A. Kemajemukan dan Kesetaraan Sebagai Kekayaan Sosial Budaya Bangsa
1. Kemajemukan Sebagai Kekayaan Bangsa Indonesia Indonesia adalah bangsa yang majemuk, baik etnik, agama, ras, golongan, tingkat ekonomi, hingga gender. Keragaman etnik menjadikan Indonesia sebagai negara yang paling heterogen di dunia (lebih dari 300 suku). Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural. Plural artinya jamak, banyak ragam, atau majemuk. Kemajemukan masyarakat Indonesia adalah suatu kenyataan atau fakta yang justru kita terima sebagai kekayaan sosial budaya bangsa. Kekayaan yang terefleksi dari kemajemukan etnis, budaya dan agama mengantarkan Indonesia menjadi sebuah negara dengan kekuatan budaya yang khas di dunia. Kesadaran akan kemajemukan bangsa tersebut sesungguhnya sudah tercermin dengan baik melalui semboyan bangsa kita, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Bhineka artinya aneka, berbeda-beda, banyak ragam. Tunggal Ika menunjukkan semangat akan perlunya persatuan dari keanekaragaman tersebut. Bhineka adalah kenyataan (das sein) sedang Ika adalah keinginan (das sollen). Kemajemukan adalah karakteristik sosial budaya Indonesia. Selain kemajemukan, karakteristik Indonesia yang lain adalah : a. Jumlah penduduk yang besar b. Wilayah yang luas c. Posisi silang d. Kekayaan alam dan daerah tropis e. Jumlah pulau yang banyak f. Persebaran pulau
2. Kesetaraan Sebagai Warga Bangsa Indonesia
Pengakuan akan prinsip kesetaraan dan kesederajatan itu secara yuridis diakui dan dijamin oleh Negara melalui UUD 1945. Warga Negara tanpa dilihat perbedaan ras, suku, agama dan budayanya diperlakukan sama dan memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945. Secara yuridis maupun politis, segala warga negara memiliki persamaan kedudukan, baik dalam bidang politik, hukum, pemerintahan, ekonomi, dan sosial. Negara tidak boleh membeda-bedakan kedudukan warga negara tersebut terutama dalam hal kesempatan. Kesempatan yang sama bagi semua warga negara tersebut dalam berbagai bidang kehidupan berlaku tanpa membedakan unsur-unsur primodial dari warga negara itu sendiri. Primodial artinya hal-hal yang berkaitan dengan asal atau awal seseorang, misalnya suku, agama, ras, kelompok, sejarah. Demikian juga dalam negara yang menganut asas demokrasi yang mengakui dan menjamin pelaksanaan atas persamaan kedudukan warga negara, baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
B. Problema Keragaman dan Kesetaraan Serta Solusinya dalam Kehidupan
1. Problema Keragaman dan Solusinya Masyarakat majemuk atau masyarakat yang beragam selalu memiliki sifat-sifat dasar sebagai berikut: a. Terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang sering kali memiliki kebudayaan yang berbeda. b. Memiliki strutkutr sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga- lembaga yang bersifat nonkomplementer. c. Kurang mengembangkan consensus di antara para anggota masyarakat tentan nilai-nilai sosial yang bersifat dasar. d. Secara relatif, sering kali terjadi konflik di antara kelompok yang satu dengan yang lainnya. e. Secara relatif, integrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi. f. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok terhadap kelompok yang lain. Berdasarkan sifat-sifat dasar diatas dapat dikatakan pula bahwa dalam masyarakat majemuk akan sering terjadi konflik antara masyarakat yang satu dengan lainnya akibat perbedaan yang ada tidak disikapi dengan bijaksana. Konflik horizontal yang terjadi bukan disebabkan oleh adanya perbedaan atau keragaman itu sendiri. Adanya perbedaan ras, etnik, dan agama tidaklah harus menjadikan kita bertikai dengan pihak lain. Yang menjadi penyebab adalah tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok masyarakat dan budaya lain, inilah justru yang dapat memicu konflik. Kesadaranlah yang dibutuhkan untuk menghargai, menghormati, serta menegakkan prinsip kesetaraan atau kesederajatan antar masyarakat tersebut. Satu hal yang penting adalah meningkatkan pemahaman antar budaya dan masyarakat yang mana sedapat mungkin menghilangkan penyakit budaya. Penyakit budaya tersebut adalah etnosentrisme (kecenderungan untuk menetapkan semua norma dan nilai budaya orang lain dengan standar budaya sendiri), stereotip (pemberian sifat tertentu terhadap seseorang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif, hanya karena ia berasal dari kelompok yang berbeda), prasangka (sikap emosi yang mengarah pada cara berpikir dan berpandangan secara negative dan tidak melihat fakta yang nyata ada), rasisme (anti terhadap ras lain atau ras tertentu diluar ras sendiri), diskriminasi (tindakan yang membeda-bedakan dan kurang bersahabat dar kelompok dominan terhadap kelompok subordinasinya), dan space goating (perkambing hitaman). (Sutarno, 2007). Adapun problema keragaman tersebut adalah: keragaman yang ada kadang kala menimbulkan sikap saling curiga antar masyarakat yang satu dengan lainnya. Sikap curiga ini timbul akibat tidak adanya sikap terbuka, logis, dan dewasa atas keragaman masyarakat tersebut. Akibatnya: a. Terjadinya disharmonisasi/ketidakharmonisan yang menimbulkan disintegrasi b. Terjadinya disintegrasi/perpecahan yang merupakan fase dimana sudah tidak dapat disatukan lagi pandangan, nilai, norma dan tindakan kelompok yang menyebabkan pertentangan antar kelompok. c. Menimbulkan perilaku diskriminatif terhadap kelompok masyarakat tertentu d. Menimbulkan sikap rasialis (mengangggap derajat kelompoknya lebih tinggi dari kelompok lain) Untuk menghindari dampak buruk dari problem keragaman yang terjadi di masyarakat seperti yang dijelaskan, ada beberapa hal (solusi) yang dapat dilakukan, yaitu: a. Integrasi berdasarkan sukarela bukan keterpaksaan. b. Meningkatkan semangat religius, semangat nasionalisme, semangat pluralisme, semangat humanisme, dialog antar umat beragama dan membangun suatu pola komunikasi untuk interaksi maupun konfigurasi hubungan antar agama, media massa, dan harmonisasi dunia. c. Jalin komunikasi antar budaya daerah. d. Melakukan reintegrasi. e. Hilangkan penyakit budaya Peran pemerintah dalam menjaga keragaman yang ada adalah pemerintah sebagai pengayom dan pelindung bagi warganya, sekaligus sebagai penjaga tata hubungan interaksi antar kelompok-kelompok kebudayaan yang ada di Indonesia, membangun masyarakat Indonesia yang multibudaya, dimana acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multibudaya adalah multibudayaisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.
2. Problem Kesetaraan Serta Solusinya
Prinsip kesetaraan atau kesederajatan mensyaratkan jaminan akan persamaan derajat, hak, dan kewajiban. Indikator kesederajatan adalah: adanya persamaan derajat dilihat dari agama, suku bangsa, ras, gender, dan golongan; adanya persamaan hak dari segi pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan yang layak; adanya persamaan kewajiban sebagai hamba Tuhan, individu, dan anggota masyarakat. Permasalah yang sering muncul dan bertentangan dengan kesetaraan adalah munculnya sikap dan perilaku untuk tidak mengakui adanya persamaan derajat, hak, dan kewajiban antar manusia atau antar warga (diskriminasi). Perilaku yang tidak menghargai kesetaraan adalah perilaku yang tidak mengakui Hak Asasi Manusia. Upaya untuk menekan dan menghapus praktik-praktik diskriminasi adalah: a. Melalui perlindungan dan penegakan HAM disetiap ranah kehidupan manusia oleh pemerintah dalam suatu negara ataupun kelompok atau individu terhadap individu lainnya. Negara Indonesia melindungi dan menegakkan HAM warga negara melalui Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. b. Pada tataran operasional, upaya mewujudkan persamaan di depan hukum dan penghapusan diskriminasi rasial antara lain ditandai dengan penghapusan Surat Buktti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) melalui keputusan Presiden No. 56 Tahun 1996 dan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1999. c. Ditetapkannya Imlek sebagai hari libur nasional menunjukkan perkembangan upaya penghapusan diskriminasi rasial. d. Ditetapkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). e. Semua orang dianggap sama, tanpa membedakan faktor primodial, ras, dan lain sebagainya.
3. Problem Konflik Antar Etnis
Manusia sebagai makhluk sosial yang menyebabkan interaksi sosial antar manusia. Sebagai dampak dari interaksi tersebut, terjadi pertemuan beberapa karakter, bahkan beberapa kebudayaan yang dibawa oleh masing-masing individu. Akibatnya dapat dilihat sebagai berikut: a. Tolak-menolak (konfrontasi), apabila pihak-pihak yang berinteraksi tidak dapat saling menyesuaikan diri. b. Asimilasi, apabila pihak-pihak berinteraksi dapat saling menyerap sehingga muncul kebudayaan baru demi berlangsungnya kehidupan di masyarakat tersebut. c. Akulturasi, apabila keduanya saling mengambil unsur sehingga terjadi saling menyesuaikan diri. Adapun terjadinya konflik disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya ialah perbedaan pendirian antar individu, perbedaan kebudayaan dan perbedaan kepentingan. Penanganan dari problem ini adalah perlunya kesadaran bahwa perbedaan setiap suku bangsa mempunyai tata nilai dan tradisi yang berbeda-beda pula. Sudah saatnya setiap warga negara bersikap terbuka dan mau menerima kebudayaan etnis lain. Pandangan primordial yang akan membawa pada suatu sikap picik perlu segera diubah, serta munculnya perasaan superior harus segera di tinggalkan.
4. Problem Konflik Antar Agama
Menurut Clifford Geertz, agama merupakan unsur perekat yang menimbulkan keharmonisan sekaligus unsur pembelah yang dapat menimbulkan disintegrasi. Dalam pandangan fungsional, agama addalah sesuatu yang mempersatukan inspirasi paling luhur, memberikan pedoman moral, serta memberikan ketenangan individu dan kedamaian bagi masyarakat (Nuning Wueyanti, 2007: 141). Namun, pada saat yang sama, kadang-kadang agama dijadikan sebagai alat untuk memecah persatuan bangsa. Agama dijadikan sebagai kedok untuk mencapai ambisi yang diinginkan. Akibatnya, masyarakat mempunyai pemikiran sempit, dan mudah terbakar dengan segala macam isu yang dihembuskan oleh orang- orang yang tidak bertanggungjawab. Upaya yang dapat dilakukan adalah mengembangkan sikap toleransi antar umat beragama dan membiarkan orang lain melakukan kegiatan keagamaan merupakan suatu keharusan yang perlu dilakukan.
5. Problem Konflik antara Mayoritas dengan Minoritas
Di Indonesia masih banyak dijumpai adanya perasaan sebagai etnis yang merasa paling berkuasa di wilayahnya. Akibatnya, etnis yang secara ekonomi yang lebih mapan dapat menjadi pemicu terjadinya konflik. Oleh karena itu, setiap etnis harus dapat menghargai setiap perbedaan yang ada, karena perbedaan adalah sebuah anugerah, bukan musibah.
6. Problem antara Pribumi dengan Nonpribumi serta Perlakuan Diskriminatif
Sentiment rasial dan etnis di Indonesia merupakan sebuah isu yang sangat berpotensi memunculkan konflik. Diskriminasi mempunyai dua pengertian, yaitu: a. Diskriminasi merupakan penyangkalan hak-hak suatu kelompok warna Negara yang sebenarnya berlaku untuk semua warga Negara. b. Diskriminasi merupakan penyangkalan terhadap hak-hak minoritas. Tantangan pada saat ini adalah bagaiman bangsa Indonesia dapat hidup damai berdampingan satu sama lain. Untuk itu harus dihilangkan prasangka buruk, salah paham dan kebencian, serta menemukan dan mengembangkan nilai-nilai bersama, yaitu nilai kemanusiaan yang mengikat sebagai satu bangsa. Oleh karena itu, sikap toleransi antar suku bangsa, agama, dan golongan harus benar-benar dikembangkan.