Anda di halaman 1dari 7

Dwibahasa dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Septirini Sekar Nusantari


Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Sebelas Maret
Jalan Ir. Sutami 36 A, Surakarta 57126
skrnusantara@gmail.com

Abstrak

Artikel jurnal ini membahas mengenai fenomena dwibahasa dalam perkembangan ilmu
pengetahuan. Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut
masyarakat untuk menggali sumber belajar lebih dalam dan luas. Kedwbahasaan merupakan
jembatan Tujuan dari artikel ini adalah sebagai pengetahuan bagi penulis dalam menulis artikel
jurnal untuk mengetahui sistematika penulisan dan gaya selingkung yang diatur oleh laman
jurnal Artikulasi, Retorika, dan Bahtera. Hasil artikel jurnal ini menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan dan persamaan antara jurnal Artikulasi, Retorika, dan Bahtera.
Kata kunci: Perbandingan Artikulasi, Retorika, dan Bahtera; sistematika penulisan; gaya
selingkung
Abstract

This journal article discusses the bilingual phenomenon in the development of science.
Globalization and the development of science and technology require people to explore deeper
and wider sources of learning. Bilingualism is a bridge The purpose of this article is as
knowledge for writers in writing journal articles to find out the systematics of writing and the
style of the environment which is regulated by the pages of the journal Articulation, Rhetoric,
and the Ark. The results of this journal article show that there are differences and similarities
between Articulation, Rhetoric, and Ark journals.
Keywords: Articulation, Rhetoric, and Ark Comparison; writing system; selingkung style
Pendahuluan

Era globalisasi yang semakin berkembang menuntut kemampuan semua bangsa untuk ikut
bersaing dengan negara lain, termasuk kesiapan sumber daya manusia yang tentu saja harus
disiapkan sejak dini dengan berbagai upaya dan sesuai dengan perkembangan zaman. Istilah
globalisasi tentu tidak asing didengar pada masa sekarang. Globalisasi dapat didefinisikan
sebagai meningkatnya keterhubungan global (Nash, 2010). Keterhubungan tersebut melibatkan
informasi dan ide yang tersebar melampaui batas-batas geografis negara atau bahkan
kebudayaan. Sedangkan Gidden (1990), dalam Rantanen (2005), menyatakan globalisasi sebagai
intensifikasi dari relasi sosial yang luas di seluruh dunia. Dengan gagasan yang hampir sama,
Albrow (1990), dalam Rantanen (2005), mendefinisikan globalisasi sebagai semua proses di
mana orang-orang di dunia tergabung dalam masyarakat dunia yang satu atau yang disebut
sebagai masyarakat global. Maka, globalisasi dapat didefinisikan sebagai proses di mana hal-hal
yang berkaitan dengan ekonomi, politik, kultural, dan relasi sosial menjadi semakin melampaui
ruang dan waktu.
Seorang futuristik kenamaan dari Austria dalam bukunya Megatrends 2000, Jonn
Naisbitt, telah memprediksi bahwa milennium ke-2 akan didominasi sebagai era reformasi
(Isdjoni, 2008). Ini berarti bahwa suatu bangsa atau negara yang unggul dalam teknologi
informasi maka akan unggul pula dalam mendominasi dunia. Untuk dapat menghadapi tantangan
global tersebut diperlukan upaya untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas.

Peningkatan sumber daya manusia salah satunya melalui jalur pendidikan. Pendidikan
menjadi jalur yang penting dan menjadi sorotan semua pihak karena dengan pendidikan, maka
kemjuan suatu negara dan bangsa dapat terwujud. Upaya penting untuk meningkatkan mutu
pendidikan adalah dengan mengembangkan teknologi pendidikan dan pembelajaran.
Pendayagunaan teknologi pendidikan (Educatian Technology) atau berbagai istilah yang mereka
gunakan: Teknologi untuk Pendidikan (Technology for Education), Teknologi Informasi
(Information Technology/IT) atau Teknologi Komunikasi dan Informasi (Information and
Communication Technology/ICT) diyakini sebagai salah satu cara strategis mengatasi masalah
tersebut (Dewi, 2007).
Adanya globalisasi yang berdampak pada perkembangan IPTEK menuntut untuk hidup
dinamis. Pertumbuhan dan perkembangan di segala aspek diperlukan guna menghadapi era
global. Kemudahan akses informasi sebagai hasil dari globalisasi mempermudah informsai, ilmu
pengetahuan dan wawasan tersebar dengan mudah antar belahan dunia. Hal itu perlu diimbangi
dengan kesiapan sumber daya manusia. Salah satu wujud kesiapannya ialah penguasaan bahasa.
Bahasa merupakan warisan masyarakat dan bagian dari tradisi masyarakat yang amat penting,
dalam kehidupan masyarakat yang telah mengadakan jalinan hubungan yang erat antara dua
bahasa atau lebih sering menimbulkan adanya gejalah kedwibahsaan. Ilmu dapat disebarluaskan
atau dipublikasikan melalui tindakan komunikasi yang sebelumnya temuan tersebut didiskusikan
dan diteliti ulang terlebih dahulu. Saddhono (2012) menyatakan bahwa bahasa adalah sebagai
alat manusia untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya Proses tersebut menggunakan
bahasa sebagai media penyampaian buah pikiran seseorang agar diketahui dan memperoleh
respon dari orang lain. Kedwibahasaan erat kaitannya dengan istilah alih kode dan campur kode
dalam kajian ilmu soisolinguistik. Menurut Saddhono (2012) alih kode merupakan pemakaian
dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur bahasa yang satu ke bahasa yang lain.
Hal tersebut bisa terjadi karena beberapa orang beranggapan bahwa bahas Inggris mempunyai
nilai lebih, dan dapat menaikkan gengsi dimata pemakainya.

Istilah kedwibahasaan menurut Chaer, (2004: 84) merupakan hal yang berkenaan dengan
pemakaian dua bahasa oleh seorang penutur dalam aktivitasnya sehari-hari. Kedwibahasaan
berkaitan dengan kontak bahasa karena kedwibahasaan merupakan pemakaian dua bahasa yang
dilakukan oleh penutur secara bergantian dalam melakukan kontak sosial. Kedwibahasaan atau
sering disebut dengan bilingualism tidak hanya dimanfaatkan dalam pelbagai aspek, salah
satunya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan bahasa karena bahasa
merupakan perantara. Rahardi (2001: 16) menuliskan “dwibahasa adalah penguasaan atas paling
tidak dua bahasa, yakni bahasa pertama dan bahasa kedua”. penggunaan lebih dari satu bahasa
secara bergantian tersebut dilatarbelakangi dan ditentukan oleh situasi dan kondisi yang dihadapi
oleh penutur dalam tindakan bertutur. Menurut Saddhono (2014) kedwibahasaan merupakan
salah satu fenomena dua bahasa dalam suatu tindak tutur.
Pembahasan
Ilmu pengetahuan merupakan hasil dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu obyek tertentu (Notoatmodjo, 2003) . Secara garis besar menurut Notoatmodjo
(2005) domain tingkat ilmu pengetahuan (kognitif) mempunyai enam tingkatan, meliputi:
mengetahui, memahami, menggunakan, menguraikan, menyimpulkan dan mengevaluasi. Ilmu
pengetahuan merupakan seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan
pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi
agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi
lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya. Keterkaitan
ilmu pengetahuan dengan bahasa berhubungan antara kebutuhan-kebutuhan kita untuk
berekspresi dan berkomunikasi dan benda-benda yang ditawarkan kepada kita melalui bahasa.
Manusia hanya akan dapat berkata dan memahami satu dengan lainnya dalam kata-kata yang
terbahasakan.
Menurut Nababan, dkk (1992) mengungkapkan bahwa kemampuan memakai dua bahasa
atau lebih dan pemakaian kedua bahasa itu secara bergantian disebut kedwibahasaan. Istilah
kedwibahasaan dapat juga dipakai untuk masyarakat bila suatu masyarakat dalam kehidupan
berbahasanya menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian. Hal ini dapat terjadi jika
dalam masyarakat itu ada dua (atau lebih) bahasa. Keadaan seperti itu terdapat pula di Indonesia
sebab di samping bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, terdapat juga bahasa daerah dari
setiap suku bangsa yang beratusratus jumlahnya.

Bilingualism adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa


dengan sama baiknya (Chaer dan Leonie, 2004). Dalam pengertian kedwibahasaan itu seseorang
tidak perlu menguasai bahasa kedua itu semahir bahasa ibunya, walaupun dia hanya tahu
beberapa kata atau kurang begitu pasih maka keadaan semacam itu sudah dapat dianggap
seseorang itu dwibahasawan. Penguasaan bahasa kedua, entah itu bahasa nasional, sangat
tergantung pada sering tidaknya bahasa kedua itu dipakai dalam percakapannya tentang bahasa
yang bersangkutan.

Adapun sebab-sebab terjadinya kedwibahasaan antara lain: (1) Adanya bermacam-macam


suku bangsa atau bahkan bermacam-macam bangsa membentuk satu negara,(2) Berbagai bangsa
bercampur karena menetap disuatu negara, (3) Berbagai bangsa bercampur karena menetap
disuatu negara daerah baru yang jauh dari asal negara mereka masing-masing, (4) Sebagian
bangsa-bangsa yang berbeda yang secara kebetulan mendiami tempat dan tempat itu berdekatan
lokasinya dengan daerah bangsa-bangsa yang bersangkutan, (5) Dari gerak dan lelincahan para
penutur dari keduabahasa yang ada di daerah tersebut. Menurut uraian dari penelitian Saddhono
dan Sulaksono (2018) fenomena Indoglish banyak ditemukan di media sosial dan internet karena
pada awalnya pengembang aplikasi tersebut menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasanya
pengantarnya. Walaupun dewasa ini telah dimasukkan Bahasa Indonesia dalam fiturnya,
masyarakatIndonesia cenderung menyebutnya dengan menggunakan istilah asing. Hal tersebut
yang melatarbelakangi penggunaan Bahasa Inggris sebaga ucapan sehari-hari terutama di kota-
kota besar. Selain itu, Indoglish juga dipandang sebagai suatu bentuk ekspresi prestise bagi
masyarakat modern di era globalisasi.
Senada dengan pendapat tersebut, penelitian Rakhmawati, dkk (2016) menyatakan bahwa
salah satu latar belakang munculnya bentuk Indoglish ini adalah sebagai wujud gengsi atau
prestise. Terdapat suatu gengsi serta kebanggaan tersendiri ketika menggunakan bentuk-bentuk
Indoglish. Menurut penelitian Rakhmawati, dkk (2016) bentuk-bentuk ini sering digunakan ileh
kaum selebritas Indonesia yang notabene adalah figur yang banyak dicontoh oleh kaum muda
dari berbagai latar belakang.
Fenomena dwibahasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan dapat diamati dari
mudahnya akses pelbagai sumber-sumber belajar lintas negara. Kemudahan akses sumber belajar
mengharuskan seseorang untuk menguasai bahasa asing atau bahasa internasional. Penggunaan
bahasa Inggris dan bahasa Indonesia yang berdampingan. Contohnya terdapat pada sekolah yang
menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia secara bergantian dalam setiap pekannya,
terdapat sekolah yang mengadakan kelas imersi, pada perguruan tinggi ada yang mengadakan
kelas internasional juga merupakan bukti fenomena dwibahasa dalam ilmu pengetahuan.
Penutup
Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris memiliki peran yang berimbang dalam
perkembangan ilmu pengetahuan di era modern. Kedua Bahasa tersebut saling mendukung
dalam penggunaannya. Bahasa Indonesia merupakan Bahasa yang wajib digunakan sebagai
identitas warga negara Indonesia. Namun, globalisasi dan kemajuan jaringan komunikasi
menuntut cakupan penyebaran informasi yang lebih luas bagi masyarakat ilmiah Indonesia.
Bahasa Inggris menjadi pengisi dalam kesenjangan tersebut. Melalui penggunaan yang sesuai
dengan situasi dan kebutuhannya, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris berperan penting dalam
penyebaran kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Globalisasi yang berdampak disegala aspek kehidupan tidak terkecuali pendidikan
menjadikan dwibahasa sebagai Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris menjadi dua bahasa yang
saling menopang dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisahkan
dalam proses pembelajaran maupun proses pemerolehan pengalaman belajar. Bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional menjadi identitas sedangkan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional
memberikan kemudahan akses ilmu pengetahuan dari berbagai sumber di dunia.

Daftar Pustaka

Ayuningtyas F. & Abdullah, A. Z. (2017). Kognisi Sosial Melalui Situs Jejaring Youtube Pada
Komunitas Online (Studi Kasus pada Komunitas Online LinkPictureID) Jurnal
Komunikasi, Vol 9 No. 2, 137-150. Terarsip di:
https://journal.untar.ac.id/index.php/komunikasi/article/view/1076/831
Chaer, Abdul, dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka
Cipta
Dewi Salma Pradwiradilaga, dkk., 2007, Pendayagunaan Teknologi Pendidikan di Negara
Tetangga, Mozaik Teknologi Pendidikan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta

Isjoni, dkk., 2008, ICT Untuk Sekolah Unggul Pengintegrasian Teknologi Informasi dalam
Pembelajaran, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Nababan, dkk. 1992. Survei Kedwibahasaan Di Indonesia.

Nash, K. 2010. Contemporary Political Sociology: Globalization, Politics, and Power. Hoboken:
Blackwell Publishers.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rantanen, T. 2005. The Media and Globalization. London: Sage Publication Ltd.
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 109. Sekretariat Negara. Jakarta.
Rulyandi Rohmadi, M. dan Tri Sulistyo, E. 2014. Alih Kode dan Campur Kode dalam
Pembelajaran Bahasa Indonesia Di SMA. Surakarta: FKIP Universitas Sembelas Maret.

Rouf, Abd. 2011. Eksistensi Bahasa Indonesia di Era Global. (online).


Tersedia : http://www.mtsppiu.sch.id/bahasa-indonesia/eksistensi-bahasa- indonesia-era-
global (01 Oktober 2018).

Saddhono, Kundharu. 2012. Pengantar Sosiolinguistik Teori dan Konsep Dasar. Surakarta :
Program Buku Teks LPP UNS.
Saddhono, Kundharu. 2012. Peningkatan Kemampuan Menulis Deskripsi dengan
Menggunakan Metode Field Trip pada Siswa Sekolah Dasar. BASASTRA Jurnal
Penelitian Bahasa, Sastra Indonesia dan Pengajarannya, 1 (1) : 138-152.
Saddhono, K. 2014. Pengantar Sosiolingistik Teori dan Konsep Dasar. Surakarta: UNS Press.

Anda mungkin juga menyukai