Anda di halaman 1dari 16

iii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merpakan negara kepulauan dengan wilayah territorial sangat luas
dan sekaligus merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Hal
tersebut Nampak dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu
beragam. Indonesia memiliki kurang lebih 13.000 pulau besar dan kecil dengan
populasi penduduk lebih dari 200 bahasa yang berbeda. Selai itu mereka juga
menganut kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen, Protestan,
Hindu, Budha, Khonghucu serta berbagai macam arilan kepercayaan (Yaqin ,2005
;4) selain hal tersebut keragaman latar belakang rakyat indonesia juga Nampak
pada berbagai unsur sosial yang lain, khususnya dalam hal kebudayaan. Tingginya
tingkat keragaman budaya dalam masyarakat menunjukan bawa di indonesia
terdapat banyak sub kebudayaan atau kultur yang berkembang di suatu wilayah
indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu saja Problema Budaya di Indonesia (Penyakit-penyakit budaya di
masyarakat) ?
2. Bagaimana dengan kasus-kasus Multikultural di dunia?
3. Apa pendekatan Multikultural dapat dilakukan sebagai resolusi konflik?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui apa saja penyakit-penyakit budaya di Indonesia
2. Agar kita dapat mengetahui kasus-kasus Multikultural yang terjadi di dunia
3. Untuk mengetahui pendekatan Multikultural sebagai resolusi konflik

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Problema Budaya di Indonesia (Penyakit-penyakit budaya di masyarakat)

Pengertian kebudayaan secara terminologi adalah Cultuur (bahasa Belanda),


Culture (bahasa Inggris), Colere (bahasa Latin), yang berarti mengolah,
mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan. Dari segi artikulasi, culture
berkembang sebagai daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah,
dalam artian memanfaatkan potensi alam. Dilihat secara bahasa Indonesia,
kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yaitu bentuk jamak dari
buddhi yang berarti akal dan daya yang berarti kekuatan.

Misalnya, soal pakaian, dahulu orang-orang memakai daun-daunan sebagai


pakaian sehari-hari, kemudian kulit kayu, kulit binatang, anyaman dan serat.
Selanjutnya, seiring majunya teknologi, orang sudah bisa menenun pakaian
dengan tangan, dan pada akhirnya timbul mesin tenun. Contoh lain dalam soal
bahasa misalnya, sifat komunikatif kebudayaan tampak jelas, mulai dari beragam
dialek bahasa yang dimiliki satu daerah dengan daerah lainnya, mempunyai ciri
khas masing-masing sebagai identitas kebudayaan tertentu.

Masyarakat Indonesia yang majemuk, memiliki banyak keberagaman suku


budaya, ras dan kesetaraan derajat dalam berbudaya. Hal ini perlu dicermati
apabila membahas masalah tentang kebudayaan yang sangat kompleks, sebagai
suatu kenyataan dan kekayaan dari bangsa. Keragaman masyarakat Indonesia
merupakan ciri khas yang membanggakan. Namun demikian, keragaman tidak
serta-merta menciptakan keunikan, keindahan, kebanggaan, dan hal-hal yang
baik lainnya. Keberagaman masyarakat memiliki ciri khas yang suatu saat bisa
berpotensi negatif bagi kehidupan bangsa tersebut. Van de Berghe sebagaimana
dikutip oleh Elly M. Setiadi menjelaskan bahwa masyarakat majemuk atau
masyarakat yang beragam selalu memiliki sifat-sifat dasar sebagai berikut:

a) Terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang seringkali


memiliki kebudayaan yang berbeda.
5
b) Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga
yang bersifat nonkomplementer.
c) Kurang mengembangkan konsensus diantara para anggota masyarakat
tentang nilai-nilai sosial yang bersifat mendasar.
d) Secara relatif, sering kali terjadi konflik diantara kelompok yang satu
dengan yang lainnya.
e) Secara relatif, integrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan saling
ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
f) Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok terhadap kelompok yang
lain.

Berdasarkan hal di atas, keragaman masyarakat berpotensi menimbulkan


segmentasi kelompok, struktural yang terbagi-bagi, konsensus yang lemah,
sering terjadi konflik, integrasi yang dipaksakan, dan adanya dominasi kelompok.
Tentu saja potensi demikian adalah potensi yang melemahkan gerak kehidupan
masyarakat. Keberagaman adalah modal berharga untuk membangun Indonesia
yang multikultural. Namun, kondisi tersebut juga berpotensi memecah belah dan
menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Di tingkat permukaan,
efek negatif tersebut muncul dalam bentuk gesekan-gesekan, pertentangan, dan
konflik terbuka antar kelompok masyarakat.

Pertikaian antar kelompok masyarakat Indonesia sering terjadi, bahkan di era


reformasi sekarang ini. Konflik tersebut bisa terjadi pada antar kelompok agama,
suku, daerah, bahkan antar golongan politik. Beberapa contoh, misalnya konflik
Ambon tahun 1999, pertikaian di Sambas tahun 2000, dan konflik di Poso tahun
2002. Konflik atau pertentangan sebenarnya terdiri atas dua fase, yaitu fase
disharmoni dan fase disintegrasi. Fase disharmoni menunjuk pada adanya
perbedaan pandangan tentang tujuan, nilai, norma, dan tindakan antar kelompok.
Fase disintegrasi merupakan fase di mana sudah tidak dapat lagi disatukannya
pandangan nilai, norma, dan tindakan kelompok yang menyebabkan pertentangan
antar kelompok.

Disharmonisasi dan konfik horizontal yang terjadi di Indonesia sesungguhnya


bukan disebabkan oleh adanya perbedaan atau keragaman. Bertikai dengan pihak
lain, tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok
masyarakat dan budaya lain ini lah yang menjadi pemicu konflik. Oleh karena
itu, dibutuhkan adanya kesadaran untuk menghargai, menghormati, serta
menegakkan prinsip kesetaraan atau kesederajatan antar masyarakat tersebut.
Masing-masing warga daerah bisa saling mengenal, memahami, menghayati, dan
bisa saling berkomunikasi.

Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan


pemahaman antar budaya dan masyarakat adalah sedapat mungkin
dihilangkannya penyakit-penyakit budaya. Penyakit-penyakit inilah yang
ditengarai bisa memicu konflik antar kelompok masyarakat di Indonesia. Adapun
beberapa hal yang menyebabkan konflik dan disintegrasi adalah ethnosentrisme,
stereotip, prasangka buruk, rasisme, diskriminasi, dan scape goating (kambing
hitam).
Konflik bukan untuk dimusuhi, tapi dikelola secara arif dan
bijaksana.Masingmasing individu yang terlibat dalam konflik perlu menjernihkan
pikiran dan hati dari prasangka, stereotipe, etnosentrisme, rasisme
dandiskriminasi dan scape goating terhadap pihak lain. Karena pemahaman
terhadap adanya penyakit budaya tersebut merupakan kunci utama dalam proses
resolusi dan manajemen konflik. Negara ini membutuhkan solusiyang
memuaskan dalam menghadapi ancaman konflik dan separatismedaerah-daerah
yang lebih sering disebabkan oleh tumbuh berkembangnya berbagai penyakit
budaya seperti prasangka, stereotipe, etnosentrisme,rasisme dan diskriminasi ini ;
1. Prasangka
Definisi klasik prasangka pertama kali dikemukakan oleh psikholog dari
Universitas Harvard, Gordon Allport yang menuliskonsep itu dalam bukunya,
The Nature of Prejudice pada tahun1954. Istilah ini berasal dari praejudicium,
yakni pernyataan ataukesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau
pengalamanyang dangkal terhadap orang atau kelompok tertentu. Menurut
Allport, “Prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau
tidak luwes. Antipati itu dapat dirasakan ataudinyatakan. Antipati itu bisa
langsung ditujukan kepada kelompok atau individu dari kelompok tertentu.”
Allport memang sangat menekankan antipati bukan sekedar antipati pribadi
tetapi antipatikelompok. Johnson (1986) mengatakan prasangka adalah sikap
positif atau negatif berdasarkan keyakinan stereotipe kita tentanganggota dari
kelompok tertentu. Prasangka meliputi keyakinanuntuk menggambarkan jenis
pembedaan terhadap orang lain sesuaidengan peringkat nilai yang kita berikan.
Prasangka yang berbasisras kita sebut rasisme, sedangkan yangberbasis etnis
diebutetnisisme.Menurut John (1981) prasangka adalah sikap antipati yang
berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah dan tidakfleksibel.
Kesalahan ini mungkin saja diungkapkan secara langsungkepada orang yang
menjadi anggota kelompok tertentu. Prasangkamerupakan sikap negatifyang
diarahkan kepada seseorang atasdasar perbandingan dengan kelompoknya
sendiri. Jadi prasangkamerupakan salah satu rintangan atau hambatan bagi
kegiatankomunikasi karena orang yang berprasangka sudah bersikap curiga

dan menentangkomunikator yang melancarkan komunikasi.Dalam prasangka,


emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulanatas dasar prasangka buruk tanpa
memakai pikiran dan pandangankita terhadap fakta yang nyata. Karena itu, bila
prasangka sudahmenghinggapi seseorang, orang tidak dapat berpikir logis
danobyektif dan segala apa yang dilihatnya akan dinilai secara negatif.Kata
Allport, prasangka negatif terhadap etnik merupakansikap antipati yang dilandasi
oleh kekeliruan atau generalisasi yangtidak fleksibel, hanya karena perasaan
tertentu dan pengalamanyang salah. Karena itu, sejak dulu sampai sekarang,
pengertian prasangka telah mengalami transformasi. Pada, mulanya
prasangkamerupakan pernyataan yang hanya didasarkan pada pengalamandan
keputusan yang tidak teruji terlebih dahulu. Pernyataan itu bergerak pada skala
kontinum seperti suka/tidak suka ataumendukung/tidak mendukung terhadap
sifatsifat tertentu (Liliweri,201). Sekarang pengertian prasangka lebih diarahkan
pada pandangan emosional dan negatif terhadap seseorang atausekelompok orang
dibandingkan dengan kelompok sendiri.Definisi Allport ini disanggah oleh
psikholog TheodoreAdorno. Adorno yang menciptakan teori pribadi
otoriter(authoritarian personality) mengemukakan melalui riset atas polarasisme
yang dilakukan di wilayah selatan AS. Ia menemukan bahwa pola-pola rasisme
munculdari kepribadian otoriter. Jadi pada dasarnya prasangka merupakan salah
satu tipe kepribadian.Dengan demikian, kita tidak perlu mempermasalahkan
tindakanrasisme karena tindakan itu muncul dari pribadi berprasangka(prejudiced
persons) yang diwarisi dari proses sosialisasi. Dari beberapa pengertian diatas,
dapat disimpulkan bahwa prasangkamengandung sikap, pengertian, keyakinan
dan bukan tindakan. Jadi prasangka tetap ada di pikiran, sedangkan diskriminasi
mengarahke tindakan sistematis. Kalau prasangka berubah menjadi Tindakan
yata, maka prasangka sudah berubah menjadi diskriminasi yaitutindakan
menyingkirkanstatus dan peranan seseorang darihubungan, pergaulan, dan
komunikasi antar manusia. Secara umumkita dapat melihat prasangka
mengandung tipe afektif (berkaitandengan perasaan negatif), kognitif (selalu
berpikir tentang suatustereotipe) dan konasi (kecenderungan perilaku
diskriminatif).Prasangka didasarkan atas sebab-sebab seperti generalisasi yang
keliru pada perasaan,- stereotipe antaretnik,- kesadaran “in group” dan “out
group” yaitu kesadaran akan ras “mereka” sebagai kelompok lain yang berbeda
latar belakang kebudayaan dengan “kami”.
2. Stereotipe
Stereotipe merupakan salah satu bentuk prasangka antar etnik/ras. Orang
cenderung membuat kategori atas tampilan karakteristik perilaku orang lain
berdasarkan kategori ras, jeniskelamin, kebangsaan, dan tampilan kounikasi
verbal maupun nonverbal. Stereotipe merupakan salah satu bentuk utama
prasangka yang menunjukkan perbedaan “kami” (in group) yang selalu di kaitkan
dengan superioritas kelompok in group dan yang cenderung mengevaluasi orang
lain yang dipandang inferior yaitu ”mereka” (out group). Stereotipe adalah
pemberian sifat tertentu terhadap seseorang berdasarkan kategori yang bersifat
subyektif, hanyakarena dia berasal dari kelompok yang lain. Pemberian sifat itu
bisa sifat positif maupun negatif. Verdeber (1986) menyatakan bahwa stereotipe
adalah sikap dan juga karakter yang dimiliki seseorang dalam menilai
karakteristik, sifat negatif maupun positif orang lain, hanya berdasarkan
keanggotaan orang itu pada kelompok tertentu. Sebagaimana halnya dengan
sikap, stereotipe memiliki valensi dari positif hingga negatif atas sesuatu yang
disukai/tidak (favorability). Allan G. Johnson (1986) menegaskan bahwa
stereotipe adalah keyakinan seseorang untuk menggeneralisasikan sifat-sifat
tertentu yang cenderung negative tentang orang lain karena dipengaruhi oleh
pengetahuan dan pengalaman tertentu. Keyakinan ini menimbulkan penilaian
yang cenderung negatif atau bahkan merendahkan kelompok lain. Ada
kecenderungan untuk memberi “label” atau cap tertentu pada kelompok tertentu
dan yang termasuk problem yang perlu diatasiadalah stereotipe yang negatif atau
memandang rendah kelompoklain. Misalnya, seseorang dari suku tertentu
diberi“label”, pandai bicara untuk orang dari daerah Batak. Seseorang
menyimpulkan ini karena dari pengalaman dia mengetahui bahwa
merekamemang banyak bicara. Ditambah dengan pengetahuan yang diadapatkan
dari televisi yang memperlihatkan bahwa sebagian besarmengacara yang terkenal
di Indonesia dan sering muncul dari pemberitaan di televisi itu ternyata berasal
dari orang Batak. Kita menggeneralisasikan secara salah dari informasi terbatas
yang ada pada kita. Untuk mengatasi masalah ini adalah kita perlu memberi
informasi yang benar dan lebih komprehensif tentang sesuatu hal sehingga
stereotipe semacam ini tidak tumbuh. Di dalam menghadapi fenomena budaya
yang ada di tanah air ini, kita perlumemberi informasi yang benar tentang
berbagai hal yang berkaitan dengan suku, ras, agama dan antar golongan.
Seringkali,keberadaan individu dalam suatu kelompok telah dikategorisasidan
digeneralisasi.Miles Hewstone dan Rupert Brown (1986) mengemukakantiga
aspek esensial dari stereotipe:a. karakter atau sifat tertentuyang berkaitan dengan
perilaku, kebiasaan berperilaku, gender dan etnis. Misalnya
a. wanita Priangan itu suka bersolek,
b. bentuk atau sifat perilaku turun temurunsehingga seolah-olah melekat pada
semua anggota kelompok. Misalnya orang Ambon itu keras.
c. penggeneralisasian karakteristik, ciri khas, kebiasaan, perilaku kelompok
pada individu yang menjadi anggotakelompok tersebut.
3. Etnosentrisme
Etnosentrisme merupakan paham paham yang pertama kalidiperkenalkan oleh
William Graham Sumner (1906), seorang antropolog yang beraliran
interaksionisme.Sumner berpandangan bahwa manusia pada dasarnya
individualistis yang cenderung mementingkan diri sendiri, namun karena harus
berhubungan dengan manusia lain, maka terbentuklah sifat hubungan yang
antagonistik (pertentangan). Supaya pertentangan itu dapat dicegah, perlu ada
folkways (ada tkebiasaan) yang bersumber pada pola-pola tertentu. Mereka yang
mempunyai folkways yang sama cenderung berkelompok dalam suatu kelompok
yang disebut etnis. Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menetapkan
semua norma dan nilai budaya orang lain dengan standar budayanya sendiri.

4. Rasisme
Kata ras berasal dari bahasa Perancis dan Italia “razza”. Pertama kali istilah
ras diperkenalkan Franqois Bernier, antropolog Perancis, untuk mengemukakan
gagasan tentang pembedaan manusia berdasarkan kategori atau karakteristik
warna kulit dan bentuk wajah. Setelah itu, orang lalu menetapkan hierarkhi
manusia berdasarkan karakteristik fisik atas orang Eropa berkulit putih yang
diasumsikan sebagai warga masyarakat kelas atas berlawanan dengan orang
Afrika yang berkulit hitam sebagaiwarga kelas dua. Atau ada ideologi rasial yang
berpandangan ahwa orang kulit putih mempunyai misi suci untukmenyelamatkan
orang kulit hitam yang dianggap sangat primitif.Hal tersebut berpengaruh
terhadap stratifikasi dalam berbagai bidang seperti bidang sosial, ekonomi,
politik, di amanaorang kulit hitam merupakan subordinasi orang kulit putih. Ras
sebagai konsep secara ilmiah digunakan bagi “penggolongan manusia” oleh
Buffon, anthropolog Perancis, untuk menerangkan penduduk berdasarkan
pembedaan biologis sebagai parameter.Pada abad 19, para ahli biologi membuat
klasifikasi ras atas tigakelompok, yaitu Kaukasoid, Negroid dan Mongoloid.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada ras yang benar-benar murni lagi.
Secara biologis, konsep ras selalu dikaitkan dengan pemberian karaktersitik
seseorang atau sekelompok orang kedalam suatu kelompok tertentu yang secara
genetik memilikikesamaan fisik seperti warna kulit, mata, rambut, hidung, atau
potongan wajah.Pembedaan seperti itu hanya mewakili faktor tampilan luar. Nah
sekarang, carilah ciri-ciri kelompok Kaukasoid, Negroid danMongoloid.
Kemudian cari contohnya. Mana negara yangmayoritas penduduknya memiliki
ciri-ciri ketiga kelompok itu.Karena tidak ada ras yang benar-benar murni, maka
konseptentang ras seringkali merupakan kategori yang bersifat non- biologis. Ras
hanya merupakan konstruksi ideologi yangmenggambarkan gagasan rasis. Secara
kultural, Carusmenghubungkan ciri ras dengan kondisi kultural. Ada empat
jenisras: Eropah, Afrika, Mongol dan Amerika yang berturut-turutmencerminkan
siang hari (terang), malam hari (gelap), cerah pagi(kuning) dan sore (senja) yang
merah. Namun konsep ras yang kita kenal lebih mengarah padakonsep kultural
dan merupakan kategori sosial, bukan biologis Montagu, m
embedakan antara “ide sosial dari ras” dan “ide biologis dari ras”. Definisi
sosial berkaitan dengan fisik dan perilaku sosial.
5. Diskriminasi
Jika prasangka mencakup sikap dan keyakinan, makadiskriminasi mengarah
pada tindakan. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan oleh orang yang
memiliki prasangka kuatakibat tekanan tertentu, misalnya tekanan budaya, adat
istiadat,kebiasaan, atau hukum. Antara prasangka dan diskriminasi adahubungan
yang saling menguatkan, selama ada prasangka, di sanaada diskriminasi. Jika
prasangka dipandang sebagai keyakinan atauideologi, maka diskriminasi adalah
terapankeyakinan atau ideologi.Jadi diskriminasi merupakan tindakan yang
membedabedakan dankurang bersahabat dari kelompok dominan terhadap
kelompoksubordinasinya.
6. Kambing Hitam (Scape Goating)
Teori kambing hitam (scape goating) mengemukakan kalua individu tidak bisa
menerima perlakuan tertentu yang tidak adil,maka perlakuan itu dapat
ditanggungkan kepada orang lain. Ketika terjadi depresi ekonomi di Jerman,
Hitler mengkambing hitamkan orang Yahudi sebagai penyebab rusaknya sistem
politik danekonomi di negara itu. Ada satu pabrikdi Auschwitz, Polandiayang
digunakan untuk membantai hampir 1,5 juta orang Yahudi.Tua muda, besar kecil
laki-laki dan perempuan dikumpulkan.Kepala digunduli dan rambut yang
dikumpulkan mencapai hampir1,5 ton. Rambut yang terkumpul itu akan
dikirimkan ke Jermanuntuk dibuat kain. Richard Chamberlain berteori bahwa
bangsa Aria adalah bangsa yang besar dan mulia yang mempunyai misi suci
untuk membudayakan umat manusia. Bangsa Aria (Jerman) ini merasa bahwa
kekacauan ekonomi dan politik di Jerman ini disebabkan oleh bangsa Yahudi.

2.2 Membahas Kasus-Kasus Multikultural di Dunia

Multikulturalisme secara sederhana dapat diartikan sebagai pengakuan atas


pluralism budaya. Akar dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu
kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan
manusia. Multikulturalisme tidak hanya terjadi di Indonesia saja melainkan
terjadi di berbagai penjuru dunia. Berikut beberapa kasus-kasus
multikulturalisme yang terjadi di dunia:

1) Islamophobia di Perancis
Faktor utama yang melatarbelakangi munculnya Islamofobia di Eropa
dibagi menjadi dua, yaitu: orientalisme barat dan tragedi 9/11 WTC di
Amerika Serikat. Pertama, pemahaman orientalisme barat yang muncul
pada abad ke-18 dan ke-19 yang mengarah pada perspektif subordinasi
non-barat. Lalu, adanya tragedi 11 September 2001 di WTC yang memicu
ketakutan berlebih pada terorisme yang dikaitkan dengan stereotip muslim.
Tahun 2015 merupakan tantangan bagi Multikulturalisme di Prancis.
Dalam 10 bulan, Prancis mengalami dua serangan teroris yang
menewaskan 146 korban. Kedua tragedi itu dilatarbelakangi oleh
islamofobia. Data yang dicatat Collectif Contre L'Islamophobie in France
(CCIF), tiga minggu sejak penyerangan Charlie Hebdo bulan Januari,
terdapat 120 tindak kriminal berdasarkan islamofobia. Begitu pula tragedi
13 November, peristiwa ini membangkitkan reaksi negatif publik terhadap
kaum muslim di Prancis. Dalam laporan tahunan CCIF seperti yang tertera
pada gambar di bawah ini, tindak islamofobia meningkat pesat sebesar
18,5%, dari 764 kasus di tahun 2014 menjadi 905 di tahun 2015. Dan
kasus yang terjadi di akhir tahun 2020 Charlie Hebdo majalah satir
mingguan Perancis mencetak ulang kartun Nabi Muhammad SAW dan
memicu berbagai kecaman dari muslim Perancis maupun muslim dari
berbagai penjuru Dunia.

2) Kasus George Floyd di Amerika


George Floyd (warga berkulit hitam) mungkin menjadi kisah paling kelam
di tahun 2020 karena  Seorang polisi berkulit putih bernama Derek
Chauvin, terekam kamera sebagai polisi yang menaruh lututnya ke leher
Floyd selama beberapa menit. George sendiri saat itu ditangkap dan
diborgol dalam keadaan telungkup atas tuduhan menggunakan uang palsu
di sebuah toko di Minneapolis, Amerika Serikat (AS).  Chauvin menekan
leher Floyd dengan lututnya selama 8 menit 46 detik dan Floyd tidak
bergerak selama 2 menit 53 detik. Floyd meninggal dan hasil dari autopsi
yang dilakukan menunjukkan penyebab kematian Floyd yang berusia 46
tahun tersebut adalah asphyxiation atau sesak napas, yang diakibatkan
tekanan di leher. Pemeriksa medis dalam hasil autopsinya juga
menambahkan, bahwa ‘tekanan pada punggung’ dari polisi lainnya yang
juga menaruh lututnya ke punggung Floyd juga mengganggu pernapasan
Floyd. Amerika Serikat juga mencatat kasus kekerasan berdasarkan warna
kulit terkait hukum terbanyak. Berdasarkan publikasi penelitian American
Journal Health, orang berkulit hitam mendapat kekerasan tiga kali lebih
banyak daripada kulit putih. Dari 100 ribu kasus hukum yang ditangani
polisi sebagai sampel, ada 273 warga kulit hitam yang jadi korban
kekerasan baik berujung cacat fisik maupun meninggal dunia. Sedangkan
hanya 76 orang berkulit putih yang mendapat perlakuan keras aparat.

3) Kasus Muslim Rohingnya


Secara umum orang berpendapat, krisis Rohingya di Myanmar adalah
masalah agama. Tetapi menurut Kepala bidang penelitian pada South Asia
Democratic Forum, Siegfried O Wolf, krisis ini lebih bersifat politis dan
ekonomis. Dari sisi geografis, penduduk Rohingya adalah sekelompok
penganut Muslim yang jumlahnya sekitar satu juta orang dan tinggal di
negara bagian Rakhine. Wilayah Rakhine juga ditempati oleh masyarakat
yang mayoritas memeluk agama Budha.Rakhine dikenal sebagai wilayah
yang kaya akan sumber daya alam. Tetapi hal itu menjadi timpang ketika
pada kenyataannya tingkat kemiskinan di sana ternyata tinggi. Mayoritas
warga Rakhine menilai Rohingya sebagai saingan dalam hal mencari
pekerjaan maupun untuk kesempatan untuk berwirausaha. Dari
permasalahan politik, warga Rakhine merasa jika kaum Rohingya telah
mengkhianati mereka lantaran tidak memberikan suara bagi partai politik
mayoritas penduduk setempat. Hal ini diperburuk oleh sikap pemerintah
Myanmar yang bukannya mendorong rekonsiliasi, tetapi malah
mendukung kelompok fundamentalis Budha. Umat Budha di dunia sendiri
mengutuk kekerasan yang dilakukan kelompok garis keras di Myanmar.
Tahun 2014 lalu, Dalai Lama meminta Umat Budha menghentikan
kekerasan di Myanmar dan Sri Lanka. Di dalam negeri Myanmar, nyaris
tak ada yang membela Muslim Rohingya. Dunia mengutuk pemimpin
Myanmar Aung San Suu Kyi yang diam seribu bahasa soal penindasan di
Rohingya. Nasib Muslim Rohingya pun masih jauh dari kedamaian.
2.3 Pendekatan Multikultural Sebagai Resolusi Konflik

6
BAB III
PENUTUPAN

1.1 Kesimpulan
Setelah uraian di atas, sebagaimana diketahui bahwa saat ini kita sedang
menjalani kehidupan masyarakat yang multicultural. Dalam masyarakat ini,
dibutuhkan orang-orang yang mampu berkomunikasi antar budaya dan punya
pengetahuan tentang perbandingan pola-pola budaya, tentunya harus ada orang
yang mengajarkan dan belajar tentang budaya apalagi berkaitan tentang
komunikasi lintas budaya. Terdapat berbagai ragam macam multikultural yang
ada di belahan dunia khususnya yang ada di Indonesia, baik itu ras, agama, suku,
klan maupun bahasa.

1.2 Saran

7
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu, Sosiologi Pendidikan, Sosiologi Pendidikan, cet. 2, Jakarta: Rineka Cipta,
2007.

Elly M. Setiadi, dkk. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana Prenada Media,
2006), h. 110.

Sutarno, Pendidikan Multikultural, (Jakarta: Proyek PJJ S1 PGSD Direktorat Jenderal


Pendidikan Tinggi, 2007), h. 12.

Anda mungkin juga menyukai