Anda di halaman 1dari 41

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
LANDASAN TEORI

Penelitian ini menghadirkan beberapa konsep pokok/penting yaitu identitas


kultural dan perilaku komunikasi dalam jalinan komunikasi antar budaya. Konsep pokok
tersebut digunakan untuk mengemukakan gambaran serta pemahaman mengenai
bagaimana identitas kultural digunakan dalam jalinan komunikasi antar budaya yang
bersifat langsung (komunikasi antar pribadi) – khususnya antara penduduk pendatang
(Jawa-Muslim) dengan penduduk asli (Bali-Hindu) di Dusun Wanasari, Kelurahan Dauh
Puri Kaja, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar, Bali. Penelitian ini mencermati
bagaimana proses negosiasi antar identitas yang terjadi, unsur-unsur apa yang dilibatkan
serta faktor-faktor yang memberikan dampak bagi jalinan hubungan yang harmoni di
antara kedua kelompok etnis dan atau budaya ini. Bagian landasan teori dimulai dengan
tinjauan pustaka komunikasi antar budaya, kemudian penjelasan berkenaan dengan
identitas kultural serta teori negosiasi identitas.

1.1 Komunikasi Antar Budaya


Terdapat dua konsep utama yang mewarnai komunikasi antarbudaya
(interculture communication), yaitu konsep kebudayaan dan konsep komunikasi.
Hubungan antara keduanya sangat kompleks. Budaya mempengaruhi komunikasi dan
pada gilirannya komunikasi turut menentukan, menciptakan dan memelihara realitas
budaya dari sebuah komunitas/kelompok budaya. Dengan kata lain, komunikasi dan
budaya ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi
satu sama lain. Budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang
apa dan bagaimana komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan
bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-
kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Sebenarnya
seluruh perbendaharaan perilaku manusia sangat bergantung pada budaya tempat
manusia tersebut dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan
komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik
komunikasi. Dengan memahami kedua konsep utama itu, maka studi komunikasi

9
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada efek kebudayaan
terhadap komunikasi.
Berkenaan dengan komunikasi antar budaya yang terjadi antara penduduk
pendatang dengan penduduk asli dan relatif tidak terjadi konflik nampaknya tidak
banyak terjadi di masyarakat. Penelitian oleh Oommen (2012) misalnya, dengan
menggunakan pendekatan kuantitatif, riset ini bertujuan untuk mengeksplorasi
hubungan antara tekanan mental, diukur dari tingkat kecemasan dan depresi, dan
preferensi untuk berbagai masalah dan pendekatan manajemen konflik. Hasil dari
riset tersebut menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan kecemasan dan tingkat
keprihatinan yang positif dari mahasiswa pendatang (internasional). Hasil
menimbulkan pertanyaan tentang kemungkinan individu, dalam kondisi tekanan
mental, secara aktif terlibat dalam pengelolaan konflik dan menampilkan perilaku
yang mengintegrasikan keprihatinan diri dan lainnya. Artinya, mahasiswa asing yang
berada di sana memiliki kecemasan yang tinggi terhadap integritas dirinya dalam
lingkup kelompok yang berbeda latar belakang dengan dirinya. Berbeda halnya
dengan penelitian tersebut, penelitian ini berasumsi bahwa hanya terdapat sedikit
kecemasan yang hadir dalam proses komunikasi yang terjadi antara penduduk
pendatang (Jawa-Muslim) dengan penduduk asli (Bali-Hindu).
Adapun budaya itu sendiri berkenaan dengan cara hidup manusia. Bahasa,
persahabatan, kebiasaan makan, praktek komunikasi, tindakan-tindakan sosial,
kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik dan teknologi semuanya didasarkan pada pola-
pola budaya yang ada di masyarakat. Budaya adalah suatu konsep yang
membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan
pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu,
peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang
diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu
dan kelompok. Budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang
apa dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan
kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Budaya
merupakan landasan komunikasi sehingga bila budaya beraneka ragam maka
beraneka ragam pula praktek-praktek komunikasi yang berkembang.

10
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sanjaya (2013) yang berfokus


pada hambatan komunikasi antar budaya yang terjadi antara staf sebuah apartemen di
Surabaya dengan penghuni berkewarganegaraan Australia dan Korea, ditemukan
bahwa dalam komunikasi antar budaya terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi
keefektifan komunikasi antar budaya seperti faktor fisik, budaya, persepsi, motivasi,
pengalaman, emosi, bahasa, nonverbal dan faktor kompetisi. Penelitian tersebut juga
menemukan bahwa tidak selamanya perbedaan bahasa dan faktor nonverbal yang
umumnya terjadi dalam komunikasi antara dua budaya yang berbeda menjadi faktor
penyebab kegagalan dalam sebuah proses komunikasi antar budaya. Saling
menghargai dan menghormati juga menjadi kunci penting dalam terjalinnya
komunikasi yang baik antar dua kebudayaan yang berbeda. Berkenaan dengan
penelitian ini, hambatan komunikasi antar budaya bukan menjadi fokusnya,
melainkan terjalinnya komunikasi yang harmoni antara penduduk pendatang dengan
penduduk asli.
Samovar et.al (2007) dalam buku “Intercultural Communication: A Reader”
menyatakan bahwa komunikasi antar budaya (intercultural communication) terjadi
apabila sebuah pesan (message) yang harus dimengerti dihasilkan oleh anggota dari
budaya tertentu untuk konsumsi anggota dari budaya yang lain. Sementara itu,
Liliweri (2002) berpendapat bahwa proses komunikasi antar budaya merupakan
interaksi antarpribadi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa
orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Aspek utama dari
komunikasi antar budaya adalah komunikasi antar pribadi diantara komunikator dan
komunikan yang kebudayaannya berbeda. Tidak masalah apakah kejadian itu terjadi
dalam satu bangsa atau antar bangsa yang berbeda, yang jelas adalah budayanya yang
berbeda.

1.2 Identitas Budaya Jawa dan Bali


Identitas merupakan jati diri yang dimiliki seseorang yang diperoleh sejak
lahir melalui proses interaksi yang dilakukan setiap hari dalam kehidupannya dan

11
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kemudian membentuk suatu pola khusus yang mendefinisikan dirinya. Identitas


budaya adalah sebuah cara yang melibatkan anggota kelompok budaya minoritas
yang bergabung dan bersatu dengan kelompok yang mereka bentuk sebagai
sebuah kejelasan dan komitmen sebagai bagian dari masyarakat mayoritas yang
besar. Identitas budaya sebagai sebuah perasaan yang dimiliki oleh individu atau
kelompok, mengerti jelas arti keanggotaan kelompok, perilaku positif ke arah
kelompok, keakraban dengan sejarah dan budaya serta keterlibatan dalam
kegiatan kelompok.
Identitas budaya sebagai bagian dari self-concept seseorang yang datang
dari pengetahuan tentang keanggotaan dalam kelompok social dan nilai atau
makna emosional yang melekat pada keanggotaan itu (Tajfel, 1981). Identitas
budaya terdiri dari penyamaan kepentingannya dengan kepentingan lain sebagai
anggota kelompok, rasa memiliki, dan sikap seseorang terhadap kelompok
seseorang lain yang mencakup aspek-aspek status sosial budaya, seperti jenis
kelamin, orientasi seksual, atau status, untuk membentuk identitas budaya
individu (Phinney, 1990). Identitas budaya (atau juga disebut sebagai identitas
etnis) sedikitnya dapat dilihat dari dua cara pandang yaitu identitas budaya
sebagai sebuah wujud dan identitas budaya sebagai proses menjadi. Dalam cara
pandang pertama, identitas budaya dilihat sebagai suatu kesatuan yang dimiliki
bersama atau yang merupakan “bentuk dasar atau asli” seseorang dan berada
dalam diri banyak orang yang memiliki keasamaan sejarah dan leluhur. Identitas
budaya adalah cerminan kesamaan sejarah serta kode-kode budaya yang
membentuk sekelompok orang yang menjadi satu. Sudut pandang ini melihat
bahwa ciri fisik atau lahiriah mengidentifikasikan mereka sebagai suatu
kelompok. Identitas budaya merujuk pada seberapa besar orang merasa sebagai
bagian dari sebuah kelompok atau budaya dari etnis tertentu dan bagaimana
perasaan tersebut mempengaruhi perilakunya.
Permasalahan dalam proses pengembangan identitas budaya adalah
pemberian label (labeling) pada individu maupun kelompok. Labeling adalah
identitas yang diberikan oleh kelompok pada individu berdasarkan pada ciri-ciri
yang dianggap minoritas oleh suatu kelompok masyarakat. Labeling cenderung
diberikan pada orang yang mempunyai penyimpangan perilaku yang tidak sesuai

12
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dengan norma di masyarakat. Pemberian label suatu identitas yang diberikan oleh
seseorang atau kelompok lain atas dasar ciri-ciri sosial yang dimiliki. Identitas
yang diberikan sifatnya membedakan seseorang atau kelompok tersebut. Ciri-ciri
yang diberikan dapat berasal dari ciri fisik yang menonjol, penyakit menetap yang
diderita, karakter seseorang, orientas seksual, ciri kolektif ras, etnik dan golongan.
Seseorang yang diberi label akan cenderung berbuat seperti label yang diberikan
kepadanya dan akan terkurung dalam label tersebut. Pemberian label dapat
berbentuk positif atau negatif yang dapat mempengaruhi perilaku individu.

2.2.1 Identitas Budaya Jawa


Masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa merupakan salah satu bentuk sosietas manusia
Indonesia yang tergolong dalam kelompok budaya. Masyarakat Jawa sebagai
kelompok budaya (Jawa) ditandai dengan adanya kesamaan identitas yang khas
jika dibandingkan dengan kelompok budaya lain yang ada di Indonesia.
Kesamaan identitas itu ada yang secara fisik maupun dalam hal-hal yang lebih
abstrak. Kesamaan identitas secara fisik atau setidaknya identitas yang
terungkap dalam wujud-wujud material, entah itu yang disebut fisionomi dari
suatu klan/marga/suku maupun dari hasil-hasil yang disebut budaya. Sedangkan
kebersamaan dalam hal-hal yang lebih abstrak seperti “pandangan hidup,
kepercayaan, cara berpikir, susunan masyarakat, model/tipe kepemimpinan
yang dianut dan sebagainya”. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dimensi
yang melatarbelakangi pengelompokan “budaya” adalah pertautan manusia
dengan dunia yang dialami (Sudiarja, 1995).
Soekanto dalam bukunya Sosiologi Suatu Pengantar (1977) mengatakan
dari sudut tinjauan kebudayaan, bahwa masyarakat adalah orang yang hidup
bersama yang menghasilkan kebudayaan. Pengertian tentang masyarakat Jawa
didapatkan tidak terlepas dari pengertian masyarakat sebagaimana disebutkan
di atas. Pengertian “Jawa” dimaksudkan dalam “masyarakat Jawa” adalah
masyarakat yang hidup dalam kungkungan budaya Jawa. Selanjutnya, untuk
menyebut “masyarakat Jawa” tidak lepas dari apa yang disebut “orang Jawa”.
“Orang Jawa” inilah yang dengan segala interaksinya, dengan segala adat-

13
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

istiadatnya, dengan sistem moralnya dan dengan segala aspek budayanya akan
membentuk “masyarakat Jawa”. Menurut Magnis-Suseno (1985), yang
dimaksud “orang Jawa” adalah: 1) Orang yang berbahasa Jawa, yang masih
berakar di dalam kebudayaan dan cara berpikir sebagaimana terdapat di daerah
pedalaman Jawa, dari sebelah Barat Yogyakarta sampai daerah Kediri ke Timur;
dan 2) Yang sekaligus tidak secara eksplisit berusaha untuk hidup di atas dasar
agama Islam.
Pendapat yang dipakai oleh Magnis-Suseno tersebut adalah Batasan
sebagaimana sering juga dipakai oleh beberapa antropolog. Kodiran (1975)
lebih lanjut mengatakan, masyarakat Jawa yang hidup dalam daerah
kebudayaan Jawa meliputi seluruh bagian Tengah dan Timur dari Pulau Jawa.
Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Jawa dengan dialek masing-masing
daerah yang berbeda. Sebelum terjadi perubahan-perubahan status wilayah
seperti sekarang ini, ada daerah-daerah yang secara kolektif sering disebut
daerah kejawen, yaitu Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun,
Malang dan Kediri. Daerah di luar itu dinamakan “pesisir” dan “ujung timur”.
Berdasarkan batasan di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jawa adalah
“kesatuan hidup orang-orang Jawa yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-
istiadat, sistem norma dan sistem budaya Jawa yang bersifat kontinyu, dan yang
terikat oleh suatu rasa identitas bersama yaitu orang Jawa”.
Aristoteles filsuf Yunani yang terkenal dengan tesis manusia sebagai
zoonpolitikon atau homo socius berpendapat bahwa pada masyarakat terdapat 3
(tiga) unsur, yaitu mereka yang kaya sekali; mereka yang melarat; dan mereka
yang berada di tengah-tengahnya (dalam Soekanto, 1977). Terdapatnya macam-
macam keadaan individu dalam masyarakat yang merupakan suatu pelapisan
sosial adalah hal yang wajar dan umum serta merupakan ciri yang tetap. Alasan
terbentuknya lapisan-lapisan dalam masyarakat itu biasanya berdasarkan
tingkat kepandaian, tingkat umur (yang lebih tua/senior), sifat keaslian
keanggotaan kerabat seorang kepala masyarakat, dan kemungkinan juga harta
dalam batas-batas tertentu. Pada tiap-tiap masyarakat alasan yang dipakai untuk
menentukan lapisan-lapisan sosial itu biasanya berbeda. Hal ini juga berlaku di
Indonesia.

14
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dalam masyarakat Jawa ada 3 (tiga) golongan sebagaimana


dikemukakan oleh Karimah (1983: 55-56): 1) Bendara, merupakan bagian
masyarakat Jawa yang terdiri dari keluarga kraton dan keturunan bangsawan; 2)
Priyayi, merupakan bagian masyarakat Jawa yang terdiri dari pegawai negeri
dan kaum terpelajar; 3) Wong cilik, merupakan bagian dari masyarakat Jawa
yang terdiri atas petani-petani, tukang-tukang dan pekerja kasar lainnya.
Bendara dan priyayi termasuk pelapisan atas, sedangkan wong cilik termasuk
pelapisan bawah. Dalam golongan wong cilik sendiri masih ada pembagian lagi
secara berlapis, yaitu: 1) Wong baku, yaitu keturunan orang-orang yang
terdahulu pertamatama datang menetap di desa. Ini merupakan lapisan yang
paling atas; 2) Kuli gondok atau lindung, yaitu terdiri dari orang-orang lelaki
yang telah kawin, tetapi tidak mempunyai tempat tinggal sendiri, ia terpaksa
menetap di rumah kediaman mertuanya. Ini merupakan lapisan tengah ; 3) Joko,
sinoman atau bujangan, yaitu mereka yang belum menikah dan masih tinggal
bersama-sama dengan orangtuanya sendiri atau ngenger di rumah orang lain.
Ini merupakan lapisan terbawah. Keberadaan lapisan atau penggolongan-
penggolongan di atas menimbulkan adanya suatu hak dan kewajiban yang
berbeda dari keluarga atau anggota keluarga tiap-tiap ketiga lapisan itu.

Pandangan Hidup Masyarakat Jawa


Pandangan hidup merupakan suatu abstraksi dari pengalaman hidup;
pandangan itu dibentuk oleh suatu cara berpikir dan cara merasakan tentang
nilai-nilai, organisasi sosial, kelakuan, peristiwa-peristiwa dan segi-segi lain
daripada pengalaman; pandangan hidup adalah sebuah pengaturan mental dari
pengalaman itu dan pada gilirannya mengembangkan suatu sikap terhadap
hidup (Mulder, 1973). Dengan kata lain, pandangan hidup adalah wawasan
menyeluruh terhadap kehidupan yang terdiri dari kesatuan rangkaian nilai-nilai
luhur. Yang dimaksud nilai luhur adalah tolok ukur kebaikan yang berkenaan
dengan hal-hal yang bersifat mendasar dan abadi dalam hidup manusia.
Dipandang dari sudut sosiologi atau psikologi pandangan hidup
memiliki fungsi sebagai kerangka acuan untuk menata kehidupan diri pribadi,
menata hubungan antar manusia dengan masyarakat, dan menata hubungan

15
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

antar manusia dengan alam sekitar. Pandangan hidup ini dapat dianalisa sebagai
sebuah logika yang menghayati suatu masyarakat. Untuk mengerti bagaimana
pandangan hidup masyarakat Jawa maka sebagai titik tolak akan dikemukakan
tentang kepribadian masyarakat Jawa, dasar moral masyarakat Jawa, dan cara
berpikir masyarakat Jawa.
Kepribadian terbentuk dari pengetahuan, perasaan dan dorongan naluri
yang meliputi dorongan untuk mempertahankan hidup, dorongan seks,
dorongan untuk mencari makan, dorongan untuk bergaul dan berinteraksi
dengan semua dan sesama manusia, dorongan untuk meniru tingkah laku
sesamanya, dorongan untuk berbakti, dan dorongan akan keindahan. Semua
unsur kepribadian yang dimiliki bersama oleh suatu bagian besar dari warga
suatu masyarakat disebut dengan kepribadian dasar. Kepribadian dasar ini ada
karena semua manusia sebagai individu dalam masyarakat mengalami pengaruh
lingkungan kebudayaan yang sama selama masa tumbuhnya. Hal ini juga
berlaku bagi keberadaan kepribadian masyarakat Jawa, paling tidak ada
individu-individu dalam masyarakat Jawa yang tingkah laku dan perbuatannya
saling pengaruh mempengaruhi, sehingga ada semacam kecenderungan adanya
sikap atau pola kelakuan yang meniru. Alhasil antara kepribadian masyarakat
Jawa dengan kepribadian masyarakat lainnya ada perbedaan. Namun karena
masyarakat Jawa dengan masyarakat lain di Indonesia tetap dalam satu
keterikatan negara Indonesia, maka ada kecenderungan pengaruh-
mempengaruhi antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Secara
lebih populer, kepribadian masyarakat Jawa adalah ciri-ciri watak masyarakat
Jawa yang konsisten, yang memberikan kepada masyarakat Jawa suatu
indentitas sebagai mayarakat yang khusus. Kepribadian masyarakat Jawa
dikategorikan sebagai “kepribadian Timur” yang mementingkan kehidupan
kerohaniah. Hal ini berbeda dengan “kepribadian Barat” yang lebih
mementingkan kehidupan kejasmaniahannya.
Dasar moral masyarakat Jawa sebagaimana dikemukakan oleh Niels
Mulder (1973) terletak di dalam ketentraman dan keselarasan (rust en orde).
Dasar moral ini terletak dalam hubungan yang selaras antara orang di dalam
masyarakat mereka sendiri. Hubungan yang selaras ini akan tercapai dan

16
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

terwujud manakala masing-masing individu sebagai anggota masyarakat


menempatkan hak dan kewajibannya secara terpadu.
Selanjutnya adalah cara berpikir. Dalam mengungkpan cara berpikir
masyarakat Jawa ini berdasarkan hasil penelitian Niels Mulder yang sudah
dibukukan dengan judul Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional.
Berpikir adalah suatu perbuatan mental yang menertibkan gejala-gejala dan
pengalaman-pengalaman, supaya gejala dan pengalaman tersebut menjadi jelas,
dapat dimengerti dan diinterpretasikan. Susunan dari pandangan hidup
masyarakat Jawa merupakan suatu hasil dari cara berpikir dan cara interpretasi
tentang pengalaman sosial dan kultural; pada gilirannya pandangan hidup itu
merupakan suatu pedoman bagi pelaksanaan dan perbuatan di kemudian hari.
Dengan perkataan lain, pengalaman hidup dan pandangan hidup dihubungkan
oleh pikiran dan cara berpikir dan interpretasi itu menentukan susunan
pandangan hidup. Pandangan hidup itu menjadi logika dari pengalaman,
penafsiran dan pengharapan, menjadi logika dari proses sosial bagi mereka yang
ikut serta dalam proses itu. Cara berpikir dan pandangan hidup menentukan
persepsi sosial (Mulder, 1973).
Niels Mulder (1973) menarik kesimpulan dari cara berpikir orang Jawa
tersebut di atas, sebagai berikut:
1. Bentuk lebih penting daripada isi; bentuk menentukan isi; bentuk menguasai
kenyataan. Isi termasuk bentuk, dan keduanya tidak dapat dipisahkan; isi
adalah rumusnya; sampai Bentuk = Isinya. Bentuk yang harus diisi sudah
ada, seperti syariat agama, Pancasila, kemerdekaan, Pemilu, Repelita atau
rumus dan formula lain. Rumus-rumus tersebut sudah pasti, baik dan
sempurna. Bangsa belum sempurna, belum adil makmur dan seterusnya,
masih terbelakang; masyarakat terus menerus mencari hal ini. Akan tetapi
bentuk “ke-Ratu-Adilan” sudah ada sejak jaman dahulu kala. Sekarang
masyarakatlah yang harus mengisinya.
2. Bentuk yang sempurna sudah ada; bentuk ini harus ditaati dan diisi. Untuk
mengisi bentuk yang sempurna ini orang harus menunggu ‘waktu baik’.
Orang Jawa menyesuaikan diri dengan waktu, dengan jaman. Mereka tidak
menguasai waktu sebagai alat yang seharusnya untuk membentuk situasi

17
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang diinginkan. Masyarakat Jawa hanya menanti dan sedang menanti


kenyataan yang sempurna. Mereka selalu menunggu.
3. Berdasarkan kedua kesimpulan di atas, membawa kepada kesimpulan
ketiga, yaitu: waktu tidak memainkan peranan yang penting. Sebagai
variabel yang berdiri sendiri waktu tidak dipahami. Bentuk adalah buah
pikiran yang paling penting dan sudah meliputi waktu. Waktu dan isi tidak
didiferensiaskan dari bentuk.
Selanjutnya berdasarkan kepribadian masyarakat Jawa, dasar moral
masyarakat Jawa, cara berpikir masyarakat Jawa sebagaimana diungkapkan di
atas, berikut ini akan dikemukakan pandangan hidup masyarakat Jawa.
Sebagaimana diungkapkan oleh Niels Mulder (1973), bahwa pandangan hidup
masyarakat Jawa (orang Jawa) diungkapkan sebagaimana yang tercermin dalam
praktek dan keyakinan agama, yaitu “Javanisme”. Javanisme adalah pandangan
hidup orang Jawa dan juga agamanya, yang menekankan ketentraman batin,
keselarasan dan keseimbangan, sikap narima terhadap segala peristiwa yang
terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di
bawah semesta alam.
Pandangan hidup orang Jawa ini mengajarkan agar masyarakat Jawa
menempatkan adanya hubungan yang selaras antara individu dengan dirinya
sendiri, individu dengan individu lainnya, antara individu dengan alam semesta
dan antara individu dengan Tuhannya. Adanya keselarasan tersebut masyarakat
Jawa diharapkan dapat menjalankan hidupnya dengan benar. Agar perwujudan
keselarasan dapat terjamin maka masing-masing individu harus menerapkan
kaidah-kaidah moral yang menekankan pada sikap “narima, sabar, waspada-
eling (mawas diri), andap asor (rendah hati) dan prasaja (sahaja)”; Hal-hal
itulah yang mengatur dorongan-dorongan dan emosi-emosi pribadi. Sedangkan
yang berhubungan untuk mengatur keselarasan kehidupan dalam masyarakat di
dunia ini sudah dipetakan dan tertulis dalam bermacam-macam peraturan,
seperti: kaidah-kaidah etiket Jawa (tata krama) yang mengatur kelakuan antar-
manusia, kaidah-kaidah adat yang mengatur keselarasan dalam masyarakat,
peraturan beribadat yang mengatur hubungan formal dengan Tuhan. Dalam

18
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

etika kesehariannya, masyarakat Jawa sangat mengedepankan norma


kesopanan, kesantunan dan kesederhanaan.
Niels Mulder lebih lanjut mengatakan, bahwa kebatinan seringkali
dianggap sebagai inti-pati Javanisme; gaya hidup orangorang Jawa ialah
kebatinan: gaya hidup manusia yang memupuk “batinnya”. Kebatinan sebagai
pernyataan pandangan hidup orang Jawa; kebatinan sebagai gaya atau sikap
hidup orang-orang Jawa merupakan salah satu perceminan atau pernyataan
pandangan hidup. Dalam hal ini berbeda dengan S. de Jong. Menurut S. de Jong
(1976), bahwa sikap hidup itu tidak identik dengan pandangan hidup. Orang-
orang yang mempunyai pandangan hidup yang berbeda terhadap masalah
Tuhan, dunia dan manusia, kemungkinan dalam praktek kehidupannya dapat
memperlihatkan sikap hidup yang sama. Hal ini terlihat pada masyarakat Jawa,
yang masing-masing individu memiliki pandangan hidup yang berbeda-beda,
tetapi secara keseluruhan memiliki sikap hidup yang hampir sama dalam
masalah mistik dan kebatinan.
Pada penelitian ini khususnya, penduduk Jawa-Muslim diidentifikasi
sebagai penduduk yang berasal dari Pulau Jawa dan beragama Muslim.
Masyarakat di sekitar Dusun Wanasari, seperti di Banjar Lumintang dan Banjar
Wangaya terbiasa melabeli penduduk Muslim yang tinggal di dusun Wanasari
sebagai “orang Jawa”. Penelitian ini akan memakai istilah Jawa-Muslim sebagai
penduduk yang tinggal di Dusun Wanasari yang notabene merupakan keturunan
Jawa dan beragama Islam.

Kebudayaan Jawa
Kebudayaan Jawa merupakan hasil pemikiran orang Jawa yang
dituangkan menjadi tradisi yang terus dipertahankan hingga saat ini.
Kebudayaan Jawa secara garis besar terbagi menjadi tiga kebudayaan yang
meliputi kebudayaan Jawa Tengah, kebudayaan D.I. Yogyakarta, dan
kebudayaan Jawa Timur. Kebudayaan Jawa tersebut mencakup berbagai hal,
seperti rumah adat, seni tradisi, lagu-lagu Jawa, alat musik tradisional, dan
sebagainya. Kebudayaan Jawa telah terkenal hingga mancanegara. Bahkan di

19
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

beberapa ne/gara, seperti Australia, Belanda, dan Amerika, kebudayaan Jawa


seperti gamelan sangat terkenal, bahkan menjadi salah satu mata pelajaran/mata
kuliah di beberapa sekolah dan universitas.
Kebudayaan menurut Kuntowijoyo (2003) berasal dari kata Buddayah
yang berarti budi atau akal, sehingga kebudayaan adalah hasil akal dan
pemikiran yang berpijak pada daya budi yang bersifat cipta, rasa dan karsa.
Orang Jawa terkenal dengan kearifan lokal yang sampai saat ini masih berusaha
untuk dilestarikan.
Salah satu budaya yang dilestarikan oleh keluarga Jawa adalah
menjalankan empat keutamaan tata krama keluarga Jawa yaitu ( 1) Bersikap
sesuai dengan derajat masing-masing pihak dan saling menghormati kedudukan
masing-masing, (2) Menyatakan sesuatu secara tidak langsung melalui
“sanepo” atau kiasan, (3) Bersikap menghormati hal-hal yang bersifat pribadi
seakan-akan tidak tahu masalah pribadi orang lain, (4) Menghindari ucapan atau
sikap yang menunjukkan ketidakmampuan mengontrol diri dengan sikap kasar
atau melawan secara langsung (Rachim & Nashori, 2007).

Nilai Filosofi dalam Kebudayaan Jawa


Kebudayaan Jawa tersebut begitu tersohor tidak hanya karena keunikan
dan keindahannya, tetapi juga karena mengandung nilai-nilai dan filosofi hidup
di dalamnya. Kebudayaan Jawa tersebut tercermin dari pemikiran orang Jawa
yang sistematis. Dalam menjalani kehidupannya, orang-orang Jawa selalu
menerapkan filosofi budi luhur, budi pekerti, dan etika sebagai tiga hal yang
saling terkait. Budi luhur, dalam kebudayaan Jawa merupakan ajaran yang
terkandung dalam budaya kejawen. Budi luhur merupakan ideologi kejawen
yang tertuang sebagai falsafah hidup orang Jawa dalam berperilaku. Dalam
kehidupan keseharian, budi luhur terwujud dalam budi pekerti. Budi pekerti
merupakan etos kehidupan yang membentuk etika dalam kehidupan. Etika
merupakan suatu perwujudan yang menunjukkan perilaku seseorang, apakah
memiliki budi luhur ataukah tidak. Budi luhur, budi pekerti, dan etika
merupakan tiga hal yang saling terkait. Ketiganya terkandung dalam
kebudayaan orang Jawa yang diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Budi

20
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

luhur merupakan pedoman tertinggi agar orang Jawa senantiasa berperilaku arif
dalam kehidupannya.

2.2.2 Identitas Budaya Bali


Masyarakat Bali
Masyarakat Bali merupakan masyarakat mayoritas yang tinggal di pulau
Bali, yang menggunakan bahasa Bali dan mengikuti adat istiadat serta
kebudayaan Bali. Asal usul masyarakat Bali terbagi dalam tiga periode atau
gelombang migrasi, gelombang pertama terjadi sebagai akibat dari persebaran
penduduk yang terjadi selama zaman prasejarah, gelombang kedua terjadi
selama masa perkembangan agama Hindu di Nusantara, dan gelombang yang
ketiga berasal dari pulau Jawa ketika kerajaan Majapahit runtuh pada abad ke-
15.
Masyarakat Bali memiliki cita-cita toleransi dalam berinteraksi dengan
budaya (culture) dan masyarakat (structure) lain. Mereka menganggap cita-cita
toleransi merupakan bagian dari sejarah Bali yang melekat kuat hingga
sekarang. Cita-cita toleransi menjadi faktor utama dari tidak pernah terjadinya
konflik antarbudaya dan antarmasyarakat di zaman kerajaan. Cita-cita toleransi
telah membuat masyarakat yang berbeda budaya, suku, dan bangsa bisa hidup
berdampingan dan saling menghargai (Wijaya, 2004).
Sebagian besar masyarakat Bali beragama Hindu, kurang lebih 90%
sedangkan sisanya beragama Islam, Kristen, Katolik dan Budha. Orang Bali
juga banyak yang tinggal diluar pulau Bali misalnya di Nusa Tenggara Barat,
Sulawesi Tengah, Lampung dan daerah penempatan transmigrasi asal Bali
lainnya. Walaupun suku Bali tinggal diluar pulau Bali namun tetap melestarikan
adat istiadat dan kebudayaannya. Dalam pelestariannya, kebudayaan Bali dapat
berbaur dengan budaya lokal dimana suku Bali tinggal sehingga menghasilkan
suatu kebudayaan baru.

Tri Hita Karana


Menurut kodratnya manusia adalah makluk sosial atau makluk
bermasyarakat, selain itu juga diberikan yang berupa akal dan pikiran untuk

21
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

berkembang dan dapat dikembangkan. Dalam hubungannya dengan manusia


sebagai makluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya.
Dorongan masyarakat yang telah dibina sejak lahir akan selalu menampakan
dirinya dalam berbagai bentuk, karena itu dengan sendirinya manusia akan
selalu bermasyarakat dalam kehidupannya.
Masyarakat adat Bali sebagai masyarakat sosial, dalam peradabannya
juga memiliki konsep norma yang mengatur kehidupannya dalam peradaban
sejak jaman dikenalnya kebudayaan yang terkenal dengan konsep kosmologi
Tri Hita Karana dan merupakan falsafah hidup yang bertahan hingga kini
walaupun berada dalam konsep-konsep perubahan sosial yang selalu
berdinamika sebagai salah satu ciri atau karakter peradaban.
Pada dasarnya hakikat ajaran tri hita karana menurut I Ketut Wiana
(2004) menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini.
Ketiga hubungan itu meliputi hubungan dengan sesama manusia, hubungan
dengan alam sekeliling, dan hubungan dengan ke Tuhanan yang saling terkait
satu sama lain. Setiap hubungan memiliki pedoman hidup menghargai sesama
aspek sekelilingnya. Prinsip pelaksanaannya harus seimbang, selaras antara satu
dan lainnya. Apabila keseimbangan tercapai, manusia akan hidup dengan
mengekang dari pada segala tindakan berekses buruk. Hidupnya akan seimbang,
tenteram, dan damai. Hubungan antara manusia dengan alam lingkungan perlu
terjalin secara harmonis, bilamana keharmonisan tersebut di rusak oleh tangan-
tangan jahil, bukan mustahil alam akan murka dan memusuhinya.
Dalam mengimplementasikan konsep Tri Hita Karana yang dimaksud,
sangat ditekankan bahwa ketiga unsurnya harus diaplikasikan secara utuh dan
terpadu. Unsur parahyangan, pawongan, dan palemahan tidak ada yang
menduduki porsi yang istimewa. Dia senantiasa seimbang dalam pemikiran,
seimbang dalam ucapan dan seimbang pula dalam segala tindakan. Sebagai
konsep keharmonisan Hindu, Tri Hita Karana telah memberikan apresiasi yang
luar biasa dari berbagai masyarakat dunia. Konsep dasar Tri Hita Karana
tersebut dan bila dikaji dari konsep dasar dialektika hukum alam sebagaimana
tergambarkan diatas maka konsep berupa:

22
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

1. Parhyangan. Hubungan harmonis antara manusia dengan Ida Sang


Hyang Widi Wasa / Brahman sang pencipta / Tuhan Yang Maha Esa.
Sebagai Umat beragama atas dasar konsep theology yang diyakininya
khususnya Umat Hindu yang pertama harus dilakukan adalah bagaimana
berusaha untuk berhubungan dengan Sang Pencipta melalui kerja keras
sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
2. Pawongan. Hubungan harmonis antara sesama umat manusia. Dalam hal
ini ditekankan agar sesama umat beragama untuk selalu mengadakan
komunikasi dan hubungan yang harmonis melalui kegiatan Sima Krama
Dharma Santhi / silahturahmi. Dan kegiatan ini dipandang penting dan
strategis mengingat bahwa umat manusia selalu hidup berdampingan dan
tidak bisa hidup sendirian. Oleh karena itu tali persahabatan dan
persaudaraan harus tetap terjalin dengan baik.
3. Palemahan. Hubungan harmonis antara umat manusia dengan alam
lingkungannya. Ajaran ini menekankan kepada umat manusia untuk tetap
menjaga kelestarian lingkungan alam sekitar, sehingga terwujud
keharmonisan alam dan tetap terjaganya keseimbangan ekosistem.
Hukum Alam adalah hukum yang berlaku universal dan abadi yang
sebagaimana disampaikan oleh Friedmann (1990) sejarah tentang hukum alam
merupakan sejarah umat manusia dalam usahanya untuk menemukan apa yang
dinamakan keadilan yang mutlak (Absolute Justice). Hukum alam sebagai
substansi berisikan norma-norma yang diciptakan dari asasasas yang mutlak
yang lazim dikenal sebagai peraturan hak-hak asasi manusia. Membudayakan
Tri Hita Karana akan dapat memupus pandangan yang mendorong
konsumerisme, pertikaian dan gejolak. Konsep Tri Hita Karana, oleh
masyarakat adat Bali dirumuskan dan dilmplementasikan dalam bentuk konsep.

Menyama Braya
Menyama Braya adalah konsep ideal hidup bermasyarakat di Bali
sebagai filosofi dari karma marga yang bersumber dari sistem nilai budaya dan
adat istiadat masyarakat Bali untuk dapat hidup rukun. Menyama braya disini
juga memiliki makna plural, yakni menghargai perbedaan dan menempatkan

23
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

orang lain sebagai keluarga. Kearifan lokal inilah yang membawa nama
masyarakat Bali sebagai masyarakat yang ramah di mata dunia. Masyarakat Bali
dalam menghayati budaya menyama braya mengibaratkan bahwa kehidupan
sosial yang plural dalam relasinya itu ibarat sebuah pohon. Akar pohon
diibaratkan sebagai Tat Twam Asi (Aku adalah kamu: manusia pada hakikatnya
adalah satu), batangnya adalah fasudewam khutumbhakam (kita semua adalah
keluarga), menyama braya adalah cabangnya, sedangkan daun, bunga, dan buah
adalah kerukunan. Sebagai manusia pada hakikatnya kita tergantung pada
segala aspek kehidupan, baik hubungan kita dengan Tuhan, dengan sesama
manusia, serta hubungan dengan makhluk hidup lainnya.
Keharmonisan relasi sosial yang terjalin di Dusun Wanasari dan
sekitarnya, sejauh ini dikatakan masih sangat kondusif. Hal itu dapat
diasumsikan sebagai wujud konkrit dari implementasi praktek hidup menyama
braya. Selain itu, karena masih tingginya kesadaran moral antar individu untuk
berinteraksi secara bermartabat melalui ruang-ruang dialog antar-tokoh agama,
dan ketatnya penerapan nilai-nilai kearifan lokal, yakni menyama braya, (Perda
No.4 Prop. Bali, 2019). Nilai-nilai yang terkandung dalam prinsip hidup
menyama braya ini, telah menjadi modal sosial masyarakat Bali turun-temurun
yang tetap terpelihara dengan baik hingga saat ini. Prinsip hidup menyama
braya merupakan konsep “kesemestaan”, yang dipahami secara sadar
bagaimana seseorang memandang orang lain sebagai saudaranya sendiri dan
bukan lagi sebagai orang lain (the others).
Fakta itu dapat dilihat dari cara bagaimana masyarakat Bali yang
beragama Hindu menyebut mereka yang beragama Islam sebagai “Nyama
Selam” atau saudara yang beragama Islam; demikian juga kepada yang
beragama Kristen sebagai “Nyama Kristen” atau saudara yang beragama
Kristen. Memaknai modal sosial yang tumbuh dan berkembang inilah yang
kemudian dianggap sebagai bentuk interaksi kehidupan antar-individu yang
cukup kuat bagi masyarakat setempat.
Budaya menyama braya sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat
Bali sejak jaman dulu. Penerapan budaya ini tidak hanya terbatas pada sesama
umat Hindu saja tetapi juga berlaku untuk semua umat non-Hindu. Budaya

24
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

menyama braya dalam masyarakat Bali tidak pernah lekang dimakan waktu dan
tidak pernah usang dimakan zaman.

Ngayah
Secara etimologis, istilah ngayah diadopsi dari konteks kultural dan
politik zaman feodal (kerajaan) di Bali, dan berasal dari kata ayah, ayahan,
pengayah, atau ngayahang. Istilah tersebut juga berarti keterkaitan antara ayah
dengan anak, atau sesuatu yang mewaris secara turun-temurun. Dalam konteks
sosial masyarakat Bali, ngayah adalah kewajiban sosial dari penerapan Karma
Marga yang dilakukan secara gotong-royong, dan dengan hati yang tulus ikhlas
baik di banjar maupun di tempat suci. Secara eksplisit, kata ngayah bisa
diterjemahkan sebagai “melakukan pekerjaan tanpa mendapatkan upah”.
Terdapat tiga bentuk ngayah, antara lain; kewajiban berupa dedikasi dan
loyalitas terhadap raja-raja (pada masa lalu) (pengayah puri) karena dahulu
tanah atau lahan diberikan oleh raja-raja, kewajiban yang berkaitan dengan
kegiatan sosial-kultural banjar adat (pengayah banjar), serta kewajiban religius-
teritorial terkait Pura Kahyangan (pengayah pura) (Input Bali, 2015).
Pada keseharian masyarakat Bali yang telah terintegrasi dalam
kehidupan modern, ngayah pada suatu waktu menjadi terhambat oleh rutinitas
mereka, atau bisa juga dikatakan: rutinitas keseharian mereka “terganggu” oleh
ngayah. Hal ini biasanya terkait waktu kerja dalam kehidupan modern yang
telah terjadwalkan sedemikian rupa. Terlebih, bagi mereka yang merantau dari
pedesaan ke kota-kota Bali, dan jarak tempuh ke kampung halamannya terbilang
jauh. Bagi para perantau ini, kewajiban ngayah tentu menjadi problem
tersendiri.
Ngayah sebagai kewajiban sosial adalah suatu aktivitas yang tak terukur.
Nilai, norma, dan budaya sosial menubuh bersama ngayah, hal ini sekaligus
menunjukkan bagaimana individu yang melakukan ngayah (pengayah)
sebetulnya juga sedang mentransformasikan aktivitas fisik-materialnya pada
nilai, norma, dan budaya yang bersifat imaterial. Dalam aktivitas fisik-material
tersebut terdapat kehadiran (existence), gestur, interaksi, tatapan mata, ekspresi,
serta laku fisik yang dilokuskan pada suatu obyek ngayah. Namun, aktivitas

25
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

fisik-material ini pun sesungguhnya turut dijiwai perihal imaterial, yakni nilai,
norma, dan budaya yang telah menubuh. Dengan demikian, uang yang tak
memiliki kehadiran individu, gestur, ekspresi, serta laku aktivitas ngayah tidak
dapat ditukarkan dengan aktivitas ngayah.

Banjar
Sebagai satu kesatuan hukum yang berhak mengadakan pemerintahan
sendiri, desa di Bali memiliki keunikan tersendiri. Ini bisa dilihat dari terjadinya
dualisme desa di Bali. namun tetap bisa berjalan beriringan_ desa pakraman dan
desa dinas. Secara sederhana Desa Pakraman sebagaimana diatur dalam
Peraturan daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 dapat dipahami bahwa
Desa Pakraman berfungsi sebagai benteng pemertahanan dan pengembangan
adat dan agama (Atmadja, 2010), sedangkan Desa Dinas jika mengacu pada UU
no 5 tahun 1979 adalah wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang
mempunyai organisasi pemerintahan terendah dibawah camat yang berhak
mengatur rumahtangganya sendiri (Wisadirana, 2004). Tidak jauh berbeda
dengan hasil penelitian Carol A. Waren (1990) yang memberikan definisi lebih
sederhana bahwa Desa Pakraman dan desa dinas adalah lembaga
kemasyarakatan yang memilikinya fungsinya masing-masing dengan
pendekatan sosial antropologis (Parimarta, 2004).
Secara organisatoris dibawah sistem pemerintahan desa baik desa dinas
maupun desa Pakraman/desa adat di Bali terdapat satu unit sosial lebih kecil
yang biasa kita kenal dengan dengan sebutan Banjar. Sesuai dengan fungsinya
Banjarpun terbagi menjadi dua yaitu banjar dinas dan banjar pakraman/banjar
adat. Banjar dinas merupakan perpanjangtangan pemerintah pada tingkat
terendah untuk urusan administari mulai dari membuat KTP, KK dan
sejenisnya. Banjar dinas dipimpin oleh seorang kelian dinas yang mempunyai
tugas sebagai pelaksana kegiatan bidang pemerintahan, ketentraman dan
ketertiban, bidang pembangunan dan bidang kemasyarakatan sebagaimana
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005.
Secara struktural banjar dinas berada dibawah desa dinas Sedangkan
banjar pakraman atau Banjar adat dipimpin oleh kelian banjar adat yang

26
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mengurusi kegiatan sosial kemasyarakatan, agama terutama segala sesuatu yang


berkaitan dengan urusan adat berikut pemertahanannya. Kelian adat biasanya
berstatus ngayah (tanpa gaji bulanan namun mendapatkan reward secara adat
berupa pembebasan dari segala bentuk iuran adat). Seorang kelian adat dibantu
oleh beberapa ‘prajuru’ banjar diantaranya; Petajuh (wakil), Petengen
(Bendahara), Penyarikan (sekretaris), Kelian Sekaha (ketua kelompok tarian,
gamelan, dan sebagainya) dan Kesinoman (menyampaikan pesan ke anggota
yang dalam basa Bali juga disebut “juru arah”). Hal inilah yang membedakan
banjar atau dusun di Bali dengan dusun di daerah lain. Banjar di Bali memiliki
tugas yang lebih komprehensif dengan melingkupi tugas adat dan serentetan
kegiatan pemertahanan adat lainnya dengan demikian peran krama banjar amat
penting.
Banjar sebagai sebuah organisasi sosial memiliki beberapa kelengkapan
diantaranya adalah Balebanjar. Balebanjar adalah sebuah balai pertemuan
tempat biasa dilaksanakannya kegiatan-kegiatan banjar mulai dari kegiatan
keagamaan, adat, pendidikan, kesehatan, sosialisasi, hingga hajatan politik,
Balebanjar juga merupakan pusat hiburan karena berbagai pentas kesenian
berlangsung disana. Dibalebanjarlah biasanya krama banjar bercengkrama lepas
tentang segala isu-isu terkini. Senada dengan itu Gerzt menjelaskan bahwa
banjar adalah sebuah tempat dimana politisi lokal menjalankan perannya (Gerzt,
2000). Sebuah ruang publik tempat dimana krama banjar dapat
mengembangkan wacana publik dan beraktivitas secara individu maupun
kelompok sebagaimana definisi ruang publik paling sederhana. Di Indonesia
sendiri konsep ruang publik baru populer pasca pemerintahan Soeharto
(Hardiman, 2010: 2, Habermas, 1991)).

Kebudayaan Bali: Ekspresi Interaksi Manusia Bali dengan Lingkungan


Kebudayaan Bali sesungguhnya merupakan ekspresi dari hubungan
interaksi orang Bali dengan lingkungannya. Dalam kosmologi orang Bali,
lingkungan dibedakan atas dua macam, yakni lingkungan sekala (nyata) dan
lingkungan niskala (tidak nyata). Lingkungan sekala meliputi lingkungan sosial
(masyarakat) dan lingkungan fisik (alam sekitarnya). Sedangkan lingkungan

27
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

niskala merupakan lingkungan spiritual yang dihuni oleh kekuatan-kekuatan


supernatural atau adikodrati yang diyakini dapat menimbulkan pengaruh positif
maupun negatif terhadap kehidupan manusia. Ekspresi dari interaksi antara
orang Bali dengan lingkungan spiritual (niskala) melahirkan sistem religi lokal
atau “agama Bali” yang di dalamnya mencakup emosi atau sentimen
keagamaan, konsepsi tentang kekuatan-kekuatan dan mahluk-mahluk gaib,
upacara ritual keagamaan, fasilitas keagamaan, kelompok atau komunitas
keagamaan. Dalam perkembangan selanjutnya keberadaan religi lokal tersebut
bercampur dengan unsur-unsur agama Hindu yang disebabkan oleh adanya
proses perjumpaan kebudayaan pada masa lampau.
Ekspresi dari interaksi antara orang Bali dengan lingkungan sosial antara
lain melahirkan Basa Bali (Bahasa Bali), norma-norma, peraturan-peraturan,
hukum (sima, dresta, awig-awig), pranata-pranata sosial seperti pranata
kekerabatan (nyama, braya, dadia, soroh), dan pranata kemasyarakatan (sekeha,
banjar, desa, gumi) dan sebagainya. Ekspresi dari interaksi orang Bali dengan
lingkungan fisik antara lain melahirkan sistem pengetahuan tentang alam
(seperti penanggalan sasih, pawukon, pramatamangsa), sistem subak, dan lain
sebagainya. Di samping itu, orang Bali juga mengenal berbagai jenis peralatan
dan teknologi yang digunakannya untuk beradaptasi dengan lingkungan fisik
(Pujaastawa, 2001).
Pada hakikatnya kebudayaan Bali tergolong tipe kebudayaan ekspresif
yang mengedepankan nilai religius (agama Hindu) dan juga estetika (seni)
sebagai nilai dominan, sehingga unsur-unsur religi dan seni menjadi begitu
menonjol dan selalu hadir menyertai unsur- unsur lainnya. Hal tersebut
menimbulkan kesan bahwa hampir tidak ada gejala atau peristiwa yang secara
totalitas betul-betul bersifat profan atau sekuler, melainkan selalu mengandung
nuansa-nuansa religius dan seni. Kentalnya nuansa religius dalam kebudayaan
orang Bali tidak terlepas dari adanya konsepsi tentang lingkungan sekala dan
niskala. Setiap gejala atau peristiwa yang bersifat kasat mata di samping
memiliki aspek sekala juga diyakini memiliki aspek niskala. Sehubungan
dengan itu berbagai persoalan hidup tidak saja diselesaikan atau diatasi dengan
cara-cara sekala, tetapi juga niskala.

28
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sebagai contoh, dalam hal mengatasi berbagai persoalan penyakit, di


samping dilakukan dengan menjalani sistem pengoibatan biomedis (sekala),
juga dilakukan dengan cara-cara niskala, yakni dengan nunasica, mapinunas,
maluasang, malukat, dan lain sebagainya. Dalam hal mengatasi masalah-
masalah dalam bidang pertanian misalnya, di samping dilakukan dengan cara-
cara teknis yang bersifat rasional (sekala), juga dibarengi dengan ritual yang
bersifat religius magis (niskala), seperti ngendag, magpag toya, nangluk
merana, mabiyukukung, mantenin, dan lain sebagainya. Dalam kaitannya
dengan perkebunan dikenal adanya ritual tumpek bubuh atau tumpek uduh;
dalam kaitannya dengan bidang peternakan dikenal adanya ritual tumpek
kandang; dalam kaitannya dengan sistem peralatan dan teknologi dikenal
adanya tumpek landep, dan lain sebagainya. Semua hal tersebut dimaksudkan
agar kehidupan manusia dan mahluk-mahluk lainnya memperoleh
kesejahteraan sekala dan niskala (lahir batin).
Sedangkan keberadaan aspek kesenian terkait erat dengan sistem religi
orang Bali. Seni arsitektur, seni ukir, seni tari, seni tabuh, seni suara, dan lainnya
adalah persembahan mulia terhadap Sang Pencipta. Kedua unsur tersebut (religi
dan kesenian) saling terkait dan saling melengkapi satu dengan lainnya. Unsur
kesenian memancarkan nuansa estetika atau keindahan bagi sistem religi,
sebaliknya unsur religi memberikan nuansa religius bagi kesenian (Pujaastawa,
2002).

2.3 Identitas Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya


Mary Jane Collier (1994) menawarkan sebuah perspektif alternatif yang dapat
meraih dua tujuan sekaligus. Tujuan pertama: memahami mengapa kita dan orang lain
berperilaku dengan cara tertentu. Tujuan kedua: mempelajari apa yang bisa kita
lakukan untuk meningkatkan kelayakan dan efektivitas komunikasi kita. Kedua
tujuan ini bisa diraih dengan memandang komunikasi dari perspektif penentuan peran
(enactment) identitas budaya. Collier mulai pembahasan dari konsep budaya sebagai
suatu sistem simbol-simbol, makna-makna dan norma-norma yang ditransmisikan
secara historis. Jadi, budaya sebagai sistem memiliki tiga komponen utama, yang
saling tergantung, yaitu: (a) simbol-simbol dan makna-makna; (b) norma-norma; dan

29
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(c) sejarah. Menurutnya, banyak kelompok yang membentuk sistem-sistem


budayanya sendiri. Biasanya, sejarah dan geografi yang sama menyediakan kesamaan
pandangan atau gaya hidup yang membantu mencipta dan meneguhkan suatu sistem
komunikasi budaya. Untuk itu, yang pertama-tama adalah menentukan diri
mereka/kita sendiri sebagai sebuah kelompok. Dasarnya bisa kebangsaan, suku-
bangsa, gender, profesi, geografi, organisasi, dan kemampuan/ketidak-mampuan
fisik.
Hal yang terjadi kemudian adalah bahwa tiap individu secara kongruen atau
simultan ikut serta dalam sistem budaya yang berbeda tiap hari, minggu, bahkan
tahun. Ini artinya, identifikasi budaya merupakan sebuah proses, sebuah dinamika.
Tiap budaya yang dicipta dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, psikologis,
lingkungan, situasi dan konteks. Budaya juga tidak hanya dipengaruhi oleh perubahan
sosioekonomi dan kondisi lingkungan tapi juga oleh budaya lain. Identitas budaya
terjadi ketika sebuah kelompok (a) mencipta sistem simbol budaya yang digunakan,
makna yang diberikan pada simbol dan gagasan tentang apa yang dipandang layak
dan tidak layak; dan juga (b) memiliki sejarah dan mulai menurunkan simbolsimbol
dan norma-norma kepada anggota barunya. Identitas budaya nerupakan karakter khas
dari sistem komunikasi kelompok yang muncul dari situasi tertentu.
Dari perspektif komunikasi, identitas budaya dinegosiasikan, dicipta bersama,
diperteguh dan ditantang melalui komunikasi. Berbeda dengan perspektif psikologi
sosial yang memandang identitas sebagai karakteristik dan kepribadian seseorang,
serta diri sebagai pusat peran dan praktek sosial; perspektif komunikasi memandang
identitas sebagai sesuatu yang muncul ketika pesan dipertukarkan di antara orang-
orang. Jadi identitas ditentukan sebagai penentuan peran komunikasi antar budaya
(KAB). Identitas muncul dan datang dalam konteks komunikasi.
Selain Collier, Ting-Toomey juga membahas mengenai identitas budaya yang
mempengaruhi komunikasi di masyarakat. Ting-Toomey (1999) membedakan dua
kelompok identitas: identitas primer dan situasional. Identitas primer meliputi
identitas budaya, identitas etnis, identitas gender dan identitas pribadi. Identitas
situasional meliputi identitas peran, identitas relasional, identitas kerja dan identitas
interaksi simbolik. Keempat identitas situasional berubah dari situasi ke situasi. Ting-
Toomey berpendapat bahwa kedua kelompok identitas ini memiliki hubungan

30
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

interaktif, dan mereka memainkan peran penting dalam proses komunikasi antar
budaya yang aktual. Terdapat pengaruh timbal balik antara kedua kelompok, serta
hubungan yang interaktif dan relevan antara delapan identitas ini. Misalnya, ancaman
terhadap identitas budaya seseorang dapat dianggap sebagai ancaman terhadap
tingkat harga diri pribadi. Melalui kemampuan komunikasi yang kompeten atau tidak
kompeten, identitas situasional dapat memengaruhi cara orang memandang diri
mereka sendiri, baik secara negatif maupun positif. Individu memiliki identitas ini
baik secara sadar atau tidak sadar. Identitas apa yang mereka bangun tergantung pada
situasi khusus mereka. Ketika seseorang berada dalam budayanya sendiri, biasanya
identitas budayanya tidak sepenting ketika ia berinteraksi dengan orang luar
kelompok budayanya (Gudykunst, 1994).
Konsep "(budaya) identitas" telah mendapat perhatian berkelanjutan peneliti
komunikasi dan budaya selama beberapa dekade terakhir. Bahkan, beberapa ulasan
baru-baru ini membuktikan sentralitas identitas (budaya) yang ada sebagai konstruk
dalam studi komunikasi antar/budaya (Bardhan & Orbe, 2012; Croucher, Sommier,
& Rahmani, 2015). Studi tentang identitas budaya telah didekati dari beragam
perspektif berdasarkan pada orientasi ilmiah peneliti dan asumsi mendasar tentang
sifat identitas budaya. Peneliti komunikasi antar budaya berpendapat bahwa istilah
identitas budaya telah digunakan sebagai payung untuk mencakup, atau
menggolongkan, identitas kelompok terkait seperti kebangsaan, ras, suku, usia, jenis
kelamin dan jenis kelamin, seksualitas, sosial ekonomi status, identitas regional,
identitas etnolinguistik, afiliasi politik, dan kemampuan (dis). Secara inheren
relasional, identitas budaya juga dibentuk oleh pilihan komunikasi, perilaku, dan
negosiasi, khususnya dalam interaksi antar budaya.
Di sini istilah identitas budaya didefinisikan sebagai status, pengalaman,
penciptaan, (kembali) negosiasi, dan/atau persaingan keanggotaan kelompok dan
identifikasi sosial (sering melalui komunikasi) dalam konteks tertentu. Diskusi khusus
akan diberikan kepada bagaimana identitas budaya dikonseptualisasikan secara
berbeda dari berbagai pendekatan (mis. pendekatan psikologis sosial, pendekatan
budaya interpretatif, pendekatan kritis/interpretatif, dan pendekatan kritis). Berbagai
pendekatan yang berbeda sering membuat asumsi yang tidak sepadan tentang sifat
identitas budaya, dan berbeda secara mendasar pada pertanyaan seputar agensi,

31
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pilihan, dan hubungan antara identitas budaya dan struktur sosial. Pendekatan budaya
dipilih peneliti untuk melihat apa saja unsur-unsur identitas budaya yang terlibat
dalam terciptanya komunikasi yang harmoni antara penduduk pendatang (Jawa-
Muslim) dengan penduduk asli (Bali-Hindu) di Dusun Wanasari, Denpasar Utara.
Identitas budaya adalah identifikasi diri, rasa memiliki terhadap suatu
kelompok yang menegaskan kembali dirinya sendiri. Seseorang dinilai sebagai
perwakilan dari budaya tertentu secara perilaku, komunikatif, psikologis dan
sosiologis. Ini terdiri dari nilai-nilai, makna, adat istiadat dan kepercayaan yang
digunakan untuk berhubungan dengan dunia. Hal ini mencerminkan pengalaman
sejarah umum dan berbagi kode-kode budaya yang memberi kita sebagai satu
kesatuan yang stabil, tidak berubah, bingkai terus acuan dan makna. Penilaian orang
tentang apakah mereka atau orang lain termasuk dalam kelompok budaya dapat
dipengaruhi oleh penampilan fisik, asal leluhur atau perilaku pribadi (berpakaian,
berbicara, liburan, dan perayaan). Peristiwa historis, kondisi politik, siapa yang hadir,
situasi/tempat interaksi dan wacana publik, juga memengaruhi identitas budaya.
Identitas budaya memiliki beberapa indikator, yaitu: (1) Pernyataan dan
anggapan. Bagaimana seseorang memandang dirinya disebut pengakuan. Artinya
dengan cara apa seseorang menunjukkan kepada orang lain "siapa saya". Anggapan
adalah bagaimana orang lain memandang dan mengkomunikasikan identitas
seseorang; (2) Mode ekspresi. Properti kedua dari identitas budaya adalah mode
ekspresi, yang meliputi simbol inti, nama, label, dan norma. Simbol inti adalah
kepercayaan dan interpretasi budaya orang, dunia dan fungsi masyarakat. Penggunaan
simbol dan ide secara bersama memberikan seseorang keanggotaan grup. Nama dan
label adalah kategori simbol inti. Norma mempengaruhi identitas budaya kita.
Kelompok budaya menciptakan norma untuk perilaku yang sesuai dan perilaku yang
dapat diterima. Menentukan siapa kita termasuk apa dan bagaimana kita harus
berperilaku dalam situasi tertentu; (3) Identitas individu, relasional dan komunal.
Identitas individu mengacu pada interpretasi individu terhadap identitas budayanya,
yang didasarkan pada pengalamannya sendiri. Ini termasuk memahami berbagai
tingkat perbedaan dan persamaan di antara anggota kelompok. Identitas relasional
mengacu pada hubungan antar orang. Ada norma-norma untuk perilaku yang sesuai
dalam kontak relasional, yang terjadi misalnya antara teman, kolega, rekan kerja atau

32
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tetangga. Harapan untuk perilaku berbeda-beda sesuai dengan jenis interaksi, situasi
dan topik. Identitas komunal diidentifikasi dengan mengamati kegiatan kelompok,
ritual, ritus, dan perayaan liburan kelompok. Anggota kelompok menggunakan
keanggotaan budaya untuk menjaga komunitas satu sama lain. Contoh upacara adalah
pembaptisan, wisuda dan pernikahan. Kebaktian informal termasuk seperti salam,
cuti, pujian, dan pertukaran hadiah; (4) Aspek identitas yang abadi dan berubah.
Identitas budaya dapat berubah karena beberapa jenis faktor yang memengaruhi
sekelompok orang. Faktor-faktor ini dapat bersifat sosial, politik, ekonomi atau
kontekstual (Irmeli Luoma, 2005).
Pada penelitian ini, hubungan interaktif yang disoroti adalah pengaruh timbal
balik antara penduduk pendatang (Jawa-Muslim) dengan penduduk asli (Bali-Hindu).
Hubungan interaktif ini erat kaitannya dengan relevansi keterlibatan identitas
budaya/etnis dengan identitas situasional yang mempengaruhi cara masing-masing
individu memandang diri mereka sendiri. Penelitian ini melihat indikator identitas
budaya apa saja yang terlihat, serta faktor-faktor apa yang memberikan dampak pada
komunikasi harmoni antara penduduk pendatang (Jawa-Muslim) dengan penduduk
asli (Bali-Hindu). Indikator identitas budaya terseput meliputi: (1) pernyataan dan
anggapan; (2) mode ekspresi; (3) identitas individu, relasional dan komunal; serta (4)
aspek identitas yang abadi dan berubah.
Ada sejumlah teori yang memainkan peran berpengaruh dalam membentuk
pemahaman identitas (budaya). Teori-teori ini disurvei berdasarkan pendekatan
mereka berasal, termasuk teori komunikasi identitas, teori manajemen identitas, teori
kontrak budaya, teori asimilasi adaptasi lintas budaya, teori kultural, teori identitas
budaya, teori ras kritis, dan teori postkolonial. Untuk setiap teori, asal usul singkat
diberikan dengan penekanan pada konsep-konsep kunci yang berkaitan dengan
identitas budaya. Pada penelitian ini, pendekatan komunikasi identitas budaya
interpretif dengan teori negosiasi identitas.

1.4 Teori Negosiasi Identitas


Stella Ting-Toomey (1993, 2005) mengusulkan teori negosiasi identitas (INT)
untuk menjelaskan transaksi dan interaksi di mana individu berusaha untuk
membangun citra diri mereka seperti yang diinginkan oleh diri mereka sendiri dan

33
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

orang lain. Individu memperoleh dan mengembangkan identitas mereka melalui


interaksi dengan orang lain dalam kelompok budaya mereka dalam kehidupan sehari-
hari atau dapat dikatakan sebagai presentasi diri. Dalam proses pembangunan
identitas budaya mereka, orang akan dengan sengaja bertindak sesuai dengan
dinamika interpersonal sesuai dengan persepsi awal mereka. Atau mereka akan
bertindak dengan cara yang relatif tidak berdasarkan pada bagaimana mereka
biasanya berperilaku sebagai "pantas" sesuai dengan norma sosial.
Kegiatan presentasi diri merupakan kumpulan taktik perilaku yang dirancang
untuk mencapai berbagai tujuan interaksional. Saling memberi dan menerima yang
terjadi antara pengamat dan sasaran berarti bahwa proses negosiasi identitas adalah
fenomena yang secara fundamental bersifat interaksionis. Seperti halnya pendekatan
interaksionis lainnya, proses negosiasi identitas menggabungkan dua tema yang
bersaing yang mendominasi psikologi yaitu behaviorisme dan teori kepribadian.
Terdapat beberapa pendekatan yang digunakan dalam negosiasi identitas antar
budaya, yaitu pendekatan behavioris, pendekatan kepribadian, dan pendekatan
interaksionis (Swann&Bosson, 2008).
Pendekatan behavioris menekankan peran faktor lingkungan dan situasional
dalam membentuk kecenderungan perilaku. Berbagai pendekatan behavioris
memiliki perbedaan dalam perhatian yang mereka curahkan untuk proses internal
seperti endowmen genetik, dorongan dasar, dan kognisi. Namun, mereka berbagi
asumsi bahwa sebagian besar perilaku berada di bawah kendali lingkungan eksternal.
Dengan demikian, untuk memahami perilaku yang stabil, perspektif ini menunjukkan
bahwa seseorang harus melihat pada sejarah individu tertentu tentang reaksi yang
terkondisi, tertekan, dan reaksi saat dihukum (Swann&Bosson, 2008).
Berbeda dengan behaviorisme, pendekatan kepribadian menekankan peran
disposisi dalam membentuk perilaku orang. Aristoteles memprakarsai pendekatan
kepribadian modern dengan mengusulkan bahwa semua objek memiliki "esensi"
alami, atau seperangkat sifat dasar yang memandu aktivitas mereka. Menurut
Aristoteles, perilaku objek sepenuhnya didorong oleh esensinya. Dari perspektif ini,
meskipun perubahan situasi dapat mengganggu dan mengaburkan sifat esensial dari
objek, mereka tidak menjelaskan perilakunya. Pendukung model lima besar,
misalnya, menyarankan bahwa pada tingkat tertentu, ekstraversi, neurotisme,

34
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

keterbukaan terhadap pengalaman, kesesuaian, dan kesadaran mencerminkan


kecenderungan genetik yang dapat diwariskan yang diekspresikan dalam pola emosi
dan perilaku yang dapat diprediksi (Costa & McCrae, 1994; Goldberg, 1981; John,
1990). Dengan berfokus pada kualitas genetik yang membentuk pola kepribadian di
seluruh umur, pendekatan sifat kontemporer mengungkapkan asumsi esensialis yang
umumnya tidak ada dari pendekatan behavioris dan situasional. Untuk tujuan ini,
orang lebih suka dan mencari evaluasi dan pola hubungan yang mengkonfirmasi
keyakinan mereka tentang diri dan memandang dunia dengan cara yang
mempertahankan rasa stabil diri. Sebagai hasilnya, begitu pandangan diri orang
terbentuk, pandangan diri ini dapat terus membimbing dan membentuk perilaku.
Pendekatan Interaksionis memandang perilaku sebagai sesuatu yang timbul
dari interaksi orang dan situasi. Penelitian Lewin (1951) mengusulkan asumsi
interaksionis bahwa perilaku adalah fungsi dari "ruang kehidupan", atau hubungan
yang saling tergantung antara orang dan lingkungannya. Dalam konseptualisasi
Lewin, perilaku selalu berasal dari hubungan individu konkret dengan situasi konkret.
Formulasi negosiasi identitas mengikuti tradisi interaksionis yang mengasumsikan
bahwa perilaku tumbuh dari interaksi antara diri, situasi, dan lainnya. Pendekatan ini
dicontohkan dalam penggabungan teori verifikasi diri dengan pendekatan
interaksionisme simbolik dan teori harapan. Dalam tradisi teori verifikasi diri, Swann
dan Bosson mengasumsikan bahwa identitas orang (terutama pandangan diri mereka
yang stabil) memandu pilihan mereka atas pola dan situasi sosial, tujuan hubungan
yang mereka kejar dalam interaksi sosial, dan interpretasi mereka terhadap reaksi
umpan balik yang mereka dapatkan serta mereka terima. Dalam tradisi pendekatan
interaksionis simbolik dan teori ekspektasi, kami mengasumsikan bahwa reaksi orang
lain terhadap diri sendiri memberikan pengaruh yang kuat pada identitas orang, baik
dalam jangka pendek maupun lebih permanen (Swann&Bosson, 2008).
INT menawarkan sepuluh asumsi teoritis inti tentang komponen anteseden,
proses, dan hasil komunikasi antar budaya, termasuk proses pengembangan
konstruksi identitas orang dalam negosiasi identitas (Ting-Toomey, 2005), yaitu:
1. Dinamika inti identitas keanggotaan kelompok seseorang (mis., Budaya dan
keanggotaan etnis) dan identitas pribadi (mis., atribut unik) dibentuk melalui
komunikasi simbolik dengan orang lain.

35
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Individu dalam semua budaya atau kelompok etnis memiliki kebutuhan


motivasi dasar untuk keamanan identitas, inklusi, prediktabilitas, koneksi, dan
konsistensi pada tingkat identitas berbasis kelompok dan identitas berbasis
orang. Namun, keamanan yang terlalu emosional akan mengarah pada
etnosentrisme yang ketat, dan, sebaliknya, terlalu banyak ketidakamanan
emosional (atau kerentanan) akan menyebabkan ketakutan pada kelompok
atau orang asing. Prinsip dasar yang sama berlaku untuk inklusi identitas,
prediktabilitas, koneksi, dan konsistensi. Dengan demikian, jangkauan
optimal ada pada berbagai identitas spektrum dialektika negosiasi.
3. Individu cenderung merasa nyaman berkenaan dengan keamanan identitas
saat berada di lingkungan budaya yang akrab dan menjadi emosional dalam
kerentanan identitas saat berada di lingkungan budaya yang tidak dikenal.
4. Individu cenderung merasa diikutsertakan ketika identitas anggota grup yang
diinginkan didukung secara positif (mis., dalam situasi kontak dalam
kelompok yang positif) dan mengalami diferensiasi ketika identitas
keanggotaan grup yang diinginkan distigmatisasi (mis., dalam situasi kontak
kelompok yang bermusuhan).
5. Interaksi seseorang saat berkomunikasi dengan orang lain yang akrab secara
budaya cenderung lebih terprediksi, sedangkan interaksi seseorang saat
berkomunikasi dengan orang lain yang dengan budaya yang tidak dikenal
cenderung tidak terduga. Prediktabilitas interaksi cenderung mengarah pada
kepercayaan lebih lanjut di antara keduanya (yaitu, dalam level optimal) atau
menjadi kategori stereotip yang kaku (mis. di luar level optimal). Interaksi
yang konstan, serta ketidakpastian cenderung mengarah pada
ketidakpercayaan atau ekspektasi negative.
6. Seseorang cenderung menginginkan koneksi interpersonal melalui hubungan
dekat yang bermakna (mis. dalam situasi dukungan pertemanan yang dekat)
dan mengalami otonomi identitas ketika mereka mengalami pemisahan
hubungan — antarbudaya yang bermakna/hubungan interpersonal dapat
menciptakan keamanan emosional tambahan dan kepercayaan pada budaya
orang asing.

36
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

7. Seseorang cenderung mengalami konsistensi identitas dalam rutinitas budaya


yang berulang saat berada di lingkungan budaya yang akrab dan mereka
cenderung mengalami perubahan identitas (ekstrim, kekacauan identitas dan
kerusuhan) dan transformasi pada budaya baru atau budaya yang tidak
dikenal.
8. Dimensi variabilitas budaya/etnis, pribadi, dan situasional mempengaruhi
makna, interpretasi, dan evaluasi dari tema yang berhubungan dengan
identitas ini.
9. Proses negosiasi identitas yang kompeten menekankan pentingnya integrasi,
diperlukan pengetahuan berbasis identitas antarbudaya, perhatian, dan
keterampilan interaksi untuk berkomunikasi secara tepat, efektif, dan adaptif
dengan orang lain secara budaya berbeda.
10. Hasil negosiasi identitas yang memuaskan termasuk perasaan dipahami,
dihormati, dan dihargai secara afirmatif.
Disintesis dari komunikasi simbolik dengan yang lain, asumsi-asumsi tersebut
dapat diringkas sebagai dialektika identitas berpasangan tentang lima tema lintas
batas: keamanan identitas dan kerentanan identitas, inklusi identitas dan diferensiasi
identitas, prediktabilitas identitas dan ketidakpastian identitas, koneksi identitas dan
otonomi identitas, dan konsistensi identitas dan perubahan identitas. Dialektika
identitas ini berinteraksi ketika mereka diperiksa dalam konteks pertemuan budaya,
yang mungkin akan menyebabkan ketegangan jika orang pergi terlalu jauh ke arah
kedua ujungnya. Misalnya, orang membutuhkan keamanan identitas dasar agar dapat
diakui oleh orang lain sebagai dari budaya yang berbeda, namun terlalu banyak
kebutuhan keamanan emosional akan menyebabkan etnosentrisme yang ketat (Ting-
Toomey, 2005). Di sisi lain, terlalu banyak ketidakamanan emosional akan
menyebabkan rasa takut pada orang luar atau orang asing. Penelitian ini berfokus pada
bagaimana proses negosiasi identitas yang terjadi antara penduduk pendatang (Jawa-
Muslim) dengan penduduk asli (Bali-Hindu), unsur-unsur identitas apa yang
dilibatkan, serta faktor-faktor identitas apa yang dapat merujuk pada hasil negosiasi
identitas yang memuaskan seperti perasaan dipahami, dihormati, dan dihargai secara
afirmatif.

37
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Stella Ting-Toomey (2005) tertarik pada bagaimana domain atau identitas


identitas tertentu mempengaruhi interaksi komunikasi. Ting-Toomey memulai
teorinya dengan membedakan identitas pribadi dan identitas budaya. Identitas budaya
(seperti ras, etnis, agama, dan gender) dikaitkan dengan keanggotaan pada khususnya
kelompok budaya atau sosial. Sedangkan identitas pribadi adalah karakteristik yang
lebih unik, seperti minat, kemampuan, keterampilan, dan preferensi yang
membedakan kita dari orang lain. Identitas budaya dan etnis ditandai oleh dua
dimensi, yaitu nilai konten dan salience (arti-penting). Nilai konten terdiri dari jenis
evaluasi yang dibuat berdasarkan kepercayaan budaya. Sebagai contoh, beberapa
budaya mempengaruhi anggota untuk menghargai komunitas atau kelompok di atas
individu, sedangkan budaya lain menjunjung nilai-nilai individualistis hak istimewa.
Salience atau arti-penting adalah kekuatan afiliasi yang kita rasakan dengan kelompok
tertentu dalam situasi tertentu. Misalnya, saat seseorang memiliki budaya yang sangat
kuat dan/atau ikatan etnis, di sisi lain mungkin seseorang hanya memiliki perasaan
afiliasi yang lemah. Bagian dari identitas pribadi terkait “siapa diri kita” sebagai
pribadi ditentukan oleh seberapa kuat seseorang terhubung dengan kelompok yang
lebih besar di mana individu tersebut menjadi bagian dan muncul kejelasan hubungan
dari nilai-nilai budaya mereka (Ting-Toomey, 2005).
Teori negosiasi identitas memiliki komponen ketrerampilan yang
menunjukkan bagaimana negosiasi itu terjadi. Keterampilan adalah kemampuan
operasional yang aktual untuk melakukan tindakan atau perilaku yang dianggap
sesuai dan efektif dalam menghadapi situasi budaya tertentu. Keterampilan-
keterampilan tersebut diantaranya keterampilan interaksi adaptif, keterampilan
pengamatan yang penuh perhatian, keterampilan mendengarkan yang penuh
perhatian, keterampilan empati verbal, keterampilan sensitivitas nonverbal, serta
keterampilan kompetensi lintas budaya. Beberapa keterampilan tersebut melibatkan
pendengaran yang responsif, penglihatan yang aktual, dan hati yang terfokus pada
bunyi, nada, gerakan, nuansa nonverbal, penjedaan, keheningan, serta memaknai
identitas melalui perspektif pembingkaian identitas dari pihak lain. Keterampilan-
keterampilan tersebut kemudian akan membantu efektivitas proses negosiasi identitas
di antara budaya yang berbeda (Ting-Toomey, 2005).

38
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Memanajemen makna identitas bersama sehingga tercapainya tujuan identitas


yang diinginkan merupakan bagian dari proses negosiasi identitas. Proses ini juga
membutuhkan kriteria kompetensi komunikasi (sasaran pencapaian melalui interaksi
yang sesuai), seperti adanya ketepatan dan efektivitas. Kompetensi ketepatan
merupakan kemampuan melihat sejauh mana perilaku dianggap tepat dan sesuai
dengan harapan yang dihasilkan oleh budaya. Sedangkan efektivitas adalah sejauh
mana komunikator dapat mencapai makna bersama dan hasil yang diinginkan dalam
situasi tertentu. Proses negosiasi identitas dapat dikatakan berhasil apabila pada
komunikator dan komunikan menimbulkan perasaan dipahami, dimengerti dan
dihargai secara afirmatif. Perasaan dipahami berkonotasi dengan suara pemahaman
yang reflektif untuk pemikiran, perasaan, dan perilaku seseorang, serta berdampak
pada emosional empati. Sementara itu, perasaan dihormati berarti perilaku dan praktik
berbasis identitas yang diinginkan dianggap sah, kredibel, dan sejajar dengan anggota
kelompok lain. Mengonotasikan pemantauan penuh perhatian dari sikap verbal dan
nonverbal seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain yang berbeda. Sedangkan
perasaan dihargai secara afirmatif merupakan perasaan yang didukung secara positif
dan dirangkul secara positif sebagai individu yang berharga meskipun memiliki
identitas berbasis kelompok yang berbeda atau identitas yang distigmakan. Perasaan
ini diekspresikan melalui pesan konfirmasi verbal dan nonverbal, dikonfirmasi
melalui proses ketika individu diakui dan disahkan, serta menyampaikan penilaian
positif tentang identitas diri orang lain yang bernilai (Ting-Toomey, 2005).

1.5 Penelitian Terdahulu


Penelitian mengenai komunikasi antar budaya sudah banyak sekali dilakukan
oleh para peneliti dengan titik berat yang beragam. Namun demikian, penelitian
komunikasi antar budaya yang mengambil fokus lacakan pada identitas kultural
masyarakat dengan latar belakang agama yang berbeda dan relatif tidak pernah terjadi
konflik secara aktual nampaknya belum banyak dilakukan. Hal demikian menandai
kebaruan dari penelitian ini. Berikut adalah beberapa lacakan penelitian yang telah
dilakukan untuk selanjutnya menjadi acuan peneliti dalam menyusun penelitian
terbaru

39
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

1) The Relationship between Mental Distress, Assessed in Terms of Anxiety and


Depression, and Conflict Management in the Context of Cultural Adaptation
oleh Deepa Oommen, 2013, Journal of Intercultural Research, Volume 42,
Issue 2.
Penelitian oleh Oommen (2012) misalnya, dengan menggunakan
pendekatan kuantitatif, riset ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan
antara tekanan mental, diukur dari tingkat kecemasan dan depresi, dan
preferensi untuk berbagai masalah dan pendekatan manajemen konflik. Hasil
dari riset tersebut menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan kecemasan
dan tingkat keprihatinan yang positif dari mahasiswa pendatang
(internasional). Hasil menimbulkan pertanyaan tentang kemungkinan
individu, dalam kondisi tekanan mental, secara aktif terlibat dalam
pengelolaan konflik dan menampilkan perilaku yang mengintegrasikan
keprihatinan diri dan lainnya. Artinya, mahasiswa asing yang berada di sana
memiliki kecemasan yang tinggi terhadap integritas dirinya dalam lingkup
kelompok yang berbeda latar belakang dengan dirinya.

2) Hambatan Komunikasi Antar Budaya Antara Staf Marketing dengan


Penghuni Berkewarganegaraan Australia dan Korea Selatan di apartemen X
Surabaya oleh Alvin Sanjaya, 2013, Jurnal E-Komunikasi Volume 1, No.3,
2013 (diakses melalui http://studentjournal.petra.ac.id/index.php/ilmu-
komunikasi/article/ view/ 939 pada 21 Februari 2019).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sanjaya (2013) yang
berfokus pada hambatan komunikasi antar budaya yang terjadi antara staf
sebuah apartemen di Surabaya dengan penghuni berkewarganegaraan
Australia dan Korea, ditemukan bahwa dalam komunikasi antar budaya
terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan komunikasi antar
budaya seperti faktor fisik, budaya, persepsi, motivasi, pengalaman, emosi,
bahasa, nonverbal dan faktor kompetisi. Penelitian tersebut juga menemukan
bahwa tidak selamanya perbedaan bahasa dan faktor nonverbal yang
umumnya terjadi dalam komunikasi antara dua budaya yang berbeda menjadi
faktor penyebab kegagalan dalam sebuah proses komunikasi antar budaya.12

40
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Saling menghargai dan menghormati juga menjadi kunci penting dalam


terjalinnya komunikasi yang baik antar dua kebudayaan yang berbeda.
Berkenaan dengan penelitian ini, hambatan komunikasi antar budaya bukan
menjadi fokusnya, melainkan terjalinnya komunikasi yang harmoni antara
penduduk pendatang dengan penduduk asli.

3) Negotiation Strategies Employed in Difficult Situation: Focus on Japanese


and American University Students oleh Junko Kobayashi dan Linda Viswat,
2016, Journal of Intercultural Communication, Communication Studies, ISSN
1404-1634, issue 40, March 2016. [URL: http://immi.se/intercultural ---
28Jun2016]
Penelitian oleh Kobayashi dan Viswat (2016) misalnya, mengambil
fokus pada komunikasi antar budaya yang terjadi di antara mahasiswa asal
Jepang yang sedang belajar di Amerika di satu sisi dengan mahasiswa asli
Amerika. Dengan menggunakan pendekatan multiple method (menggunakan
teknik survey disertai wawancara) dalam konteks pengembangan strategi
negosiasi terutama ketika menghadapi situasi sulit, kedua peneliti tersebut
berkesimpulan bahwa perspektif-perspektif yang bersifat dimensional
dikembangkan oleh kedua belah pihak (partisipan) ketika menjalin
komunikasi. Penelitian ini juga menemukan bahwa sampai tingkat tertentu
memang tidak terjadi sharing strategy. Salah satu dari pihak partisipan
misalnya ketika pembahasan mengarah kepada kecenderungan penilaian yang
kurang jujur.

4) Values, Culture Identities and Communication: A perspective from


philosophy of language oleh Holvor Nordby, 2008, Journal of Intercultural
Communication, ISSN 1404-1634, issue 17, June 2008. Editor: Prof. Jens
Allwood URL: http://www.immi.se/intercultural/.
Artikel ini membahas tentang penggunaan asumsi sentral filsafat
bahasa untuk membahas masalah komunikasi yang muncul akibat perbedaan
budaya. Artikel ini berfokus pada keyakinan dan nilai-nilai yang dianut oleh
masing-masing budaya. Penulis berasumsi bahwa komunikasi dapat

41
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

membantu memahami “nilai” yang ada. Jika “nilai” tersebut gagal dipahami
dan tidak terwujud kesepakatan bersama, maka akan memicu konflik di antara
pihak-pihak yang terkait. Menurut pandangan yang diuraikan dalam artikel
ini, kasus-kasus konflik budaya dan intrusi bentuk-bentuk kehidupan tidak
dapat dibandingkan dengan kasus-kasus kepercayaan yang langsung
diperbaiki. Nordby berpendapat bahwa cara hidup yang rusak, secara intim
mempengaruhi identitas pribadi individu. Jika seseorang menghancurkan
dasar eksistensi yang dimiliki sekelompok orang, maka secara harfiah ia juga
telah merusak nilai-nilai pribadi mereka dan akibatnya menjadi bagian dari
diri mereka sendiri.

5) Ideology, Identity, and Intercultural Communication: An Analysis of


Differing Academic Conceptions of Cultural Identity oleh Young Yun Kim,
2007, Journal of Intercultural Communication Research, 36:3, 237-253, DOI:
10.1080/17475750701737181).
Identitas budaya sebagai sistem praktik komunal yang berbeda.
Fenomena ini dipandang unik karena abadi dari waktu ke waktu. Kim
berasumsi identittas budaya sebagai kategori sosial serta hak kelompok yang
bijaksana dan tidak dapat dinegosiasikan. Dalam memeriksa pesan-pesan
ideologis, baik tersirat maupun yang didukung dalam tulisan akademis, Kim
menggunakan empat posisi yang saling berhubungan dengan budaya dan
hubungan antarbudaya, yaitu: asimilasi, pluralisme, integrasionisme, dan
separatisme. Keempat posisi ini telah diidentifikasi dalam analisis kualitatif-
interpretatif. Kim mengungkapkan lima hal mmendasar yang berbeda tema
identitas budaya: (a) Entitas yang adaptif dan berkembang dari seorang
individu; (b) Entitas individu yang fleksibel dan dapat dinegosiasikan; (c)
kategori sosial yang terpisah dan pilihan individu; (d) sistem komunikatif yang
berbeda dan komunal; dan (e) kategori sosial yang terpisah dan hak kelompok
yang tidak dapat dinegosiasikan.

6) Bicultural Identity Negotiation, Conflicts, and Intergroup Communication


Strategies oleh Adrian Toomey, Tenzin Dorjee & Stella Ting-Toomey, 2013,

42
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Journal of Intercultural Communication Research, 42:2, 112-134, DOI:


10.1080/17475759.2013.785973).
Studi kualitatif ini mengeksplorasi topik penting dari identitas
bikultural yang belum dipelajari dan komunikasi antar kelompok. Teori
negosiasi identitas Ting-Toomey dan teori akomodasi komunikasi Giles
memandu penyelidikan ini ke dalam konstruksi "identitas bikultural" individu
Asia/Kaukasia dan strategi komunikasi antarkelompok mereka. Untuk
mengeksplorasi tantangan identitas dan strategi komunikatif bicultural
individu, peneliti menyusun menjadi beberapa bagian. Pertama, peneliti
membahas Teori Ting-Toomey (1993, 1999, 2005) Identity Negotiation
Theory dan bagaimana hubungannya untuk proses negosiasi identitas
bikultural. Kedua, Komunikasi Giles Teori Akomodasi (Gallois, Ogay, &
Giles, 2005; Giles & Baker, 2008; Giles, Willemyns, Gallois, & Anderson,
2007) memberikan wawasan tentang strategi komunikatif yang luas yang
digunakan individu bikultural.
Pengembangan identitas budaya adalah multilayered dengan
pengalaman hidup yang kompleks. Analisis respons terhadap pertanyaan
penelitian mengungkapkan delapan pola tematik seperti konstruksi bikultural
identitas terintegrasi, praktik khas komunikasi, dan strategi penyangga
identitas. Data untuk penelitian ini terdiri dari wawancara rekaman audio,
wawancara tertulis, kuesioner survei singkat, dan panduan wawancara semi-
terstruktur yang dikumpulkan dari 12 peserta penelitian bikultural
Asia/Kaukasia. Proses negosiasi identitas bikultural dalam pengaturan
ingroup/outgroup yang dirasakan adalah berlapis-lapis, fenomena kompleks.
Beberapa tema muncul dari penelitian ini dan mereka adalah diorganisasikan
sebagai berikut: persepsi bikultural tentang identitas diri, negosiasi identitas
bicultural dalam pengaturan antarkelompok, dan strategi komunikasi
bikultural. Pola-pola ini berujung pada ide yang diusulkan dari model
"identitas bikultural ganda-ayunan". Penelitian ini menyimpulkan dengan
diskusi tentang kontribusi, batasan, dan arah masa depan.

43
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

7) Rethinking Social Identity Theory in International Encounters: Language Use


as a Negotiated Object for Identity Making (Jakob Lauring, 2008,
International Journal of Cross Cultural Management 8(3), SAGE Publications
(Los Angeles, London, New Delhi and Singapore) DOI:
10.1177/1470595808096673.)
Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologis tentang identitas
etnis, dikatakan bahwa hubungan antara bahasa dan identitas sosial
dinegosiasikan dalam interaksi. Tinjauan literature menguraikan studi tentang
Teori Identitas Sosial dan studi tentang peran bahasa yang digunakan dalam
manajemen ekspatriat. Menurut Giles, bahasa individu digunakan dalam
diferensiasi positif atau negative. Dengan demikian, mengekspresikan
identitas etnis (Giles et al., 1977; Giles dan Johnson, 1981) menegaskan
bahwa kelompok bahasa juga merupakan kelompok etnis, karena bahasa
adalah salah satu yang paling khas penanda identitas. Bahasa, atau dalam hal
ini kata-kata, menjadi perwujudan etnis. Menurut Giles dan Byrnes (1982), ini
merupaakan salah satu alasan mengapa bahasa sering menjadi titik fokus
konflik antar etnis.
Dalam analisis empiris, artikel berfokus pada pertemuan antara
ekspatriat dan karyawan lokal dari anak perusahaan Denmark di Inggris.
Temuan menunjukkan itu pembuatan identitas dapat diaktualisasikan oleh
persaingan untuk sumber daya dan pengakuan. Ini bisa dilakukan dengan
menginvestasikan objek tertentu seperti aplikasi simbolik bahasa identifikasi
tertentu. Akhirnya dikemukakan bahwa proses-proses di mana identifikasi
berkembang dapat menyebabkan polarisasi dan akomodasi dalam hubungan
antara kelompok dan individu.

8) Reconceptualizing Cultural Identity and its Role in Intercultural Business


Communication oleh Daphne A. Jameson, Journal of Business
Communication, Volume 44, Number 3, July 2007 199-235 DOI:
10.1177/0021943607301346.
Artikel ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara berbisnis dan
memahami budaya lain dengan berkomunikasi. Dalam mengonsep ulang

44
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

identitas cultural dan kegunaannnya dalam komunikasi bisnis antarbudaya,


Jameson memulai pembahasan dengan memaparkan beberapa fenomena
berkenaan dengan identitas budaya. Jameson mengambil focus pada identitas
budaya individu dan bagaimana pengaruhnya dengan komunikasi bisnis
antarbudaya.
Identitas budaya sangat relevan dalam komunikasi bisnis antarbudaya
karena memainkan peran integral dalam hubungan interpersonal. Dalam
karyanya tentang manajemen hubungan, Spencer-Oatey (2000)
mengembangkan konsep identitas wajah, nilai yang diklaim orang
berdasarkan diri mereka sendiri pada peran kelompok mereka dan yang
mempengaruhi rasa nilai publik. Nilai kontras wajah identitas dengan wajah
berkualitas diklaim orang karena kualitas individu, seperti penampilan dan
kemampuan, dan hal tersebut mempengaruhi harga diri. Mengelola hubungan
dalam interaksi antar budaya membutuhkan perhatian yang berkenaan dengan
bahasa, komunikasi nonverbal, dan tindakan yang mengancam jenis wajah
keduanya.
Identitas kultural mempengaruhi pikiran, perasaan, dan apa yang telah
dikerjakan. Artikel ini me- recognize dampak budaya dalam kepribadian,
interaksi dan bahasanya. Jameson belum mengeksplorasi hubungan identitas
budaya dengan kekuasaan, hak-hak istimewa pemimin, dan hubungannya
dengan emosi seseorang. Dengan berfokus pada budaya identitas individu
yang lebih lengkap, dan mempertahankan fokus tradisional pada identitas
budaya orang lain yang kolektif, Jameson berharap dapat membantu
mengungkapkan dimensi budaya tersembunyi yang begitu sulit ditembus.

9) Muslim and Christian Conflict Styles in Western Europe oleh Stephen


Croucher, International Journal of Conflict Management Vol. 22 No. 1, 2011,
pp. 60-74q Emerald Group Publishing Limited DOI
10.1108/10444061111103625.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh identifikasi nasional
dan agama pada gaya konflik di antara orang Kristen dan Muslim di Eropa
Barat. Gaya konflik mengacu pada “pola umum atau perilaku orientasi yang

45
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dibawa seseorang ke arah konflik” (Oetzel, 1998, hlm. 133). Konflik bisa jadi
bersifat interpersonal, organisasi, berorientasi komunitas, dan atau
antarbudaya (Oetzel dan Ting-Toomey, 2006). Bagaimana kita mendekati
konflik itu adalah gaya konflik kita. Blake dan Mouton (1964) membagi gaya
konflik menjadi lima jenis:(1) menghindari; (2) kompromi; (3) mendominasi;
(4) mengintegrasikan; dan (5) mewajibkan.
Pendekatan kualitiatif digunakan oleh peneliti dengan mengumpulkan
data di Perancis, Jerman dan Inggris (n ¼ 909) pada tahun 2008. Konflik
diukur menggunakan Ukuran Gaya Konflik Oetzel. Untuk menguji hipotesis
dan menjawab pertanyaan penelitian, model regresi berganda dibangun.
Hasilnya, identifikasi nasional dan agama memiliki pengaruh signifikan
terhadap gaya konflik. Muslim lebih suka kompromi dan mewajibkan gaya
konflik, sedangkan orang Kristen lebih suka gaya yang mendominasi. Prancis
lebih mendominasi daripada Jerman atau Inggris. Interaksi yang signifikan di
antara keduanya mengungkapkan bagaimana agama individu dan identifikasi
nasional mempengaruhi gaya konflik. Di sisi lain, Pengalaman hidup individu
memiliki pengaruh signifikan terhadap pilihan gaya konflik mereka. Hasil di
Perancis, Jerman dan Inggris menunjukkan pengalaman hidup beragam etnis
dan agama yang ada disana.

10) Junsuk and Junhyuck: Adolescent Immigrants’ Educational Journey to


Success and Identity Negotiation (Bogum Yoon, American Educational
Research Journal October 2012, Vol. 49, No. 5, pp. 971–1002 DOI:
10.3102/0002831212443694, 2012 AERA. http://aerj.aera.net)
Seorang peneliti memeriksa perjalanan pendidikan dua imigran remaja
untuk sukses melalui analisis teori positioning dan identitas yang
dinegosiasikan. Melalui pernyataan langsung dari anak laki-laki tentang
pengalaman sekolah mereka dengan fokus khusus pada saat sekolah
menengah pertama dan menengah atas di Amerika, artikel ini melaporkan
kompleksitas negosiasi identitas mereka dan proses penentuan posisi diri dan
posisi interaktif mereka. Pelajaran ini bertujuan untuk membantu pendidik
membingkai ulang dialog tentang siswa imigran termasuk suara baru, dari

46
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sudut pandang mereka sendiri, tentang bagaimana mereka telah mampu


menjadi sukses dalam sistem sosial dan pendidikan A.S.
Data dianalisis dengan menggunakan metode penyelidikan naratif
(Clandinin & Connelly, 2000) dan analisis komparatif konstan (Strauss &
Corbin, 1998). Tujuan dari penyelidikan naratif adalah untuk memahami arti
dari pengalaman hidup peserta (Connelly & Clandinin, 2006; Kim, 2010).
Oleh karena itu, sudah tepat untuk memilih metode untuk studi ini yang
berfokus pada cerita kedua saudara kandung tentang pengalaman hidup
mereka di Amerika Serikat sebagai imigran. Penelitian longitudinal ini
menunjukkan bahwa, kesadaran kritis para siswa imigran tentang identitas,
identitas yang dinegosiasikan, dan konfirmasi eksternal kemampuan unik
lebih memungkinkan mereka untuk membangun dan merekonstruksi konteks
yang berkontribusi pada kesuksesan mereka daripada bahasa atau budaya. Dua
proses akademik dan sosial yang berhasil dari para imigran remaja melibatkan
tiga elemen penting: (a) kesadaran identitas melalui letak posisi, (b) identitas
yang dinegosiasikan melalui adaptasi, dan (c) eksternal konfirmasi
kemampuan unik.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dipaparkan, peneliti belum
menemukan penelitian khusus yang mencermati bagaimana proses negosiasi antar
identitas yang terjadi, unsur-unsur identitas apa yang dilibatkan, serta faktor-faktor
identitas apa yang memberikan dampak bagi jalinan hubungan yang harmoni,
khususnya di antara penduduk pendatang dengan penduduk asli yang berbeda etnis,
budaya, dan juga keyakinan.

1.6 Kerangka Berpikir


Berdasarkan lacakan penelitian terdahulu dan temuan data pra-penelitian,
maka peneliti mengembangkan sebuah model kerangka berpikir pada penelitian ini
dengan merujuk pada proses negosiasi identitas yang diadaptasi dari beberapa konsep
teoritis. Pertama, konsep negosiasi identitas milik Stella Ting-Toomey dengan
mempertimbangkan sepuluh asumsi yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya,
kemudian teori milik Swann dan Bosson yang menekankan pada kegiatan presentasi
diri dengan melakukan taktik-taktik dalam berperilaku yang dirancang untuk

47
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mencapai berbagai tujuan interaksional. Proses negosiasi identitas yang kompeten


menekankan pentingnya motivasi, partisipasi, integrasi, serta diperlukan pengetahuan
berbasis identitas antarbudaya, perhatian, dan keterampilan interaksi untuk
berkomunikasi secara tepat, efektif, dan adaptif dengan orang lain secara budaya
berbeda. Faktor-faktor tersebut kemudian diasumsikan dapat memperoleh hasil
negosiasi identitas yang memuaskan dengan munculnya perasaan dipahami,
dihormati, dan dihargai secara afirmatif di antara kedua belah pihak, dalam hal ini
adalah penduduk pendatang (Jawa-Muslim) dengan penduduk asli (Bali-Hindu)

48
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

di Dusun Wanasari, Kelurahan Dauh Puri Kaja, Kecamatan Denpasar Utara, Kota
Denpasar, Bali.

Potential Negative
Outcomes: such as the
search for equality,
withdrawal, anxiety,
Stigmatized reduction of
uncertainty,
Identity stereotypes, prejudice,
racism, power,
ethnocentrism and
culture shock

Opportunity Structure (Identity Crisis): Knowledge, motivation, and skill

Experiencing
Building Social Positive
Freedom and
Networks Comparisons
Success

Feeling a Sense of Normalcy: Being understood, being respected, and being affirmatively valued

Gambar 2.1 Identity Negotiating Model


(Ting-Toomey, 2005; Swann & Bosson, 2008)

49

Anda mungkin juga menyukai