Anda di halaman 1dari 11

TUGAS INDIVIDU

FARMAKOTERAPI I
“STUDI KASUS ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKEMIA (ALL)”

OLEH :

NAMA : ZAHRA ZHAFIRAH LUTHFIYYAH MURSIDA


NIM : O1A118100
KELAS :B
DOSEN : apt. SUNANDAR IHSAN, S.Farm., M.Sc.

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
STUDI KASUS
ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKEMIA (ALL)

PENDAHULUAN
Leukemia adalah penyakit keganasan pada jaringan hematopoietik yang ditandai
dengan penggantian elemen sumsum tulang normal oleh sel darah abnormal atau sel
leukemik. Hal ini disebabkan oleh proliferasi tidak terkontrol dari klon sel darah immatur
yang berasal dari sel induk hematopoietik. Sel leukemik tersebut juga ditemukan dalam darah
perifer dan sering menginvasi jaringan retikuloendotelial seperti limpa, hati dan kelenjar
limfe.
Leukemia diklasifikasikan berdasarkan tipe sel, baik menurut maturitas sel maupun
turunan sel. Berdasarkan maturitas sel, leukemia dibedakan atas akut dan kronik. Jika sel
ganas tersebut sebagian besar immatur (blast) maka leukemia diklasifikasikan akut,
sedangkan jika yang dominan adalah sel matur maka diklasifikasikan sebagai leukemia
kronik. Berdasarkan turunan sel, leukemia diklasifikasikan atas leukemia mieloid dan
leukemia limfoid. Kelompok leukemia mieloid meliputi granulositik, monositik,
megakriositik dan eritrositik (Rofinda, 2012). Salah satu jenis leukemia yang sering terjadi
pada anak-anak dan remaja yaitu leukemia limfoblastik akut (LLA).
Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah penyakit keganasan hematologi yang
disebabkan oleh proliferasi prekursor sel limfoid yang menyebabkan akumulasi sel blas di
darah tepi dan sumsum tulang. LLA dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa. Berbeda
dengan anak-anak, LLA pada dewasa cenderung memiliki prognosis yang buruk. Berbagai
kemajuan dalam terapi, seperti targeted therapy, telah berhasil menurunkan angka kematian
pasien dengan LLA.
- ETIOLOGI
Menurut Permono (2005), meskipun LLA sering dihubungkan dengan sindroma
gangguan genetik, namun penyebab utama LLA sampai saat ini masih belum diketahui.
Faktor lingkungan yang memperberat resiko terjadinya LLA adalah pemaparan terhadap
radiasi ion dan elektromagnetik.Selain itu beberapa jenis virus juga berkaitan dengan insiden
LLA, terutama infeksi virus yang terjadi pada masa prenatal seperti virus influenza dan
varicella. Leukemia limfoblastik akut juga dapat terjadi pada anak dengan gangguan
imnunodefisiensi kongenital seperti Wiscot-Aldrich Syndrome, congenital
Hypogammaglobulinemia dan Ataxia-Telangiectasia. Virus penyebab LLA akan mudah
masuk ke tubuh manusia jika struktur antigennya sesuai dengan struktur antigen manusia.
Struktur antigen manusia terbentuk oleh struktur antigen dari berbagai alat tubuh, terutama
kulit dan selaput lendir yang terletak di permukaan tubuh.World Health Association (WHO)
telah menetapkan istilah HL-A Human leucocyte locus A.Sistem HL-A individu ini
diturunkan menurut hukum genetika sehingga adanya peranan faktor ras dan keluarga dalam
etiologi leukemia tidak dapat diabaikan.
- PATOFISIOLOGI
LLA dicirikan oleh proliferasi limfoblas imatur. Pada tipe leukemia akut, kerusakan
mungkin pada tingkat sel punca limfopoietik atau prekursor limfoid yang lebih muda. Sel
leukemia berkembang lebih cepat daripada sel normal, sehingga menjadi crowding out
phenomenon di sumsum tulang. Perkembangan yang cepat ini bukan disebabkan oleh
proliferasi yang lebih cepat daripada sel normal, tetapi sel-sel leukemia menghasilkan faktor-
faktor yang selain menghambat proliferasi dan diferensiasi sel darah normal, juga
mengurangi apoptosis dibandingkan sel darah normal.
Perubahan genetik yang mengarah ke leukemia dapat mencakup:
1) Aktivasi gen yang ditekan (protogen) untuk membuat onkogen yang menghasilkan
suatu produk protein yang mengisyaratkan peningkatan proliferasi;
2) Hilangnya sinyal bagi sel darah untuk berdiferensiasi;
3) Hilangnya gen penekan tumor yang mengontrol proliferasi normal; dan
4) Hilangnya sinyal apoptosis.
- MANIFESTASI KLINIS
Menurut Anderson & Sylvia (2006), manifestasi klinis LLA adalah adanya bukti anemia,
pendarahan dan infeksi, seperti demam, pucat, petekie dan pendarahan, nyeri sendi dan
tulang, nyeri abdomen yang tidak jelas,pembesaran dan fibrosis organ-organ sistem
retikuloendotieal hati limfa dan limfonudus. Kemudian adanya peningkatan tekanan
intrakranial karena infiltrasi meningens, seperti sakit kepala,muntah bahkan penurunan
kesadaran. Limfosit imatur berproliferasi dalam susunan tulang dan jaringan perkiem dan
mengganggu perkembangan sel normal. Akibatnya hematopoesis normal terhambat
mengakibatkan penurunan jumlah sel darah merah dan trombosit.Pemeriksaanawal yang
dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap. Biasanya akan ditemukan leukositosis
(leukosit>10.000/uL), neutropenia, anemia dan trombositopenia.Pemeriksaan penunjang
umumnya berupa apusan darah tepi dan pemeriksaan biopsi sumsum tulang (Sugondo et al.,
2007). Pembagian LLA menurut sistem klasifikasi French American British (FAB)
berdasarkan atas morfologi:L1: Limfoblast kecil, sitoplasma sedikit, dan nukleolus yang
mencolok, merupakan kasus LLA terbesar pada anak, mencakup 85%.L2: Sel limfoblas lebih
besar daripada L1. Gambaran sel menunjukkan adanya heterogenitas ukuran dengan
nukleolus yang menonjol serta sitoplasma yang banyak dan merupakan 14% kasus LLA pada
anak.L3: Limfoblas besar, sitoplasma basofilik. Terdapat vakuola pada sitoplasma dan
menyerupai gambaran limfoma Burkitt, L3 mencakup 1% kasus LLA pada anak.
Limfadenopati adalah ketidaknormalan kelenjar getah bening dalam ukuran, konsistensi
ataupun jumlahnya. Penyebab yang paling sering adalah hasil dari proses infeksi oleh virus
pada saluran pernapasan bagian atas (rinovirus, virus parainfluenza, influenza, Respiratoty
Syncytial Virus (RSV), coronavirus, adenovirus atau reovirus). Keganasan seperti leukimia,
neuroblastoma, rhabdomyosarkoma dan limfoma juga dapat menyebabkan limfadenopati
(Sugondo et al., 2007). Kemungkinan adanya multiple limfadenopati pada pasien ini adalah
karena proses keganasan yaitu leukemia (Hasyimzoem, 2014).
KASUS
Anak RB laki-laki berumur 4 tahun sejak 2 minggu mengalami ISPA bawah dan 1 minggu ini
mengalami otitis media. Gejala semakin memburuk dan saat ini mengalami pendarahan di
hidung dan lemah. Pemeriksaan fisik menunjukan pallor dan hepatosplenomegali.
Pemeriksaan darah CBC menunjukan anemia normokromik dan normositik.
Data lab darah; Hct: 15,7%, Hb 5,7 g/dl, WBC count 4.300 cells/uL, Platelet count 13.000
cells/uL
WBC count: Limfositik 82% (normal 30-40%), neutrophil 7% (normal 50-60%), limfoblast
11% (normal 0%)
Biopsi pada bone marrow 95% limfoblast. Diagnosis dokter adalah ALL
Kelas imunologi adalah early pre-B berdasarkan CD10 dan CD19 yang positif.
Radiografi pada dinding dada tidak terdapat pada mediastinum dan tidak ada leukimia
limfoblast pada cairan serebrospinal.
Anak RB diterapi dengan cairan alkalinized dan allopurinol p.o 200 mg/m³/hari dan
setelahnya akan diberi terapi induksi.
Bagaimana tatalaksana terapi? Apa tujuan terapi profilaksis intratecal kemotrapi?

1. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN PASIEN


A. IDENTITAS PASIEN
a) Nama pasien : RB
b) Umur : 4 tahun
c) Jenis kelamin : Laki-laki

B. DATA SUBJEKTIF
a) Riwayat penyakit: -
b) Keluhan:
- ISPA bawah sejak 2 minggu
- Otitis media (1 minggu ini)
- Pendarahan di hidung dan lemah
C. DATA OBYEKTIF
a) Data Laboratorium Darah:
- Hct = 15,7 %
- Hb = 5,7 g/dl
- WBC count = 4.300 cells/uL
- Platelet count = 13.000 cells/uL
- Limfosit = 82 % (normal 30-40%)
- Neutrophil = 7 % (normal 50-60 %)
- Limfoblast = 11 % (normal 0 %)
D. ASSEMENT
a) Diagnosa
- Biopsi pada bone marrow 95% limfoblast
- Diagnosa dokter adalah ALL
- Kelas imunologi adalah early pre-B berdasarkan CD10 dan CD19 yang
positif
b) Terapi yang telah dilakukan
- Diterapi dengan cairan alkalinized dan allopurinol p.o 200 mg/m³/hari
E. PLANNING
a) Target Terapi
Tujuannya yaitu:
- Terapi fisik pada pasienkeganasan anak ialah: preventif, untuk mencegah
terjadinya gejala sisa yang menyebabkan disabilitas; restorasi, untuk
memaksimalkan pulihnya sistem motorik pada pasien dengan defisit;
suportif, untuk mendorong tingkat fungsional kemandirian tertinggi yang
mungkin dicapai saat masih terdapat gejala sisa dan progresivitas
disabilitas dapat diantisipasi; dan paliatif, untuk meningkatkan atau
memelihara kenyamanan dan kemandirian pasien dengan terminal
disease.
- Pemberian terapi okupasi ialah memaksimalkan kemampuan anak dalam
aktivitas sehari-hari, peningkatan perkembangan ketrampilan, dan
mengurangi dampak komplikasi penyakit.
- Ortotik prostetik menangani kontraktur
- Dukungan psikologi keluarga serta status emosional pasien dan keluarga
harus diperhatikan karena berhubungan dengan stres berat yang akan
muncul karena kematian anak akibat kanker
- Sosial medik; memberi dukungan emosional pada pasien, keluarga, dan
tim, serta bertindak sebagai perantara dalam hubungan antara
pasien/keluarga dan tim (Yenni, 2014)
- terapi suportif yang bertujuan untuk mengatasi kegagalan sumsum
tulang, baik karena proses leukemia sendiri atau sebagai akibat terapi
(Hasyimzoem, 2014).

2. TATALAKSANA TERAPI
Terapi untuk LLA digolongkan menjadi dua yaitu, terapi spesifik dalam bentuk
kemoterapi, mencakupterapi induksi remisi, dan terapi lanjutan, terdiri atas terapi
konsolidasi atau intensifikasi, profilaksis sistem saraf pusat untuk mencegah relaps, dan
maintenance atau pemeliharan jangka panjang.Banyak obat yang dapat membuat remisi
pada LLA.Pada masa remisi, pasien bebas sari simptom, darah tepi dan sumsum tulang
normal secara sitologi, dan pembesaran organ menghilang.Remisi yang diberikan berupa
kemoterapi intensif, yaitu suatu keadaan dimana gejala klinis menghilang, disertai blast
sumsum tulang kurang dari 5%.Dengan pemeriksaan morfologi tidak ditemukan sel
leukemia dalam sumsum tulang dan darah tepi. Selain itu terdapat terapi suportif yang
bertujuan untuk mengatasi kegagalan sumsum tulang, baik karena proses leukemia
sendiri atau sebagai akibat terapi. Terapi suportif tidak kalah pentingnya dengan terapi
spesifik karena akan menentukan angka keberhasilan terapi. Kemoterapi intensif harus
ditunjang oleh terapi suportif yang intensif pula, bila tidak maka pasien dapat meninggal
karena efek samping obat. Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat yang
ditimbulkan oleh LLA, terapi suportif yang diberikan adalah terapi untuk
mengatasianemia: transfusi PRC untuk mempertahankan hemoglobin sekitar 9-10 g/dl.
Untuk calon transplantasi sumsum tulang, transfusi darah sebaiknya dihindari.Terapi
untuk mengatasi infeksi, yaitu antibiotik adekuat. Terapi untuk mengatasi perdarahan
terdiri atas transfusi konsentrat trombosit untuk mempertahankan trombosit.
Pada penyakit ALL juga terdapat penatalaksanaan secara suportif yaitu: menjaga
keutuhan membran mukosa dan kulit,hindari pengukuran suhu dari rectal, oral hygiene
adekuat dengan sikat gigi yang lembut dan cairan chlor hexidine 1%, pemberian
antibiotik profilaksis pada prosedur tindakan invasif, vaksinasi tidak dilakukan selama
pemberian pengobatan sitostatika dan selama 6 bulan setelah pengobatan.
Penatalaksanaan LLA sementara yang dapat dilakukan adalah terapi suportif, yaitu IVFD
D5% 20 tts/menit (makro), antasida 3x1 tablet, B complex 3x1 tablet, tanfusi PRC
600cc, dexamethason 1 ampul/ sebelum tranfusi, dan cek laboratorium darah secara rutin
(Hasyimzoem, 2014).
Tujuan penanganan LLA ialah mencapai remisi hematologik dan klinis lengkap
(complete remission, CR) yang ditentukan dengan hilangnya semua tanda fisik dan
kelainan sumsum tulang, restorasi hematopoiesis normal (netrofil 1500 sel/mm3 dan
trombosit >100.000 sel/mm3). Setelah CR dicapai, pasien dipertahankan dalam CR
kontinu. Secara umum, pasien anak dianggap sembuh setelah CR kontinu dicapai selama
5-10 tahun. Pemberian regimen dapat menginduksi CR pada 98% kasus anak dengan
LLA.
Pemberian prednison secara oral dengan dosis 60-80 mg/m162/hari, selain itu bisa
juga digunakan deksametason. Alkaloid vinca, bersama dengan steroid berperan penting
dalam induksi remisi LLA. Dosis vincristine per minggu 1,5 mg/m2(dosis maksimal 2,0
mg/m2). Alkaloid vinca yang lain seperti vinblastine dan vindesine masih kurang efektif
dibandingkan vincristine. L-Asparaginase mempunyai aktivitas terbatas terhadap
limfoblas. Daunorubicin memberikan aktivitas antileukemia yang bermakna; dosis
kumulatif tidak boleh melebihi 300-400 mg/m2 pada anak dengan leukemia akut.
Antagonis asam folat memulai revolusi terapi LLA, dan methotrexate dan
mercaptopurine (antagonis purin) menjadi dasar maintenancekemoterapi LLA.
Cytarabine arabinose (antagonis pyrimidine) berpotensi menginduksi remisi dan relaps
LLA. Cyclophosphamide merupakan alkylating drug untuk LLA, dan efektif baik untuk
LLA-T maupun LLA-B (Yenni, 2014).

TERAPI LLA
 Terapi Suportif
Tatalaksana optimal pasien LLA membutuhkan perhatian khusus terhadap terapi
suportif, termasuk tatalaksana darurat atau pencegahan terhadap komplikasi
metabolikdan infeksi serta penggunaan rasional dari produk darah. Tatalaksana suportif
lainnya seperti pemakaian kateter, kendali rasa nyeri, dukungan psikososial untuk pasien
serta keluarga sangat diperlukan
 Terapi Anti Leukemia
Karena LLA merupakan penyakit yang heterogen dengan berbagai subtioe, maka tidak
ada pendekatan yang seragam terkait dengan terapinya.
 Induksi Remisi
Tujuan pertama dari terapi adalah menginduksi terjadinya remisi komplit dan
mengembalikan hematopoesis yang normal. Regimen induksi biasanya terdiri dari
glukokortikoid (prednisone, prednisolone, atau dexamethasone), vincristine, dan L-
asparaginase untuk anak-anak ataupun anthrax-cycline untuk pasien dewasa. Perbaikan
dalam kempoterapi dan terapi suportif menghasilkan remisi komplit sekitar 98% untuk
anak-anak dan 85-90% untuk pasien dewasa.
 Terapi fisik
Tujuan terapi fisik pada pasien keganasan anak ialah: preventif, untuk mencegah
terjadinya gejala sisa yang menyebabkan disabilitas; restorasi, untuk memaksimalkan
pulihnya sistem motorik pada pasien dengan defisit; suportif, untuk mendorong tingkat
fungsional kemandirian tertinggi yang mungkin dicapai saat masih terdapat gejala sisa
dan progresivitas disabilitas dapat diantisipasi; dan paliatif, untuk meningkatkan atau
memelihara kenyamanan dan kemandirian pasien dengan terminal disease. Intervensi
rehabilitasi membuat pasien dapat meme-lihara independensidan mencegah komplikasi
akibat tirah baring (imobilitas)karena waktu penanganan medis maupun perawatan yang
lama.
 Terapi okupasi
Pasien LLA membutuhkan terapi okupasi karena adanya komplikasi atau penyakit
sekunder. Pemberian terapi okupasi ialah memaksimalkan kemampuan anak dalam
aktivitas sehari-hari, peningkatan perkembangan ketrampilan, dan mengurangi dampak
komplikasi penyakit. Kelemahan otot dan atrofi sering terjadi pada pasien anak-anak
dengan keganasan; sering disertai penurunan ketahanan kardiovaskuler akibat inaktivitas
atau tirah baring yang terlalu lama. Latihan kardiovaskuler yang dapat diberikan bagi
anak-anak ialah bermain bola, bersepeda ergometri, ambulasi progresif, atau aktivitas
motorik seperti meloncat, melompat, skipping, dan berlari.
 Ortotik prostetik
Alat-alat seperti splint, serial cast, dynamic brace, dancontinus passive devices dapat
dipakai untuk menangani kontraktur. Pada pasien dengan kelainan kulit seperti scar
iminimalisasi dengan pemberian compression dressing. Mobilitas atau masalah gait
sering terjadi pada pasien dengan keganasan akibat tirah baring yanglama atau amputasi.
Latihan ambulasi progresif harus diterapkan pada pasien tersebut, termasuk assistive
devices dan ortose yang diperlukan (Yenni, 2014).
3. KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi)
Terapi non farmakologi:
 Informasikan kepada pasien atau keluarga pasien tentang cara penggunaan
obat dan tata laksana terapi
 Memberitahu efek samping dari terapi yang dijalani seperti kemoterapi, yaitu
mual muntah

4. FOLLOW UP
Setelah 2 minggu terapi induksi hasil lab CBC-nya baik menunjukkan respon
kemoterapi baik. Hasil WBC count 2.600 cells/uL, neutrophil 69%, limfosit 22%, platelet
229.000 cells/uL, Hct 28,6%, blastosit 0%. Hasil analisis kromosom pada sumsum tulang
belakang/SSTL terdapat translokasi TEL-AML1 dengan DNA indeks 1,0. Hasil MRD pada
darah hari ke-8 <1% dan pada SSTL hari ke-29 <0,15%. Berdasarkan temuan hari terakhir
terapi induksi, temuan pada sumsum tulang adalah MRD (+). Sehingga pasien RB akan
menerima terapi post induksi yang lebih agresif (yaitu terapi fase intensif dari post induksi
terapi atau terapi tambahan interim/sementara maintenance) karena adanya translokasi TEL-
AML1 sebagai prediktor yang kuat dibanding hasil sitogenetik. Meski hasil aspirasi sumsum
tulang (hari ke-8 dan setelah komplit terapi induksi pada hari ke-29) megindikasikan remisi
komplit dari morfologinya, temua MRD pada akhir terapi induksi mengharuskan terapi
selanjutnya(fase intensif dari terapi post induksi yaitu augmented interim maintenance).
DAFTAR PUSTAKA

Hasyimzoem NC. 2014. Leukimia Limfoblastik Akut pada Dewasa dengan Multiple
Limfadenopati. Medula. Vol 2 (1).

Yenni. 2014. Rehabilitasi Medik pada Anak dengan Leukemia Limfoblastik Akut. Jurnal
Biomedik (BJM). Vol 6 (1).

Anda mungkin juga menyukai