Anda di halaman 1dari 57

KELOMPOK 1

A. Pengertian Puisi

Puisi adalah sebuah imajinasi kata yang didapat dari sebuah kesadaran manusia
baik pengalaman atau gagasan yang disusun menggunakan pilihan kata tau bahasa
berirama dengan kualitas tambahan berupa estetikanya.

Puisi adalah kasusteraan yang paling tua. Sejak dahulu, berpuisi adalah cara
kuno dalam masyarakat, atau pada waktu tersebut di sebut mantra. Dalam
masyarakat Jawa terdapat tradisi nembang Jawa, lirik puisi yang dilagukan.
Biasanya, nembang didendangkan pada acara-acara sakral dan penting, seperti
acara mitoni, siraman, dan pesta desa lainnya.

Dalam puisi ada nsur-unsur yang harus diperhatikan seperti: kata, larik, bait,
bunyi dan maknanya.

B. Perkembangan Puisi Indonesia

Seiring perkembangannya, puisi dibedakan atas dua, yaitu: puisi lama dan puisi
baru. Yang dalam perkembangannya dikenal berbagai model yang
menggambarkan perkembangan struktur puisi tersebut.

Perkembangan puisi Indonesia, dimulai sejak abad ke-19 ketika Indonesia


mulai mengembangkan media cetak. Sejak tahun 1870-an, sudah ada surat kabar
yang memuat puisi dalam bahasa Melayu, yakni sura kabar Bianglala yang terbit di
Betawi. Perkenalan dengan budaya barat membuat penyair Indonesia
mempertimbangkan cara penulisan yang baru. Tapi pengaruh yang sangat kuat
pada tradisi lisan, menyebabkan bentuk sepeti pantun dan syair masih menjadi
pilihan yang penting.
Adanya pengaruh dari Barat membawa dampak besar bagi perkembangan puisi
di Indonesia. Adanya majalah Pujangga Baru, membongkr pemikiran bangsa yang
dianggap macet kala itu. Mereka meyakini, bahwa cara terbaik memajukan sastra
di Indonesia adalah dengan mencontoh gaya dari Barat.

Dalam buku berjudul Apresiasi Puisi, Herman J. Waluyo menyebutkan bahwa


ada tujuh periode perpuisian di Indonesia. Di antaranya: Puisi Lama, Puisi
Angkatan Pujangga Baru, Puisi Angkatan 45, Puisi Periode Tahun 1950-an, Puisi
Periode 1960-1980, Puisi Periode 1980-2000, Puisi Periode Tahun 2000 dan
Sesudahya.

1. Puisi Lama (Angkatan Balai Pustaka)

Ketika membicarakan tentang Puisi Lama-Angkatan 20-an-Balai Pustaka,


maka menurut Sawardi (1999: 25) nama Balai Pustaka merujuk pada dua
pengertian yaitu nama sebuah penerbit dan nama suatu angkatan sastra Indonesia.
Nama Balai Pustaka pada awalnya adalah Commissie voor de Inlandsche School-
en Volkslectuur atau Komisi Bacaan Rakyat yang merujuk pada nama penerbit
yang didirikan pada masa kolonial Pemerintahan Belanda pada 1908 dengan tujuan
untuk menyediakan bacaan bagi penduduk pribumi yang tamat bersekolah dengan
sistem pendidikan barat. Kemudian nama Balai Pustaka dapat pula merujuk pada
nama angkatan sastra Indonesia, karena pada masa itu kebanyakan buku-buku
sastra diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka, sehingga angkatan pada masa itu
disebut sebagai Angkatan Balai Pustaka. Tokoh-tokoh utama angkatan ini adalah
Muhammad Yamin (1903-1962), Rustam Effendi (1903-
1979), dan Sanoesi Pane (1905-1968).
Ciri-ciri puisi angkatan ini, di antaranya:
-Puisi masih mengadopsi bentuk mantra, syair, dan pantun
-Puisi masih terikat
-Puisi tidak memiliki sampiran

Sebagai suatu bahan telaahan, di bawah ini puisi karya Sanoesi Pane dengan judul
"Sajak" mengandung ciri yang telah saya sebutkan di atas:
Di mana harga karangan sajak,
Bukan dalam maksud isinya;
Dalam bentuk, kata nan rancak,
Dicari timbang dengan pilihannya.

Tanya pertama keluar di hati,


Setelah sajak di baca tamat,
Sehingga mana tersebut sakti,
Mengikat diri di dalam hikmat.

Rasa pujangga waktu menyusun,


Kata yang datang berduyunduyun
Dari dalam, bukan nan dicari.

Harus kembali dalam pembaca,


Sebagai bayang di muka kaca,
Harus bergoncang hati nurani.

Pada puisi di atas, terlihat jelas sekali penggunaannya, menggunakan corak yang
sama seperti pantun, memiliki sajak a-b-a-b. Sanoesi Pane selaku
penyairnya menggunakan sajak k-a-k-a.
2.        Puisi Angkatan Pujangga Baru (1930-1942)

Angkatan ini biasa disebut juga Angkatan 30-an atau Angkatan 33. Beberapa
penyair angkatan ini adalah Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1986) dengan
karyanya Kumpulan Puisi Tebaran Mega; Amir Hamzah (1911-1946) dengan
karyanya Kumpulan Puisi Nyanyian Sunyi dan Buah Rindu; dan Armijn Pane 
(1908-1970) dengan karyanya Kumpulan Puisi Jiwa Berjiwa. Angkatan ini dimulai
dengan terbitnya majalah Pujangga Baru pada Mei 1933. Majalah ini kemudian
menjadi penyambung lidah para penyair pada masa itu.  Hal yang perlu diingat
adalah kehadiran Angkatan Pujangga Baru ini tidak lepas dari pengaruh para
pujangga Belanda Angkatan 1880 (De Tachtigers). Hal ini bisa kita ketahui karena
memang pada masa angkatan ini banyak pemuda yang berpendidikan barat.
Mereka tidak hanya mengenal, mempelajari, namun bahkan mendalami
ilmu kesusastraan Belanda.

Ciri-ciri puisi Angkatan Pujangga Baru, di antaranya:

1. Pola menyimpang dari bentuk puisi lama


2. Adanya pemakaian sanjak tak sempurna (oleh Sanoesi Pane)
3. Pemakaian aliterasi (oleh Rustam Effendi)
4. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia modern
5. Tema yang disuguhkan bersifat kompleks
6. Aliran yang dianut adalah romantik idealisme
7. Menggunakan jenis puisi bebas yang mementingkan keindahanan bahasa

Sebagai contoh, mari kita tilik puisi karya Sutan Takdir Alisjahbana di bawah ini:
AKU DAN TUHANKU

Tuhan, Kau lahirkan aku tak pernah kuminta


Dan aku tahu, sebelum aku Kau ciptakan
Berjuta tahun, tak berhingga lamanya
Engkau terus menerus mencipta berbagai ragam
Tuhan, pantaskah Engkau memberikan hidup sesingkat ini
Dari berjuta-juta tahun kemahakayaan-Mu
Setetes air dalam samudra tak bertepi
Alangkah kikirnya Engkau, dengan kemahakayaan-Mu
Dan Tuhanku, dalam hatikulah Engkau perkasa bersemayam
Bersyukur sepenuhnya akan kekayaan kemungkinan
Terus menerus limpah ruah Engkau curahkan
Meski kuinsyaf, kekecilan dekat dan kedaifanku
Di bawah kemahakuasaan-Mu, dalam kemahaluasan kerajaan-Mu
Dengan tenaga imajinasi Engkau limpahkan
Aku dapat mengikuti dan meniru permainan-Mu
Girang berkhayal dan mencipta berbagai ragam
Terpesona sendiri menikmati keindahan ciptaanku
Aahh, Tuhan
Dalam kepenuhan terliput kecerahan sinar cahaya-Mu
Menyerah kepada kebesaran dan kemuliaan kasih-mu
Aku, akan memakai kesanggupan dan kemungkinan
Sebanyak dan seluas itu Kau limpahkan kepadaku
Jauh mengatasi mahluk lain Kau ciptakan
Sebagai khalifah yang penuh menerima sinar cahaya-Mu
Dalam kemahaluasan kerajaan-Mu
Tak adalah pilihan, dari bersyukur dan bahagia, bekerja dan mencipta
Dengan kecerahan kesadaran dan kepenuhan jiwa
Tidak tanggung tidak alang kepalang
Ya Allah Ya Rabbi
Sekelumit hidup yang Engkau hadiahkan
dalam kebesaran dan kedalaman kasih-Mu, tiada berwatas
akan kukembangkan, semarak, semekar-mekarnya
sampai saat terakhir nafasku Kau relakan
Ketika Engkau memanggilku kembali kehadirat-Mu
Ke dalam kegaiban rahasia keabadian-Mu
Dimana aku menyerah tulus sepenuh hati
Kepada keagungan kekudusan-Mu,
Cahaya segala cahaya

Pada puisi di atas, dapat kita lihat bahwa Sutan Takdir Alisjahbana sudah
tidak menggunakan pola pantun atau syair. Ia menyuguhkan tema yang cukup
kompleks tentang ke-Tuhan-an.
1. Angkatan 45 (1942-1953)

Singkatnya, Angkatan 45 ini muncul sebagai akibat perubahan politik yang


mendadak yaitu dari pendudukan Belanda berpindah ke pendudukan Jepang. Pada
saat itu, para sastrawan tidak sekadar berjuang secara fisik untuk menuntut revolusi
kemerdekaan, namun juga berpikir untuk menentukan orientasi bangunan budaya
bangsa ke depannya. Hal lain yang turut mendorong lahirnya angkatan ini adalah
adanya perasaan tidak suka pada Angkatan Pujangga Baru yang karya-karya
sastranya sangat condong ke Barat. Mereka dianggap telah mengkhianati identitas
bangsa sendiri. Nama Angkatan 45 untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh
Rosihan Anwar pada lembar kebudayaan “Gelanggang”. Mungkin karena Chairil
dan teman-temannya menandatangani surat Kepercayaan Gelanggang. Nama ini
pun disepakati kalangan sastrawan sebagai nama angkatan pada masa itu. 
Beberapa pujangga Angkatan 45 adalah Chairil Anwar (1922-1949) dengan karya
fenomenalnya “Aku”. Menurut Prof. Sapardi Djoko Damono, Chairil dianggap
menjadi pelopor masa Angkatan 45, oleh karenanya beberapa sajaknya dikenal
oleh siapa pun yang pernah duduk di bangku sekolah menengah (Chairil Anwar,
2003: 99). Kemudian tokoh-tokoh lainnya: Asrul Sani dengan karya puisinya yang
terkenal, “Surat dari Ibu”, Sitor Situmorang dengan salah satu karya puisinya,
“Surat Kertas Hijau”, dan Waluyati dengan salah satu karya puisinya, “Berpisah”.

Ciri-ciri puisi Angkatan 45 adalah:

1. Menggunakan bahasa Indonesia baru, bahasa Indonesia yang tidak


terpengaruh bahasa Belanda maupun Melayu
2. Mementingkan isi daripada bentuk
3. Lebih bebas dari permainan rima atau pun bunyi yang melekat pada puisi
angkatan sebelumnya
4. Menggunakan bahasa yang ekspresif, meledak-ledak, dan penuh vitalitas
5. Menggunakan ungkapan-ungkapan yang pendek

Sebagai contoh, dapat kita baca puisi Chairil Anwar, tokoh sentral Angkatan
45, di bawah ini:
AKU

Kalau sampai waktuku


‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri   
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Pada puisi di atas, dapat kita ketahui pada larik 7 dan 8 bait pertama bahwa Chairil
menunjukkan semangat revolusi kemerdekaan. Pun juga, Chairil menonjolkan sisi
individualismenya dengan penggunaan kata aku yang menjadi identitas sudut
pandang orang pertama.

4.  Puisi-Puisi Periode 1950-an

Periode ini disebut sebagai periode romantik atau kembali ke alam. Adalah
W.S. Rendra dan Ramadhan K.H. tokoh utama periode angkatan ini. Mereka
banyak menciptakan puisi-puisi yang bersifat romantik. Oleh sebab itu, Prof. Dr.
A. Teeuw (1978) menyebut periode ini kembali kepada sifat romantik dan alam.
Puisi-puisi romantik telah ditulis pada Periode Angkatan Pujangga Baru (Waluyo,
2002: 79-80). Periode ini sangat dipengaruhi oleh penyair Spanyol Frederico
Garcia Lorca yang dibawa oleh Ramadhan K.H. Bahkan sangat terlihat sekali
pengaruhnya pada kumpulan puisi Ramadhan K.H. yang berjudul Priangan Si
Jelita, sebuah puisi yang mendendangkan alam Priangan. Rendra sangat
mengagumi Lorca. Bahkan ia mengidentikan penulisan namanya dengan sama
seperti F.G. Lorca. Rendra yang berenama asli Willibrordus Surendra menyingkat
namanya menjadi W.S. Rendra. Dalam kepenyairannya, Rendra menorehkan
penanya untuk salah satu kumpulan puisinya berjudul Blues Untuk Bonnie (1971).
Selain Ramadhan K.H. dan W.S. Rendra, penyair-penyair lainnya yang turut
mewarnai puisi Periode Angkatan 1950-an ini antara lain: Ajip Rosidi dengan
kumpulan puisinya, Sajak-sajak Anak Matahari (1979), Subagyo Sastrowardoyo
dengan salah satu karya kumpulan puisinya, Daerah Perbatasan (1970), Toeti
Heraty Noerhadi dengan salah satu kumpulan puisinya, Sajak-Sajak 33 (1973),
Wing Karjo dengan kumpulan puisinya, Selembar Daun (1974), Toto Soedarto
Bachtiar dengan kumpulan puisinya, Suara (1956), Racmat Djoko Pradopo dengan
kumpulan puisinya, Matahari Pagi Tanah Air (1965), dan Soeparwoto
Wiraatmadja dengan kumpulan puisinya, Kidung Keramahan (1963).

Ciri-ciri karya puisi Periode Angkatan 1950-an adalah:

1. Bersifat romantik
2. Banyak yang bergaya naratif (yang terkenal adalah balada)
3. Mengambil tema kemiskinan dan protes sosial
4. Menampaknya corak kedaerahan

Untuk dapat melihat lebih jelas ciri-ciri puisi Periode Angkatan 1950-an,
mari kita perhatikan puisi karya W.S. Rendra di bawah ini:

SAJAK SEORANG TUA TENTANG BANDUNG LAUTAN API

Bagaimana mungkin kita bernegara


Bila tidak mampu mempertahankan wilayahnya
Bagaimana mungkin kita berbangsa
Bila tidak mampu mempertahankan kepastian hidup
bersama?
Itulah sebabnya
Kami tidak ikhlas
menyerahkan Bandung kepada tentara Inggris
dan akhirnya kami bumi hanguskan kota tercinta itu
sehingga menjadi lautan api
Kini batinku kembali mengenang
udara panas yang bergetar dan menggelombang,
bau asap, bau keringat
suara ledakan dipantulkan mega yang jingga, dan kaki
langit berwarna kesumba
Kami berlaga
memperjuangkan kelayakan hidup umat manusia.
Kedaulatan hidup bersama adalah sumber keadilan merata
yang bisa dialami dengan nyata
Mana mungkin itu bisa terjadi
di dalam penindasan dan penjajahan
Manusia mana
Akan membiarkan keturunannya hidup
tanpa jaminan kepastian?
Hidup yang disyukuri adalah hidup yang diolah
Hidup yang diperkembangkan
dan hidup yang dipertahankan
Itulah sebabnya kami melawan penindasan
Kota Bandung berkobar menyala-nyala tapi kedaulatan
bangsa tetap terjaga
Kini aku sudah tua
Aku terjaga dari tidurku
di tengah malam di pegunungan
Bau apakah yang tercium olehku?
Apakah ini bau asam medan laga tempo dulu
yang dibawa oleh mimpi kepadaku?
Ataukah ini bau limbah pencemaran?
Gemuruh apakah yang aku dengar ini?
Apakah ini deru perjuangan masa silam
di tanah periangan?
Ataukah gaduh hidup yang rusuh
karena dikhianati dewa keadilan.
Aku terkesiap. Sukmaku gagap. Apakah aku
dibangunkan oleh mimpi?
Apakah aku tersentak
Oleh satu isyarat kehidupan?
Di dalam kesunyian malam
Aku menyeru-nyeru kamu, putera-puteriku!
Apakah yang terjadi?
Darah teman-temanku
Telah tumpah di Sukakarsa
Di Dayeuh Kolot
Di Kiara Condong
Di setiap jejak medan laga. Kini
Kami tersentak,
Terbangun bersama.
Putera-puteriku, apakah yang terjadi?
Apakah kamu bisa menjawab pertanyaan kami?
Wahai teman-teman seperjuanganku yang dulu,
Apakah kita masih sama-sama setia
Membela keadilan hidup bersama
Manusia dari setiap angkatan bangsa
Akan mengalami saat tiba-tiba terjaga
Tersentak dalam kesendirian malam yang sunyi
Dan menghadapi pertanyaan jaman :
Apakah yang terjadi?
Apakah yang telah kamu lakukan?
Apakah yang sedang kamu lakukan?
Dan, ya, hidup kita yang fana akan mempunyai makna
Dari jawaban yang kita berikan.
Pada puisi di atas, salah satu ciri yang paling menonjol adalah banyaknya repetisi
kata seperti bagaimana, kami, di-, hidup, dan lain-lain. Tema puisi yang
dibawakannya adalah tema sosial.

5. Puisi Periode 1960-1980

Tahun 1960-an adalah masa yang sangat produktif bagi perpuisian


Indonesia. Bahkan pernah berjaya pada tahun 1963-1965 penyair-penyair anggota
Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah lembaga yang didirikan Partai
Komunis Indonesia/PKI. Puisi periode angkatan ini lazim disebut sebagai puisi
Angkatan 66 (Waluyo, 2002: 107). Menurut H.B. Jassin, para pelopor angkatan ini
adalah para penyair demonstran seperti Taufiq Ismail dengan salah satu kumpulan
puisinya Tirani (19166), Goenawan Mohamad dengan salah satu kumpulan
puisinya Parikesit (1972). Selain itu, penyair lain yang tergolong angkatan ini
adalah Sapardi Djoko Damono dengan salah satu kumpulan puisinya Ayat-ayat Api
(2000), Hartoyo Andangjaya dengan salah satu kumpulan puisinya Simponi Puisi
(bersama D.S. Moeljanto, 1954), Sutardji Calzoum Bachri dengan salah satu
kumpulan puisinya O, Amuk, Kapak (1981), Abdul Hadi W.M. dengan salah satu
kumpulan puisinya Riwayat (1967), Yudistira Adinugraha Massardi dengan salah
satu kumpulan puisinya Omong Kosong (1978), Apip Mustopa dengan salah satu
kumpulan puisinya dimuat di antologi sastra karya Ajip Rosidi Laut Biru Langit
Biru (1977), Piek Ardiyanto Supriyadi dengan salah satu kumpulan puisinya
Biarkan Angin Itu (1996), Linus Suryadi Ag dengan salah satu kumpulan puisinya
Langit Kelabu (1976), dan D. Zawawi Imron dengan salah satu kumpulan puisinya
Nenek Moyangku Air Mata (1990).

Ciri-ciri puisi Angkatan 66 adalah:

1. Puisi-puisi bersifat filosofis


2. Adanya rintisan baru pada puisi, yaitu puisi mantra dan konkret yang
dipopulerkan oleh Sutardji Calzoum Bachri
3. Bersifat naturalis, realis, dan eksistensialis.

Sebagai cerminan karakteristik puisi Periode Angkatan 66, mari kita baca
puisi Benteng karya Taufiq Ismail di bawah ini:

BENTENG

Sesudah siang panas yang meletihkan


Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas
Dan kita kembali ke kampus ini berlindung
Bersandar dan berbaring, ada yang merenung

Di lantai bungkus nasi bertebaran


Dari para dermawan tidak dikenal
Kulit duku dan pecahan kulit rambutan
Lewatlah di samping Kontingen Bandung
Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana
Semuanya kumal, semuanya tak bicara
Tapi kita tidak akan terpatahkan
Oleh seribu senjata dan seribu tiran

Tak sempat lagi kita pikirkan


Keperluan-keperluan kecil seharian
Studi, kamar-tumpangan dan percintaan
Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam
Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam.

1966

Pada puisi di atas, terlihat jelas sekali bagaimana Taufiq Ismail


mendeskripsikan realitas yang ia rasakan pada saat ia membuat puisinya.

6.  Puisi Periode 1980-2000

Pada periode ini, penyair besar seperti Rendra, Sapardi Djoko Damono,
Sutardji Calzoum Bachri, dan Linus Suryadi Ag masih produktif mencipta puisi.
Namun, bukan lagi mereka yang kita akan bicarakan di sini. Adalah para penyair
yang muncul dan mulai produktif sejak tahun 1980-an yang akan kita bicarakan di
sini. Pada periode ini, para penyairnya tidak ada yang menjadi besar. Kebanyakan
dari mereka mengiblatkan gaya puisi mereka pada penyair-penyair besar angkatan
sebelumnya (Waluyo, 2002: 140). Beberapa penyair pada angkatan ini diantaranya
Hamid Jabbar dengan salah satu kumpulan puisinya Dua Warna (bersama Upita
Agustine, 1975), Emha Ainun Nadjib dengan salah satu kumpulan puisinya 99
Untuk Tuhanku (1983), Agnes Sri Hartini Arswendo dengan salah satu karya
puisinya Sajak di Sembarang Kampung, F. Rahardi dengan salah satu kumpulan
puisinya Soempah WTS (1983), Rita Oetoro dengan salah satu kumpulan puisinya
Dari Sebuah Album (1986), Dorothea Rosa Herliany dengan salah satu kumpulan
puisinya Nyanyian Gaduh (1987), Eka Budianata dengan salah satu kumpulan
puisinya Ada (1976), Acep Zamzam Noor dengan salah satu kumpulan puisinya
Tamparlah Mukaku (1982), dan K.H. A. Mustofa Bisri dengan
salah satu kumpulan puisinya Pahlawan dan Tikus (1995).

Ciri-ciri puisi Periode 1980-2000 adalah:

1. Puisinya banyak ditulis dengan gaya mantra dan konkret


2. Mengungkapkan kritik sosial dengan keras
3. Tema keagamaan mulai dimasukkan pada periode ini
4. Bermunculan eksperimen-eksperimen baru seperti yang dilakukan
Dorothe dengan menggunakan ungkapan-ungkapan yang tajam dan
cerdas. Sementara itu, Rita Oetoro membawa puisi lembut dengan gaya
konvensional.

Agar lebih mengenal karakteristik puisi Periode 1980-2000, mari kita


perhatikan puisi karya K.H. A. Mustofa Bisri di bawah ini:
NEGERIKU
(Pahlawan dan Tikus, 1995)

Jika kita cermati, jelas sekali terlihat kritik sosial yang K.H. A. Mustofa Bisri
bawakan pada puisi di atas. Sebuah kritik ironisme antara pahlawan dan koruptor.
7. Puisi Periode Tahun 2000 dan Sesudahnya

Korrie Layun Rampan melalui bukunya mengumumkan adanya Angkatan


2000. Di dalam bukunya ia membahas para pengarang prosa, penyair, dan
beberapa kritikus dan penelaah sastra yang relatif masih muda. Diantaranya adalah
Afrizal Malna dengan salah satu kumpulan puisinya Abad yang Berlari (1984),
Sitok Srengenge dengan salah satu kumpulan puisinya Nonsens, Joko Pinurbo
dengan salah satu kumpulan puisinya Sembilu (1991), Omi Intan Naomi dengan
salah satu kumpulan puisinya Aku Ingin (1987), dan Wiji Thukul dengan salah satu
kumpulan puisinya Aku Ingin Jadi Peluru (2000). Menurut penulis makalah
sendiri, agak sulit untuk menentukan siapa yang menjadi tokoh sentral puisi
periode ini tidak hanya satu dua penyair yang menjadi sangat populer seperti
Afrizal Malna dan Joko Pinurbo.

Ciri-ciri puisi Periode 2000 dan Sesudahnya adalah:

1. Menggunakan bahasa sehari-hari


2. Wajah puisi bebas aturan
3. Penggunaan antropomorfisme
4. Menampilkan puisi-puisi profetik (puisi-puisi keagamaan atau religius)
5. Penggunaan citra alam, benda, dan lain-lain.
Mari kita perhatikan puisi karya Afrizal Malna di bawah ini guna melihat
karakteristik puisi Periode 2000 dan Sesudahnya.

ABAD YANG BERLARI

(Abad yang Berlari, 1984)

Pada puisi di atas, jelas sekali terlihat bagaimana Afrizal Malna menyampaikan
pesannya lewat citraan palu. Dapat kita lihat juga bahwa wajah
puisinya tidak terikat aturan.

KELOMPOK II

beberapa ciri-ciri puisi yang harus diketahui


a. Ciri-ciri Puisi Lama:
1) Anonim (pengarangnya tidak diketahui)
2) Terikat jumlah baris, rima, dan irama
3) Merupakan kesusastraan lisan
4) Gaya bahasanya statis (tetap) dan klise
5) Isinya fantastis dan istanasentris
6) Merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya.
7) Disampaikan dari mulut ke mulut, jadi merupakan sastra lisan.
8) Sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah bari tiap bait, jumlah suku
kata maupun irama.
b. Ciri-ciri Puisi Baru:
1) Pengarangnya diketahui
2) Tidak terikat jumlah baris, rima, dan irama
3) Berkembang secara lisan dan tertulis
4) Gaya bahasanya dinamis (berubah-ubah)
5) Isinya tentang kehidupan pada umumnya.
6) Bentuknya rapih dan simetris
7) Mempunyai persajakan akhir yang teratur.
8) Banyak mempergunakan pola sajak pantun dan syair meskipun ada pola
yang lain.
9) Sebagian besar puisi 4 seuntai.
10) Tiap-tiap barisnya atas sebuah gastra.
11) Tiap gatranya terdiri atas 2 kata. Sebagian besar setiap kata
menggunakan 4-5 suku kata.
B. Jenis-Jenis puisi
1. Puisi lama:
a. Mantra: Berisi ucapan-ucapan yang dipercaya memiliki kekuatan gaib.
b. Pantun: Puisi yang bersajak a-b-a-b, tiap bait terdiri dari 4 baris, tiap
baris terdiri dari 8-12 suku kata, 2 (1-2) baris awal adalah sampiran, 2 (3-
4) baris berikutnya sebagai isi

2. Jenis-jenis puisi baru menurut :


a. Isinya:
1. Balada: berisi cerita.
2. Himne: berisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan.
3. Ode: Puisi sanjungan untuk orang yang berjasa.
4. Epigram: berisi tuntunan/ ajaran hidup.
5. Romansa: berisi luapan perasaan cinta kasih.
6. Elegi: berisi perasaan kesedihan.
7. Satire: berisi sindiran/kritik.
b. Bentuknya:
1. Distikon: Tiap baitnya terdiri 2 baris (2 seuntai)
2. Terzina: Tiap baitnya terdiri 3 baris (3 seuntai)
3. Kuatrain: Tiap baitnya terdiri 4 baris (4 seuntai)
4. Kuint: Tiap baitnya terdiri 5 baris (5 seuntai)
5. Sektet: Tiap baitnya terdiri 6 baris (6 seuntai)
6. Septime: Tiap baitnya terdiri 7 baris (7 seuntai)
7. Okatf/Stanza: Tiap baitnya terdiri 8 baris (8 seuntai)
8. Soneta: Puisi yang terdiri dari 14 baris yang terbagi 2

KELOMPOK III

PEMBAHASAN

A. Hakikat Puisi

Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani, yaitu pocima yang

berarti membuat atau poeisis yang berarti pembuatan, dan dalam bahasa Inggris

disebut poem atau poetry. Puisi diartikan ‘membuat’ dan ‘pembuatan’, karena

lewat puisi pada dasarnya seorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri,

yang mungkin berisi pesan, atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik

maupun batiniah.

Berikut hakikat puisi menurut para ahli:


1. Dalam Aminuddin (2002), Hudson mengungkapkan bahwa puisi adalah

salah  satu  cabang  sastra  yang menggunakan  kata-kata  sebagai  media

penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi. Penggunaan kata-kata

dalam puisi, tentu saja bersifat kiasan. Anggapan lain mengenai puisi adalah

bahwa puisi merupakan pengungkapan perasaan.

2. Wordsworth (dalam Pradopo, 1995:6) mengemukakan bahwa puisi adalah

pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau

diangankan.

3. Dalam buku “Pengkajian Puisi”, Rachmat Djoko Pradopo menerangkan

bahwa hakikat puisi bukan terletak pada bentuk formalnya meskipun bentuk

formal itu penting. Hakikat puisi ialah apa yang menyebabkan puisi itu

disebut puisi. Puisi baru (modern) tidak terikat pada bentuk formal, tetapi

disebut puisi juga. Hal ini disebabkan di dalam puisi modern terkandung

hakikat puisi ini, yang tidak berupa sajak (persamaan bunyi), jumlah baris,

ataupun jumlah kata pada tiap barisnya.

Dari hakikat puisi di atas, Rachmat Djoko Pradopo membagi ke dalam tiga

aspek yang perlu diperhatikan untuk mengerti hakikat puisi itu. Pertama sifat

seni atau fungsi seni, kedua kepadatan, dan ketiga ekspresi tidak langsung.

a) Hakikat Puisi yang Kesatu: Fungsi Estetik


Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra. Rene Wellek dan Warren

mengemukakan bahwa paling baik kita memandang kesusastraan sebagai karya

yang fungsi estetiknya dominan, yaitu fungsi seninya berkuasa. Tanpa fungsi

seni itu karya kebahasaan tidak dapat disebut karya (seni) sastra, sementara itu

kita dapat mengenal adanya unsur–unsur estetik (keindahan) misalnya gaya

bahasa dan komposisi puisi sebagai karya sastra, maka fungsi estetiknya

dominan dan di dalamnya ada unsur–unsur estetiknya. Unsur–unsur keindahan

ini merupakan unsur–unsur kepuitisannya, misalnya persajakannya, diksi

(pilhan kata), irama, dan gaya bahasanya. Gaya bahasa meliputi semua

penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu, yaitu efek

estetiknya atau aspek kepuitisannya. Jenis–jenis gaya bahasa itu meliputi semua

aspek bahasa, yaitu bunyi, kata, kalimat, dan wacana yang dipergunakan secara

khusus untuk mendapatkan efek tertentu itu. Semua ini merupakan aspek

estetika atau aspek keindahan puisi.

b) Hakikat Puisi yang Kedua: Kepadatan

Membuat sajak itu merupakan aktivitas pemadatan. Dalam puisi tidak semua

peristiwa itu diceritakan, yang dikemukakan dalam puisi itu hanyalah inti

masalah, peristiwa, atau inti cerita, yang dikemukakan dalam puisi adalah

esensi sesuatu. Jadi, puisi itu merupakan ekspresi esensi puisi karena puisi itu
mampat dan padat, maka penyair memilih kata dengan akurat. Untuk

pemadatan ini, kadang–kadang kata–kata yang diambil inti dasarnya. Imbuhan,

awalan, dan akhiran sering dihilangkan.

c) Hakikat Puisi yang Ketiga: Ekspresi yang tidak Langsung

Kiasan merupakan salah satu ekspresi atau pengucapan tidak langsung.

Dikemukakan oleh Rifatere bahwa, dari waktu ke waktu puisi itu selalu

berubah. Perubahan itu disebabkan oleh evolusi selera dan perubahan konsep

estetik. Akan tetapi, satu hal yang tidak berubah, yaitu puisi itu mengucapkan

sesuatu itu secara tidak langsung. Ucapan tidak langsung itu ialah menyatakan

sesuatu hal dengan arti yang lain.

Berdasarkan hakikat puisi menurut para ahli, dapat disimpulkan bahwa

hakikat puisi yaitu salah satu bentuk karya sastra yang bahasanya terikat oleh

irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.

B. Batasan-Batasan Puisi

1. Cleve Samson (dalam Sayuti, 1985: 27) memberikan batasan puisi

sebagai bentuk kata-kata yang ritmis, yang mengungkapkan pengalaman

imajinatif, emosional, dan intelektual penyairnya.

2. Sayuti (1985: 12) memberikan batasan bahwa puisi merupakan hasil

kreativitas manusia yang diwujudkan lewat susunan kata yang

mempunyai makna. Lebih lanjut Sayuti (1985: 16) menerangkan bahwa


kata-kata yang disusun menjadi baris-baris dengan bentuknya yang khas

baru dapat disebut sebagai puisi. Bentuk khas itu muncul dalam pola

ritma, rima, baris, bait, dan seterusnya yang merupakan unsur formal

puisi. Di samping unsur formal, terdapat unsur kualitas yang

menyebabkan bentuk-bentuk yang khas itu menjadi lebih bermakna,

berupa tema, ide, amanat, maupun pengalaman penyair yang

diintensifkan dan dikonsentrasikan.

Berdasarkan pandangan mernurut para ahli, dapat disimpulkan bahwa

batasan-batasan puisi yakni bentuk pengungkapan perasaan yang dituangkan

dalam kata-kata baik secara lisan maupun tulisan untuk menghasilkan ilusi

dan imajinasi tanpa mengabaikan unsur-unsur yang membangun puisi

tersebut.

KELOMPOK IV
STRUKTUR PUISI I

1. Bunyi
Menurut Pradopo (2007:22-37) bunyi dalam sebuah puisi bersifat estetik,
unsur puisi yang bertugas untuk memberikan keindahan dan tenaga ekspresif.
Bunyi tidak hanya berfungsi sebagai hiasan dalam sebuah puisi, juga
mempunyai peranan yang lebih penting, yaitu untuk memperdalam ucapan,
menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, atau
menimbulkan suasana yang khusus. Selain itu, bunyi pada puisi juga
digunakan sebagai orkestrasi untuk menimbulkan bunyi musik. Bunyi
konsonan dan bunyi vokal disusun begitu rupa sehingga menimbulkan bunyi
yang merdu dan berirama seperti bunyi musik, dari bunyi musik murni ini
dapatlah mengalir perasaan, imaji-imaji dalam pikiran, atau pengalaman-
pengalaman jiwa pendengarnya (pembacanya).
Kombinasi-kombinasi bunyi yang merdu itu biasanya disebut efoni
(euphony), atau bunyi yang indah. Orkestrasi bunyi yang merdu ini biasanya
dipergunakan untuk menggambarkan perasaan mesra, kasih sayang atau cinta,
serta hal-hal yang menggembirakan. Misalnya terlihat pada sajak Soeparwoto
Wiraatmadja berikut ini.

SENANDUNG NATAL

(Kidung Keramahan, 1963; Apresiasi Puisi, 2005)

Bagi umat Kristen, malam Natal adalah malam bahagia untuk merayakan
kelahiran Yesus Kristus Sang Penebus. Penyair mengajak kekasihnya
merayakan malam Natal dengan ziarah ke gereja suci. Kerinduan akan
kehadiran Sang Penebus begitu dalam menikam pengembaraan di dalam
perlawatan. Hal ini tampak pada bunyi-bunyi yang dimunculkan penyair
dengan bunyi vokal i pada kata ziarah dan suci, kesyahduan rindu yang dalam
digambarkan dengan bunyi vokal a berkombinasi dengan bunyi konsonan m
dan n pada kata pengembaraan  dan perlawatan. Di setiap malam Natal akan
terdengar lagu malam sunyi. Di malam yang gelap dini / digetar nyanyi itu,
penyair mengajak kekasihnya membuka diri agar Kristus masuk ke hati
sanubari manusia.
Selain bunyi-bunyi merdu, dalam sebuah puisi juga dapat ditemukan
kombinasi-kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau disebut kakafoni
(cacophony). Seperti pada sajak Hamid Jabbar berikut ini.

AROMA MAUT

(Wajah Kita, 1981; Apresiasi Puisi, 2005)

Puisi di atas menceritakan bahwa jarak antara hidup dan mati dilambangkan
dengan barangkali satu denyut lepas. Penyair membayangkan kematian itu
begitu pasti kedatangannya, tiap manusia yang hidup di dunia suatu saat akan
menghadapi kematian. Perpaduan bunyi yang terdapat pada larik-larik dalam
puisi “Aroma Maut” lebih dominan memperdengarkan bunyi-bunyi konsonan
tak bersuara yang mengesankan bunyi-bunyi kakafoni, seperti adanya bunyi p,
s, t, dan k. Sehingga sebagian besar bunyi-bunyi yang terdengar begitu parau
dan sangat tidak merdu. Hal ini sangat mendukung tema puisi yang
menggambarkan kematian sebagai suatu yang tidak menyenangkan untuk
sebagian besar orang yang hidup di dunia.
Begitulah, unsur bunyi musik dapat untuk memperdalam arti, memperjelas
tanggapan, dan memperdalam perasaan. Menurut Slametmuljana dalam puisi
bunyi kata itu di samping tugasnya yang pertama sebagai simbol arti dan juga
untuk orkestrasi, digunakan juga sebagai peniru bunyi atau onomatope,
lambang suara (klanksymboliek), dan kiasan suara (klankmetaphoor) (Pradopo,
2007:32). Bunyi-bunyi juga mempunyai suatu simbolik sehingga dengan
bunyi-bunyi dapat diciptakan suasana, perasaan, dan kesan tertentu
(Luxemburg, 1992:193). Asosiasi pribadi turut memainkan peranan dalam
penafsiran. Sehingga terjadi onomatope bila suatu bunyi tertentu ditiru, seperti
‘ngiau’, ‘ngeong’, ‘dorr’, ‘crott’, dan lain sebagainya. Jadi Wellek dan Warren
(1995:200) menyimpulkan bahwa onomatope yakni kelompok kata yang agak
menyimpang dari sistem bunyi bahasa pada umumnya. Onomatope disebut
juga dengan peniruan bunyi. Peniru bunyi dalam puisi kebanyakan hanya
memberikan saran tentang suara sebenarnya. Onomatope menimbulkan
tanggapan yang jelas dari kata-kata yang tidak menunjukkan adanya hubungan
dengan hal yang ditunjuk, sebab dalam puisi diperlukan kejelasan. Seperti
peniruan suara tangis manusia yang diasosiasikan menjadi bunyi angin pada
penggalan sajak “Tuhan Telah Menegurmu” karya Apip Mustopa berikut ini.

TUHAN TELAH MENEGURMU

(Laut Biru Langit Biru, 1977; Apresiasi Puisi, 2005)

2. Aspek Puitik
Menulis puisi harus lahir dari pengalaman puitik, yaitu suatu
dorongan/desakan dari dalam jiwa penulis karena mengalami suatu
pengalaman yang kental (intens). Puisi yang tidak lahir dari pengalaman ini,
hanya akan berhenti sebagai versifikasi (keterampilan menulis puisi). Puisi
seperti ini akan terasa kering, tanpa ruh, tanpa greget, tanpa gairah, tanpa api.
Ungkapan-ungkapan yang muncul dalam puisi hendaknya lahir dari
pengalaman puitik ini, bukan sekadar mengotak-atik unsur-unsur bahasa secara
artifisial. Setiap orang bisa mendapatkan dan mengalami pengalaman puitik.
Caranya adalah selalu menyiapkan diri dan membuka jiwa kita, baik panca
indera, perasaan, imajinasi, maupun pikiran untuk menangkap berbagai hal di
sekitar, di dalam diri dan dalam kehidupan.
Atmazaki (1993 : 70-83) menjelaskan pendapatnya yang menjelaskan bahwa
sekurang-kurangnya ada tiga alasan yang memungkinkan pelanggaran terhadap
kaidah bahasa dalam puisi. Pertama karena penyair ingin menyampaikan
pengalaman puitiknya. Kedua karena adanya pemadatan bahasa dengan
menghilangkan berbagai unsur yang dianggap penyair dapat mengganggu
pengucapan puitik. Ketiga karena kepiawaian penyair sendiri. Sedangkan
Leech dalam Waluyo (1987 : 68) menyebutkan adanya sembilan jenis
penyimpangan bahasa yang sering dijumpai dalam puisi. Tidak setiap puisi
memiliki sembilan aspek penyimpangan itu, tetapi hanya memiliki salah satu
atau beberapa aspek penyimpangan yang dominan. Aspek-aspek
penyimpangan tersebut antara lain:
1. Penyimpangan Leksikal
Kata-kata yang digunakan dalam puisi menyipang dari kata-kata yang
kita pergunakan sehari-hari. Penyair memilih kata-kata yang sesuai 25
dengan pengucapan jiwanya atau kata-kata itu disesuaikan dengan
tuntunan estetis.
2. Penyimpangan Semantis
Makna dalam puisi tidak menunjukkan dalam satu makna, namun
menunjuk pada makna ganda. Maka kata-kata dalam puisi tidak selalu
sama dengan makna dalam bahasa sehari-hari juga tidak ada kesatuan
makna konotatif dari penyair satu dengan penyair lainnya.
3. Penyimpangan Fonologis
Untuk kepentingan rima, penyair sering melakukan penyimpangan
bunyi. Misalnya, kata ‘perih’ dalam puisi berubah menjadi ‘peri’, kata
‘melayang’ berubah menjadi ‘melayah’, dan sebagainya.
4. Penyimpangan Morfologis
Penyair sering melanggar kaidah morfologis dengan sengaja. Biasanya
kata-kata yang digunakan penyair dalam puisinya tidak baku.
5. Penyimpangan Sintaksis
Dalam pembuatan puisi, penyair sering melalaikan penggunaan huruf
besar pada permulaan kalimatnya dan tanda titik untuk mengakhiri
kalimat itu. Sering pula pembaca menjadi sulit mencari kesatuan
manakah yang dapat disebut sebagai satu kalimat dalam puisi. Baris-26
baris puisi tidak harus membangun kalimat karena makna yang
dikemukakan mungkin jauh lebih luas dari satu kalimat tersebut.
6. Penyimpangan dalam penggunaan Dialek
Penyair ingin mengungkapkan isi hatinya secara tuntas. Pengucapan isi
hati dalam bahasa nasional di sutatu negara dirasa belum mewakili
ketuntasan itu. Oleh sebab itu, penyair menggunakan kata-kata yang
menyimpang dengan menggunakan dialek dalam puisinya.
7. Penyimpangan dalam penggunaan Register
Register adalah ragam bahasa yang digunakan kelompok atau profesi
tertentu dalam masyarakat. Register juga disebut dialek profesi.
Seringkali dialek profesi ini tidak diketahui secara luas oleh pembaca,
apalagi jika register itu diambil dari bahasa daerah. Misalnya anak yang
dihasilkan dari hubungan gelap disebut lembu peteng, dan sebagainya.
8. Penyimpangan Historis
Penyimpangan historis berupa penggunaan kata-kata kuno yang sudah
tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaannya
dimaksudkan untuk mempertinggi nilai estetis.
9. Penyimpangan Grafologis
Dalam menggunakan kata-kata, larik dan baris, penyair sengaja
melakukan penyimpangan dari kaidah bahasa yang biasa berlaku .Huruf
27 besar dan tanda-tanda baca tidak lagi dipergunakan sebagaimana
mestinya. Hal itu digunakan penyair untuk memperoleh efek estetis.
Dalam struktur fisik puisi, terdapat unsur-unsur berupa kesatuan yang utuh.
Unsur-unsur bentuk atau struktur fisik puisi tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:

3. Diksi

Penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata sebab kata-kata yang ditulis
harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama,
kedudukan kata itu ditengah konteks kata lainnya dan kedudukan kata dalam
keseluruhan puisi itu. Oleh sebab itu, disamping memilih kata yang tepat,
penyair juga mempertimbangkan urutan kata-katanya dan kekuatan atau daya
magis kata-kata tersebut. Kata-kata diberi makna baru dan yang tidak bermakna
diberi makna menurut kehendak penyair.

Karena begitu pentingnya kata-kata dalam puisi maka bunyi kata juga
dipertimbangkan secara cermat dalam pemilihannya. Karena pemilihan kata-
kata mempertimbangkan berbagai aspek estetis, maka kata-kata yang sudah
dipilih oleh penyair untuk puisinya bersifat absolut dan tidak bisa diganti
dengan padan katanya, sekalipun maknanya berbeda.

Hendaknya disadari bahwa kata-kata di dalam puisi bersifat konotatif artinya


memiliki kemungkinan makna yang lebih dari satu. Kata-katanya juga dipilih
yang puitis artinya mempunyai efek keindahan dan berbeda dari kata-kata yang
kita pakai dalam kehidupan sehari-hari . selanjutnya akan dibahas
perbendaharaan kata, ungkapan urutan kata, dan daya sugesti dari kata-kata.

a. Perbendaharaan Kata

Perbendaharaan kata penyair disamping sangat penting untuk


kekuatan ekspresi, juga menunjukkan ciri khas penyair. Dalam memilih
kata-kata, siamping penyair memilih berdasarkan makna yang akan
disampaikan dan tingkat perasaan serta suasana batinnya, juga
dilatarbelakangi oleh faktor sosial budaya penyair. Suasana perasaan
penyair juga menentukan pilihan kata, intensitas perasaan penyair, kadar
emosi, cinta, benci, rindu, dan sebagainya menentukanpemilihan kata.

Para penyair puisi mbeling memilih kata-kata santai untuk


mengungkapkan gagasan mereka yang santai juga. Kata “mbeling” disini
dapat dikonotasikan dengan sifat santai itu. Sering kali kita jumpai kata-
kata keramat dibolak-balik agar terasa santai. Juga banyak digunakan
bahasa slang remaja atau prokem.

Dalam puisi protes, kritik sosial, dan puisi demonstrasi banyak


diungkapkan kata-kata yang berisi pembelaan secara keras terhadap
kelompoknya dan kecaman keras terhadap pihak yang dikritik , sebab itu,
untuk pihak yang dikritik digunakan kata-kata kasar atau umpatan,
sebaliknya untuk pihak yang dibela digunakan kata-kata manis penuh
pujian dan penghargaan.

Bagi penyair religius, kata-kata yang digunakan ditujukan untuk


mengungkapkan imannya kepada Tuhan. Sebaliknya bagi penyair ateis,
ungkapan tentang Tuhan atau tokoh agama menimbulkan nada yang tidak
begitu simpatik.

b. Urutan Kata
Dalam puisi, urutan kata bersifat beku, artinya urutan itu tidak dapat
dipindah-pindahkan tempatnya meskipun maknanya tidak berubah oleh
perpindahan tempat itu, cara menyusun urutan kata-kata itu bersifat khas
karena penyair yang satu berbeda caranya dari penyair yang lainnya.
Dapat pula dinyatakan ada perbedaan teknik menyusun urutan kata, baik
urutan dalam tiap baris maupun urutan dalam satu bait puisi. Dalam
puisinya yang bersifat duka, Chairil Anwar memulai bait pertama dengan
baris sebagai berikut :

Kelam dan angin lalu mempesiang diriku


Menggigir juga ruang dimana dia yang ku ingin
Malam tambah merasuk, rimba jadi memati tugu
Di karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru angin
(Yang terhempas dan yang Putus”, 1949)
Susunan kata-kata diatas tidak dapat diubah walaupun perubahan itu
tidak mengubah makna. Penyair telah memperhitungkan secara matang
susunan kata-kata itu. Jika diubah urutannya, maka daya magis kata-kata
itu akan hilang. Keharmonisan antar bunyi yang terdapat didalamnya
juga akan terganggu karena susunan kata tersebut menimbulkan efek
psikologis. Jika kalimat /menggigir juga ruang dimana dia yang ku ingin/
diganti dengan/ juga menggigir dimana ruang yang ku ingin/, maka nada
sedih yang ditimbulkan dari baris puisi itu akan berkurang.
Urutan kata-kata dalam puisi Chairil Anwar yang sedih diatas berbeda
dengan urutan kata-kata dalam puisinya yang bersemangat, seperti
“Krawang Bekasi” ini:

(Krawang-Bekasi”,1946”)

Subyek kalimat dalam puisi ini diletakkan pada awal baris dan tidak
seperti puisi terdahulu yang mulai dengan keterangan keadaan . dalam
puisi yangbersemangat ini, penonjolan subyek dipandang penting.
Sedangkan dalam puisi duka, penonjolan keterangan keadaan akan lebih
membantu penggambaran suasana kedukaan itu.

c. Daya sugesti kata-kata


Dalam memilih kata-kata, penyair mempertimbangkan daya sugesti
kata-kata itu. Sugesti itu ditimbulkan oleh makna kata yang
dipandandang sangat tepat mewakili perasaan penyair. Karena ketepatan
pilihan kata dan ketepatan penempatannya, maka kata-kata itu seolah
memancarkan daya gaib yang mampu memberikan sugesti kepada para
pembaca untuk ikut sedih, terharu, bersemangat, marah dan sebagainya.
Untuk mengesankan penghargaan yang tinggi kepada kekasihnya,
Rendra melukiskan kekasihnya itu, seperti baris puisiberikut ini :
Engkaulah putri duyung/tawananku/putrid duyung dengan suara
merdu lembut/bagai angin laut/mendesahlah bagiku.
(“Surat Cinta”,1959)

Untuk mengungkapkan semangat hidupnya yang berapi-api dan tidak dapat


dilawan oleh siapapun, Chairil Anwar mengungkapkannya dengan bait puisi
berikut ini:

Aku ini binatang jalang/dari kumpulannya terbuang/Biar peluru menembus


kulitku/kutetap meradang, menerjang/Luka, dan bisa kubawa
berlari/berlari/hingga hilang pedih perih/Dan aku lebih tidak peduli/Kumau
hidup seribu tahun lagi.

(“Aku”, 1942)

Kata-kata Rendra dan Chairil Anwar di atas mensugesti pembaca untuk ikut
merasakan apa yanghendak dikemukakannya.
KELOMPOK V

A. Bahasa Kias

Bahasa kias (majas) atau figurative language merupakan bahasa yang


susunan & arti katanya sengaja disimpangkan dari susunan & arti semula. Itu bisa
dilakukan dengan cara   memanfaatkan pertautan, perbandingan atau pertentangan
hal satu dengan hal lain, yang maknanya sudah dikenal oleh pembaca.
Dalam teori sastra, mengacu pada pendekatan struktural, struktur puisi
dibagi menjadi dua: struktur fisik dan struktur batin. Bahasa kias merupakan salah
satu unsur dari struktur fisik puisi, selain tipografi (perwajahan puisi), kata
konkret, versifikasi (rima, irama), imaji dan diksi. Bila dimanfaatkan secara
optimal, bahasa kias bisa mendukung kekuatan struktur batin puisi.
Bahasa kias dipergunakan untuk tujuan:
a. mendeskripsikan sesuatu yang tak konkret menjadi lebih konkret,
sehingga ‘lebih dekat’ dengan pembaca
b. memberi sensasi dan imajinasi, sehingga lebih berasa nikmat dalam
membacanya
c. menghasilkan tambahan makna
d. menempatkan (memadatkan) ungkapan makna dalam sajak
Bahasa kias  dapat dijadikan mediator untuk menyampaikan  pesan/amanat
yang terkandung  dalam puisi. Pemakaian bahasa kias sebenarnya bukan monopoli
puisi. Di banyak teks prosa—semisal cerpen atau novel—bahasa kias juga banyak
dipakai untuk tujuan yang sama. Berikut ini disajikan beberapa bahasa kias yang
paling sering dipakai :
1. Simile
Bahasa kias yang membandingkan dua hal atau lebih yang hakikatnya berbeda,
tetapi dianggap mengandung segi yang serupa. Keserupaan itu dinyatakan
secara tersurat dengan kata : bagai, sebagai, bak, semisal, seperti, ibarat,
seumpama, laksana dan sebagainya.
Contoh :
Tuhan Engkaukah itu
Sekilas sinar yang berpendar-pendar
Terpantul mengarak langit, berkelip-kelip
Berkedip-kelip , memutar melingkar kelam
Membuih membentur perut malam
Seperti warna-warna pijar bertubrukan
Dalam ruang gelap tetapi entah dimana
( Nana Suryana, ”Tuhan Engkaukah itu?”)

Sinar yang berpendar-pendar dideskripsikan sedemikian rupa, sehingga seperti


warna-warna yang bertubrukan.
2. Metafora
Bahasa kias yang mengandung perbandingan yang tersirat sebagai pengganti
kata atau ungkapan lain untuk melukiskan kesamaan atau keselarasan
makna.  Rahmat Djoko Pradopo mendefinisikan metafora sebagai
’menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal lain,
yang sesungguhnya tidak sama.”
Metafora terdiri dari dua bagian : term pokok (tenor) dan term sekunder
(vehicle). Tenor untuk menyebutkan benda yang dibandingkan, sedangkan
vehicle adalah hal untuk membandingkan/menyamakan. Atas dasar ini,
metafora dibagi menjadi dua: Metafora Implisit (hanya mempunyai vehicle)
dan metafora Eksplisit (mempunyai vehicle dan tenor).
Kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
Tak peduli darahku atau darah kita
(Sapardi Djoko Damono, ”Kami Bertiga”)

Metafora implisit terletak pada kata pisau yang diumpamakan makhluk


hidup yang mempunyai darah.
3. Personifikasi
Personifikasi merupakan bahasa kias yang membandingkan sesuatu yang
bukan manusia (benda, tumbuhan/hewan), yang diandaikan seolah-olah
memiliki sifat-sifat manusia. Personifikasi memproyeksikan sifat-sifat
manusia untuk dilekatkan pada hal lain. Dengan personifikasi, benda-benda
direkayasa sehingga seolah-seolah dapat bertindak, berpikir atau merasa
sebagaimana manusia.
Personifikasi dipergunakan untuk membuat pencitraan terasa lebih hidup,
seperti lukisan yang bisa dilihat secara konkret dan detail. Nuansa alam
sering menginspirasi hadirnya sebuah karya. Karenanya, tak mengherankan
jika banyak penulis sering memakai bahasa kias personifikasi ini.  Dalam
puisi berikut, dingin digambarkan bisa bergerak, menggigit dan mengetuk
pintu. Padahal sifat-sifat seperti ini, hanya dimiliki manusia.

Dingin bergerak memenuhi udara , menggigit dosa


Berarak mendatangi Mu menggigil mengetuk pintu
”adakah aku disitu?”
Sedu sedan angin yang sebentar menghilang
Mendekat, suaraMu dari kisi jendela
Dia terbaring dalam gelimang kata sia-sia
(Nur Hayat Arif Permana, ”Lanskap Subuh”)

Kutampar laut yang hendak merampas tanganmu


Tak mungkin ku lepas keindahan yang begitu lama kutunggu
Meski hujan meski badai, aku tetap mengikut kabut
Membangun istana laba-laba dari duri mawar
(Kusprinyanto, ”Metonimia”)

Disini terlihat, perbandingan aku yang sebagai manusia dengan laut yang
merupakan benda mati. Kutampar laut yang hendak merampas tanganmu ,
adalah sifat dan kebiasaan manusia dalam melakukan perlawanan atau
membela diri karena ada sesuatu yang hilang diambil oleh laut. Haal tersebut
memberikan gambaran bagi pembaca dan memberikan kesan hidup karena
puisi tersebut sudah diberi ruh.
4. Metonimia
Metonimia adalah bahasa kias yang menggunakan nama untuk benda lain
yang menjadi merk, ciri khas, atau atribut. Biasanya metonimia dipakai
untuk melambangkan suasana atau keadaan tertentu; terutama untuk latar
yang kental. Mari kita amati beberapa contoh berikut:

Aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas


Di pucuk kemar
au yang mulai gundul itu
Berapa juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu
 (Sapardi Djoko Damono, ”Aku tengah menantimu”)

Kata Juni diatas dipakai penyair sebagai mengganti musim kemarau.


5. Sinekdoke
Bahasa kias yang menyebutkan bagian penting suatu benda/hal untuk
benda/hal itu sendiri. Sinekdoke ada dua macam yakni : (1) Pars pro toto
(melukiskan sebagian tetapi yang dimaksud adalah seluruhnya) dan, (2)
Totem pro parte (melukiskan keseluruhan tetapi yang dimaksudkan adalah
sebagian).

Seruling bambu itu membayangkan ada yang meniupnya,


Menutup-membuka lubang-lubangnya, menciptakan
Pengeran dan putri kerajaan-kerajaan jauh
(Sapardi Djoko Damono, ”Seruling”)

Frase ’menciptakan pangeran dan putri’ dimaksudkan untuk ’menyanyikan


lagu tentang pangeran dan putri’ (totum pro parte)

Siang dan senja tak kusongsong


Tapi gorden enggan kututup
Aku akan menunggumu hingga dapat kuraba rambutmu
 ( Nenden Lilis A.,”Catatan September”)

Rambut yang dimaksudkan puisi di atas mewakili orang. (Pars prototo)


6. Hiperbola
Hiperbola adalah bahasa kias yang dipakai untuk melebih-lebihkan atau
mendramatisasikan suatu keadaan. Tujuannya, agar pembaca lebih
merasakan aspek yang diungkapkan pengarang.

Perahu melayang bagai keranda

B. Citraan
Berdasarkan KBBI, citraan adalah kesan atau gambaran visual yang
ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa, atau kalimat, dan merupakan unsure dasar
yang khas dalam karya prosa atau pun puisi.
Citraan dapat dibagi atas beberapa macam, yaitu:
a. Citraan penglihatan (Visual Imagery)
Citraan yang ditimbulkan oleh indra penglihatan(mata). Citraan ini
merupakan jenis yang paling sering digunakan penyair. Citraan ini mampu
memberikan rangsangan kepada indra penglihatan sehingga hal-hal yang tidak
terlihat menjadi seolah-olah terlihat.
Contoh:
Kulihat tempat yang indah di mentari

b. Citraan pendengaran (Auditory Imagery)


Citraan yang berhubungan dengan kesan dan gambaran yang diperoleh
melalui indra pendengaran.Citraan ini dihasilkan dengan menyebutkan atau
menguraikan bunyi suara, misalnya dengan munculnya diksi tembang,
dendang, mengiang, berdentum, dll.
Contoh:
Suaranya yang menggelegar cetar membahana
c. Citraan perabaan (Tactual Imagery)
Citraan yang dapat dirasakan oleh indra peraba (kulit). Pada saat kita
membaca puisi kita dapat menemukan diksi yang membawa kita seolah-olah
merasakan apa yang disyairkan.
Contoh:
Pedih dan perih merasuki sukma
d. Citraan penciuman (Alvaktory imaginery)
Citraan yang dapat dirasakan oleh indra penciuman. Dengan membaca kata-
kata tertentu dalam puisi kita seperti mencium bau sesuatu.
Contoh:
Harum semerbak aroma tubuhnya
e. Citraan pengecapan (Gustatory imaginery)
Yaitu citraan yang muncul dari puisi sehingga kita seakan-akan mencicipi
suatu benda yang menimbulkan rasa pahit, manis, asam, pedas, dll.
Contoh:
Neraka adalah rasa pahit di mulut
(Subagio Sastrowardoyo)
f. Citraan gerak (kinestetik imaginery)
Adalah citraan yang ditimbulkan oleh gerak tubuh sehingga kita merasakan
atau seolah melihat gerakan tersebut.
Contoh:
Kulapangkan dada dan kukepalkan tangan
C. Unsur Sarana Retorika
Menurut Alternbernd (seperti dikutip Sukamti Suratidja, 1990: 241), bahasa
puisi sebagai salah satu unsur dalam bangun struktur karya memiliki bagian-bagian
antara lain: diksi, citraan, bahasa kiasan, dan sarana retorika.
Bahasa retorika merupakan bahasa kepuitisan berupa muslihat pikiran.
Bahasa retorika ini banyak digunakan oleh para penyair dalam menciptakan
sajaknya. Sebenarnya digunakan untuk membuat efisien bahasa namun terkadang
kata-kata yang digunakan itu berkonotasi berlebihan dan penuh dengan kata yang
muluk (WS, 2012: 115).
Menurut Pradopo (2012: 93), sarana retorika adalah jenis atau bentuk gaya
dan cara tersendiri yang digunakan oleh pengarang dalam melahirkan pikirannya.
Jenis corak sarana atau bahasa retorika tiap penyair itu ditentukan sesuai dengan
gaya sajaknya, alirannya, paham serta konvesi dan konsepsi estetikanya begitu
juga yang membedakan bahasa retorika yang digunakan tiap periode. Sehingga
yang paling dominan dalam penggunaan sarana retorika adalah tautologi,
pleonasme, keseimbangan, retorik retisense, paralelisme, dan enumerasi
(penjumlahan). Sarana retorika yang sering digunakan Pujangga Baru adalah
tauotologi, pleonasme, keseimbangan, retorik retisense, pararelisme, dan
enumerasi, karena sesuai dengan konsepsi estetika yang menghendaki
keseimbangan simetris dan juga aliran romantik yang penuh curahan perasaan
(Pradopo, 2012: 94). Sedangkan sarana retorika yang tidak banyak digunakan
dalam puisi-puisi Pujangga Baru, di antaranya: paradoks, hiperbola, pertanyaan
retorik, klimaks, dan kias.
Angkatan 45, sesuai dengan aliran realisme dan ekspresionisme banyak
dipergunakan sarana retorika yang bertujuan intensitas dan ekspresivitas. Maka
sarana retorika yang sering mereka gunakan adalah hiperbola, litotes, tautologi,
dan penjumlahan (Pradopo, 2012: 94).
Sarana retorika yang banyak digunakan penyair adalah:
a. Tautologi
Tautologi adalah sarana retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali
dalam satu kalimat, maksudnya supaya arti kata atau keadaan itu lebih
mendalam bagi pembaca atau pendengar. Dan terkadang kata yang
digunakan bersinonim.
Contoh:
Bukan, bukan, bukan itu maksudnya saya hanya ingin membersihkan
bahumu.
Dalam kalimat tersebut ada pengulangan kata bukan tiga kali, di mana si
penyair ingin menekankan pada si pembaca supaya tidak salah paham.
b. Pleonasme
Sarana retorika yang sepintas seperti tautologi, tetapi kata yang kedua
sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama. Menambahkan kata
yang sebenarnya telah jelas atau tidak diperlukan.
Contoh:
Semua murid yang di atas saat malam turun ke bawah untuk makan malam.
Pada kalimat tersebut ada keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan
karena sudah jelas seperti turun ke bawah.
c. Enumerasi (Penjumlahan)
Sarana retorika yang berupa pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi
beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan itu lebih jelas dan
nyata bagi pembaca atau pendengar.
Contoh
Hampa
Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak
Lurus kaku pepohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi 
... dst
(Chairil Anwar, Deru Campur Debu: 1951)
d. Retorika Retisense
Sarana ini mempergunakan titik-titik banyak untuk mengganti perasaan yang
tak terungkapkan.
Contoh:
Katanya Jendela
Matanya tak bisa disembunyikan
Terus tatap, lirik tetap
Meneropong rupa ragamu
Lewat jendela yang katanya bisa menelanjangimu
Tiupanku ingin merayunya
Debu coba merasukinya
Ia bagai beringin yang katanya kuat diterpa angina
Kokoh dan yakin
Katanya, ia selalu memujimu
Katanya, kaukebanggaannya
Katanya, kau itu bla bla bla bla
Kau itu ..., katanya
... dst
(Concordia Octavo, Puisi Jendela: 2014)
Dalam puisi di atas pada larik terakhir di bait ketiga "Kau itu..., katanya"
dalam larik tersebut menunjukkan retorika retisense yang berarti si penyair
memiliki perasaan yang tak terungkapkan dalam larik tersebut sehingga
menggunakan titik-titik.
e. Paralelisme
Mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Kalimat yang berikut
hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului.
Paralelisme adalah pengungkapan dengan menggunakan kata, frasa, atau
klausa yang sejajar. Pengulangan kata-kata untuk menegaskan yang terdapat
pada puisi. Bila kata yang diulang pada awal kalimat dinamakan anaphora,
dan bila terdapat pada akhir kalimat dinamakan epiphora.
Contoh:
Hujan
...
Kadang kaubawa musibah
Kadang kaubawa berkah
Kadang kaukirim suka
Atau kautinggalkan duka
... dst
(Concordia Octavo, Puisi Hujan: 2014)
Dalam larik pertama dan kedua ada dua kalimat yang sama, namun kata di
larik kedua terdapat kata yang berbeda untuk menegaskan larik pertama.
f. Paradoks
Paradoks adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara
berlawanan, tetapi sebetulnya tidak bila sungguh-sungguh dipikir atau
dirasakan.
Contoh I:
Betapa banyak orang yang dalam kesendiriannya merasa kesepian di kota
sehiruk-pikuk Jakarta.

Contoh II:
Ah... Jaman Sekarang
Di sudut kota anak muda bergerombol dan kongko-kongko
Dandan menor ala tante hebring padahal bocah
Tato sana tindik sini
Keren katanya, padahal sekujur tubuh sakit minta ampun
Jagoan katanya, padahal sekali jotos langsung keleper
Ah... jaman sekarang
... dst.
(Yuni Budiawati, Puisi Penjajahan: 2014)
Dalam kalimat dan juga puisi di atas terdapat beberapa keadaan yang
mengandung pertentangan dengan kalimat sebelumnya, seperti pada contoh
pertama banyak orang merasa kesepian di tengah hiruk pikuk Jakarta,
kemudian di contoh kedua pada larik kedua, keempat dan kelima
menggambarkan orang yang berdandan seperti orang dewasa padahal
dirinya anak kecil, dan juga menggambarkan orang yang memakai tato dan
tindik di tubuhnya menandakan dia orang yang keren padahal sekujur
tubuhnya sakit atau yang merasa dirinya jagoan padahal saat ada yang
memukulnya dia langsung pingsan.
g. Hiperbola
Hiperbola adalah sarana retorika yang melebih-lebihkan suatu hal atau
keadaan atau gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-
lebihan baik jumlah, ukuran, ataupun sifatnya dengan tujuan untuk menekan,
memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya.
Contoh:
Sajak Kopi
Kita sudah sepakat berdua
untuk menyeduh kopi dalam gelas yang sama
gelas putih polos tak bermotif
yang kita pilih saat berbelanja di pasar sana
Saat itu penjualnya berkata, "Tuan, gelas ini bukan sembarang gelas
Gelas ini dibuat dengan sejuta rasa."
Kita berdua mengangguk tunduk
Diam dalam keyakinan yang dalam, percaya
... dst.
(Oky Primadeka, Puisi Kopi: 2014)
Dalam puisi tersebut pada larik kedua di bait kedua, ada kalimat Gelas ini
dibuat dengan sejuta rasa. Larik tersebut mengandung majas hiperbola
dengan menggunakan kata sejuta rasa yang menunjukan hal yang berlebihan.
h. Pertanyaan Retorik
Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah terkandung di dalam
pertanyaan tersebut. Gaya bahasa penegasan ini menggunakan kalimat
tanya-tak-bertanya. Sering menyatakan kesangsian atau bersifat mengejek.
Contoh:
Cermin Mimi Aya
Apa kabarmu, sayang, masihkah kauingat nasihatku
waktu kutitipkan cermin kesayanganku padamu?
Bagaimana rasanya becermin?
Apakah kau telah mengetahui dirimu sendiri,
saat cermin itu tiba-tiba retak saat kautatap?
... dst.
(Faliq Ayken, Puisi Cermin: 2014)
Dalam bait puisi tersebut ada beberapa pertanyaan yang dikemukakan,
namun pertanyaan tersebut tidaklah membutuhkan jawaban hanya membuat
pembaca berpikir atau merenungi makna di balik pertanyaan itu.
i. Klimaks
Klimaks adalah gaya bahasa yang mengandung penekanan pada kalimat-
kalimat selanjutnya, sehingga maksud yang dituju dapat disimpulkan pada
kalimat terakhir.
Contoh akses 7 April 2014):
Sukmaku Merdeka
Wiji Thukul
Tidak tergantung kepada Departemen Tenaga Kerja
Semakin hari semakin nyata nasib di tanganku
Tidak diubah oleh siapapun
Tidak juga akan dirubah oleh Tuhan Pemilik Surga
Apakah ini menyakitkan? entahlah!
Aku tak menyumpahi rahim ibuku lagi
Sebab pasti malam tidak akan berubah menjadi pagi
Hanya dengan memaki-maki
Waktu yang diisi keluh akan berisi keluh
Waktu yang berkeringat karena kerja akan melahirkan
Serdadu-serdadu kebijaksanaan
Biar perang meletus kapan saja
Itu bukan apa-apa
Masalah nomer satu adalah hari ini
Jangan mati sebelum dimampus takdir
Sebelum malam mengucap selamat malam
Sebelum kubur mengucapkan selamat datang
Aku mengucap kepada hidup yang jelata
MERDEKA!!
Dalam puisi tersebut, mengandung klimaks di akhir larik pada bait terakhir
dengan kata merdeka yang ditulis kapital seluruhnya dan dengan tanda seru
dua kali.
j. Antiklimaks
Antiklimaks merupakan antonim dari klimaks adalah gaya bahasa berupa
kalimat terstruktur dan isinya mengalami penurunan kualitas, kuantitas
intensitas. Gaya bahasa ini dimulai dari puncak makin lama makin ke
bawah. Dengan demikian, antiklimaks adalah gaya bahasa yang menyatakan
beberapa hal berurutan semakin lama semakin menurun.
Contoh:
Hujan Bulan Juni
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Sapardi Djoko Damono
Inti dari puisi Damono adalah menggambarkan hujan di bulan Juni,
sedangkan larik-larik selanjutnya adalah tambahan keterangan untuk
penggambaran hujan bulan Juni.
k. Kiasmus
Kiasmus ialah gaya bahasa yang berisi perulangan dan sekaligus merupakan
inversi atau pembalikan susunan antara dua kata dalam satu kalimat. Majas
kiasmus merupakan bentuk majas perulangan yang isinya mengulang atau
repetisi sekaligus merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu
kalimat (Ducrot dan Todorov, 1981: 277).
Contoh:
Yang kaya merasa dirinya miskin, sedang yang miskin mengaku dirinya
kaya. Sudah biasa dalam kehidupan sehari-hari, orang pandai ingin disebut
bodoh, namun banyak orang bodoh mengaku pandai. Ia menyalahkan yang
benar dan membenarkan yang salah.
Dalam kalimat yang diberi garis bawah di atas merupakan contoh gaya
bahasa kiasmus, yaitu kata miskin-kaya dan kata bodoh-pandai.
KELOMPOK VI

STRUKTUR PUISI PADA WUJUD VISUAL

A. Larik
Kata adalah unsur utama terbentuknya sebuah puisi. Pemilihan kata (diksi)
yang tepat sangat menentukan kesatuan dan keutuhan unsur-unsur yang lain. Kata-
kata yang dipilih diformulasi menjadi sebuah larik. Larik (atau baris) mempunyai
pengertian berbeda dengan kalimat dalam prosa. Larik bisa berupa satu kata saja,
bisa frase, bisa pula seperti sebuah kalimat. Pada puisi lama, jumlah kata dalam
sebuah larik biasanya empat buat, tapi pada puisi baru tak ada batasan.
Bait merupakan kumpulan larik yang tersusun harmonis. Pada bait inilah
biasanya ada kesatuan makna. Pada puisi lama, jumlah larik dalam sebuah bait
biasanya empat buah, tetapi pada puisi baru tidak dibatasi. Bunyi dibentuk oleh
rima dan irama. Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh
huruf atau kata-kata dalam larik dan bait. Sedangkan irama (ritme) adalah
pergantian tinggi rendah, panjang pendek, dan keras lembut ucapan bunyi.
Timbulnya irama disebabkan oleh perulangan bunyi secara berturut-turut dan
bervariasi (misalnya karena adanya rima, perulangan kata, perulangan bait),
tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemahnya (karena sifat-sifat konsonan
dan vokal), atau panjang pendek kata. Dari sini dapat dipahami bahwa rima adalah
salah satu unsur pembentuk irama, namun irama tidak hanya dibentuk oleh rima.
Baik rima maupun irama inilah yang menciptakan efek musikalisasi pada puisi,
yang membuat puisi menjadi indah dan enak didengar meskipun tanpa dilagukan.

B. Bait
Bait adalah homograf dalam bahasa Indonesia. Kata ini dipinjam dari bahasa
Arab. Dalam bahasa Indonesia ia merujuk kepada:

 Bait (sastra), (dibaca "ba-it"), adalah bagian dari teks berirama (puisi atau
lirik lagu) terdiri dari beberapa baris yang tersusun harmonis, meyerupai
pengertian paragraf dalam sastra atau tulisan bebas.
 Bait Allah (dibaca "bayt", tulisan Arab: ‫)بيت ﻪّﻠﻟا‬, tempat ibadah (harfiah
berarti "rumah Tuhan") yang bisa mengacu kepada Ka'bah (dalam Islam)
atau Kenisah (dalam literatur Yahudi dan Kristen).

 Puisi di atas adalah puisi modern namun bentuk puisinya mirip dengan puisi
baru dengan klasifikasi tersina (3 baris). Dia tidak termasuk puisi baru karena
sudah terlepas dari rima (ciri puisi lama) yang masih terasa pada puisi baru. 
Adanya penggunaan tanda baca berupa titik dan tanda seru di tengah dan di akhir
puisi menunjukkan perbedaan puisi tersebut dari puisi lama.

Puisi di atas terdiri dari tujuh bait dan tiap-tiap bait terdiri dari tiga baris.
Seluruh bait dan baris mengungkapkan tema kerinduan. Kerinduan itu dapat kita
tangkap lewat penggunaan bahasanya. Gaya bahasa yang berhubungan dengan
suasana hati seorang manusia yang dilukiskan oleh penyair membantu
mengungkapkan tema kerinduan tersebut. Kerinduan kepada siapa? Kerinduan
terhadap keluarganya. Hal tersebut dapat kita temukan apabila meneliti bait demi
bait puisi di atas dan kita akan menemukan jawaban yang dikemukakan penyair
sebagai berikut:
1. Bait I: sudah menceritakan alasan puisi tersebut diciptakan. Penyair telah
memasukkan diksi rindu, renjana, dan kekasih bergelar sanak yang
menandakan bahwa ia begitu rindu bahkan sangat rindu kepada keluarganya.
2. Bait II: menceritakan gambaran rindu tersebut yang telah dipendam oleh
sang penyair. Baris yang berbunyi “ Bersarang di pojok-pojok jiwa” dan
“Balig bahkan sudah tua” menceritakan bahwa rindu itu telah begitu lama
dipendam oleh penyair yang sudah sedemikian menderitanya karena hal
tersebut. Itu diperjelas lagi dibaris berikutnya.
3. Bait III: menceritakan cara mengatasi kerinduan yang sudah menyesakkan
dada tersebut. Diksi-diksi seperti penawar, sengsara, dan anjangsana sudah
cukup bagi pembaca untuk mengerti langkah yang akan dilakukan oleh sang
penyair untuk mengobati kerinduannya. Solusi tersebut berupa anjangsana
yang berarti kunjungan untuk melepas rindu kepada keluarganya.
4. Bait IV: mempertegas bahwa anjangsana memang satu-satunya jalan untuk
mengobati kerinduan yang sudah mengakar kuat dan menumbuhkan derita
yang begitu perih. Dengan anjangsana tersebut maka hilang sudah semua
derita sang penyair karena bukan persoalan “mengapa” dan “siapa” yang
menjadi pertanyaan, namun “apa” yang mesti dilakukan sang penyair.
5. Bait V: menceritakan keadaan yang akan terjadi setelah anjangsana
dilakukan. “Ketika paras-paras telah saling berhadapan” berarti ketika sang
penyair telah bertemu dengan keluarganya. “Pucuk-pucuk rindu mulai layu”
berarti rindu mulai memudar dan terobati. “Berganti bianglala di langit-
langit hati” berarti rindu tersebut sudah berganti menjadi kebahagian di
dalam hati penyair.
6. Bait VI: menceritakan suasana lanjutan ketika sang penyair telah berkumpul
dengan keluarganya. “Saling berceloteh mengumbar kasih…” berarti sang
menceritakan segala hal yang ia rasakan dan pengalamannya kepada
keluarganya hingga menimbukan cinta kasih di antara mereka. “Air muka
lalu menjadi begitu suci” menandakan bahwa paras wajah penyair yang
begitu mengalami perubahan setelah bertemu dengan keluarganya.
Wajahnya yang mungkin dahulu sayu kini berganti cerah dan bersinar.
“Kemuning bahagia bersandar di dipan-dipan hati” berarti perasaan bahagia
yang besar yang telah penyair rasakan.
7. Bait VII: mempertegas bahwa anjangsanalah yang benar-benar merupakan
satu-satunya solusi untuk menyelesaikan masalah kerinduan yang kronis
yang penyair hadapi. Ketika hal itu dilakukan, maka sang penyair akan
benar-benar merasakan kebahagian yang luar biasa seperti yang ia
gambarkan secara umum dalam puisinya.

C. Tipografi
Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak
dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang
tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal
tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
Tipografi merupakan pembeda penting antara puisi dengan prosa dan drama.
Larik-Iarik puisi tidak berbentuk paragraf, namun berbentuk bait. Dalam puisi-
puisi kontemporer, seperti karya-karya Sutardji Calzoum Bachri, tipografi
dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting sehingga menggeser kedudukan
makna kata-kata. Ciri-ciri yang dapat dilihat sepintas dari puisi adalah
perwajahannya atau tipografinya. Melalui indera mata tampak bahwa puisi
tersusun atas kata-kata yang membentuk larik-larik puisi. Larik-larik itu disusun ke
bawah dan terikat dalam bait-bait. Banyak kata, larik maupun bait ditentukan oleh
keseluruhan makna puisi yang ingin dituliskan penyair. Dengan demikian satu bait
puisi bisa terdiri dari satu kata bahkan satu huruf saja. Dalam hal cara penulisannya
puisi tidak selalu harus ditulis dari tepi kiri dan berakhir di tepi kanan seperti
bentuk tulisan umumnya. Susunan penulisan dalam puisi disebut tipografi
(Pradopo, 1990:210).
Struktur fisik puisi membentuk tipografi yang khas puisi. Tiprografi puisi
merupakan bentuk visual yang bisa memberi makna tambahan dan bentuknya bisa
didapati pada jenis puisi konkret. Tipografi bentuknya bermacam-macam antara
lain berbentuk grafis, kaligrafi, kerucut dan sebagainya. Jadi tipografi memberikan
ciri khas puisi pada periode angkatan tertentu. Perwajahan puisi (tipografi) juga
merupakan bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-
kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan
huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan
pemaknaan terhadap puisi.
Secara garis besar atau keseluruhan puisi karya Toto Sudarto Bachtiar ini
terdapat 5 bait yang masing-masing bait terdiri atas 4 baris. Toto Sudarto Bachtiar
sangat konsisten dalam menyusun kalimat tiap-tiap bait. Tiap baris dalam paisi ini
terdiri atas 4 –9 kata yang strukturnya sangat konsisten. Toto Sudarto Bachtiar juga
sangat konsisten dalam penggunaan huruf kapital. Dapat dilihat dalam puisi
tersebut pengarang menggunakan huruf kapital pada setiap awal baris pada seluruh
puisi. Hal ini menunjukan bahwa Toto Sudarto Bachtiar sangat teguh dan konsisten
dalam penggunan jumlah baris, bait bahkan pemakaian huruf kapital dalam
menulis judul puisi ini, semua menggunakan huruf kapital untuk memudahkan
pembaca.

Contoh:
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur sayang,
Sebuah lubang peluru besar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Terlihat bahwa pengarang konsisten sekali dalam hal tipografi. Pengarang


memakai penulisan urut dari samping kiri, hal ini juga sama dengan bait-bait
berikutnya.
Tipografi yang menonjol lainya yakni pemisahan antar bait, pengarang menyusun
karya ini dengan menulis 4 baris 4 baris pada tiap–tiap bait. Hal ini dimaksudkan
agar pembaca tidak merasa jenuh dan memudahkan dalam pembacaanya. Sekilas
kita lihat puisi karya Toto Sudarto Bachtiar ini sangat rapi dikarenakan
tipoografinya sangat konsisten dan pembaca merasa mudah dan tertarik untuk
membacanya.
Selain bentuk puisi di tas, tifografi juga dapat ditemui dalam puisi Sutardji
Calzoem Bachri yang berjudul Tragedi Winka Sihka. Puisi berjudul Tragedi Winka
dan Sihka merupakan puisi karya Sutardji yang cukup fenomenal. Puisi tersebut
memiliki tipografi yang sangat berbeda dengan puisi pada umumnya. Gaya
penulisan puisi Tragedi Winka dan Sihka disusun secara zigzag membuat puisi
tersebut tampak berbeda. Justru bentuk yang berbeda inilah membawa nilai estetik
karena penyair mempunyai makna tersendiri dengan susunan bentuk yang ia
ciptakan. Selain itu, teknik persajakan yang digunakan dengan memotong-motong
kata dan membalikkan suku kata, yang sulit dimaknai secara langsung makna kata
Winka dan Sihka. Tentu saja tidak akan kita temui arti kedua kata tersebut dalam
kamus karena hal ini memang strategi pembebasan makna yang dilakukan oleh
Sutardji.
Tipografi zigzag yang sangat menonjol memberi arti bahwa perkawinan
adalah sesuatu yang sulit. Tata wajah dalam puisi ini dapat diartikan bahwa
kehidupan yang tersirat dalam puisi ini sangat tragis dan mengalami sebuah
masalah yang begitu tajamnya. Jika dilihat dari tingkat kemiringannya, terlihat
bahwa masalah yang dialami tokoh dalam puisi semakin sulit. Bentuk gelombang
tajam dan berliku-liku menunjukkan pasang surutnya kehidupan. Perkawinan yang
semula bermakna kebahagiaan setelah mengalami jalan berliku-liku penuh bahaya
akhirnya terjadi suatu tragedi.
Pada puisi Tragedi Winka dan Sihka, tragedi merupakan suatu peristiwa
yang berakhir dengan kesedihan. Sedangkan Winka dan Sihka merupakan kata
nonsense yaitu kata yang tidak mempunyai makna, tetapi oleh penyair kata
tersebut mempunyai makna. Pada puisi tersebut dapat ditemui 3 suku kata yaitu
win, ka, sih  yang seolah-olah membentuk dua kata benda diri yaitu Winka dan
Sihka, serta kata keadaan yaitu kawin dan kasih. Kata kawin dan kasih
mengandung arti konotasi yaitu perkawinan yang penuh kebahagiaan dan disertai
kasih sayang. Kata kawin ditulis sampai 5x secara utuh memberi arti bahwa dalam
periode entah 5 tahun, 5 bulan, 5 minggu, atau 5 hari usia perkawinan masih
berjalan dengan penuh kebahagiaan. Akan tetapi, kemudian kata kawin terputus-
putus yang memberikan arti bahwa perkawinan sudah tidak utuh lagi karena mulai
timbul masalah-masalah kehidupan dan pertengkaran antara suami dan istri dimana
mereka tidak lagi selalu sejalan. Hal ini dapat kita lihat pada bait selanjutnya yang
sudah tidak menggunakan kata kawin secara bersamaan tetapi memisah menjadi ka
dan win saja. Begitu juga dengan kata kasih yang memisah menjadi ka dan sih
saja. Pada akhirnya terjadi tragedi winka dan sihka yaitu sebuah perceraian, di
mana suami istri hidup terpisah. Sedangkan pada akhir, kata ka  disambung dengan
ku menjadi kaku yang mempunyai makna kawin dan kasih sudah menjadi kaku
dan sudah kehilangan rasa.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa kata kawin
bermakna kebahagiaan, sedangkan winka mengandung makna kesengsaraan.
Kawin adalah persatuan, dan winka adalah perceraian. Kasih berarti cinta,
sedangkan sihka berarti kebencian. Kawin dan kasih adalah sebuah kebahagiaan,
sedangkan winka dan sihka adalah kesengsaraan dan kebencian. Bila kawin dan
kasih menjadi winka dan sihka, maka itulah tragedi kehidupan dalam sebuah
rumah tangga yang tidak akan pernah selalu sama. Roda akan selalu berputar,
terkadang di atas dan tak jarang pula berada di bawah. Begitu juga kehidupan yang
tidak akan selalu senang tetapi juga merasakan susah, tergantung bagaimana cara
kita menyikapinya.

TRAGEDI WINKA DAN SIHKA

D.Enjambemen
Enjambemen adalah kelanjutan sebuah kalimat dari satu baris/bait ke
baris/bait berikutnya. Bisa juga dilihat sebagai pemenggalan sebuah kalimat
menjadi beberapa baris. Enjambemen meliputi pemenggalan atau perpindahan
baris puisi untuk menuju baris berikutnya. Enjambemen juga merupakan
peloncatan baris dalam sajak yang menyebabkan terjadinya peralihan perhatian
pada kata akhir atau kata yang “diloncatkan” ke baris berikutnya. Pelocatan itu
menimbulkan intensitas arti atau makna liris.
Sedangkan contoh pada struktur enjambemen pada puisi Toto Sudarto Bachtiar
yaitu :
 Dalam bait pertama :
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur sayang,
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata,kita sedang perang
Kita perhatikan baris kedua, diakhir baris kedua terdapat tanda ( , ) koma.
Tanda ini seakan-akan mempertegas dan memudahkan pembaca dalam memahami
pembacaanya. Tanda koma ini menekankan bahwa baris pertama dan kedua
terdapat hubungan isi, dapat dituliskan sepuluh tahun yang lalu dia terbaring/tetapi
bukan tidur sayang, sebuah lubang peluru bundar di dadanya. Dapat dipahami
pengarang meletakan tanda koma diakhir baris kedua agar pembaca dapat dengan
mudah menarik makna bahwa seorang pahlawan yang diceritakan dalam puisi ini
sudah meninggal. Pada baris keempat tanda koma terletak diantara dua klausa
“senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang”. Mempertegas bahwa seakan-
akan pahlawan yang sudah tiada tersebut ingin mengungkapkan perasaanya, kita
sedang perang.
 Dalam bait kedua
Dia tidak ingat bilamana ia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk sapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tetapi bukan tidur sayang
Kita perhatikan pada baris keempat, tanda koma terletak diantara dua klausa
”kemudian dia terbaring, tetapi bukan tidur sayang”. Tanda ini juga bersifat
menekankan dan memperjelas bahwa pahlawan tersebut sudah meninggal. Terlebih
ada klausa yang diulang dari bait pertama baris kedua ke bait kedua baris keempat.
Unsur penekanan yang diwakili oleh tanda koma ini dimaksudkan oleh pengasrang
agar pembaca dapat memahami dengan mudah makna atau isi puisi ini, khususnya
bait pertama dan kedua.
Untuk lebih jelasnya mengenai enjambemen ini, perhatikan puisi Rendra
berikut :

Moranbong Pyongyang – Rendra


Contoh enjambemen dalam puisi di atas sangat jelas. Adanya pemotongan-
pemotongan pada larik Aku akan tidur/di rumputan/di tepi kolam. Ketiga larik
pada bait pertama tersebut terkesan sengaja dipenggal-penggal sehingga
membentuk tiga larik, padahal jika diperhatikan dengan seksama, ketiga larik
tersebut merupakan satu kalimat. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya tanda
titik pada akhir kata kolam.

Selain itu, untuk menegaskan peralihan dari satu kalimat ke kalimat yang
lainnya, dapat dilihat pada penggunaan tanda titik di akhir sebuah larik.
Penggunaan tanda titik ini menunjukkan penegasan akan sebuah kalimat yang
dipenggal menjadi beberapa larik untuk memberikan efek atau penekanan pada
kata-kata tertentu. Hal lain yang dapat mempertegas enjambemen puisi di atas
adalah penggunaan huruf kapital di awal kata. Huruf kapital ini digunakan pada
awal larik setelah larik yang emiliki tanda titik. Ini pun semakin memperjelas
keberadaan sebuah kalimat yang dipenggal, karena penggunaan huruf kapital
dalam bahasa Indonesia dapat dilakukan pada awal kalimat untuk menandakan
berakhirnya kalimat sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai