Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, PENELITIAN TERDAHULU

DAN KERANGKA PIKIR

2.1 Konsep Komunikasi

Kehidupan manusia di dunia tidak dapat dilepaskan dari aktivitas

komunikasi karena komunikasi merupakan bagian integral dari sistem tatanan

kehidupan social manusia dan atau masyarakat. Sesuai dengan sifat dasarnya,

manusia selalu berusaha berkomunikasi antara satu dengan yang lain. Manusia

berinteraksi dalam keperluan melengkapi serta menyempurnakan pengetahuan

yang dimiliki guna beradaptasi dengan lingkungan.

Komunikasi mengandung makna bersama-sama (common). Istilah

komunikasi atau communication berasal dari bahasa Latin yaitu communication

yang berarti pemberitahuan atau pertukaran. Kata sifatnya communis, yang

bermakna umum atau

bersama-sama.

Cherry dalam Stuart (1983) menjelaskan bahwa istilah komunikasi

berpangkal pada perkataan Latin Communis yang artinya membuat kebersamaan

atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Komunikasi juga

berasal dari akar kata dalam bahasa Latin Communico yang artinya membagi.

Menurut catatan yang dibuat oleh Dance dan Larson dalam Cangara

(1998: 18) bahwa sampai tahun 1976 telah ada 126 definisi yang telah dibuat oleh

pakar dengan latar belakang dan perspektif yang berbeda satu sama lain. Para ahli

mendefinisikan komunikasi menurut sudut pandang mereka masing-masing. Ingat


bahwa sejarah ilmu komunikasi, ia dikembangkan dari ilmuwan yang berasal dari

berbagai disiplin ilmu.

Sarah Trenholm dan Arthur Jensen mendefinisikan komunikasi, “a

process by which a source transmits a message to a receiver through some

channel.” (Komunikasi adalah suatu proses di mana sumber mentransmisikan

pesan kepada penerima melalui beragam saluran). Raymond S. Ross

mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses menyortir, memilih, dan

mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa, sehingga membantu pendengar

membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang

dimaksudkan oleh sang komunikator (Wiryanto, 2004: 6).

Komunikasi dapat diartikan sebagai proses pertukaran makna antara

orang-orang yang berkomunikasi (Sendjaja, 1994:41), selanjutnya proses

memiliki pengertian mengacu pada perubahan dan tindakan yang berlangsung

secara terus –menurus, sedangkan pertukaran yaitu tindakan yang menyampaikan

dan menerima pesan secaratimbal balik, dan makna yaitu kesamaan pemahaman

diantara orang-orang yang berkomunikasi.

De Vito (2007: 262) mengemukakan bahwa komunikasi merupakan proses

pengiriman pesan-pesan antar dua orang atau lebih diantara sekelompok kecil

orang-orang dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika. Pendapat

relevan dari Effendy (1989 : 188) mengemukakan bahwa komunikasi antar

pribadi sebagai komunikasi yang berlangsung dua arah secara timbal balik dalam

bentuk percakapan antar dua atau tiga , baik secara tatap muka maupun melalui

media.
2.1.2 Konsep Budaya

Kata “budaya” berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah” yang

merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti “budi” atau “akal”.

Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi atau

akal.

Istilah culture, yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya

dengan kebudayaan, berasal dari kata “colere” yang artinya adalah mengolah atau

mengerjakan, keahlian mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere

yang kemudian berubah menjadi culture diartikan sebagai segala daya dan

kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Daryanto, 2010: 78).

Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Budaya pada dasarnya

merupakan nilai-nilai yang muncul dari proses interaksi antar-individu. Nilai-nilai

ini diakui, baik secara langsung maupun tidak, seiring dengan waktu yang dilalui

dalam interaksi tersebut. Bahkan terkadang sebuah nilai tersebut berlangsung di

dalam alam bawah sadar individu dan diwariskan pada generasi berikutnya.

Merujuk arti budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 169).

Budaya bisa diartikan sebagai 1) pikiran, akal budi; 2) adat istiadat; 3) sesuatu

yang mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju); dan 4)

sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah.

Beragam definisi budaya tersebut setidaknya memberikan arah bagaimana

mengartikan kata budaya itu sendiri. Sehingga bisa diartikan budaya sebagai

sebuah nilai atau praktik social yang berlaku dan dipertukarkan dalam hubungan
antarmanusia baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Masih beranjak

dari definisi tersebut, penulis perlu kiranya untuk memaparkan pandangan

Raymond Williams (dalam Sutrisno dan Putranto (eds). 2005:8) dalam melihat

budaya, sebagai :

1. Mengacu pada perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis dari

seorang individu, sebuah kelompok atau masyarakat;

2. Mencoba memetakan khanzanah kegiatan intelektual dan artistik sekaligus

produk-produk yang dihasilkan;

3. Menggambarkan keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-

keyakinan, dan adat istiadat sejumlah orang, kelompok, atau masyarakat.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa budaya merupakan nilai-nilai yang muncul akibat

interaksi antarmanusia disuatu wilayah atau negara tertentu. Budaya inilah yang

menjadi acuan dasar bahkan bias menjadi rel bagi proses komunikasi antar

manusia yang ada di dalamnya.

2.1.3 Komunikasi antarbudaya

Masyarakat Indonesia sejak dahulu sudah dikenal sangat heterogen dalam

berbagai aspek, seperti adanya keberagaman suku bangsa, agama, bahasa, adat

istiadat, dan sebagainya.

Menurut Samovar dan Porter (2014: 13), komunikasi antarbudaya terjadi

ketika anggota dari satu budaya tertentu memberikan pesan kepada anggota dari

budaya yang lain. Lebih tepatnya, komunikasi antarbudaya melibatkan interaksi


antara orang-orang yang persepsi budaya dan sistem simbolnya cukup berbeda

dalam suatu komunikasi.

Ada penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang

menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi antarbudaya. Komunikasi

antarbudaya mengakui dan mengurusi permasalahan mengenai persamaan dan

perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antarpelaku komunikasi, tetapi titik

perhatian utamanya tetap terhadap proses komunikasi individuindividu atau

kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan

interaksi.

Landasan yang mempengaruhi komunikasi antarbudaya:

1. Pengaruh teknologi

Staubhaar dan La Rose (2002:24) mencatat bahwa adanya erubahan

terminology menyangkut media. Perubahan tersebut berkaitan dengan

teknologi, cakupan area, produksi massal (mass production), distribusi

massal (mass distribution), sampai pada efek yang dimunculkan. Pada

awalnya pesan disampaikan dengan menggunakan selebaran/manuskrip

dan penyebaranya pun masih menggunakan tenaga orang untuk membawa

pesan tersebut pada tujuan. Perkembangan teknologi dengan ditemukanya

mesin cetak oleh Johannes Gutenberg di pertengahan abad ke-14

menciptakan gelombang munculnya media massa yang semakin maju dan

beragam. Kehadiran buku, majalah, koram, selebaran, poster, dan

sebagainya merupakan pertanda bahwa kemajuan media.


Kehadiran internet kini mulai mengaburkan definisi mesia tradisional,

seperti media cetak sehingga hingga radio-televisi, yang tidak lagi dibatasi

oleh geografis, perbedaan demografis, bahkan psikografis. Bahkan mau

tidak mau sekarang perusahaan media tradisional pun mulai melirik dunia

siber sabagai lahan yang perluh dirambah.

Perkembangan teknologi yang semakin baru ini memberikan pengaruh dan

landasan mengapa perlunya mempelajari komonikasi antarbudaya. Proses

interaksi antar manusia yang dimediasi oleh teknologi dan mampu

menjangkau lapisan masyarakat dari belahan dunia manapun menjadi

semakin terbuka. Internet menjadi salah satu dampak dari perkembangan

teknologi baru pada dasarnya tidak hanya bisa menjadi semacam pintu

untuk mengetahui bagaimana budaya yang ada dalam masyarakat daerah

tertentu, melainkan menjadi perangkat dalam ekspresi budaya itu sendiri.

2. Keunikan Demografis

Ras, suku, agama, latar belakang social, pendidikan, warna kulit, dan

sebagainya merupakan realitas yang tidak dapat dihindarkan. Sebagai

makhluk social, manusia tidak hanya melakukan interaksi sebatas pada

mereka yang memiliki kesamaan saja. Apalagi di era global saat ini

dimana mulai dari alat transportasi dan alat komunikasi dan informasi

menjembatani perbedaan geografis.

Melalui komunikasi antrbuday, kita diberikan pemahaman bahwa dalam

proses komunikasi hendaknya mempertimbangkan apa yang dimaksud

dengan keunikan demografis.


3. Pengaruh Ekonomi Politik

Dalam tataran teoritis, wacana ekonomi politik memiliki beberapa

perspektif. Perpektif ini berdasarkan aspek sejarah kemunculan pemikiran

ekonomi politik dan aplikasinya dalam tataran praktis, yakni ekonomi

politik neoklasik dan politik ekonomi Marxian.

Pengaruh ekonomi politik ini merupakan perpektif kritis yang mencoba

mendekati teori ekomoni antarbudaya untuk melihat bahwa budaya dan

komunikasi tdak dengan apa adanya. Bahwa didalam komunikasi

antarbudaya ada terkandung kekuatan social atau politik yang ada

didalamnya. Misalnya, muncul industry dalam pandangan Mrax tidak

hanya sekedar dilihat sebagai adanya pabrik semata, tetapi juga

melahirkan pola – pola hubungan antara pekerja dan pemilik modal

maupun kebiasaan-kebiasaan yang muncul dari hubungan tersebut.

4. Bentuk Kesadaran Diri

Dalam proses komunikasi, Jalaluddinrakhman (1994) menegaskan ada

beberapa factor mepengaruhi individu, salah satunya berupa persepsi

interpersonal dan konsep diri. Persepsi interspersonal menjelaskan makna

pada stimuli indriawi, atau menafsirkan informasi indriawi. Persepsi

interpersonal adalah memberikan makna teradap stimuli indriawi yang

berasal dari sender atau komunikan, yang berupa pesan verbal dan

nonverbal. Kecermatan dalam persepsi interpersonal akan berpengaruh

terhadap keberhasilan komunikasi, seorang peserta komunikasi yang salah

bemberi makna terhadap pesan akan mengakibat kegagalan komunikasi.


Sementara dalam konsep diri, merupakan merupakan pandangan dan

perasaan seseorang tentang dirinya sendiri. Tentu saja pandangan tentang

dirinya ini direfleksikan dalam proses komunikasi.

5. Kepentingan Etika

Etika bisa didefinisikan sebagai prinsip-prinsip yang mengikat bagi

individu maupun kelompok tertentu (Martin dan Nayakama, 1997 : 16).

Prinsip ini pada dasaranya bisa dikatakan sebagai sesuatu yang muncul

dari perspektif komunitas tertentu untuk menyatakan mana yang baik

mana yang buruk dalam proses komunikasi.

Mempelajari komunikasi antarbudaya tidak hanaya sekadar

menggambarkan bagimana pola-pola budaya yang ada ditengah

masyarakat semata. Teori ini memberikan semacam alat bantu untuk

mengetahui etika yang ada dalam interaksi antarbudaya yang terjadi

sehingga perbedaan bahkan konflik bisa dihindari. Oleh karena itu

(Martin dan Nayakama, 1997:17-18) memeberikan dua tahapan dalam

memandang persoalan ini. Pertama, kita semestinya memiliki kemampuan

untuk menilai kebiasaan-kebiasaan yang beretikan dan apa dikatakan

tidak beretika yang muncul dari beragam budaya. Kedua, tanggung jawab

kita untuk mengidentifikasikan panduan dasar kebiasaan-kebiasaan yang

sesuai etika dalam konteks antarbudaya yang berbeda sehingga dapat

duhindari konflik yang terjadi akibat perbedaan kultur tersebut.

6. Pengaruh Media
Kekerasan tidak semata-mata didominasi oleh televise. Media tradisional

lainya seperti buku, komik, radio, bahkan internet sekalipun bisa menjadi

sumber dari gambaran kekerasan. Namun, tetap saja efek dari terapan

medialah yang menjadi wacana yang peru diperhatikan oleh pelaku

industry kekerasan. Tesis Gerbner (1994) melalui cultivation theory-nya

menyatkan,” overestimate their chances of involvement in violence…

believe that their neighborhoods are unsafe”.

Ini menandatakan bahwa media memberikan pengaruh terhadap

komunikasi antarbudaya. Melalui medialah budaya disitribusikan tidak

hanya kepada kelompok masyarakat tepat di mana budaya itu lahir,

melainkan tersirkulasi sebagai pabrik indutri budaya. Sehingga bisa

dikatakan media merupakan salah satu alasan mendasar mengapa perlunya

mempelajari komunikasi antarbudaya.

2.1.4 Konflik

Konflik adalah akibat situasi dimana keinginan atau kehendak yang

berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau

keduanya saling terganggu (Nardjana, 1994) dalam (Bagus , 2010 : 54).

Ada beberapa strategi dalam menghadapi konflik interpersonal. DeVito

mengemukakan lima strategi untuk mengatasi konflik Devito (2007). Berikut

strategi untuk mengatasi konflik menurut DeVito (2007) :

1. Win-Win Strategies.
Di dalam menghadapi sebuah konflik, cara penyelesaian konflik yang

banyak dipilih adalah win-win solution dibandingkan dengan win-lose

solution. Alasan utama pemilihan win-win solution adalah adanya

kepuasan bersama dan tidak menimbulkan kebencian yang sering

ditimbulkan oleh win-lose solution. Dengan win-win solution dua pihak

yang berkonflik dapat menyelamatkan masing-masing image tentang

dirinya.

2. Avoidance active fighting strategies.

Avoidance atau penghindaran dapat dilakukan secara fisik, misalnya

seperti menghindari konflik dengan cara pergi dari area berkonflik, pergi

untuk tidur, atau membunyikan suara keras agar tidak mendengar apapun.

Di sini orang meninggalkan konflik secara psikologis dengan tidak

menanggapi argumen atau masalah yang dikemukakan. Cara menghindar

belum tentu menjadi cara yang baik untuk menyelesaikan konflik.

Terkadang semakin banyak menghindar, kualitas hubungan semakin

menurun.

3. Force and talk strategies.

Ada beberapa orang berpendapat bahwa kekerasan merusak hubungan

mereka, namun ada pula yang mengatakan kekerasan fisik bahka

memperbaiki hubungan mereka.

Satu-satunya alternatif nyata adalah bicara. Sebagai contoh, keterbukaan,

sikap positif, kesetaraan, sikap mendukung dan empati adalah titik


awal yang cocok untuk menyelesaikan konflik. Selain itu cara yang

baik adalah mendengarkan secara aktif dan terbuka.

4. Face Detracting

Pendekatan untuk face-detracting untuk konflik interpersonal meliputi

memperlakukan orang lain sebagai orang yang tidak kompeten dan tidak

dapat dipercaya, tidak memiliki kemampuan atau buruk. Face-detracting

ditemukan dalam bentuk konflik karena adanya ketidak percayaan,

merendahkan pasangan, dan lain-lain. Hal tersebut dapat berupa

mempermalukan orang lain hingga merusak reputasinya.

5. Verbal aggressiveness

Verbal aggressiveness merupakan strategi konflik yang tidak produktif

dimana salah satu pasangan berusaha memenangkan pendapatnya dengan

menyakiti perasaan pasangan. Menyerang karakter, mungkin karena itu

sangat efektif dalam menimbulkan sakit secara psikologis, taktik yang

paling populer dari agresivitas verbal.

2.1.5 Konsep Perceraian

Perceraian dapat diartikan sebagai berakhirnya hubungan antara suami dan

istri dalam sebuah perkawinan secara hukum, namun perceraian tidak hanya

berarti putusnya hubungan suami dan istri. Banyak hal yang ditimbulkan dan

harus dihadapi sebagai dampak dari perceraian, baik oleh pasangan yang bercerai

maupun anak-anak serta masyarakat di wilayah terjadinya perceraian, karena

menyangkut aspek emosi, ekonomi, dan social serta pengakuan secara resmi oleh

masyarakat (Karim dalam Ihromi 1999).


Berdasarkan berbagai hasil penelitian, penyebab perceraian sangat

beragam, seperti tidak ada kecocokan, ketegangan personal, KDRT, poligami atau

selingkuh, masalah keuangan, nikah di bawah tangan, jarak usia yang terlalu jauh

dan kawin usia muda (Fachrina 2005, 2006; Khairuddin 2004; Bakaruddin dkk

1998). Disamping faktor internal dari suami dan istri itu sendiri, diketahui faktor

campur tangan keluarga dan tekanan sosial serta lemahnya control social

masyarakat ikut yang berperan terhadap terjadinya perceraian (Fachrina 2007;

Karim dalam Ihromi 1999).

Goode (1966), Scanzoni dan Scanzoni (1981) menyatakan bahwa

perubahan pada tingkat perceraian merupakan indikasi terjadinya perubahan-

perubahan lainnya di dalam masyarakat, yakni (1) Berkaitan dengan perubahan

pada nilai dan norma tentang perceraian, masyarakat pada umumnya tidak lagi

memandang perceraian sebagai sesuatu hal yang memalukan dan mentoleransi

perceraian sebagai suatu alternatif jalan terbaik bagi pasangan itu. (2) Adanya

perubahan pada tekanan-tekanan sosial dari lingkungan keluarga atau kerabat,

teman-teman dan lingkungan ketetanggaan terhadap ketahanan sebuah

perkawinan. (3) Menguatnya gejala individualis dan menjadikan persoalan rumah

tangga adalah urusan pribadi. (4) Peralihan fungsi-fungsi keluarga kepada

lembaga lainnya di luar keluarga dan (5) adanya etos kesamaan derajat dan

tuntutan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan (Karim dalam Ihromi

1999).
2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang dianggap relevan dan dijadikan sebagai

pembanding terhadap penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Anwar

et al, (2016) dengan judul “The Intercultural Communication Barriers of

Marriage and Divorce Between Java and Papua Ethnics in The City of Jayapura

(Conflict Management Strategy in Husband and Wife Interpersonal

Relationship.”. Hasil penelitian menemukan bahwa banyak pasangan suami istri

berbeda etnis Papua dengan Jawa yang cenderung ingin menampilkan ciri khas

budaya diri masing-masing secara dominan satu sama lain. Salah satu penyebab

terjadinya konflik adalah karena adanya misscommunication diantara kedua belah

pihak yang diakibatkan karena perbedaan etnis dan sulit nya menyesuaikan

kondisi tersebut. Penelitian ini menunjukkan, keterbukaan komunikasi antar

pasangan suami istri yang baik belum tentu bisa mengurangi intensitas konflik

pada proses eskalasi hubungan dalam perkawinan. Faktor gaya komunikasi pada

etnis Jawa dengan Papua (mengontrol, agresif, koersif, dominasi dan bersifat

rasis) memberi kontribusi untuk menentukan munculnya konflik. Solusi utamanya

adalah mereka membentuk ikatan komitmen yang kuat dan perlunya pemahaman

akan adanya keberagaman.

Rochayanti et al, (2016) dengan judul “Intercultural Communication

Accommodation in Interethnic Family”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

kondisi yang ditampung dalam keluarga antar etnis adalah sikap mendidik anak-

anak dan berkenalan dengan keluarga besar Keterbukaan dalam interetnis


keluarga mencakup hal-hal pendidikan anak, bahasa yang digunakan, nama anak-

anak, kegiatan di luar sekolah, pemilihan sekolah. Namun, untuk pasangan anak-

anak, keluarga antaretnis menginginkan anak-anak mereka menikahi pasangan

dari agama yang sama, tidak peduli apa etnis mereka. Hubungan sosial, khususnya

dengan keluarga besar, dianggap sebagai rekreasi keluarga, belajar masakan, dan

memperkenalkan budaya elemen untuk anak-anak. Keterlibatan istri dalam acara

adat adalah untuk mendukung posisi suami dan untuk menjaga hubungan dengan

keluarga besar suami.

Nurhadi et al, (2016) dengan judul “model komunikasi antar budaya

keluarga mixed marriage di wilayah budapest-hungaria” Hasil penelitian

menemukan bahwa menemukan model komunikasi antarbudaya para pelaku

mixed marriage terkait dengan motif, pengalaman, makna atau komunikasi antar

budaya yang beragam yang didasari oleh banyaknya perbedaan budaya, bahasa,

pola pikir, serta ditemukan stereotip terhadap agama tertentu namun para pelaku

mixed marriage dapat beradaptasi dengan situasi tersebut. Penelitian ini

memberikan konstribusi empat model komunikasi pelaku keluarga mixed

marriage yaitu model motif, pengalaman, makna atau komunikasi antarbudaya

pelaku mixed marriage. Motif informan sebagai pelaku mixed marriage karena

mereka merasa cocok atau atas dasar cinta. Terdapat pula motif lain yang melatar

belakangi terjadinya mixed marriage seperti menarik atau menantang, sehingga

ada kebanggaan tersendiri yang dirasakan oleh para pelaku mixed marriage.

Pengalaman pelaku mixed marriage selama menikah dengan warga negara asing

memiliki permasalahan utama dalam hal bahasa, beberapa informan mengalami


kesulitan beradaptasi karena keterbatasan bahasa. Selain itu, adanya stereotip

yang mengganggu keharmonisan dalam keluarga mixed marriage. Terdapat

pengalaman positif diakui oleh informan bahwa mixed marriage adalah proses

pembelajaran dari pengalaman yang menyenangkan. Para informan memaknai

mixed marriage sebagai pernikahan yang dapat memberikan pembelajaran dalam

bertoleransi, menghargai atau menghormati setiap perbedaan budaya masing-

masing pasangan, atau perbedaan latar belakang. Toleransi ini dilakukan untuk

menjaga keharmonisan dalam keluarga mixed marriage. Komunikasi antar budaya

pada keluarga mixed marriage, terasa menarik atau menantang untuk dilakukan

karena adanya perbedaan budaya, kebiasaan, pola pikir, serta perbedaan agama.

Pratamawaty et al, (2017) dengan judul “Potensi Konflik Perkawinan

Lintas Budaya Perempuan Indonesia dan Laki-Laki Bule”. Hasil penelitian ini

menemukan Terdapat beberapa perbedaan penyebab konflik yang dominan dalam

perkawinan lintas budaya antara perempuan Indonesia dan laki-laki bule, yakni

perbedaan konteks bahasa, gaya berkomunikasi, persepsi tentang konsep keluarga,

dan persepsi tentang ruang privasi. Pada akhirnya, pasangan perkawinan lintas

budaya menemukan pola penyelesaian dalam menghadapi perbedaanperbedaan

budaya yang muncul dalam kehidupan sehari-hari, baik yang berpotensi konflik

maupun tidak. Sejalan dengan waktu, berbagi perbedaan-perbedaan yang ada

bersama-sama, perempuan Indonesia dan suami bule akan mencapai titik di mana

mereka mulai berbagi nilai-nilai dan cara pandang yang sama.

Adi et al, (2017) dengan judul “Perilaku Komunikasi Antarbudaya

Pasutri Kawin Campur (Perspektif Drama Turgi)”. Hasil penelitian ini


menemukan memperbaiki perilaku komunikasi antarbudaya diantara pasutri

kawin campur, agar tercapai hubungan harmoni melalui memahami untuk

memposisikan pasangannya maupun lingkungan social terdekatnya. Prinsip dasar

komunikasi keluarga menjadi penting dalam mengatasi problematika umum, dan

komunikasi intim harus selalu diciptakan. Kedua faktor tersebut berjalan efektif,

jika pasutri memberikan kesempatan bagi pasangannya untuk mempresentasikan

perannya.

Syahputra et al, (2017) dengan judul “Komunikasi Antar-Budaya Dalam

Keluarga Campuran (Studi Tentang Pengelolaan Emosi Dan Komitmen

Mempertahankan Rumah Tangga Pada Keluarga Campuran Tionghoa-Aceh Di

Banda Aceh)”. Berdasarkan hasil penelitian ini, Latar belakang personal

pasangan perkawinan campuran antara suku Aceh dengan suku Tionghoa di awali

dengan bermacam-macam hal, ada yang memang sengaja bertemu di tempat kerja,

ada yang didasari oleh cinta yang mempertemukan mereka, dan ada juga yang

pernah menjadi tetangga sejak dulu, serta bisa dibilang bervariasi. Dalam hal

pengelolaan emosi, setiap pasangan memiliki keberagaman dalam berpendapat.

Namun, hampir keseluruhan pasangan pernikahan campuran ini menunjukkan

sikap kedewasaannya dalam mengelola emosi. Baik itu emosi amarah, sedih,

bahagia, rasa takut, kecewa, dan emosi-emosi lainnya. Mengenai komitmen

mempertahankan rumah tangga, setiap pasangan pernikahan beda budaya ini

memiliki tekad yang sangat kuat dalam mempertahankan rumah tangganya,

mereka menganggap bahwa untuk mencapai ke tahap ini bukanlah yang mudah.
Banyak suka dan duka harus dilewati masing-masing pasangan ini hingga

pernikahan mereka masih bias dipertahankan hingga saat ini.

Khumas et al, (2017) dengan judul “Model Penjelasan Intensi Cerai

Perempuan Muslim di Sulawesi Selatan”. Hasil penelitian ini menemukan bahwa

intensi cerai dapat dijelaskan oleh kuatnya daya Tarik hubungan negatif dalam

perkawinan, misalnya adanya kekerasan dalam rumah tangga, ketidaksetiaan, dan

ketiadaan tanggungjawab. Juga ditemukan bahwa ada hambatan bercerai yang

lemah dan keyakinan hidup lebih baik setelah bercerai yaitu ada harapan

mendapatkan pasangan baru yang mencintai mereka. Faktor tidak langsung yang

turut berkontribusi pada intensi cerai adalah tingkat pendidikan. Hasil temuan ini

mengukuhkan model penjelasan intensi cerai berdasarkan teori pertukaran sosial,

teori perilaku terencana dan model perceraian Amato dan Rogers yang diajukan.

Thalib et al, (2017) dengan judul “tingginya tingkat gugat cerai di

pengadilan Agama pekanbaru”. Hasil penelitian ini menemukan bahwa

Penyebab tingginya tingkat perceraian di wilayah hukum Pengadilan Agama

Pekanbaru dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya faktor ekonomi dengan

persentase 38,9 %, adanya kekerasan dalam rumah tangga dengan persentase

11,11%. Penyebab lainnya adalah karena faktor perselingkuhan dengan persentase

22,22 %

dan penyebab lainnya dengan persentase 27,7 % dikarenakan adanya campur

tangan pihak ketiga. Cara mengatasi tingginya tingkat perceraian di wilayah

hokum Pengadilan Agama Pekanbaru diawali dengan peran majelis hakim untuk

mendamaikan para pihak yang ingin bercerai melalui mediasi. Berikutnya dari
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pekanbaru memberikan jalan keluar untuk

mengatasi tingginya istri yang mengajukan gugatan cerai dengan membekali

calon pengantin melalui bimbingan konseling sebelum menikah, memperkuat

iman dan perbaikan akhlak agar terhindar dari perselingkuhan, dan meningkatkan

peran BP4 sebagai badan yang salah satunya memberikan pertimbangan dan

membantu menyelesaikan permasalahan rumah tangga sebelum diajukan ke

Pengadilan Agama.

Matondang et al, (2014) dengan judul “Faktor-faktor yang

Mengakibatkan Perceraian dalam Perkawinan”. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa faktor-faktor yang mengakibatkan perceraian dalam rumah tangga di desa

Harapan Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi antara lain yakni : Fakor usia

muda, faktor ekonomi, faktor belum memiliki keturunan dan faktor suami sering

berlaku kasar menjadi penyebab terjadinya perceraian di Desa Harapan. Akibat

yang Terjadi dari Perceraian di Desa Harapan Kecamatan Tanah Pinem

Kabupaten Dairi adalah hilangnya kasih sayang anak dan renggangnya hubungan

keluarga antara pihak istri dan suami.

2.3 Kerangka Pikir

Berdasarkan latar belakang, fenomena dan permasalahan dalam

penelitian ini maka akan menjadi fokus penelitian ini adalah Analisis Model

Komunikasi Antar Budaya Terhadap Tingkat Perceraian (Studi Pada Kelurahan

Kendari Barat Kota Kendari). Salah satu faktor yang meningkatkan tingkat
perceraian di karena perbedaan budaya, adanya faktor ekonom, dan adanya faktor

kekerasan dalam rumah tangga, karena itu penelitian ini merujuk pada penelitian

Anwar et al, (2016) yang menemukan bahwa banyak pasangan suami istri berbeda

etnis cenderung ingin menampilkan ciri khas budaya diri masing-masing secara

dominan satu sama lain. Salah satu penyebab terjadinya konflik adalah karena

adanya misscommunication diantara kedua belah pihak yang diakibatkan karena

perbedaan etnis dan sulit nya menyesuaikan kondisi tersebut. Penelitian ini

menunjukkan, keterbukaan komunikasi antar pasangan suami istri yang baik

belum tentu bisa mengurangi intensitas konflik pada proses eskalasi hubungan

dalam perkawinan. Faktor gaya komunikasi pada etnis Jawa dengan Papua

(mengontrol, agresif, koersif, dominasi dan bersifat rasis) memberi kontribusi

untuk menentukan munculnya konflik. Solusi utamanya adalah mereka

membentuk ikatan komitmen yang kuat dan perlunya pemahaman akan adanya

keberagaman. Thalib et al, (2017) dengan judul “tingginya tingkat gugat cerai di

pengadilan Agama pekanbaru”. Hasil penelitian ini menemukan bahwa

Penyebab tingginya tingkat perceraian di wilayah hukum Pengadilan Agama

Pekanbaru dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya faktor ekonomi dengan

persentase 38,9 %, adanya kekerasan dalam rumah tangga dengan persentase

11,11%. Penyebab lainnya adalah karena faktor perselingkuhan dengan persentase

22,22 %
dan penyebab lainnya dengan persentase 27,7 % dikarenakan adanya campur

tangan pihak ketiga. Cara mengatasi tingginya tingkat perceraian di wilayah

hokum Pengadilan Agama Pekanbaru diawali dengan peran majelis hakim untuk

mendamaikan para pihak yang ingin bercerai melalui mediasi. Berikutnya dari
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pekanbaru memberikan jalan keluar untuk

mengatasi tingginya istri yang mengajukan gugatan cerai dengan membekali

calon pengantin melalui bimbingan konseling sebelum menikah, memperkuat

iman dan perbaikan akhlak agar terhindar dari perselingkuhan, dan meningkatkan

peran BP4 sebagai badan yang salah satunya memberikan pertimbangan dan

membantu menyelesaikan permasalahan rumah tangga sebelum diajukan ke

Pengadilan Agama.

Berdasarakan rujukan konseptual penelitian menekankan dua hal

penting yaitu komunikasi antarbudaya dan faktor-faktor yang menyebabkan

terjadinya perceraian . ada pun kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat seperti

gambar 2.1 sebagai berikut :

Analisi model
komunikasi

Faktor-faktor
Komunikasi
penyebab
antarbudaya
terjadinya

Anda mungkin juga menyukai