hodgkin bisa juga ditangani dengan
radioterapi, kemoterapi, imunoterapi, terapi target, plasmeferesis, antibiotik, atau transplantasi
sel induk.
Etiologi pasti dari limfoma Hodgkin masih belum diketahui. Namun, terdapat
peningkatan risiko limfoma Hodgkin pada penderita yang terinfeksi virus Epstein-Barr, penyakit
autoimun, imunosupresan dan genetik. Virus Epstein-Barr sering kali dijumpai pada limfoma
Hodgkin subtipe mixed cellularity dan lymphocyte depleted. Sampai saat ini tidak ada virus lain
yang diketahui berkontribusi pada patogenesis limfoma Hodgkin.
Etiologi limfoma non hodgkin berasal dari banyak faktor, seperti imunosupresi, genetik,
infeksi, gaya hidup, dan paparan pekerjaan. Secara umum, etiologi dan faktor risiko limfoma non
hodgkin masih diteliti lebih lanjut, dan beberapa etiologi seperti infeksi dan genetik secara
spesifik berhubungan dengan subtipe spesifik limfoma non hodgkin.
b. Virus
Beberapa infeksi virus dapat meningkatkan risiko terjadinya limfoma non hodgkin, antara lain:
Epstein-Barr Virus (EBV)
Human T-Cell Lymphotropic Virus (HTLV-1)
Kaposi Sarcoma-associated Herpesvirus (KSHV)/ Human Herpesvirus 8 (HHV8)
Hepatitis C Virus (HCV)
Hepatitis B Virus (HBV)
Herpes zoster virus (HZV)
c. Bakteri
Beberapa infeksi bakteri dapat meningkatkan risiko terjadinya limfoma non hodgkin, antara lain:
Peran rokok terhadap terjadinya limfoma non hodgkin masih diperdebatkan. Beberapa
laporan telah menunjukkan tidak ada peningkatan risiko pada perokok, dengan beberapa
pengecualian. Beberapa studi mengaitkan peningkatan risiko subtipe limfoma non hodgkin
folikuler pada perokok, melalui induksi translokasi onkogen bcl-2 pada limfosit perifer.[7] Pada
meta-analisis dengan 50 studi, merokok meningkatkan risiko limfoma non hodgkin sel T.[6]
Peningkatan risiko akibat rokok juga terkait dosis, di mana konsumsi rokok ≥15 batanghari
meningkatkan risiko limfoma non hodgkin (OR=1,42) dan limfoma Hodgkin (OR= 2,47) pada
sebuah studi kasus kontrol.
2. Alkohol
Peran alkohol terhadap risiko limfoma non hodgkin juga masih diperdebatkan, dengan hasil
peningkatan risiko, penurunan risiko, atau tidak ada perubahan risiko terjadinya limfoma non
hodgkin.
3. Diet
Peran diet terhadap terjadinya limfoma non hodgkin adalah sebagai berikut: daging, terutama
daging merah memiliki asosiasi positif pada beberapa studi, dan tidak ada asosiasi pada studi
lainnya. Konsumsi ikan menurunkan risiko terjadinya limfoma non hodgkin. Peningkatan risiko
limfoma non hodgkin juga berhubungan dengan konsumsi lemak, termasuk lemak hewani, lemak
tersaturasi, dan lemak trans. Konsumsi buah dan sayuran menurunkan risiko terjadinya limfoma
non hodgkin, terutama pada sayuran berdaun hijau dan sayuran cruciferous (kembang kol,
brokoli, kubis). Jumlah karotenoid yang tinggi sebelum diagnosis juga menurunkan risiko
limfoma non hodgkin.
4. Obesitas
Produk pewarna rambut mengandung zat mutagenik dan karsinogenik pada hewan. Beberapa
studi telah melaporkan risiko limfoma non hodgkin terkait penggunaan pewarna rambut,
terutama penggunaan jangka panjang dengan warna gelap.[6,10] Menurut data dari Food and
Drug Administration (FDA), pewarna rambut yang dilarang adalah yang mengandung 4-
methoxy-m-phenylenediamine 2,4-diaminoanisole, dan 2,4-methoxy-m-phenylenediamine sulfat
2,4-diaminoanisole sulfat. Penggunaan pewarna rambut dengan zat tersebut telah dilarang.
6. Paparan Pekerjaan
Terdapat beberapa pekerjaan yang dapat meningkatkan risiko terjadinya limfoma non hodgkin,
antara lain: peternak, penyemprot pestisida, pekerja benzena, pekerja karet, kilang minyak, jasa
cuci, pemadam kebakaran, dan ahli kimia. Pada peternak, risiko terjadinya limfoma non hodgkin
terkait penggunaan herbisida, insektisida organofosfat, dan pupuk.
7. Genetik
Riwayat limfoma non hodgkin dan kanker hematolimfoid lain pada kerabat dekat meningkatkan
risiko limfoma non hodgkin 2-3 kali lipat. Terdapat variasi genetik yang menyebabkan
peningkatan daya tahan dan pertumbuhan sel B, yang dapat meningkatkan risiko limfoma non
hodgkin. Gen yang terlibat antara lain gen pengkode tumor necrosis factor alpha (TNF-α),
sitokin, protein p53, protein perbaikan DNA, enzim biotransformasi, metabolisme folat, human
leukocyte antigens (HLA), dan faktor transkripsional (Bcl6).
5. PATOFISIOLOGIS LIMFOMA.
LIMFOMA HODGKIN .
Patofisiologi limfoma Hodgkin terdiri atas beberapa mekanisme antara lain mutasi gen sel B
menjadi sel Reed-Sternberg serta keterlibatan virus onkogen seperti virus Epstein-Barr (EBV).
Perjalanan penyakit limfoma hodgkin sebaiknya dibedakan dengan limfoma non hodgkin
Patogenesis limfoma non hodgkin berhubungan dengan akumulasi abberansi genetik yang
menginduksi pertumbuhan selektif dari sel yang bersifat ganas. Translokasi rekuren yang terjadi
pada beberapa tahap diferensiasi sel B seringkali adalah tahap awal transformasi maligna.
Translokasi-translokasi ini menyebabkan deregulasi ekspresi onkogen, yang mengontrol
proliferasi, kelangsungan hidup, dan diferensiasi sel.
Limfoma sel B berasal dari tahap-tahap pembentukan limfosit B. Pembentukan sel B diawali
pada organ limfoid primer (bone marrow), dengan diferensiasi lanjutan pada organ limfoid
sekunder, seperti nodus limfatikus, limpa, atau tonsil. Pada proses pembentukan, terjadi
modifikasi DNA yang merupakan proses normal. Namun, modifikasi ini dapat menjadi
predisposisi abnormalitas genetik yang menyebabkan limfoma.
Pembentukan sel B pada bone marrow diawali dengan rekombinasi gen yang akan membentuk
reseptor sel B (BCR). Proses ini dinamakan rekombinasi V(D)J yang melibatkan pemecahan
DNA oleh recombinant activating gene 1 (RAG1) dan recombinant activating gene 2 (RAG2),
yang diakhiri dengan proses penggabungan nonhomolog. Setelah BCR diekspresikan, limfosit
meninggalkan bone marrow dan menjadi sel B naive.
Pada aktivasi sel B yang diinduksi oleh antigen, reaksi pusat germinal di organ limfoid sekunder
dimulai. Pada reaksi pusat germinal, terjadi paling tidak 2 modifikasi DNA: somatic
hypermutation (SHM) dan class switch recombination (CSR). Kedua reaksi ini dimediasi oleh
aktivasi enzim spesifik sel B: activation-induced cytidine deaminase (AID). SHM memodifikasi
regio variabel Ig, dengan menyebabkan mutasi, penghapusan, atau insersi untuk membentuk
antibodi dengan afinitas yang lebih tinggi pada antigen. CSR menyebabkan perubahan perubahan
kelas heavy chain dari IgM menjadi IgG, IgA, atau IgE. Setelah reaksi pusat germinal, sel B
menjadi sel B memori atau sel plasma.
Limfoma dapat terjadi karena kesalahan pada proses pembentukan sel B. Kemampuan pusat
germinal untuk memproses sel B rentan mengalami kesalahan. Rekombinasi V(D)J, SHM, dan
CSR merupakan proses penting yang dapat menjadi predisposisi keganasan. Rekombinasi V(D)J
misalnya dapat mengakibatkan limfoma folikuler dan diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL).
SHM juga memiliki peran penting pada limfoma genesis. AID dapat menyebabkan mutasi gen
selain gen pada Ig. BCL6 adalah gen yang seringkali mengalami mutasi akibat SHM pada
DLBCL. CSR juga menyebabkan pemecahan DNA, dan gangguan pada regulasi dapat
menyebabkan chromosomal switch translocations, yang seringkali dideteksi pada
limfoma Burkitt’s, mieloma multipel, dan keganasan limfoid lainnya. Kemungkinan penyebab
translokasi ini adalah AID. Subtipe DLBCL juga memiliki karakteristik ekspresi AID dan
frekuensi switch translocation yang tinggi.
Neoplasma sel T dan sel natural killer (NK) jarang ditemukan, kurang dari 10% limfoma non
hodgkin di seluruh dunia. Subtipe paling banyak adalah peripheral T-cell lymphoma,
unspecified (PTLU) dan anaplastic large cell lymphoma (ALCL), dengan populasi terbanyak di
asia.
Sel T perifer berasal dari sel prekursor limfoid yang mengalami maturasi pada timus. Setelah
meninggalkan bone marrow, sel prekursor limfoid (early thymic progenitor/ETP) masuk pada
korteks timus pada cortical-medullary junction. Proses ini dimediasi oleh beberapa kemokin dan
reseptor permukaan. Pada korteks timus, CD4/CD8 double negative (DN) mengalami maturasi,
melewati stadium DN1, DN2, DN3, dan DN4. Progresi dari DN2 – DN4 memiliki karakteristik
sintesis pre-T cell receptor (TCR), yang menginduksi ekspresi CD4 dan CD8. Sel-sel double
positive (DP) ini mensintesis reseptor TCR/CD3 matur, yang berinteraksi dengan sel epitel timus
yang mengekspresikan antigen, kemudian mengalami seleksi negatif, apoptosis tertunda, atau
seleksi positif. Sel DP yang terpilih akan bermigrasi ke medulla, dan berdiferensiasi menjadi sel
T CD4 atau CD8 single positive (SP). Setelah seleksi ko-reseptor, sel SP meninggalkan timus.
Pada maturasi di timus, sel CD4+ dan CD8+ naive mengalami sirkulasi melewati darah dan
organ limfoid, mendapatkan fenotip matur. Limfosit CD4+ dapat mengalami diferensiasi
menjadi sel T regulator (Treg) atau helper (Th). Diferensiasi populasi ini bergantung pada
ekspresi faktor transkripsi, yang disebut sebagai master regulator (MR). Faktor-faktor ini antara
lain adalah FOXP3 pada Treg. Tbet pada Th1, GATA3 pada Th2, RORγt pada Th17, dan Bcl6
pada diferensiasi TFH. Ekspresi faktor transkripsi ini diregulasi oleh sitokin spesifik. Interferon
gamma (IFNγ) dan interleukin-12 (IL-12) mempromosikan ekspresi Tbet, IL-4 menginduksi
GATA3. IL-6, IL-10, IL-2, dan transforming growth factor β (TGFβ) meningkatkan ekspresi
FOXP3.
Patogenesis limfoma sel T perifer melibatkan beberapa proses, yaitu:
1. Mekanisme intrinsik sel T: Mekanisme ini melibatkan beberapa jalur, seperti: jalur
TCR/CD3, Notch, janus kinase (JAK)/signal transducer and activator of transcription (STAT),
dan lain-lain
2. Mekanisme ekstrinsik sel T: mekanisme ini terutama terjadi melalui penurunan
imunogenisitas sel tumor, dengan cara menghindari respon imun pada sel tumor melalui
modulasi protein regulator seperti Human Leukocyte antigen (HLA) kelas I dan II, CD28, CD58,
dan regulator apoptosis permukan atau intrasel. Mekanisme kedua adalah modulasi sinyal
lingkungan dan sel non-neoplastik intra tumor. Sel T neoplastik akan memproduksi molekul
protein permukaan, seperti vascular endothelial cell growth factor (VEGF), IL-5, IL-13, dan
PD-L1, yang merekrut eosinofil dari aliran darah. Eosinofil melepas IL-10 dan IL-4 yang
mendiferensiasi makrofag menjadi fenotip M2 (tumor-favoring). Sel T regulator juga
mengurangi respon imun sitotoksik pada sel tumor
Onkogenesis dimediasi virus: mekanisme infeksi EBV pada sel T masih diteliti, karena hanya
sedikit limfosit T/sel NK yang mengekspresikan CD21 yang berinteraksi dengan EBV. EBV
akan menyebabkan lisis maupun replikasi laten, yang akan menyebabkan ekspresi beberapa gen
terkait EBV. Gen-gen ini memiliki sifat-sifat seperti: meningkatkan daya tahan dan pertumbuhan
limfosit, sintesis protein anti apoptosis, dan blokade jalur p53.
Selain munculnya benjolan di leher, ketiak, dan selangkangan, gejala-gejala limfoma Hodgkin
lainnya meliputi:
Demam
Lemas
Gatal
Berkeringat pada malam hari
Berat badan menurun
Pembesaran organ limpa
Batuk, nyeri dada, dan sesak napas.
Gejala utama limfoma non-Hodgkin adalah pembengkakan tanpa nyeri di kelenjar getah bening,
seperti di leher, ketiak, atau lipat paha. Namun, tidak semua pembengkakan kelenjar getah
bening menunjukkan gejala kanker. Kelenjar getah bening juga dapat membengkak akibat
respons terhadap infeksi yang dialami tubuh.
Selain pembengkakan kelenjar getah bening, ada beberapa gejala lain limfoma non-Hodgkin
yang perlu diwaspadai, antara lain:
Segera periksakan diri ke dokter apabila mengalami gejala tersebut, terutama jika gejala tidak
kunjung membaik atau bertambah buruk.
Limfosit B. Sebagian besar limfoma non-Hodgkin muncul dari sel ini. Limfosit B
melawan infeksi dengan cara memproduksi antibodi yang mampu menetralisir bakteri
atau virus yang berbahaya bagi tubuh.
Limfosit T. Beberapa limfosit T bertugas menghancurkan bakteri, virus, atau sel
abnormal lain dalam tubuh secara langsung. Sementara limfosit T lainnya membantu
mempercepat atau memperlambat aktivitas sel-sel sistem imun yang lain.
Selain itu, ada sejumlah faktor yang mungkin memengaruhi munculnya limfoma non-Hodgkin,
di antaranya:
Usia. Limfoma non-Hodgkin dapat menyerang siapapun dari berbagai usia, namun risiko
kanker ini meningkat seiring bertambahnya usia. Sebagian besar limfoma non-Hodgkin
menyerang orang yang berusia 60 tahun ke atas.
Sistem kekebalan tubuh lemah. Kondisi ini dipicu oleh berbagai hal, seperti HIV atau
konsumsi obat-obatan penurun sistem kekebalan tubuh, misalnya setelah transplantasi
organ.
Kondisi autoimun, seperti rheumatoid arthritis, lupus, atau sindrom Sjogren.
Infeksi virus dan bakteri tertentu. Beberapa infeksi virus atau bakteri tertentu dapat
meningkatkan risiko munculnya limfoma non-Hodgkin. Infeksi virus meliputi HIV dan
virus Epstein-Barr, sedangkan infeksi bakteri adalah Helicobacter pylori yang
menyebabkan tukak lambung.
Bahan kimia tertentu, seperti pestisida.
Limfoma non-Hodgkin tidak menular dan tidak diturunkan. Meskipun demikian, ada
peningkatan risiko jika anggota keluarga terdekat, seperti orang tua atau saudara kandung pernah
menderita limfoma.
LIMFOMA HODGKIN.
Tes darah
Tes pencitraan tubuh, seperti foto Rontgen, CT scan, MRI, dan PET scan
Biopsi, yaitu pemeriksaan dengan mengambil sampel kelenjar getah bening yang
membesar melalui jarum, kemudian diperiksa di laboratorium. Prosedur ini dilakukan
dengan bantuan bius lokal sebelumnya. Jenis biopsi lainnya adalah dengan mengambil
cairan dari sumsum tulang guna mendeteksi tanda-tanda kanker.
Setelah diagnosis dipastikan, dokter akan menentukan stadium limfoma Hodgkin. Berikut
penjabarannya:
Stadium 1 - kanker berada hanya di satu kelenjar getah bening atau pada satu bagian
tubuh saja, misalnya pada leher saja atau area lain di atas/bawah diafragma.
Stadium 2 - kanker telah menyerang dua kelenjar getah bening atau menyebar pada
kelenjar getah bening terdekat, namun masih pada bagian tubuh yang sama, di atas atau
bawah diafragma.
Stadium 3 - kanker telah menyerang jaringan di sekitarnya atau organ lain, misalnya
limpa. Pada kondisi ini, kanker juga telah menyebar dari lokasi kemunculan pertama, ke
kumpulan kelenjar di atas dan bawah diafragma.
Stadium 4, disebut juga dengan stadium akhir, yaitu ketika kanker telah menyebar ke
beberapa jaringan atau organ tubuh lainnya. Kanker dapat menyebar ke paru-paru, tulang,
hati, limpa, kulit, dan sumsum tulang.
Melemahnya sistem kekebalan tubuh, sehingga rentan terkena infeksi dan penyakit. Pada
sebagian kasus, pasien harus mengonsumsi antibiotik secara rutin untuk mencegah
Gangguan kesuburan. Pengobatan dengan kemoterapi dan radiasi dapat menyebabkan
gangguan kesuburan yang bersifat sementara maupun permanen. Pasien akan ditawarkan
untuk menyimpan sel telur ataupun sperma sebelum pengobatan dimulai, agar bisa
digunakan ketika mereka akan merencanakan kehamilan.
Gangguan kesehatan, seperti penyakit jantung dan paru-paru.
Berkembangnya kanker jenis lain, misalnya kanker darah (leukemia), kanker paru-paru,
atau kanker Risiko yang disebabkan oleh kemoterapi dan radioterapi ini biasanya muncul
beberapa tahun hingga lebih dari sepuluh tahun setelah pasien melalui prosedur
pengobatan tersebut.
Stadium 1 – kanker menyerang salah satu kelompok kelenjar getah bening, misalnya
hanya kelompok kelenjar getah bening pada lipat paha atau leher.
Stadium 2 – kanker menyerang dua kelompok kelenjar getah bening atau lebih, namun
masih satu bagian tubuh. Bagian tubuh dalam stadium limfoma dipisahkan oleh
diafragma, yaitu di atas atau di bawah diafragma. Diafragma adalah otot yang membatasi
rongga perut dan rongga dada.
Stadium 3 – kanker sudah berada di kelompok kelenjar getah bening di atas dan di
bawah diafragma.
Stadium 4 – kanker sudah menyebar keluar dari sistem limfatik dan masuk ke sumsum
tulang atau organ lain, seperti hati atau paru-paru.
Sistem kekebalan tubuh melemah. Jenis komplikasi yang paling sering dialami oleh
penderita limfoma non-hodgkin. Melemahnya sistem kekebalan tubuh akan semakin
parah selama penderita menjalani pengobatan. Jika sistem kekebalan tubuh melemah,
maka tubuh akan semakin rentan terhadap berbagai infeksi dan meningkatkan risiko
komplikasi yang lebih serius.
Risiko kemandulan meningkat. Prosedur kemoterapi dan radioterapi dapat memicu
meningkatnya risiko kemandulan, baik yang bersifat sementara atau permanen.
Risiko munculnya kanker lain meningkat. Kemoterapi dan radioterapi tidak hanya
dapat membunuh sel kanker, namun juga membunuh sel-sel sehat, sehingga risiko
munculnya kanker di kemudian hari semakin meningkat.
Risiko munculnya gangguan kesehatan lain meningkat. Pengobatan limfoma non-
Hodgkin juga dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan lain, seperti:
o Katarak.
o Diabetes.
o Penyakit tiroid.
o Penyakit jantung.
o Penyakit paru-paru.
o Penyakit ginjal.
Ruang : Interne II
I. PENGKAJIAN
A. Biodata Pasien
Nama : Tn “R “
Umur : 20 tahun
Agama : Islam
Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
Umur : 19 tahun
Agama : Islam
Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
Pekerjaan : IRT
c. Keluhan Utama
Nyeri telan
d. Riwayat
Pasien mengatakan sejak kurang lebih 4 bulan yang lalu sebelum masuk Rumah sakit pertama kali
disadarai di leher kiri berukuran sebesar telur ayam, padat kenyal dan makin lama makin membesar, mula
– mula benjolan tidak nyeri tekan, tetapi sejak 2 bulan yang lalu pada benjolan timbul luka – luka
kemerahan bila ditekan terasa nyeri, nyeri dirasakan saat benjolan ditekan dan tidak menyebar, nyeri
tidak timbul bila tidak di tekan dan waktu menelan terasa nyeri dileher
Kemudian timbul juga benjolan di leher kanan sebesar kelereng, p[adat dan nyeri tekan, juga muncul
benjolan yang sama di bawah rahang kanan.
Kurang lebih 2 bulan yang lalu pasien sering merasa sesak di tenggorokan,. Banyak berkeringat di
malam hari dan sulit menelan
Satu minggu sebelum MRS pasien mengatakan bernafas agak susah, nyeri telan tambah hevat di bawa ke
dokter tapi tidak sembuh dan kemudian di bawa ke RSUD Dr Soetomo Surabaya MRS di Ruang Interne
II
Pasien mengatakan nyeri saat menelan, nyeri tekan pada daerah benjolan, terasa mau muntah jika makan
terlalu banyak.
B. Pasien amengatakan tidak pernah mempunyai riwayat penyakit tekanan darah tinggi, kencing manis,
atau penyakit menular seperti TBC atau penyakit lain yang menyebabkan harus Masuk rumah sakit.
C. Penyakit yang p[ernah diderita hanya batuk pilek dan panas biasa dan dengan berobat atau membeli
obat kemudian sembuh.
A. Pasien mengatakan dari pihak keluarga tidak ada yang menderita penyakit yang sama dengan dirinya
B. Menurut klien dan keluarga dari pihak keluarga tidak ada yang mempunyai penyakit hypertensi,
penyakit DM ataupun penyakit menular lain seperti TBC yang menyebabkan harus MRS di Rumah Sakit.
C. Penyakit yang pernah diderita hanyalah batuk, pilek dan panas biasa dan berobat ke dokter atau
membeli obat kemudian sembuh.
2 Pola Eliminasi Bab 1 – 2 kali/hari, BAB sejak 2 hari Bab 2 hari sekali,
Bab di WC, warna yng lalu baru 1 di WC konsistense
kuning trengguli kali, konsistensi lunak agak padat,
bau khas faeces, agak padat, warna warna kuning
konsistensi lunak kuning trengguli trengguli bau khas
dan tidak ada ,di WC jumlah faeces, tidak ada
ahambatan dalam faeces tak kesulitan BAB.
pengeluaran faeces terobservasi. BAK 2 – 3
x/sehari warna
BAB 3 – 4 kali BAK 3 – 4 kuning jernih, bau
sehari warna kali/hari warna khas urine, tidak
kuning jernih, bau kuning jernih dan nyeri daerah
khas urine, jumlah tak terobservasi kelamin, jumlah
tak terobservasi tidak ada urine tak
tidak ada hambatan dalam terobservasi, tidak
hambatan dalam proses pengeluaran ada gangguan
proses BAK tak urine dalam proses
nyeri. mictie.
waktu senggang
diguanakan untuk
nonton TV atau
ngobrol bersama
keluarga
Klien jarang
rekreasi
Pasien tidak
mengalami
ketergantungan
terhadap obat dan
makanan tertentu
F. Data Psikology
1. Status emosi
Stabil, pasien tampak bisa mengendalikan emosinya, pasien mengatakan “ saya sedih dengan adanya
benjolan di leher saya sehingga saya mengalami kesulitan dalam menelan makanan.” Pasien mengatakan
“Apakah penyakit saya ini bisa cepat disembuhkan dan bagaimana pengobatannya.” pasien mengatakan
merasa malu dengan keadaannya sekarang pasien tampak sedih bila diajak bicara tentang penyakitnya.
2. Konsep Diri
A. Body Image
Pasien mengatakan merasa bergaul karena sakit yangh dialaminya dan pasioen menyadari karena
sekarang sedang sakit dan butuh perawatan dan pengobatan dari pihak RS
B. Self Ideal
Klien merasa tidak terganggu dengan aturan yang diterapkan oleh pihak RS karena menurut klien hal ini
adalah untuk kesembuhannya.
C. Self esteem
Klien mengatakan diperlakukan dengan baik, ramah, sopan dan sabar baik oleh petugas maupun keluarga
dan mendapat bantuan dalam menghadapi sakitnya
D. Role
Klien bersikap kooperatif saat dilakukan tindakan tinpra, penjelasan dari perawat/dokter. Klien mematuhi
ketentuan tentang hal yang harus dilakukan maupun yang dilarang klien lebih banyak diam.
Di rumah pasien bekerja tidak tetap kadang di proyek atau membangun rumah orang dan atau pekerjaan
yang lainnya
Sedangkan di Rumah Sakit pasien menyadari dirinya sebagai pasien yang butuh perwatan dan pengobatan
Pasien mengatakan karena sakit ini tidak bisa menjalankan aktifitas seperti biasanya
E. Identitas
Klien menyadari saat ini sedang sakit dan lemah bukan individu yang sehat dan mandiri seperti dahulu.
Membutuhkan bantuan dan dukungan penuh dari keluarga untuk memenuhi segala kebutuhannya.
G. Data Sosial
2. Sumber penghasilan : pasien bekerja tidak tetap lebih banyak di bangunan kadangh membangun
rumah orang lain kadng ikut proyek pasien mengatakan hubungan dengan teman sekerjanya berjalan
dengan baik
3. Pola komunikasi : Klien berkomunikasi dengan bahasa jawa dan Indonesia dengan nada suara
lemah, volume suara datar.
Klien sering menanyakan tentang penyakit dan keadaannya sekarang apakah ia bisa cepat sembuh dari
sakitnya dan bagaimana tentang prosedur pengobatannya, pasien jarang bicara dengan pasien lain karena
merasa malu dengan benjolan yang ada di lehernya
4. Pola Interaksi
Pasien mengatakan hubungan dengan semua anggota keluarga berjalan dengan baik (harmonis)
dibuktikan dengan banyak keluarga yang datang menjenguk dan menungguinya.
Pasien jarang berkomunikasi dengan pasien lain karena merasa malu dengan adanya benjolan di
lehernya
5. Perilaku
B. Waktu yang lain pasien biasa beraktifitas seperti makan, mandi dan kekamar mandi
C. Pasien tampak menutupi lehernya dngan sleyer ketika keluar dari kamar untuk jalan – jalan di sekitar
ruangan
H. Data Spiritual
B. Pasien mengatakan dirumah rajin menjalakan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya seperti sholat
dan mengaji serta berdoa serta ibadah yang lain
C. Di Rumah sakit pasien rajin melaksanakan sholat di kamarnya dan berdoa mengaharap
kesembuhannya.
D. Klien mengatakan menerima sakitnya sebagai cobaan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan
pasien mengatakan akan pasrah dan berusaha untuk kesembuhannya
i. Pemeriksaan Fisik
Secara Umum
1. Keadaan Umum : baik, pasien tampak sakit ringan pasien bisa melaksanakan aktivitas sehari – hari
dengan baik tanpa bantuan dari orang lain hanya kebutuhan tertentu yang mmbutuhkan bantuan minimal
dari perawat seperti minum obat.
3. Antopometri : TB : 168 cm BB : 57 kg
S : 36 5 o C RR : 20 x/menit
a. Ekspresi wajah tampak sedikit gelisah, bentuk oval tampak bersih tidak ditemukan adanya bekas luka
ekspresi wajah tampak sedikit gelisah/cemas, kadang menyeringai saat menelan, pasien tampak
menyeringai saat leher ditekan.
b. Rambut : Pendek, warna hitam, bersih, rambut tidak mudah dicabut bentuk kepala oval dan tidak ada
nyeri tekan. Rambut hitam dan tidak rontok, agak kotor dan tidak ada ketombe, tidak ditemukan adanya
kutu
c. Kulit kepala : bersih, tidak didapatkan adanya bekas luka, ataupun benjolan abnormal
d. Mata : Simetris, konjungtiva tarsal warna merah muda, sclera tidak ikterus, pupil isokor, fungsi
penglihatan baik, tidak ada bercak reflek cahaya (+), kornea jernih
e. Hidung : Mucosa hidung warna merah muda, simetris, septum nasi tegak berada di tengah, tidak
terdapat adanya polip, bersih dan fungsi penciuman baik
f. Telinga : Simetris, auricula tidak ada infeksi, liang telinga warna merah muda, bersih tidak didapatkan
adanya cerumen yang mengeras ataua menggumpal, fungsi pendengaran baik ditandai dengan pasien bisa
menjawab pertanyaan dengan spontan
g. Mulut : Mucosa merah muda, bibir merah muda, tidak kering, lidah bersih, gigi bersih tidak ada
caries, tidak ada radang pada tonsil,tidak terdapat stomatitis, fungsi mengunyah, pengecapan baik.
2. Leher
v Asimetris
v Terdapat pembesaran kelenjar lymfe pada leher kiri multiple dengan diameter kurang l;ebih 20 cm,
terdapat benjolan dibawah rahang kanan diameter 4 – 5 cm terdapat benjolan pada leher kanan dengan
diameter kurang lebih 5 cm, terdapat radang pada leher kiri, konsistensi benjolan padat, kenyal dan nyeri
tekan.
3. Pemeriksaan Thorak
a. Pulmonum
1. Inspeksi : bentuk thorak simetris, bersih, tak tampak adanya tarikan intercostae yang berlebihan,
pernafasan dan iramareguler teratur,terdapat pembesaran kelenjar lymfe axila kanan dan kiri, nafas
spontan.
2. Palpasi : Tidak ada benjolan abnormal, tidak ada nyeri tekan, gerak nafasreguler, tidak ada pernafasan
tertinggal, tidak ada krepitasio
4. Auskiulatsi : suara nafas vesikuler, Tidak ada suara ronkhi ataupun wheezing pada paru kanan dan
kiri.
b. Cor
A. Inspeksi : Tidak terlihat adanya ictus cordis, pulsasi jantung tidak tampak
B. Palpasi : Teraba Ictus Cordis pada ICS IV – V sinestra MCL, pulsasi jantung teraba pada apek, Thrill
tidak ada
C. Perkusi : suara redup (pekak/dullness) pada daerah jantung
4. Abdoment
A. Inspeksi : Simetris, bersih, tidak didapatkan adanya benjolan atau bekas luka, supel, perut datar dan
tidak membuncit.
v Pembesaran kelenjar limfe inguinalis kanan dan kiri kurang lebih 2 cm padat dan kenyal
v Jenis kelamin laki – lak, bersih, tidak didapatkan adanya jamur dan infeksi
6. Ekstremitas
A. Atas
Lengkap, jari tangan lengkap, akral hangat, tidak ada cacat, simetris gerakan maksimal, kekuatan otot
baik, agak anemis pada jari kaki, turgor kulit baik, skala kekuatan otot 5 5
B. Bawah
Lengkap, jari tangan lengkap Bersih tidak ada bekas luka, simetris, movement maksimal, tidak ad luka,
tidak ada nyeri, kekuatan otot baik Skala kekuatan otot
5 5
7. Integument
B. Tidak ada alergi atau iritasi kulit, tidak ada kelainan postur tubuh, pergerakan maksimal
j. Data Penunjang
1. Pemeriksaan Diagnostik
Pr : < 1,2
RBC 4, 48 MILL/CU MM
HGB 13,5 Grams/DL
HCT 39,3 %
MCHC 34,4 %
RDW 15,1 %
PCT 0, 169
MPV 7, 2 Cu Microns
% Lymph 22,5
% Mono 11,4
% Gran 66,1
Eosinofil
Basofil
Kesimpulan : Non Hodgkin lymfoma maligna, difuse large cell, high grade, stadium III B
Hepar : besar normal, intensitas ocheparencim bormal homogen, system vena porta/vena
hepatica normal, tak tampak nodule, kiste, abcess
Gall blader : besar normal, dinding baik, batu polyp (-)
Pancreas : besar normal;, intensitas echoparencim baik, tak tampak nodule kiste abcess, kalsifikasi
Lien : membesar intensitas echoparencim baik, systema calyseal tak tampak estasis, tak
tampak nodule, kiste abcess batu
Kesimpulan : splenomegali
Tak tampak proses metastasis pada hepar dan kelenjar pada aorta
2. Therapy medik
B. Multivit 3 dd 1 tab
C. Prednison 3 dd 4 tab
ANALISA DATA
Ä Pasien
mengatakan
berat badan
sebelum sakit
62 kg
Ä Pasien
mengatakan
porsi yang
disediakan RS
cuma habis 3 –
4 sendok
makan
Obyektif
Ä Keadaan
umum baik
Ä T 110/70
mmHg
Ä N 90
x/menit
Ä S 36 5 o C
Ä R 20
x/menit
Ä Porsi yang
disediakan RS
cuma habis
setengah porsi
Ä Pasien
terlihat
menyeringai
saat menelan
makanan
Ä Pasien
mendapatkan
diet TKTP
lunak
Ä TB : 168 cm
Ä BB : 56 Kg
Ä Terdapat
pembesaran
kelenjar limfe
pada leher kiri
dengan
diameter 20 cm
benjolan
bawah rahang
kanan diameter
4 – 5 cm
benjolan leher
kanan dengan
diameter
kurang lebih 5
cm konsistensi
padata dan
kenyal serta
nyeri tekan
Ä Hasil PA :
Non Hodgkin
Lymfoma
difuse large
cell high grade
stad III B
Ä Pasien mengatakan
merasa malu karena
keadaannya sekarang
Data Obyektif
Ä Pasien tampak
sedih saaat diajak
bicara tentang
penyakitnya
Ä Ekspresi muka
tampak sedikit gelisah
Ä Terdapat
pembesaran kelenjar
lymfe di leher dengan
diameter kurang lebih
20 cm
Ä Pasien tampak
jarang bicara dengan
pasien di sebelahnya
Ä Pasien menutupi
lehernya dengan
sleyer saat jalan –
jalan diluar
Ä PA : LNH Difuse
Large cell, High
Grade Stad III B
Ä Pasien menanyakan
apakah penyakitnya
bisa segera
disembuhkan dan
bagaimana prosedur
pengobatannya
Data obyektif
Ä Keadaan umum
baik
Ä Ekspresi wajah
tampak sedikit gelisah
Ä Pasien tampak
menanyakan tentang
penyakit yang
dideritanya
Ä T 110/70 mmHg
Ä N 90 x/menit
Ä R 20 x /menit
Ä S 36 5 o C
Ä PA : LNH Difuse
Large Cell High
Grade III B
Data Obyektif
Ä Pasien tampak
menyeringai saat
benjolan di tekan
Ä Tedapat
pembesaran kelenjar
lymfe di leher dengan
diameter 20 cm
Ä Terdapat nyeri
tekan
PA : LNH Difuse
Large Cell High
Grade Stad III B
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kesulitan bernafas
sukunder terhadap penekanan massa pada oesopahgus
2. Gangguan psikologis ( cemas ringan ) berhubungan dengan knowledge deficit tentang penyakit dan
prosedur pengobatan
3. Perubahan konsep diri (body Image) berhubungan dengan perubahan bentuk anatomi tubuh (adanya
limfoma)
4. Gangguan rasa nyaman (nyeri tekan) berhubungan dengan penekana saraf di leher akibat adanya
limfoma
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN.
Kanker ini masuk ke dalam kelompok keganasan primer limfosit. LNH tepatnya berasal
dari limfosit B, limfosit T, dan terkadang berasal dari sel natural killer (NK) yang berada dalam
sistem limfatik.
Limfoma non-hodgkin ini bisa bisa muncul di bagian manapun, bahkan bisa menyebar ke
organ dalam tubuh. LNH ini sendiri terdiri dari berbagai jenis, tetapi limfoma sel B merupakan
sebaran yang paling umum.
B.SARAN
Perawat disarankan untuk memberi dukungan kepada pasien agar semangat menjalani
hidup dan memberikan usaha maksimal untuk mempertahankan hidup pasien, dan
menganjurkan pasien maupun keluarga untuk tidak putus asa terhadap kemungkinan buruk
yang akan terjadi, serta menganjurkan pasien untuk selalu mengikuti terapi yang dianjurkan.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.alodokter.com/limfoma-hodgkin
https://www.alodokter.com/limfoma-non-hodgkin
https://www.kanker.kemkes.go.id
https://www.id.parwaycancercentre.com
https://www.informasikedokteran.com/2015/08/limfoma-hodgkin.html