Anda di halaman 1dari 18

SUBJEK KAJIAN, WILAYAH KAJIAN,

DAN FOKUS KAJIAN


KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
SUBJEK KAJIAN: 1. Komunikasi Antarrasial
 Manusia tidak bisa memilih, dia akan dilahirkan dalam RAS tertentu karena sifatnya bawaan. Dalam
masyarakat multikultural, perbedaan RAS menjadi penanda awal yang secara budaya sudah dilabelkan.
 Hambatan-hambatannya, yakni prasangka rasial.
 Perbedaan diperkuat secara sosial dengan prasangka.
 Stereotipe (prasangka /penilaian) yang dibangun dari waktu ke waktu menjadikan setiap kelompok RAS
mempunyai kerangka interpretasi sendiri-sendiri berdasarkan lingkungan rasial dan latar kebudayaan
yang merupakan sumber utama pembentuk kepribadian.
 Miller dan Dollard (dalam Purwasito, 2003) menunjukkan bahwa tingkah-laku manusia itu dipelajari dari
situasi sosialnya.
 Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Rose (1969), colour and citizenship, yang menyatakan bahwa
prasangka tumbuh dan berakar pada kepribadian seseorang. Prasangka bukanlah akibat dari imigrasi,
patologi personal atau kerusakan sosial, tetapi oleh situasi sosial, sejarah masa lalu, stereotipe, dan
etnosentrisme yang menjadi bagian dalam kebudayaan kelompok.
2. Komunikasi Antaretnik
 Kelompok etnis dan minoritas di mana pun saja selalu menemui kesulitan dan hambatan komunikasi
ketika berhadapan dengan kelompok etnis mayoritas.
 Latar belakang hambatan tersebut disebabkan oleh tiga hal, antara lain :
1.Prasangka historis
2.Diskriminasi
3.Perasaan superioritas in-group feeling yang berlebihan dengan menganggap inferior pihak yang lain (out-
group).
 Indonesia adalah masyarakat pluralistik, mempunyai puluhan etnik dan ras, lebih dari 350 dialek bahasa.
Kelompok-kelompok masyarakat, baik yang homogen maupun yang heterogen tersebut terintergrasi
secara politik dalam wilayah yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
 Dalam spirit Pancasila terkandung aspek religius, menjunjung tinggi kesederajatan pada setiap orang
dalam segala hal tanpa pandang bulu.
 Semangat dan kemauan untuk hidup bersama, menjalankan amanat musyawarah untuk mencapai mufakat
menuju masyarakat yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dasar negara menjadi payung utama
yang diterjemahkan lewat berbagai sosialisasi, misalnya: melalui dunia pendidikan.
2. Komunikasi Antaretnik
 Dalam jangka panjang, sosialisasi yang terus-menerus lewat dunia pendidikan menjadi investasi strategis bagi
pengembangan wawasan bangsa.
 Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa berbagai komunitas yang bhineka mampu mengikatkan diri sebagai
bangsa karena faktor kebersamaan dan keinginan secara sukarela untuk hidup bersama.
 Hidup bersama dalam satu negara Indonesia dapat dijalani secara alami dengan beberapa syarat seperti yang
terkandung dalam Pancasila, antara lain :
1.Mengembangkan kesederajatan dan menghapuskan diskriminasi.
2.Memupuk rasa solidaritas nasional dengan cara membiasakan diri dalam kehidupan kebersamaan berdasarkan
pencapaian kebutuhan dan kepentingan yang sama.
3.Mendorong terjadinya pembauran secara alamiah sehingga mampu mengatasi perbedaan budaya, in-group dan
out-group feeling. In group adalah kelompok sosial tempat individu mengidentifikasi dirinya sendiri sedangkan out
group adalah kelompok sosial yang dianggap individu sebagai lawan dari in group-nya
 Dengan kata lain, komunikasi multikultural mensosialisasikan ide-ide pluralitas dengan bahasa budaya.
3. Komunikasi Antaragama
 Dalam masyarakat Indonesia yang mengakui enam agama, yakni:Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu,
Budha, dan Khong Hu Cu (Konfusius) memberi tempat yang luas bagi warga negaranya untuk
mengembangkan diri berdasarkan landasan agamanya.
 Secara teoretis, umat beragama bersifat inklusif, yaitu rasa ikut saling memiliki dalam situasi kelompok dengan
dasar kebutuhan saling memuaskan antarmereka
 Untuk menghindarkan adanya konflik antaragama, interaksi dan komunikasi antarkelompok agama perlu
diselenggarakan secara terbuka lewat perilaku sosial yang akomodatif.
 Stogdill menyebutkan bahwa suatu sistem interaksi yang terbuka akan membantu integritas dalam kelompok,
menguatkan moral kelompok untuk bertindak dan berinteraksi, serta menguatkan harapan-harapan untuk
mencapai tujuan tertentu.
 Dalam hal ini, “bendera” agama atau aliran kepercayaan tidak dapat dipergunakan sebagai simbol interaksi
untuk menghindari perbenturan perbedaan konsep religius dan sentimen keagamaan yang tajam.
 Jadi, tema-tema kemanusiaan, seperti: hak-hak asasi manusia, solidaritas sosial, pelacuran, perdamaian, dan
berbagai penyakit masyarakat lainnya merupakan tema-tema yang perlu dikembangkan dalam proses interaksi
dan komunikasi antaragama.
4. Komunikasi Antarkelas
 Dalam masyarakat multikultural, kehidupan makin kompleks dan tuntutan individu meningkat, baik kualitas
maupun kuantitasnya, seperti: perbaikan gaji, perbaikan kesehatan, tuntutan kesejahteraan lebih baik, pendidikan
yang memadai, lapangan kerja yang cukup, harga yang relatif rendah.
 Untuk mencapai peningkatan kualitas hidup dari setiap individu atau kelompok dengan individu dan kelompok
lain dalam masyarakat multikultural, maka pertentangan tidak dapat dihindari dan ketidaksetaraan (inequalitas)
juga semakin menguat.
 Dalam kelas sosial, memang tidak sepenuhnya ada pembatas yang jelas seperti tembok sosial yang tidak bisa
ditembus. Secara tipikal, kelas sosial lebih cair ketimbang kasta dan tidak ada pembatas formal. Bahkan, setiap
orang secara bebas melakukan mobilitas ke atas atau ke bawah.
 Sosiolog Amerika Erik Olin Wriht mencoba membuat suatu kesimpulan tentang dunia multikultur berbasis
kapasitas, setidaknya ada tiga hal, yaitu:
1.Kontrol terhadap investasi dan kapital.
2.Kontrol terhadap produksi, seperti tanah, pabrik, dan kantor.
3.Kontrol terhadap kekuatan buruh.
5. Komunikasi Antargender
 Dalam masyarakat, ketidakseimbangan hubungan antara laki-laki dan perempuan, antara orang tua dan orang
muda disebabkan oleh adanya pandangan yang berbeda tentang dunia.
 Dalam perspektif gender, tampak bahwa peran laki-laki lebih dominan ketimbang peran yang dimainkan oleh
wanita. Definisi ini jelas memberikan landasan berpikir tentang pendefinisian sosial budaya tentang hak dan
kewajiban laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dan bukan perbedaan kelamin (sex).
 Komunikasi antargender bukan membicarakan perbedaan kodrati yang menyebabkan komunikasi antarjenis
menjadi suatu hambatan, tetapi hambatan komunikasi antara laki-laki dan perempuan dikarenakan
pendefinisian sosial-budaya.
 Kajian komunikasi antargender lebih menekankan pada karakter yang melekat pada kaum laki-laki dan
perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural.
 Padahal dalam kenyataan sehari-hari, semua karakter laki-laki penuh rasional tapi juga sangat emosional.
Perempuan tidak semua lemah lembut, keibuan, dan penuh emosional, namun juga kuat dan sangat rasional.
 Dengan adanya pembedaan karakter tersebut, muncul ketidakadilan gender sehingga perempuan menjadi
“kanca wingking” (pekerja domestik), yaitu menjalankan pekerjaan yang kedua setelah pekerjaan laki-laki.
Perempuan secara tradisi mengelola rumah tangga yang sedikit banyak menanggung beban kerja domestik
lebih besar dan lama.
WILAYAH KAJIAN
 Menurut Purwasito (2003), wilayah kajiannya dibagi atas beberapa level, antara lain:
1. Level Antarpersonal: partisipan komunikasi terdiri atas dua orang sehingga keduanya melakukan transaksi
tatap muka.
2. Level Kelompok: partisipan komunikasi terdiri atas beberapa orang yang didasarkan atas dasar beberapa
kesamaan mendasar, seperti: adanya persepsi, motivasi, dan tujuan mereka bergabung.
3. Level Organisasi: komunikasi berlangsung dalam level organisasi dan sejauh mana perbedaan latar budaya
berpengaruh dalam proses interaksi antaranggota organisasi, seperti: komunikasi di rumah sakit;
komunikasi di gereja, masjid, wihara; komunikasi di dalam institusi pemerintah dan swasta; komunikasi
dalam organisasi militer; dan juga dalam lembaga akademik.
4. Level Masyarakat: menyelidiki fenomena komunikasi sosial yang merupakan komunikasi antarkelompok
maupun komunikasi antarpersonal, tetapi dalam konteks masyarakat yang luas.
5. Level Internasional: mereka berada pada posisi mewakili bangsa dan negaranya masing-masing.
FOKUS KAJIAN

a. Penyandian
b. Representasi
c. Persepsi
d. Hambatan
e. Prasangka
f. Empati
g. Feedback
a. Penyandian
 Proses penyandian sebagai fokus kajian, bersumber dari norma dan nilai yang bersemayam di jantung kebudayaan.
 Norma dan nilai merupakan perbendaharaan para partisipan komunikasi sehingga komunikasi adalah manifestasi dari
budaya masyarakatnya.
 Dengan demikian, proses penyandian yang dilakukan oleh partisipan komunikasi sangat tergantung dari persepsi,
kepribadian, kerangka berpikir, dan perbendaharaan pengalaman yang dimiliki oleh masing-masing partisipan.
 Konsekuensi logis dari proses penyandian adalah kemampuan mengadopsi dan menggunakan simbol serta
perbendaharaan atau referensi simbol yang dimiliki oleh komunikator dan komunikan.
 Dengan kata lain, interpretasi simbolik dalam proses penyandian komunikasi menjadi fokus kajian penting dalam
studi ini.
 Lewat proses penyandian oleh sumber, pemaknaan simbol dalam kajian ini berlandaskan referensi atau sumber budaya
masing-masing kelompok.
 Samovar dan Porter menganggap bahwa budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif
dan makna yang dimiliki setiap orang.
b. Representasi

 Representasi merupakan proses sosial tentang keterwakilan,


produk proses sosial kehidupan yang berhubungan dengan
pewujudan.
 Sebagai fokus kajian, representasi adalah uraian tentang
bagaimana keterwakilan suatu budaya masyarakat lewat simbol-
simbol yang diproduksi dalam proses komunikasi dan makna-
makna yang dibangun lewat proses tersebut.
c. Persepsi

 John R. Wienburg dan W. Wilmot menyatakan persepsi adalah cara memberi makna.
 Rudolph F. Verderber dan J. Cohen menafsirkan persepsi adalah informasi atau inderawi.
 Setiap indvidu secara natural mempunyai persepsi yang berbeda sehubungan dengan
kepribadiannya.
 Dalam konteks ini, fokus kajian komunikasi multikultural, diarahkan untuk
mengemukakan emosional atau para partisipan komunikasi.
 Asumsinya bahwa salah pengertian dalam tindak komunikasi antarkultur disebabkan
oleh adanya perbedaan persepsi.
 Persepsi menjadi faktor determinan dalam komunikasi sehingga komunikasi
multikultural diarahkan pula untuk mempelajari karakter atau mental orang dalam tindak
komunikasi.
d. Hambatan

a.Hambatan Semantik adalah hambatan bahasa, karena


bahasa merupakan sarana utama terjadinya komunikasi.
b.Hambatan yang bersumber dari perbedaan latar belakang
budaya pada umumnya, seperti perbedaan dalam status
sosial ekonomi, perbedaan usia, jenis kelamin, ras dan
etnis, perbedaan golongan, perbedaan norma dan nilai,
kepercayaan dan tradisi serta agama.
e. Prasangka
 Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, baik dalam dan luar negeri, mencatat bahwa faktor yang dapat memicu
munculnya konflik di aras lokal yang berkepanjangan, baik yang terjadi antara penguasa dengan rakyat dan antara
rakyat yang berbeda suku, agama, dan golongan adalah:
a. Adanya dendam yang menumpuk lama akibat penindasan oleh penguasa atau kelompok tertentu.
b. Adanya konflik antarelite nasional atau antarelite lokal yang kemudian mengundang campur tangan pihak luar, baik di
kalangan sipil maupun militer ke aras lokal.
c. Adanya kekhawatiran dan pertarungan untuk menguasai sumber daya alam lokal dan posisi kepemimpinan lokal
(regional) yang dilakukan antarelite lokal/nasional dan antarkelompok masyarakat yang berbeda suku, agama, atau
golongan.
d. Adanya kekhawatiran dan pertarungan yang dipacu oleh adanya pelaksanaan UU NO 22/1999 tentang otonomi daerah
dan UU NO 25/1999 tentang Pengembangan Keuangan Pusat dan Daerah.
e. Tidak adanya saluran yang andal bagi rakyat yang tertindas dan tereksploitasi, baik tenaga maupun sumber-sumber lain.
Hal ini dapat memicu munculnya kekerasan, baik dari pihak rakyat maupun penguasa. Untuk itulah, diperlukan cara-cara
negosiasi badan-badan perantara, badan-badan arbitrase, atau badan-badan mediasi yang independen dan netral.
f. Sampai taraf tertentu, pertarungan juga disebabkan oleh adanya dominasi dari satu kelompok terhadap kelompok lain.
f. Empati

 Empati sebagai fokus kajian komunikkasi multikultural merupakan suatu


penyelidikan untuk mengetahui bagaimana perbedaan dan hambatan kultural yang
dapat diatasi dengan cara menempatkan diri pada posisi lawan bicara (empati).
 Empati memang bukan sebagai satu-satunya cara yang paling efektif untuk
mengatasi hambatan komunikasi, karena masih banyak cara lain untuk mengatasi
hambatan komunikasi yang disebabkan oleh faktor perbedaan latar sosial budaya.
 Simpati harus digunakan pula sebagai cara untuk mengatasi hambatan yang
diterjemahkan oleh Bennet sebagai cara “menempatkan diri kita secara imajinatif
dalam posisi orang lain”.
 Dengan kata lain, cairnya hambatan budaya adalah dengan cara menciptakan
kesamaan yang sesungguhnya.
g. Feedback

 Feedback publik adalah fokus kajian yang mempersoalkan bagaimana masyarakat memengaruhi
ideologi media.
 Ideologi sebagai cara berpikir yang mencirikan seseorang maupun kelompok, terutama bentukan dari
landasan sistem ekonomi, politik, dan ide keberpihakan.
 Berangkat dari kerangka berpikir fokus kajian feedback publik media, yang berkaitan dengan kajian
komunikasi multikultural adalah menyangkut persoalan:
1. Penelitian yang mempersoalkan bagaimana media sebagai produktor simbol-simbol memilih
peristiwa, memprioritaskan fakta-fakta, mengambil fokus fenomena multikultur ke dalam format
publikasi.
2. Penelitian yang mempersoalkan bagaimana institusi media merepresentasikan fakta, peristiwa, dan
fenomena masyarakat multikultur ke dalam simbol-simbol pesan komunikasi.
3. Penelitian yang mempersoalkan bagaimana simbol-simbol tersebut dibangun dari budaya masyarakat.
g. Feedback
 Media massa (termasuk media sosial) secara langsung terlibat dalam konstruksi peradaban, misalnya: lewat
publikasi wacana kelas, kekuasaan, dan dominasi.
 Fokus kajian ideologi media menurut Purwasito (2003) sebagai berikut:
1. Bagaimana masyarakat multikultur mendukung media massa atas perannya sebagai agen perubahan atau
melakukan resistensi karena media massa dianggap menempatkan dirinya sebagai agen kekacauan.
2. Seberapa besar keberpihakan media massa terhadap aspirasi masyarakat multikultur sehingga mampu
mengurangi ketidakpastian atau seberapa besar tanpa keberpihakan media massa yang justru menambah
kebingungan masyarakat.
3. Sejauhmana media massa merespon feedback tuntutan masyarakat multikultur dengan kualitas hasil yang
membangun ikilm kondusif di masyarakat, seperti kebebasan berekspresi mengeluarkan pendapat dan berserikat.
4. Seberapa kuat kemampuan media massa menyerap aspirasi masyarakat untuk ikut serta meredam dan
menyelesaikan, setidaknya bisa mendinginkan konflik, pertikaian, serta membangun perdamaian sosial di
masyarakat.
 Jadi, analisis feedback publik dapat menggunakan analisis media, seperti: analisis wacana dan analisis tanda.
Teks media dapat digunakan sebagai unit analisis untuk fokus kajian feedback publik, yaitu kontribusi publik
terhadap ideologi media serta sejauhmana ideologi media menyumbangkan integrasi sosial masyarakat
Wasalamu’alaikum...

Anda mungkin juga menyukai