KAJIAN TEORI
7
2. Komunikasi antarbudaya merupakan pertukaran pesan-pesan yang
disampaikan secara lisan, tertulis, bahkan secara imajiner antara dua
orang yang berbeda latar belakang budaya.
3. Komunikasi antarbudaya merupakan pembagian pesan yang berbentuk
informasi atau hiburan yang disampaikan secara lisan atau tertulis atau
metode lainnya yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda latar
belakang budayanya.
4. Komunikasi antarbudaya adalah pengalihan informasi dari seorang
yang berkebudayaan tertentu kepada seorang yang berkebudayaan lain.
5. Komunikasi antarbudaya adalah pertukaran makna yang berbentuk
simbol yang dilakukan dua orang yang berbeda latar belakang
budayanya.
6. Komunikasi antarbudaya adalah proses pengalihan pesan yang
dilakukan seorang melalui saluran tertentu kepada orang lain yang
keduanya berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan
menghasilkan efek tertentu.
7. Komunikasi antarbudaya adalah setiap proses pembagian informasi,
gagasan atau perasaan di antara mereka yang berbeda latar belakang
budayanya. Proses pembagian informasi itu dilakukan secara lisan dan
tertulis, juga melalui bahasa tubuh, gaya atau tampilan pribadi, atau
bantuan hal lain di sekitarnya yang memperjelas pesan (Liliweri, Alo.
2003 ; 9).
8
yang efektif itu adalah variabel tidak bebas (Y) maka perbedaan
antarbudaya tersebut secara alamiah dapat diakui sebagai variabel bebas
(X yang kadang-kadang justru merupakan jurang yang memisahkan
komunikator dengan komunikan.
X Y
Kebudayaan ______________ Komunikasi
X Y
Perbedaan antarbudaya _________ Komunikasi yang efektif
2.3. Etnosentrisme
Satu kesulitan adalah kecenderungan kita untuk melihat orang lain
dan perilaku mereka melalui kacamata kultur kita sendiri. Etnosentrisme
adalah kecenderungan untuk mengevaluasi nilai, kepercayaan, dan
perilaku dalam kultur sendiri sebagai lebih baik, lebih logis, dan lebih
wajar daripada dalam kultur lain (DeVito, Joseph A., 2011 ; 533).
Etnosentrisme merupakan "paham" di mana para penganut suatu
kebudayaan atau suatu kelompok suku bangsa merasa lebih superior
daripada kelompok lain diluar mereka. Hal ini dapat membangkitkan sikap
"kami" dan "mereka" (Liliweri, Alo. 2003 ; 138).
Kecenderungan etnosentrisme adalah melihat budaya yang kita
miliki sebagai pusat alam semesta, yakni sebagai realitas sejati yang
9
mempengaruhi semua komunikasi interkultural, termasuk hubungan
antaretnik. Ini dapat dilihat dengan jelas pada definisi etnosentrisme ;
Porter dan Samovar (1997:10) menyatakan sumber utama
perbedaan budaya dalam sikap adalah etnosentrisme, yaitu kecenderungan
memandang orang lain secara tidak sadar dengan menggunakan kelompok
kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri sebagai kriteria untuk segala
penilaian. Makin besar kesamaan kita dengan mereka, makin dekat mereka
kepada kita; makin besar ketidaksamaan, makin jauh mereka dari kita.
Kita cenderung melihat kelompok kita, negeri kita, budaya kita sendiri,
sebagai yang paling baik, sebagai yang paling bermoral. Pandangan ini
menuntut kesetiaan kita yang pertama dan melahirkan kerangka rujukan
yang menolak eksistensi kerangka rujukan yang lain. Pandangan ini adalah
posisi mutlak yang menaikan posisi yang lain dari tempatnya yang layak
bagi budaya yang lain (Mulyana, Deddy & Rakhmat, Jalaluddin. 2005 ; 76
- 77).
Sedangkan budaya tertentu mempunyai pandangan realitas yang
berbeda - beda. Budaya mungkin jelas dan terlihat atau sebaliknya kurang
terlihat. Namun dapat ditelaah ketika orang mulai berkomunikasi dan
berhubungan satu dengan lainnya. Selain itu, budaya setiap individu yang
tergabung dalam suatu etnis/suku tertentu mempunyai pandangan realitas
tersendiri. Hal ini dikatakan sebagai pandangan dunia (world view) ,
berkaitan pula dengan kepercayaan, nilai - nilai, dan sikap (Chew, Jim.
1993 : 4).
10
kenyataan (realitas). Pendek kata, pandangan dunia kita membantu kita
untuk mengetahui posisi dan tingkatan kita dalam alam semesta. Isu - isu
pandangan dunia bersifat abadi dan merupakan landasan paling mendasar
dari suatu budaya. Efeknya seringkali tak kentara dalam hal - hal yang
tampak nyata dan remeh seperti pakaian, isyarat, dan pembendaharaan
kata (Mulyana, Deddy & Rakhmat, Jalaluddin. 2005 ; 28). Sama halnya
dengan Jim Chew yang menjelaskan untuk mengetahui pandangan dunia,
kita perlu tahu bahwa masyarakat tersebut memiliki pandangan tentang
realitas. Sehingga pertanyaannya apa yang merupakan realitas bagi
masyarakat tersebut ? Bagaimana realitas tersusun menurut masyarakat
tersebut ? Dimana dalam suatu wilayah terdapat masyrakat yang hidup dan
memberikan pandangan - pandangannya dalam melihat realitas (Chew,
Jim. 1993 : 4). Hal ini akan menjadi lebih jelas ketika kita dapat
memahami Konsep Fakta Sosial. Landasan pemikiran Durkheim
mengenai masyarakat adalah pandangannya mengenai suatu masyarakat
yang hidup. Disitu ada manusia - manusia yang berpikir dan bertingkah-
laku dalam hubungan satu sama dengan lain. Manusia - manusianya
disebut individu, sedangkan pikiran - pikiran yang mereka keluarkan, dan
tingkah-laku mereka disebut gejala, atau fakta individual. Dalam berpikir
dan bertingkah-lau manusia dihadapkan pada gejala - gejala, atau fakta -
fakta sosial yang seolah - olah sudah ada di luar diri para individu yang
menjadi warga masyarakat tadi. Fakta - fakta sosial mempunyai kekuatan
memaksa para individu untuk berpikir menurut garis - garis dan bertindak
menurut cara - cara tertentu. Contohnya adalah bahasa suatu fakta sosial
yang mempunyai kekuatan memaksa sangat umum, dan individu yang
mencoba menyeleweng dari aturan tata bahasa akan dihukum dengan
ejekan dan akan dianggap sebagai orang yang ridak tahu sopan - santun
(Koentjaraningrat. 1980 : 87 - 88).
Pandangan dunia mempengaruhi kepercayaan, nilai, sikap, dan
banyak aspek budaya lainnya. Dengan cara - cara yang tak terlihat tetapi
nyata terasa, pandangan dunia sangat mempengaruhi komunikasi
11
antarbudaya, oleh karena sebagai anggota suatu budaya setiap pelaku
komunikasi mempunyai pandangan dunia yang tertanam dalam pada jiwa
yang sepenuhnya dianggap benar dan ia otomatis mengganggap bahwa
pihak lainnya memandang dunia sebagaimana ia memandangnya
(Mulyana, Deddy & Rakhmat, Jalaluddin. 2005 ; 29).
Ketika berbicara tentang kepercayaan, secara umum kepercayaan
dapat dipandang sebagai kemungkinan - kemungkinan subjektif yang
diyakini individu bahwa suatu objek atau peristiwa memiliki karakteristik
- karakteristik tertentu. Kepercayaan melibatkan hubungan antara objek
yang dipercayai dan karakteristik - karakteristik yang membedakannya.
Derajat kepercayaan kita mengenai suatu peristiwa atau suatu objek yang
memiliki karakteristik - karakteristik tertentu menunjukan tingkat
kemungkinan subjektif kita dan konsekuensinya, juga menunjukan
kedalaman atau intensitas kepercayaan kita (Mulyana, Deddy & Rakhmat,
Jalaluddin . 2005 ; 26). Menurut Jim Chew untuk mengetahui kepercayaan
kita perlu tahu bahwa masyarakat memiliki pandangan tentang kebenaran.
Sehingga pertanyaannya apa yang merupakan kebenaran bagi masyarakat
tersebut? Apa saja yang dianggap benar oleh masyarakat tersebut?
Sedangkan mengenai nilai - nilai, menurut Jim Chew untuk
mengetahui nilai - nilai, kita perlu tahu bahwa masyarakat memiliki
pandangan tentang kebaikan. Sehingga pertanyaannya apa yang
merupakan kebaikan bagi masyarakat tersebut? Apa saja yang dianggap
baik oleh masyarakat tersebut? Nilai - nilai adalah aspek evaluatif dari
sistem - sitem kepercayaan, nilai dan sikap. Dimensi - dimensi evaluatif
ini meliputi kualitas - kualitas seperti kemanfaatan, kebaikan, estetika,
kemampuan memuaskan kebutuhan, dan kesenangan. Meskipun setiap
orang mempunyai suatu tantanan nilai yang unik, terdapat pula nilai - nilai
yang cenderung menyerap budaya. Nilai - nilai ini dinamakan nilai - nilai
budaya. Nilai - nilai budaya umumnya normatif dalam arti bahwa nilai -
nilai tersebut menjadi rujukan seorang anggota budaya tentang apa yang
baik dan apa yang buruk, yang benar dan yang salah, yang sejati dan palsu,
12
positif dan negatif, dan sebagainya. Kepercayaan dan nilai memberikan
kontribusi bagi pengembangan dan isi sikap. Sikap merupakan suatu
kecenderungan yang diperoleh dengan cara belajar untuk merespon suatu
objek secara konsisten. Sikap itu dipelajari dalam suatu konteks budaya.
Bagaimanapun lingkungan kita, lingkungan itu akan turut membentuk
sikap kita, kesiapan kita untuk merespons, dan akhirnya perilaku kita
(Mulyana, Deddy & Rakhmat, Jalaluddin . 2005 ; 27). Menurut Jim Chew
untuk mengetahui perilaku, kita perlu tahu bahwa masyarakat memiliki
kebiasaan melakukan tindakan. Sehingga pertanyaannya apa yang nyata
dilakukan oleh masyarakat tersebut ?
13