A. Pengertian Puisi
Puisi adalah sebuah imajinasi kata yang didapat dari sebuah kesadaran manusia
baik pengalaman atau gagasan yang disusun menggunakan pilihan kata tau bahasa
berirama dengan kualitas tambahan berupa estetikanya.
Puisi adalah kasusteraan yang paling tua. Sejak dahulu, berpuisi adalah cara
kuno dalam masyarakat, atau pada waktu tersebut di sebut mantra. Dalam
masyarakat Jawa terdapat tradisi nembang Jawa, lirik puisi yang dilagukan.
Biasanya, nembang didendangkan pada acara-acara sakral dan penting, seperti
acara mitoni, siraman, dan pesta desa lainnya.
Dalam puisi ada nsur-unsur yang harus diperhatikan seperti: kata, larik, bait,
bunyi dan maknanya.
Seiring perkembangannya, puisi dibedakan atas dua, yaitu: puisi lama dan puisi
baru. Yang dalam perkembangannya dikenal berbagai model yang
menggambarkan perkembangan struktur puisi tersebut.
1. Puisi Lama (Angkatan Balai Pustaka)
Sebagai suatu bahan telaahan, di bawah ini puisi karya Sanoesi Pane dengan judul
"Sajak" mengandung ciri yang telah saya sebutkan di atas:
Di mana harga karangan sajak,
Bukan dalam maksud isinya;
Dalam bentuk, kata nan rancak,
Dicari timbang dengan pilihannya.
Pada puisi di atas, terlihat jelas sekali penggunaannya, menggunakan corak yang
sama seperti pantun, memiliki sajak a-b-a-b. Sanoesi Pane selaku
penyairnya menggunakan sajak k-a-k-a.
2. Puisi Angkatan Pujangga Baru (1930-1942)
Angkatan ini biasa disebut juga Angkatan 30-an atau Angkatan 33. Beberapa
penyair angkatan ini adalah Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1986) dengan
karyanya Kumpulan Puisi Tebaran Mega; Amir Hamzah (1911-1946) dengan
karyanya Kumpulan Puisi Nyanyian Sunyi dan Buah Rindu; dan Armijn Pane
(1908-1970) dengan karyanya Kumpulan Puisi Jiwa Berjiwa. Angkatan ini dimulai
dengan terbitnya majalah Pujangga Baru pada Mei 1933. Majalah ini kemudian
menjadi penyambung lidah para penyair pada masa itu. Hal yang perlu diingat
adalah kehadiran Angkatan Pujangga Baru ini tidak lepas dari pengaruh para
pujangga Belanda Angkatan 1880 (De Tachtigers). Hal ini bisa kita ketahui karena
memang pada masa angkatan ini banyak pemuda yang berpendidikan barat.
Mereka tidak hanya mengenal, mempelajari, namun bahkan mendalami
ilmu kesusastraan Belanda.
Sebagai contoh, mari kita tilik puisi karya Sutan Takdir Alisjahbana di bawah ini:
AKU DAN TUHANKU
Pada puisi di atas, dapat kita lihat bahwa Sutan Takdir Alisjahbana sudah
tidak menggunakan pola pantun atau syair. Ia menyuguhkan tema yang cukup
kompleks tentang ke-Tuhan-an.
1. Angkatan 45 (1942-1953)
Sebagai contoh, dapat kita baca puisi Chairil Anwar, tokoh sentral Angkatan
45, di bawah ini:
AKU
4. Puisi-Puisi Periode 1950-an
Periode ini disebut sebagai periode romantik atau kembali ke alam. Adalah
W.S. Rendra dan Ramadhan K.H. tokoh utama periode angkatan ini. Mereka
banyak menciptakan puisi-puisi yang bersifat romantik. Oleh sebab itu, Prof. Dr.
A. Teeuw (1978) menyebut periode ini kembali kepada sifat romantik dan alam.
Puisi-puisi romantik telah ditulis pada Periode Angkatan Pujangga Baru (Waluyo,
2002: 79-80). Periode ini sangat dipengaruhi oleh penyair Spanyol Frederico
Garcia Lorca yang dibawa oleh Ramadhan K.H. Bahkan sangat terlihat sekali
pengaruhnya pada kumpulan puisi Ramadhan K.H. yang berjudul Priangan Si
Jelita, sebuah puisi yang mendendangkan alam Priangan. Rendra sangat
mengagumi Lorca. Bahkan ia mengidentikan penulisan namanya dengan sama
seperti F.G. Lorca. Rendra yang berenama asli Willibrordus Surendra menyingkat
namanya menjadi W.S. Rendra. Dalam kepenyairannya, Rendra menorehkan
penanya untuk salah satu kumpulan puisinya berjudul Blues Untuk Bonnie (1971).
Selain Ramadhan K.H. dan W.S. Rendra, penyair-penyair lainnya yang turut
mewarnai puisi Periode Angkatan 1950-an ini antara lain: Ajip Rosidi dengan
kumpulan puisinya, Sajak-sajak Anak Matahari (1979), Subagyo Sastrowardoyo
dengan salah satu karya kumpulan puisinya, Daerah Perbatasan (1970), Toeti
Heraty Noerhadi dengan salah satu kumpulan puisinya, Sajak-Sajak 33 (1973),
Wing Karjo dengan kumpulan puisinya, Selembar Daun (1974), Toto Soedarto
Bachtiar dengan kumpulan puisinya, Suara (1956), Racmat Djoko Pradopo dengan
kumpulan puisinya, Matahari Pagi Tanah Air (1965), dan Soeparwoto
Wiraatmadja dengan kumpulan puisinya, Kidung Keramahan (1963).
1. Bersifat romantik
2. Banyak yang bergaya naratif (yang terkenal adalah balada)
3. Mengambil tema kemiskinan dan protes sosial
4. Menampaknya corak kedaerahan
Untuk dapat melihat lebih jelas ciri-ciri puisi Periode Angkatan 1950-an,
mari kita perhatikan puisi karya W.S. Rendra di bawah ini:
5. Puisi Periode 1960-1980
Sebagai cerminan karakteristik puisi Periode Angkatan 66, mari kita baca
puisi Benteng karya Taufiq Ismail di bawah ini:
BENTENG
1966
6. Puisi Periode 1980-2000
Pada periode ini, penyair besar seperti Rendra, Sapardi Djoko Damono,
Sutardji Calzoum Bachri, dan Linus Suryadi Ag masih produktif mencipta puisi.
Namun, bukan lagi mereka yang kita akan bicarakan di sini. Adalah para penyair
yang muncul dan mulai produktif sejak tahun 1980-an yang akan kita bicarakan di
sini. Pada periode ini, para penyairnya tidak ada yang menjadi besar. Kebanyakan
dari mereka mengiblatkan gaya puisi mereka pada penyair-penyair besar angkatan
sebelumnya (Waluyo, 2002: 140). Beberapa penyair pada angkatan ini diantaranya
Hamid Jabbar dengan salah satu kumpulan puisinya Dua Warna (bersama Upita
Agustine, 1975), Emha Ainun Nadjib dengan salah satu kumpulan puisinya 99
Untuk Tuhanku (1983), Agnes Sri Hartini Arswendo dengan salah satu karya
puisinya Sajak di Sembarang Kampung, F. Rahardi dengan salah satu kumpulan
puisinya Soempah WTS (1983), Rita Oetoro dengan salah satu kumpulan puisinya
Dari Sebuah Album (1986), Dorothea Rosa Herliany dengan salah satu kumpulan
puisinya Nyanyian Gaduh (1987), Eka Budianata dengan salah satu kumpulan
puisinya Ada (1976), Acep Zamzam Noor dengan salah satu kumpulan puisinya
Tamparlah Mukaku (1982), dan K.H. A. Mustofa Bisri dengan
salah satu kumpulan puisinya Pahlawan dan Tikus (1995).
Jika kita cermati, jelas sekali terlihat kritik sosial yang K.H. A. Mustofa Bisri
bawakan pada puisi di atas. Sebuah kritik ironisme antara pahlawan dan koruptor.
7. Puisi Periode Tahun 2000 dan Sesudahnya
Pada puisi di atas, jelas sekali terlihat bagaimana Afrizal Malna menyampaikan
pesannya lewat citraan palu. Dapat kita lihat juga bahwa wajah
puisinya tidak terikat aturan.
KELOMPOK II
KELOMPOK III
PEMBAHASAN
A. Hakikat Puisi
lewat puisi pada dasarnya seorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri,
yang mungkin berisi pesan, atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik
maupun batiniah.
salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media
dalam puisi, tentu saja bersifat kiasan. Anggapan lain mengenai puisi adalah
diangankan.
formal itu penting. Hakikat puisi ialah apa yang menyebabkan puisi itu
disebut puisi. Puisi baru (modern) tidak terikat pada bentuk formal, tetapi
disebut puisi juga. Hal ini disebabkan di dalam puisi modern terkandung
hakikat puisi ini, yang tidak berupa sajak (persamaan bunyi), jumlah baris,
aspek yang perlu diperhatikan untuk mengerti hakikat puisi itu. Pertama sifat
seni atau fungsi seni, kedua kepadatan, dan ketiga ekspresi tidak langsung.
yang fungsi estetiknya dominan, yaitu fungsi seninya berkuasa. Tanpa fungsi
seni itu karya kebahasaan tidak dapat disebut karya (seni) sastra, sementara itu
bahasa dan komposisi puisi sebagai karya sastra, maka fungsi estetiknya
(pilhan kata), irama, dan gaya bahasanya. Gaya bahasa meliputi semua
penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu, yaitu efek
estetiknya atau aspek kepuitisannya. Jenis–jenis gaya bahasa itu meliputi semua
aspek bahasa, yaitu bunyi, kata, kalimat, dan wacana yang dipergunakan secara
khusus untuk mendapatkan efek tertentu itu. Semua ini merupakan aspek
Membuat sajak itu merupakan aktivitas pemadatan. Dalam puisi tidak semua
peristiwa itu diceritakan, yang dikemukakan dalam puisi itu hanyalah inti
masalah, peristiwa, atau inti cerita, yang dikemukakan dalam puisi adalah
esensi sesuatu. Jadi, puisi itu merupakan ekspresi esensi puisi karena puisi itu
mampat dan padat, maka penyair memilih kata dengan akurat. Untuk
Dikemukakan oleh Rifatere bahwa, dari waktu ke waktu puisi itu selalu
berubah. Perubahan itu disebabkan oleh evolusi selera dan perubahan konsep
estetik. Akan tetapi, satu hal yang tidak berubah, yaitu puisi itu mengucapkan
sesuatu itu secara tidak langsung. Ucapan tidak langsung itu ialah menyatakan
hakikat puisi yaitu salah satu bentuk karya sastra yang bahasanya terikat oleh
B. Batasan-Batasan Puisi
baru dapat disebut sebagai puisi. Bentuk khas itu muncul dalam pola
ritma, rima, baris, bait, dan seterusnya yang merupakan unsur formal
dalam kata-kata baik secara lisan maupun tulisan untuk menghasilkan ilusi
tersebut.
KELOMPOK IV
STRUKTUR PUISI I
1. Bunyi
Menurut Pradopo (2007:22-37) bunyi dalam sebuah puisi bersifat estetik,
unsur puisi yang bertugas untuk memberikan keindahan dan tenaga ekspresif.
Bunyi tidak hanya berfungsi sebagai hiasan dalam sebuah puisi, juga
mempunyai peranan yang lebih penting, yaitu untuk memperdalam ucapan,
menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, atau
menimbulkan suasana yang khusus. Selain itu, bunyi pada puisi juga
digunakan sebagai orkestrasi untuk menimbulkan bunyi musik. Bunyi
konsonan dan bunyi vokal disusun begitu rupa sehingga menimbulkan bunyi
yang merdu dan berirama seperti bunyi musik, dari bunyi musik murni ini
dapatlah mengalir perasaan, imaji-imaji dalam pikiran, atau pengalaman-
pengalaman jiwa pendengarnya (pembacanya).
Kombinasi-kombinasi bunyi yang merdu itu biasanya disebut efoni
(euphony), atau bunyi yang indah. Orkestrasi bunyi yang merdu ini biasanya
dipergunakan untuk menggambarkan perasaan mesra, kasih sayang atau cinta,
serta hal-hal yang menggembirakan. Misalnya terlihat pada sajak Soeparwoto
Wiraatmadja berikut ini.
SENANDUNG NATAL
Bagi umat Kristen, malam Natal adalah malam bahagia untuk merayakan
kelahiran Yesus Kristus Sang Penebus. Penyair mengajak kekasihnya
merayakan malam Natal dengan ziarah ke gereja suci. Kerinduan akan
kehadiran Sang Penebus begitu dalam menikam pengembaraan di dalam
perlawatan. Hal ini tampak pada bunyi-bunyi yang dimunculkan penyair
dengan bunyi vokal i pada kata ziarah dan suci, kesyahduan rindu yang dalam
digambarkan dengan bunyi vokal a berkombinasi dengan bunyi konsonan m
dan n pada kata pengembaraan dan perlawatan. Di setiap malam Natal akan
terdengar lagu malam sunyi. Di malam yang gelap dini / digetar nyanyi itu,
penyair mengajak kekasihnya membuka diri agar Kristus masuk ke hati
sanubari manusia.
Selain bunyi-bunyi merdu, dalam sebuah puisi juga dapat ditemukan
kombinasi-kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau disebut kakafoni
(cacophony). Seperti pada sajak Hamid Jabbar berikut ini.
AROMA MAUT
Puisi di atas menceritakan bahwa jarak antara hidup dan mati dilambangkan
dengan barangkali satu denyut lepas. Penyair membayangkan kematian itu
begitu pasti kedatangannya, tiap manusia yang hidup di dunia suatu saat akan
menghadapi kematian. Perpaduan bunyi yang terdapat pada larik-larik dalam
puisi “Aroma Maut” lebih dominan memperdengarkan bunyi-bunyi konsonan
tak bersuara yang mengesankan bunyi-bunyi kakafoni, seperti adanya bunyi p,
s, t, dan k. Sehingga sebagian besar bunyi-bunyi yang terdengar begitu parau
dan sangat tidak merdu. Hal ini sangat mendukung tema puisi yang
menggambarkan kematian sebagai suatu yang tidak menyenangkan untuk
sebagian besar orang yang hidup di dunia.
Begitulah, unsur bunyi musik dapat untuk memperdalam arti, memperjelas
tanggapan, dan memperdalam perasaan. Menurut Slametmuljana dalam puisi
bunyi kata itu di samping tugasnya yang pertama sebagai simbol arti dan juga
untuk orkestrasi, digunakan juga sebagai peniru bunyi atau onomatope,
lambang suara (klanksymboliek), dan kiasan suara (klankmetaphoor) (Pradopo,
2007:32). Bunyi-bunyi juga mempunyai suatu simbolik sehingga dengan
bunyi-bunyi dapat diciptakan suasana, perasaan, dan kesan tertentu
(Luxemburg, 1992:193). Asosiasi pribadi turut memainkan peranan dalam
penafsiran. Sehingga terjadi onomatope bila suatu bunyi tertentu ditiru, seperti
‘ngiau’, ‘ngeong’, ‘dorr’, ‘crott’, dan lain sebagainya. Jadi Wellek dan Warren
(1995:200) menyimpulkan bahwa onomatope yakni kelompok kata yang agak
menyimpang dari sistem bunyi bahasa pada umumnya. Onomatope disebut
juga dengan peniruan bunyi. Peniru bunyi dalam puisi kebanyakan hanya
memberikan saran tentang suara sebenarnya. Onomatope menimbulkan
tanggapan yang jelas dari kata-kata yang tidak menunjukkan adanya hubungan
dengan hal yang ditunjuk, sebab dalam puisi diperlukan kejelasan. Seperti
peniruan suara tangis manusia yang diasosiasikan menjadi bunyi angin pada
penggalan sajak “Tuhan Telah Menegurmu” karya Apip Mustopa berikut ini.
2. Aspek Puitik
Menulis puisi harus lahir dari pengalaman puitik, yaitu suatu
dorongan/desakan dari dalam jiwa penulis karena mengalami suatu
pengalaman yang kental (intens). Puisi yang tidak lahir dari pengalaman ini,
hanya akan berhenti sebagai versifikasi (keterampilan menulis puisi). Puisi
seperti ini akan terasa kering, tanpa ruh, tanpa greget, tanpa gairah, tanpa api.
Ungkapan-ungkapan yang muncul dalam puisi hendaknya lahir dari
pengalaman puitik ini, bukan sekadar mengotak-atik unsur-unsur bahasa secara
artifisial. Setiap orang bisa mendapatkan dan mengalami pengalaman puitik.
Caranya adalah selalu menyiapkan diri dan membuka jiwa kita, baik panca
indera, perasaan, imajinasi, maupun pikiran untuk menangkap berbagai hal di
sekitar, di dalam diri dan dalam kehidupan.
Atmazaki (1993 : 70-83) menjelaskan pendapatnya yang menjelaskan bahwa
sekurang-kurangnya ada tiga alasan yang memungkinkan pelanggaran terhadap
kaidah bahasa dalam puisi. Pertama karena penyair ingin menyampaikan
pengalaman puitiknya. Kedua karena adanya pemadatan bahasa dengan
menghilangkan berbagai unsur yang dianggap penyair dapat mengganggu
pengucapan puitik. Ketiga karena kepiawaian penyair sendiri. Sedangkan
Leech dalam Waluyo (1987 : 68) menyebutkan adanya sembilan jenis
penyimpangan bahasa yang sering dijumpai dalam puisi. Tidak setiap puisi
memiliki sembilan aspek penyimpangan itu, tetapi hanya memiliki salah satu
atau beberapa aspek penyimpangan yang dominan. Aspek-aspek
penyimpangan tersebut antara lain:
1. Penyimpangan Leksikal
Kata-kata yang digunakan dalam puisi menyipang dari kata-kata yang
kita pergunakan sehari-hari. Penyair memilih kata-kata yang sesuai 25
dengan pengucapan jiwanya atau kata-kata itu disesuaikan dengan
tuntunan estetis.
2. Penyimpangan Semantis
Makna dalam puisi tidak menunjukkan dalam satu makna, namun
menunjuk pada makna ganda. Maka kata-kata dalam puisi tidak selalu
sama dengan makna dalam bahasa sehari-hari juga tidak ada kesatuan
makna konotatif dari penyair satu dengan penyair lainnya.
3. Penyimpangan Fonologis
Untuk kepentingan rima, penyair sering melakukan penyimpangan
bunyi. Misalnya, kata ‘perih’ dalam puisi berubah menjadi ‘peri’, kata
‘melayang’ berubah menjadi ‘melayah’, dan sebagainya.
4. Penyimpangan Morfologis
Penyair sering melanggar kaidah morfologis dengan sengaja. Biasanya
kata-kata yang digunakan penyair dalam puisinya tidak baku.
5. Penyimpangan Sintaksis
Dalam pembuatan puisi, penyair sering melalaikan penggunaan huruf
besar pada permulaan kalimatnya dan tanda titik untuk mengakhiri
kalimat itu. Sering pula pembaca menjadi sulit mencari kesatuan
manakah yang dapat disebut sebagai satu kalimat dalam puisi. Baris-26
baris puisi tidak harus membangun kalimat karena makna yang
dikemukakan mungkin jauh lebih luas dari satu kalimat tersebut.
6. Penyimpangan dalam penggunaan Dialek
Penyair ingin mengungkapkan isi hatinya secara tuntas. Pengucapan isi
hati dalam bahasa nasional di sutatu negara dirasa belum mewakili
ketuntasan itu. Oleh sebab itu, penyair menggunakan kata-kata yang
menyimpang dengan menggunakan dialek dalam puisinya.
7. Penyimpangan dalam penggunaan Register
Register adalah ragam bahasa yang digunakan kelompok atau profesi
tertentu dalam masyarakat. Register juga disebut dialek profesi.
Seringkali dialek profesi ini tidak diketahui secara luas oleh pembaca,
apalagi jika register itu diambil dari bahasa daerah. Misalnya anak yang
dihasilkan dari hubungan gelap disebut lembu peteng, dan sebagainya.
8. Penyimpangan Historis
Penyimpangan historis berupa penggunaan kata-kata kuno yang sudah
tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaannya
dimaksudkan untuk mempertinggi nilai estetis.
9. Penyimpangan Grafologis
Dalam menggunakan kata-kata, larik dan baris, penyair sengaja
melakukan penyimpangan dari kaidah bahasa yang biasa berlaku .Huruf
27 besar dan tanda-tanda baca tidak lagi dipergunakan sebagaimana
mestinya. Hal itu digunakan penyair untuk memperoleh efek estetis.
Dalam struktur fisik puisi, terdapat unsur-unsur berupa kesatuan yang utuh.
Unsur-unsur bentuk atau struktur fisik puisi tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:
3. Diksi
Penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata sebab kata-kata yang ditulis
harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama,
kedudukan kata itu ditengah konteks kata lainnya dan kedudukan kata dalam
keseluruhan puisi itu. Oleh sebab itu, disamping memilih kata yang tepat,
penyair juga mempertimbangkan urutan kata-katanya dan kekuatan atau daya
magis kata-kata tersebut. Kata-kata diberi makna baru dan yang tidak bermakna
diberi makna menurut kehendak penyair.
Karena begitu pentingnya kata-kata dalam puisi maka bunyi kata juga
dipertimbangkan secara cermat dalam pemilihannya. Karena pemilihan kata-
kata mempertimbangkan berbagai aspek estetis, maka kata-kata yang sudah
dipilih oleh penyair untuk puisinya bersifat absolut dan tidak bisa diganti
dengan padan katanya, sekalipun maknanya berbeda.
a. Perbendaharaan Kata
b. Urutan Kata
Dalam puisi, urutan kata bersifat beku, artinya urutan itu tidak dapat
dipindah-pindahkan tempatnya meskipun maknanya tidak berubah oleh
perpindahan tempat itu, cara menyusun urutan kata-kata itu bersifat khas
karena penyair yang satu berbeda caranya dari penyair yang lainnya.
Dapat pula dinyatakan ada perbedaan teknik menyusun urutan kata, baik
urutan dalam tiap baris maupun urutan dalam satu bait puisi. Dalam
puisinya yang bersifat duka, Chairil Anwar memulai bait pertama dengan
baris sebagai berikut :
(Krawang-Bekasi”,1946”)
Subyek kalimat dalam puisi ini diletakkan pada awal baris dan tidak
seperti puisi terdahulu yang mulai dengan keterangan keadaan . dalam
puisi yangbersemangat ini, penonjolan subyek dipandang penting.
Sedangkan dalam puisi duka, penonjolan keterangan keadaan akan lebih
membantu penggambaran suasana kedukaan itu.
(“Aku”, 1942)
Kata-kata Rendra dan Chairil Anwar di atas mensugesti pembaca untuk ikut
merasakan apa yanghendak dikemukakannya.
KELOMPOK V
A. Bahasa Kias
Disini terlihat, perbandingan aku yang sebagai manusia dengan laut yang
merupakan benda mati. Kutampar laut yang hendak merampas tanganmu ,
adalah sifat dan kebiasaan manusia dalam melakukan perlawanan atau
membela diri karena ada sesuatu yang hilang diambil oleh laut. Haal tersebut
memberikan gambaran bagi pembaca dan memberikan kesan hidup karena
puisi tersebut sudah diberi ruh.
4. Metonimia
Metonimia adalah bahasa kias yang menggunakan nama untuk benda lain
yang menjadi merk, ciri khas, atau atribut. Biasanya metonimia dipakai
untuk melambangkan suasana atau keadaan tertentu; terutama untuk latar
yang kental. Mari kita amati beberapa contoh berikut:
B. Citraan
Berdasarkan KBBI, citraan adalah kesan atau gambaran visual yang
ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa, atau kalimat, dan merupakan unsure dasar
yang khas dalam karya prosa atau pun puisi.
Citraan dapat dibagi atas beberapa macam, yaitu:
a. Citraan penglihatan (Visual Imagery)
Citraan yang ditimbulkan oleh indra penglihatan(mata). Citraan ini
merupakan jenis yang paling sering digunakan penyair. Citraan ini mampu
memberikan rangsangan kepada indra penglihatan sehingga hal-hal yang tidak
terlihat menjadi seolah-olah terlihat.
Contoh:
Kulihat tempat yang indah di mentari
Contoh II:
Ah... Jaman Sekarang
Di sudut kota anak muda bergerombol dan kongko-kongko
Dandan menor ala tante hebring padahal bocah
Tato sana tindik sini
Keren katanya, padahal sekujur tubuh sakit minta ampun
Jagoan katanya, padahal sekali jotos langsung keleper
Ah... jaman sekarang
... dst.
(Yuni Budiawati, Puisi Penjajahan: 2014)
Dalam kalimat dan juga puisi di atas terdapat beberapa keadaan yang
mengandung pertentangan dengan kalimat sebelumnya, seperti pada contoh
pertama banyak orang merasa kesepian di tengah hiruk pikuk Jakarta,
kemudian di contoh kedua pada larik kedua, keempat dan kelima
menggambarkan orang yang berdandan seperti orang dewasa padahal
dirinya anak kecil, dan juga menggambarkan orang yang memakai tato dan
tindik di tubuhnya menandakan dia orang yang keren padahal sekujur
tubuhnya sakit atau yang merasa dirinya jagoan padahal saat ada yang
memukulnya dia langsung pingsan.
g. Hiperbola
Hiperbola adalah sarana retorika yang melebih-lebihkan suatu hal atau
keadaan atau gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-
lebihan baik jumlah, ukuran, ataupun sifatnya dengan tujuan untuk menekan,
memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya.
Contoh:
Sajak Kopi
Kita sudah sepakat berdua
untuk menyeduh kopi dalam gelas yang sama
gelas putih polos tak bermotif
yang kita pilih saat berbelanja di pasar sana
Saat itu penjualnya berkata, "Tuan, gelas ini bukan sembarang gelas
Gelas ini dibuat dengan sejuta rasa."
Kita berdua mengangguk tunduk
Diam dalam keyakinan yang dalam, percaya
... dst.
(Oky Primadeka, Puisi Kopi: 2014)
Dalam puisi tersebut pada larik kedua di bait kedua, ada kalimat Gelas ini
dibuat dengan sejuta rasa. Larik tersebut mengandung majas hiperbola
dengan menggunakan kata sejuta rasa yang menunjukan hal yang berlebihan.
h. Pertanyaan Retorik
Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah terkandung di dalam
pertanyaan tersebut. Gaya bahasa penegasan ini menggunakan kalimat
tanya-tak-bertanya. Sering menyatakan kesangsian atau bersifat mengejek.
Contoh:
Cermin Mimi Aya
Apa kabarmu, sayang, masihkah kauingat nasihatku
waktu kutitipkan cermin kesayanganku padamu?
Bagaimana rasanya becermin?
Apakah kau telah mengetahui dirimu sendiri,
saat cermin itu tiba-tiba retak saat kautatap?
... dst.
(Faliq Ayken, Puisi Cermin: 2014)
Dalam bait puisi tersebut ada beberapa pertanyaan yang dikemukakan,
namun pertanyaan tersebut tidaklah membutuhkan jawaban hanya membuat
pembaca berpikir atau merenungi makna di balik pertanyaan itu.
i. Klimaks
Klimaks adalah gaya bahasa yang mengandung penekanan pada kalimat-
kalimat selanjutnya, sehingga maksud yang dituju dapat disimpulkan pada
kalimat terakhir.
Contoh akses 7 April 2014):
Sukmaku Merdeka
Wiji Thukul
Tidak tergantung kepada Departemen Tenaga Kerja
Semakin hari semakin nyata nasib di tanganku
Tidak diubah oleh siapapun
Tidak juga akan dirubah oleh Tuhan Pemilik Surga
Apakah ini menyakitkan? entahlah!
Aku tak menyumpahi rahim ibuku lagi
Sebab pasti malam tidak akan berubah menjadi pagi
Hanya dengan memaki-maki
Waktu yang diisi keluh akan berisi keluh
Waktu yang berkeringat karena kerja akan melahirkan
Serdadu-serdadu kebijaksanaan
Biar perang meletus kapan saja
Itu bukan apa-apa
Masalah nomer satu adalah hari ini
Jangan mati sebelum dimampus takdir
Sebelum malam mengucap selamat malam
Sebelum kubur mengucapkan selamat datang
Aku mengucap kepada hidup yang jelata
MERDEKA!!
Dalam puisi tersebut, mengandung klimaks di akhir larik pada bait terakhir
dengan kata merdeka yang ditulis kapital seluruhnya dan dengan tanda seru
dua kali.
j. Antiklimaks
Antiklimaks merupakan antonim dari klimaks adalah gaya bahasa berupa
kalimat terstruktur dan isinya mengalami penurunan kualitas, kuantitas
intensitas. Gaya bahasa ini dimulai dari puncak makin lama makin ke
bawah. Dengan demikian, antiklimaks adalah gaya bahasa yang menyatakan
beberapa hal berurutan semakin lama semakin menurun.
Contoh:
Hujan Bulan Juni
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Sapardi Djoko Damono
Inti dari puisi Damono adalah menggambarkan hujan di bulan Juni,
sedangkan larik-larik selanjutnya adalah tambahan keterangan untuk
penggambaran hujan bulan Juni.
k. Kiasmus
Kiasmus ialah gaya bahasa yang berisi perulangan dan sekaligus merupakan
inversi atau pembalikan susunan antara dua kata dalam satu kalimat. Majas
kiasmus merupakan bentuk majas perulangan yang isinya mengulang atau
repetisi sekaligus merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu
kalimat (Ducrot dan Todorov, 1981: 277).
Contoh:
Yang kaya merasa dirinya miskin, sedang yang miskin mengaku dirinya
kaya. Sudah biasa dalam kehidupan sehari-hari, orang pandai ingin disebut
bodoh, namun banyak orang bodoh mengaku pandai. Ia menyalahkan yang
benar dan membenarkan yang salah.
Dalam kalimat yang diberi garis bawah di atas merupakan contoh gaya
bahasa kiasmus, yaitu kata miskin-kaya dan kata bodoh-pandai.
KELOMPOK VI
A. Larik
Kata adalah unsur utama terbentuknya sebuah puisi. Pemilihan kata (diksi)
yang tepat sangat menentukan kesatuan dan keutuhan unsur-unsur yang lain. Kata-
kata yang dipilih diformulasi menjadi sebuah larik. Larik (atau baris) mempunyai
pengertian berbeda dengan kalimat dalam prosa. Larik bisa berupa satu kata saja,
bisa frase, bisa pula seperti sebuah kalimat. Pada puisi lama, jumlah kata dalam
sebuah larik biasanya empat buat, tapi pada puisi baru tak ada batasan.
Bait merupakan kumpulan larik yang tersusun harmonis. Pada bait inilah
biasanya ada kesatuan makna. Pada puisi lama, jumlah larik dalam sebuah bait
biasanya empat buah, tetapi pada puisi baru tidak dibatasi. Bunyi dibentuk oleh
rima dan irama. Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh
huruf atau kata-kata dalam larik dan bait. Sedangkan irama (ritme) adalah
pergantian tinggi rendah, panjang pendek, dan keras lembut ucapan bunyi.
Timbulnya irama disebabkan oleh perulangan bunyi secara berturut-turut dan
bervariasi (misalnya karena adanya rima, perulangan kata, perulangan bait),
tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemahnya (karena sifat-sifat konsonan
dan vokal), atau panjang pendek kata. Dari sini dapat dipahami bahwa rima adalah
salah satu unsur pembentuk irama, namun irama tidak hanya dibentuk oleh rima.
Baik rima maupun irama inilah yang menciptakan efek musikalisasi pada puisi,
yang membuat puisi menjadi indah dan enak didengar meskipun tanpa dilagukan.
B. Bait
Bait adalah homograf dalam bahasa Indonesia. Kata ini dipinjam dari bahasa
Arab. Dalam bahasa Indonesia ia merujuk kepada:
Bait (sastra), (dibaca "ba-it"), adalah bagian dari teks berirama (puisi atau
lirik lagu) terdiri dari beberapa baris yang tersusun harmonis, meyerupai
pengertian paragraf dalam sastra atau tulisan bebas.
Bait Allah (dibaca "bayt", tulisan Arab: )بيت ﻪّﻠﻟا, tempat ibadah (harfiah
berarti "rumah Tuhan") yang bisa mengacu kepada Ka'bah (dalam Islam)
atau Kenisah (dalam literatur Yahudi dan Kristen).
Puisi di atas adalah puisi modern namun bentuk puisinya mirip dengan puisi
baru dengan klasifikasi tersina (3 baris). Dia tidak termasuk puisi baru karena
sudah terlepas dari rima (ciri puisi lama) yang masih terasa pada puisi baru.
Adanya penggunaan tanda baca berupa titik dan tanda seru di tengah dan di akhir
puisi menunjukkan perbedaan puisi tersebut dari puisi lama.
Puisi di atas terdiri dari tujuh bait dan tiap-tiap bait terdiri dari tiga baris.
Seluruh bait dan baris mengungkapkan tema kerinduan. Kerinduan itu dapat kita
tangkap lewat penggunaan bahasanya. Gaya bahasa yang berhubungan dengan
suasana hati seorang manusia yang dilukiskan oleh penyair membantu
mengungkapkan tema kerinduan tersebut. Kerinduan kepada siapa? Kerinduan
terhadap keluarganya. Hal tersebut dapat kita temukan apabila meneliti bait demi
bait puisi di atas dan kita akan menemukan jawaban yang dikemukakan penyair
sebagai berikut:
1. Bait I: sudah menceritakan alasan puisi tersebut diciptakan. Penyair telah
memasukkan diksi rindu, renjana, dan kekasih bergelar sanak yang
menandakan bahwa ia begitu rindu bahkan sangat rindu kepada keluarganya.
2. Bait II: menceritakan gambaran rindu tersebut yang telah dipendam oleh
sang penyair. Baris yang berbunyi “ Bersarang di pojok-pojok jiwa” dan
“Balig bahkan sudah tua” menceritakan bahwa rindu itu telah begitu lama
dipendam oleh penyair yang sudah sedemikian menderitanya karena hal
tersebut. Itu diperjelas lagi dibaris berikutnya.
3. Bait III: menceritakan cara mengatasi kerinduan yang sudah menyesakkan
dada tersebut. Diksi-diksi seperti penawar, sengsara, dan anjangsana sudah
cukup bagi pembaca untuk mengerti langkah yang akan dilakukan oleh sang
penyair untuk mengobati kerinduannya. Solusi tersebut berupa anjangsana
yang berarti kunjungan untuk melepas rindu kepada keluarganya.
4. Bait IV: mempertegas bahwa anjangsana memang satu-satunya jalan untuk
mengobati kerinduan yang sudah mengakar kuat dan menumbuhkan derita
yang begitu perih. Dengan anjangsana tersebut maka hilang sudah semua
derita sang penyair karena bukan persoalan “mengapa” dan “siapa” yang
menjadi pertanyaan, namun “apa” yang mesti dilakukan sang penyair.
5. Bait V: menceritakan keadaan yang akan terjadi setelah anjangsana
dilakukan. “Ketika paras-paras telah saling berhadapan” berarti ketika sang
penyair telah bertemu dengan keluarganya. “Pucuk-pucuk rindu mulai layu”
berarti rindu mulai memudar dan terobati. “Berganti bianglala di langit-
langit hati” berarti rindu tersebut sudah berganti menjadi kebahagian di
dalam hati penyair.
6. Bait VI: menceritakan suasana lanjutan ketika sang penyair telah berkumpul
dengan keluarganya. “Saling berceloteh mengumbar kasih…” berarti sang
menceritakan segala hal yang ia rasakan dan pengalamannya kepada
keluarganya hingga menimbukan cinta kasih di antara mereka. “Air muka
lalu menjadi begitu suci” menandakan bahwa paras wajah penyair yang
begitu mengalami perubahan setelah bertemu dengan keluarganya.
Wajahnya yang mungkin dahulu sayu kini berganti cerah dan bersinar.
“Kemuning bahagia bersandar di dipan-dipan hati” berarti perasaan bahagia
yang besar yang telah penyair rasakan.
7. Bait VII: mempertegas bahwa anjangsanalah yang benar-benar merupakan
satu-satunya solusi untuk menyelesaikan masalah kerinduan yang kronis
yang penyair hadapi. Ketika hal itu dilakukan, maka sang penyair akan
benar-benar merasakan kebahagian yang luar biasa seperti yang ia
gambarkan secara umum dalam puisinya.
C. Tipografi
Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak
dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang
tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal
tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
Tipografi merupakan pembeda penting antara puisi dengan prosa dan drama.
Larik-Iarik puisi tidak berbentuk paragraf, namun berbentuk bait. Dalam puisi-
puisi kontemporer, seperti karya-karya Sutardji Calzoum Bachri, tipografi
dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting sehingga menggeser kedudukan
makna kata-kata. Ciri-ciri yang dapat dilihat sepintas dari puisi adalah
perwajahannya atau tipografinya. Melalui indera mata tampak bahwa puisi
tersusun atas kata-kata yang membentuk larik-larik puisi. Larik-larik itu disusun ke
bawah dan terikat dalam bait-bait. Banyak kata, larik maupun bait ditentukan oleh
keseluruhan makna puisi yang ingin dituliskan penyair. Dengan demikian satu bait
puisi bisa terdiri dari satu kata bahkan satu huruf saja. Dalam hal cara penulisannya
puisi tidak selalu harus ditulis dari tepi kiri dan berakhir di tepi kanan seperti
bentuk tulisan umumnya. Susunan penulisan dalam puisi disebut tipografi
(Pradopo, 1990:210).
Struktur fisik puisi membentuk tipografi yang khas puisi. Tiprografi puisi
merupakan bentuk visual yang bisa memberi makna tambahan dan bentuknya bisa
didapati pada jenis puisi konkret. Tipografi bentuknya bermacam-macam antara
lain berbentuk grafis, kaligrafi, kerucut dan sebagainya. Jadi tipografi memberikan
ciri khas puisi pada periode angkatan tertentu. Perwajahan puisi (tipografi) juga
merupakan bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-
kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan
huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan
pemaknaan terhadap puisi.
Secara garis besar atau keseluruhan puisi karya Toto Sudarto Bachtiar ini
terdapat 5 bait yang masing-masing bait terdiri atas 4 baris. Toto Sudarto Bachtiar
sangat konsisten dalam menyusun kalimat tiap-tiap bait. Tiap baris dalam paisi ini
terdiri atas 4 –9 kata yang strukturnya sangat konsisten. Toto Sudarto Bachtiar juga
sangat konsisten dalam penggunaan huruf kapital. Dapat dilihat dalam puisi
tersebut pengarang menggunakan huruf kapital pada setiap awal baris pada seluruh
puisi. Hal ini menunjukan bahwa Toto Sudarto Bachtiar sangat teguh dan konsisten
dalam penggunan jumlah baris, bait bahkan pemakaian huruf kapital dalam
menulis judul puisi ini, semua menggunakan huruf kapital untuk memudahkan
pembaca.
Contoh:
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur sayang,
Sebuah lubang peluru besar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
D.Enjambemen
Enjambemen adalah kelanjutan sebuah kalimat dari satu baris/bait ke
baris/bait berikutnya. Bisa juga dilihat sebagai pemenggalan sebuah kalimat
menjadi beberapa baris. Enjambemen meliputi pemenggalan atau perpindahan
baris puisi untuk menuju baris berikutnya. Enjambemen juga merupakan
peloncatan baris dalam sajak yang menyebabkan terjadinya peralihan perhatian
pada kata akhir atau kata yang “diloncatkan” ke baris berikutnya. Pelocatan itu
menimbulkan intensitas arti atau makna liris.
Sedangkan contoh pada struktur enjambemen pada puisi Toto Sudarto Bachtiar
yaitu :
Dalam bait pertama :
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur sayang,
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata,kita sedang perang
Kita perhatikan baris kedua, diakhir baris kedua terdapat tanda ( , ) koma.
Tanda ini seakan-akan mempertegas dan memudahkan pembaca dalam memahami
pembacaanya. Tanda koma ini menekankan bahwa baris pertama dan kedua
terdapat hubungan isi, dapat dituliskan sepuluh tahun yang lalu dia terbaring/tetapi
bukan tidur sayang, sebuah lubang peluru bundar di dadanya. Dapat dipahami
pengarang meletakan tanda koma diakhir baris kedua agar pembaca dapat dengan
mudah menarik makna bahwa seorang pahlawan yang diceritakan dalam puisi ini
sudah meninggal. Pada baris keempat tanda koma terletak diantara dua klausa
“senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang”. Mempertegas bahwa seakan-
akan pahlawan yang sudah tiada tersebut ingin mengungkapkan perasaanya, kita
sedang perang.
Dalam bait kedua
Dia tidak ingat bilamana ia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk sapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tetapi bukan tidur sayang
Kita perhatikan pada baris keempat, tanda koma terletak diantara dua klausa
”kemudian dia terbaring, tetapi bukan tidur sayang”. Tanda ini juga bersifat
menekankan dan memperjelas bahwa pahlawan tersebut sudah meninggal. Terlebih
ada klausa yang diulang dari bait pertama baris kedua ke bait kedua baris keempat.
Unsur penekanan yang diwakili oleh tanda koma ini dimaksudkan oleh pengasrang
agar pembaca dapat memahami dengan mudah makna atau isi puisi ini, khususnya
bait pertama dan kedua.
Untuk lebih jelasnya mengenai enjambemen ini, perhatikan puisi Rendra
berikut :
Selain itu, untuk menegaskan peralihan dari satu kalimat ke kalimat yang
lainnya, dapat dilihat pada penggunaan tanda titik di akhir sebuah larik.
Penggunaan tanda titik ini menunjukkan penegasan akan sebuah kalimat yang
dipenggal menjadi beberapa larik untuk memberikan efek atau penekanan pada
kata-kata tertentu. Hal lain yang dapat mempertegas enjambemen puisi di atas
adalah penggunaan huruf kapital di awal kata. Huruf kapital ini digunakan pada
awal larik setelah larik yang emiliki tanda titik. Ini pun semakin memperjelas
keberadaan sebuah kalimat yang dipenggal, karena penggunaan huruf kapital
dalam bahasa Indonesia dapat dilakukan pada awal kalimat untuk menandakan
berakhirnya kalimat sebelumnya.