Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai macam
keberagaman yang menjadi ciri khas budaya bangsa. Keberagaman
tersebut dapat kita temukan dalam berbagai bentuk seperti, suku bangsa
dan ras, agama dan keyakinan, ideologi dan politik, tata krama,
kesenjangan ekonomi dan sosial. Namun dari keberagaman tersebut dapat
menjadi salah satu alasan yang dapat membuat suatu bangsa menjadi
terpecah melalui munculnya permasalahan yang diprofokasi oleh berbagai
pihak yang tidak bertanggungjawab.
Agar permasalahan yang timbul tidak semakin besar, maka kita
sebagai manusia yang beradab harus bersikap terbuka dalam melihat
semua perbedaan dalam keragaman yang ada, menjunjung tinggi nilai-nilai
kesopanan dan menjadikan keragaman sebagai kekayaan bangsa, alat
pengikat persatuan seluruh masyarakat dalam kebudayaan yang beraneka
ragam (Setiadi,dkk.2006).
Manusia secara kodrat diciptakan sebagai makhluk yang
mengusung nilai harmoni atau keselarasan. Perbedaan yang mewujud baik
secara fisik ataupun mental, sebenarnya merupakan kehendak tuhan yang
seharusnya dijadikan sebagai sebuah potensi untuk menciptakan sebuah
kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi. Di kehidupan sehari-hari,
kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan agama, bersama-sama dengan
pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, mewarisi perilaku dan
kegiatan kita. Berbagai kebudayaan itu beriringan dan saling melengkapi,
bahkan mampu untuk saling menyesuaikan (fleksibel) dalam kehidupan
sehari-hari. Tetapi sering kali yang terjadi malah sebaliknya. Perbedaan-
perbedaan tersebut menciptakan ketegangan hubungan antar budaya
masyarakat.

1
Salah satu contoh konflik sosial budaya yang terjadi yaitu konflik
antar etnis di Sampit, Kalimantan Tengah dikarenakan benturan budaya
antara Suku Dayak dan Madura. Berbagai konflik antar suku dapat terjadi
karena dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kesalahpahaman,
perbedaan keyakinan, perbedaan pendirian dan perasaan yang ada pada
setiap individu, dan menganggap kelompoknya lebih tinggi dari kelompok
lain.
Dengan saling menghormati antar masyarakat, apabila hal ini
terwujud maka setiap orang akan memiliki perasaan yang sama dan
bahagia karena merasa dihormati sehingga akan muncul rasa saling
menghormati terhadap orang lain. Selanjutnya dengan menjaga kerukunan
masyarakat, walaupun mungkin hal ini sulit terjadi mengingat masyarakat
Indonesia terdiri dari banyak suku yang memiliki ciri watak berbeda-beda
namun akan menjadi mudah apabila sudah terbentuk suatu sikap untuk
saling menjaga dan mempertahankan kerukunan dari dalam diri
masyarakat. Serta dengan berpikir sebelum bertindak, ini penting karena
pasti ada akibat dari sebab.
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa konflik pertikaian antar suku bisa terjadi?
2. Bagaimana dampak pertikaian antar suku terhadap masyarakat?
3. Bagaimana cara mengatasi konflik pertikaian antar suku di Sampit?

2
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Hakikat Keragaman dan Kesetaraan Manusia


1. Makna Keragaman
Keragaman berasal dari kata ragam yang menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) artinya : 1) tingkah laku; 2) macam,
jenis; 3) lagu : musik; langgam; 4) warna, corak, ragi; 5) (ling)
laras (tata bahasa). Sehingga keragaman berarti perihal beragam -
ragam : berjenis - jenis; perihal ragam; hal jenis.
(Herimanto,2017:97)
Keragaman yang dimaksud di sini adalah suatu kondisi dalam
masyarakat di mana terdapat perbedaan – perbedaan dalam
berbagai bidang, terutama suku bangsa dan ras, agama dan
keyakinan, ideologi, adat kesopanan, serta situasi ekonomi.
(Suratman,2010:165)
2. Makna Kesederajatan
Kesederajatan berasal dari kata sederajat yang menurut KBBI
artinya adalah sama tingkatan (pangkat, kedudukan). Dengan
demikian konteks kesederajatan di sini adalah suatu kondisi di
mana dalam perbedaan dan keragaman yang ada manusia tetap
memiliki satu kedudukan yang sama dan satu tingkatan hierarki.
B. Kemajemukan dalam Dinamika Sosial Budaya
Keragaman yang terdapat dalam kehidupan sosial manusia
melahirkan masyarakat majemuk. Majemuk berarti banyak ragam,
beraneka, berjenis – jenis. Konsep masyarakat majemuk (plural
society) pertama kali diperkenalkan oleh Furnivall tahun 1948 yang
mengatakan bahwa ciri utama masyarakatnya adalah berkehidupan
secara berkelompok yang berdampingan secara fisik, tetapi terpisah
oleh kehidupan sosial dan tergabung dalam sebuah satuan politik.
Konsep ini merujuk pada masyarakat Indonesia masa kolonial.

3
Masyarakat Hindia Belanda waktu itu dalam pengelompokkan
komunitasnya didasarkan atas ras, etnik, ekonomi, dan agama.
Masyarakat tidak hanya berkelompok antara yang memerintah dengan
yang diperintah, tetapi secara fungsional terbelah berdasarkan satuan
ekonomi, yaitu antara pedagang Cina, Arab, India, dan kelompok
petani bumi putera. Masyarakat dalam satuan – satuan ekonomi
tersebut hidup pada lokasinya masing – masing dengan sistem
sosialnya sendiri, meskipun berada di bawah kekuasaan politik
kolonial.
Konsep masyarakat majemuk Furnivall di atas, dipertanyakan
validitasnya sekarang ini sebab telah terjadi perubahan fundamental
akibat pembangunan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Usman Pelly (1989) mengategorikan masyarakat majemuk di suatu
kota berdasarkan dua hal, yaitu pembelahan horizontal dan
pembelahan vertikal. (Herimanto,2017:99-100)
Secara horizontal, masyarakat majemuk dikelompokkan
berdasarkan : etnik dan ras atau asal usul keturunan; bahasa daerah;
adat istiadat atau perilaku; agama; pakaian, makanan, dan budaya
material lainnya.
Secara vertikal, masyarakat majemuk dikelompokkan berdasarkan
: penghasilan atau ekonomi, pendidikan, pemukiman, pekerjaan, dan
kedudukan sosial politik. (Herimanto,2017:100)
Unsur – unsur keragaman dalam masyarakat Indonesia :
1. Suku Bangsa dan Ras
Suku bangsa yang menempati wilayah Indonesia
dari Sabang sampai Merauke sangat beragam. Sedangkan
perbedaan ras muncul karena adanya pengelompokkan
besar manusia yang memiliki ciri – ciri biologis lahiriah
yang sama seperti rambut, warna kulit, ukuran – ukuran
tubuh, mata, ukuran kepala, dan lain sebagainya.
2. Agama dan Keyakinan

4
Agama mengandung arti ikatan yang harus
dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan yang dimaksud
berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia
sebagai kekuatan gaib yang tak dapat ditangkap dengan
panca indera. Namun mempunyai pengaruh yang besar
sekali terhadap kehidupan manusia sehari – hari.
Masalah agama tak akan mungkin dapat dipisahkan
dari kehidupan masyarakat. Dalam praktiknya fungsi
agama dalam masyarakat antara lain (Suratman,2010:168-
170) :
a. Berfungsi edukatif : ajaran agama secara
yuridis berfungsi menyuruh dan melarang
b. Berfungsi penyelamat
c. Berfungsi sebagai perdamaian
d. Berfungsi sebagai social control
e. Berfungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas
f. Berfungsi transformatif
g. Berfungsi kreatif
h. Berfungsi sublimatif
3. Ideologi dan Politik
Ideologi ialah suatu istilah umum bagi sebuah
gagasan yang berpengaruh kuat terhadap tingkah laku
dalam situasi khusus karena merupakan kaitan antara
tindakan dan kepercayaan yang fundamental. Ideologi
membantu untuk lebih memperkuat landasan moral bagi
sebuah tindakan. Politik mencakup baik konflik antara
individu – individu dan kelompok untuk memperoleh
kekuasaan, yang digunakan oleh pemenang bagi
keuntungannya sendiri atas kerugian dari yang ditaklukan.
Politik juga bermakna usaha untuk menegakkan ketertiban
sosisal.

5
4. Tata Krama
Tata krama yang dianggap dari Bahasa Jawa yang
berarti “adat sopan santun, basa basi” pada dasarnya ialah
segala tindakan, perilaku, adat istiadat, tegur sapa, ucap dan
cakap sesuai kaidah atau norma tertentu. Tata krama
dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat dan terdiri
dari aturan – aturan yang kalau dipatuhi diharapkan akan
tercipta interaksi sosial yang tertib dan efektif di dalam
masyarakat bersangkutan. (Suratman,2010:171)
5. Kesenjangan Ekonomi
Bagi sebagian negara berkembang, perekonomian
akan menjadi salah satu perhatian yang terus ditingkatkan.
Namu umumnya, masyarakat kita berada digolongan
tingkat ekonomi menengah ke bawah. Hal ini tentu saja
menjadi sebuah pemicu adanya kesenjangan yang tak dapat
dihindari lagi.
6. Kesenjangan Sosial
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang
majemuk dengan bermacam tingkat, pangkat, dan strata
sosial yang hierarkis. Hal ini, dapat dilihat dan dirasakan
dengan jelas dengan adanya penggolongan orang
berdasarkan kasta. (Suratman,2010:172)
C. Keragaman dan Kesetaraan sebagai Kekayaan Sosial Budaya
1. Kemajemukan sebagai Kekayaan Bangsa Indonesia
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk.
Kemajemukan bangsa terutama karena adanya kemajemukan etnik,
disebut juga suku bangsa atau suku. Di samping itu, kemajemukan
dalam hal ras, agama, golongan, tingkat ekonomi, dan gender.
Beragam etnik di Indonesia menyebabkan banyak ragam budaya,

6
tradisi, kepercayaan, dan pranata kebudayaan lainnya karena setiap
etnik pada dasarnya menghasilkan kebudayaan.masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang multikultur artinya memiliki
banyak budaya.
Etnik atau suku merupakan identitas sosial budaya
seseorang. Artinya, identifikasi seseorang dapat dikenali dari
bahasa, tradisi, budaya, kepercayaan, dan pranata yang dijalaninya
yang bersumber dari etnik dari mana ia berasal. Namun dalam
perkembangan berikutnya, identitas sosial budaya seseorang tidak
semata – mata ditentukan dari etniknya. Identitas seseorang
mungkin ditentukan dari golongan ekonomi, status sosial, tingkat
pendidikan, profesi yang digelutinya, dan lain – lain. Identitas etnik
lama – kelamaan biasa hilang, misalnya karena adanya perkawinan
campur dan mobilitas yang tinggi. (Herimanto,2017:103-104)
Apapun identitas yang ditunjukkan orang ataupun
sekelompok orang, baik itu dari etnik, agama, ras, status sosial,
profesi, tingkat ekonomi, dan lain – lain menunjukkan bahwa
masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural. Plural
artinya jamak, banyak ragam, atau mejemuk. Kemajemukan
masyarakat Indonesia adalah suatu kenyataan atau fakta yang
justru kita terima sebagai kekayaan sosial budaya bangsa.
Kesadaran akan kemajemukan bangsa tersebut
sesungguhnya sudah tercermin dengan baik melalui semboyan
bangsa kita, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Bhineka artinya aneka,
berbeda – beda, banyak ragam, atau beragam. Bhineka
menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
majemuk, heterogen, baik dari sisi suku, ras, agama, dan
budayanya. Sedangkan Tunggal Ika menunjukkan semangat atau
cita – cita akan perlunya persatuan dari keanekaragaman tersebut.
Jadi, meskipun berbeda – beda, tetapi kita sebagai bangsa

7
Indonesia tetap bersatu atau mementingkan persatuan. Bhineka
adalah kenyataan (das sein) sedang Ika adalah keinginan (das
sollen). (Herimanto,2017:104)
Kemajemukkan adalah karakteristik sosial budaya
Indonesia. Selain kemajemukan, karakteristik Indonesia yang lain
adalah sebagai berikut (Herimanto,2017:105) :
a. Jumlah penduduk yang besar
b. Wilayah yang luas
c. Posisi silang
d. Kekayaan alam dan daerah tropis
e. Jumlah pulau yang banyak
f. Persebaran pulau
2. Kesetaraan sebagai Warga Bangsa Indonesia
Sebagai warga negara Indonesia maka manusia Indonesia
adalah setara atau sederajat dalam arti setiap warga negara
memiliki persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga
bangsa dan warga negara Indonesia. Pengakuan akan prinsip
kesetaraan dan kesederajatan itu secara yuridis diakui dan dijamin
oleh negara melalui UUD 1945. Warga negara tanpa dilihat
perbedaan ras, suku, agama, dan budayanya diperlakukan sama dan
memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
negara Indonesia mengakui adanya prinsip persamaan kedudukan
warga negara. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 27 ayat
(1) UUD 1945 bahwa “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.”
Dalam negara demokrasi diakui dan dijamin
pelaksanaannya atas persamaan kedudukan warga negara baik
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Kesamaan
kedudukan diantara warga negara, misalnya dalam bidang

8
kehidupan seperti persamaan dalam bidang politik, hukum,
kesempatan, ekonomi, dan sosial. (Herimanto,2017:107)
Persamaan di bidang politik misalnya memperoleh
kesempatan yang sama untuk memilih dan dipilih, berkesempatan
sama untuk menjadi pejabat politik, kesempatan yang sama untuk
berpartisipasi dalam kehidupan politik negara, dan berkesempatan
untuk membentuk partai politik.
Persamaan di depan hukum atau equality before of law
mengharuskan setiap warga negara diperlakukan sama dan adil,
tanpa pandang bulu oleh negara, terutama aparat penegak hukum
seperti hakim, jaksa, dan polisi. (Herimanto,2017:107)
Persamaan di bidang ekonomi adalah setiap warga negara
mendapat kesempatan yang sama untuk mendapatkan
kesejahteraan ekonomi.
Persamaan di bidang sosial budaya amat luas, meliputi
bidang agama, pendidikan, kesehatan, kebudayaan, seni, dan
IPTEK. (Herimanto,2017:107)
Dengan demikian, secara yuridis maupun politis, segala
warga negara memiliki persamaan kedudukan, baik dalam bidang
politik, hukum, pemerintahan, ekonomi, dan sosial. Negara tidak
boleh membeda – bedakan kedudukan warga negara tersebut
terutama dalam hal kesempatan. Kesempatan dalam bidang politik,
ekonomi, dan sosial hendaknya diberi peluang yang sama.
Kesempatan yang sama bagi semua warga negara tersebut dalam
berbagai bidang kehidupan berlaku tanpa membedakan unsur –
unsur primordial dari warga negara itu sendiri.
(Herimanto,2017:108)
3. Menjaga keragaman budaya
Kekayaan kebudayaan diamati dari produk-produk kebudayaan
yaitu pengetahuan budaya, perilaku budaya yang masih berlaku,
dan produk fisik. Dalam konteks masyarakat yang multikultur,

9
keberadaan keragaman kebudayaan adalah suatu yang harus dijaga
dan dihormati keberadaanya keragaman budaya adalah memotong
perbedaan budaya dari kelompok-kelompok masyarakan yang
hidup di Indonesia. Pengetahuan budaya terdiri dari simbol-simbol
pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat pemiliknya untuk
memahami dan menginterpretasikan lingkungannya. Kearifan lokal
berupa nilai-nilai budaya lokal yang tercerminkan dalam tradisi
upacara-upacara tradisional dan karya seni kelompok suku bangsa
serta masyarakat adat yang ada di nusantar, sedangkan tingkah laku
budaya berkaitan dengan tingkah laku atau tindakan-tindakan yang
bersumber dari nilai-nilai budaya yang ada. (Siti Irene,2016:176-
177)
D. Problematika Keragaman dan Kesetaraan
1. Problema keragaman serta solusinya dalam kehidupan
Keragaman masyarakat adalah suatu kenyataan sekaligus
kekayaan dari bangsa. Keragaman tidak serta merta menciptakan
keunikan, keindahan, kebanggaan, dan hal-hal yang baik lainya.
Keragaman masyarakat memiliki ciri khas yang suatu saat bisa
berpotensi negatif bagi kehidupan bangsa itu.
Van de Berghe sebagimana dikutip oleh Elly M. Setiadi
(2006) menjelaskan bahwa masyarakat majemuk atau masyarakat
yang beragam selalu memiliki sifat-sifat dasar sebagai berikut :
a. Terjadinya segmentasi kedalam kelompok-kelompok yang
sering kali memiliki kebudayaan yang berbeda
b. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi kedalam lembaga-
lembaga yang bersifat nonkomplementer
c. Kurang mengembangkan konsensus diantara para anggota
masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar
d. Secara relatif, sering kali terjadi konflik diantara kelompok
yang satu dengan kelompok yang lainya

10
e. Secara relatif, integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling
ketergantungan didalam bidang ekonomi
f. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok terhadap
kelompok yang lain
(Herimanto,2017:109-110)

Konflik atau pertentangan sebenarnya terdiri dari dua fase,


yaitu fase disharmoni dan fase disintegrasi. Disharmoni menunjuk
pada adanya perbedaan pandangan tentang tujuan, nilai, norma,
dan tindakan antar kelompok. Disintegrasi merupakan fase dimana
sudah tidak dapat lagi disatukanya pandangan, nilai, norma, dan
tindakan kelomopok yang menyebabkan pertentangan antar
kelompok.

Konflik horizontal yang terjadi di masyarakat Indonesia


sesungguhnya bukan disebabkan oleh adanya perbedaan atau
keragaman itu sendiri. Masalah itu muncul jika tidak ada
komunikasi antar budaya daerah. Yang dibutuhkan adalah adanya
kesadaran untuk menghargai, menghormati, serta menegakan
prinsip kesetaraan atau kesederajatan antar masyarakat tersebut.
(Herimanto,2017:111)

Salah satu hal penting dalam meningkatkan pemahaman antar


budaya dan masyarakat ini adalah sedapat mungkin dihilangkan
penyakit-penyakit budaya. Penyakit-penyakit budaya inilah yang
ditengarai bisa memicu konflik antar kelompok masyarakat di
indonesia. Penyakit budaya tersebut adalah etnossentrisme
stereotip, prasangka, rasisme, diskriminasi, dan scape goating.

Etnossentrisme atau sikap etnosentris diartikan sebagai suatu


kecenderungan yang melihat nilai atau norma kebudayaannya
sendiri sebagai sesuatu yang mutlak serta menggunakannya
sebagai tolak ukur kebudayaan lain. Etnosentrisme adalah

11
kecenderungan untuk menetapkan semua norma dan nilai budaya
orang lain dengan standar nilai budayanya sendiri.
(Herimanto,2017:111)

Stereotip adalah pemberian sifat tertentu terhadap seseorang


berdasarkan kategori yang bersifat subyektif, hanya karena dia
berasal dari kelompok yang lain. Pemberian sifat itu bisa sifat
positif maupun negatif. Allan G. Johnson (1986) menegaskan
bahwa stereotip adalah keyakinan seseorang untuk
menggenerealisasikan sifat-sifat tertentu yang cendenrung negatif
tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan
pengalaman tertentu.

Prasangka pada mulanya merupakan pernyataan yang hanya


didasarkan pada pengalaman dan keputusan yang tidak teruji
sebelumnya. Prasangka mengarah pada pandang yang emosional
dan bersifat negatif terhadap orang atau sekelompok orang. Jadi,
prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan dalam
berkomunikasi karena orang yang berprasangka sudah bersikap
curiga dan menentang pihak lain. (Herimanto,2017:112)

Rasisme bermakna anti terhadap ras lain atau ras tertentu di


luar ras sendiri. Rasisme dapat muncul dalam bentuk mencemooh
perilaku orang lain hanya karena orang itu berbeda ras dengan kita.
Dalam pertandingan sepak bola internasional sering kita melihat
penonton menampilkan sikap rasisme terhadap seorang pemain
bola. Rasisme sesungguhnya bentuk diskriminasi yang didasarkan
atas perbedaan ras.

Diskriminasi merupakan tindakan yang membeda-bedakan dan


kurang bersahabat dari kelompok dominan terhadap kelompok
subordinasinya. Antara prasangka dan diskriminasi ada hubungan
yang saling menguatkan. Selama ada prasangka, di sana ada

12
diskriminasi. Jika prasangka dipandang sebagai keyakinan atau
ideologi, maka diskriminasi adalah terapan keyakinan atau
ideologi. Jika prasangka mencakup sikap dan keyakinan, maka
diskriminasi mengarah pada tindakan. (Herimanto,2017:112-113)

Scape goating artinya pengkambinghitaman. Teori kambing


hitam (Scape goating) mengemukakan kalau individu tidak bisa
menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka perlakuan itu
dapat ditanggungkan kepada orang lain.

Selain menghilangkan penyakit-penyakit budaya diatas,


terdapat bentuk solusi lain yang dapat dilakukan. Elly M. Setiadi
dkk (2006) mengemukakan ada hal-hal lain yang dapat dilakukan
untuk memperkecil masalah yang diakibatkan oleh pengaruh
negatif dari keragaman, (Herimanto,2017:113-114) yaitu :

1. Semangat religius
2. Semangat nasionalisme
3. Semangat pluralisme
4. Semangat humanisme
5. Dialog antar umat beragama
6. Membangun suatu pola komunikasi untuk interaksi maupun
konfigurasi hubungan antar agama, media masa, dan
harmonisasi dunia
2. Problem Kesetaraan serta Solusinya dalam Kehidupan
Kesetaraan atau kesederajatan bermakna adanya persamaan
kedudukan manusia. Kesederajatan adalah suatu sikap untuk
mengakui adanya persamaan derajat, hak, dan kewajiban sebagai
sesama manusia. Oleh karena itu, prinsip kesetaraan atau
kesederajatan mensyaratkan jaminan akan persamaan derajat, hak,
dan kewajiban. Indikator kesederajatan adalah sebagai berikut.

13
a. Adanya persamaan derajat dilihat dari agama, suku bangsa, ras,
gender, dan golongan
b. Adanya persamaan hak dari segi pendidikan, pekerjaan, dan
kehidupan yang layak
c. Adanya persamaan kewajiban sebagai hamba Tuhan, individu,
dan anggota masyarakat

Problema yang terjadi dalam kehidupan, umumnya adalah


munculnya sikap dan perilaku untuk tidak mengakui adanya
persamaan derajat, hak, dan kewajiban antar manusia atau warga
negara. Perilaku yang membeda-bedakan terhadap seseorang atau
sekelompok orang berdasarkan ras, agama, suku, kelompok,
golongan, status sosial, kelas sosial, jenis kelamin, kondisi fisik
tubuh, orientasi seksual, pandangan ideologi dan politik, batas
negara, serta kebangsaan seseorang, disebut diskriminasi.
(Herimanto,2017:114-115)

Pada dasarnya diskriminasi tidak terjadi begitu saja, akan tetapi


karena adanya beberapa faktor penyebab, (Suratman,2010:177)
antara lain :

1. Persaingan yang semakin ketat dalam berbagai bidang


kehidupan, terutama ekonomi
2. Tekanan dan intimidasi biasanya dilakukan oleh kelompok
yang dominan terhadap kelompok atau golongan yang lebih
lemah
3. Ketidakberdayaan golongan miskin akan intimidasi yang
mereka dapatkan membuat mereka terus terpuruk dan
menjadi korban diskriminasi

14
15
BAB III

ANALIS MASALAH

A. Masalah
Konflik antaretnis yang terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah,
dikarenakan benturan budaya antara Suku Dayak dan Madura. Sebagai
penduduk asli, masyarakat Dayak kaget melihat kebiasaan orang Madura
yang biasa membawa senjata tajam -celurit- di dalam pergaulan. Selain itu,
masyarakat Madura juga telah memperkenalkan budaya kekerasan dalam
kehidupan sehari-hari. Kondisi ini ternyata mengundang reaksi spontan dari
masyarakat Dayak, sehingga pertikaian di antara kedua suku itu tak bisa
dihindari. Demikian penegasan KMAM Usop, Ketua Lembaga Masyarakat
Dayak, dalam Dialog khusus yang dipandu oleh Rosianna Silalahi, Selasa
(27/2) malam, di Palangkaraya, Kalteng. Selain Usop, dialog itu juga
menghadirkan Nahson Tahway, Wakil Gubernur Kalteng dan Abdul Wahid
Qasimy, Ketua Majelis Ulama Indonesia Kalteng.
Menurut Usop, penyebab lain dari konflik tersebut adalah sikap
pemerintah Orde Baru yang memarginalisasikan masyarakat Suku Dayak di
masa terdahulu. Banyak masyarakat Dayak yang mempunyai kemampuan
optimal, namun tak diakomadatif oleh pemerintah. Sehingga, orang Dayak
terus terdesak di tengah masyarakat, baik secara politik maupun ekonomi.
Di sisi lain, lanjut Usop, kehadiran masyarakat Madura yang unggul
secara ekonomis membuat orang Dayak kian tersingkir dan terjepit di Sampit.
Apalagi, budaya kekerasan yang dibawa orang Madura -sebagai pendatang-
membuat jengkel penduduk asli. Senada dengan Usop, John Bamba
mengatakan, perselisihan kecil antara masyarakat Dayak dan Madura
memang kerap berbuntut dengan kerusuhan. Celakanya, pertikaian itu tak
segara diselesaikan dengan tuntas. Pemerintah hanya bisa meredam secara
sesaat, tanpa mencari akar masalah yang ada. Tak heran, bila pertikaian yang
ada di Sampit dengan cepat berubah menjadi sebuah kerusuhan yang besar.

16
Di mata John Bamba, pemerintah -khususnya aparat keamanan-
memang lambat dalam menangani kerusuhan tersebut. Sebagai contoh,
pemerintah baru ribut tentang darurat sipil dan mengirim pasukan ketika
ratusan jiwa telah melayang. Sejak dulu pemerintah terkesan tak mempunyai
formula tepat untuk menyelesaikan persoalan antara Suku Dayak-Madura di
Kalimantan. "Lihat saja, hingga saat ini tak ada perusuh di Sambas, Kalbar,
yang ditindak secara tegas oleh aparat keamanan. Seharusnya pemerintah
menghukum mereka," kata John.
Aparat tak tegas? tidak juga. Menurut Kapuspen Polri Brigjen Didi
Widayadi, posisi polisi di lapangan (Sampit) memang sangat dilematis.
Apalagi, jumlah personel yang ada tak sebanding dengan jumlah massa yang
tengah marah. Jadi sangat tak mungkin bila belasan polisi harus
menenangkan ratusan perusuh yang sudah gelap mata. Karena itu, polisi dan
TNI telah mengirim pasukan tambahan ke lokasi konflik.
Mengenai tindakan terhadap perusuh, Didi menjelaskan, baru-baru ini,
Kepala Polri Jenderal S. Bimantoro telah mengeluarkan intruksi kepada polisi
yang bertugas di lapangan untuk mengambil tindakan tegas terhadap para
perusuh. Polisi juga diminta untuk tidak ragu menghukum para perusuh, baik
itu dari Suku dayak atau Madura. Sebagai langkah konkret, kata Didi, polisi
telah menembak lima penjarah yang memanfaatkan situasi rusuh di Sampit.
(Sumber : Liputan 6)

17
B. Analisis
Masalah diatas terjadi karena kurangnya toleransi dan kerukunana
antar kedua suku. Hal ini dapat dilihat dari masyarakat Dayak yang belum
terbiasa melihat kebiasaan orang Madura yang biasa membawa senjata tajam
celurit di dalam pergaulan. Selain itu, masyarakat Madura juga telah
memperkenalkan budaya kekerasan dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini
mengundang reaksi spontan dari masyarakat Dayak, sehingga menyebabkan
pertikaian di antara kedua suku. Sebenarnya masyarakat Madura sangat cinta
damai, selain ulet dan tak gampang menyerah. Masyarakat Madura
sebenarnya juga mudah untuk diajak berdialog. Kendati begitu, orang Madura
memang terkenal sebagai berwatak keras. Sebab, prinsip lebih baik putih
tulang daripada putih mata sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Suku
Madura. Mungkin keadaan itu yang membuat sulit masyarakat Dayak dan
Madura untuk rujuk
Penyebab lain dari konflik tersebut adalah sikap pemerintah Orde
Baru yang memarginalisasikan masyarakat Suku Dayak di masa terdahulu.
Banyak masyarakat Dayak yang mempunyai kemampuan optimal, namun tak
diakomadatif oleh pemerintah. Sehingga, orang Dayak terus terdesak di
tengah masyarakat, baik secara politik maupun ekonomi. Di sisi lain,
kehadiran masyarakat Madura yang unggul secara ekonomis membuat orang
Dayak kian tersingkir dan terjepit di Sampit. Apalagi, budaya kekerasan yang
dibawa orang Madura sebagai pendatang membuat jengkel penduduk asli. Itu
sebabnya, persoalan kecil yang terjadi di antara dua suku, membuat
kerusuhan mudah meletup.
Sedangkan pemerintah sendiri khususnya aparat keamanan memang
lambat dalam menangani kerusuhan tersebut. Sehingga, pemerintah baik
pusat maupun daerah, diharapkan lebih berperan aktif dalam menangani
kerusuhan di Sampit. mengundang para tokoh masyarakat dua suku tersebut
juga harus lebih ditingkatkan. Sebab, jangan sampai kerusuhan meluas ke
daerah lain. Kalau kerusuhan terus terjadi dan para perusuh tak ditindak tegas,

18
bukan tak mungkin, pemimpin Indonesia di masa mendatang adalah orang-
orang yang pendendam, pemarah, dan juga pembunuh.
Oleh sebab itu peran masyarakat maupun pemerintah, sangat
dibutuhkan dan harus seimbang untuk tetap memahami hakikat manusia,
keragaman, dan kesetaraan dalam dinamika sosial budaya.

19
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan
Keragaman yang dimaksud di sini adalah suatu kondisi dalam
masyarakat di mana terdapat perbedaan – perbedaan dalam berbagai
bidang, terutama suku bangsa dan ras, agama dan keyakinan, ideologi,
adat kesopanan, serta situasi ekonomi. Kesederajatan di sini adalah
suatu kondisi di mana dalam perbedaan dan keragaman yang ada
manusia tetap memiliki satu kedudukan yang sama dan satu tingkatan
hierarki.
Konsep masyarakat majemuk (plural society) pertama kali
diperkenalkan oleh Furnivall tahun 1948 yang mengatakan bahwa ciri
utama masyarakatnya adalah berkehidupan secara berkelompok yang
berdampingan secara fisik, tetapi terpisah oleh kehidupan sosial dan
tergabung dalam sebuah satuan politik. Kemajemukan dalam dinamika
sosial budaya secara horizontal, masyarakat majemuk dikelompokkan
berdasarkan : etnik dan ras atau asal usul keturunan; bahasa daerah;
adat istiadat atau perilaku; agama; pakaian, makanan, dan budaya
material lainnya.
Secara vertikal, masyarakat majemuk dikelompokkan berdasarkan
: penghasilan atau ekonomi, pendidikan, pemukiman, pekerjaan, dan
kedudukan sosial politik. Keragaman dan kesetaraan sebagai kekayaan
sosial budaya. Apapun identitas yang ditunjukkan orang ataupun
sekelompok orang, baik itu dari etnik, agama, ras, status sosial, profesi,
tingkat ekonomi, dan lain – lain menunjukkan bahwa masyarakat
Indonesia merupakan masyarakat majemuk.

20
B. Saran
Sebagai mahasiswa sudah seharusnya kita menjunjung tinggi nilai
toleransi dan kerukunan antar suku di Indonesia. Sehingga kedepanya akan
tercipta generasi muda yang tidak hanya cerdas saja tetapi juga dapat
berperan aktif dalam mencegah dan menghindari konflik.
Bagi pemerintah, sebaiknya jika terjadi konflik, sekecil apapun itu,
sebaiknya di cari akar masalah dari konflik tersebut, dan segera
menyelesaikanya. Sehingga pertikaian tidak lagi terjadi atau setidaknya
meminimalisir adanya pertikaian. Selain itu, pemerintah diharapkan lebih
cepat dan tanggap dalam menangani konflik, karena pemerintah baru ribut
tentang darurat sipil dan mengirim pasukan ketika ratusan jiwa telah
melayang. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, diharapkan lebih
berperan aktif dalam menangani kerusuhan di Sampit

21
Daftar Pustaka

Dwiningrum, Siti Irene Astuti. 2010. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Yogyakarta :
UNY Press

Herimanto dan Winarno. 2017. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta : Bumi
Aksara.

Setiadi, Elly M., dkk. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta :Kencana
Prenada Media.

Suratman, dkk. 2010. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Malang : Intimedia.

22

Anda mungkin juga menyukai