(scDawah Channel)
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Komunikasi Lintas Budaya
Dosen Pengampu : Dr. Hatta Abdul Malik, M. Si
Disusun Oleh:
Cecep Nurjaman (2101028026)
Heni Fitriyanti (2101028027)
1
L. A., Samovar. Porter, R. E., & McDaniel, E. R, Komunikasi Lintas Budaya (7th ed.), (Salemba Humanika,
2010)
2
lintas budaya harus mampu mengambil perannya. Maka tentunya mau tidak mau dunia
dakwah harus memberikan respon dan terlibat secara aktif menghadapi fenomena-
fenomena yang terjadi di belahan dunia.
Berdasarkan pemahaman serta pengertian di atas bahwasannya peneliti ingin
melihat serta mengetahui komunikasi lintas budaya pada konten yang disajikan oleh
scDawahChannel dengan tujuan untuk memberikan wawasan dan pengetahuan
mengenai komunikasi lintas budaya.
B. METODE PENELITIAN
Pendekatan metodologis yang digunakan dalam kajian ini merupakan
pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data yang didasarkan pada studi
pustaka (library research) atau analisis dokumen dan analisis kritis dari sumber yang
berbentuk buku, jurnal, majalah, surat kabar, website dan data tertulis lainnya yang
relevan dengan topik yakni mengenai komunikasi lintas budaya studi di facebook pada
scDawah Channel.
C. PEMBAHASAN
a. Komunikasi Lintas Budaya
Komunikasi lintas budaya dimaknai sebagai terjadinya pengiriman pesan dari
seseorang yang berasal dari satu budaya yang berbeda dengan pihak penerima pesan.
Bila disederhanakan, komunikasi lintas budaya ini memberi penekanan pada aspek
perbedayaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan bagi keberlangsungan proses
komunikasi. Kendatipun studi komunikasi lintas budaya ini membicarakan tentang
perasamaan-persamaan maupun perbedaan karakteristik kebudayaan antara pelaku-
pelaku komunikasi, namun titik perhatian utamanya adalah proses komunikasi antara
individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan, yang mencoba
untuk saling berinteraksi. Maka konsep terpenting dalam studi ini adalah menyangkut
adanya “kontak” dan “komunikasi” antar pelaku-pelaku komunikasi.2
Pemahaman yang lebih mendalam tentang komunikasi lintas budaya diberikan
oleh seorang tokoh Martin & Nakayama, dimana pemahaman tersebut harus dimulai
dari memahami konsep budaya dan komunikasi terlebih dahulu dan kemudian
memahami kaitan diantara kedua konsep tersebut. Martin & Nakayama menjelaskan
budaya sebagai pola dari perilaku dan sikap yang dipelajari dan dibagi oleh sekelompok
2
Gerhard Maletzke, “Intercultural and Internation Communication”, dalam Heinz-Dietrich Fischer dab John C.
Merril (eds), Intercultural and International Communication (New York: Hastings House Publisher, 1978).
3
orang. Sedangkan komunikasi adalah sebuah proses simbolik dimana realitas di
produksi, dijaga, diperbaiki, dan di transformasikan. Berdasarkan dua definisi tersebut
keterkaitan antara komunikasi dan budaya sangat kompleks dan rumit. Budaya dan
komunikasi saling berhubungan serta budaya dikuatkan melalui komunikasi.
Komunikasi juga dapat menjadi sebuah cara dalam memerangi dan menolak budaya
dominan.3
Komunikasi lintas budaya ini lebih menekankan perbandingan pola-pola
komunikasi antarpribadi di antara peserta komunikasi yang berbeda kebudayaan. Pada
awalnya studi lintas budaya berasal dari perspektif antropologi sosial dan budaya
sehingga dia lebih bersifat depth description, yakni penggambaran yang mendalam
tentang perilaku komunikasi berdasarkan kebudayaan tertentu.4 Komunikasi lintas
budaya mencoba untuk melakukan pendekatan-pendekatan dengan berbagai cara,
seperti psikologis, sosiologi, kritik budaya, dialog budaya dan lain lain. Di sini
komunikasi lintas budaya mencoba untuk memberikan pemahaman bersama dan
mencoba untuk mengerti akan keragaman budaya di berbagai negara. Dari sini akan
terbentuk suatu pengertian bersama akan adanya perbedaan budaya. Komunikasi lintas
budaya mencoba untuk memahami akan keragaman tersebut.5
Komunikasi dan budaya memiliki hubungan sangat erat. Menurut Edward T.
Hall, communication is culture and culture is communication. Hall terlebih dahulu
membedakan budaya konteks tinggi (high context culture ) dengan budaya konteks
rendah (low context culture). Budaya konteks rendah ditandai dengan komunikasi
konteks rendah seperti pesan verbal dan eksplisit, gaya bicara langsung lugas dan
berterus terang. Para penganut budaya ini mengatakan bahwa apa yang mereka
maksudkan (the say what they mean) adalah apa yang mereka katakan (they mean what
they say). Sebaliknya, budaya konteks tinggi, seperti kebanyakan pesan yang bersifat
implisit, tidak langsung dan tidak terus terang, pesan yang sebenarnya mungkin
tersembunyi dibalik perilaku nonverbal, intonasi suara, gerakan tangan, pemahaman
lebih kontekstual, lebih ramah dan toleran terhadap budaya masyarakat. Terkadang
pernyataan verbal bisa bertentangan dengan pesan non-verbal. Manusia yang terbiasa
berbudaya konteks tinggi lebih terampil membaca perilaku non-verbal dan juga akan
3
J. N. Martin, & Nakayama, T. K, Intercultural Communication and Dialectics Revisited. (In The Handbook of
Critical Intercultural Communication, 2011)
4
Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 22
5
Dedy Mulyana, Jalaludin Rachmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung: Rosdakarya, 2001), hlm. 12
4
mampu melakukan hal yang sama. Watak komunikasi konteks tinggi yaitu tahan lama,
lamban berubah dan mengikat kelompok penggunanya. Orang-orang berbudaya
konteks tinggi lebih menyadari proses penyaringan budaya daripada orang-orang
berbudaya konteks rendah. Dalam kaitannya dengan aktivitas dakwah, pengkajiannya
dengan pendekatan komunikasi konteks tinggi dan komunikasi konteks rendah.
Bagaimana para da’i melakukan tugasnya sebagai pengayom masyarakat, penyelamat
masyarakat dan memajukan masyarakat dengan pendekatanpendekatan yang lebih
dekat dan ramah dengan budaya yang dianut masyarakat setempat.6
Berdasarkan apa yang telah dijelaskan diatas dapat dilihat bahwa antara
komunikasi dan budaya sangat erat dan kuat, sehingga penting untuk memahami dan
mempelajari tentang komunikasi lintas budaya. Terutama ditengah tuntutan jaman yang
sedang berkembang dengan adanya globalisasi dan teknologi. Sehingga pembelajaran
akan komunikasi lintas budaya ini menjadi semakin penting lagi untuk menghindari
konflik antar kelompok budaya yang berbeda dan sekaligus menjaga kerukunan antar
kelompok budaya.
b. scDawah Channel
scDakwah Channel adalah sebuah channel yang menyajikan konten berupa
diskusi, debat atau adu argumentasi mengenai berbagai topik yang berkaitan dengan
agama, khususnya agama Islam. Sc sendiri merupakan singkatan dari speaker corner
yakni sebuah tempat terbuka yang disediakan secara khusus untuk berekpresi, debat
serta dsikusi mengenai segala macam hal. "A Speaker's Corner" berakar dari sejarah
demonstrasi besar-besaran di tahun 1866 dan 1897, dimana liga reformasi menuntut
(diantaranya) persamaan hak pekerja. Di kemudian hari, peristiwa ini kemudian
membuat para pembuat kebijakan memutuskan untuk mengeluarkan hak mengutarakan
pendapat di Hyde Park, London, Inggris. Secara historis ada sejumlah area lain yang di
tunjuk sebagai lokasi speakers corner di taman-taman lain di London, seperti
(Lincoln’s inn Field, Finsbury Park, Clapham Common, Kennington Park, dan taman
Victoria). Area speaker corner saat ini juga telah ada di beberapa Negara lain selain di
Inggris. Sejak itu, tak terhitung berbagai pidato, orasi, debat maupun demonstrasi yang
dilakukan di Hyde Park, khususnya di "A Speaker's Corner", termasuk Karl Marx,
Vladimir Lenin maupun George Orwell pernah berpidato di sini.7
6
Acep Aripudin, 2011. Pengembagan Metode Dakwah: Respons Da’i Terhadap Dinamika Kehidupan di Kaki
Ceremai. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 16
7
Kompasiana.com. "A Speaker Corner" dan Kebebasan Berpendapat"
5
Ali adalah seorang pemuda dari London yang kerap berdakwah via internet. Pria
berusia 28 tahun ini mempunyai beberapa kanal di YouTube, seperti Da'wah Mobile,
Speakers Corner, dan Halal Dining Project. Dan termasuk yang menjadi studi dalam
tulisan ini yakni di facebook dengan nama “scDawah Channel”. Ali sendiri merupakan
mualaf sejak 2011, yang akhirnya menemukan Islam untuk memperbaiki gaya
hidupnya. Pria kelahiran Kurdi ini belajar Islam melalui ulama di Inggris, dan buku-
buku serta Alquran, kemudian menyebarkannya kembali melalui internet. Ali dan
teman-teman muslim lainnya selalu hadir di Speakers Corner ini untuk menjawab
pertanyaan dari masyarakat non-muslim ataupun muslim tentang Islam. Ali tidak
berdakwah sendiri. Ada 10-15 saudara muslim lainnya yang melakukan syiar di Hyde
Park.8
Dalam scdawah channel yang terlibat dalam speaker corner, terdapat orator
yang memulai berbicara mengenai hal apapun, tentu scdakwah membawakan isi
pembicaraan mengenai berdakwah ajakan kepada islam serta membenarkan tuduhan
terhadap islam. Keamanan serta pihak kepolisian setempat pun menganggap pidato
mereka sah-sah saja selagi tidak melanggar hukum.9 Sebagian dari mereka dating ke
speaker corner untuk melatih kemampuan berargumentasi, ada yang memang hobinya
debat, ada yang berniat untuk menyebarkan agama/pemikiran tertentu, ada yang
menyuarakan hak, ada yang niatnya mengacau, ada yang menikmati menjadi penonton
saja dan ada juga yang memang mencari kebenaran. Sebagian dari pengunjung ada yang
mendapat pencerahan bahkan ada juga yang menemukan agama baru setelah
melakukan debat yang panjang. Disini semua orang diberi kebebasan penuh untuk
berbicara, tetapi dilarang ada kontak fisik. Orang boleh berdebat sampai emosi tetapi
dilarang keras menyerang secara fisik.
c. Analisis dan Diskusi
1. Substansi Pembicaraan
Pada scDawah Channel terdapat begitu banyak video yang menarik, di sini
penulis memilih diskusi yang tentunya berkaitan dengan komunikasi lintas budaya,
yakni komunikasi yang dilakukan Ali Dawah selaku pemilik channel dengan
demonstran Iran terkait Mahsa Amini.
Gambar 1
8
Detiknews, "Melihat Semangat Berdakwah Muslim Milenial London"
selengkapnya https://news.detik.com/berita/d-3530898/melihat-semangat-berdakwah-muslim-milenial-london.
9
Adamsmith.org. “Speakers’ Corner still has free speech” https;// www.adamsmith.org. Adam smith institute.
6
Sumber: scDawah Channel
7
namun juga warga-warga Iran yang kini tinggal diberbagai belahan dunia, termasuk
beberapa demonstran yang ada dalam video sebagaimana tersebut di atas.
2. Konteks Komunikasi
Dalam video terkait Mahsa Amini komunikan dan komunikator berasal dari
bangsa, agama, dan budaya yang berbeda, diketahui Ali berkebangsaan London, dan
beragama Islam (mualaf), sedangkan demonstran tersebut berasal dari Iran dan lahir
dalam keadaan muslim namun sekarang menjadi non-muslim.
Gambar 2
8
yang prosedur pengalihan informasinya menjadi lebih mudah untuk
dikomunikasikan, cenderung eksplisit, gaya bicara langsung lugas dan berterus
terang.10
Berdasarkan video tersebut terlihat bahwa Ali menggunakan High Context
atau konteks tinggi. Sedangkan lawan bicaranya yakni para demonstran
menggunakan low context atau konteks rendah yang mana gaya komunikasi ini
cenderung spontan dan blak-blakan. Hal tersebut terlihat dalam cuplikan percakapan
berikut, dimana awalnya Ali menjelaskan bahwa dia beragama Islam dan ayahnya
atheis, kemudian demonstran Iran meminta Ali untuk to the point ke pokok bahasan,
dia tidak peduli kepercayaan yang dianut oleh lawan bicaranya.
Gambar 3
10
Alo Liliweri, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: LkiS, 2007)
9
bicaranya yang cenderung eksplisit, to the point dan blak-blakan mengharapkan agar
lawan bicaranya memberikan informasi yang tidak bertele-tele sehingga ia dapat
mengakses informasi yang diberikan lawan bicaranya itu dengan mudah. Mereka
juga berharap agar lawan bicaranya menyampaikan informasi yang lebih sederhana
agar dapat dengan cepat dipahami olehnya.
Individu dari kebudayaan high context juga berharap agar lawan bicaranya
menggunakan cara yang lebih simpel agar mereka dapat langsung memahami segala
bentuk informasi dalam berbagai kondisi. Akan tetapi apabila kita kaji dengan
menggunakan perspektif komunikasi lintas budaya, apa yang ditampilkan
demonstran dengan gaya bahasanya yang non-formal dan cenderung kasar sangat
bertolak belakang dengan karakteristik low context, yaitu mengutamakan suasana
informasi yang formal.
Saphiere menjelaskan bahwa tiap individu memiliki gaya komunikasi yang
berbeda-beda dan gaya komunikasi merupakan gambaran dari karakter pribadi
individu tersebut. Ia menambahkan Terdapat beberapa faktor yang berandil besar
dalam gaya komunikasi seseorang, diantaranya adalah konteks komunikasi, tujuan
komunikasi, konsep diri individu, nilai-nilai yang dianut oleh individu, dan gaya
komunikasi yang diterapkan oleh individu ketika berinteraksi.11 Selayaknya budaya,
gaya komunikasi merupakan suatu hal yang relatif, dinamis dan sukar ditebak.
Secara verbal, orang dari budaya berbeda atau orang awam akan menganggap kata-
kata yang diucapkan para demonstran cenderung kasar, meledak-ledak dan tegas.
Secara nonverbal intonasi suara yang dimiliki para demonstran sangat tinggi.
Namun, konteks dan konten pembicaraannya pun masih terbilang normal dan wajar
jika kita menengok dengan kaca mata komunikasi konteks rendah (LCC).
3. Perdebatan
Perdebatan pertama dalam forum tersebut adalah tentang agama Islam.
Setelah menjelaskan mengenai kronologi meninggalnya Mahsa Amini, demonstran
tersebut menyebutkan bahwa polisi Iran menggunakan agama sebagai alat untuk
membunuh orang-orang, sebagaimana tertera dalam potongan video berikut:
Gambar 4
11
Saphiere, D.H., Babara K. M., dan Basma I. D, Communication highwire: leveraging the power of diverse
communication styles, (Boston: Intercultural Press, 2005)
10
Sumber: scDawah Channel
11
Keyakinan akan kebenaran ajaran agama yang dianutnya menjadi norma
yang membingkai kehidupannya. Karena itu, secara subjektif menjadi sensitif jika
sewaktu-waktu berhubungan dengan pihak lain, terutama jika sudah menyentuh
substansi ajaran. Ia akan bereaksi secara spontan sehingga akan mengubah dirinya
menjadi semakin kohesif atau sebaliknya malah semakin berjarak. Dalam konteks
komunikasi, jika agama telah hadir menjadi salah satu variabel dalam proses
komunikasi, baik sebagai tema pesan, identitas aktor yang memerankannya, ataupun
sebagai saluran yang memfasilitasi jalannya komunikasi, ia dapat membentuk
hubungan menjadi semakin kohesif, atau sebaliknya malah menjadi resisten.12
Dalam percakapan selanjutnya terjadilah perdebatan mengenai “hijab”. Hal
ini dipicu oleh pernyataan Ali yang percaya bahwa perempuan bukannya memilih
untuk tidak memakai hijab, tetapi mereka dipaksa untuk tidak memakai hijab, baik
oleh apa yang mereka baca, oleh laki-laki, maupun oleh masyarakat “When we talk
about freedom, what you exactly mean, because like I don’t believe personally in
this concept that you choose not to wear the hijab. I don’t believe this exist. I believe
that you don’t choose not to wear the hijab, you are forced not to wear the hijab, by
society”
Setelah pernyataan tersebut demonstran perempuan itu mengatakan alasan-
alasan mengapa perempuan memilih untuk tidak memakai hijab, “Maybe by things
that I’ve read or maybe in the day I think that oh I have a beautiful hair. I want to
have it around me. Okay? Maybe 100 years later, women are going to shave their
hair because it’s more efficient. As simple as that. It can be anything. I am not
wearing hijab at the moment. Yes. Because of all the things that happened in my life
Tidak berheni sampai di situ, dalam percakapan selanjutnya Ali masih terus
mencoba menjelaskan mengenai keyakinan dia tentang hijab,“The thing why I was
just saying that for the sister as well is that I believe truly that for someone to say
that they don’t wear the hijab and they choose not to. I believe this is not true. What
I mean by that is for example there are a lot of women in this country or around the
world. Billions of them who wear mini skirts. They get their nose done, they get their
backside done, they get their breast on. The question is do they choose to do this. I
say no. They are forced to do this.
12
Asep S. Muhtadi, Komunikasi Lintas Agama: Mencari Solusi Konflik Agama, Conference Proceeding
ICONIMAD 2019, International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
12
Gambar 5
13
Khoiruddin Muchtar, Komunikasi antar Budaya dalam Perspektif Antropologi, Jurnal manajemen komunikasi,
Vol. 1, No. 1, tahun 2016
14
(truth-claim) atas agamanya masing-masing semakin memperkuat posisi dirinya
tanpa melihat kebenaran yang lain. Perbincangan tentang topik keagamaan pada
akhirnya dikaitkan dengan penyerangan terhadap keyakinan individu lainnya dan
menekankan bahwa terjadi egoisentrisme agama. Egoisentrisme menunjukkan
bahwa kebenaran suatu keyakinan merujuk pada keyakinan yang diyakini oleh
individu itu sendiri. Pada percakapan yang terjadi terkait “hijab”, satu aktor berusaha
mempertahankan keyakinan agamanya sebagai keyakinan yang paling benar dan sah
sedangkan keyakinan orang lain adalah tidak benar. Pernyataan tersebut
mengindikasikan seakan ada pemikiran bahwa keyakinan yang dimiliki oleh
seseorang adalah keyakinan yang paling baik dan cenderung menyerang keyakinan
padahal pemberitaan yang dilakukan bukan berbicara tentang agama tetapi berbicara
tentang persaudaraan dalam kemanusiaan.
Kehidupan multikultural memang mensyaratkan adanya toleransi tanpa harus
menggeser makna agama ataupun budaya yang dianut suatu masyarakat. Toleransi
membutuhkan sikap inklusif yang mau menerima kehadiran orang-orang yang
berbeda. Sikap seperti itulah yang dapat menciptakan harmoni dan kedamaian. Sikap
eksklusivisme yang memutlakkan kebenaran sendiri tanpa melihat kebenaran yang
diyakini pihak lain merupakan sikap yang akan menciptakan disharmoni,
ketegangan, konflik, bahkan dapat mendorong sikap saling curiga.
D. KESIMPULAN
Komunikasi lintas budaya dimaknai sebagai terjadinya pengiriman pesan dari
seseorang yang berasal dari satu budaya yang berbeda dengan pihak penerima pesan.
Bila disederhanakan, komunikasi lintas budaya ini memberi penekanan pada aspek
perbedayaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan bagi keberlangsungan proses
komunikasi. scDakwah Channel adalah sebuah channel yang menyajikan konten
berupa diskusi, debat atau adu argumentasi mengenai berbagai topik yang berkaitan
dengan agama, khususnya agama Islam. Sc sendiri merupakan singkatan dari speaker
corner yakni sebuah tempat terbuka yang disediakan secara khusus untuk berekpresi,
debat serta dsikusi mengenai segala macam hal. Forum diskusi mengenai Mahsa Amini
dalam scDawah channel tersebut secara sederhana menggambarkan pembicaraan yang
melibatkan dua aktor komunikasi yang berbeda budaya. Tema pembicaraannya pun
menyangkut substansi ajaran yang memiliki sensitivitas tersendiri. Dengan
menganalogikan pada komunikasi lintas budaya, komunikasi lintas agama ini berangkat
dari satu asumsi bahwa seseorang yang menjadi produsen pesan dan penerima pesan
15
adalah mereka yang berlatar belakang agama yang berbeda. Inilah yang diidentifikasi,
baik dari segi fungsinya, peran-peran yang dimainkannya, hingga proses yang
dilaluinya. Karena itu, proses komunikasi yang terjadi langsung dihadapkan pada
situasi, yakni ketika suatu pesan disandi dalam suatu kacamata agama yang berbeda.
Harus disadari bahwa agama memengaruhi perilaku para pemeluknya karena agama
memiliki nilai-nilai serta norma-norma yang membingkai perilaku para pemeluknya.
Agama juga memiliki sensitivitas tertentu yang dapat mengendalikan persepsi dan
perilaku.
16
DAFTAR PUSTAKA
Adamsmith.org. “Speakers’ Corner still has free speech”. Diakses pada tanggal 17 Oktober
2022. https;//www.adamsmith.org. Adam smith institute.
Aripudin, Acep. 2011. Pengembagan Metode Dakwah: Respons Da’i Terhadap Dinamika
Kehidupan di Kaki Ceremai. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Detiknews, "Melihat Semangat Berdakwah Muslim Milenial London". Diakses pada tanggal
17 Oktober 2022. https://news.detik.com/berita/d-3530898/melihat-semangat-
berdakwah-muslim-milenial-london.
Kompasiana.com. “A Speaker Corner dan Kebebasan Berpendapat”. Diakses pada tanggal 17
Oktober 2022.
https://www.kompasiana.com/irmasusantiirsyadi/5c046f796ddcae4a2549b052/a-
speaker-s-corner-dan-kebebasan-berpendapat?page=all&page_images=1
Liliweri, A. 2007. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LkiS.
Liliweri, A. 2013. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maletzke, Gerhard “Intercultural and Internation Communication”, dalam Heinz-Dietrich
Fischer dab John C. Merril (eds). 1978. Intercultural and International Communication.
New York: Hastings House Publisher.
Martin, J. N., & Nakayama, T. K. 2011. Intercultural Communication and Dialectics Revisited.
In The Handbook of Critical Intercultural Communication.
https://doi.org/10.1002/978144439068 1.ch5
Muchtar, Khoiruddin. 2016. Komunikasi antar Budaya dalam Perspektif Antropologi. Jurnal
Manajemen Komunikasi. Vol. 1, No. 1.
Muhtadi, Asep S. 2019. Komunikasi Lintas Agama: Mencari Solusi Konflik Agama.
Conference Proceeding ICONIMAD 2019, International Conference on Islam in Malay
World IX, Krabi, Thailand
Mulyana, Dedy. Jalaludin Rachmat. 2001. Komunikasi Antar Budaya. Bandung: Rosdakarya.
Samovar, L. A., Porter, R. E., & McDaniel, E. R. 2010. Komunikasi Lintas Budaya (7th ed.).
Salemba Humanika.
Saphiere, D.H., Babara K. M., dan Basma I. D. 2005. Communication highwire: leveraging
the power of diverse communication styles. Boston: Intercultural Press
17