Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia, karena manusia tidak bisa
lepas dari komunikasi, karena dengan berkomunikasi manusia dapat saling
berinteraksi atau berhubungan satu sama lainnya baik dalam kehidupan sehari-
hari, dirumah, pasar atau dimana tempat mereka berinteraksi. Disadari
sepenuhnya bahwa komunikasi yang dilakukan manusia selalu mengandung
potensi perbedaan budaya, sekecil apa pun perbedaan itu sangat membutuhkan
upaya untuk keberhasilan proses komunikasi secara efektif yakni dengan
menggunakan informasi budaya mengenai pelaku-pelaku komunikasi yang
bersangkutan. Tak dapat di elak lagi komunikasi lintas budaya menjadi kebutuhan
bagi semua kalangan untuk menjalin hubungan yang baik dan memuaskan bagi
setiap orang, terutama mereka yang berbeda budaya.
Pada awalnya studi Lintas Budaya berasal dari perspektif antropologi sos-
bud yang bersifat depth description yaitu penggambaran mendalam tentang
perilaku komunikasi berdasarkan kebudayaan tertentu. Sehingga diawalnya
Komunikasi Lintas Budaya diartikan sebagai proses mempelajari komunikasi
diantara individu maupun kelompok suku, bangsa dan ras yang berbeda negara.
Alasannya karena beda negara pasti beda kebudayaannya. Sebaliknya adalah
Komunikasi Antar Budaya yang dilakukan oleh pribadi-pribadi dalam suatu
bangsa yang sama.
Studi KLB ini berkembang dari studi-studi mengenai antropologi budaya
yang mempelajari proses-proses komunikasi dalam berbagai ragam budaya yang
berbeda (karya Edward T Hall seperti The Silent Language, The Hiden
Dimension dan Beyond Culture). Sebagian besar penelitian KLB bersifat
komparatif yakni membandingkan berbagai budaya terutama budaya nasional,
walaupun banyak juga para peneliti yang mengartikan budaya sebagai etnis, ras,
komunikasi antar generasi, able-bodied/ disabled communication.
Melalui pemahaman lintas budaya, akan ditarik serat-serat perbedaan atau
persamaan lintas budaya secara individu atau masyarakat, selanjutnya dapat pula
di identifikasi unsur-unsur yang dapat melanggengkan komunikasi. Tentu saja
untuk memahami budaya orang lain, setiap perilaku komunikasi harus terlebih
dahulu memahami budayanya sendiri. Dengan kesadaran lintas budaya,
selanjutnya akan muncul sikap saling menghargai bagi setiap kebutuhan, aspirasi,
perasaaan dan masalah manusia. Komunikai lintas budaya (cross-cultural
communication) atau sering juga disebut dengan istilah komunikasi antar budaya
bersifat informal, personal dan tidak selalu terikat antar bangsa atau antar negara.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian komunikasi lintas budaya ?
2. Bagaimana Sejarah Komunikasi Lintas Budaya ?
3. Apa karakteristik Komunikasi Lintas Budaya
4. Apa tujuan mempelajari Komunikasi Lintas Budaya ?
5. Apa hambatan yang terjadi dalam komunikasi lintas budaya ?
6. Teori apa saja yang berkaitan dengan komunikasi lintas budaya ?

C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pengertian komunikasi lintas budaya.
2. Mengetahui sejarah Komunikasi Lintas Budaya.
3. Mengetahui karakteristik Komunikasi Lintas Budaya.
4. Mengetahui tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya.
5. Mengetahui hambatan yang terjadi pada komunikasi lintas budaya.
6. Mengetahui teori yang terkait dengan komunikasi lintas budaya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Komunikasi Lintas Budaya


Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada
suatu penerima atau lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka
(Hafied Cangara)[1]. Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang
didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat, kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia
sebagai anggota masyarakat. (E.B Taylor)[2]
Adapun komunikasi lintas budaya sendiri didefinisikan sebagai:
1. Komunikasi yang dilakukan oleh dua kebudayaan atau kebih
2. Komunikasi yang dilakukan sebagai akibat dari terjalinnya komunikasi antar
unsur kebudayaan itu sendiri, seperti komunikasi antar masyarakatnya.
Jika kita gabungkan dari kedua pengertian tentang Komunikasi dan
Kebudayaan (budaya) maka akan mendpatkan pengertian sebagai berikut:
Komunikasi Lintas Budaya adalah proses dimana dialihkan ide atau gagasan
suatu budaya yang satu kepada budaya yang lainnya dan sebaliknya dan hal ini
bisa antar dua kebudayaan yang terkait ataupun lebih, tujuannya untuk saling
mempengaruhi satu sama lainnya, baik itu untuk kebaikan sebuah kebudayaan
maupun untuk menghancurkan suatu kebudayaan atau bisa jadi sebagai tahap
awal dari proses akulturasi (penggabungan dua kebudayaan atau lebih yang
menghasilkan kebudayaan yang baru)
Definisi pertama dikemukakan dalam buku Interculuture communication:
A Reader dimana dinyatakan bahwa Komunikasi antar budaya (interculture
communication) terjadi apabila sebuah pesan (message) yang harus dimengerti
dihasilkan oleh anggota dari budaya tertentu untuk di konsumsi anggota dari
budaya yang lain.
Definisi lain diberikan oleh Liliweri bahwa proses komunikasi antar budaya
merupakan interaksi antar pribadi dan komunikasi yang dilakukan oleh beberapa
orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Adapun definisi yang ada mengenai komunikasi anatar budaya (interculture
communication) menyatakan bahwa komunikasi antar budaya terjadi apabila
terdapat 2 budaya yang berbeda dan kedua budaya tersebut sedang melaksanakan
proses komunikasi.
Menurut Maletzke, komunikasi lintas budaya adalah proses perubahan
mencari dan menentukan makna antar manusia yang berbeda budaya.
Kim mengatakan bahwa komunikasi lintas budaya adalah suatu fenomena
pengiriman komunikasi dalam diri partisipan kepada pihak lain yang berbeda latar
belakang budayanya baik secara langsung maupun tidak langsung.
Samover, Porter dan jain mengatakan komunikasi lintas budaya adalah
terjadinya pengiriman pesan dari seseorang yang berasal dari satu budaya yang
berbeda dengan penerima pesan.
Bila disederhanakan, komunikasi lintas budaya ini memberi penekanan pada
aspek perbedaan budaya sebagai faktor yang menentukan sebagai
keberlangsungan proses komunikasi.
B. Sejarah Komunikasi Lintas Budaya
Komunikasi Lintas Budaya (cross cultural communication) bukanlah
sebagai barang baru dalam kehidupan manusia. Ia telah ada sejak manusia
melakukan kontak atau berinterkasi dengan latar kebudayaan yang berbeda.
Namun studi tentang Komunikasi Lintas Budaya secara sistematis, ilmiah dan
akademis baru di kaji pada akhir abab 1960-an (awal 1970-an) sebagai bagian tak
terpisahkan dari studi disiplin ilmu komunikasi. Pada intinya kemunculan studi
komunikasi lintas budaya ini didasari oleh ketidakmapuan individu-individu untuk
saling memahami pihak lain dalam dinamika pergaulan kehidupan sehari-hari.
Istilah antar budaya pertama kali diperkenalkan oleh Edward T.Hall pada
tahun 1959 dalam bukunya The Silent Language. Perbedaan antarbudaya dalam
berkomunikasi baru dijelaskan oleh David K. Berlo (1960) melalui bukunya The
Process of Communication (an introduction to theory and practice). Barlo (1960)
menggambarkan proses komunikasi dalam model yang diciptakannya.
Menurutnya, komunikasi akan tercapai jika kita memperhatikan faktor-faktor
SMCR (Sources, Message, Channel, and Receiver). Antara sources dengan
receiver yang diperhatikan adalah kemampuan berkomunikasi, sikap, pengetahuan
sistem sosial, dan kebudaayaan. Namun, dalam hal ini, komunikasi antarbudaya
yang dijelaskan melalui teori etnosentrisme ini berbasis pada konteks komunikasi
kelompok (etnik).
Rumusan objek formal komunikasi antarbudaya baru dipikirkan pada 1970-
1980-an. Pada saat yang sama, para ahli ilmu sosial sedang sibuk membahas
komunikasi internasional yang disponsori oleh Speech Communication
Associaton, sebuah komisi yang merupakan bagian Asosiasi Komunikasi
Internasional dan Antarbudaya yang berpusat di Amerika Serikat.
Annual tentang komunikasi antarbudaya yang disponsori oleh badan itu
terbit pertama kali pada 1974 oleh Fred Casmir dalam The International and
Intercultural Communication Annual. Kemudian Dan Landis menguatkan konsep
komunikasi antarbudaya dalam Internaional Journal of Intercultural Relations
pada 1977. Pada tahun 1979 Molefi Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark
menerbitkan sebuah buku yang membicarakan komunikasi antarbudaya, yakni
The Handbook of Intercultural Communication. Sejak itu banyak ahli mulai
melakukan studi tentang komunikasi antarbudaya, misalnya penelitian Asante dan
kawan-kawan pada 1980-an.
Akhir tahun 1983, terbitlah International dan Intercultural Communication
Annual yang dalam setiap volumenya mulai menempatkan rubrik khusus untuk
menampung tulisan tentang komunikasi antarbudaya. Tema pertama tentang
Teori Komunikasi Antarbudaya diluncurkan tahun 1983 oleh Gundykunst,
disusul tahun 1988 oleh Kim dan Gundykunst, sedangkan tema metode penelitian
ditulis oleh Gundykunst dan Kim tahun 1984. Edisi lain tentang komunikasi,
kebudayaan, proses kerjasama antarbudaya ditulis pula oleh Gundykunst, Stewart,
dan Tim Toomey tahun 1985, komunikasi antaretnik oleh Kim tahun 1986,
adaptasi lintas budaya oleh Kim dan Gundykust tahun 1988, dan terakhir
komunikasi / bahasa dan kebudayaan oleh Ting Toomey dan Korzenny tahun
1988.
Pada tahun 1990-an, studi-studi komunikasi antarbudaya diperluas meliputi
pula studi komunikasi antarbangsa, misalnya Penelitian Komunikasi
Kemanusiaan, Monograf Komunikasi, Jurnal Komunikasi, Jurnal Komunikasi
Internasional dan Relasi Antarbudaya, Jurnal Studi tentang Orang Kulit Hitam,
dan Jurnal Bahasa dan Psikologi Sosial.
Mc Luhan merupakan orang pertama yang memberikan tekanan ulasan pada
hubungan komunikasi antarbangsa karena melihat adanya gejala ketergantungan
antarbangsa. Dari gagasannya, muncullah konsep Tatanan Komunikasi dan
Informasi Dunia baru yang mempengaruhi perkembangan sejumlah penelitian
tentang perbedaan budaya antar etnik, rasial, dan golongan di semua bangsa.
Faktor-faktor tersebut memantik pesatnya perkembangan teori dan penelitian yang
berkaitan dengan komunikasi antarbudaya.
C. Karakteristik Komunikasi Lintas Budaya
Ada beberapa macam karaketeristik Komunikasi Lintas Budaya, antara lain :
1. Ada dua atau lebih kebudayaan yang terlibat dalam komunikasi
2. Ada jalan atau tujuan yang sama yang akhirnya menciptakan komunikasi itu
3. Komunikasi Lintas Budaya menghasilkan keuntungan dan kerugian diantara dua
budaya atau lebih yang terlibat
4. Komunikasi lintas budaya dijalin baik secara individu anggota masyarakat
maupun dijallin secara berkelompok atau dewasa ini dapat dilakukan melalui
media
5. Tidak semua komunikasi lintas budaya menghasilkan feedback yang dimaksud,
hal ini tergantung kepada penafsiran dan penerimaan dari sebuah kebudayaan
yang terlibat, mau atau tidaknya dipengaruhi
6. Bila dua kebudayaan melebur karena pengaruh komunikasi yang dijalin maka
akan menghasilkan kebudayaan baru, dan inilah yang disebut akulturasi.

Karakter budaya sendiri yaitu:


1. Komunikasi dan bahasa
2. Pakaian dan penampilan
3. Makanan dan kebiasaan makanan
4. Waktu dan kesadaran akan waktu
5. Hubungan-hubungan
6. Nilai dan norma
7. Rasa diri dan ruang
8. Proses mental dan belajar
9. Kepercayaan dan sikap

D. Hakikat dan Unsur Proses Komunikasi Lintas Budaya


1. Hakikat Proses Komunikasi Antarbudaya Komunikasi tidak bisa dipandang
sekedar sebagai sebuah kegiatan yang menghubungkan manusia dalam keadaan
pasif, tetapi komunikasi harus dipandang sebagai proses yang menghubungkan
manusia melalui sekumpulan tindakan yang terus menerus diperbaharui. Jadi
komunikasi itu selalu terjadi antara sekurang-kurangnya dua orang peserta
komunikasi atau mungkin lebih banyak dari itu (kelompok, organisasi, publik dan
massa) yang melibatkan pertukaran tanda-tanda melalui; suara, seperti telepon
atau radio; kata-kata, seperti pada halaman buku dan koran yang tercetak; atau
suara dan kata-kata, yaitu melalui televisi. Pada hakikatnya proses komunikasi
antarbudaya sama dengan proses komunikasi lain, yakni suatu proses yang
interaktif dan transaksional serta dinamis. Komunikasi antarbudaya yang
interkatif adalah komunikasi yang dilakukan oleh komunikator dengan komunikan
dalam dua arah/timbal balik (two way communication) namun masih berada pada
tahap rendah (Wahlstrom, 1992). Komunikasi transaksional meliputi 3 unsur
penting yakni; (1) keterlibatan emosional yang tinggi, yang berlangsung terus
menerus dan berkesinambungan atas pertukaran pesan; (2) peristiwa komunikasi
meliputi seri waktu, artinya berkaitan dengan masa lalu, kini dan yang akan
datang; dan (3) partisipan dalam komunikasi antarbudaya menjalankan peran
tertentu. 2. Unsur-unsur Proses Komunikasi Antarbudaya Komunikator
Komunikator dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang meprakarsai
komunikasi, artinya dia mengawali pengiriman pesan tertentu kepada pihak lain
yang disebut komunikan. Bebrapa studi tentang karakteristik komunikator yang
pernah dilakukan oleh Howard Giles dan Arlene Franklyn-Stokes menunjukkan
bahwa karakteristik itu ditentukan antara lain oleh latar belakang etnis dan ras,
faktor demografis seperti umur dan jenis kelamin, hingga ke latar belakang sistem
politik. William Gudykunst dan Young Yun Kim (1995) mengatakan bahwa secara
makro perbedaan karakteristik antarbudaya itu ditentukan oleh faktor nilai dan
norma hinggan ke arah mikro yang mudah dilihat dalam wujud kepercayaan,
minat dan kebiasaan. Selain itu faktor-faktor yang berkaitan dengan kemampuan
berbahasa sebagai pendukung komunikasi misalnya kemampuan berbicara dan
menulis secara baik dan benar (memilih kata, membuat kalimat), kemampuan
menyatakan simbol non verbal (bahasa isyarat tubuh), bentuk-bentuk dialek dan
aksen, dll. (Asante dan Gudykunst, 1989). Berdarkan pendapat tesebut maka
komunikasi antarpribadi di antara dua orang yang berbeda jenis kelamin (gender),
berbeda status dan kelas sosial, misalnya antara atasan dengan bawahan, antar
dosen dengan mahasiswa, antar pedagang dengan pembeli, antara orang makassar
dengan bugis, antar orang Indonesia dengan Australia dapat digolongkan sebagai
komunikasi antarbudaya. Komunikan Komunikan dalam komunikasi antar budaya
adalah pihak yang menerima pesan tertentu, dia menjadi tujuan atau sasaran
komunikasi dari pihak lain (komunikator). Pesan/Simbol Dalam proses
komunikasi, pesan berisi pikiran, ide atau gagasan, perasaan yang dikirim oleh
komunikator kepada komunikan dalam bentuk simbol. Simbol adalah sesuatu
yang digunakan untuk mewakili maksud tertentu, misalnya dalam kata-kata verbal
yang diucapkan atau ditulis, atau simbol non verbal yang diperagakan melalui
gerak-gerik tubuh/ anggota tubuh, warna, gambar, pakaian dan lain-lain yang
semuanya harus dipahami secara konotatif. Media Dalam proses komunikasi
antarbudaya, media merupakan tempat, saluran yang dilalui oleh pesan atau
simbol yang dikirim melalui media tertulis misalnya surat, telegram. Juga media
massa (cetak) seperti majalah, surat kabar, media massa elektronik (radio, televisi,
video, film, dan lain-lain). Efek atau Umpan Balik Manusia mengkomunikasikan
pesan karena dia mengharapkan agar tujuan dan fungsi komunikasi itu tercapai.
Tujuan dan fungsi komunikasi, termasuk komunikasi antarbudaya, antara lain
memberikan informasi, menjelaskan atau menguraikan tentang sesuatu,
memberikan hiburan, memaksakan pendapat atau mengubah sikap komunikan.
Suasana (Setting dan Context) Satu faktor penting dalam komunikasi antarbudaya
adalah suasana yang kadang-kadang disebut setting of communication, yakni
tempat (ruang, space) dan waktu (time) serta suasana (sosial, psikologis) dengan
komunikasi antarbudaya berlangsung. Gangguan (Noise atau Interference)
Gangguan dalam komunikasi antarbudaya adalah segala sesuatu yang menjadi
penghambat laju pesan yang ditukar antara komunikator dengan komunikan, atau
paling fatal adalah mengurangi makna pesan antar budaya. De Vito (1997)
menggolongkan tiga macam gangguan, (1) fisk - berupa interfrensi dengan
transmisi fisik isyarat atau pesan lain, misalnya desingan mobil yang lewat,
degungan komputer, kacamata; (2) psikologis interfensi kognitif atau mental,
misalnya prasangka dan bias pada sumber-penerima-pikiran yang sempit; dan (3)
semantik berupa pembicara dan pendengar memberi arti yang berlainan,
misalnya orang berbicara dengan bahasa yang berbeda, menggunakan jargon atau
istilah yang terlalu rumit yang tidak dipahami oleh pendengar.

D. Tujuan mempelajari Komunikasi Lintas Budaya


Kebutuhan untuk mempelajari komunikasi lintas budaya ini semakin
terasakan karena semakin terbukanya pergaulan kita dengan orang-orang dari
berbagai budaya yang berbeda, disamping juga karena kondisi bangsa Indonesia
yang sangat majemuk dengan berbagai ras, suku bangsa, agama, latar belakang
daerah, latar belakang pendidikan dan yang lainnya.
Litvin menyebutkan beberapa alasan, tujuan kita mempelajari komunikasi
lintas budaya. Yang antara lain:
1. Dunia sedang menyusut, kapasitas untuk memahami keanekaragaman budaya
sangat diperlukan
2. Semua budaya berfungsi dan penting bagi pengalaman anggota-anggota budaya
tersebut meskipun nilai-nilainya berbeda.
3. Nilai-nilai setiap masyarakat sebaik nilai-nilai masyarakat lainnya.
4. Setiap individu dan atau budaya berhak menggunakan nilai-nilainya sendiri.
5. Perbedaan-perbedaan individu itu penting, namun ada asumsi-asumsi dan pola-
pola budaya mendasar yang berlaku.
6. Pemahaman atas nilai-nilai budaya sendiri merupakan prasyarat untuk
mengidentifikasi dan memahami nilai-niai budaya lain.
7. Dengan mengatasi hambatan-hambatan budaya untuk berhubungan dengan orang
lain kita mmeperoleh pemahaman dan penghargaan bagi kebutuhan, aspirasi,
perasaan dan masalah manusia.
8. Pemahaman atas orang lain secara lintas budaya dan antar pribadi adalah suatu
usaha yang memerlukan keberanian dan kepekaan. Semakin mengancam
pandangan dunia orang itu bagi pandangan dunia kita, semakin banyak yang harus
kita pelajari dari dia, tetapi semakin berbahaya untuk memahaminya.
9. Pengalaman-pengalaman antar budaya sangat menyenangkan dan menumbuhkan
kepribadian.
10. Ketrampilan-ketrampilan komunikasi yang diperoleh memudahkan perpindahan
seseorang dari pandangan yang monokultural terhadap interaksi manusia ke
pandangan multikultural.
11. Perbedaan-perbedaan budaya menandakan kebutuhan akan penerimaan dalam
komunikasi, namun perbedaan-perbedaan tersebut secara arbitrer tidaklah
menyusahkan atau memudahkan.
12. Situasi-situasi komunikasi antar budaya tidaklah statik dan bukan pula
stereotip. Karena itu seorang komunikator tidak dapat dilatih untuk mengatasi
situasi. Dalam konteks ini kepekaan, pengetahuan dan ketrampilannya bisa
membuatnya siap untuk berperan serta dalam menciptakan lingkungan
komunikasi yang efektif dan saling memuaskan.
Sedangkan menurut Litvin, bila kita mempelajari komunikasi lintas budaya
mengenai tujuan itu, dia menguraikan tujuannya yang bersifat kognitif dan afektif,
yaitu untuk:
1. Menyadari bias budaya sendiri
2. Lebih peka secara budaya
3. Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain
untuk menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan orang tersebut.
4. Merangsang pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri
5. Memperluas dan memperdalam pengalaman seseorang
6. Mempelajari ketrampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu menerima
gaya dan isi komunikasinya sendiri.
7. Membantu memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan memlihara
semesta wacana dan makna bagi para anggotanya.
8. Membantu memahami kontak antar budaya sebagai suatu cara memperoleh
pandangan ke dalam budaya sendiri, baik asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasan-
kebebasan dan keterbatasan-keterbatasannya.
9. Membantu memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi bidang
komunikasi antar budaya.
10. Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai yang berbeda dapat dipelajari
secara sistematis, dibandingkan dan difahami
Kami menyimpulkan bahwa tujuan kita mempelajari komunikasi lintas
budaya yaitu:
1. untuk menghindari gegar budaya
2. untuk menghindari kesalahpahaman
3. untuk menghindari pertentangan

E. Hambatan Komunikasi Lintas Budaya


Hambatan komunikasi atau yang juga dikenal sebagai communication
barrier adalah segala sesuatu yang menjadi penghalang untuk terjadinya
komunikasi yang efektif.
Contoh kasus:
Kasus anggukan kepala, dimana di Amerika Serikat anggukan kepala
mempunyai arti bahwa orang tersebut mengerti. Sedangkan di Jepang anggukan
kepala tidak bearti seseorang setuju melainkan hanya berarti bahwa orang tersebut
mendengarkan.
Contoh lain adalah bahasa, di daerah sebut saja Surabaya, untuk memanggil
kamu dengan panggilan kon sudah menjadi biasa, di Cilacap kowe sudah menjadi
kebiasaan untuk memanggil sebagai ganti kamu, di Jakarta kadang menggunakan
kata loe sebagai sebutan kamu.
Dengan memahami mengenai komunikasi antar budaya maka hambatan
komunikasi semacam ini dapat kita lalui.
Jenis-jenis hambatan dalam komunikasi antar budaya antara lain:
Ada dua hambatan komunikasi antar budaya yang kita sebut above waterline dan
below waterline
1. Above waterline
Ada 9 jenis hambatan komunikasi antar buadaya yang berada diatas air,
hambatan komunikasi semacam ini lebih mudah untuk dilihat karena hambatan-
hambatan ini banyak yang berbentuk fisik. Hambatan-hambatan tersebut antara
lain adalah :
a. Fisik (Physical)
Hambatan komunikasi semacam ini berasal dari hambatan waktu, lingkungan,
kebutuhan diri, dan juga media fisik.
b. Budaya (Cultural)
Hambatan ini berasal dari etnik yang berbeda, agama, dan juga perbedaan
sosial yang ada antara budaya yang satu dan yang lain.
c. Persepsi (Perceptual)
Jenis hambatan ini muncul dikarenakan setiap orang mempunyai persepsi yang
berbeda mengenai suatu hal. Sehingga untuk mengartikan setiap sutu budaya akan
mempunyai pemikiran yang berbeda-beda.
d. Motivasi (Motivational)
Hambatan semacam ini berkaitan dengan tingkat motivasi dari pendengar,
maksudnya adalah apakah pendengar yang menerima pesan ingin menerima pesan
tersebut atau apakah pendengar tersebut sedang malas dan tidak punya motivasi
sehingga dapat menjadi hambatan komunikasi.
e. Pengalaman (Experiential)
Experiental adalah jenis hambatan yang terjadi karena setiap individu tidak
memiliki pengalaman hidup yang sama sehingga setiap indibidu mempunyai
ersepsi dan juga konsen yang berbeda dalam melihat sesuatu.
f. Emosi (Emotional)
Hal ini berkaitan dengan emosi atau perasaan pribadi dari pendengar. Apabila
emosi pendengar sedang buruk maka hambatan komunikasi yang terjadi akan
semakin besar dan sulit untuk dilalui.
g. Bahasa (Linguistic)
Hambatan komunikasi berikut ini terjadi apabila pengirim pesan (sender) dan
penerima pesan (reciever) menggunakan bahasa yang berbeda atau penggunaan
kata-kata yang tidak dimengerti oleh penerima pesan.

h. Nonverbal
Hambatan nonverbal adalah hambatan komunikasi yang tidak berbentuk kata-
kata tetapi dapat menjadi hamabatan komunikasi. Contoh: wajah marah yang
dibuat oleh penerima pesan (receiver) ketika pengirim pesan (sender) melakukan
komunikasi. Wajah marah tersebut dapat menjadi penghambat komunikasi karena
mungkin saja pengirim pesan akan merasa tidak maksimal atau takut untuk
mengirimkan pesan kepada penerima pesan.
i. Kompetisi (Competition)
Hambatan semacam ini muncul apabila penerima pesan sedang melakukan
kegiatan lain sambil mendengarkan. Contoh: menerima telepone seluler sambil
menyetir, karena melakukan 2 kegiatan sekaligus maka penerima pesan tidak akan
mendengarkan pesan yang disampaikan melalui telepone selulernya secara
maksimal.
2. Below waterline
Faktor-faktor hambatan komunikasi antar budaya yang berada dibawah air
adlah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang. Hambatan
semacam ini cukup sulit untuk dilihat atau diperhatikan. Jenis-jenis hambatan
semacam ini adalah:
a. Persepsi (perception)
b. Norma (norms)
c. Stereotip (stereotyps)
d. Filosofi bisnis (business philosophy)
e. Aturan (rules)
f. Jaringan (networks)
g. Nilai (values)
h. Grup cabang (subcultures group)

F. Teori-teori
Berkenaan dengan pembahasan komunikasi antar budaya, Griffin menyadur
beberapa teori, antara lain:
1. Anxiety / Uncertainty Management Theory (Teori Pengelolaan Kecemasan /
Ketidakpastian)
Teori yang di publikasikan William Gudykunst ini mempfokuskan pada
perbedaan budaya pada kelompok dan orang asing. Ia berniat bahwa teorinya
dapat digunakan pada segala situasi dimana terdapat perbedaan diantara keraguan
dan ketakutan. Gudykunst meyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah
dasar penyebab dari kegagalan komuniksi pada situasi antar kelompok. Terdapat
dua penyebab dari mis-interpretasi yang berhubungan erat, kemudian melihat itu
sebagai perbedaan pada ketidakpastian yang bersifat kognitif dan kecemasan yang
bersifat afeksi- suatu emosi.
Konsep-konsep dasar Anxiety/Uncertainty Management Theory:
a. Konsep diri dan diri.
Meningkatnya harga diri ketika berinteraksi dengan orang asing akan
menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan.
b. Motivasi untuk berinteraksi dengan orang asing.
Meningkatnya kebutuhan diri untuk masuk di dalam kelompok ketika kita
berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan
kecemasan.
c. Reaksi terhadap orang asing
Sebuah peningkatan dalam kemampuan kita untuk memproses informasi yang
kompleks tentang orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan
kemampuan kita untuk memprediksi secara tepat perilaku mereka.
Sebuah peningkatan untuk mentoleransi ketika kita berinteraksi dengan orang
asing menghasilkan sebuah peningkatan mengelola kecemasan kita dan
menghasilkan sebuah peningkatan kemampuan memprediksi secara akurat
perilaku orang asing.
Sebuah peningkatan berempati dengan orang asing akan menghasilkan suatu
peningkatan kemampuan memprediksi perilaku orang asing secara akurat.
d. Kategori sosial dari orang asing.
Sebuah peningkatan kesamaan personal yang kita persepsi antara diri kita dan
orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan
kita dan kemampuan memprediksi perilaku mereka secara akurat. Pembatas
kondisi: pemahaman perbedaan-perbedaan kelompok kritis hanya ketika orang
orang asing mengidentifikasikan secara kuat dengan kelompok.
Sebuah peningkatan kesadaran terhadap pelanggaran orang asing dari harapan
positif kita dan atau harapan negatif akan menghasilkan peningkatan kecemasan
kita dan akan menghasilkan penurunan di dalam rasa percaya diri dalam
memperkrakan perilaku mereka.
e. Proses situasional.
Sebuah peningkatan di dalam situasi informal di mana kita sedang
berkomunikasi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah penurunan
kecemasan kita dan sebuah peningkatan rasa percaya diri kita terhadap perilaku
mereka.
f. Koneksi dengan orang asing.
Sebuah peningkatan di dalam rasa ketertarikan kita pada orang asing akan
menghasilkan penurunan kecemasan kita dan peningkatan rasa percaya diri dalam
memperkirakan perilaku mereka.
Sebuah peningkatan dalam jaringan kerja yang kita berbagi dengan orang asing
akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan menghasilkan peningkatan rasa
percaya diri kita untuk memprediksi perilaku orang lain.
2. Face-Negotiation Theory.
Teori yang dipublikasikan Stella Ting-Toomey ini membantu menjelaskan
perbedaan perbedaan budaya dalam merespon konflik. Ting-Toomey berasumsi
bahwa orang-orang dalam setiap budaya akan selalu negotiating face. Istilah itu
adalah metaphor citra diri publik kita, cara kita menginginkan orang lain melihat
dan memperlakukan diri kita. Face work merujuk pada pesan verbal dan non
verbal yang membantu menjaga dan menyimpan rasa malu (face loss), dan
menegakkan muka terhormat. Identitas kita dapat selalu dipertanyakan, dan
kecemasan dan ketidakpastian yang digerakkan oleh konflik yang membuat kita
tidak berdaya/harus terima. Postulat teori ini adalah face work orang-orang dari
budaya individu akan berbeda dengan budaya kolektivis. Ketika face work adalah
berbeda, gaya penangan konflik juga beragam.
Terdapat tiga perbedaan penting diantara budaya individulis dan budaya
kolektivis. Perbedaan-perbedaan itu adalah dalam cara mendefinisikan: diri;
tujuan-tujuan; dan kewajiban.

konsep Budaya individualis Budaya kolektivis


Diri Sebagai dirinya sendiri Sebagai bagian kelompok
Tujuan Tujuan diperuntukan Tujuan diperuntukan kepada
kepada pencapaian pencapaian kebutuhan kelompok
kebutuhan diri.
Kewajiban Melayani diri sendiri Melayani kelompok/orang lain.
Teori ini menawarkan model pengelolaan konflik sebagai berikut:
a. Avoiding (penghindaran) saya akan menghindari diskusi perbedaan-perbedaan
saya dengan anggota kelompok.
b. Obliging (keharusan) saya akan menyerahkan pada ke kebijakan anggota
kelompok.
c. Compromising saya akan menggunakan memberi dan menerima sedemikian
sehingga suatu kompromi bisa dibuat.
d. Dominating saya akan memastikan penanganan isu sesuai kehendak-ku.
e. Integrating saya akan menukar informasi akurat dengan anggota kelompok untuk
memecahkan masalah bersama-sama.
Face-negotiation teory menyatakan bahwa avoiding, obliging, compromising,
dominating, dan integrating bertukar-tukar menurut campuran perhatian mereka
untuk self-face dan other face
3. Speech Codes Theory.
Teori yang dipublikaskan Gerry Philipsen ini berusaha menjawab tentang
keberadaan speech code dalam suatu budaya, bagaimana substansi dan
kekuatannya dalam sebuah budaya. Ia menyampaikan proposisi-proposisi sebagai
berikut:
a. Dimanapun ada sebuah budaya, disitu diketemukan speech code yang khas.
b. Sebuah speech code mencakup retorikal, psikologi, dan sosiologi budaya.
c. Pembicaraan yang signifikan bergantung speech code yang digunakan pembicara
dan pendengar untuk memkreasi dan menginterpretasi komunikasi mereka.
d. Istilah, aturan, dan premis terkait ke dalam pembicaraan itu sendiri.
e. Kegunaan suatu speech code bersama adalah menciptakan kondisi memadai untuk
memprediksi, menjelaskan, dan mengontrol formula wacana tentang intelijenitas,
prudens (bijaksana, hati-hati) dan moralitas dari perilaku komunikasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada
suatu penerima atau lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka
(Hafied Cangara). Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang
didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat, kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia
sebagai anggota masyarakat. (E.B Taylor)
Komunikasi Lintas Budaya adalah proses dimana dialihkan ide atau gagasan
suatu budaya yang satu kepada budaya yang lainnya dan sebaliknya dan hal ini
bisa antar dua kebudayaan yang terkait ataupun lebih, tujuannya untuk saling
mempengaruhi satu sma lainnya, baik itu untuk kebaikan sebuah kebudayaan
maupun untuk menghancurkan suatu kebudayaan atau bisa jadi sebagai tahap
awal dari proses akulturasi (penggabungan dua kebudayaan atau lebih yang
menghasilkan kebudayaan yang baru)
Ada beberapa macam karaketeristik Komunikasi Lintas Budaya, antara lain :
1. Ada dua atau lebih kebudayaan yang terlibat dalam komunikasi
2. Ada jalan atau tujuan yang sama yang akhirnya menciptakan komunikasi itu
3. Komunikasi Lintas Budaya menghasilkan keuntungan dan kerugian diantara dua
budaya atau lebih yang terlibat
4. Komunikasi lintas budaya dijalin baik secara individu anggota masyarakat
maupun dijallin secara berkelompok atau dewasa ini dapat dilakukan melalui
media
5. Tidak semua komunikasi lintas budaya menghasilkan fedback yang dimaksud,
hal ini tergantung kepada penafsiran dan penerimaan dari sebuah kebudayaan
yang terlibat, mau atau tidaknya dipengaruhi
6. Bila dua kebudayaan melebur karena pengaruh komunikasi yang dijalin maka
akan menghasilkan kebudayaan baru, dan inilah yang disebut akulturasi.
Daftar Pustaka

- Samovar & Porter, 1994, p. 19


- Chaney & Martin, 2004, p. 11
- Ting-Toomey, dalam Griffin:2003
- Griffin, EM. (2003). A First Look at Communication Theory, 5th Edition. USA:
McGraw-Hill
- Liliwer, Alo. (2001). Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Yogyakarta
- Littlejohn, Stephen W. (2002). Theories of Human Communication. USA:
Wadsworth Group
- Kim, Young Yun, 1984. Searching for creative integration. Dalam William B.
Gudykunst dan Young Yun Kim (ed). Methods for intercultural Communication
Reasearch. Beverly Hills: sage publishers.
- Maletzke, Gerhad. 1978. Intercultural and International Communication. Dalam
Heins Dietrich Fishcer dan John C. Merill (ed) Intercultural & International
Communication. New York: Hastings House Publishers
- Porter, Richard E. dan Larry A. Samovar. 2003. Suatu Pendekatan terhadap
Komunikasi Antar Budaya, dalam Deddy Mulyana dan Jalaludin Rahmat (ed).
Komunikasi Antar Budaya dan Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang
Berbeda Budaya. Bandung: Rosdakarya

Anda mungkin juga menyukai