Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH KONFLIK SOSIAL

Oleh:
ADINDA HAMIT CAHYANI
DAVIER ZOLA GRACIA TAVIONO
NABILA AUREL SALSABILA
SHENDY DWIKI SETYA PERMANA

KEMENTERIAN PERHUBUNGAN
BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN
POLITEKNIK PELAYARAN SURABAYA
1. PENDAHULUAN

Konflik Sosial

A.    Latar Belakang

Konflik sosial di dalam lingkup masyarakat yang ada di Indonesia sering


disebabkan oleh adanya perbedaan status sosialt. Dimana jabatan serta kekayaan
sebagai acuan untuk mencapai sebuah keinginan bagi orang yang memilikinya,
dalam arti bahwa yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin miskin.

Masalah yang biasanya dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah adanya


persentuhan dan saling hubungan antara kebudayaan suku bangsa dengan
kebudayaan umum lokal, dan dengan kebudayaan nasional. Kondisi masyarakat
Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial
ini memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan
dinamika dalam masyarakat. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia
mendemonstrasikan hubungan antar etnik dan agama telah berulangkali
mengalami pasang surut yang memprihatinkan.  Bahkan dalam banyak kasus,
kerusuhan atau peperangan antarsuku dan agama, sering membawa korban yang
tidak sedikit dan sulit untuk diatasi.

Adanya berbagai konflik ini biasanya mendekatkan kita pada satu konsep
Etnosentrisme. Secara formal, Etnosentrisme didefinisikan sebagai pandangan
bahwa kelompok sendiri adalah pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu
dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelompok sendiri.
Etnosentrisme membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur baik
buruknya, atau tinggi rendahnya dan benar atau ganjilnya kebudayaan lain
dalam proporsi kemiripannya dengan kebudayaan sendiri.

Manusia merupakan sekumpulan individu yang membentuk sistem sosial 


tertentu dan secara bersama-sama, memiliki tujuan bersama yang hendak
dicapai, dan hidup dalam satu wilayah tertentu (dengan batas tertentu)serta
memiliki pemerintahan untuk mengatur tujuan-tujuan kelompoknya atau
individu dalam organisasinya. Dalam masyarakat itu kemudian semakin lama
terbentuk suatu struktur yang jelas yaitu terbentuknya kebiasan-kebiasan, cara
(usage), nilai/norma, dan adat istiadat. Struktur sosial  yang terbentuk ini
kemudian lama-kelamaan menyebabkan adanya spesilisasi dalam masyarakat
yang mengarah terciptanya status sosial  yang berbeda antar individu.

Setiap manusia dihadapan Tuhan adalah sama. Pernyataan tersebut


merupakan hal yang secara universal diakui oleh manusia. Namun dalam
masyarakat, dipandang ada yang berbeda karena status yang dimiliki.

Perjalanan proses pembangunan tak selamanya mampu memberikan hasil


sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat. Pembangunan yang
dilakukan di masyarakat akan menimbulkan dampak sosial  dan budaya bagi
masyarakat. Pendapat ini berlandaskan pada asumsi pembangunan itu adalah
proses perubahan (sosial  dan budaya). Selain itu masyarakat tidak dapat
dilepaskan dari unsur-unsur pokok pembangunan itu sendiri, seperti teknologi
dan birokrasi.

Dalam lingkungan masyarakat dapat dilihat bahwa ada pembeda-bedaan yang


berlaku dan diterima secara luas oleh masyarakat. Perbedaan itu tidak hanya
muncul dari sisi jabatan tanggung jawab sosial  saja, namun juga terjadi akibat
perbedaan ciri fisik, keyakinan dan lain-lain. Perbedaan ras, suku, agama,
pendidikan, jenis kelamin, usia atau umur, kemampuan, tinggi badan, cakep
jelek, dan lain sebagainya juga membedakan manusia yang satu dengan yang
lain. Beragamnya orang yang ada di suatu lingkungan akan memunculkan
stratifikasi sosial  (pengkelas-kelasan) atau diferensiasi sosial  (pembeda-
bedaan).

Perbedaan status sosial  di masyarakat tentunya akan diikuti pula oleh


perbedaan peran yang dimiliki sesuai dengan status sosial  yang melekat pada
diri seseorang. Perbedaan-perbedaan inilah yang menimbulkan setiap individu
dalam suatu masyarakat menimbulkan adanya pelapisan sosial  atau yang lebih
dikenal dengan stratifikasi sosial.

Esensi dari stratifikasi sosial  adalah setiap individu memiliki beberapa posisi
sosial  dan masing-masing orang memerankan beberapa peran, sehingga hal ini
memungkinkan untuk mengklasifikasikan individu-individu kedalam kategori
status-peran,dimana perangkingan didasarkan atas posisi relative dari peran-
peran yang mereka mainkan secara keseluruhan.
Pada zaman kuno, sebagaimana yang dikemukaan oleh Aritoteles,
mengatakan bahwa di dalam tiap Negara terdapat tiga unsur yaitu, mereka yang
kaya sekali, mereka yang miskin, dan mereka yang ada ditengah-tengahnya. Hal
itu menunjukkan pada zaman dahulu orang telah mengenal dan mengakui
adanya sistem pelapisan dalan masyarakat sebagai akibat adanya sesuatu yang
mereka anggap berharga, sehingga ada yang mempunyai kedudukan diatas dan
pula di bawah.

Pada umumnya mereka yang menduduki lapisan atas tidak hanya memeiliki
satu macam saja dari sesuatu yang dihargai oleh masyarakat, akan tetapi
kedudukan yang tinggi tersebut bersifat kumulatif. Artinya mereka yang
mempunyai uang banyak, misalnya, akan mudah mendapatkan tanah,
kekuasaan, ilmu pengetahuan, bahkan mungkin kehormatan tertentu.

Cara yang paling mudah untuk mengerti pengertian konsep sratifikasi sosial 
atau perbedaan status sosial  adalah dengan berfikir membanding-bandingkan
kemampuan, baik kemampuan kecerdasan, jabatan, maupun ekonomi, dan apa
yang dimiliki anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang
lainnya.

B .    Tujuan

1.      Mengetahui pengertian plularitas.


2.      Mengetahui pengertian status sosial ekonomi.
3.      Mengetahui faktor penyebab terjadinya perbedaan status sosial ekonomi.
4.      Mengetahui dampak perbedaan status sosial ekonomi masyakat.
5.      Mengetahui konflik status sosial yang terjadi di masyarakat.
6.      Mengetahui sumber terjadinya konflik status sosial di masyarakat.
7.      Mengetahui bentuk-bentuk konflik sosial.
8.      Mengetahui solusi dari  konflik status sosial ekonomi di masyarakat.
9.      Mengetahui konflik ekonomi dan solusi dari konflik ekonomi di
masyarakat.
2. ISI / PEMBAHASAN

A. Pengertian Plularitas

Saat kita diajukan sebuah pertanyaan tentang negara dengan jumlah pulau
terbanyak, pastilah akan muncul jawaban Indonesia. Ya, secara geografis
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari 13 ribu pulau
yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing pulau dihuni
oleh komunitas masyarakat yang memiliki karakteristik sosial, budaya dan
bahkan nilai dan keyakinan serta agama yang berbeda. Hal ini tercermin dari
300 lebih kelompok etnis yang ada di Indonesia sehingga Indonesia dikenal
sebagai bangsa yang memiliki keragaman budaya terbanyak. Dari berbagai
macam suku bangsa di Indonesia dengan beragam hasil kebudayaannya
menjadikan tantangan dalam menciptakan sebuah integrasi sosial. Dengan
struktur sosial yang sedemikian kompleks, sangatlah terbuka bagi Indonesia
untuk selalu menghadapi konflik antaretnik, kesenjangan sosial, dan sulit
membangun integrasi secara tetap. Oleh karena itu, perlu adanya suatu
penanaman konsep pluralisme.

Pluralisme dalam perspektif filsafat budaya merupakan konsep kemanusiaan


yang memuat kerangka interaksi dan menunjukkan sikap saling menghargai,
saling menghormati, toleransi satu sama lain dan saling hadir bersama atas dasar
persaudaraan dan kebersamaan; dilaksanakan secara produktif dan berlangsung
tanpa konflik sehingga terjadi asimilasi dan akulturasi budaya. Pluralitas tidak
bisa dihindarkan apalagi ditolak meskipun golongan tertentu cenderung
menolaknya karena pluralitas dianggap ancaman terhadap eksistensi
komunitasnya. Sebenarnya pluralisme merupakan cara pandang yang bersifat
horisontal, menyangkut bagaimana hubungan antarindividu yang berbeda
identitas harus disikapi.

Sementara kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sebagai


keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar
(Koentjaraningrat, 1980 : 193). Kebudayaan dipelajari dan dialami bersama
secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan
bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan (folkways) dan tata kelakuan
(mores ), tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi.
Penggalian budaya nasional bukan diarahkan konformisme budaya, tetapi
lebih diarahkan pada totalitas nilai dan perilaku yang mencerminkan hasrat dan
kehendak masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara sehingga
mempunyai dua arah pokok yaitu fungsi pelestarian dan fungsi pengembangan.
Fungsi pelestarian diarahkan pada pengenalan dan pendalaman nilai-nilai luhur
budaya bangsa yang bersifat universal, dan merupakan kekayaan budaya bangsa
yang tak ternilai harganya, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan dan
memperkokoh rasa cinta tanah air dan kebanggan nasional. Dalam fungsi
pengembangan diarahkan pada perwujudan budaya nasional yaitu perpaduan
keragaman budaya tradisional ditambah dengan nilai-nilai baru yang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai universal yang berlaku dalam budaya
masyarakat, guna memperkaya budaya bangsa dan mempekukuh jati diri dan
kepribadian bangsa.
Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah
ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup
berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai karena
diunggulkannya suatu nilai oleh seseorang atau sekelompok masyarakat, bukan
berarti tidak dihiraukannya nilai-nilai lainnya melainkan kurang dijadikannya
sebagai acuan dalam bersikap dan berperilaku dibandingkan dengan nilai yang
diunggulkannya. Ciri utama masyarakat majemuk (plural society) sendiri
menurut Furnivall (1940) adalah orang yang hidup berdampingan secara fisik,
tetapi karena perbedaan sosial mereka terpisah-pisah dan tidak bergabung dalam
sebuah unit politik.
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat majemuk (pluralistic
society). Hal tersebut dapat dilihat pada kenyataan sosial dan semboyan
Bhinneka Tunggal Eka (berbeda-beda namun satu jua). Kemajemukan
Indonesia juga didukung dengan status negara ini sebagai negara berkembang,
yang selalu mengalami perubahan yang sangat pesat dalam berbagai aspek
kehidupan, baik perubahan sistem ekonomi, politik sosial, dan sebagainya, dan
dalam kenyataan tidak ada satupun gejala perubahan sosial yang tidak
menimbulkan akibat terhadap kebudayaan setempat.
Masyarakat Indonesia dan kompleks kebudayaannya, masing-masing plural
(jamak ) dan heterogen (anekaragam). Pluralitas sebagai kontradiksi dari
singularitas mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan,
yaitu dijumpainya berbagai sub kelompok masyarakat yang tidak bisa disatu
kelompokkan dengan yang lainnya, demikian pula dengan kebudayaan mereka.
Sementara heterogenitas merupakan kontraposisi dari homogenitas,
mengindikasikan suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidaksamaan
dalam unsur-unsurnya.

B.     Pengertian Status Sosial Ekonomi

Status sosial  adalah sekumpulan hak dan kewajian yang dimiliki seseorang
dalam masyarakatnya (menurut Ralph Linton). Orang yang memiliki status
sosial  yang tinggi akan ditempatkan lebih tinggi dalam struktur masyarakat
dibandingkan dengan orang yang status sosial nya rendah.

Sratifikasi sosial adalah dimensi vertikal dari struktur sosial  masyarakat,


dalam artian malihat perbedaan masyarakat berdasarakn pelapisan yang ada,
apakah berlapis-lapis secara vertikal dan apakah pelapisan tersebut terbuka atau
tertutup. Soerjono soekanto mengatakan sosial  sratification adalah pembedaan
penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atau sistem
berlapis-lapis dalam masyarakat. Sratifikasi sosial  merupakan konsep
sosiologi,dalam artian kita tidak akan menemukan masyarakat seperti kue lapis;
tetapi pelapisan adalah suatu konsep untuk menyatakan bahwa masyarakat
dapat dibedakan secara vertikal menjadi kelas atas, kelas menengah, dan kelas
bawah berdasarkan kriteria tertentu.

Lebih lanjut Soerjono mengemukakan, di dalam setiap masyarakat dimana


pun selalu dan pasti mempunyai sesuatu yang dihargai. Sesuatu yang dihargai di
dalam masyarakat bisa berupa kekayaan, ilmu pengetahuan, status haji, darah
biru, atau keturunan dari keluarga tertentu yang terhormat, atau apapun yang
bernilai ekonomis. Di berbagai masyarakat sesuatu yang dihargai tidaklah selalu
sama. Di lingkungan masyarakat pedesaan, tanah sewa dan hewan ternak,sering
kali dianggap jauh lebih berharga daripada gelar akademis, misalnya. Sementara
itu dilingkungan masyarkat kota yang modern, yang sering kali terjadi
sebaliknya.

Menurut Karl Max, kelas sosial  utama terdiri atas golongan proletariat,
golongan kapitalis (borjuis) dan golongan menegah (borjuis rendah). Pendapat
diatas merupakan suatu penggambaran bahwa stratifikasi sosial sebagai gejala
yang universal, artinya dalam setiap masyarakat bagaimana pun juga
keberadaannya pasti didapatkan pelapisan sosial tersebut. Apa yang
dikemukakan oleh Karl Marx adalah salah satu bukti adanya sratifikasi sosial 
dalam masyarakat sederhana sekalipun. Kriteria jenis kekayaan dan juga profesi
pekerjaan merupakan cerita yang sederhana, sekaligus menyatakan bahwa
dalam masyarakat kita tidak akan menemukan masyarakat tanpa kelas.
Perkembangan masyarakat selanjutnya menuju masyarakat yang semakian
modern dan kompleks,stratifikasi sosial  yang terjadi dalam masyarakat akan
semakin banyak.

Pitirim A. Sorokin mengemukaan bahwa sistim pelapisan dalam masyarakat


itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup
dengan teratur. Mereka yang memiliki barang atau sesuatu yang lebih berharga
dalam jumlah yang banyak akan menduduki lapisan atas dan sebaliknya mereka
yang memiliki dalm jumlah yang relatif sedikit atau bahkan tidak memiliki
sama sekali akan dipandang mempunyai kedudukan yang rendah.

Lebih lanjut Sorokin mengemukaan, stratifikasi sosial  adalah pembendaan


penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarkis).
Perwujudannya adalah adanya kelas-kalas tinggi dan kelas yang lebih rendah.
Selanjutnya disebutkan bahwa dasar dan inti dari lapisan-lapisan dalam
masyarakat adalah adanya ketidakseimbangan dalam pembagian hak dan
kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial  dan pengaruhnya di
antara anggota-anggota masyarakat.

C.    Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan Status Sosial Ekonomi

Terjadinya stratifikasi sosial  dalam masyarakat dikarenakan sesuatu yang


dihargai dalam masyarakat jumlahnya terbatas, akibat dari hal tersebut adalah
distribusi di dalam masyarakat tidaklah merata.Mereka yang memperoleh
banyak menduduki kelas atas dan mereka yang tidak memperoleh menduduki
kelas bawah.

Barang sesuatu yang dihargai tersebut menurut Paul B Horton dan yang
dikutip oleh Anshari adalah:

1.    Kekayaan dan penghasilan.

Kekayaan dan penghasilan merupaka dua hal yang berkaitan erat; dimana
penghasilan banyak kekayaan juga meningkat. Faktor ekonomi ini akan menjadi
salah satu ukuran  dari stratifikasi sosial  yang ada. Mereka yang kaya dan
memiliki penghasilan yang besar akan menduduki kelas atas; sedangkan mereka
yang miskin dan tidak berpenghasilan berada pada kelas bawah.

2.    Pekerjaan

Pekerjaan disamping sebagai sarana dalam menghasilkan pendapatan


juga merupakan status yang mengandung didalamnya prestise (penghargaan).
Jenis pekerjaan akan menentukan penghasilan seseorang dan juga penghargaan
masyarakat akan seseorang yang memiliki pekerjaan.
Seperti Karl Mark yang membedakan kelas borjuis  sebagai orang yang
memiliki modal atau capital dan proletariat sebagai orang yang hanya memiliki
tenaga saja atau sebagai buruh.

3.    Pendidikan
Pendidikan secara bertingkat ada dalam masyarakat, misalnya dibedakan
menjadi pendidikan dasar, pendidikan menengah serta pendidikan tinggi.
Penjenjanggan ini sekaligus menyatakan bahwa pendidikan adalah dimensi
vertikal dari stratifikasi sosial .

Mereka yang lulus dari pendidikan tinggi biasanya diberikan gelar sesuai
dengan keahliannya tersebut seperti  gelar SE dan SH dibelakang nama yang
menunjukkan bahwa mereka yang mencantumkan SE dan SH adalah mereka
yang lulus dari  pendidikan tinggi dengan keahlian bidang ekonomi untuk SE
(kepanjangan dari sarjana ekonomi), dan gelar SH bagi mereka yang tamat dari
pendidika tinggi dari fakultas Hukum, SH (sajarna Hukum). Mereka yang tamat
dari jurusan sosiologi menggunakan gelar S.Sos kepanjangan dari sajarna
sosiologi. Gelar ini pada jenjang S1. Mereka yang menamatkan diri dari
pendidikan menengah  dan pendidikan dasar mereka belum mendapat
gelarkarena belum mempunyai keahlian tertentu. S2 dan Doktor untuk jenjang
S3. Mereka yang memiliki gelar baik S1, S2 maupun S3 akan memiliki jenjang
stratifikasi sosial  atas dibandingkan dengan mereka yang tamat pendidika
menengah (SMP dan SMA) maupun yang tamat SD dan bahkan tidak tamat SD
dan tidak sekolah.

Sosiolog lain yaitu Soerjono Soekanto mengatakan bahwa kriteria yang


memjadikan masyarakat berlapis-lapis adalah: ukuran kekayaan, ukuran
menandakan adanya kuantitas atau jumlah dari sesuatu hal. Jika ukuran
kekayaan berarti ada jumlah tertentu tentang kekayaan yang dapat dijadikan
sebagai suatu tolak ukur. Dari sinilah didapatkan ukuran kekayaan yang tinggi
atau banyak, ukuran sedang cukup dan ukuran sedikit atau miskin. Kekayaan
sebagai ukuran dalam bentuk stratifikasi sosial  walau ada kuantitas tepai pada
dasarnya adalah relative untuk suatu masyarakat.

4.    Ukuran Kekuasaan

Ukuran kekusaan yang didefenisikan sebagai kemampuan seseorang


untuk mempengaruhi perilaku seseorang maupun kelompok agar berperilaku
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang memiliki kekuasaan
menjadi tolak ukur dari strartifikasi sosial  yang ada dalam masyarakat. Ukuran
kekuasaan akan terkait dengan besar kecilnya dan luas sempitnya pengaruh
yang dimiliki seseorang dalam masyarakat. Semakin luas tinggi pengaruh yang
dimiliki oleh seseorang semakin tinggi stratifikasi yang dimilikinya dan
semakin rendah dan sempit dan bahkan tidak memiliki pengaruh keberadaan
sesorang dalam masyarakat semakin rendah stratifikasi sosial nya.  Kekuasaan
yang dimiliki seseorang bukanlah sesuatu yang bersifat formal saja seperti
pejabat pemerintah setempat maupun pejabat pemerintah yang lain.

Kekuasaan tersebut berupa kepatuhan dan ketaatan bagi seseorang untuk


mengikuti apa yang menjadi sasaran atau perntahnya. Seorang Kyai
memberikan saran kepada seseoran untuk menghentikan minum miras atau
merokok dan yang bersangkutan langsung menghentikan tndakannya,  maka
kyai tersebut memeiliki kekeuasaan yang tinggi atau kuat; demikian halnya
orang lain jika apa yang mereka kehendaki dan orang melakukannya, maka
orang tersebut memiliki kekuasaan yang tinggi atau kuat.

5.    Ukuran Kehormatan

Kehormatan yang diperoleh oleh sesorang bukanlah dari dirinya,


melainkan penilaian yang datang dari orang lain. Apakah seseorang dihormati
atau tidak oleh orang lain sangat tergantung pada orang lain, bukan bersumber
pada dirinya.

Penghormatan bagi seseorang bukan muncul sesaat, melainkan melalui


proses waktu dan evaluasi penghormatan dengan demikian bersifat obyektif
bukan bersifat subyektif. Penghargaan bagi sessorang dalm wujud
penghormatan dapat bersumber pada kepribadian seseorang tersebut karena
kejujuran, ketaqwaan beragama, berani karena benar rendah hati maupun
perilaku yang di tunjuk dalam setiap harinya seperti suka menolong,
memberikan nasehat kepada kepada yang membutuhkan dan sebagainya yang
setiap saat dievalusi oleh anggota masyarakat yang lain. Penghormatan tersebut
diwujudkan orang lain akan memberikan hormat lebih dahulu atau mengulurkan
tangan berjabat tangan menempatkan duduk dalam suatu pesta atau pertemuan
di depan sendirin atau di tempat yang pas dengan kehormatannya.

6.    Ukuran Ilmu Pengetahuan

Ukuran Ilmu Pengetahuan akan meliputi dua ukuran yaitu: Pertama,


ukuran formal yaitu ijasah sebagai ukurannya semakin tingi gelar atau ijasah
yang dimiliki semakin tinggi strata sosial nya dan semakin rendah yang
dimiliki, maka semakin rendah pula strata sosial nya. Kedua, ukuran non-formal
adalah profesional atau keahlian yang mereka miliki melalui ketrampilan yang
dia lakukan. Mereka memperoleh keahlian tersebut tidak melalui jalur
pendidikan formal. Pakar pengobatan alternatif mereka memperoleh
keahliannya bukan belajar difakultas kedokteran, melainkan diperoleh dari luar
pendidikan formal yang ada.Dalam teori sosiologi, unsur-unsur terjadinya
sistem pelapisan sosial  dalam masyarakat adalah:

7.    Kedudukan (Status)

Kedudukan (status) sering kali juga dibedakan dengan kedudukan sosial 


(sosial  status). Kedudukan adalahsebagai tempat atau posisi seseorang dalam
suatu kelompok sosial ,sehungan dengan orang lain dalam kelompok
tersebutatau tempat suatu kelompok sehubungan dengan kelompok-kelompok
lain di dalam kelompok yang lebih besar lagi.

8.    Peran (Rore)

Selain kedudukan dan peran disamping unsur pokok dalam sistem


berlapis-lapis dalam masyarakat, juga mempunyai arti yang sangat penting bagi
sistem sosial  masyarakat. Status menunjukkan tempat atau posisi seseorang
dalam masyarakat, sedangkan peran menunjukan aspek dinamis dari status, hal
ini merupakan suatu tingkah laku yang diharapkan dari seorang individu
tertentu yang menduduki status tertentu.
Sedangkan kedudukan sosial  adalah tempat seseorang secara umum
dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan
pergaulannya, prestasinya,hak-hak dan kewajibannya. Dengan demikian
kedudukan sosial  tidaklah semata-mata merupakan kumpulan kedudukan-
kedudukan seseorang dalam kelompokn  yang berbeda, tapi kedudukan sosial 
tersebut mempengaruhikedudukan orang tadi dalam kelompok sosial  yang
berbeda.

Oleh karena kedudukan sering diartikan sebagai tempat seseorang dalam


suatu pola atau kelompok sosial , maka seseorang juga mempunyai beberapa
kedudukan sekaligus. Hal ini disebabkan seseorang yang biasanya ikut dalam
berbagai kelompok sosial.

Kedudukan, apabila dipisahkan dari individu yang memilikinya, hanyalah


merupakan kumpulan hak dan kewajiban. Namun, karena hak dan kewajiban itu
hanya dapat terlaksanakan melalui perantara individu, maka sulit untuk
memisahkannya secara tegas.Dalam masyarakat sering kali kedudukan
dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

a)      Ascribed Status

Status ini diartikan sebagai kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa


memperhatikan perbedaan seseorang. Kedudukan tersebut diperoleh karena
kelahiran. Misalnya, kedudukan anak seorang bangsawan adalah bangsawan
pula, seorang anak dari kasta brahmana juga akan memperoleh kedudukan yang
demikian. Kebanyakan ascribed status  dijumpai pada masyarakat dengan
sistem pelapisan sosial  yang tertutup, seperti sistem pelapisan perdasarkan
perbedaan ras. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa dalam masyrakat
dengan sistem pelapisan sosial  terbuka tidak ditemui adanya ascribed status.
Kita lihat misalnya kedudukan laki-laki dalam suatu keluarga akan berbeda
dengan kedudukan isteri dan  anak-anaknya, karena pada umumnya laki-laki
(ayah) akan menjadi kepala keluarga.

b)      Achieved Status

Yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang


sengaja dilakukan, bukan diperoleh karena kelahiran.Kedudukan ini bersifat
terbuka bagi siapa saja tergantung dari kemampuan dari masing-masing orang 
dalam mengejar dan mencapai tujuan-tujuannya. Misalnya, setiap orang bisa
menjadi dokter, hakim, guru, dan sebagainya, asalkan memnuh persyaratan
yang telah ditentukan. Dengan demikian tergantung pada masing-masing orang
apakah sanggup dan mampuh memenuhi persyaratan yang telah ditentukan atau
tidak.
Disamping kedua kedudukan tersebut di atas, sering kali dibedakan lagi
satu macam kedudukan, yaitu assigned-status,kedudukan yang diberikan.
Assigned-status, artinya suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan
yang lebih tinggi kepada seseorang karena telah berjasa kepada masyarakat.

Di atas telah dijelaskan bahwa seseorang dalam masyarakat dapat


memiliki beberapa kedudukan sekaligus, akan tetapi biasanya salah satu
kedudukan yang selalu menonjol itulah yang merupakan kedudukan yang
utama. Dengan melihat kedudukan yang menonjol tersebut, yang bersangkutan
dapat digolongkan ke dalam strata atau lapisan tertentu dalam masyarakat.

D.    Dampak Perbedaan Status Sosial  Ekonomi Masyarakat


Sebagian pakar menyakini bahwa pelapisan masyarakat sesungguhnya mulai
ada sejak masyarakat mengenal kehidupan bersama. Terjadinya stratifikasi
sosial  atau sistem pelapisan dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu sistem pelapisan yang terjadi dengan sendirinya artinya tanpa
disengaja,dan sistem pelapisan yang terjadi karena dengan sengaja disusun
untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Lapisan-lapisan dalam masyarakat yang terjadi dengan sendirinya atau tidak


disengaja misalnya, lapisan yang didasarkan pada umur, jenis kelamin,
kepandaian, sifat, keaslian keanggotaan kerabat kepala masyarakat, mungkin
pada batas-batas tertentu berdasarkan harta. Sedangkan sistem lapisan dalam
masyarakat yang sengaja disusun untuk mencapai tujuan tertentu biasanya
berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam
organisasi formal seperti pemerintahan, perusahaan, partai politik, angkatan
bersenjata dan sebagainya. Kekuasaan dan wewenang itu merupakan sesuatu
unsur khusus dalam sistem pelapisan masyarakat yang mempunyai sifat lain
daripada uang, tanah, dan benda ekonomis lainya. Hal ini disebabkan uang,
tanah, dan jenisnya dapat dibagi secara bebas dalam masyarakat tanpa merusak
keutuhan masyarakat.
Namun demikian, apabila suatu masyarakat hendak hidup teratur dan
keutuhan masyarakat tetap terjaga maka kekuasaan dan wewenang harus pula
dibagi-bagikan secara taratur, sehingga setiap orang akan jelas dimana
kekuasaan  dan wewenangnya dalam organisasi, baik secara horizontal maupun
vertikal. Secara teoritis diakui bahwa manusia dapat dianggap sederajat, akan
tetapi dalam kenyataan kehidupan dalam kelompok-kelompok sosial  tidak
demikian halnya. Dengan demikian pembedaan ke dalam lapisan-lapisan
merupakan gejala universal serta merupakan bagian dari sistem sosial  setiap
masyarakat.

Status sosial  adalah merupakan kedudukan, peranan, dan tanggung jawab


seseorang dalam masyarakatnya. Status itu dikategorikan dalam dua bagian
status karena seseorang mewarisi dari keturunannya (ascribed status), dan status
sosial  yang digenggam sebab prestasi yang diperoleh (achieved status).
Kelompok ascribed status bertali temali dengan keturunan, kelahiran dan
warisan yang mereka peroleh dari orang tua atau kakek buyut, dan tidak
dibutuhkan jerih lelah untuk masuk dalam kategori ini. Dalam masyarakat
sederhana, karakteristik ascribed status dipandang sebagai suksesi yang tidak
pernah diperdebatkan. Sebaliknya, orang yang dikelompokkan dalam kategori
achieved status adalah orang yang harus berjerih lelah, untuk menghasilkan
sesuatu yang diakui oleh masyarakat luas. Tidak dikenal paham suksesi, yang
berlaku adalah usaha dan prestasi.

Fenomena dan realitas sosial  serupa mencolok dalam masyarakat maju, di


mana kontestasi merupakan syarat menuju puncak prestasi. Kedua model status
sosial  itu terpatri dalam benak masyarakat, diakui, diupayakan – kendati pun
dicemooh – tetapi telah berlangsung berabad-abad dalam peradaban manusia.
Untuk memahami eksistensi dua status sosial  itu, kita mudah mencari, apakah
kontribusi mereka bagi masyarakat dan lingkungan sosial  pada zamannya.

Status sosial atau yang sering disebut stratifikasi sosial menunjukkan adanya
suatu ketidakseimbangan yang sistematis dari kesejahteraan, kekuasaan dan
prestise (gengsi) yang merupakan akibat dari adanya posisi sosial (rangking
sosial) seseorang di masyarakat. Sedangkan ketidakseimbangan dapat
didefinisikan sebagai perbedaan derajat dalam kesejahteraan, kekuasaan dan
hal-hal lain yang terdapat dalam masyarakat.
Adanya perbedaan status sosial dalam hal ini menyangkut perbedaan
perekonomian, dapat menimbulkan adanya kecemburuan sosial, kesejahteraan
yang tidak merata, bahkan bisa menyebabkan perbuatan yang melanggar
hukum. Perbedaan status sosial ekonomi secara tidak langsung dapat
mempengaruhi kehidupan masyarakat terutama yang berada pada lapisan
bawah.

E.     Konflik Status Sosial

Adanya perbedaan status sosial ekonomi dapat menimbulkan konflik sosial


tersendiri bagi masyarakat. Konflik sosial  berarti pertentangan antara
kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat yang diikat atas dasar suku, ras,
jenis kelamin, kelompok, status ekonomi, status sosial , bahasa, agama, dan
keyakinan politik, dalam suatu interaksi sosial  yang bersifat dinamis. Baik
dalam masyarakat homogen maupun dalam masyarakat majemuk. Konflik
sosial dapat terjadi karena adanya perbedaan yang disebabkan adanya ketidak-
adilan dalam akses pada sumberdaya ekonomi dan politik. Adanya ketidak-
adilan akses pada sumberdaya ekonomi dan politik memperparah berbagai
prasangka yang sudah ada di antara kelompok-kelompok sosial. Konflik sosial
merupakan hal yang sering terjadi mustahil dihilangkan sama sekali. Yang
harus dicegah adalah konflik yang menjurus pada pengrusakan dan
penghilangan salah satu pihak atau para pihak yang berkonflik. Oleh karena itu
konflik harus dikendalikan, dikelola, dan diselesaikan melalui hukum yang
berarti melalui jalan damai.

Macam-macam Konflik Status:


1.      Konflik Status bersifat Individual:
Konflik status yang dirasakan seseorang dalam batinnya sendiri.
Contoh:
a)      Seorang wanita harus memilih sebagai wanita karier atau ibu rumah
tangga
b)      Seorang anak harus memilih meneruskan kuliah atau bekerja

2.      Konflik Status Antar Individu:


Konflik status yang terjadi antara individu yang satu dengan individu yang lain,
karena status yang dimilikinya.
Contoh:
a)      Perebutan warisan antara dua anak dalam keluarga
b)      Tono beramtem dengan Tomi gara-gara sepeda motor yang dipinjamnya
dari kakak mereka.
F.     Sumber Konflik Sosial

Konflik yang terjadi pada manusia bersumber pada berbagai macam sebab.
Begitu beragamnya sumber konflik yang terjadi antar manusia, sehingga sulit
itu untuk dideskripsikan secara jelas dan terperinci sumber dari konflik. Hal ini
dikarenakan sesuatu yang seharusnya bisa menjadi sumber konflik, tetapi pada
kelompok manusia tertentu ternyata tidak menjadi sumber konflik, demikian
halnya sebaliknya. Kadang sesuatu yang sifatnya sepele bisa menjadi sumber
konflik antara manusia. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang
dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut
diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat
istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri
individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam
setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami
konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik
hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Kesimpulannya sumber konflik itu sangat beragam dan kadang sifatnya tidak
rasional. Oleh karena kita tidak bisa menetapkan secara tegas bahwa yang
menjadi sumber konflik adalah sesuatu hal tertentu, apalagi hanya didasarkan
pada hal-hal yang sifatnya rasional. Pada umumnya penyebab munculnya
konflik kepentingan sebagai berikut:
(1) perbedaan kebutuhan, nilai, dan tujuan,
(2) langkanya sumber daya seperti kekuatan, pengaruh, ruang, waktu, uang,
popularitas dan posisi, dan
(3) persaingan. Ketika kebutuhan, nilai dan tujuan saling bertentangan, ketika
sejumlah sumber daya menjadi terbatas, dan ketika persaingan untuk suatu
penghargaan serta hak-hak istimewa muncul, konflik kepentingan akan muncul
(Johnson & Johnson, 1991). Menurut Anoraga (dalam Saputro, 2003) suatu
konflik dapat terjadi karena perbendaan pendapat, salah paham, ada pihak yang
dirugikan, dan perasaan sensitif.

1.      Perbedaan pendapat


Suatu konflik yang terjadi karena pebedaan pendapat dimana masing-
masing pihak merasa dirinya benar, tidak ada yang mau
mengakui kesalahan, dan apabila perbedaan pendapat tersebut amat tajam
maka dapat menimbulkan rasa kurang enak, ketegangan dan sebagainya.
2.      Salah paham
Salah paham merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik.
Misalnya tindakan dari seseorang yang tujuan sebenarnya baik tetapi diterima
sebaliknya oleh individu yang lain.

3.      Ada pihak yang dirugikan


Tindakan salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau
masing-masing pihak merasa dirugikan pihak lain sehingga seseorang yang
dirugikan merasa kurang enak, kurang senang atau bahkan membenci.

4.      Perasaan sensitif


Seseorang yang terlalu perasa sehingga sering menyalah artikan tindakan
orang lain. Contoh, mungkin tindakan seseorang wajar, tetapi oleh pihak lain
dianggap merugikan.

Baron & Byrne (dalam Kusnarwatiningsih, 2007) mengemukakan konflik


disebabkan antara lain oleh perebutan sumber daya, pembalasan dendam,
atribusi dan kesalahan dalam berkomunikasi. Sedangkan Soetopo (2001) juga
mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya konflik,
antara lain:

a)      ciri umum dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik


b)      hubungan pihak-pihak yang mengalami konflik sebelum terjadi konflik
c)      sifat masalah yang menimbulkan konflik
d)     lingkungan sosial tempat konflik terjadi
e)      kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik
f)       strategi yang biasa digunakan pihak-pihak yang mengalami konflik
g)      konsekuensi konflik terhadap pihak yang mengalami konflik dan terhadap
pihak lain
h)      tingkat kematangan pihak-pihak yang berkonflik.
Ada enam kategori penting dari kondisi-kondisi pemula (antecedent
conditions) yang menjadi penyebab konflik, yaitu:
a)      persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources)
b)      ketergantungan pekerjaan (task interdependence)
c)      kekaburan bidang tugas (jurisdictional ambiguity)
d)     problem status (status problem)
e)      rintangan komunikasi (communication barriers)
f)       sifat-sifat individu (individual traits)
(Robbins, Walton & Dutton dalam Wexley & Yukl, 1988).

Schmuck (dalam Soetopo dan Supriyanto, 1999) mengemukakan bahwa


kategori sumber-sumber konflik ada empat, yaitu

a)      adanya perbedaan fungsi dalam organisasi


b)      adanya pertentangan kekuatan antar orang dan subsistem
c)      adanya perbedaan peranan
d)     adanya tekanan yang dipaksakan dari luar kepada organisasi.

Sedangkan Handoko (1998) menyatakan bahwa sumber-sumber konflik


adalah sebagai berikut.

A. Komunikasi: salah pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa


yang sulit dimengerti, atau informasi yang mendua dan
tidak lengkap, serta gaya individu manajer yang tidak konsisten.

B. Struktur: pertarungan kekuasaan antar departemen dengan kepentingan-


kepentingan atau sistem penilaian yang bertentangan, persaingan untuk
memperebutkan sumber-sumber daya yang terbatas, atau saling
ketergantungan dua atau lebih kelompok-kelompok kegiatan kerja untuk
mencapai tujuan mereka.

C.  Pribadi: ketidaksesuaian tujuan atau nilai-nilai sosial pribadi karyawan


dengan perilaku yang diperankan pada jabatan mereka,
dan perbedaan dalam nilai-nilai atau persepsi.
    

      Berbeda pula dengan pendapat Mangkunegara (2001) bahwa penyebab


konflik dalam organisasi adalah:
(1) koordinasi kerja yang tidak dilakukan,
(2) ketergantungan dalam pelaksanaan tugas,
(3) tugas yang tidak jelas (tidak ada diskripsi jabatan),
(4) perbedaan dalam orientasi kerja,
(5) perbedaan dalam memahami tujuan organisasi,
(6) perbedaan persepsi,
(7) sistem kompetensi intensif (reward), dan
(8) strategi permotivasian yang tidak tepat.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang sumber konflik sebagaimana
dikemukakan oleh beberapa ahli, dapat ditegaskan bahwa sumber konflik dapat
berasal dari dalam dan luar diri individu. Dari dalam diri individu misalnya
adanya perbedaan tujuan, nilai, kebutuhan serta perasaan yang terlalu sensitif.
Dari luar diri individu misalnya adanya tekanan dari lingkungan, persaingan,
serta langkanya sumber daya yang ada.

a)      Faktor Penyebab Konflik

1)   Perbedaan individu


Perbedaan kepribadian antar individu bisa menjadi faktor penyebab
terjadinya konflik, biasanya perbedaan individu yang menjadi sumber konflik
adalah perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang
unik, artinya setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda
satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau
lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab
dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan
kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan
pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbedabeda. Ada yang
merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur. 

2)   Perbedaan latar belakang kebudayaan

Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi


yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola
pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda
itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu
konflik.

3)   Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok

Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan


yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing
orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda- beda. Kadang-
kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang
berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal
pemanfaatan hutan.
Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang
menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh
ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai
penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para
pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna
mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta
lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di
sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan
kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat.
Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang
politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok
atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh
dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara
keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha
menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar
bidang serta volume usaha mereka.

4)   Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.


Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu
berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu
terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami
proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab
nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian
secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.

Makalah Konflik Sosial 

Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotong royongan berganti


menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis
pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural
yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan
berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang
cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti
jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika
terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan prosesproses
sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua
bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan
masyarakat yang telah ada. 
G.    Bentuk Konflik Sosial

Sasse (1981) mengajukan istilah yang bersinonim maknanya dengan nama


conflict style, yaitu cara orang bersikap ketika menghadapi pertentangan.
Conflict style ini memiliki kaitan dengan kepribadian. Maka orang yang
berbeda akan menggunakan conflict style yang berbeda pada saat mengalami
konflik dengan orang lain. Sedangkan Rubin (dalam Farida, 1996) menyatakan
bahwa konflik timbul dalam berbagai situasi sosial, baik terjadi dalam diri
seseorang individu, antar individu, kelompok, organisasi maupun antar negara.
Ada banyak kemungkinan menghadapi konflik yang dikenal dengan istilah
manajemen konflik. Konflik yang terjadi pada manusia ada berbagai macam
ragamnya, bentuknya, dan jenisnya. Soetopo (1999) mengklasifikasikan jenis
konflik, dipandang dari segi materinya menjadi empat, yaitu:

1.      Konflik tujuan


Konflik tujuan terjadi jika ada dua tujuan atau yang kompetitif bahkan
yang kontradiktif.

2.      Konflik peranan


Konflik peranan timbul karena manusia memiliki lebih dari satu peranan
dan tiap peranan tidak selalu memiliki kepentingan yang
sama.
  

3.      Konflik nilai


Konflik nilai dapat muncul karena pada dasarnya nilai yang dimiliki setiap
individu dalam organisasi tidak sama, sehingga konflik
dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan
organisasi.

4.      Konflik kebijakan


Konflik kebijakan dapat terjadi karena ada ketidaksetujuan individu atau
kelompok terhadap perbedaan kebijakan yang dikemuka- kan oleh satu pihak
dan kebijakan lainnya.
Konflik dipandang destruktif dan disfungsional bagi individu yang terlibat
apabila:

1.      Konflik terjadi dalam frekuensi yang tinggi dan menyita sebagian besar
kesempatan individu untuk berinteraksi. Ini menandakan bahwa problem tidak
diselesaikan secara kuat. Sebaliknya, konflik yang konstruktif terjadi dalam
frekuensi yang wajar dan masih memungkinkan individu-individunya
berinteraksi secara harmonis.

2.      Konflik diekspresikan dalam bentuk agresi seperti ancaman atau paksaan
dan terjadi pembesaran konflik baik pembesaran masalah yang menjadi isu
konflik maupun peningkatan jumlah individu yang terlibat. Dalam konflik yang
konstruktif isu akan tetap terfokus dan dirundingkan melalui proses pemecahan
masalah yang saling menguntungkan.

3.      Konflik berakhir dengan terputusnya interaksi antara pihak-pihak yang


terlibat. Dalam konflik yang konstruktif, kelangsungan hubungan antara pihak-
pihak yang terlibat akan tetap terjaga. Sedangkan Handoko (1984) membagi
konflik menjadi 5 jenis yaitu: (1) konflik dari dalam individu, (2) konflik antar
individu dalam organisasi yang sama, (3) konflik antar individu dalam
kelompok, (4) konflik antara kelompok dalam organisasi, (5) konflik antar
organisasi.

Berbeda dengan pendapat diatas Mulyasa (2003) membagi konflik


berdasarkan tingkatannya menjadi enam yaitu: (1) konflik intrapersonal, (2)
konflik interpersonal, (3) konflik intragroup, (4) konflik intergroup, (5) konflik
intraorganisasi, dan (6) konflik interorganisasi. Menurut Dahrendorf (1986),
konflik dibedakan menjadi 4 macam: (1) konflik antara atau dalam peran sosial
(intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi
(konflik peran (role); (2) konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar
keluarga, antar gank); (3) konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir
(polisi melawan massa); dan (4) konflik antar satuan nasional (perang saudara).
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut: (1) meningkatkan solidaritas
sesama anggota kelompok (in-group) yang mengalami konflik dengan
kelompok lain; (2) keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai; (3)
perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbul nya rasa dendam, benci,
saling curiga dan sebagainya; (4) kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa
manusia; dan (5) dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat
dalam konflik.
  
Para pakar teori konflik mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik
dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-
dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil
tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut.

1.      Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan
percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.

2.      Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan
percobaan untuk "memenangkan" konflik.

3.      Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan
percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.

4.      Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan
untuk menghindari konflik.

H.    Solusi Pemecahan Konflik Sosial

Usaha manusia untuk meredakan pertikaian atau konflik dalam mencapai


kestabilan dinamakan “akomodasi”. Pihak-pihak yang berkonflik kemudian
saling menyesuaikan diri pada keadaan tersebut dengan cara bekerja sama.
Bentuk-bentuk akomodasi :

1.      Gencatan senjata, yaitu penangguhan permusuhan untuk jangka waktu


tertentu, guna melakukan suatu pekerjaan tertentu yang tidak boleh diganggu.
Misalnya : untuk melakukan perawatan bagi yang luka-luka, mengubur yang
tewas, atau mengadakan perundingan perdamaian, merayakan hari suci
keagamaan, dan lain-lain.

2.      Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak


ketiga yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah
pihak. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja
dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak bisa
dipilih maka pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.
3.      Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak
diberikan keputusan yang mengikat. Contoh : PBB membantu menyelesaikan
perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.

4.      Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak


yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama. Misalnya : Panitia tetap
penyelesaikan perburuhan yang dibentuk Departemen Kestabilan N Tenaga
Kerja. Bertugas menyelesaikan persoalan upah, jam kerja, kesejahteraan buruh,
hari-hari libur, dan lain-lain.

5.      Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan


memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling
menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi
untuk maju atau mundur. Sebagai contoh : adu senjata antara Amerika
Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang dingin.

6.      Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa


di pengadilan.

Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik sosial adalah :

1.      Elimination, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam
konflik, yang diungkapkan dengan ucapan antara lain : kami mengalah, kami
keluar, dan sebagainya.

2.      Subjugation atau domination, yaitu orang atau pihak yang mempunyai


kekuatan terbesar untuk dapat memaksa orang atau pihak lain menaatinya.
Sudah barang tentu cara ini bukan suatu cara pemecahan yang memuaskan bagi
pihak-pihak yang terlibat.

3.      Majority rule, yaitu suara terbanyak yang ditentukan melalui voting untuk


mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan argumentasi.

4.      Minority consent, yaitu kemenangan kelompok mayoritas yang diterima


dengan senang hati oleh kelompok minoritas. Kelompok minoritas sama sekali
tidak merasa dikalahkan dan sepakat untuk melakukan kerja sama dengan
kelompok mayoritas.
5.      Kompromi, yaitu jalan tengah yang dicapai oleh pihak-pihak yang terlibat
di dalam konflik.

6.      Integrasi, yaitu mendiskusikan, menelaah, dan mempertimbangkan


kembali pendapat-pendapat sampai diperoleh suatu keputusan yang memaksa
semua pihak.

I.       Konflik Ekonomi dan Solusi Konflik Ekonomi

1.      Masalah Kemiskinan

Pada akhir tahun 1996 jumlah penduduk miskin Indonesia sebesar 22,5
juta jiwa atau sekitar 11,4% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Namun,
sebagai akibat dari krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak pertengahan
tahun 1997, jumlah penduduk miskin pada akhir tahun itu melonjak menjadi
sebesar 47 juta jiwa atau sekitar 23,5% dari jumlah keseluruhan penduduk
Indonesia. Pada akhir tahun 2000, jumlah penduduk miskin turun sedikit
menjadi sebesar 37,3 juta jiwa atau sekitar 19% dari jumlah seluruh penduduk
Indonesia.

Dari segi distribusi pendapatan nasional, penduduk Indonesia berada


dalam kemiskinan. Sebagian besar kekayaan banyak dimiliki kelompok
berpenghasilan besar atau kelompok kaya Indonesia.

Upaya penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan melalui berbagai cara,


misalnya program IDT (Inpres Desa Tertinggal), KUK (Kredit Usaha Kecil),
KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) PKT (Program Kawasan Terpadu), GN-
OTA dan program wajib belajar.

2.      Masalah Keterbelakangan


Masalah yang dihadapi adalah rerndahnya tingkat pendapatan dan
pemerataannya, rendahnya pelayanan kesehatan, kurang terpeliharanya fasilitas
umum, rendahnya tingkat disiplin masyarakat, renddahnya tingkat keterampilan,
rendahnya tingkat pendidikan formal, kurangnya modal, produktivitas kerja,
lemahnya manajemen usaha. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah berupaya
meningkatkan kualitas SDM, pertukranan ahli, transper teknologi dari Negara
maju.
3.      Masalah pengangguran dan kesempatan kerja

Masalah pengangguran timbul karena terjadinya ketimpangan antara jumlah


angkatan kerja dan kesempatan kerja yang tersedia. Untuk mengatasi masalah
ini pemerintah melakukan pelatihan bagi tenaga kerja sehingga tenaga kerja
memeiliki keahlian sesuai dengan lapangan kerja yang tersedia, pembukaan
investasi baru, terutama yang bersifat padat karya, pemberian informasi yang
cepat mengenai lapangan kerja

4.      Masalah kekurangan modal

Kekurangan modal adalah suatu cirri penting setiap Negara yang memulai
proses pembangunan. Kekurangan modal disebabkan tingkat pendapatan
masyarakat yang rendah yang menyebabkan tabungan dan tingkat pembentukan
modal sedikit. Cara mengatasinya melalui peningkatan kualitas SDM atau
peningkatan investasi menjadi lebih produktif.

5.      Krisis Nilai Tukar

Krisis mata uang yang telah mengguncang Negara-negara Asia pada awal tahun
1997, akhirnya menerpa perekonomian Indonesia. Nilai tukar rupiah yang
semula dikaitkan dengan dolar AS secara tetap mulai diguncang spekulan yang
menyebabkan keguncangan pada perekonomian yang juga sangat tergantung
pada pinjaman luar negeri sektor swasta. Pemerintah menghadapi krisis nilai
tukar ini dengan melakukan intervensi di pasar untuk menyelamatkan cadangan
devisa yang semakin menyusut. Pemerintah menerapkan kebijakan nilai tukar
yang mengambang bebas sebagai pengganti kebijakan nilai tukar yang
mengambang terkendali.
3 . PENUTUP
A.    Kesimpulan

Pluralisme dalam perspektif filsafat budaya merupakan konsep kemanusiaan


yang memuat kerangka interaksi dan menunjukkan sikap saling menghargai,
saling menghormati, toleransi satu sama lain dan saling hadir bersama atas dasar
persaudaraan dan kebersamaan; dilaksanakan secara produktif dan berlangsung
tanpa konflik sehingga terjadi asimilasi dan akulturasi budaya. Pluralitas tidak
bisa dihindarkan apalagi ditolak meskipun golongan tertentu cenderung
menolaknya karena pluralitas dianggap ancaman terhadap eksistensi
komunitasnya. Sebenarnya pluralisme merupakan cara pandang yang bersifat
horisontal, menyangkut bagaimana hubungan antarindividu yang berbeda
identitas harus disikapi.

Adanya plularitas inilah yang mengakibatkan adanya status sosial ekonomi.


Faktor status sosial ekonimi diantaranya ialah; kekayaan dan penghasilan,
pekerjaan, pendidikan, ukuran kehormatan, ukuran kekuasaan, ukuran ilmu
pengetahuan, kedudukan dan peran. Perbedaan status sosial akan dapat
berdampak pada konflik sosial diantara penyebabnya antara lain; perbedaan
pendapat, salah paham, ada pihak yang dirugikan dan perasaan yang sensitif.

Konflik yang terjadi pada manusia ada berbagai macam ragamnya,


bentuknya, dan jenisnya. Soetopo (1999) mengklasifikasikan jenis konflik,
dipandang dari segi materinya menjadi empat, yaitu: Konflik tujuan. Konflik
peranan, Konflik nilai, Konflik kebijakan.

Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik sosial


adalah : Elimination, Subjugation atau domination, Majority rule, Minority cons
ent, Kompromi, Integrasi.

Untuk mengatasi atau solusi dari konflik status sosial ekonomi di masyarakat
permasalahan ekonomi adalah sebuah topik dari banyak topik dalam
mempelajari ilmu ekonomi. Dan merupakan topik yang paling banyak
dibicarakan baik itu di masyarakat maupun media.

Di Indonesia terdapat banyak sekali permasalahan ekonomi. Pemerintah


selalu berupaya untuk menghilangkan masalah-masalah ekonomi di negeri kita
ini, meskipun belum semuanya dapat terlaksana dan terealisasikan dengan baik.
Sebagai warga Negara kita dapat berpartisipasi untuk mengatasi masalah ini.
Misalnya dengan cara belajar dengan baik dan membayar pajak

B.     Saran
Dari beberapa konflik yang ada kita bisa menyarankan untuk para orang –
orang bersangkutan sebaiknya dari permasalahan ini kita mencari jalan keluar
agar masalah yang ada segera untuk menyelesaikan masalah yang ada di sekitar
dan di Indonesia. Selain itu, kita bisa mengambil makna dari permasalahan yang
ada disekitar.
  

4. DAFTAR PUSTAKA
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47831/3/Konflik%20sosial.pdf
KONFLIK SOSIAL DALAM MASYARAKAT MODEREN Penyelesaian Menurut Hukum
Positif, Politik dan Adat © Dr. Alfitra, SH., MH
https://www.wikipedia.org/

Anda mungkin juga menyukai