Anda di halaman 1dari 39

ASUHAN KEPERAWATAN LIMFOMA

DOSEN FASILITATOR :

Edy Siswantoro,S.Kep.,M.Kes

DISUSUN OLEH :

Kelompok 13

Grasela (0119023)

Maria Ulfa (0119027)

Nafila Febie N.P (0119032)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN DIAN HUSADA

MOJOKERTO

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah yang telah memberikan kita
bahasa Indonesia,karena dengan adanya bahasa Indonesia kita mampu menyatukan bangsa
Indonesia dari berbagai suku untuk menjadi rakyat yang madani.

Shalawat salam kita hadiahkan kepada nabi Muhammad saw, keluaga, dan para
sahabatnya dan semoga kita mendapat syafa’at besok di hari kiamat.

Atas kerja sama kelompok, alhamdulillah makalah ini bisa di selesaikan yang insha Allah
sesuai dengan yang di harapkan. Kami mengharap kritik dan saran agar kami dapat memperbaiki
kekurangan, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Mojokerto,25 Oktober 2020

Kelompok 13
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Limfoma atau tumor ganas limfoid dibedakan menjadi limfoma nonHodgkin dan
limfoma Hodgkin. Perbedaan limfoma Hodgkin dan limfoma nonHodgkin didasarkan
pada perbedaan gambaran histologi dan fenotip sel-sel tumor ( Küppers et al, 2012 ) .
Limfoma nonHodgkin merupakan jenis tumor ganas yang sering dijumpai. Di
Yogyakarta limfoma nonHodgkin termasuk dalam sepuluh besar keganasan yang paling
banyak ditemukan. Limfoma nonHodgkin memiliki sub kelompok yang sangat heterogen
dengan klasifikasi yang selalu berkembang (Taylor & Hartsock, 2011). Berdasarkan
klasifikasi WHO, limfoma non-Hodgkin dapat dibedakan dalam kelompok limfoma sel B
dan limfoma sel T/NK (Jaffe et al , 2001). Limfoma nonHodgkin sel B merupakan kasus
terbanyak, meliputi 75-80 % dari seluruh kasus limfoma non-Hodgkin. Dari seluruh
subtipe limfoma nonHodgkin sel B , diffuse large B cell lymphoma merupakan subtipe
yang paling banyak dijumpai (Sukpanichnant, 2004 ; Sahni & Desai, 2007) Di seluruh
dunia sudah banyak dilaporkan angka kejadian limfoma nonHodgkin berdasarkan
klasifikasi terbaru dari WHO. Klasifikasi WHO dapat memberikan informasi mengenai
biologi tumor, sifat alami dan respon pengobatan sehingga pengelolaan tumor limfoid
dapat lebih optimal. Di Indonesia ataupun di Yogyakarta pada khususnya, profil angka
kejadian limfoma maupun diffuse large B cell lymphoma berdasarkan klasifikasi WHO
masih jarang dilaporkan. Diffuse large B cell lymphoma merupakan proliferasi difus sel-
sel limfoid B neoplastik besar dengan ukuran inti sama atau melebihi inti makrofag atau
lebih dari dua kali ukuran limfosit normal (Jaffe et al, 2001).

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Definisi dari penyakit Limfoma ?


2. Bagaimana jenis-jenis dari penyakit Limfoma ?
3. Bagaimana perbedaan dari penyakit Limfoma ?
4. Bagaimana Etiologi dari penyakit Limfoma ?
5. Bagaimana patofisiologis dari penyakit Limfoma ?
6. Bagaimana gejala dari penyakit Limfoma ?
7. Bagaimana pemeriksaan fisik dari penyakit Limfoma ?
8. Bagaimana asuhan keperawatan dari penyakit Limfoma ?

C. TUJUAN
1. Agar dapat mengetahui definisi limfoma.
2. Agar dapat mengetahui jenis dari limfoma.
3. Agar dapat mengetahui perbedaan limfoma.
4. Agar dapat mengetahui etiologi limfoma.
5. Agar dapat mengetahui patofisiologis limfoma.
6. Agar dapat mengetahui gejala dari limfoma.
7. Agar dapat mengetahui pemeriksaan fisik limfoma.
8. Agar dapat mengetahui asuhan keperawatan dari limfoma.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI LIMFOMA

Limfoma dikenal juga sebagai kanker getah bening. Kanker ini dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu limfoma Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin. Secara umum, gejala kedua jenis limfoma ini
memang mirip. Namun, cara penanganan dan peluang kesembuhannya berbeda.
Sistem getah bening atau limfatik terdiri dari kelenjar, pembuluh, dan cairan getah bening yang
tersebar di berbagai bagian tubuh, mulai dari leher, ketiak, lipatan paha, hingga perut.
Fungsi utama sistem limfatik adalah menghasilkan sel-sel darah putih yang dapat menjaga
kekebalan tubuh. Ketika terjadi kanker getah bening atau limfoma, sel darah putih limfosit
mengalami perubahan dan memperbanyak diri secara berlebihan.
Risiko munculnya limfoma lebih besar pada penderita penyakit autoimun dan HIV/AIDS, pria,
serta lansia. Penelitian juga menunjukkan bahwa orang yang memiliki keluarga dengan riwayat
limfoma memiliki risiko lebih tinggi terkena limfoma.

2. JENIS – JENIS LIMFOMA


a. Limfoma Hodgkin

Kanker jenis ini lebih sering terjadi pada orang berusia 15-35 tahun atau 55 tahun
ke atas. Ini mempengaruhi lebih banyak pria daripada wanita, namun banyak yang dapat
berhasil diobati sampai sembuh.

b. Limfoma Non-Hodgkin (LNH)

Jenis ini lebih sering terjadi pada orang berusia di atas 55 tahun dan merupakan
salah satu kanker paling umum yang mempengaruhi orang berusia lebih dari 75 tahun ke
atas.LNH dibagi menjadi dua jenis, yaitu LNH level tinggi yang banyak menyerang
orang di atas usia 50 tahun dan dalam banyak kasus ini dapat disembuhkan. Sementara
itu, LNH level rendah membutuhkan waktu lama untuk berkembang.Namun, penderita
kanker level ringan yang lambat ini membuat penderitanya baru mendapat penanganan
ketika dalam stadium lanjut. Jika sudah dalam level ini, dokter umumnya akan
melakukan tindakan pengendalian daripada penyembuhan.

3. PERBEDAAN LIMFOMA HODGKIN DAN NON HODGKIN

Perbedaan utama dari limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin adalah jenis sel limfosit yang
terlibat. Selain itu, perbedaan antara limfoma Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin juga dapat
diketahui melalui beberapa hal berikut ini:
a. Faktor usia
Limfoma Hodgkin biasanya dialami oleh dua kelompok usia, yaitu kelompok usia 20-30
tahun dan kelompok usia di atas 55 tahun. Sementara, limfoma non-Hodgkin biasanya dialami
oleh lansia yang telah berusia di atas 60 tahun.

b. Angka Kejadian
Angka kejadian limfoma Hodgkin jauh lebih rendah dibandingkan dengan limfoma non-
Hodgkin. Hanya 12% dari total kasus limfoma didiagnosis sebagai limfoma Hodgkin. Selain itu,
angka kejadian limfoma Hodgkin pun dilaporkan terus menurun bila dibandingkan dengan angka
kejadian limfoma non-Hodgkin yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

c. Hasil pemeriksaan biopsi


Dalam pemeriksaan sampel jaringan kelenjar getah bening atau biopsi, limfoma Hodgkin
ditandai dengan adanya sel Reed Sternberg. Namun, keberadaan sel ini tidak akan ditemukan
pada limfoma non-Hodgkin. Jenis limfoma non-Hodgkin biasanya disebabkan oleh pertumbuhan
abnormal sel B atau sel T.

d. Metode penanganan
Limfoma non-Hodgkin memiliki lebih banyak subtipe dibandingkan limfoma Hodgkin,
sehingga jenis pengobatannya lebih bervariasi tergantung subtipe limfoma yang dialami
penderita.Metode pengobatan yang umum dilakukan untuk limfoma Hodgkin adalah kemoterapi,
radioterapi, dan operasi. Sedangkan limfoma non-Hodgkin bisa juga ditangani dengan
radioterapi, kemoterapi, imunoterapi, terapi target, plasmeferesis, antibiotik, atau transplantasi
sel induk.

e. Angka harapan hidup


Limfoma Hodgkin merupakan salah satu jenis kanker dengan tingkat keberhasilan
pengobatan yang cukup tinggi. Jenis limfoma ini memiliki angka harapan hidup yang cukup
besar, yaitu sekitar 84%. Sementara bagi penderita berusia di bawah 45 tahun, persentase
kesembuhannya dapat meningkat hingga 94%.Limfoma non-Hodgkin memiliki angka harapan
hidup yang lebih rendah dibandingkan limfoma Hodgkin, yaitu 72%. Namun, angka keberhasilan
pengobatan dalam kasus limfoma non-Hodgkin pun sangat bervariasi tergantung subtipe
limfoma yang diderita, stadium kanker, usia, dan kesehatan penderita secara umum.
4. ETIOLOGI LIMFOMA.

ETIOLOGI LIMFOMA HODGKIN.

Etiologi pasti dari limfoma Hodgkin masih belum diketahui. Namun, terdapat
peningkatan risiko limfoma Hodgkin pada penderita yang terinfeksi virus Epstein-Barr, penyakit
autoimun, imunosupresan dan genetik. Virus Epstein-Barr sering kali dijumpai pada limfoma
Hodgkin subtipe mixed cellularity dan lymphocyte depleted. Sampai saat ini tidak ada virus lain
yang diketahui berkontribusi pada patogenesis limfoma Hodgkin.

ETIOLOGI LIMFOMA NON-HODGKIN.

Etiologi limfoma non hodgkin berasal dari banyak faktor, seperti imunosupresi, genetik,
infeksi, gaya hidup, dan paparan pekerjaan. Secara umum, etiologi dan faktor risiko limfoma non
hodgkin masih diteliti lebih lanjut, dan beberapa etiologi seperti infeksi dan genetik secara
spesifik berhubungan dengan subtipe spesifik limfoma non hodgkin.

a. Modulasi Sistem Imun


Kondisi imunosupresi kongenital maupun didapat adalah faktor terkuat yang meningkatkan
risiko limfoma non hodgkin. Kondisi kongenital antara lain: sindrom Wiskott-Aldrich, common
variable hypogammaglobulinemia, dan X-linked lymphoproliferative syndrome. Defek pada
regulasi imun pejamu juga dapat menyebabkan infeksi yang tidak terkontrol dan proliferasi
limfosit B. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) meningkatkan risiko 75-100 kali lipat
terjadinya limfoma non hodgkin. Terapi dengan obat-obatan immunosupresi setelah transplantasi
organ atau stem cell hematopoietik meningkatkan risiko sebanyak 30-50 kali. Penggunaan
kemoterapi atau radiasi kanker juga meningkatkan risiko limfoma non hodgkin.

b. Virus
Beberapa infeksi virus dapat meningkatkan risiko terjadinya limfoma non hodgkin, antara lain:

 Epstein-Barr Virus (EBV)
 Human T-Cell Lymphotropic Virus (HTLV-1)
 Kaposi Sarcoma-associated Herpesvirus (KSHV)/ Human Herpesvirus 8 (HHV8)
 Hepatitis C  Virus (HCV)
 Hepatitis B Virus  (HBV)
 Herpes zoster virus (HZV)
c. Bakteri
Beberapa infeksi bakteri dapat meningkatkan risiko terjadinya limfoma non hodgkin, antara lain:

 Helicobacter pylori (limfoma pada mucosa-associated lymphoid tissue/MALT)


 Borrelia burgdorferi (menyebabkan penyakit Lyme; cutaneous B-cell lymphoma)
 Chlamydia psittaci  (ocular adnexal marginal zone lymphoma)
d. Gaya Hidup
1. Rokok

Peran rokok terhadap terjadinya limfoma non hodgkin masih diperdebatkan. Beberapa
laporan telah menunjukkan tidak ada peningkatan risiko pada perokok, dengan beberapa
pengecualian. Beberapa studi mengaitkan peningkatan risiko subtipe limfoma non hodgkin
folikuler pada perokok, melalui induksi translokasi onkogen bcl-2 pada limfosit perifer.[7] Pada
meta-analisis dengan 50 studi, merokok meningkatkan risiko limfoma non hodgkin sel T.[6]
Peningkatan risiko akibat rokok juga terkait dosis, di mana konsumsi rokok ≥15 batanghari
meningkatkan risiko limfoma non hodgkin (OR=1,42) dan limfoma Hodgkin (OR= 2,47) pada
sebuah studi kasus kontrol.
2. Alkohol

Peran alkohol terhadap risiko limfoma non hodgkin juga masih diperdebatkan, dengan hasil
peningkatan risiko, penurunan risiko, atau tidak ada perubahan risiko terjadinya limfoma non
hodgkin.

3. Diet

Peran diet terhadap terjadinya limfoma non hodgkin adalah sebagai berikut: daging, terutama
daging merah memiliki asosiasi positif pada beberapa studi, dan tidak ada asosiasi pada studi
lainnya. Konsumsi ikan menurunkan risiko terjadinya limfoma non hodgkin. Peningkatan risiko
limfoma non hodgkin juga berhubungan dengan konsumsi lemak, termasuk lemak hewani, lemak
tersaturasi, dan lemak trans. Konsumsi buah dan sayuran menurunkan risiko terjadinya limfoma
non hodgkin, terutama pada sayuran berdaun hijau dan sayuran cruciferous (kembang kol,
brokoli, kubis). Jumlah karotenoid yang tinggi sebelum diagnosis juga menurunkan risiko
limfoma non hodgkin.
4. Obesitas

Obesitas berhubungan dengan inflamasi low-grade yang bersifat kronik dan modulasi imun


yang menjadi predisposisi limfoma non hodgkin. Risiko terjadinya diffuse large B-cell
lymphoma  (DLBCL) terkait dengan obesitas dan obesitas berat.
5. Pewarna Rambut

Produk pewarna rambut mengandung zat mutagenik dan karsinogenik pada hewan. Beberapa
studi telah melaporkan risiko limfoma non hodgkin terkait penggunaan pewarna rambut,
terutama penggunaan jangka panjang dengan warna gelap.[6,10] Menurut data dari Food and
Drug Administration (FDA), pewarna rambut yang dilarang adalah yang mengandung 4-
methoxy-m-phenylenediamine 2,4-diaminoanisole, dan 2,4-methoxy-m-phenylenediamine sulfat
2,4-diaminoanisole sulfat. Penggunaan pewarna rambut dengan zat tersebut telah dilarang.

6. Paparan Pekerjaan
Terdapat beberapa pekerjaan yang dapat meningkatkan risiko terjadinya limfoma non hodgkin,
antara lain: peternak, penyemprot pestisida, pekerja benzena, pekerja karet, kilang minyak, jasa
cuci, pemadam kebakaran, dan ahli kimia. Pada peternak, risiko terjadinya limfoma non hodgkin
terkait penggunaan herbisida, insektisida organofosfat, dan pupuk.

7. Genetik
Riwayat limfoma non hodgkin dan kanker hematolimfoid lain pada kerabat dekat meningkatkan
risiko limfoma non hodgkin 2-3 kali lipat. Terdapat variasi genetik yang menyebabkan
peningkatan daya tahan dan pertumbuhan sel B, yang dapat meningkatkan risiko limfoma non
hodgkin. Gen yang terlibat antara lain gen pengkode tumor necrosis factor alpha (TNF-α),
sitokin, protein p53, protein perbaikan DNA, enzim biotransformasi, metabolisme folat, human
leukocyte antigens (HLA), dan faktor transkripsional (Bcl6).

5. PATOFISIOLOGIS LIMFOMA.

LIMFOMA HODGKIN .

Patofisiologi limfoma Hodgkin terdiri atas beberapa mekanisme antara lain mutasi gen sel B
menjadi sel Reed-Sternberg serta keterlibatan virus onkogen seperti virus Epstein-Barr (EBV).
Perjalanan penyakit limfoma hodgkin sebaiknya dibedakan dengan limfoma non hodgkin

a. Mutasi Gen Sel B menjadi Sel Reed Sternberg


Sel Reed-Sternberg patognomonik untuk limfoma Hodgkin klasik. Sel Reed-Sternberg tidak
membawa penanda permukaan sel B atau T, tidak seperti monosit, tidak memiliki komplemen
dan reseptor Fc. Sel Reed-Sternberg sebagian besar berasal dari mutasi sel B. Pola mutasi
somatik pada rearrangement gen immunoglobulin V pada sel Reed-Sternberg menandakan
bahwa sel ini berasal dari pusat germinal sel-B limfosit pra-apoptosis.
LIMFOMA NON HODGKIN.

Patogenesis limfoma non hodgkin berhubungan dengan akumulasi abberansi genetik yang
menginduksi pertumbuhan selektif dari sel yang bersifat ganas. Translokasi rekuren yang terjadi
pada beberapa tahap diferensiasi sel B seringkali adalah tahap awal transformasi maligna.
Translokasi-translokasi ini menyebabkan deregulasi ekspresi onkogen, yang mengontrol
proliferasi, kelangsungan hidup, dan diferensiasi sel.

1. Pembentukan Sel B dan Limfoma

Limfoma sel B berasal dari tahap-tahap pembentukan limfosit B. Pembentukan sel B diawali
pada organ limfoid primer (bone marrow), dengan diferensiasi lanjutan pada organ limfoid
sekunder, seperti nodus limfatikus, limpa, atau tonsil. Pada proses pembentukan, terjadi
modifikasi DNA yang merupakan proses normal. Namun, modifikasi ini dapat menjadi
predisposisi abnormalitas genetik yang menyebabkan limfoma.
Pembentukan sel B pada bone marrow diawali dengan rekombinasi gen yang akan membentuk
reseptor sel B (BCR). Proses ini dinamakan rekombinasi V(D)J yang melibatkan pemecahan
DNA oleh recombinant activating gene 1 (RAG1) dan recombinant activating gene 2 (RAG2),
yang diakhiri dengan proses penggabungan nonhomolog. Setelah BCR diekspresikan, limfosit
meninggalkan bone marrow dan menjadi sel B naive.
Pada aktivasi sel B yang diinduksi oleh antigen, reaksi pusat germinal di organ limfoid sekunder
dimulai. Pada reaksi pusat germinal, terjadi paling tidak 2 modifikasi DNA: somatic
hypermutation  (SHM) dan class switch recombination (CSR). Kedua reaksi ini dimediasi oleh
aktivasi enzim spesifik sel B: activation-induced cytidine deaminase (AID). SHM memodifikasi
regio variabel Ig, dengan menyebabkan mutasi, penghapusan, atau insersi untuk membentuk
antibodi dengan afinitas yang lebih tinggi pada antigen. CSR menyebabkan perubahan perubahan
kelas heavy chain dari IgM menjadi IgG, IgA, atau IgE. Setelah reaksi pusat germinal, sel B
menjadi sel B memori atau sel plasma.
Limfoma dapat terjadi karena kesalahan pada proses pembentukan sel B. Kemampuan pusat
germinal untuk memproses sel B rentan mengalami kesalahan. Rekombinasi V(D)J, SHM, dan
CSR merupakan proses penting yang dapat menjadi predisposisi keganasan. Rekombinasi V(D)J
misalnya dapat mengakibatkan limfoma folikuler dan diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL).
SHM juga memiliki peran penting pada limfoma genesis. AID dapat menyebabkan mutasi gen
selain gen pada Ig. BCL6 adalah gen yang seringkali mengalami mutasi akibat SHM pada
DLBCL. CSR juga menyebabkan pemecahan DNA, dan gangguan pada regulasi dapat
menyebabkan chromosomal switch translocations, yang seringkali dideteksi pada
limfoma Burkitt’s, mieloma multipel, dan keganasan limfoid lainnya. Kemungkinan penyebab
translokasi ini adalah AID. Subtipe DLBCL juga memiliki karakteristik ekspresi AID dan
frekuensi switch translocation yang tinggi.

2. Pembentukan Sel T dan Limfoma

Neoplasma sel T dan sel natural killer (NK) jarang ditemukan, kurang dari 10% limfoma non
hodgkin di seluruh dunia. Subtipe paling banyak adalah peripheral T-cell lymphoma,
unspecified (PTLU) dan anaplastic large cell lymphoma (ALCL), dengan populasi terbanyak di
asia.
Sel T perifer berasal dari sel prekursor limfoid yang mengalami maturasi pada timus. Setelah
meninggalkan bone marrow, sel prekursor limfoid (early thymic progenitor/ETP) masuk pada
korteks timus pada cortical-medullary junction. Proses ini dimediasi oleh beberapa kemokin dan
reseptor permukaan. Pada korteks timus, CD4/CD8 double negative (DN) mengalami maturasi,
melewati stadium DN1, DN2, DN3, dan DN4. Progresi dari DN2 – DN4 memiliki karakteristik
sintesis pre-T cell receptor (TCR), yang menginduksi ekspresi CD4 dan CD8. Sel-sel double
positive (DP) ini mensintesis reseptor TCR/CD3 matur, yang berinteraksi dengan sel epitel timus
yang mengekspresikan antigen, kemudian mengalami seleksi negatif, apoptosis tertunda, atau
seleksi positif. Sel DP yang terpilih akan bermigrasi ke medulla, dan berdiferensiasi menjadi sel
T CD4 atau CD8 single positive (SP). Setelah seleksi ko-reseptor, sel SP meninggalkan timus.
Pada maturasi di timus, sel CD4+ dan CD8+ naive mengalami sirkulasi melewati darah dan
organ limfoid, mendapatkan fenotip matur. Limfosit CD4+ dapat mengalami diferensiasi
menjadi sel T regulator (Treg) atau helper (Th). Diferensiasi populasi ini bergantung pada
ekspresi faktor transkripsi, yang disebut sebagai master regulator (MR). Faktor-faktor ini antara
lain adalah FOXP3 pada Treg. Tbet pada Th1, GATA3 pada Th2, RORγt pada Th17, dan Bcl6
pada diferensiasi TFH. Ekspresi faktor transkripsi ini diregulasi oleh sitokin spesifik. Interferon
gamma (IFNγ) dan interleukin-12 (IL-12) mempromosikan ekspresi Tbet, IL-4 menginduksi
GATA3. IL-6, IL-10, IL-2, dan transforming growth factor β (TGFβ) meningkatkan ekspresi
FOXP3.
Patogenesis limfoma sel T perifer melibatkan beberapa proses, yaitu:

1. Mekanisme intrinsik sel T: Mekanisme ini melibatkan beberapa jalur, seperti: jalur
TCR/CD3, Notch, janus kinase (JAK)/signal transducer and activator of transcription (STAT),
dan lain-lain
2. Mekanisme ekstrinsik sel T: mekanisme ini terutama terjadi melalui penurunan
imunogenisitas sel tumor, dengan cara menghindari respon imun pada sel tumor melalui
modulasi protein regulator seperti Human Leukocyte antigen (HLA) kelas I dan II, CD28, CD58,
dan regulator apoptosis permukan atau intrasel. Mekanisme kedua adalah modulasi sinyal
lingkungan dan sel non-neoplastik intra tumor. Sel T neoplastik akan memproduksi molekul
protein permukaan, seperti vascular endothelial cell growth factor (VEGF), IL-5, IL-13, dan
PD-L1, yang merekrut eosinofil dari aliran darah. Eosinofil melepas IL-10 dan IL-4 yang
mendiferensiasi makrofag menjadi fenotip M2 (tumor-favoring). Sel T regulator juga
mengurangi respon imun sitotoksik pada sel tumor
Onkogenesis dimediasi virus: mekanisme infeksi EBV pada sel T masih diteliti, karena hanya
sedikit limfosit T/sel NK yang mengekspresikan CD21 yang berinteraksi dengan EBV. EBV
akan menyebabkan lisis maupun replikasi laten, yang akan menyebabkan ekspresi beberapa gen
terkait EBV. Gen-gen ini memiliki sifat-sifat seperti: meningkatkan daya tahan dan pertumbuhan
limfosit, sintesis protein anti apoptosis, dan blokade jalur p53.

6. GEJALA DARI LIMFOMA.


a. Gejala Limfoma Hodgkin

Selain munculnya benjolan di leher, ketiak, dan selangkangan, gejala-gejala limfoma Hodgkin
lainnya meliputi:

 Demam
 Lemas
 Gatal
 Berkeringat pada malam hari
 Berat badan menurun
 Pembesaran organ limpa
 Batuk, nyeri dada, dan sesak napas.

Penyebab Limfoma Hodgkin


Limfoma Hodgkin disebabkan oleh sel kanker yang berkembang pada sistem limfatik. Sel
kanker berawal dari mutasi pada sel, sehingga sel berkembang secara tidak normal dan tidak
terkendali. Penyebab mutasi sel kanker hingga saat ini belum diketahui.
Pada limfoma Hodgkin, sel-sel limfosit tipe B yang bertugas melawan infeksi bermutasi menjadi
sel kanker dan berlipat ganda dengan cepat. Sel ini terus bertambah banyak hingga membunuh
sel-sel yang sehat. Saat inilah tubuh mulai rentan terhadap infeksi, dan berbagai gejala mulai
muncul.
Walau belum diketahui penyebab mutasi sel-sel tersebut menjadi sel kanker, sejumlah faktor
berikut ini dapat meningkatkan risiko terjadinya limfoma Hodgkin:

 Riwayat kanker dalam keluarga


 Berusia 20 tahun ke atas
 Berjenis kelamin laki-laki
 Menderita infeksi virus Epstein-Barr, dengan gejala berupa pembengkakan pada kelenjar
limfa dan organ hati, demam, lemas, muncul ruam pada kulit, dan radang tenggorokan
 Lemahnya sistem kekebalan tubuh, misalnya karena menderita HIV.
b. Gejala Limfoma Non Hodgkin.

Gejala utama limfoma non-Hodgkin adalah pembengkakan tanpa nyeri di kelenjar getah bening,
seperti di leher, ketiak, atau lipat paha. Namun, tidak semua pembengkakan kelenjar getah
bening menunjukkan gejala kanker. Kelenjar getah bening juga dapat membengkak akibat
respons terhadap infeksi yang dialami tubuh.
Selain pembengkakan kelenjar getah bening, ada beberapa gejala lain limfoma non-Hodgkin
yang perlu diwaspadai, antara lain:

 Penurunan berat badan.


 Berkeringat pada malam hari.
 Nyeri dada.
 Gangguan pernapasan.
 Perut terasa sakit atau membesar.
 Anemia.
 Kulit terasa gatal.
 Gangguan pencernaan.

Segera periksakan diri ke dokter apabila mengalami gejala tersebut, terutama jika gejala tidak
kunjung membaik atau bertambah buruk.

Penyebab Limfoma Non-Hodgkin


Penyebab limfoma non-Hodgkin adalah perubahan DNA atau mutasi yang terjadi di dalam salah
satu jenis sel darah putih yang disebut limfosit. Namun, penyebab terjadinya mutasi belum
diketahui hingga saat ini.
Umumnya, tubuh akan memproduksi limfosit baru untuk menggantikan limfosit yang telah mati.
Namun pada kasus limfoma non-Hodgkin, limfosit terus membelah dan berkembang secara
abnormal (tanpa henti), sehingga terjadi penumpukan limfosit di dalam kelenjar getah bening.
Kondisi ini menyebabkan terjadinya pembengkakan kelenjar getah bening (limfadenopati) dan
tubuh menjadi rentan terhadap infeksi.
Ada dua sel yang menjadi awal munculnya limfoma non-Hodgkin, yaitu:

 Limfosit B. Sebagian besar limfoma non-Hodgkin muncul dari sel ini. Limfosit B
melawan infeksi dengan cara memproduksi antibodi yang mampu menetralisir bakteri
atau virus yang berbahaya bagi tubuh.
 Limfosit T. Beberapa limfosit T bertugas menghancurkan bakteri, virus, atau sel
abnormal lain dalam tubuh secara langsung. Sementara limfosit T lainnya membantu
mempercepat atau memperlambat aktivitas sel-sel sistem imun yang lain.

Selain itu, ada sejumlah faktor yang mungkin memengaruhi munculnya limfoma non-Hodgkin,
di antaranya:
 Usia. Limfoma non-Hodgkin dapat menyerang siapapun dari berbagai usia, namun risiko
kanker ini meningkat seiring bertambahnya usia. Sebagian besar limfoma non-Hodgkin
menyerang orang yang berusia 60 tahun ke atas.
 Sistem kekebalan tubuh lemah. Kondisi ini dipicu oleh berbagai hal, seperti HIV atau
konsumsi obat-obatan penurun sistem kekebalan tubuh, misalnya setelah transplantasi
organ.
 Kondisi autoimun, seperti rheumatoid arthritis, lupus, atau sindrom Sjogren.
 Infeksi virus dan bakteri tertentu. Beberapa infeksi virus atau bakteri tertentu dapat
meningkatkan risiko munculnya limfoma non-Hodgkin. Infeksi virus meliputi HIV dan
virus Epstein-Barr, sedangkan infeksi bakteri adalah Helicobacter pylori yang
menyebabkan tukak lambung.
 Bahan kimia tertentu, seperti pestisida.

Limfoma non-Hodgkin tidak menular dan tidak diturunkan. Meskipun demikian, ada
peningkatan risiko jika anggota keluarga terdekat, seperti orang tua atau saudara kandung pernah
menderita limfoma.

7. PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS LIMFOMA HODGKIN DAN NON


HODGKIN.

LIMFOMA HODGKIN.

a. Diagnosis Limfoma Hodgkin


Dokter dapat mencurigai seorang pasien menderita limfoma Hodgkin jika terdapat gejala-
gejalanya, yang diperkuat oleh pemeriksaan fisik dan penelusuran riwayat kesehatan pasien serta
keluarga. Namun untuk lebih memastikannya, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan. Di
antaranya adalah:

 Tes darah
 Tes pencitraan tubuh, seperti foto Rontgen, CT scan, MRI, dan PET scan
 Biopsi, yaitu pemeriksaan dengan mengambil sampel kelenjar getah bening yang
membesar melalui jarum, kemudian diperiksa di laboratorium. Prosedur ini dilakukan
dengan bantuan bius lokal sebelumnya. Jenis biopsi lainnya adalah dengan mengambil
cairan dari sumsum tulang guna mendeteksi tanda-tanda kanker.

Setelah diagnosis dipastikan, dokter akan menentukan stadium limfoma Hodgkin. Berikut
penjabarannya:

 Stadium 1 - kanker berada hanya di satu kelenjar getah bening atau pada satu bagian
tubuh saja, misalnya pada leher saja atau area lain di atas/bawah diafragma.
 Stadium 2 - kanker telah menyerang dua kelenjar getah bening atau menyebar pada
kelenjar getah bening terdekat, namun masih pada bagian tubuh yang sama, di atas atau
bawah diafragma.
 Stadium 3 - kanker telah menyerang jaringan di sekitarnya atau organ lain, misalnya
limpa. Pada kondisi ini, kanker juga telah menyebar dari lokasi kemunculan pertama, ke
kumpulan kelenjar di atas dan bawah diafragma.
 Stadium 4, disebut juga dengan stadium akhir, yaitu ketika kanker telah menyebar ke
beberapa jaringan atau organ tubuh lainnya. Kanker dapat menyebar ke paru-paru, tulang,
hati, limpa, kulit, dan sumsum tulang.

b. Pengobatan Limfoma Hodgkin


Limfoma Hodgkin memiliki peluang kesembuhan yang tinggi jika terdeteksi dan diobati
sejak dini. Pengobatan limfoma Hodgkin ditentukan berdasarkan stadium kanker serta kondisi
kesehatan pasien, dan bertujuan untuk menghancurkan sebanyak mungkin sel kanker dalam
tubuh pasien.
Beberapa langkah pengobatan yang dilakukan untuk mengobati limfoma Hodgkin adalah:

 Kemoterapi. Obat-obatan akan digunakan untuk membunuh sel limfosit yang telah


berubah menjadi sel kanker. Obat kemoterapi tersedia dalam bentuk pil dan cairan yang
disuntikkan ke pembuluh darah. Pada stadium lanjut, obat kemoterapi bisa digunakan
tanpa digabung dengan metode pengobatan lain. Efek samping obat kemoterapi yang
umum terjadi adalah mual dan rambut rontok.
Pada beberapa kasus limfoma Hodgkin, kemoterapi dapat dikombinasikan dengan terapi
radiasi, baik untuk mengobati kanker pada stadium awal maupun stadium lanjut.
 Kortikosteroid. Obat-obatan ini akan digunakan bersamaan dengan pengobatan
kemoterapi. Efek samping yang akan muncul berupa gangguan tidur, gelisah,
meningkatnya nafsu makan yang dapat memicu penambahan berat badan, dan gangguan
pencernaan.
 Rituximab. Rituximab adalah obat yang berfungsi membantu antibodi untuk menyerang
sel kanker. Obat ini akan menempel pada permukaan sel kanker, sehingga akhirnya
memicu sistem kekebalan tubuh untuk membunuh sel kanker tersebut. Beberapa efek
samping rituximab yang bisa muncul adalah mual, diare, kelelahan, dan gejala-gejala
yang menyerupai flu, seperti pusing dan nyeri otot.
 Radioterapi. Terapi menggunakan sinar X untuk membunuh sel kanker. Sinar X akan
dipaparkan pada area kanker, misalnya pada kelenjar getah bening atau area penyebaran
sel kanker. Durasi terapi akan bergantung pada stadium kanker. Beberapa efek samping
dari terapi ini adalah rambut rontok, muncul warna kemerahan pada kulit yang terpapar
radiasi, dan rasa lelah.
 Transplantasi sumsum tulang atau sel punca (stem cell). Prosedur ini dilakukan untuk
mengganti sumsum tulang penghasil sel limfosit dengan yang sehat.
Prosedur transplanstasi sumsum tulang dipilih jika limfoma Hodgkin kambuh. Prosedur
dilakukan dengan bantuan obat kemoterapi dan radiasi untuk menghancurkan sel kanker
sebelum sumsum tulang yang sehat dimasukkan dalam tubuh.
Pengobatan kanker akan memerlukan pemeriksaan kesehatan berkala untuk memantau
kondisi pasien dan mendeteksi tanda-tanda kambuhnya kanker. Pemeriksaan juga berguna untuk
mengobati efek samping atau komplikasi pengobatan, yang pada kasus terburuk berisiko menjadi
kanker jenis lainnya. Pemeriksaan kesehatan berkala dapat dilakukan mulai dari beberapa
minggu sekali hingga beberapa bulan sekali. Seiring waktu, frekuensi pemeriksaan bisa
berkurang.

c. Komplikasi Limfoma Hodgkin


Penderita limfoma Hodgkin berisiko mengalami komplikasi akibat pengobatan. Komplikasi bisa
tetap muncul walaupun pasien telah sembuh. Beberapa komplikasi tersebut di antaranya adalah:

 Melemahnya sistem kekebalan tubuh, sehingga rentan terkena infeksi dan penyakit. Pada
sebagian kasus, pasien harus mengonsumsi antibiotik secara rutin untuk mencegah
 Gangguan kesuburan. Pengobatan dengan kemoterapi dan radiasi dapat menyebabkan
gangguan kesuburan yang bersifat sementara maupun permanen. Pasien akan ditawarkan
untuk menyimpan sel telur ataupun sperma sebelum pengobatan dimulai, agar bisa
digunakan ketika mereka akan merencanakan kehamilan.
 Gangguan kesehatan, seperti penyakit jantung dan paru-paru.
 Berkembangnya kanker jenis lain, misalnya kanker darah (leukemia), kanker paru-paru,
atau kanker Risiko yang disebabkan oleh kemoterapi dan radioterapi ini biasanya muncul
beberapa tahun hingga lebih dari sepuluh tahun setelah pasien melalui prosedur
pengobatan tersebut.

LIMFOMA NON HODGKIN.

a. Diagnosis Limfoma Non-Hodgkin


Sebagai langkah awal, dokter akan menanyakan tentang keluhan, serta riwayat kesehatan
pasien dan keluarga pasien. Kemudian, dokter akan melakukan beberapa tes dan prosedur untuk
mendiagnosis limfoma non-Hodgkin. Tes tersebut meliputi:

 Pemeriksaan fisik. Dokter akan memeriksa apakah terdapat pembengkakan kelenjar


getah bening di leher, ketiak, dan pangkal paha. Pemeriksaan juga dilakukan dengan
perabaan terhadap organ limpa dan hati di dalam rongga perut.
 Tes darah. Sampel darah diambil untuk memeriksa kondisi tubuh secara keseluruhan,
seperti jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit di dalam darah, serta
fungsi ginjal dan hati. Pemeriksaan enzim lactate dehydrogenase (LDH) juga diperiksa,
karena seringkali LDH meningkat pada pasien limfoma.
 Biopsi kelenjar getah bening. Prosedur ini dilakukan dengan mengambil sebagian atau
seluruh kelenjar getah bening untuk dianalisis di laboratorium. Hasil analisis tersebut
akan mengungkapkan apakah pasien memiliki limfoma non-Hodgkin atau tidak.
Pemeriksaan biopsi akan diikuti dengan pemeriksaan imunofenotipe atau
imunohistokimia, yaitu pemeriksaan antibodi yang menempel pada jaringan tersebut.
Pemeriksaan ini berguna dalam menentukan pengobatan.
 Pencitraan. Beberapa jenis pencitraan yang mungkin dilakukan untuk mendiagnosis
limfoma non-Hodgkin, antara lain:
o Foto Rontgen. Untuk mendeteksi apakah sel kanker telah menyebar ke dada atau
paru-paru.
o USG. Pemeriksaan USG perut dapat mendeteksi pembesaran kelenjar getah
bening di dalam rongga perut.
o CT scan. CT scan digunakan untuk mendeteksi penyebaran sel kanker melalui
kumpulan hasil foto Rontgen dalam 3 dimensi.
o MRI. Menghasilkan gambar lebih detail dari penyebaran limfoma non-Hodgkin
dalam tubuh.
o PET scan. Pencitraan ini dapat mengukur aktivitas sel di berbagai bagian tubuh
dan mendeteksi penyebaran kanker, serta respons terhadap pengobatan.
 Aspirasi sumsum tulang. Untuk melihat adanya penyebaran limfoma ke sumsum tulang
dengan mengambil sampel darah dan jaringan sumsum tulang yang terletak pada tulang
panggul bagian belakang (di sekitar bokong).
 Pungsi lumbal. Prosedur biopsi sumsum tulang dilakukan dengan memasukkan sebuah
jarum ke tulang belakang bagian bawah untuk mengambil sampel cairan sistem saraf
tulang belakang. Sampel ini akan dianalisis untuk mencari sel-sel limfoma.

Setelah dokter selesai melakukan pemeriksaan dan memastikan diagnosis, dokter spesialis


penyakit dalam konsultan hematologi onkologi (KHOM) akan menentukan stadium kanker yang
diderita pasien. Penentuan stadium kanker dapat membantu dokter menentukan prognosis dan
pilihan metode pengobatan. Limfoma non-Hodgkin terbagi menjadi 4 stadium dan ditentukan
berdasarkan penyebaran sel kanker, yaitu:

 Stadium 1 – kanker menyerang salah satu kelompok kelenjar getah bening, misalnya
hanya kelompok kelenjar getah bening pada lipat paha atau leher.
 Stadium 2 – kanker menyerang dua kelompok kelenjar getah bening atau lebih, namun
masih satu bagian tubuh. Bagian tubuh dalam stadium limfoma dipisahkan oleh
diafragma, yaitu di atas atau di bawah diafragma. Diafragma adalah otot yang membatasi
rongga perut dan rongga dada.
 Stadium 3 – kanker sudah berada di kelompok kelenjar getah bening di atas dan di
bawah diafragma.
 Stadium 4 – kanker sudah menyebar keluar dari sistem limfatik dan masuk ke sumsum
tulang atau organ lain, seperti hati atau paru-paru.

b. Pengobatan Limfoma Non-Hodgkin


Setiap penderita limfoma non-Hodgkin menjalani metode pengobatan yang berbeda. Metode
pengobatan ditentukan oleh dokter berdasarkan beberapa faktor, antara lain:

 Stadium dan tahap perkembangan limfoma yang diderita oleh pasien.


 Usia pasien.
 Kondisi kesehatan pasien secara keseluruhan.
Penderita dengan limfoma non-Hodgkin yang berkembang lambat (indolent lymphomas),
umumnya akan menjalani pemantauan secara saksama tanpa pengobatan apa pun. Dokter akan
menjadwalkan pemeriksaan secara rutin selama beberapa bulan untuk memantau dan
memastikan bahwa kanker tidak memburuk.
Jika limfoma non-Hodgkin yang dialami pasien bersifat agresif atau menyebabkan gejala dan
tanda yang semakin memburuk, maka dokter akan merekomendasikan beberapa metode
pengobatan, antara lain:

 Kemoterapi. Jenis pengobatan yang paling sering digunakan untuk menangani limfoma


non-Hodgkin. Obat-obatan yang diberikan dapat membunuh sel-sel
kanker. Kemoterapi terkadang dikombinasikan dengan pemberian obat kortikosteroid
guna meningkatkan efektivitasnya. Namun, penggunaan kortikosteroid hanya
diperbolehkan untuk jangka pendek.
 Terapi antibodi monoklonal. Dikenal dengan nama obatnya rituximab, berguna untuk
meningkatkan kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam melawan dan menghancurkan
sel-sel kanker. Namun, langkah ini hanya efektif untuk beberapa jenis limfoma non-
Hodgkin, tergantung dari hasil imunofenotipe. Terapi antibodi monoklonal akan
dikombinasikan dengan kemoterapi dalam terapi limfoma non-Hodgkin.
 Radioterapi. Radioterapi biasanya digunakan untuk mengobati stadium awal limfoma
non-Hodgkin, saat kanker baru menyerang satu bagian tubuh. Radioterapi dilakukan
dengan menggunakan sinar radiasi dosis tinggi, seperti sinar-X dan proton, untuk
membunuh sel kanker. Sinar tersebut diarahkan ke bagian kelenjar getah bening yang
mengalami kanker dan area sekitarnya. Umumnya, terapi radiasi berlangsung selama 30
menit pada setiap kunjungan.
 Transplantasi sumsum tulang. Metode pengobatan ini melibatkan prosedur kemoterapi
dan radioterapi untuk menekan sumsum tulang. Kemudian, sel induk sumsum tulang
yang sehat dari tubuh pasien atau dari donor dicangkokkan ke dalam tubuh pasien, agar
membentuk kembali sumsum tulang yang sehat.

c. Komplikasi Limfoma Non-Hodgkin


Penderita limfoma non-hodgkin yang telah melalui proses pengobatan atau bahkan telah
dinyatakan sembuh, tetap memiliki risiko mengalami komplikasi. Beberapa jenis komplikasi
yang mungkin terjadi, antara lain:

 Sistem kekebalan tubuh melemah. Jenis komplikasi yang paling sering dialami oleh
penderita limfoma non-hodgkin. Melemahnya sistem kekebalan tubuh akan semakin
parah selama penderita menjalani pengobatan. Jika sistem kekebalan tubuh melemah,
maka tubuh akan semakin rentan terhadap berbagai infeksi dan meningkatkan risiko
komplikasi yang lebih serius.
 Risiko kemandulan meningkat. Prosedur kemoterapi dan radioterapi dapat memicu
meningkatnya risiko kemandulan, baik yang bersifat sementara atau permanen.
 Risiko munculnya kanker lain meningkat. Kemoterapi dan radioterapi tidak hanya
dapat membunuh sel kanker, namun juga membunuh sel-sel sehat, sehingga risiko
munculnya kanker di kemudian hari semakin meningkat.
 Risiko munculnya gangguan kesehatan lain meningkat. Pengobatan limfoma non-
Hodgkin juga dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan lain, seperti:
o Katarak.
o Diabetes.
o Penyakit tiroid.
o Penyakit jantung.
o Penyakit paru-paru.
o Penyakit ginjal.

d. Pencegahan Limfoma Non-Hodgkin


Tindakan pencegahan terhadap limfoma non-Hodgkin belum diketahui hingga saat ini.
Namun, cara terbaik untuk mencegah limfoma non-Hodgkin adalah mencegah faktor risikonya,
seperti mencegah HIV.
ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN TN “R” DENGAN

LYMFOMA NON HODGKIN

No Regester Medik : 100.940.23

Ruang : Interne II

Tanggal MRS : 25 Oktober 2001 jam 09.30 WIB

Tanggal didata : 28 Oktober 2001 jam 09.00 WIB

Diagnosa Medis : Lymfoma Non Hodgkin (LNH)

I. PENGKAJIAN

A. Biodata Pasien

Nama : Tn “R “

Umur : 20 tahun

Jenis Kelamin : Laki – laki

Agama : Islam

Suku/bangsa : Jawa/Indonesia

Status Perkawinan : kawin

Pendidikan : SMP tamat

Alamat : Pogot Gg V/89 Surabaya

B. Biodata Penanggung jawab

Nama : Ny. “M”

Umur : 19 tahun

Jenis kelamin : Perempuan.

Agama : Islam
Suku/bangsa : Jawa/Indonesia

Pendidikan : SMA tamat

Pekerjaan : IRT

Hubungan dg pasien : Istri.

Alamat : Pogot Gg V/89 Surabaya.

c. Keluhan Utama

Nyeri telan

d. Riwayat

1. Riwayat Penyakit Sekarang

a. Alasan masuk Rumah Sakit

Pasien mengatakan sejak kurang lebih 4 bulan yang lalu sebelum masuk Rumah sakit pertama kali
disadarai di leher kiri berukuran sebesar telur ayam, padat kenyal dan makin lama makin membesar, mula
– mula benjolan tidak nyeri tekan, tetapi sejak 2 bulan yang lalu pada benjolan timbul luka – luka
kemerahan bila ditekan terasa nyeri, nyeri dirasakan saat benjolan ditekan dan tidak menyebar, nyeri
tidak timbul bila tidak di tekan dan waktu menelan terasa nyeri dileher

Kemudian timbul juga benjolan di leher kanan sebesar kelereng, p[adat dan nyeri tekan, juga muncul
benjolan yang sama di bawah rahang kanan.

Kurang lebih 2 bulan yang lalu pasien sering merasa sesak di tenggorokan,. Banyak berkeringat di
malam hari dan sulit menelan

Satu minggu sebelum MRS pasien mengatakan bernafas agak susah, nyeri telan tambah hevat di bawa ke
dokter tapi tidak sembuh dan kemudian di bawa ke RSUD Dr Soetomo Surabaya MRS di Ruang Interne
II

b. Keluhan waktu didata

Pasien mengatakan nyeri saat menelan, nyeri tekan pada daerah benjolan, terasa mau muntah jika makan
terlalu banyak.

2. Riwayat Kesehatan Dahulu

A. Pasien mengatakan tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya

B. Pasien amengatakan tidak pernah mempunyai riwayat penyakit tekanan darah tinggi, kencing manis,
atau penyakit menular seperti TBC atau penyakit lain yang menyebabkan harus Masuk rumah sakit.
C. Penyakit yang p[ernah diderita hanya batuk pilek dan panas biasa dan dengan berobat atau membeli
obat kemudian sembuh.

3. Riwayat Penyakit Keluarga

A. Pasien mengatakan dari pihak keluarga tidak ada yang menderita penyakit yang sama dengan dirinya

B. Menurut klien dan keluarga dari pihak keluarga tidak ada yang mempunyai penyakit hypertensi,
penyakit DM ataupun penyakit menular lain seperti TBC yang menyebabkan harus MRS di Rumah Sakit.

C. Penyakit yang pernah diderita hanyalah batuk, pilek dan panas biasa dan berobat ke dokter atau
membeli obat kemudian sembuh.

E. Pola Aktifitas Sehari –hari (Activity Daily Living)

No Aktifitas Di rumah Di rumah

Sehat Sakit Sakit

1 Pola Nutrisi Makan 3 kali Makan 3 kali Pasien


sehari, porsi satu sehari porsi 4 – 5 mendapatkan diet
piring habis sakali sendok makan, TKTP lunak
makan habis, sedikit sayur dan
komposisi makan lauk, nyeri teln Porsi yang
terdiri dari nasi, tiap kali makan disediakan RS
lauk seperti tahu, dan kadang mau dimakan 3 – 4
tempe, ikan, telur mmuntah jika sendok, nyeri saat
dan daging, terlalu banyak, menelan makanan
memakai sayur komposisi dan kadang mau
seperti bayam dan makanan muntah jika makan
sawi, kadang lunak/bubur dan terlalu banyak
snack, pasien tidak memakai sayur Minum 4 – 5
berpantang
Minum 5 – 6 gelas/ hari air
terhadap jenis
gelas/hari air putih putih nyeri telan
makanan tertentu,
kadang the pasien saat menengguk
Minum 6 – 7 gelas mengatakan nyeri air
/hari air putih saat menelan air
kadang – kadang
teh.

2 Pola Eliminasi Bab 1 – 2 kali/hari, BAB sejak 2 hari Bab 2 hari sekali,
Bab di WC, warna yng lalu baru 1 di WC konsistense
kuning trengguli kali, konsistensi lunak agak padat,
bau khas faeces, agak padat, warna warna kuning
konsistensi lunak kuning trengguli trengguli bau khas
dan tidak ada ,di WC jumlah faeces, tidak ada
ahambatan dalam faeces tak kesulitan BAB.
pengeluaran faeces terobservasi. BAK 2 – 3
x/sehari warna
BAB 3 – 4 kali BAK 3 – 4 kuning jernih, bau
sehari warna kali/hari warna khas urine, tidak
kuning jernih, bau kuning jernih dan nyeri daerah
khas urine, jumlah tak terobservasi kelamin, jumlah
tak terobservasi tidak ada urine tak
tidak ada hambatan dalam terobservasi, tidak
hambatan dalam proses pengeluaran ada gangguan
proses BAK tak urine dalam proses
nyeri. mictie.

3 Pola Istirahat/tidur Tidur sehari Klien tidur malam Tidur malam


semalam 7 – 8 jam 7 – 8 jam mulai kurang lebih 6 – 7
jam 21.00 WIB jam antara jam
Malam hari mulai dan bangun pad 22.00 – jam 05.00
tidur jam 22.00 pukul 05.00 WIB WIB
WIB dan bangun
kurang lebih jam Tidur siang kurang Siang hari tidur
05.00 WIB lebih 2 jam mulai antara jam 13.00
jam 13.00 WIB WIB sampai
Siang hari tidur 1 – sampai dengan dengan jam 15.-00
2 jam mulai jam bangun jam 15.00 WIB tidur
13.00 – 14.30 WIB WIB tidur memakai bantak,
tidak ada memakai bantal selimut dan
gangguan tidur dan selimut di dengan
memakai dlam kamar penerangan lampu
Tidur
bantal dan selimut dengan TL (lampu yang
penerangan lampu ada di Rumah
dikamar
dop Sakit)
menggunakan
lampu tidur (dop)

4 Pola Personal Mandi 2 kali Klien mandi 2 kali Mandi 2 kali


Hygiene sehari dikamar di kamar mandi sehari di kamar
mandi, memakai memakai sabun mandi Rumah
sabun mandi dan dan selesai sakit memakai
selesai memakai menggunakan sabun dan selesai
handuk. handuk memakai handuk

Gosok gigi 2 kali Gosok gigi 2 kali Gosok gigi


sehari, bersamaan sehari bersamaan bersamaan dengan
dengan mandi dengan mandi mandi memakai
Keramas 1 kali memakai pasta psata gigi
seminggu atau bila
pasien merasa Kertamas 1 kali Pasien selama si
kotor keramas seminggu atau RS keramas 1 kali
memakai shmphoo bil;a merasa kotor ganti baju 1 kali er
dan ganti baju hari atau bila
Ganti pakaian 1 merasa kotor.
sehari sekali, kuku kali sehari atau
panjang bila bila merasa kotor.
dipotong

5 Pola Aktifitas Pasien tidak Pasien tidakPasien lebih


mempunyai bekerja hanya banyak di tempat
pekerjaan tetap beraktifitas di
tidur dan kadang
biasa bekerja di rumah danke KM atau
proyek atau membantu kadang ke WC dn
membangun pekerjaan rumah jika tidak ada
rumah/mengecat seperti menyapu kegiatan atau acara
rumah orang atau dan lain
pemeriksaaan
pekerjaan yang sebagainya. pasien kadang
lain jalan – jalan
Waktu yang lain disekitar ruangan
Bekerja mulai jam untuk nonton dengan ditemani
07.00 WIB sampai TV/mendengarkan istrinya
sore hari kurang radio atau ngobrol
lebih 17.00 dn dengan anggota
istirahat pada siang keluarga
hari kurang lebih 1
jam mulai jam
13.00 sampai
dengan jam 14.00
WIB

waktu senggang
diguanakan untuk
nonton TV atau
ngobrol bersama
keluarga

Klien jarang
rekreasi

6 Ketergantungan Pasien mengatakan Sejak menikah Pasien


sejak umur kurang pasien tidak lagi mendapatkan
lebih 12 tahun minuman program therapy
sampai edngan beralkohol, rokok
menikah umur 19 masih dari dokter.
tahun mengkonsumsi
mengkonsumsi kurang lebih 1
minuman bungkus sehari
beralkohol tiap
hari merokok sejak
masuk SMP rata –
rata sehari habis 1
bungkus

Pasien tidak
mengalami
ketergantungan
terhadap obat dan
makanan tertentu

F. Data Psikology

1. Status emosi

Stabil, pasien tampak bisa mengendalikan emosinya, pasien mengatakan “ saya sedih dengan adanya
benjolan di leher saya sehingga saya mengalami kesulitan dalam menelan makanan.” Pasien mengatakan
“Apakah penyakit saya ini bisa cepat disembuhkan dan bagaimana pengobatannya.” pasien mengatakan
merasa malu dengan keadaannya sekarang pasien tampak sedih bila diajak bicara tentang penyakitnya.

2. Konsep Diri

A. Body Image

Pasien mengatakan merasa bergaul karena sakit yangh dialaminya dan pasioen menyadari karena
sekarang sedang sakit dan butuh perawatan dan pengobatan dari pihak RS

B. Self Ideal

Klien merasa tidak terganggu dengan aturan yang diterapkan oleh pihak RS karena menurut klien hal ini
adalah untuk kesembuhannya.

C. Self esteem

Klien mengatakan diperlakukan dengan baik, ramah, sopan dan sabar baik oleh petugas maupun keluarga
dan mendapat bantuan dalam menghadapi sakitnya

D. Role

Klien bersikap kooperatif saat dilakukan tindakan tinpra, penjelasan dari perawat/dokter. Klien mematuhi
ketentuan tentang hal yang harus dilakukan maupun yang dilarang klien lebih banyak diam.
Di rumah pasien bekerja tidak tetap kadang di proyek atau membangun rumah orang dan atau pekerjaan
yang lainnya

Sedangkan di Rumah Sakit pasien menyadari dirinya sebagai pasien yang butuh perwatan dan pengobatan

Pasien mengatakan karena sakit ini tidak bisa menjalankan aktifitas seperti biasanya

E. Identitas

Klien menyadari saat ini sedang sakit dan lemah bukan individu yang sehat dan mandiri seperti dahulu.
Membutuhkan bantuan dan dukungan penuh dari keluarga untuk memenuhi segala kebutuhannya.

G. Data Sosial

1. Pendidikan : tamat SMA

2. Sumber penghasilan : pasien bekerja tidak tetap lebih banyak di bangunan kadangh membangun
rumah orang lain kadng ikut proyek pasien mengatakan hubungan dengan teman sekerjanya berjalan
dengan baik

3. Pola komunikasi : Klien berkomunikasi dengan bahasa jawa dan Indonesia dengan nada suara
lemah, volume suara datar.

Klien sering menanyakan tentang penyakit dan keadaannya sekarang apakah ia bisa cepat sembuh dari
sakitnya dan bagaimana tentang prosedur pengobatannya, pasien jarang bicara dengan pasien lain karena
merasa malu dengan benjolan yang ada di lehernya

4. Pola Interaksi

Pasien tinggal serumah dengan istri dan orang tuanya

Pasien mengatakan hubungan dengan semua anggota keluarga berjalan dengan baik (harmonis)
dibuktikan dengan banyak keluarga yang datang menjenguk dan menungguinya.

Pasien jarang berkomunikasi dengan pasien lain karena merasa malu dengan adanya benjolan di
lehernya

5. Perilaku

A. Pasien lebih banayak menghabiskan waktu di tempat tidur untuk istirahat

B. Waktu yang lain pasien biasa beraktifitas seperti makan, mandi dan kekamar mandi

C. Pasien tampak menutupi lehernya dngan sleyer ketika keluar dari kamar untuk jalan – jalan di sekitar
ruangan
H. Data Spiritual

A. Pasien mengatakan beragama islam

B. Pasien mengatakan dirumah rajin menjalakan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya seperti sholat
dan mengaji serta berdoa serta ibadah yang lain

C. Di Rumah sakit pasien rajin melaksanakan sholat di kamarnya dan berdoa mengaharap
kesembuhannya.

D. Klien mengatakan menerima sakitnya sebagai cobaan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan
pasien mengatakan akan pasrah dan berusaha untuk kesembuhannya

i. Pemeriksaan Fisik

Secara Umum

1. Keadaan Umum : baik, pasien tampak sakit ringan pasien bisa melaksanakan aktivitas sehari – hari
dengan baik tanpa bantuan dari orang lain hanya kebutuhan tertentu yang mmbutuhkan bantuan minimal
dari perawat seperti minum obat.

2. Kesadaran : Composmentis GCS : E4 V5 M6

3. Antopometri : TB : 168 cm BB : 57 kg

4. Tanda vital :T : 110/70 mmHg N : 90 x/menit

S : 36 5 o C RR : 20 x/menit

Secara khusus (Chepalo – Cauda)

1. Kepala dan leher

a. Ekspresi wajah tampak sedikit gelisah, bentuk oval tampak bersih tidak ditemukan adanya bekas luka
ekspresi wajah tampak sedikit gelisah/cemas, kadang menyeringai saat menelan, pasien tampak
menyeringai saat leher ditekan.

b. Rambut : Pendek, warna hitam, bersih, rambut tidak mudah dicabut bentuk kepala oval dan tidak ada
nyeri tekan. Rambut hitam dan tidak rontok, agak kotor dan tidak ada ketombe, tidak ditemukan adanya
kutu

c. Kulit kepala : bersih, tidak didapatkan adanya bekas luka, ataupun benjolan abnormal

d. Mata : Simetris, konjungtiva tarsal warna merah muda, sclera tidak ikterus, pupil isokor, fungsi
penglihatan baik, tidak ada bercak reflek cahaya (+), kornea jernih
e. Hidung : Mucosa hidung warna merah muda, simetris, septum nasi tegak berada di tengah, tidak
terdapat adanya polip, bersih dan fungsi penciuman baik

f. Telinga : Simetris, auricula tidak ada infeksi, liang telinga warna merah muda, bersih tidak didapatkan
adanya cerumen yang mengeras ataua menggumpal, fungsi pendengaran baik ditandai dengan pasien bisa
menjawab pertanyaan dengan spontan

g. Mulut : Mucosa merah muda, bibir merah muda, tidak kering, lidah bersih, gigi bersih tidak ada
caries, tidak ada radang pada tonsil,tidak terdapat stomatitis, fungsi mengunyah, pengecapan baik.

2. Leher

v Asimetris

v Terdapat pembesaran kelenjar lymfe pada leher kiri multiple dengan diameter kurang l;ebih 20 cm,
terdapat benjolan dibawah rahang kanan diameter 4 – 5 cm terdapat benjolan pada leher kanan dengan
diameter kurang lebih 5 cm, terdapat radang pada leher kiri, konsistensi benjolan padat, kenyal dan nyeri
tekan.

v Movement tidak maksimal nyeri saat menoleh kekiri

v Trachea : mengalami deviasi

v Vena jugularis dan arteri carotis tak terevakuasi

3. Pemeriksaan Thorak

a. Pulmonum

1. Inspeksi : bentuk thorak simetris, bersih, tak tampak adanya tarikan intercostae yang berlebihan,
pernafasan dan iramareguler teratur,terdapat pembesaran kelenjar lymfe axila kanan dan kiri, nafas
spontan.

2. Palpasi : Tidak ada benjolan abnormal, tidak ada nyeri tekan, gerak nafasreguler, tidak ada pernafasan
tertinggal, tidak ada krepitasio

3. Perkusi : sonor pada paru kanan dan kiri

4. Auskiulatsi : suara nafas vesikuler, Tidak ada suara ronkhi ataupun wheezing pada paru kanan dan
kiri.

b. Cor

A. Inspeksi : Tidak terlihat adanya ictus cordis, pulsasi jantung tidak tampak

B. Palpasi : Teraba Ictus Cordis pada ICS IV – V sinestra MCL, pulsasi jantung teraba pada apek, Thrill
tidak ada
C. Perkusi : suara redup (pekak/dullness) pada daerah jantung

Batas kanan : pada sternal line kanan

Batas kiri : ICS V midklavikuler line kiri

D. Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, tidak ada suara tambahan dari jantung

4. Abdoment

A. Inspeksi : Simetris, bersih, tidak didapatkan adanya benjolan atau bekas luka, supel, perut datar dan
tidak membuncit.

B. Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan, tidak teraba masssa abnormal

C. Perkusi : Suara tympani perut

D. Auscultasi : Peristaltik usus 14 – 16 x/menit

5. Inguinal – genetalia dan anus

v Pembesaran kelenjar limfe inguinalis kanan dan kiri kurang lebih 2 cm padat dan kenyal

v Jenis kelamin laki – lak, bersih, tidak didapatkan adanya jamur dan infeksi

v Fungsi eliminasi lancar

6. Ekstremitas

A. Atas

Lengkap, jari tangan lengkap, akral hangat, tidak ada cacat, simetris gerakan maksimal, kekuatan otot
baik, agak anemis pada jari kaki, turgor kulit baik, skala kekuatan otot 5 5

B. Bawah

Lengkap, jari tangan lengkap Bersih tidak ada bekas luka, simetris, movement maksimal, tidak ad luka,
tidak ada nyeri, kekuatan otot baik Skala kekuatan otot

5 5

7. Integument

A. Turgor baik, warna kulit sawo matang, tidak ada alergi

B. Tidak ada alergi atau iritasi kulit, tidak ada kelainan postur tubuh, pergerakan maksimal

C. Terdapat benjolan pada leher kiri dengan diameter kuarng lebih 20 cm


D. Kuku warna merah muda

j. Data Penunjang

1. Pemeriksaan Diagnostik

a. laboratorium tgl 22/10 2001

Pemeriksaan Hasil Normal

Gula darah sesaat 94 mg/dl < 120 mg/dl

Urea nitrogen 11 mg/dl 10 – 20 mg/dl

Kreatinin serum 1,0 mg/dl Lk : < 1,5

Pr : < 1,2

Bilirubin direct 0,38 mg/dl < 0.25

Bilirubin total 1,90 mg/dl < 0.10

SGOT 17 u/l < 42

SGPT 13 u/l < 40

Fosfatase alkali 48 u/l 39 - 43

B. Laboratorium tanggal 19/10 2001

Jenis Pemeriksaan Hasil Harga normal

WBC 6,6 THSN/ CU MM

RBC 4, 48 MILL/CU MM
HGB 13,5 Grams/DL

HCT 39,3 %

MCV 87,7 Cu Microns

MCH 30,1 Picograms

MCHC 34,4 %

RDW 15,1 %

PCT 0, 169

MPV 7, 2 Cu Microns

% Lymph 22,5

% Mono 11,4

% Gran 66,1

Eosinofil

Basofil

Lymphorsit 1,5 THSN/CU MM

Monosit 0,8 THSN/ CU MM

Granulosit 4,3 THSN/ CU MM

c. Pemeriksaan Patology/Sitology 10 Oktober 2001

Bahan : Biopsi tumor leher

Kesimpulan : Non Hodgkin lymfoma maligna, difuse large cell, high grade, stadium III B

d. Pemeriksaan foto thoraks PA 19 oktober 2001

Cor : besar dan bentuk normal

Pulmo : tak tampak proses metastasis, taka tampak kelainan

Kedua sinus frenicocostalis tajam

Tak tampak osteolistik dan osteoblastik

e. Pemeriksaan dengabn USG Abdoment 22 Oktober 2001

Hepar : besar normal, intensitas ocheparencim bormal homogen, system vena porta/vena
hepatica normal, tak tampak nodule, kiste, abcess
Gall blader : besar normal, dinding baik, batu polyp (-)

Pancreas : besar normal;, intensitas echoparencim baik, tak tampak nodule kiste abcess, kalsifikasi

Lien : membesar intensitas echoparencim baik, systema calyseal tak tampak estasis, tak
tampak nodule, kiste abcess batu

Tak tampak pemesaran kelenjar pada aorta

Kesimpulan : splenomegali

Tak tampak proses metastasis pada hepar dan kelenjar pada aorta

2. Therapy medik

A. Diet TKTP lunak

B. Multivit 3 dd 1 tab

C. Prednison 3 dd 4 tab

ANALISA DATA

Tgl Data Kemungkinan penyebab Masalah

28/10 Subyektif Kesulitan Nutrisi


menelan
2001 Ä Pasien sekunder
mengatakan terhadap
10.00 bila menelan penekanan
terasa sakit massa pada
Ä Pasien oesopagus
mengatakan
bila makan
terlalu banyak
atau minum
terlalu banyak
akan teasa mau
muntah

Ä Pasien
mengatakan
berat badan
sebelum sakit
62 kg

Ä Pasien
mengatakan
porsi yang
disediakan RS
cuma habis 3 –
4 sendok
makan

Obyektif

Ä Keadaan
umum baik

Ä T 110/70
mmHg

Ä N 90
x/menit

Ä S 36 5 o C

Ä R 20
x/menit

Ä Porsi yang
disediakan RS
cuma habis
setengah porsi

Ä Pasien
terlihat
menyeringai
saat menelan
makanan

Ä Pasien
mendapatkan
diet TKTP
lunak

Ä TB : 168 cm

Ä BB : 56 Kg

Ä Terdapat
pembesaran
kelenjar limfe
pada leher kiri
dengan
diameter 20 cm
benjolan
bawah rahang
kanan diameter
4 – 5 cm
benjolan leher
kanan dengan
diameter
kurang lebih 5
cm konsistensi
padata dan
kenyal serta
nyeri tekan

Ä Hasil PA :
Non Hodgkin
Lymfoma
difuse large
cell high grade
stad III B

28/10 Data Subyektif Perubahan bentuk Konsep sisi (body


anatomi tubuh (adanya image)
2001 Ä Pasien mengatakan Lymfoma)
merasa sedih karena
09.00 ada benjolan pada
lehernya

Ä Pasien mengatakan
merasa malu karena
keadaannya sekarang

Data Obyektif

Ä Pasien tampak
sedih saaat diajak
bicara tentang
penyakitnya

Ä Ekspresi muka
tampak sedikit gelisah
Ä Terdapat
pembesaran kelenjar
lymfe di leher dengan
diameter kurang lebih
20 cm

Ä Pasien tampak
jarang bicara dengan
pasien di sebelahnya

Ä Pasien menutupi
lehernya dengan
sleyer saat jalan –
jalan diluar

Ä PA : LNH Difuse
Large cell, High
Grade Stad III B

28/10 Data Subyektif Knowledge deficit Psikologis (cemas


tentang penyakit dan ringan)
2001 Ä Pasien mengatakan prosedur pengobatan
sedih karena ada
09.00 benjolan pada leher
kirinya

Ä Pasien menanyakan
apakah penyakitnya
bisa segera
disembuhkan dan
bagaimana prosedur
pengobatannya

Data obyektif

Ä Keadaan umum
baik

Ä Ekspresi wajah
tampak sedikit gelisah

Ä Pasien tampak
menanyakan tentang
penyakit yang
dideritanya

Ä T 110/70 mmHg
Ä N 90 x/menit

Ä R 20 x /menit

Ä S 36 5 o C

Ä PA : LNH Difuse
Large Cell High
Grade III B

28/10 Data Subyektif Knowledge deficit Psikologis (cemas


tentang penyakit dan ringan)
200109.00 Ä Pasien mengatakan prosedur pengobatan
nyeri tekan pada
daerah benjolan di
leher

Data Obyektif

Ä Pasien tampak
menyeringai saat
benjolan di tekan

Ä Tedapat
pembesaran kelenjar
lymfe di leher dengan
diameter 20 cm

Ä Terdapat nyeri
tekan

PA : LNH Difuse
Large Cell High
Grade Stad III B

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kesulitan bernafas
sukunder terhadap penekanan massa pada oesopahgus

2. Gangguan psikologis ( cemas ringan ) berhubungan dengan knowledge deficit tentang penyakit dan
prosedur pengobatan

3. Perubahan konsep diri (body Image) berhubungan dengan perubahan bentuk anatomi tubuh (adanya
limfoma)
4. Gangguan rasa nyaman (nyeri tekan) berhubungan dengan penekana saraf di leher akibat adanya
limfoma
BAB III

PENUTUP

A.KESIMPULAN.

Limfoma non-hodgkin (LNH) merupakan kanker yang berkembang dalam sistem


limfatik. Dalam sistem limfatik sendiri terdapat cairan bening atau ciran limfe. Cairan ini
mengandung limfosit (salah satu jenis sel darah putih) yang berperan melindungi tubuh untuk
melawan infeksi.

Kanker ini masuk ke dalam kelompok keganasan primer limfosit. LNH tepatnya berasal
dari limfosit B, limfosit T, dan terkadang berasal dari sel natural killer (NK) yang berada dalam
sistem limfatik.

Limfoma non-hodgkin ini bisa bisa muncul di bagian manapun, bahkan bisa menyebar ke
organ dalam tubuh. LNH ini sendiri terdiri dari berbagai jenis, tetapi limfoma sel B merupakan
sebaran yang paling umum.

B.SARAN

Perawat disarankan untuk memberi dukungan kepada pasien agar semangat menjalani

hidup dan memberikan usaha maksimal untuk mempertahankan hidup pasien, dan

menganjurkan pasien maupun keluarga untuk tidak putus asa terhadap kemungkinan buruk

yang akan terjadi, serta menganjurkan pasien untuk selalu mengikuti terapi yang dianjurkan.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.alodokter.com/limfoma-hodgkin
https://www.alodokter.com/limfoma-non-hodgkin
https://www.kanker.kemkes.go.id

https://www.id.parwaycancercentre.com

https://www.informasikedokteran.com/2015/08/limfoma-hodgkin.html

Anda mungkin juga menyukai