BLOK NEOPLASIA
“BENJOLAN DI LEHER”
KELOMPOK A-9:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
Jalan. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510
Telp. 62.21.4244574 Fax. 62.21. 4244574
SKENARIO 2
BENJOLAN DI LEHER
Seorang laki-laki, usia 30 tahun datang ke poliklinik RS YARSI dengan keluhan timbul
benjolan di leher kanan. Teraba atau di ketahui oleh pasien sejak 3 minggu sebelumnya.
Awalnya benjolan sebesar kacang tanah dan semakin membesar 1 minggu terakhir dengan
ukuran sebesar telur puyuh. Demam, sering keringat malam hari, dan penuruan berat
badan(dari 65 kg menjadi 50kg) dialami oleh pasien. Tidak terdapat nyeri atau kesulitan
menelan. Berdasarkan pemeriksaan dokter, disebut kemungkinan pembengkakan kelenjar
getah bening dan perlu dilakukan tindakan biopsi. Setelah di biopsi didapat hasil pemeriksaan
patologi dengan suatu keganasan dengan sel dominan sel limfosit.
2
PERTANYAAN
1. Mengapa keringat terjadi pada malam hari?
2. Mengapa benjolan semakin membesar?
3. Apa saja faktor resiko dan etiologi?
4. Apa diagnosis sementara pasien?
5. Mengapa tidak ada nyeri menelan?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang yang di lakukan?
7. Bagaimana tatalaksananya?
8. Bagaimana prognosisnya?
9. Mengapa limfosit dominan?
10. Bagaimana diagnosis bandingnya?
11. Mengapa terjadi demam dan penurunan berat badan?
12. Mengapa timbul benjolan?
JAWABAN
1. Karena saat tidur metabolisme basal meningkat sehingga terjadi demam dan keringat
pada malam hari.
2. Karena limfosit meningkat akibat adanya infeksi sel proliferasi pada kelenjar getah
bening (KGB)
3. Faktor resiko; Jenis kelamin (sering terjadi pada laki-laki) dan usia sedangkan untuk
eriologinya; genetik, virus dan paparan kimia.
4. Limfoma hodgkin dan limfoma non hodgkin
5. Posisi kelenjar getaha bening tidak menekan esofagus sehingga tidak ada nyeri menelan
dan belum mengenai nervus laryngeus.
6. Untuk diagnosis pasti menggunakan sitologi dan histopatologi dan pemeriksaan
penunjang menggunakan USG atau CT-Scan
7. Kemoterapi dan radioterapi
8. Tergantung stadium, pengobatan dan life style
9. Adanya reaksi inflamasi sekresi limfosit meningkat
10. Limfadenitis TB paru
11. Demam akibat terjadinya infeksi yang menyebabkan limfosit meningkat dan penurunan
berat badan akibat terjadinya metabolisme basal yang meningkat dan sel makin ganas
sehingga menyerap nutrisi lebih banyak
12. Hiperproliferasi sel pada kelenjar getah bening (KGB)
3
HIPOTESIS
Limfoma disebabkan proliferasi pada KGB yang menyebabkan limfosit meningkat
karena adanya faktor resiko seperti jenis kelamin (sering terjadi pada laki-laki) dan usia. Gejala
yang ditimbulkan demam akibat terjadinya infeksi yang menyebabkan limfosit meningkat,
keringat pada malam hari karena metabolisme basal meningkat, penurunan berat badan akibat
terjadinya metabolisme basal yang meningkat dan sel makin ganas sehingga menyerap nutrisi
lebih banyak, tidak ada nyeri menelan karena tidak mengenai esofagus dan nervus laryngeus.
Pemeriksaan penunjang dengan USG/ CT- Scan. Tatalaksana dengan kemoterapi dan
radioterapi.
4
SASARAN BELAJAR
L.O 1. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN LIMFOMA
1.1 Definisi Limfoma
1.2 Etiologi Limfoma
1.3 Epidemiologi Limfoma
1.4 Klasifikasi Limfoma
1.5 Patofisiologi Limfoma
1.6 Manifestasi Klinis Limfoma
1.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding Limfoma
1.8 Tatalaksana Limfoma
1.9 Komplikasi Limfoma
1.10 Pencegahan Limfoma
1.11 Prognosis Limfoma
5
LO. 1 Memahami dan menjelaskan limfoma
1.1 Definisi
Limfoma adalah adalah jenis kanker yang berawal dari sel- sel yang disebut limfosit
(sel darah putih) yang berproliferasi lebih cepat dan hidup lebih lama dibandingkan limfosit
normal yang merupakan salah satu bagian dari sistem kekebalan tubuh.
Limfoma dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu limfoma non hodgkin dan limfoma
hodgkins.
1.2 Epidemiologi
Di negara maju Eropa dan Amerika, insiden HL memiliki dua puncak usia. Puncak
pertama pada segmen usia 20 – 30 tahun, di antaranya yang dominan adalah jenis nodular
sklerotik, puncak kedua pada usia di atas 50 tahun. Di negara berkembang termasuk China,
kurva insiden-usia untuk HL tidak menunjukkan puncak pertama, tapi terdapat peningkatan
mencolok insiden anak pria yang menderita HL jenis sel campur dan HL jenis deplesi
limfosit. HL pediatric 85% terjadi pada anak pria; di antara HL jenis nodular sclerosis pada
dewasa, penderita wanita agak lebih banyak dari pria; sedangkan pada HL jenis lain pada
dewasa, proporsi penderita pria jauh lebih tinggi dari penderita wanita,Insiden NHL kurang
lebih 8 kali lipat HL. Limfoma sel limfosit kecil terutama terjadi pada lansia; limfoma
limfoblastik terutama pada remaja pria dan dewasa muda; limfoma sel folikular terutama
pada setengah bawa; limfoma burkitt terutama pada anak dan dewasa muda.
Pada RIKESDAS tahun 2013 didapatkan prevalensi penderita limfoma berdasarlam
hasil wawancara mengenai diagnosis limfoma oleh doketr. Diketahui bahwa prevalensi
limfoma di Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar 0.06 perseribu, atau diperkirakan
sebanyak 14.905 orang. Provinsi DI Yogyakarta memiliki presentase prevalensi limfoma
tertinggi yaitu sebesar 0.25 perseribu atau diperkirakan sebanyak 890 orang. Sedangkan
provinsi jawa barat memiliki estimasi jumlah penderita terbanyak yaitu sebanyak 2.728
orang. Jumlah penderita limfoa ini dirasa cukup fantastis sehingga patut diwaspadai.
Hendaknya masyarakat lebih peduli terhadap deteksi dini kanker, khususnya limfoma, serta
menambah pengetahuan mengenai penyakit limfoma agar jumlah penderita limfoma tidak
semakin bertambah.
Pada tahun 2010-2012, proporsi limfoma pada pasien laki-laki di RSK Dharmais lebih
besar dibandingkan dengan pasien perempuan. Proporsi pasien limfoma pada laki laki
sedikit meningkat pada tahun 2012, yaitu menjadi 59% pasien laki laki dan proporsi pasien
sedikit menurun menjadi 41% umur pasien limfoma di RSK Dharmais pada tahun 2010-
2012 cukup bervariasi. Kelompok umur 50-54 tahun merupakan kelompok umur pasien
limfoma terbanyak tahun 2010 dan 2011. Namun presentase tersebut menurun drastic pada
6
tahun 2012. Sedangkan pasien limfoma terbanyak tahun 2012 adalah kelompok umur 45-
49.
Pasien pada kelompok umur 35-39 tahun, 40-44 tahun, dan 60-64 tahun cukup tinggi.
Sementara itu, presentas pasien limfoma pada anak-anak umur 5-9 tahun juga cukup tinggi,
dengan demikian perlu diperhatikan bahwa limfoma tidak hanya menyerang orang yang
berusia paruh baya dan lanjut usia, namun dapat juga menyerang anak-anak. Sehingga para
orang tua harus lebih jeli dalam mendeteksi munculnya gejala limfoma pada anaknya.
1.3 Etiologi dan faktor resiko
Penyebab pasti limfoma Hodgkin maupun non-Hodgkin masih belum diketahui. Namun
diperkirakan aktivasi abnormal gen tertentu mempunyai peran dalam timbulnya semua
jenis kanker, termasuk limfoma.
HODGKIN :
- Pada penyakit ini ditemukan adanya perkembangan sel B abnormal atau
dinamakan sel Reed-Sternberg akibat pengaruh paparan virus epstein barr
(EBV). Terkait Proses Transkripsi sel B yang terganggu.
- Faktor resiko limfoma Hodgkin adalah infeksi virus onkogenik yang diduga
berperan dalam menimbulkan lesi genetic, virus memperkenalkan gen asing ke
dalam sel target. Virus-virus ini adalah virus Epstain-barr, Sitomegalovirus,
HIV dan Human Herpes Virus-6 (HHV-6). Faktor resiko lain adalah defisiensi
imun, misalnya pada pasien transplantasi organ dengan pemberian obat
imunosupresif atau pada pasien cangkok sumsum tulang. Keluarga dari pasien
pasien Hodgkin (adik-kakak) juga mempunyai risiko untuk terjadi penyakit
hodgkin
NON HODGKIN :
Pada limfoma jenis ini penyakit berkembang dari limfosit yang abnormal yang akan
terus membelah dan bertambah banyak dengan tidak terkontrol akibat faktor
keturunan, kelainan sistem kekebalan, infeksi virus atau bakteria (HIV, HCV, EBV,
Helicobacter Sp), toksin lingkungan (herbisida, pengawet dan pewarna kimia),
mengonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok dan terkena paparan
ultraviolet. Pembelahan yang tak terkendali dari limfosit B dan T akibat mutasi sel
menjadi sel ganas.
7
Secara umum klasifikasi LNH dibuat berdasarkan kemiripan sel-sel pada suatu tipe LNH
dengan limfosit normal dalam berbagai kompartemen diferensiasi. Klasifikasi histopatologik
harus disesuaikan dengan kemampuan patologis serta fasilitas yang tersedia. Dua jenis
klasifikasi yang paling umum dipakai adalah klasifikasi Kiel dan Working formulation.
Dibawah ini di uraikan klasifikasi Rappaport yang merupakan awal klasifikasi LNH modern,
Working formulation, serta klasifikasi terbaru REAL.
Klasifikasi Kiel
Klasifikasi Kiel membagi LNH menjadi 2 golongan besar, yaitu:
a. LNH dengan derajat keganasan rendah
b. LNH dengan derajat keganasan tinggi
Klasifikasi Kiel sudah menyesuaikan dengan kompartemen dari kelenjar getah bening, serta
membedakan asal sel, apakah dari limfosit B atau limfosit T
Sel B Sel T
Low grade malignancy High grade malignancy
Lymphocytic Lymphocytic
Lymphoplasmacytic Small cerebriform cell
8
Plasmacytic Mycosis funguides
Centroblastic/centrocytic Sezary’s syndrome
Follicular Lymphoepitheloid (Lenner’s lymphomas)
Diffuse Angioimmunoblastic T zone
Centrocytic Pleomorphic small cell
High grade malignancy High grade malignancy
Centroblastic Pleomorphic medium and large cell
Immunoblastic Immunoblastic
Large cell anaplastic (Ki-1+) Large cell anaplastic (Ki-1+)
Burkitt’s lymphoma Lymphoblastic
Lymphoblastic Rare types
Rare types
9
b. Large cell lymphoma: terdiri dari sel-sel besar yang terdapat dalam folikel normal
(centroblast). Jenis ini sering bersifat difus karena itu disebut sebagai diffuse large cell
lymphoma. LNH jenis ini bersifat agresif, tetapi sangat responsif terhadap kemoterapi.
4. LNH yang berasal dari mantle zone
LNH jenis ini disebut sebagai mantle zone lymphoma. Secara imunofenotipe mirip dengan
SLL, tetapi menunjukkan CD5 positif. Perjalanan klinis slowly progressive dan incurable
dengan standard chemotherapy.
5. LNH yang berasal dari marginal zone atau parafollicular
Termasuk dalam golongan ini adalah: B-cell monocytoid lymphoma, low-grade mucosa-
associated lymphoid tissue (MALT) lymphoma dan splenic marginal zone lymphoma.
Terdiri dari sel-sel limfosit kecil yang menempati zone marginal atau prafolikuler dari
folikel limfoid normal
10
sel sitotoksisk yang ditandai CD8+. Disamping sel T ada juga sel limfosit yang mirip sel T
disebut sel natural killer.
LH tipe nodular (1) adanya variasi dari sel Reed Stenberg yaitu sel lakuna yang
sclerosing merupakan sebuah sel besar yang memiliki se-buah inti multilobus,
anak inti yang kecil dan multipel serta sitoplas-ma yang melimpah dan
pucat dan
(2) adanya fibrosis dan sklerosis yang luas dengan pita kolagen yang
membagi jaringan limfoid ke dalam nodul-nodul berbatas dengan
infiltrat seluler yang mengandung limfosit, eosinofil, histiosit dan sel
lakuna
11
lebih sering tampak difus dan hiposeluler sedangkan sel Reed Stern-
berg hadir dalam jumlah yang besar dan bentuk yang bervariasi. LH
tipe lymphocyte depleted dapat dibagi menjadi subtipe retikuler de-
ngan sel Reed Sternberg yang dominan dan sedikit limfosit serta sub-
tipe fibrosis difus di mana kelenjar getah bening digantikan oleh jari-
ngan ikat yang tidak teratur dan dijumpai sedikit sel limfosit dan sel
Reed Sternberg
Perjalanan
Jenis Gambaran Mikroskopik Kejadian
Penyakit
12
jaringan ikat fibrosa yang
berlebihan
Perbedaan antara LH dengan LNH ditandai dengan adanya sel Reed-Sternberg yang
bercampur dengan infiltrat sel radang yang bervariasi. Sel Reed-Sternberg adalah suatu sel
besar berdiameter 15-45 mm, sering berinti ganda (binucleated), berlobus dua (bilobed),
atau berinti banyak (multinucleated) dengan sitoplasma amfofilik yang sangat banyak.
Tampak jelas di dalam inti sel adanya anak inti yang besar seperti inklusi dan seperti “mata
burung hantu” (owl-eyes), yang biasanya dikelilingi suatu halo yang bening.
13
(a) (b)
Gambar 1. Gambaran histopatologis (a) Limfoma Non Hodgkin dan (b) Limfoma Hodgkin
dengan Sel Reed Sternberg
14
Prekursor limfosit dalam sumsum tulang adalah limfoblas. Perkembangan limfosit
terbagi dalam dua tahap, yaitu tahap yang tidak tergantung antigen (antigent independent) dan
tahap yang tergantung anrigent (antigent dependent).
Pada tahap I, sel induk limfoid berkembang menjadi sel pre-B, kemudian menjadi sel
B imatur dan sel B matur, yang beredar dalam sirkulasi, dikenal sebagai naive B-cell. Apabila
sel B terkena rangsangan antigen, maka proses perkembangan akan masuk tahap 2 yang terjadi
dalam berbagai kopartemen folikel kelenjar getah bening, dimana terjadi immunoglobuline
gene rearrangement. Pada tahap akhir menghasilkan sel plasma yang akan pulang kembali ke
sumsum tulang.
Normalnya, ketika tubuh terpajan oleh zat asing, sistem kekebalan tubuh seperti sel
limfosit T dan B yang matur akan berproliferasi menjadi suatu sel yang disebut imunoblas T
atau imunoblas B. Pada LNH, proses proliferasi ini berlangsung secara berlebihan dan tidak
terkendali. Hal ini disebabkan akibat terjadinya mutasi pada gen limfosit tersebut. Proliferasi
berlebihan ini menyebabkan ukuran dari sel limfosit itu tidak lagi normal, ukurannya
membesar, kromatinnya menjadi lebih halus, nukleolinya terlihat, dan protein permukaan
selnya mengalami perubahan.
15
Terdapat bukti bahwa pada respons imun awal sebagian naiv B cell dapat langsung
mengalami transformasi menjadi immunoblast kemudian menjadi sel plasma. Sebagian besar
naiv B cell dapat langsung mengalami transformasi menjadi immunoblast kemudian menjadi
sel plasma. Sebagian besar naiv B cell mengalami transformasi melalui mantle cell, follicular
B-blast, centroblast, centrocyte, monocyte B cell dan sel plasma.
Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat terjadinya mutasi
gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang tengah berada dalam proses
transformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat adanya rangsangan imunogen). Proses ini
terjadi di dalam kelenjar getah bening, dimana sel limfosit tua berada dlluar "centrum
germinativum" sedangkan imunoblast berada di bagian paling sentral dari "centrum
germinativum" Beberapa perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain: 1). Ukurannya
makin besar; 2). Kromatin inti menjadi lebih halus; 3). Nukleolinya terlihat; 4). Protein
permukaan sel mengalami perubahan reseptor.
Penataan ulang kromosom yang salah merupakan mekanisme mutasi yang penting
terhadap LNH sel B. Memahami mekanisme dasar yang berkontribusi terhadap proses ini
relevan dengan pembahasan epidemiologi saat ini. Sedikit yang diketahui tentang agen yang
mempengaruhi penyusunan ulang kromosom abnormal, namun pada pertemuan ini Kirschhas
telah memberikan bukti bahwa paparan kerja pestisida dapat meningkatkan laju pembentukan
rekombinasi yang salah [misalnya, inv (7) PL3, Q35)] antara gen reseptor sel T. Sementara
inversi ini tidak terkait dengan aktivasi onkogen, ini menunjukkan bahwa faktor-faktor eksogen
dapat mempengaruhi proses rekombinasi dalam sel. telah dijelaskan penyusunan ulang
kromosom, termasuk translokasi stabil dalam aplikator fumigan (pengasapan) terpajan fosfin.
Gen Ig di B-sel (dan T-sel reaktivitas gen dalam sel-T) mengalami perubahan struktural yang
luas selama perkembangan normal. Ada dua proses penataan ulang terpisah: V-(D)-J
penyusunan ulang yang terjadi selama tahap pro-B/pre-B awal dan berat rantai isotipe beralih
yang terjadi di matang perifer B-sel. Dalam setiap proses DNA rusak dan bergabung kembali,
enzim yang berbeda mungkin terlibat dalam kedua proses. V-(D)-J gen menata ulang langkah
melibatkan gen Ig dalam tiga lokus kromosom yang berbeda: DHJH, VH DHJH pada
kromosome (chr) 14; VKJK pada kromosom 2, dan V λJλ pada kromosom 22.
Disamping itu, BCL-6 represor transkripsi yang sering mengalami translokasi dalam
limfoma, mengatur deferensiasi germinal center sel B dan peradangan. Skrining
mikroangiopati DNA mengidentifikasi gen-gen yang ditekan oleh BCL-6, termasuk banyak
gen aktivasi limfosit, menunjukkan bahwa BCL-6 memodulasi sinyal reseptor sel B. BCL-6
represi dari dua gen kemokin, MIP-1alpha dan IP-10, juga mungkin meminimalkan respon
16
inflamasi. Blimp-1, BCL-6 target lain, sangant penting untuk diferensiasi plasmacytic. Sejak
ekspresi BCL-6 tidak ada dalam sel plasma, represi balon-1 oleh BCL-6 dapat mengontrol
diferensiasi plasmacytic. Memang, penghambatan BCL-6 fungsi melakukan perubahan
indikasi diferensiasi plasmacytic, termasuk penurunan ekspresi c-Myc dan peningkatan
ekspresi siklus inhibitor p27KIP1 sel. Data ini menunjukkan bahwa transformasi maligna oleh
BCL-6 melibatkan penghambatan diferensiasi dan penigkatan proliferasi10,11.
Selain mutasi gen, penuaan mungkin merupakan faktor penting dalam patogenesis
Kelompok I LNH sel B, karena tumor ini terjadi terutama di kelompok usia yang lebih tua, dan
peningkatan angka kejadian dalam setiap kelompok usia lebih dari 55 tahun. Penjelasan
biologis bagaimana penuaan berpengaruh terhadap limfoma genesis belum dipahami dengan
baik. Efek penuaan pada sistem kekebalan tubuh telah dipelajari selama beberapa tahun.
Konsep bahwa penuaan adalah keadaan imunodefisiensi mungkin peryataan yang terlalu
umum. Pada pemeriksaan sumsum tulang ditemukan Clonotypes baru. Hasil yang didapatkan
oleh peneliti sebelumnya yaitu adanya disregulasi dari sistem kekebalan tubuh. Pertama,
diketahui bahwa timus berinvolusi sehingga sel T bergantung lebih banyak pada kolam perifer.
Selain itu, proliferasi sel T dan produksi IL-2 mengalami penurunan. Sel T autoreaktif muncul
dengan bertambahnya usia. Dalam garis keturunan sel B respon humoral terhadap antigen asing
menurun sementara produksi antibodi autoreaktif meningkat. Perubahan dalam repertoar B-sel
pada tikus terjadi dengan penuaan yang mungkin berubah yaitu gen V, D,dan J. sel B manusia
dari individu yang berusia tua mengalami proliferasi 50% kurang efisien dibandingkan dari
usia muda, perbedaan ini mungkin karena gangguan dalam komponen jalur transduksi sinyal
tertentu dalam sel-B. Penuaan juga berhubungan dengan ketidakseimbangan dalam T-dan B-
repertoar. Pengaturan ukuran dan aktifitas proliferasi clonotypes B-sel tertentu pada orang tua
mungkin kurang dikontrol dengan baik karena perubahan dalam kompartemen sel-T. Ini
ditambah dengan peningkatan frekuensi autoreaktif clonotypes, dapat menghasilkan populasi
B-sel yang kurang patuh pada peraturan oleh sel T, sehingga meningkatan risiko untuk
mengalami pertumbuhan otonom.
Selain itu LNH sel B memiliki hubungan dengan keadaan immunodeficiency, yang
paling sering adalah oligoclonal atau poliklonal, dan ini telah mengangkat isu bahwa beberapa
limfoma ini lebih kepada lymphoproliferative daripada gangguan neoplastik. Banyak limfoma
timbul dalam berbagai bentuk immunodeficiency seperti EBV+, menunjukkan peran
partisipatif gen EBV dalam proses lymphomagenic. Mekanisme dasar untuk limfomagenesis
pada immunodeficiency diduga melibatkan gangguan pengawasan imunologi dan kemampuan
sel-T untuk menghilangkan sel-sel mengekspresikan antigen permukaan sel atipikal. Dalam sel
17
B virus dipertahankan sebagai plasmid dalam sitoplasma sel yang beristirahat, sehingga
sejumlah besar sel B terinfeksi. Kondisi ini akan mempengaruhi pertumbuhan sel B menjadi
sel ganas. Sel B yang baru terinfeksi (nonneoplastic) dan baris sel lymphoblastoid yang
dibiakkan dari darah orang yang terinfeksi terus-menerus mengekspresikan beberapa protein
virus EBNAs 1, 2a, 3a, 3b, 3c dan EBNA-LP, LMP1, 2A, 2B tapi menghasilkan sangat sedikit
virus. Protein membran merupaka target antigen untuk sitotoksik T-sel.
Sel yang berubah menjadi sel kanker seringkali tetap rnempertahankan sifat "dasar"nya.
Misalnya sel kanker dari limfosit tua tetap mempertahankan sifat mudah masuk aliran darah
namun dengan tingkat mitosis yang rendah, sedangkan sel kanker dari imunobias amat jarang
masuk ke dalam aliran darah, namun dengan tingkat mitosis yang tinggi.
18
Cincin Waldeyer & Hepatomegali &
kelenjar mesenterik Splenomegali
jarang terkena Massa di abdomen dan
Hepatomegali & testis
Splenomegali
Sindrom Vena Cava
Superior
Gejala susunan saraf
pusat (degenerasi
serebral dan neuropati)
Selain tanda dan gejala di atas, stadium limfoma maligna secara klinis juga dapat
ditentukan berdasarkan klasifikasi Ann Arbor yang telah dimodifikasi Costwell.
Tabel 2. Klasifikasi Limfoma Menurut Ann Arbor yang telah dimodifikasi oleh Costwell
Keterlibatan/Penampakan
Stadium
Suffix
A Tanpa gejala B
19
B Terdapat salah satu gejala di bawah ini:
2. Pemeriksaan Fisik
Pembesaran KGB
Kelainan/pembesaran organ (hati/limpa)
Performance status: ECOG atau WHO/Karnofsky
3. Pemeriksaan Diagnostik
A. Biopsi eksisional atau core biopsy
1. Biopsi KGB dilakukan cukup pada 1 kelenjar yang paling representatif, superfisial, dan
perifer. Jika terdapat kelenjarsuperfisial/perifer yang paling representatif, maka tidak
perlu biopsi intraabdominal atau intratorakal. Kelenjar getah bening yang disarankan
adalah dari leher dan supraclavicular, pilihan kedua adalah aksila dan pilihan terakhir
adalah inguinal.Spesimen kelenjar diperiksa:
20
a. Rutin
Histopatologi: sesuai klasifikasi WHO terbaru
b. Khusus
Immunohistokimia
Molekuler (hibridisasi insitu) EBV
2. Diagnosis awal harus ditegakkan berdasarkan histopatologi dan tidak cukup hanya
dengan sitologi. Pada kondisi tertentu dimana KGB sulit dibiopsi, maka kombinasi core
biopsy FNAB bersama-sama dengan teknik lain (IHK, Flowcytometri `dan lain-lain)
mungkin dapat mencukupi untuk diagnosis.
B. Laboratorium
1. Rutin Hematologi:
o Darah Perifer Lengkap (DPL) : Hb, Ht, leukosit,trombosit, LED, hitung jenis
o Gambaran Darah Tepi (GDT) : morfologi sel darah o Analisis urin : urin lengkap
Kimia klinik:
o SGOT, SGPT, Bilirubin (total/direk/indirek), LDH, protein total, albumin-
globulin
o Alkali fosfatase, asam urat, ureum, kreatinin
o Gula darah sewaktu
o Elektrolit: Na, K, Cl, Ca, P
o HIV, TBC, Hepatitis C (anti HCV, HBsAg)
Khusus:
o Gamma GT
o Serum Protein Elektroforesis (SPE) o Imunoelektroforesa (IEP)
o Tes Coomb
o B2 mikroglobulin
C. Aspirasi Sumsum Tulang (BMP) dan biopsi sumsum tulang dari 2 sisi spina illiaca
dengan hasil spesimen minimal panjang 1.5 cm, dan disarankan 2 cm.
D. Radiologi
Untuk pemeriksaan rutin/standard dilakukan pemeriksaan CT Scan thorak/ abdomen.Bila
fasilitas tersedia, dapat dilakukan PET CT Scan.
E. Konsultasi THT
Bila Cincin Waldeyer terkena dilakukan laringoskopi.
F. Cairan tubuh lain (Cairan pleura, cairan asites, cairan liquor serebrospinal)
Jika dilakukan pungsi/aspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin, disamping
pemeriksaan rutin lainnya.
G. Konsultasi jantung
21
Menggunakan echogardiogram untuk melihat fungsi jantung.
Diagnosis Banding
Limfadenopati harus dibedakan dari infeksi non-spesifik kelenjar limfe atau infeksi virus,
metastasis, mononucleosis infeksiosa, dll. Setiap pembesaran kelenjar limfe dengan
diameter > 1cm, diobservasi selama 6 minggu, jika tetap tidak mengecil, maka harus
dilakukan biopsi.
Massa mediastinum dan hilus pulmonal tanpa limfadenopati superfisial, sering kali perlu
dibedakan dari kanker paru dan tuberculosis. Pada umumnya, massa limfoma dapat lebih
besar, progresi lebih cepat, kadang kala timbul multiple atau bilateral. Sindrom kompresi
vena kava superior sering kali tidak se-menonjol kanker paru tipe sentral. Pemeriksaan
bronkoskopi dan tomografi hilus pulmonal area mediastinum dapat membantu
membedakan antara keduanya.
22
Pro-MACE-MOPP (prednison, methotrexate with leucovorin
rescue, doxorubicine, cyclophosphamide, etoposide,
mechlorethamine, vincristine, procarbazine).
M-BACOD (methotrexate with leucovorin rescue, bleomycin,
doxorubicine, cyclophosphamide, vincristine, dexamethasone).
iii. Kemoterapi kombinasi generasi II terdiri atas:
COPBLAM III (cyclophosphamide, infusional vincristine,
prednison, infusional bleomycin, doxorubicine, procarbazine).
ProMACE-CytaBOM (prednison, methotrexate with leucovorin
rescue, doxorubicine, doxorubicine, cyclophosphamide, etoposide,
cytarabine, bleomycin, vincristine, methotrexate with leucovorin
rescue).
MACOP-B (methotrexate with leucovorin rescue, doxorubicine,
cyclophosphamide, vincristine, prednison, bleomycin).
Dari perkembangan terapi sampai saat ini ternyata kemoterapi kombinasi CHOP
terbukti paling efektif dibandingkan kemoterapi kombinasi lain. penambahan jenis
kemoterapi ataupun lama pemberian tidak menambah angka kesembuhan. Oleh karena
itu, kemoterapi generasi kedua dan ketiga jarang digunakan. (hemato merah).
3. Transplantasi sumsum tulang dan transplantasi sel induk merupakan terapi baru dengan
memberikan harapan kesembuhan jangka panajang.
4. Kemoterapi dosis tinggi dengan rescue memakai peripheral blood stem cell
transplantasi.
5. Terapi dengan imunomodulator
Terapi dengan interferon diberikan untuk indolent lymphoma, dikombinasikan
dengan kemoterpai atau diberikan setelah kemoterapi untuk memperpanjang masa
remisi. Tetapi hasilnya sampai sekarang masih kontroversial.
6. Targeted therapy
Antibodi monoklonal: rituximab suatu chimeric monoclonal antibody ditujukan
untuk antigen CD20 yang diekspresikan oleh semua sel limfosit. Pemberian rituximab
intravena setiap minggu selama 4 minggu memberikan remisi parsial pada 50% LNH
indolen. Sekaran gcenderung digabung dengan kemoterapi (CHOP) dan juga
dicobakan pada LNH agresif.
Regimen kemoterapi yang paling umum dipakai adalah CHOP:
1. Cyclophosphamide 750 mg/m2 i.v. hari 1
2. Hydroxydaunomycine (adriamycine) 50 mg/m2 i.v. hari 1
3. Oncovin (vincristine) 2 mg/m2 i.v. hari 1 dan 5
23
Siklus diulangi setiap 3 minggu, sampai terjadi remisi komplit, kemudian ditambah 2
siklus lagi. Jika sampai siklus ke-6 tidak terjadi remisi komplit, sebaiknya diganti
regimen lain. Data terbaru menunjukkan bahwa penambahan anti-CD20 (Rituximab)
pada terapi CHOP memperbaiki tingkat remisi DLCL.
24
subtipe LNH. Terdapat 5 faktor yang mempengaruhi prognosis, yaitu usia, serum LDH,
status performans, stadium anatomis, dan jumlah lokasi ekstra nodal.
Setiap faktor memiliki efek yang sama terhadap outcome, sehingga
abnormalitas dijumlahkan untuk mendapatkan indeks prognostik. Skor yang didapat
arfiara 0-5. Pada pasien usia <60 “ (age adjusted lPl), indeks yang digunakan lebih
sederhana yaitu hanya meliputi faktor stadium anatomis, serum LDH, dan status
“performance”, tanpa status ekstra nodal.
Gambar 1. Indeks Prognostik Pasien LNH.
b. Limfoma hodgkins
Prognosis dari limfoma Hodgkin (LH) ditentukan oleh beberapa fak-tor, di
antaranya stadium penyakit, umur penderita, tipe penyakit secara his-topatologik dan
lainnya. Masa bebas penyakit LH setelah 5 tahun terapi yaitu 85% pada stadium I
sampai II, 70% pada stadium IIIA dan 50% pada stadium IIIB dan IV
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Setioyohadi, B et. all. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing
2. Sutrisno, H. 2010. Gambaran Kualitas Hidup Pasien Kanker Limfoma Non-Hodgkin
Yang Dirawat Di Rsup Sanglah Denpasar. Jurnal Penyakit Dalam volume 2; 96-102
3. Hoffbrand A.V. 2005. Limfoma maligna. Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Jakarta:
EGC;
4. Santoso, M., Krisfu, C. 2004. Diagnostik dan Penatalaksanaan LNH. Dexa media: No.
4(17).
5. Emmanouillides C, Casciato DA. 2004. Hodgkin and non-Hodgkin lymphoma. In
Manual of clinical oncology, 5th Ed. Lippincot Williams & Wilkins
6. Bruce D. Cheson. 2007. Revised Response Criteria for Malignant Lymphoma. Journal
Of Clinical Oncology. Volume 25(5); 581
7. Kementerian Kesehatan RI. 2015. Panduan Nasional Penanganan Limfoma Non-
Hodgkin. Jakarta.
8. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015. Data dan Kondisi
Penyakit Limfoma di Indonesia. Jakarta.
26