id
BAB II
LANDASAN TEORI
9
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada efek kebudayaan
terhadap komunikasi.
Berkenaan dengan komunikasi antar budaya yang terjadi antara penduduk
pendatang dengan penduduk asli dan relatif tidak terjadi konflik nampaknya tidak
banyak terjadi di masyarakat. Penelitian oleh Oommen (2012) misalnya, dengan
menggunakan pendekatan kuantitatif, riset ini bertujuan untuk mengeksplorasi
hubungan antara tekanan mental, diukur dari tingkat kecemasan dan depresi, dan
preferensi untuk berbagai masalah dan pendekatan manajemen konflik. Hasil dari
riset tersebut menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan kecemasan dan tingkat
keprihatinan yang positif dari mahasiswa pendatang (internasional). Hasil
menimbulkan pertanyaan tentang kemungkinan individu, dalam kondisi tekanan
mental, secara aktif terlibat dalam pengelolaan konflik dan menampilkan perilaku
yang mengintegrasikan keprihatinan diri dan lainnya. Artinya, mahasiswa asing yang
berada di sana memiliki kecemasan yang tinggi terhadap integritas dirinya dalam
lingkup kelompok yang berbeda latar belakang dengan dirinya. Berbeda halnya
dengan penelitian tersebut, penelitian ini berasumsi bahwa hanya terdapat sedikit
kecemasan yang hadir dalam proses komunikasi yang terjadi antara penduduk
pendatang (Jawa-Muslim) dengan penduduk asli (Bali-Hindu).
Adapun budaya itu sendiri berkenaan dengan cara hidup manusia. Bahasa,
persahabatan, kebiasaan makan, praktek komunikasi, tindakan-tindakan sosial,
kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik dan teknologi semuanya didasarkan pada pola-
pola budaya yang ada di masyarakat. Budaya adalah suatu konsep yang
membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan
pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu,
peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang
diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu
dan kelompok. Budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang
apa dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan
kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Budaya
merupakan landasan komunikasi sehingga bila budaya beraneka ragam maka
beraneka ragam pula praktek-praktek komunikasi yang berkembang.
10
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
dengan norma di masyarakat. Pemberian label suatu identitas yang diberikan oleh
seseorang atau kelompok lain atas dasar ciri-ciri sosial yang dimiliki. Identitas
yang diberikan sifatnya membedakan seseorang atau kelompok tersebut. Ciri-ciri
yang diberikan dapat berasal dari ciri fisik yang menonjol, penyakit menetap yang
diderita, karakter seseorang, orientas seksual, ciri kolektif ras, etnik dan golongan.
Seseorang yang diberi label akan cenderung berbuat seperti label yang diberikan
kepadanya dan akan terkurung dalam label tersebut. Pemberian label dapat
berbentuk positif atau negatif yang dapat mempengaruhi perilaku individu.
13
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
istiadatnya, dengan sistem moralnya dan dengan segala aspek budayanya akan
membentuk “masyarakat Jawa”. Menurut Magnis-Suseno (1985), yang
dimaksud “orang Jawa” adalah: 1) Orang yang berbahasa Jawa, yang masih
berakar di dalam kebudayaan dan cara berpikir sebagaimana terdapat di daerah
pedalaman Jawa, dari sebelah Barat Yogyakarta sampai daerah Kediri ke Timur;
dan 2) Yang sekaligus tidak secara eksplisit berusaha untuk hidup di atas dasar
agama Islam.
Pendapat yang dipakai oleh Magnis-Suseno tersebut adalah Batasan
sebagaimana sering juga dipakai oleh beberapa antropolog. Kodiran (1975)
lebih lanjut mengatakan, masyarakat Jawa yang hidup dalam daerah
kebudayaan Jawa meliputi seluruh bagian Tengah dan Timur dari Pulau Jawa.
Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Jawa dengan dialek masing-masing
daerah yang berbeda. Sebelum terjadi perubahan-perubahan status wilayah
seperti sekarang ini, ada daerah-daerah yang secara kolektif sering disebut
daerah kejawen, yaitu Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun,
Malang dan Kediri. Daerah di luar itu dinamakan “pesisir” dan “ujung timur”.
Berdasarkan batasan di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jawa adalah
“kesatuan hidup orang-orang Jawa yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-
istiadat, sistem norma dan sistem budaya Jawa yang bersifat kontinyu, dan yang
terikat oleh suatu rasa identitas bersama yaitu orang Jawa”.
Aristoteles filsuf Yunani yang terkenal dengan tesis manusia sebagai
zoonpolitikon atau homo socius berpendapat bahwa pada masyarakat terdapat 3
(tiga) unsur, yaitu mereka yang kaya sekali; mereka yang melarat; dan mereka
yang berada di tengah-tengahnya (dalam Soekanto, 1977). Terdapatnya macam-
macam keadaan individu dalam masyarakat yang merupakan suatu pelapisan
sosial adalah hal yang wajar dan umum serta merupakan ciri yang tetap. Alasan
terbentuknya lapisan-lapisan dalam masyarakat itu biasanya berdasarkan
tingkat kepandaian, tingkat umur (yang lebih tua/senior), sifat keaslian
keanggotaan kerabat seorang kepala masyarakat, dan kemungkinan juga harta
dalam batas-batas tertentu. Pada tiap-tiap masyarakat alasan yang dipakai untuk
menentukan lapisan-lapisan sosial itu biasanya berbeda. Hal ini juga berlaku di
Indonesia.
14
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
antar manusia dengan alam sekitar. Pandangan hidup ini dapat dianalisa sebagai
sebuah logika yang menghayati suatu masyarakat. Untuk mengerti bagaimana
pandangan hidup masyarakat Jawa maka sebagai titik tolak akan dikemukakan
tentang kepribadian masyarakat Jawa, dasar moral masyarakat Jawa, dan cara
berpikir masyarakat Jawa.
Kepribadian terbentuk dari pengetahuan, perasaan dan dorongan naluri
yang meliputi dorongan untuk mempertahankan hidup, dorongan seks,
dorongan untuk mencari makan, dorongan untuk bergaul dan berinteraksi
dengan semua dan sesama manusia, dorongan untuk meniru tingkah laku
sesamanya, dorongan untuk berbakti, dan dorongan akan keindahan. Semua
unsur kepribadian yang dimiliki bersama oleh suatu bagian besar dari warga
suatu masyarakat disebut dengan kepribadian dasar. Kepribadian dasar ini ada
karena semua manusia sebagai individu dalam masyarakat mengalami pengaruh
lingkungan kebudayaan yang sama selama masa tumbuhnya. Hal ini juga
berlaku bagi keberadaan kepribadian masyarakat Jawa, paling tidak ada
individu-individu dalam masyarakat Jawa yang tingkah laku dan perbuatannya
saling pengaruh mempengaruhi, sehingga ada semacam kecenderungan adanya
sikap atau pola kelakuan yang meniru. Alhasil antara kepribadian masyarakat
Jawa dengan kepribadian masyarakat lainnya ada perbedaan. Namun karena
masyarakat Jawa dengan masyarakat lain di Indonesia tetap dalam satu
keterikatan negara Indonesia, maka ada kecenderungan pengaruh-
mempengaruhi antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Secara
lebih populer, kepribadian masyarakat Jawa adalah ciri-ciri watak masyarakat
Jawa yang konsisten, yang memberikan kepada masyarakat Jawa suatu
indentitas sebagai mayarakat yang khusus. Kepribadian masyarakat Jawa
dikategorikan sebagai “kepribadian Timur” yang mementingkan kehidupan
kerohaniah. Hal ini berbeda dengan “kepribadian Barat” yang lebih
mementingkan kehidupan kejasmaniahannya.
Dasar moral masyarakat Jawa sebagaimana dikemukakan oleh Niels
Mulder (1973) terletak di dalam ketentraman dan keselarasan (rust en orde).
Dasar moral ini terletak dalam hubungan yang selaras antara orang di dalam
masyarakat mereka sendiri. Hubungan yang selaras ini akan tercapai dan
16
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Kebudayaan Jawa
Kebudayaan Jawa merupakan hasil pemikiran orang Jawa yang
dituangkan menjadi tradisi yang terus dipertahankan hingga saat ini.
Kebudayaan Jawa secara garis besar terbagi menjadi tiga kebudayaan yang
meliputi kebudayaan Jawa Tengah, kebudayaan D.I. Yogyakarta, dan
kebudayaan Jawa Timur. Kebudayaan Jawa tersebut mencakup berbagai hal,
seperti rumah adat, seni tradisi, lagu-lagu Jawa, alat musik tradisional, dan
sebagainya. Kebudayaan Jawa telah terkenal hingga mancanegara. Bahkan di
19
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
luhur merupakan pedoman tertinggi agar orang Jawa senantiasa berperilaku arif
dalam kehidupannya.
21
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Menyama Braya
Menyama Braya adalah konsep ideal hidup bermasyarakat di Bali
sebagai filosofi dari karma marga yang bersumber dari sistem nilai budaya dan
adat istiadat masyarakat Bali untuk dapat hidup rukun. Menyama braya disini
juga memiliki makna plural, yakni menghargai perbedaan dan menempatkan
23
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
orang lain sebagai keluarga. Kearifan lokal inilah yang membawa nama
masyarakat Bali sebagai masyarakat yang ramah di mata dunia. Masyarakat Bali
dalam menghayati budaya menyama braya mengibaratkan bahwa kehidupan
sosial yang plural dalam relasinya itu ibarat sebuah pohon. Akar pohon
diibaratkan sebagai Tat Twam Asi (Aku adalah kamu: manusia pada hakikatnya
adalah satu), batangnya adalah fasudewam khutumbhakam (kita semua adalah
keluarga), menyama braya adalah cabangnya, sedangkan daun, bunga, dan buah
adalah kerukunan. Sebagai manusia pada hakikatnya kita tergantung pada
segala aspek kehidupan, baik hubungan kita dengan Tuhan, dengan sesama
manusia, serta hubungan dengan makhluk hidup lainnya.
Keharmonisan relasi sosial yang terjalin di Dusun Wanasari dan
sekitarnya, sejauh ini dikatakan masih sangat kondusif. Hal itu dapat
diasumsikan sebagai wujud konkrit dari implementasi praktek hidup menyama
braya. Selain itu, karena masih tingginya kesadaran moral antar individu untuk
berinteraksi secara bermartabat melalui ruang-ruang dialog antar-tokoh agama,
dan ketatnya penerapan nilai-nilai kearifan lokal, yakni menyama braya, (Perda
No.4 Prop. Bali, 2019). Nilai-nilai yang terkandung dalam prinsip hidup
menyama braya ini, telah menjadi modal sosial masyarakat Bali turun-temurun
yang tetap terpelihara dengan baik hingga saat ini. Prinsip hidup menyama
braya merupakan konsep “kesemestaan”, yang dipahami secara sadar
bagaimana seseorang memandang orang lain sebagai saudaranya sendiri dan
bukan lagi sebagai orang lain (the others).
Fakta itu dapat dilihat dari cara bagaimana masyarakat Bali yang
beragama Hindu menyebut mereka yang beragama Islam sebagai “Nyama
Selam” atau saudara yang beragama Islam; demikian juga kepada yang
beragama Kristen sebagai “Nyama Kristen” atau saudara yang beragama
Kristen. Memaknai modal sosial yang tumbuh dan berkembang inilah yang
kemudian dianggap sebagai bentuk interaksi kehidupan antar-individu yang
cukup kuat bagi masyarakat setempat.
Budaya menyama braya sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat
Bali sejak jaman dulu. Penerapan budaya ini tidak hanya terbatas pada sesama
umat Hindu saja tetapi juga berlaku untuk semua umat non-Hindu. Budaya
24
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
menyama braya dalam masyarakat Bali tidak pernah lekang dimakan waktu dan
tidak pernah usang dimakan zaman.
Ngayah
Secara etimologis, istilah ngayah diadopsi dari konteks kultural dan
politik zaman feodal (kerajaan) di Bali, dan berasal dari kata ayah, ayahan,
pengayah, atau ngayahang. Istilah tersebut juga berarti keterkaitan antara ayah
dengan anak, atau sesuatu yang mewaris secara turun-temurun. Dalam konteks
sosial masyarakat Bali, ngayah adalah kewajiban sosial dari penerapan Karma
Marga yang dilakukan secara gotong-royong, dan dengan hati yang tulus ikhlas
baik di banjar maupun di tempat suci. Secara eksplisit, kata ngayah bisa
diterjemahkan sebagai “melakukan pekerjaan tanpa mendapatkan upah”.
Terdapat tiga bentuk ngayah, antara lain; kewajiban berupa dedikasi dan
loyalitas terhadap raja-raja (pada masa lalu) (pengayah puri) karena dahulu
tanah atau lahan diberikan oleh raja-raja, kewajiban yang berkaitan dengan
kegiatan sosial-kultural banjar adat (pengayah banjar), serta kewajiban religius-
teritorial terkait Pura Kahyangan (pengayah pura) (Input Bali, 2015).
Pada keseharian masyarakat Bali yang telah terintegrasi dalam
kehidupan modern, ngayah pada suatu waktu menjadi terhambat oleh rutinitas
mereka, atau bisa juga dikatakan: rutinitas keseharian mereka “terganggu” oleh
ngayah. Hal ini biasanya terkait waktu kerja dalam kehidupan modern yang
telah terjadwalkan sedemikian rupa. Terlebih, bagi mereka yang merantau dari
pedesaan ke kota-kota Bali, dan jarak tempuh ke kampung halamannya terbilang
jauh. Bagi para perantau ini, kewajiban ngayah tentu menjadi problem
tersendiri.
Ngayah sebagai kewajiban sosial adalah suatu aktivitas yang tak terukur.
Nilai, norma, dan budaya sosial menubuh bersama ngayah, hal ini sekaligus
menunjukkan bagaimana individu yang melakukan ngayah (pengayah)
sebetulnya juga sedang mentransformasikan aktivitas fisik-materialnya pada
nilai, norma, dan budaya yang bersifat imaterial. Dalam aktivitas fisik-material
tersebut terdapat kehadiran (existence), gestur, interaksi, tatapan mata, ekspresi,
serta laku fisik yang dilokuskan pada suatu obyek ngayah. Namun, aktivitas
25
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
fisik-material ini pun sesungguhnya turut dijiwai perihal imaterial, yakni nilai,
norma, dan budaya yang telah menubuh. Dengan demikian, uang yang tak
memiliki kehadiran individu, gestur, ekspresi, serta laku aktivitas ngayah tidak
dapat ditukarkan dengan aktivitas ngayah.
Banjar
Sebagai satu kesatuan hukum yang berhak mengadakan pemerintahan
sendiri, desa di Bali memiliki keunikan tersendiri. Ini bisa dilihat dari terjadinya
dualisme desa di Bali. namun tetap bisa berjalan beriringan_ desa pakraman dan
desa dinas. Secara sederhana Desa Pakraman sebagaimana diatur dalam
Peraturan daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 dapat dipahami bahwa
Desa Pakraman berfungsi sebagai benteng pemertahanan dan pengembangan
adat dan agama (Atmadja, 2010), sedangkan Desa Dinas jika mengacu pada UU
no 5 tahun 1979 adalah wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang
mempunyai organisasi pemerintahan terendah dibawah camat yang berhak
mengatur rumahtangganya sendiri (Wisadirana, 2004). Tidak jauh berbeda
dengan hasil penelitian Carol A. Waren (1990) yang memberikan definisi lebih
sederhana bahwa Desa Pakraman dan desa dinas adalah lembaga
kemasyarakatan yang memilikinya fungsinya masing-masing dengan
pendekatan sosial antropologis (Parimarta, 2004).
Secara organisatoris dibawah sistem pemerintahan desa baik desa dinas
maupun desa Pakraman/desa adat di Bali terdapat satu unit sosial lebih kecil
yang biasa kita kenal dengan dengan sebutan Banjar. Sesuai dengan fungsinya
Banjarpun terbagi menjadi dua yaitu banjar dinas dan banjar pakraman/banjar
adat. Banjar dinas merupakan perpanjangtangan pemerintah pada tingkat
terendah untuk urusan administari mulai dari membuat KTP, KK dan
sejenisnya. Banjar dinas dipimpin oleh seorang kelian dinas yang mempunyai
tugas sebagai pelaksana kegiatan bidang pemerintahan, ketentraman dan
ketertiban, bidang pembangunan dan bidang kemasyarakatan sebagaimana
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005.
Secara struktural banjar dinas berada dibawah desa dinas Sedangkan
banjar pakraman atau Banjar adat dipimpin oleh kelian banjar adat yang
26
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
28
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
29
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
30
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
interaktif, dan mereka memainkan peran penting dalam proses komunikasi antar
budaya yang aktual. Terdapat pengaruh timbal balik antara kedua kelompok, serta
hubungan yang interaktif dan relevan antara delapan identitas ini. Misalnya, ancaman
terhadap identitas budaya seseorang dapat dianggap sebagai ancaman terhadap
tingkat harga diri pribadi. Melalui kemampuan komunikasi yang kompeten atau tidak
kompeten, identitas situasional dapat memengaruhi cara orang memandang diri
mereka sendiri, baik secara negatif maupun positif. Individu memiliki identitas ini
baik secara sadar atau tidak sadar. Identitas apa yang mereka bangun tergantung pada
situasi khusus mereka. Ketika seseorang berada dalam budayanya sendiri, biasanya
identitas budayanya tidak sepenting ketika ia berinteraksi dengan orang luar
kelompok budayanya (Gudykunst, 1994).
Konsep "(budaya) identitas" telah mendapat perhatian berkelanjutan peneliti
komunikasi dan budaya selama beberapa dekade terakhir. Bahkan, beberapa ulasan
baru-baru ini membuktikan sentralitas identitas (budaya) yang ada sebagai konstruk
dalam studi komunikasi antar/budaya (Bardhan & Orbe, 2012; Croucher, Sommier,
& Rahmani, 2015). Studi tentang identitas budaya telah didekati dari beragam
perspektif berdasarkan pada orientasi ilmiah peneliti dan asumsi mendasar tentang
sifat identitas budaya. Peneliti komunikasi antar budaya berpendapat bahwa istilah
identitas budaya telah digunakan sebagai payung untuk mencakup, atau
menggolongkan, identitas kelompok terkait seperti kebangsaan, ras, suku, usia, jenis
kelamin dan jenis kelamin, seksualitas, sosial ekonomi status, identitas regional,
identitas etnolinguistik, afiliasi politik, dan kemampuan (dis). Secara inheren
relasional, identitas budaya juga dibentuk oleh pilihan komunikasi, perilaku, dan
negosiasi, khususnya dalam interaksi antar budaya.
Di sini istilah identitas budaya didefinisikan sebagai status, pengalaman,
penciptaan, (kembali) negosiasi, dan/atau persaingan keanggotaan kelompok dan
identifikasi sosial (sering melalui komunikasi) dalam konteks tertentu. Diskusi khusus
akan diberikan kepada bagaimana identitas budaya dikonseptualisasikan secara
berbeda dari berbagai pendekatan (mis. pendekatan psikologis sosial, pendekatan
budaya interpretatif, pendekatan kritis/interpretatif, dan pendekatan kritis). Berbagai
pendekatan yang berbeda sering membuat asumsi yang tidak sepadan tentang sifat
identitas budaya, dan berbeda secara mendasar pada pertanyaan seputar agensi,
31
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
pilihan, dan hubungan antara identitas budaya dan struktur sosial. Pendekatan budaya
dipilih peneliti untuk melihat apa saja unsur-unsur identitas budaya yang terlibat
dalam terciptanya komunikasi yang harmoni antara penduduk pendatang (Jawa-
Muslim) dengan penduduk asli (Bali-Hindu) di Dusun Wanasari, Denpasar Utara.
Identitas budaya adalah identifikasi diri, rasa memiliki terhadap suatu
kelompok yang menegaskan kembali dirinya sendiri. Seseorang dinilai sebagai
perwakilan dari budaya tertentu secara perilaku, komunikatif, psikologis dan
sosiologis. Ini terdiri dari nilai-nilai, makna, adat istiadat dan kepercayaan yang
digunakan untuk berhubungan dengan dunia. Hal ini mencerminkan pengalaman
sejarah umum dan berbagi kode-kode budaya yang memberi kita sebagai satu
kesatuan yang stabil, tidak berubah, bingkai terus acuan dan makna. Penilaian orang
tentang apakah mereka atau orang lain termasuk dalam kelompok budaya dapat
dipengaruhi oleh penampilan fisik, asal leluhur atau perilaku pribadi (berpakaian,
berbicara, liburan, dan perayaan). Peristiwa historis, kondisi politik, siapa yang hadir,
situasi/tempat interaksi dan wacana publik, juga memengaruhi identitas budaya.
Identitas budaya memiliki beberapa indikator, yaitu: (1) Pernyataan dan
anggapan. Bagaimana seseorang memandang dirinya disebut pengakuan. Artinya
dengan cara apa seseorang menunjukkan kepada orang lain "siapa saya". Anggapan
adalah bagaimana orang lain memandang dan mengkomunikasikan identitas
seseorang; (2) Mode ekspresi. Properti kedua dari identitas budaya adalah mode
ekspresi, yang meliputi simbol inti, nama, label, dan norma. Simbol inti adalah
kepercayaan dan interpretasi budaya orang, dunia dan fungsi masyarakat. Penggunaan
simbol dan ide secara bersama memberikan seseorang keanggotaan grup. Nama dan
label adalah kategori simbol inti. Norma mempengaruhi identitas budaya kita.
Kelompok budaya menciptakan norma untuk perilaku yang sesuai dan perilaku yang
dapat diterima. Menentukan siapa kita termasuk apa dan bagaimana kita harus
berperilaku dalam situasi tertentu; (3) Identitas individu, relasional dan komunal.
Identitas individu mengacu pada interpretasi individu terhadap identitas budayanya,
yang didasarkan pada pengalamannya sendiri. Ini termasuk memahami berbagai
tingkat perbedaan dan persamaan di antara anggota kelompok. Identitas relasional
mengacu pada hubungan antar orang. Ada norma-norma untuk perilaku yang sesuai
dalam kontak relasional, yang terjadi misalnya antara teman, kolega, rekan kerja atau
32
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
tetangga. Harapan untuk perilaku berbeda-beda sesuai dengan jenis interaksi, situasi
dan topik. Identitas komunal diidentifikasi dengan mengamati kegiatan kelompok,
ritual, ritus, dan perayaan liburan kelompok. Anggota kelompok menggunakan
keanggotaan budaya untuk menjaga komunitas satu sama lain. Contoh upacara adalah
pembaptisan, wisuda dan pernikahan. Kebaktian informal termasuk seperti salam,
cuti, pujian, dan pertukaran hadiah; (4) Aspek identitas yang abadi dan berubah.
Identitas budaya dapat berubah karena beberapa jenis faktor yang memengaruhi
sekelompok orang. Faktor-faktor ini dapat bersifat sosial, politik, ekonomi atau
kontekstual (Irmeli Luoma, 2005).
Pada penelitian ini, hubungan interaktif yang disoroti adalah pengaruh timbal
balik antara penduduk pendatang (Jawa-Muslim) dengan penduduk asli (Bali-Hindu).
Hubungan interaktif ini erat kaitannya dengan relevansi keterlibatan identitas
budaya/etnis dengan identitas situasional yang mempengaruhi cara masing-masing
individu memandang diri mereka sendiri. Penelitian ini melihat indikator identitas
budaya apa saja yang terlihat, serta faktor-faktor apa yang memberikan dampak pada
komunikasi harmoni antara penduduk pendatang (Jawa-Muslim) dengan penduduk
asli (Bali-Hindu). Indikator identitas budaya terseput meliputi: (1) pernyataan dan
anggapan; (2) mode ekspresi; (3) identitas individu, relasional dan komunal; serta (4)
aspek identitas yang abadi dan berubah.
Ada sejumlah teori yang memainkan peran berpengaruh dalam membentuk
pemahaman identitas (budaya). Teori-teori ini disurvei berdasarkan pendekatan
mereka berasal, termasuk teori komunikasi identitas, teori manajemen identitas, teori
kontrak budaya, teori asimilasi adaptasi lintas budaya, teori kultural, teori identitas
budaya, teori ras kritis, dan teori postkolonial. Untuk setiap teori, asal usul singkat
diberikan dengan penekanan pada konsep-konsep kunci yang berkaitan dengan
identitas budaya. Pada penelitian ini, pendekatan komunikasi identitas budaya
interpretif dengan teori negosiasi identitas.
33
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
34
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
35
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
36
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
37
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
38
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
39
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
40
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
41
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
membantu memahami “nilai” yang ada. Jika “nilai” tersebut gagal dipahami
dan tidak terwujud kesepakatan bersama, maka akan memicu konflik di antara
pihak-pihak yang terkait. Menurut pandangan yang diuraikan dalam artikel
ini, kasus-kasus konflik budaya dan intrusi bentuk-bentuk kehidupan tidak
dapat dibandingkan dengan kasus-kasus kepercayaan yang langsung
diperbaiki. Nordby berpendapat bahwa cara hidup yang rusak, secara intim
mempengaruhi identitas pribadi individu. Jika seseorang menghancurkan
dasar eksistensi yang dimiliki sekelompok orang, maka secara harfiah ia juga
telah merusak nilai-nilai pribadi mereka dan akibatnya menjadi bagian dari
diri mereka sendiri.
42
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
43
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
44
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
45
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
dibawa seseorang ke arah konflik” (Oetzel, 1998, hlm. 133). Konflik bisa jadi
bersifat interpersonal, organisasi, berorientasi komunitas, dan atau
antarbudaya (Oetzel dan Ting-Toomey, 2006). Bagaimana kita mendekati
konflik itu adalah gaya konflik kita. Blake dan Mouton (1964) membagi gaya
konflik menjadi lima jenis:(1) menghindari; (2) kompromi; (3) mendominasi;
(4) mengintegrasikan; dan (5) mewajibkan.
Pendekatan kualitiatif digunakan oleh peneliti dengan mengumpulkan
data di Perancis, Jerman dan Inggris (n ¼ 909) pada tahun 2008. Konflik
diukur menggunakan Ukuran Gaya Konflik Oetzel. Untuk menguji hipotesis
dan menjawab pertanyaan penelitian, model regresi berganda dibangun.
Hasilnya, identifikasi nasional dan agama memiliki pengaruh signifikan
terhadap gaya konflik. Muslim lebih suka kompromi dan mewajibkan gaya
konflik, sedangkan orang Kristen lebih suka gaya yang mendominasi. Prancis
lebih mendominasi daripada Jerman atau Inggris. Interaksi yang signifikan di
antara keduanya mengungkapkan bagaimana agama individu dan identifikasi
nasional mempengaruhi gaya konflik. Di sisi lain, Pengalaman hidup individu
memiliki pengaruh signifikan terhadap pilihan gaya konflik mereka. Hasil di
Perancis, Jerman dan Inggris menunjukkan pengalaman hidup beragam etnis
dan agama yang ada disana.
46
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
47
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
48
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
di Dusun Wanasari, Kelurahan Dauh Puri Kaja, Kecamatan Denpasar Utara, Kota
Denpasar, Bali.
Potential Negative
Outcomes: such as the
search for equality,
withdrawal, anxiety,
Stigmatized reduction of
uncertainty,
Identity stereotypes, prejudice,
racism, power,
ethnocentrism and
culture shock
Experiencing
Building Social Positive
Freedom and
Networks Comparisons
Success
Feeling a Sense of Normalcy: Being understood, being respected, and being affirmatively valued
49