Anda di halaman 1dari 12

Komunikasi Lintas Budaya (Makalah)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia, karena manusia tidak bisa lepas dari
komunikasi, karena dengan berkomunikasi manusia dapat saling berinteraksi atau berhubungan
satu sama lainnya baik dalam kehidupan sehari-hari, dirumah, pasar atau dimana tempat
mereka berinteraksi. Disadari sepenuhnya bahwa komunikasi yang dilakukan manusia selalu
mengandung potensi perbedaan budaya, sekecil apa pun perbedaan itu sangat membutuhkan
upaya untuk keberhasilan proses komunikasi secara efektif yakni dengan menggunakan
informasi budaya mengenai pelaku-pelaku komunikasi yang bersangkutan. Tak dapat di elak
lagi komunikasi lintas budaya menjadi kebutuhan bagi semua kalangan untuk menjalin
hubungan yang baik dan memuaskan bagi setiap orang, terutama mereka yang berbeda budaya.
Pada awalnya studi Lintas Budaya berasal dari perspektif antropologi sos-bud yang
bersifat depth description yaitu penggambaran mendalam tentang perilaku komunikasi
berdasarkan kebudayaan tertentu. Sehingga diawalnya Komunikasi Lintas Budaya diartikan
sebagai proses mempelajari komunikasi diantara individu maupun kelompok suku, bangsa dan
ras yang berbeda negara. Alasannya karena beda negara pasti beda kebudayaannya. Sebaliknya
adalah Komunikasi Antar Budaya yang dilakukan oleh pribadi-pribadi dalam suatu bangsa
yang sama.
Studi KLB ini berkembang dari studi-studi mengenai antropologi budaya yang
mempelajari proses-proses komunikasi dalam berbagai ragam budaya yang berbeda (karya
Edward T Hall seperti “The Silent Language”, “The Hiden Dimension” dan “Beyond
Culture”). Sebagian besar penelitian KLB bersifat komparatif yakni membandingkan berbagai
budaya terutama budaya nasional, walaupun banyak juga para peneliti yang mengartikan
budaya sebagai etnis, ras, komunikasi antar generasi, able-bodied/ disabled communication.
Melalui pemahaman lintas budaya, akan ditarik serat-serat perbedaan atau persamaan
lintas budaya secara individu atau masyarakat, selanjutnya dapat pula di identifikasi unsur-
unsur yang dapat melanggengkan komunikasi. Tentu saja untuk memahami budaya orang lain,
setiap perilaku komunikasi harus terlebih dahulu memahami budayanya sendiri. Dengan
kesadaran lintas budaya, selanjutnya akan muncul sikap saling menghargai bagi setiap
kebutuhan, aspirasi, perasaaan dan masalah manusia. Komunikai lintas budaya (cross-cultural
communication) atau sering juga disebut dengan istilah komunikasi antar budaya bersifat
informal, personal dan tidak selalu terikat antar bangsa atau antar negara.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian komunikasi lintas budaya ?
2. Bagaimana Sejarah Komunikasi Lintas Budaya ?
3. Apa karakteristik Komunikasi Lintas Budaya
4. Apa tujuan mempelajari Komunikasi Lintas Budaya ?
5. Apa hambatan yang terjadi dalam komunikasi lintas budaya ?
6. Teori apa saja yang berkaitan dengan komunikasi lintas budaya ?

C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pengertian komunikasi lintas budaya.
2. Mengetahui sejarah Komunikasi Lintas Budaya.
3. Mengetahui karakteristik Komunikasi Lintas Budaya.
4. Mengetahui tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya.
5. Mengetahui hambatan yang terjadi pada komunikasi lintas budaya.
6. Mengetahui teori yang terkait dengan komunikasi lintas budaya.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Komunikasi Lintas Budaya

Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu
penerima atau lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka (Hafied
Cangara)[1]. Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang didalamnya terkandung
ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan yang lain
serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. (E.B Taylor)[2]
Adapun komunikasi lintas budaya sendiri didefinisikan sebagai:
1. Komunikasi yang dilakukan oleh dua kebudayaan atau kebih
2. Komunikasi yang dilakukan sebagai akibat dari terjalinnya komunikasi antar unsur
kebudayaan itu sendiri, seperti komunikasi antar masyarakatnya.

Jika kita gabungkan dari kedua pengertian tentang Komunikasi dan Kebudayaan
(budaya) maka akan mendpatkan pengertian sebagai berikut:
“Komunikasi Lintas Budaya adalah proses dimana dialihkan ide atau gagasan suatu budaya
yang satu kepada budaya yang lainnya dan sebaliknya dan hal ini bisa antar dua kebudayaan
yang terkait ataupun lebih, tujuannya untuk saling mempengaruhi satu sama lainnya, baik itu
untuk kebaikan sebuah kebudayaan maupun untuk menghancurkan suatu kebudayaan atau bisa
jadi sebagai tahap awal dari proses akulturasi (penggabungan dua kebudayaan atau lebih yang
menghasilkan kebudayaan yang baru)”

Definisi pertama dikemukakan dalam buku “Interculuture communication: A


Reader” dimana dinyatakan bahwa Komunikasi antar budaya (interculture communication)
terjadi apabila sebuah pesan (message) yang harus dimengerti dihasilkan oleh anggota dari
budaya tertentu untuk di konsumsi anggota dari budaya yang lain.[3]
Definisi lain diberikan oleh Liliweri bahwa proses komunikasi antar budaya merupakan
interaksi antar pribadi dan komunikasi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki latar
belakang kebudayaan yang berbeda.[4]
Adapun definisi yang ada mengenai komunikasi anatar budaya (interculture
communication) menyatakan bahwa komunikasi antar budaya terjadi apabila terdapat 2 budaya
yang berbeda dan kedua budaya tersebut sedang melaksanakan proses komunikasi.
Menurut Maletzke, komunikasi lintas budaya adalah proses perubahan mencari dan
menentukan makna antar manusia yang berbeda budaya.[5]
Kim mengatakan bahwa komunikasi lintas budaya adalah suatu fenomena pengiriman
komunikasi dalam diri partisipan kepada pihak lain yang berbeda latar belakang budayanya
baik secara langsung maupun tidak langsung.[6]
Samover, Porter dan jain mengatakan komunikasi lintas budaya adalah terjadinya
pengiriman pesan dari seseorang yang berasal dari satu budaya yang berbeda dengan penerima
pesan.[7]
Bila disederhanakan, komunikasi lintas budaya ini memberi penekanan pada aspek
perbedaan budaya sebagai faktor yang menentukan sebagai keberlangsungan proses
komunikasi.
B. Sejarah Komunikasi Lintas Budaya
Komunikasi Lintas Budaya (cross cultural communication) bukanlah sebagai barang
baru dalam kehidupan manusia. Ia telah ada sejak manusia melakukan kontak atau berinterkasi
dengan latar kebudayaan yang berbeda. Namun studi tentang Komunikasi Lintas Budaya
secara sistematis, ilmiah dan akademis baru di kaji pada akhir abab 1960-an (awal 1970-an)
sebagai bagian tak terpisahkan dari studi disiplin ilmu komunikasi. Pada intinya kemunculan
studi komunikasi lintas budaya ini didasari oleh ketidakmapuan individu-individu untuk saling
memahami pihak lain dalam dinamika pergaulan kehidupan sehari-hari.
Istilah antar budaya pertama kali diperkenalkan oleh Edward T.Hall pada tahun 1959
dalam bukunya The Silent Language. Perbedaan antarbudaya dalam berkomunikasi baru
dijelaskan oleh David K. Berlo (1960) melalui bukunya The Process of Communication
(an introduction to theory and practice). Barlo (1960) menggambarkan proses komunikasi
dalam model yang diciptakannya. Menurutnya, komunikasi akan tercapai jika kita
memperhatikan faktor-faktor SMCR (Sources, Message, Channel, and Receiver).
Antara sources dengan receiver yang diperhatikan adalah kemampuan berkomunikasi,
sikap, pengetahuan sistem sosial, dan kebudaayaan. Namun, dalam hal ini, komunikasi
antarbudaya yang dijelaskan melalui teori etnosentrisme ini berbasis pada konteks
komunikasi kelompok (etnik).
Rumusan objek formal komunikasi antarbudaya baru dipikirkan pada 1970-1980-an.
Pada saat yang sama, para ahli ilmu sosial sedang sibuk membahas komunikasi
internasional yang disponsori oleh Speech Communication Associaton, sebuah komisi
yang merupakan bagian Asosiasi Komunikasi Internasional dan Antarbudaya yang
berpusat di Amerika Serikat.
“Annual” tentang komunikasi antarbudaya yang disponsori oleh badan itu terbit
pertama kali pada 1974 oleh Fred Casmir dalam The International and Intercultural
Communication Annual. Kemudian Dan Landis menguatkan konsep komunikasi
antarbudaya dalam Internaional Journal of Intercultural Relations pada 1977. Pada tahun
1979 Molefi Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark menerbitkan sebuah buku yang
membicarakan komunikasi antarbudaya, yakni The Handbook of Intercultural
Communication. Sejak itu banyak ahli mulai melakukan studi tentang komunikasi
antarbudaya, misalnya penelitian Asante dan kawan-kawan pada 1980-an.
Akhir tahun 1983, terbitlah International dan Intercultural Communication
Annual yang dalam setiap volumenya mulai menempatkan rubrik khusus untuk
menampung tulisan tentang komunikasi antarbudaya. Tema pertama tentang “Teori
Komunikasi Antarbudaya” diluncurkan tahun 1983 oleh Gundykunst, disusul tahun 1988
oleh Kim dan Gundykunst, sedangkan tema metode penelitian ditulis oleh Gundykunst
dan Kim tahun 1984. Edisi lain tentang komunikasi, kebudayaan, proses kerjasama
antarbudaya ditulis pula oleh Gundykunst, Stewart, dan Tim Toomey tahun 1985,
komunikasi antaretnik oleh Kim tahun 1986, adaptasi lintas budaya oleh Kim dan
Gundykust tahun 1988, dan terakhir komunikasi / bahasa dan kebudayaan oleh Ting
Toomey dan Korzenny tahun 1988.
Pada tahun 1990-an, studi-studi komunikasi antarbudaya diperluas meliputi pula
studi komunikasi antarbangsa, misalnya Penelitian Komunikasi Kemanusiaan, Monograf
Komunikasi, Jurnal Komunikasi, Jurnal Komunikasi Internasional dan Relasi
Antarbudaya, Jurnal Studi tentang Orang Kulit Hitam, dan Jurnal Bahasa dan Psikologi
Sosial.
Mc Luhan merupakan orang pertama yang memberikan tekanan ulasan pada
hubungan komunikasi antarbangsa karena melihat adanya gejala ketergantungan
antarbangsa. Dari gagasannya, muncullah konsep “Tatanan Komunikasi dan Informasi
Dunia baru” yang mempengaruhi perkembangan sejumlah penelitian tentang perbedaan
budaya antar etnik, rasial, dan golongan di semua bangsa. Faktor-faktor tersebut
memantik pesatnya perkembangan teori dan penelitian yang berkaitan dengan
komunikasi antarbudaya.

C. Karakteristik Komunikasi Lintas Budaya


Ada beberapa macam karaketeristik Komunikasi Lintas Budaya, antara lain :
1. Ada dua atau lebih kebudayaan yang terlibat dalam komunikasi
2. Ada jalan atau tujuan yang sama yang akhirnya menciptakan komunikasi itu
3. Komunikasi Lintas Budaya menghasilkan keuntungan dan kerugian diantara dua budaya atau
lebih yang terlibat
4. Komunikasi lintas budaya dijalin baik secara individu anggota masyarakat maupun dijallin
secara berkelompok atau dewasa ini dapat dilakukan melalui media
5. Tidak semua komunikasi lintas budaya menghasilkan feedback yang dimaksud, hal ini
tergantung kepada penafsiran dan penerimaan dari sebuah kebudayaan yang terlibat, mau atau
tidaknya dipengaruhi
6. Bila dua kebudayaan melebur karena pengaruh komunikasi yang dijalin maka akan
menghasilkan kebudayaan baru, dan inilah yang disebut akulturasi.

Karakter budaya sendiri yaitu:


1. Komunikasi dan bahasa
2. Pakaian dan penampilan
3. Makanan dan kebiasaan makanan
4. Waktu dan kesadaran akan waktu
5. Hubungan-hubungan
6. Nilai dan norma
7. Rasa diri dan ruang
8. Proses mental dan belajar
9. Kepercayaan dan sikap

D. Tujuan mempelajari Komunikasi Lintas Budaya


Kebutuhan untuk mempelajari komunikasi lintas budaya ini semakin terasakan karena
semakin terbukanya pergaulan kita dengan orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda,
disamping juga karena kondisi bangsa Indonesia yang sangat majemuk dengan berbagai ras,
suku bangsa, agama, latar belakang daerah, latar belakang pendidikan dan yang lainnya.
Litvin menyebutkan beberapa alasan, tujuan kita mempelajari komunikasi lintas budaya.
Yang antara lain:
1. Dunia sedang menyusut, kapasitas untuk memahami keanekaragaman budaya sangat
diperlukan
2. Semua budaya berfungsi dan penting bagi pengalaman anggota-anggota budaya tersebut
meskipun nilai-nilainya berbeda.
3. Nilai-nilai setiap masyarakat sebaik nilai-nilai masyarakat lainnya.
4. Setiap individu dan atau budaya berhak menggunakan nilai-nilainya sendiri.
5. Perbedaan-perbedaan individu itu penting, namun ada asumsi-asumsi dan pola-pola budaya
mendasar yang berlaku.
6. Pemahaman atas nilai-nilai budaya sendiri merupakan prasyarat untuk mengidentifikasi dan
memahami nilai-niai budaya lain.
7. Dengan mengatasi hambatan-hambatan budaya untuk berhubungan dengan orang lain kita
mmeperoleh pemahaman dan penghargaan bagi kebutuhan, aspirasi, perasaan dan
masalah manusia.
8. Pemahaman atas orang lain secara lintas budaya dan antar pribadi adalah suatu usaha yang
memerlukan keberanian dan kepekaan. Semakin mengancam pandangan dunia orang itu bagi
pandangan dunia kita, semakin banyak yang harus kita pelajari dari dia, tetapi semakin
berbahaya untuk memahaminya.
9. Pengalaman-pengalaman antar budaya sangat menyenangkan dan menumbuhkan kepribadian.
10. Ketrampilan-ketrampilan komunikasi yang diperoleh memudahkan perpindahan seseorang
dari pandangan yang monokultural terhadap interaksi manusia ke pandangan multikultural.
11. Perbedaan-perbedaan budaya menandakan kebutuhan akan penerimaan dalam komunikasi,
namun perbedaan-perbedaan tersebut secara arbitrer tidaklah menyusahkan atau memudahkan.
12. Situasi-situasi komunikasi antar budaya tidaklah statik dan bukan pula stereotip. Karena itu
seorang komunikator tidak dapat dilatih untuk mengatasi situasi. Dalam konteks ini kepekaan,
pengetahuan dan ketrampilannya bisa membuatnya siap untuk berperan serta dalam
menciptakan lingkungan komunikasi yang efektif dan saling memuaskan.
Sedangkan menurut Litvin, bila kita mempelajari komunikasi lintas budaya mengenai
tujuan itu, dia menguraikan tujuannya yang bersifat kognitif dan afektif, yaitu untuk:
1. Menyadari bias budaya sendiri
2. Lebih peka secara budaya
3. Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain untuk
menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan orang tersebut.
4. Merangsang pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri
5. Memperluas dan memperdalam pengalaman seseorang
6. Mempelajari ketrampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu menerima gaya dan
isi komunikasinya sendiri.
7. Membantu memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan memlihara semesta
wacana dan makna bagi para anggotanya.
8. Membantu memahami kontak antar budaya sebagai suatu cara memperoleh pandangan ke
dalam budaya sendiri, baik asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasan-kebebasan dan
keterbatasan-keterbatasannya.
9. Membantu memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi bidang
komunikasi antar budaya.
10. Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai yang berbeda dapat dipelajari secara
sistematis, dibandingkan dan difahami
Kami menyimpulkan bahwa tujuan kita mempelajari komunikasi lintas budaya yaitu:
1. untuk menghindari gegar budaya
2. untuk menghindari kesalahpahaman
3. untuk menghindari pertentangan

E. Hambatan Komunikasi Lintas Budaya


Hambatan komunikasi atau yang juga dikenal sebagai communication barrier adalah
segala sesuatu yang menjadi penghalang untuk terjadinya komunikasi yang efektif.[8]
Contoh kasus:
Kasus anggukan kepala, dimana di Amerika Serikat anggukan kepala mempunyai arti
bahwa orang tersebut mengerti. Sedangkan di Jepang anggukan kepala tidak bearti seseorang
setuju melainkan hanya berarti bahwa orang tersebut mendengarkan.
Contoh lain adalah bahasa, di daerah sebut saja Surabaya, untuk memanggil kamu dengan
panggilan kon sudah menjadi biasa, di Cilacap kowe sudah menjadi kebiasaan untuk
memanggil sebagai ganti kamu, di Jakarta kadang menggunakan kata loe sebagai sebutan
kamu.
Dengan memahami mengenai komunikasi antar budaya maka hambatan komunikasi
semacam ini dapat kita lalui.
Jenis-jenis hambatan dalam komunikasi antar budaya antara lain:
Ada dua hambatan komunikasi antar budaya yang kita sebut above waterline dan below
waterline
1. Above waterline
Ada 9 jenis hambatan komunikasi antar buadaya yang berada diatas air, hambatan
komunikasi semacam ini lebih mudah untuk dilihat karena hambatan-hambatan ini banyak
yang berbentuk fisik. Hambatan-hambatan tersebut antara lain adalah :[9]
a. Fisik (Physical)
Hambatan komunikasi semacam ini berasal dari hambatan waktu, lingkungan, kebutuhan
diri, dan juga media fisik.
b. Budaya (Cultural)
Hambatan ini berasal dari etnik yang berbeda, agama, dan juga perbedaan sosial yang ada
antara budaya yang satu dan yang lain.
c. Persepsi (Perceptual)
Jenis hambatan ini muncul dikarenakan setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda
mengenai suatu hal. Sehingga untuk mengartikan setiap sutu budaya akan mempunyai
pemikiran yang berbeda-beda.
d. Motivasi (Motivational)
Hambatan semacam ini berkaitan dengan tingkat motivasi dari pendengar, maksudnya
adalah apakah pendengar yang menerima pesan ingin menerima pesan tersebut atau apakah
pendengar tersebut sedang malas dan tidak punya motivasi sehingga dapat menjadi hambatan
komunikasi.
e. Pengalaman (Experiential)
Experiental adalah jenis hambatan yang terjadi karena setiap individu tidak memiliki
pengalaman hidup yang sama sehingga setiap indibidu mempunyai ersepsi dan juga konsen
yang berbeda dalam melihat sesuatu.
f. Emosi (Emotional)
Hal ini berkaitan dengan emosi atau perasaan pribadi dari pendengar. Apabila emosi
pendengar sedang buruk maka hambatan komunikasi yang terjadi akan semakin besar dan sulit
untuk dilalui.
g. Bahasa (Linguistic)
Hambatan komunikasi berikut ini terjadi apabila pengirim pesan (sender) dan penerima
pesan (reciever) menggunakan bahasa yang berbeda atau penggunaan kata-kata yang tidak
dimengerti oleh penerima pesan.
h. Nonverbal
Hambatan nonverbal adalah hambatan komunikasi yang tidak berbentuk kata-kata tetapi
dapat menjadi hamabatan komunikasi. Contoh: wajah marah yang dibuat oleh penerima pesan
(receiver) ketika pengirim pesan (sender) melakukan komunikasi. Wajah marah tersebut dapat
menjadi penghambat komunikasi karena mungkin saja pengirim pesan akan merasa tidak
maksimal atau takut untuk mengirimkan pesan kepada penerima pesan.
i. Kompetisi (Competition)
Hambatan semacam ini muncul apabila penerima pesan sedang melakukan kegiatan lain
sambil mendengarkan. Contoh: menerima telepone seluler sambil menyetir, karena melakukan
2 kegiatan sekaligus maka penerima pesan tidak akan mendengarkan pesan yang disampaikan
melalui telepone selulernya secara maksimal.
2. Below waterline
Faktor-faktor hambatan komunikasi antar budaya yang berada dibawah air adlah faktor-
faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang. Hambatan semacam ini cukup sulit
untuk dilihat atau diperhatikan. Jenis-jenis hambatan semacam ini adalah:
a. Persepsi (perception)
b. Norma (norms)
c. Stereotip (stereotyps)
d. Filosofi bisnis (business philosophy)

e. Aturan (rules)

f. Jaringan (networks)

g. Nilai (values)

h. Grup cabang (subcultures group)

F. Teori-teori
Berkenaan dengan pembahasan komunikasi antar budaya, Griffin menyadur beberapa
teori, antara lain:
1. Anxiety / Uncertainty Management Theory (Teori Pengelolaan Kecemasan / Ketidakpastian)
Teori yang di publikasikan William Gudykunst ini mempfokuskan pada perbedaan
budaya pada kelompok dan orang asing. Ia berniat bahwa teorinya dapat digunakan pada segala
situasi dimana terdapat perbedaan diantara keraguan dan ketakutan. Gudykunst meyakini
bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar penyebab dari kegagalan komuniksi pada
situasi antar kelompok. Terdapat dua penyebab dari mis-interpretasi yang berhubungan erat,
kemudian melihat itu sebagai perbedaan pada ketidakpastian yang bersifat kognitif dan
kecemasan yang bersifat afeksi- suatu emosi.
Konsep-konsep dasar Anxiety/Uncertainty Management Theory:
a. Konsep diri dan diri.
Meningkatnya harga diri ketika berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan
peningkatan kemampuan mengelola kecemasan.
b. Motivasi untuk berinteraksi dengan orang asing.
Meningkatnya kebutuhan diri untuk masuk di dalam kelompok ketika kita berinteraksi
dengan orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kecemasan.
c. Reaksi terhadap orang asing
Sebuah peningkatan dalam kemampuan kita untuk memproses informasi yang kompleks
tentang orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kemampuan kita untuk
memprediksi secara tepat perilaku mereka.
Sebuah peningkatan untuk mentoleransi ketika kita berinteraksi dengan orang asing
menghasilkan sebuah peningkatan mengelola kecemasan kita dan menghasilkan sebuah
peningkatan kemampuan memprediksi secara akurat perilaku orang asing.
Sebuah peningkatan berempati dengan orang asing akan menghasilkan suatu peningkatan
kemampuan memprediksi perilaku orang asing secara akurat.
d. Kategori sosial dari orang asing.
Sebuah peningkatan kesamaan personal yang kita persepsi antara diri kita dan orang asing
akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan kita dan kemampuan
memprediksi perilaku mereka secara akurat. Pembatas kondisi: pemahaman perbedaan-
perbedaan kelompok kritis hanya ketika orang orang asing mengidentifikasikan secara kuat
dengan kelompok.
Sebuah peningkatan kesadaran terhadap pelanggaran orang asing dari harapan positif kita
dan atau harapan negatif akan menghasilkan peningkatan kecemasan kita dan akan
menghasilkan penurunan di dalam rasa percaya diri dalam memperkrakan perilaku mereka.
e. Proses situasional.
Sebuah peningkatan di dalam situasi informal di mana kita sedang berkomunikasi dengan
orang asing akan menghasilkan sebuah penurunan kecemasan kita dan sebuah peningkatan rasa
percaya diri kita terhadap perilaku mereka.
f. Koneksi dengan orang asing.
Sebuah peningkatan di dalam rasa ketertarikan kita pada orang asing akan menghasilkan
penurunan kecemasan kita dan peningkatan rasa percaya diri dalam memperkirakan perilaku
mereka.
Sebuah peningkatan dalam jaringan kerja yang kita berbagi dengan orang asing akan
menghasilkan penurunan kecemasan kita dan menghasilkan peningkatan rasa percaya diri kita
untuk memprediksi perilaku orang lain.
2. Face-Negotiation Theory.
Teori yang dipublikasikan Stella Ting-Toomey ini membantu menjelaskan perbedaan –
perbedaan budaya dalam merespon konflik. Ting-Toomey berasumsi bahwa orang-orang dalam
setiap budaya akan selalu negotiating face. Istilah itu adalah metaphor citra diri publik kita, cara
kita menginginkan orang lain melihat dan memperlakukan diri kita. Face work merujuk pada pesan
verbal dan non verbal yang membantu menjaga dan menyimpan rasa malu (face loss), dan
menegakkan muka terhormat. Identitas kita dapat selalu dipertanyakan, dan kecemasan dan
ketidakpastian yang digerakkan oleh konflik yang membuat kita tidak berdaya/harus terima.
Postulat teori ini adalah face work orang-orang dari budaya individu akan berbeda dengan budaya
kolektivis. Ketika face work adalah berbeda, gaya penangan konflik juga beragam.
Terdapat tiga perbedaan penting diantara budaya individulis dan budaya kolektivis. Perbedaan-
perbedaan itu adalah dalam cara mendefinisikan: diri; tujuan-tujuan; dan kewajiban.
konsep Budaya individualis Budaya kolektivis
Diri Sebagai dirinya sendiri Sebagai bagian kelompok
Tujuan Tujuan diperuntukan Tujuan diperuntukan kepada
kepada pencapaian pencapaian kebutuhan kelompok
kebutuhan diri.
Kewajiban Melayani diri sendiri Melayani kelompok/orang lain.
Teori ini menawarkan model pengelolaan konflik sebagai berikut:
a. Avoiding (penghindaran) – saya akan menghindari diskusi perbedaan-perbedaan saya dengan
anggota kelompok.
b. Obliging (keharusan) – saya akan menyerahkan pada ke kebijakan anggota kelompok.
c. Compromising – saya akan menggunakan memberi dan menerima sedemikian sehingga suatu
kompromi bisa dibuat.
d. Dominating – saya akan memastikan penanganan isu sesuai kehendak-ku.
e. Integrating – saya akan menukar informasi akurat dengan anggota kelompok untuk memecahkan
masalah bersama-sama.
Face-negotiation teory menyatakan bahwa avoiding, obliging, compromising, dominating,
dan integrating bertukar-tukar menurut campuran perhatian mereka untuk self-face dan other –
face
3. Speech Codes Theory.
Teori yang dipublikaskan Gerry Philipsen ini berusaha menjawab tentang keberadaan speech
code dalam suatu budaya, bagaimana substansi dan kekuatannya dalam sebuah budaya. Ia
menyampaikan proposisi-proposisi sebagai berikut:
a. Dimanapun ada sebuah budaya, disitu diketemukan speech code yang khas.
b. Sebuah speech code mencakup retorikal, psikologi, dan sosiologi budaya.
c. Pembicaraan yang signifikan bergantung speech code yang digunakan pembicara dan pendengar
untuk memkreasi dan menginterpretasi komunikasi mereka.
d. Istilah, aturan, dan premis terkait ke dalam pembicaraan itu sendiri.
e. Kegunaan suatu speech code bersama adalah menciptakan kondisi memadai untuk memprediksi,
menjelaskan, dan mengontrol formula wacana tentang intelijenitas, prudens (bijaksana, hati-hati)
dan moralitas dari perilaku komunikasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima
atau lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka (Hafied
Cangara). Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang didalamnya terkandung ilmu
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan yang lain serta
kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. (E.B Taylor)
“Komunikasi Lintas Budaya adalah proses dimana dialihkan ide atau gagasan suatu
budaya yang satu kepada budaya yang lainnya dan sebaliknya dan hal ini bisa antar dua
kebudayaan yang terkait ataupun lebih, tujuannya untuk saling mempengaruhi satu sma
lainnya, baik itu untuk kebaikan sebuah kebudayaan maupun untuk menghancurkan suatu
kebudayaan atau bisa jadi sebagai tahap awal dari proses akulturasi (penggabungan dua
kebudayaan atau lebih yang menghasilkan kebudayaan yang baru)”
Ada beberapa macam karaketeristik Komunikasi Lintas Budaya, antara lain :
1. Ada dua atau lebih kebudayaan yang terlibat dalam komunikasi
2. Ada jalan atau tujuan yang sama yang akhirnya menciptakan komunikasi itu
3. Komunikasi Lintas Budaya menghasilkan keuntungan dan kerugian diantara dua budaya atau
lebih yang terlibat
4. Komunikasi lintas budaya dijalin baik secara individu anggota masyarakat maupun dijallin
secara berkelompok atau dewasa ini dapat dilakukan melalui media
5. Tidak semua komunikasi lintas budaya menghasilkan fedback yang dimaksud, hal ini
tergantung kepada penafsiran dan penerimaan dari sebuah kebudayaan yang terlibat, mau atau
tidaknya dipengaruhi
6. Bila dua kebudayaan melebur karena pengaruh komunikasi yang dijalin maka akan
menghasilkan kebudayaan baru, dan inilah yang disebut akulturasi.

Daftar Pustaka

- Samovar & Porter, 1994, p. 19


- Chaney & Martin, 2004, p. 11
- Ting-Toomey, dalam Griffin:2003
- Griffin, EM. (2003). A First Look at Communication Theory, 5th Edition. USA: McGraw-Hill
- Liliwer, Alo. (2001). Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Yogyakarta
- Littlejohn, Stephen W. (2002). Theories of Human Communication. USA: Wadsworth
Group
- Kim, Young Yun, 1984. Searching for creative integration. Dalam William B. Gudykunst dan
Young Yun Kim (ed). Methods for intercultural Communication Reasearch. Beverly Hills:
sage publishers.
- Maletzke, Gerhad. 1978. Intercultural and International Communication. Dalam Heins
Dietrich Fishcer dan John C. Merill (ed) Intercultural & International Communication. New
York: Hastings House Publishers
- Porter, Richard E. dan Larry A. Samovar. 2003. Suatu Pendekatan terhadap Komunikasi
Antar Budaya, dalam Deddy Mulyana dan Jalaludin Rahmat (ed). Komunikasi Antar Budaya
dan Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Rosdakarya

Anda mungkin juga menyukai