Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia dalam kehidupan sehari-hari selalu berkaitan dengan konsep kesetaraan


dan keragaman. Konsep kesetaraan, bisa dikaji dengan pendekatan formal dan pendekatan
substantif. Pada pendekatan formal kita mengkaji kesetaraan berdasarkan peraturan-
peraturan yang berlaku, baik berupa undang-undang, maupun norma, sedangkan
pendekatan substantif mengkaji konsep kesetaraan berdasarkan keluaran, maupun proses
terjadinya kesetaraan.
Konsep kesetaraan biasanya dihubungkan dengan gender, status, hirarki sosial,
dan berbagai hal lainnya yang mencirikan perbedaan-perbedaan serta persamaan-
persamaan. Sedangkan konsep keragaman merupakan hal yang wajar terjadi pada
kehidupan dan kebudayaan umat manusia.Kalau kita perhatikan lebih cermat, kebudayaan
Barat dan Timur mempunyai landasan dasar yang bertolak belakang. Kalau di Barat
budayanya bersifat antroposentris (berpusat pada manusia) sedangkan Timur, yang
diwakili oleh budaya India, Cina dan Islam, menunjukkan ciri teosentris (berpusat pada
Tuhan).
Dengan demikian konsep-konsep yang lahir dari Barat seperti demokrasi,
mengandung elemen dasar serba manusia, manusialah yang menjadi pusat perhatiannya.
Sedangkan Timur mendasarkan segala aturan hidup, seperti juga konsep kesetaraan dan
keberagaman, berdasarkan apa yang diatur oleh Tuhan melalui ajaran-ajarannya.
Penilaian atas realisasi kesetaraan dan keragaman pada umat manusia, khususnya
pada suatu masyarakat, dapat dikaji dari unsur-unsur universal kebudayaan pada berbagai
periodisasi kehidupan masyarakat. Pada makalah ini, dikaji tentang keragaman dan
kesetaraan yang ada dalam diri manusia sebagai individu, terutama dalam kelompok-
kelompok sosial di masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana hakikat manusia dalam dinamika sosial budaya ?


2. Bagaimana keragaman dalam dinamika sosial budaya ?
3. Bagaimana kesetaraan dalam dinamika sosial budaya ?

1
1.3 Tujuan Penulisan

1. Mahasiswa dapat mengetahui makna keragaman dan kesedarajatan


2. Mahasiswa dapat mengetahui unsur keragaman masyarakat
3. Mahasiswa dapat mengetahui pengaruh keragaman terhadap kehidupan
4. Mahasiswa dapat mengetahui problematika diskriminasi dan hak asasi manusia
5. Mahasiswa dapat mengetahui manusia beradab dalam keragaman
6. Mahasiswa dapat mengetahui kearifan lokal di tengah keragaman budaya
7. Mahasiswa dapat mengetahui keragaman budaya dan isu
8. Mahasiswa dapat mengetahui konflik di antara keragaman
9. Mahasiswa dapat mengetahui HAM dan upaya penyelesaian konflik
10. Mahasiswa dapat mengetahui toleransi dan harmoni di dalam keragaman
11. Mahasiswa dapat mengetahui pendidikan multikultural di tengah keragaman
12. Mahasiswa dapat mengetahui implementasi pendidikan multikultural

1.1 Manfaat Penulisan

Dalam penulisan makalah ini memiliki manfaat untuk menambah ilmu dan wawasan
mengenai hakikat manusia,keragaman,dan kesetaraan dalam dinamika sosial dan budaya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Makna Keragaman dan Kesedarajatan

Istilah keragaman berasal dari kata ragam. Jika disimak dari Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI). Ragam,artinya tingkah laku,macam,jenis,warna-warni,corak,dan
sebagainya.Jadi keragaman maksudnya adalah suatu kodisi dalam masyarakat dimana
terdapat perbedaan. Perbedaan dalam berbagai bidang, terutama suku bangsa,ras etis,
bahasa,seni,agama dan keyakian religi,ideologi,adat istiadat, serta corak kehidupan sosial
lainnnya.

Istilah kesederajatan atau sederajat, artinya sama tingkaan pangkat,kedudukan jadi,


kesederajatan dapat diartikan suatu kondisi dimana dalam perbedaan dan keragaman yang
ada pada manusia tetap memiliki satu kedudukan yang sama dari tingkatan hierarki.

2.2 Unsur Keragaman Masyarakat

Keragaman bangsa Indonesia dapat dibuktikan melalui indikasi-indikasi sebagai berikut.

1. Geografis
Indonesia adalah negara yang terdiri atas pulau dan kepulauan. Artinya, negeri
yangbertabung pulau (ada 17.404) pulau, besar-kecil diatas betangan dua samudra
yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik
2. Suku Bangsa dan Ras
Bangsa Indonesia ,begitulah sebutan ikatan politik dari 1.280 suku bangsa
yang mendiami negeri ini (suku bangsa yang telah terdata). Suku bangsa yang
menempati wilayah Indonesia dari Sabang sampai Marauke sangat beragam. Di
Indonesia, terutama bagian barat mulai dari Sumatera adalah termasuk ras Mongoloid
Melayu Muda (Deutero Melayan Mongoloid), kecuali Batak dan Toraja yang
termasuk Mongoloid Melayu Tua (Proto Malayan Mongoloid). Sebelah timur
Indonesia termasuk ras Austroloid termasuk bagian NTT. Kemudian kelompok
terbesar yang tidak termasuk kelompok pribumi adalah gelongan China yang
termasuk Astractur Mongoloid. Diwilayah Papua, secara fisik termasuk ras
Negrito.Berangkat dari keadaan tersebut, berarti Indonesia termasu multietnis.

3
3. Agama dan Keyakinan (Religi)
Agama dan keyakinan mengandung arti ikatan yang harus dipegang teguh dan
dipatuhi oleh manusia khususnya kewajiban pengabdian manusia terhadap Tuhan.
Ikatan yang dimaksud berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia
sebagai kekuatan gaib yang tak dapat ditangkap dengan panca indra namun
mempunya pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari.
Pada dasarnya agama dan keyakinan merupakan unsur penting dalam
keragaman bangsa Indonesia. Dalam Praktiknya fungsi agama dalam masyarakat
antara lain sebagai berikut.
a. Pendidikan (eduratif), artinya ajaran agama secara yuridis berfungsi meyakinkan
atau memerintahkan manusia berbuat baik dan benar dan melarang pernuatan hina
b. Penyelamat artinya manusia memiliki harapan kepada Tuhannya dengan cara
berdoa tujuannya adalah selamat didunia dan akherat
c. Sarana Perdamaian artinya secara tidak ada agama atau keyakinan apa pun
didunia yang mengajarkan umatnya untuk saling konfilk atau pertikaian
sebaliknya agama sebagai sarana perdamaian hidup manusia walaupun berbeda
keyakinan.
d. Konflik sosial maksudnya agama dapat dijadikan sebagai sarana pengontrol
perilaku manusia baik secara individu maupun kelompok
e. Pemupuk rasa solidaritas artinya melalui ibadah aau ritual secara sadar melakukan
komunikasi untuk menymbah atau memohon kepada sang pencipta
f. Transformatif artinya eksistensi agama adalah sebagai salah satu cara dan saana
untuk mentrasformasikaninformasi,pengetahuan,dan ilmu keagamaan kepada
orang lain.
g. Kreatif artinya agama di dalamnya terdapat pesan-pesan kepada umat manusia
melakukan tindakan dan kreatifitas.
4. Ideologi dan Politik
Ideologi ialah suatu istilah umum bagi sebuah gagasan yang berpengaruh kuat
terhadap tingkah laku dalam situasi khusus karenamerupan ikatan antara tindakan dari
kepercayaan yang fundamental. Ideologi membantu untuk lebih memperkuat
landasan bagi sebuah tindakan. Kemudian dalam politik biasanya menggunakan
ideologi sebagai garis pergerakan. Di dalam politik terdapat konflik antara individu-
individu dan kelompok untuk memperoleh kekuasaan. Ideologi dan politik juga
digunakan oleh para politik untuk mencapai kemenangan dan keuntungan,sehingga

4
dapat berpengaruh terhadap orang lain. Namun demikian politik juga bermakna
sebagai usaha untuk menegakan ketertiban sosial.
5. Bahasa dan Tata Krama
Bahasa merupakan sarana komunikasi manusia baik lisan,tertulis dan lambag-
lambang simbol. Namun demikian ketika manusia berinteraksi hendaknya memakai
tata krama.
Tata Krama dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat dan terdiri atas
aturan-aturan yang kalau dipatuhi diharapkan akan tercipta interaksi sosial yang tertib
dan efektif didalam masyarakat bersangkutan.
6. Kesenian
Sebagaimana pembicaraan tentang sistem bahasa,agama, dan etnis atau suku
bangsa yang ada, maka sistem kesenian ternyata menunjukan sebagai identitas
keberagaman budaya. Seni adalah sentuhan hati nurani, maka sifatnya relatif sesuai
dengan selera seseorang atau masyarakat.
7. Sistem Ekonomi
Ekonomi dalam hal ini dapat dikatakan sebagai ukuran seseorang atau individu
terkait kualitas hidup manusia. Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat menjadikan
ekonomi sebagai ukuran senang-susah, bahagia, kaya-miskin, sukses prastasi,
dermawan, dan sebaginya. Berdasarkan objeknya sisem ekonomi juga mengalami
keragaman misalnya sebagai masyrakat petani, nelayan buruh-karyawan, berdagang,
atau sebagai pegawai atau abdi negara.
8. Kesenjangan Sosial
Kesenjangan sosial merupakan dinamika yang tidakdiharapkan tetapi kasus-kasus
tertentu ternyata tidak bisa dihindari. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
yang majemuk dengan bermacam tingkat, pangkat, dan sastra sosial yang hierarkis.
Hal ini dapat terlihat dan dirasakan dengan jelas adanya pergolongan orang
berdasarkan kasta.

2.3 Pengaruh Keragaman Terhadap Kehidupan


Berdirinya negara Indonesia dilatarbelakangi oleh masyarakat yang demikian
majemuk, baik secara etnis, geografis, kultural, maupun religius. Gagasan tentang
kebudayaan nasional indonessia yang menyangkut kesadaran dan identitas sebagai satu
bangsa telah dirancang saat bangsa kita belum merdeka. Pada kehidupan sehari-hari,
kehidupan, suku bangsa dan kebudayaan agama, bersama-sama dalam kehidupan

5
berbangsa dan bernegara mewarisi perilaku dan kegiatan kita. Berbagai kebudayaan itu
beriringan saling melengkapi bahkan mampu untuk saling menyesuaikan dalam
kehidupan sehari-hari. Tetapi yang sering kali terjadi malah sebaliknya perbedaan
tersebut menciptakan ketegangan hubungan antar anggota masyarakat. Hal ini disebabkan
oleh sifat dasar yang dimiliki masyarakat majemuk yang sebagaimana telah dijelaskan
berikut ini:
a. Tejadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang sering kali
memiliki kebudayaan yang berbeda
b. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga
yang bersifat non-komplementer
c. Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota masyarakat
tentang nilai sosial yang bersifat dasar
d. Secara relatif integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling
ketergantungan di bidang ekonomi
e. Secara relatif sering kali terjadi konflik di antara kelompok satu dengan
yang lainnya
f. Adanya dominasi pollitik oleh suuatu kelompok terhadap kelompok lain

Realitas diatas harus diakui dengan sikap terbuka, logis dan dewasa. Jika keterbukaan dan
kedewasaan sikap diikesampingkan maka besar kemuungkinan tercipta masalah yang
menggoyahkan persatuan seperti:

a. Disharmoni, yaitu tidak adanya penyesuaian atas keragaman antara


manusia dengan lingkungan
b. Perilaku diskriminatif terhadap etnis atau kelompok masyarakat tertentu
akan memunculkan masalah seperti kesenjangan
c. Ekslsivisme, rasialis, bersumber dari superioritas diri, alasannya seperti:
keyakinan bahwa secara kodrat ras aatau suuku kelompoknya lebih tinggi
dari yang lain

Hal yang dapat dilakuukan untuk memperkecil masalah yang diakibatkan oleh pengaruh
negatif keberagaman:

a. Semangat religius
b. Semangat nasionalisme
c. Semangat pruralisme

6
d. Semangat humanisme
e. Semangat toleransi
f. Membangun pola komunikasi untuk interaksi maupun konfigurasi
hubungan antar agama, media massa dan harmonisasi dunia

Keterbukaan, kedewasaan sikap, pemikian global yang bersifat inklusif serta


kesadaran kebersamaan dalamm mengarungi sejarah meruupakan modal yang sangat
menentukan bagi terwujudnya sebuah bangsa yang bhineka tunnggal ika. Menyatu dalam
keragaman dan beragam dalam kesatuan. segala bentuk kesenjangan didekatkan, segala
keanekaragaman dipandang sebagai kekayaan bangsa, milik bersama. Sikap inilah yang
perlu dikembangkan dalam pola pikir masyarakat untuuk menghadapi keberagaman.

2.4 Problematika Diskriminasi dan Hak Asasi Manusia


Diskriminasi adalah setiap tindakan yang melakukan perbedaan terhadap seseorang
atau sekelompok orang berdasarkan suku, ras, agama, etnis, kelompok, golongan, status,
dan kelas status-ekonomi, jenis kelamin, kondisi fisik tubuh, usia, orientasi seksual,
pandangan ideologi politik, serta batas negara dan kebangsaan seseorang. Diskriminasi
termasuk kedalam pelanggaran Hak Asasi Manusia(HAM).
Secara umum,hak yang dimiliki manusia meliputi; hak hidup(to live), hak
mendapatkan kebebasan(to liberty), dan hak kepemilikan(to property). Tuntutan atas
kesamaan hak bagi setiap manusia didasarkan pada prinsip-prinsip Hak Asasi
Manusia(HAM). Sifat dari HAM adalah universal dan tanpa pengecualian, tidak dapat
dipisahkan, dan saling tergantung.
Dalam sudut pandang demokrasi,diskriminasi seharusnya telah ditiadakan dengannya
kesetaraan dalam bidang hukum. Kesederajatan dalam perlakuan adalah salah satu wujud
ideal dalam kehidupan negara yang demokratis. Akan tetapi,berbagai penelitian dan
pengkajian menunjukkan bahwa kondisi di Indonesia saat ini belum mencerminkan
penerapan asas persamaan di muka hukum secara utuh.
Pada dasarnya diskriminasi tidak terjadi begitu saja, akan tetapi karena adanya
beberapa faktor penyebab(Setiadi, 2010 155-157), antara lain sebagai berikut.
1. Persaingan yang semakin ketat dalam berbagai bidang kehidupan,terutama ekonomi.
Timbul persaingan antara kelompok pendatang dan kelompok pribumi,yang kerap kali
menjadi awal pemicu terjadinya diskriminasi
2. Tekanan dan intimidasi biasanya dilakukan oleh kelompok yang dominan terhadap
kelompok atau golongan yang lebih lemah. Aristoteles membagi masyarakat dalam

7
suatu negara menjadi tiga kelompok: kaya,miskin,dan yang berada diantaranya.
Kelompok-kelompok kaya (bangsawan,tuan tanah),biasanya melakukan intimidasi dan
tekanan sehingga mendiskriminasikan orang-orang miskin.
3. Ketidakberdayaan golongan miskin akan intimidasi yang mereka dapatkan membuat
mereka terus terpuruk dan menjadi korban diskriminasi.

Problematika lainnya yang timbul dan harus diwaspadai adalah adanya disintegrasi
bangsa dan bubarnya sebuah negara,dapat disimpulkan adanya enam faktor utama yang
secara gradual bisa menjadi penyebab utama proses itu.

1. kegagalan kepemimpinan. Integrasi bangsa adalah landasan bagi tegaknya sebuah


negara modern. Keutuhan wilayah negara amat ditentukan oleh kemampuan para
pemimpin dan masyarakat warga negara memelihara komitmen kebersamaan sebagai
suatu bangsa.
2. Krisis ekonomi yang akut dan berlangsung lama. Krisis di sektor ini selalu merupakan
amat signifikan dalam mengawali lahirnya krisis lain(politik,pemerintahan,hukum,dan
sosial).
3. Krisis politik. Krisis politik merupakan perpecahan elite di tingkat nasional,sehingga
menyulitkan lahirnya kejinakan utuh dalam mengatasi krisis ekonomi. Krisis politik
juga dapat dilihat dari absennya kepemimpinan politik yang mampu membangun
solidaritas sosial untuk secara solid menghadapi krisis ekonomi. Semua ini
mengakibatkan kepemimpinan nasional semakin tidak efektif,maka kemampuan
pemerintah dalam memberi pelayanan publik akan semakin merosot.
4. Krisis sosial. Krisis sosial dimulai dari adanya disharmoni dan bermuara pada
meletusnya konflik kekerasan di antara kelompok-kelompok masyarakat
(suku,agama.ras).
5. Demoralisasi tentara dan polisi. Demoralisasi tentara dan polisi dalam bentuk
pupusnya keyakinan mereka atas makna pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya
sebagai bhayangkari negara. Demokrasi itu, pada kabar yang rendah, dipengaruhi oleh
merosotnya nilai gaji akibat krisis ekonomi.
6. Intervensi asing. Intervensi internasional yang bertujuan memecah belah, seraya
mengambil keuntungan dari perpecahan itu melalui dominasi pengaruhnya terhadap
kebijakan politik dan ekonomi negara-negara baru pasca disintegrasi. Intervensi itu
bergerak dari yang paling lunak hingga berupa provokasi terhadap kelompok-
kelompok yang berkonflik.

8
Salah satu yang dapat dijadikan solusi adalah Bhineka Tunggal Ika merupakan
ungkapan yang menggambarkan masyarakat Indonesia yang “majemuk” atau
“heterogen”. Masyarakat indonesia terwujud sebagai hasil interaksi sosial dari banyak
suku bangsa dengan beraneka ragam latar belakang kebudayaan,agama,sejarah,dan
tujuan yang sama yang disebut kebudayaan nasional.
Terciptanya “tunggal ika” dalam masyarakat yang “bhineka” dapat
diwujudkan melalui “integrasi kebudayaan” atau “integrasi nasional” . Dalam
hubungan ini, pengukuhan ide “tunggal ika” yang dirumuskan dalam wawasan
nusantara dengan menekankan pada aspek persatuan di segala bidang merupakan
tindakan yang positif namun, tentu saja makna Bhineka Tunggal Ika ini harus benar-
benar dipahami dan menjadi sebuah pedoman dalam berbangsa dan bernegara (Sunoto,
1984: 101-109).

2.5 Manusia Beradab dalam Keragaman


Peradaban adalah salah satu perwujudan budaya yang bernilai tinggi, indah dan
harmonis yang cerminkan tingkat kebudayaan masyarakat yang bersangkutan, misalnya,
ada sopan santun, budi pekerti, budi bahasa, seni dan sebagainya.
Dalam hal ini terdapat trore yang menunjukkan penyebab konflik di tengah
masyarakat, antara lain sebagai berikut.
1. Teori hubungan masyarakat, bahwa konflik yang sering muncul di tengah masyarakat
disebabkan polaris yang terus terjadi, ketidak percayaan dan permusuhan diantara
kelompok yang berbeda. Perbedaan bisa di latar belakangi suku, agama, ras dan antar
golongan.
2. Teori identitas, bahwa konflik yang mengeras dimasyarakat tidak lain disebabkan
identitas yang terancam yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan
masa lalu yang tidak terselesaikan.
3. Teori kesalahpahaman antar budaya, konflik ini di sebabkan oleh ketidak cocokan
dalam cara – cara berkomunikasi diantara budaya yang berbeda.
4. Teori transformasi, yang memfokuskan pada penyebab terjadinya konflik adalah
ketidak setaraan dan ketidak adilan yang muncul sebagai masalah sosial budaya dan
ekonomi.

9
Ralitas keragaman budaya bangsa ini tentu membawa konsekuensi munculnya persoalan
gesekan antar budaya, yang memengaruhi dinamika kehidupan masyarakat,manusia yang
beradab harus bersikap terbuka dalam melihat semua perbedaan dan keragaman yang ada.

Faktor – faktor terjadinya perubahan sosial budaya:

Faktor pendorong yang menyebabkan terjadinya perubahan ada dua yaitu : (1) berasal
dari luar masyarakat, dan (2) berasal dari dalam.

 Faktor yang berasal dari dalam masyarakat


1. Akulturasi . kebudayaan tertentu yang dihadapkan pada unsur-unsur kebudayaan
asing yang lambat laun unsur tersebut menyatu dalam kebudyaan itu sendiri tanpa
menghilangkan kepribadiannya.
2. Difusi, penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu tempat ketempat lain, hal ini
berkaitan dengan penyebaran manusia dari satu tempat ke tempat lain.
3. Penetrasi, penetrasi ada dua yaitu (1). penetration violent yaitu, masuknya unsur-
unsur kebudayaan asing secara paksa, sehingga merusak kebudayaa tersebut (2).
Penetration pasifique yaitu, masuknya unsur-unsur kebudayaan asing dengan
tidak sengaja dan tanpa paksaan dalam kebudayaan setempat.
4. Invasi, masuknya unsur- unsur kebudayaaan asing ke dalam kebudayaan setempat
dengan peperangan bangsa asing terhadap bangsa lain. Hal itu yang menjadi
penyebab pemaksaan masuknya unsur- unsur kebudayaan tersebut.
5. Asimilasi, asimilasi adalah proses penyesuaian seseorang atau kelompok orang
asing terhadap kebudayaan setempat.
6. Hibrididasi, perubahan kebudayaan yang disebabkan oleh perkawinan campuran
antara orang asing dengan penduduk setempat.
7. Milenarisasi, salah satu gerakan kebangkitan, yang berusaha mengangkat
golongan masyarakat bawah yang tertindas dan telah lama menderita dalam
kebudayaan sosial yang rendah dan memiliki subkultural yang baru.
 Faktor perubahan yang terjadi karena pengaruh dari dalam
1. Sistem pendidikan yang maju
2. Inovasi adalah pembaruan unsur teknologi dan ekonomi dari kebudayaan
3. Discovery penemuan unsur kebudayaan yang baru, baik berupa alat atau ide baru.

10
2.6 Kearifan Lokal di Tengah Keragaman Budaya
Kearifan lokal merupakan ungkapan budaya yang khas bagi bangsa Indonesia, karena
di dalamnya terkandung tata nilai, etika, norma, aturan dan keterampilan suatu komunitas
dalam memenuhi tantangan keberlanjutan kehidupannya. Kearifan lokal sering digunakan
sebagai lokal desicion making, berlaku dalam bidang pengelolaan sumber daya alam dan
berbagai aktivitas sosial lainnya dalam lingkungan kehidupan masyarakat. Kearifan lokal
diartikan dalam bentuk pengetahuan yang lebih spesifik, technical know how, seperti;
ekologi tradisional, komunikasi tradisional, teknologi tradisional, pengobatan tradisional.
Kearifan lokal lebih mengarah pada seperangkat pengetahuan yang dimiliki masyarakat
yang tinggal di suatu wilayah atau teritori tertentu, dengan dukungan teknologi tertentu
sebagai sasaran yang diciptakan untuk digunakan menopang kehidupannya sehari-hari.
Kearifan lokal sebagai ekspresi budaya, dalam pandangan Adimihardjo (2008),
tercermin dalam beberapa ekspresi berikut.
a. Ekspresi verbal, bersumber dari mitologi, cerita rakyat, pantun, prosa, peribahasa,
tanda, kata, nama, simbol dan indikasi seperti waktu dan arah.
b. Ekspresi musik, bersumber dari musik rakyat dan musik instrumental.
c. Ekspresi gerak, bersumber dari tarian rakyat, sandiwara, drama, sendratari dan
bentuk-bentuk astistik atau ritual.
d. Ekspresi nyata (tangible) seperti produksi kesenian rakyat dalam bentuk gambar,
lukisan, pahatan, keramik dan gerabah, mosaik, ukiran dari kayu, metal, perhiasan,
sulaman kain, permadani dan pakaian, kerajinan rakyat, instrumen musik dan bentuk-
bentuk arsitektur.

Terkait dengan perkembangan ilmu dan teknologi saat ini, kearifan lokal memiliki ciri-
ciri:

a. Mampu bertahan terhadap budaya luar


b. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
c. Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli
d. Mempunyai kemampuan mengendalikan
e. Mampu memberi arah pada perkembangan budaya.

Ketut Gobyah (dalam Sartini, 2004) mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius)
adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal
merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada.

11
Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakt setempat maupun kondisi
geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut
secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal, tetapi nilai yang
terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.

S. Swarsi Geriya (dalam Sartini, 2004) mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan
lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada
filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional.
Kearifan berarti ada yang memiliki kearifan (al-‘addah al-ma’rifah), yang dilawankan
dengan al-‘addah al-jahiliyyah. Ide pengakuan pada kearifan lokal yang tumbuh di
berbagai lingkungan masyarakat adat menggambarkan tentang pentingnya ideologi
keberagaman , pluralisme dan multikulturalisme, yang mengkoreksi pada paham kesatuan
yang dipaksakan. Kesatuan yang dipaksakan akan membuat identitas menjadi hilang dari
setiap individu ke dalam satu kehidupan tunggal. Kondisi pemkasaan seperti ini menjadi
salah satu indikasi pada pelanggaran HAM.

Masyarakat lokal akan lebih baik apabila memiliki kemampuan untuk dapat
menjawab tantangan yang dihadapinya dengan kearifan yang dimilikinya (jurnal
perempuan, 2008). Dalam perkembangannya, kearifan lokal yang timbul antarkomunitas
lokal berbeda dengan komunitas lainnya, tanpa menghilangkan substansi yang
dimilikinya, yaitu berfungsi sebagai solusi terhadap masalah yang ada di sekitarnya.

Kearifan lokal bersumber dari pengetahuan yang erkembang di dalam masyarakat


sendiri, kemudian disebarluaskan secara non-formal, dimiliki secara kolektif oleh
masyarakat bersangkutan, dikembangkan selama beberapa generasi dan mudah
diadaptasi, serta tertanam di dalam cara hidup masyarakat sebagai sarana untuk bertahan
hidup. Dalam upaya mensosialisasikan kearifan lokal sebagai bagian dari nilai yang harus
ditaati, muncul berbagai bentuk bahasa atau istilah seperti pemali, dilarang, pantangan,
dan sebagainya dan pada umumnya masyarakat setempat akan mengikutinya dengan
penuh keyakinan.

Kearifan lokal, terkadang diwujudkan dengan mengkeramatkan daerah-daerah


tertentu, larangan membunuh atau menangkap hewan tertentu, penghormatan terhadap
laut, pemeliharaan terumbu karang ataupun penciptaan teknologi sederhana sebagai cikal
bakal bagi kearifan yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup.

12
2.7 Keragaman Budaya dan Isu
Kenyataan yang tak dapat ditolak bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia terdiri atas
berbagai keragaman sosial, kelompok etnis, budaya, agama, aspirasi politik dan lain-lain,
sehingga masyarakat dan bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai
masyarakat beranekarragaman budaya. Pada pihak lain, realitas keanekaragaman tersebut
berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali “kebudayaan
nasional Indonesia” atau “budaya bangsa” yang dapat menjadi “integrating force” yang
dapat mengikat seluruh keragaman etnis, suku bangsa dan budaya tersebut. Kesadaran
dan keanekaragaman budaya sudah muncul sejak Negara Republik Indonesiaterbentuk
dan digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk “mendesain kebudayaan bangsa
Indonesia.

Perbedaan budaya, agama, aspirasi politik, kepentingan, visi dan misi, dan tradisi
merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal yang kadang-kadang juga
menjadi perbedaan perilaku dalam memahami sesuatu. Masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat majemuk karena terdiri atas berbagai suku, bahasa dan agama. Terdapat
sekitar 300 dialek bahasa dan ratusan etnik yang tersebar di nusantara ini (Nuraeni,
2013:19).

Menurut Fuad Hasan (dalam Sartini, 2004), budaya nusantara yang plura merupakan
kenyataan hidup (biving reality) yang tidak dapat dihindari. Sebagai hasil cipta, rasa dan
karsa masyarakat Indonesia keragaman suku telah melahirkan keragaman budaya, yang
terikat dalam sloga Bhineka Tunggal Eka. Kebhinekaan ini harus dipersandingkan bukan
dipertetanggkan. Keberagaman ini merupakan manifestasi gagasan dan nilai, sehingga
saling menguatkan dan dimanfaatkan untuk meningkatkan wawasan dalam saling
mengapresiasikan.

Kebhinekaan budaya Indonesia menjadi bahan perbandingan untuk menemukan


persamaan pandangan hidup yang berkaitan dengan nilai kebajikan dan kebijaksanaan
(virtue and wisdom). Dengan demikian, keanekaragaman tersebut merupakan satu
kenyataan yang harus kita syukuri sebagai kekayaan bangsa, meskipun juga dapat
mengandung kerawanan-kerawanan yang dapat memunculkan konflik kepentingan antar
kelompok yang berbeda.

13
Pada sisi lain, boleh bangsa ini berbangga menjadi bangsa Indonesia yang dikaruniai
keragaman (kemajemukan atau pluralisme) mulai dari agama, etnik, bahasa, budaya dan
sebagainya. Fenomena kemajemukan dinegara kita tumbuh dari aneka peristiwa sejarah,
kolonisasi, migrasi, formasi bangsa dan akhir-akhir ini ditengarai dengan adanya
komunikasi global. Dalam jangka waktu yang cukup lama kemajemukan ini telah
menyatukan kita semua menjadi satu kekuatan besar di Asia Tenggara dan selalu
diperhitungkan dalam kebijakan luar negeri Negara-negara besar. Hanya saja, kekayaan
dan kekuatan dalam kemajemukan ini, sering kali mendapatkan cobaan yang membawa
pada kehidupan penuh curiga, saling menyalahkan dan berujung dengan konflik sosial.

Sebagai Negara dengan jumlah penduduk nomor mpat setelah cina, india, dan
amerika serikat sengan jumlah etnis tidak kurang dari 1072 (Agus Salim, 2006) telah
menggambarkan kondisi etnik yang beragam dengan segala kompleksitasnya.
Kemajemukan Indonesia di tandai oleh adanya suku-suku bangsa, masing-masing
mempunyai cara-cara hidup atau kebudayaan yang berlaku.

Perbedaan yang ada di antara kebudayaan suku bangsa di Indonesia pada hakikatnya
adalah perbedaaan yang disebabkan oleh perbedaan sejarah dan adaptasi dengan
lingkungannya (persuade suparlan, 1989). Kemajemukan etnik sering dianggap sebagai
persoalan terutama saat meletus konflik kepentingan antara Negara dan komunitas
berbasis etnik. Berbagai bentuk konflik antaretnik di Indonesia, seperti di Sambas,
Ambon, Papua, dan Aceh menjadi contoh penguatan basis etnik di antara anggota
komunitas yang ada di tingkat lokal. Denngan demikian, harus diakui bahwa bangsa
Indonesia merupakan sebuah konsep Negara bangsa yang terdiri atas keragaman etnik di
masing-masing etnik mengembangkan sifat komunalisme secara otonom.

Secara geografis, kemajemukan Indonesia juga di tandai dengan karakteristik


penduduk yang tinggal di pedesaan, pegunungan, lembah, dataran dan pantai yang
mampu hidup berdampingan. Kemajemukan juga di temukan pada bahasa, nilai, norma,
tradisi dan way of life masing-masing etnik pendukungnya. Sejarah telak menorehkan
realitas keberhasilan hidup dalam kemajemukan melalui wujud kemerdekaan sebagai
kerja keras bersama tanpa di batasi oleh identitas etnis, agama, budaya dan sebagainya.

Dalam analisis Hawasi (2005), dinyatakan terdapat tiga istilah yang menggambarkan
kondisi masyarakat dengan berbagai macam ras, agama, bahasa, dan budaya yaitu

14
pluralitas (plurality), Keragaman (divercity), dan multikultural. Ketiga istilah tersebut
menggambarkan konsep dasar yang sama yaitu mengacu pada ketidak tunggalan.

Pluralisme atau kemajemukan mengandaikan adanya hal-hal yang lebih dari satu
keragaman, menunjukkan keberadaan yang lebih dari satu, itu berbeda-beda, heterogen
dan memungkinkan untuk lestari. Dalam pandangan Purwasito (2003), masyarakat plural
memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

1. Masyarakat terdiri atas kelompok dengan latar budaya dan subbudaya yang berbeda.
2. Masyarakat memiliki strata sosial yang terbagi dalam lembaga-lembaga yang versita
non-komplementer.
3. Kurang memiliki kemauan untuk menemukan konsensus.
4. Konflik dan kekerasan berlangsung karena saling ketergantungan ekonomi.

Isu multikultural merupakan konsep baru dengan penekanan pada segala perbedaan
yang terjadi di ruang publik. Di dalam isu multikultural terdapat interaksi aktivitas antar
anggota masyarakat dan budaya yang plural dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat
nuansa kesetaraan dan keadilan dalam unsur-unsur sosial tersebut. Jadi, prinsip
multikulturalisme mencakup pengakuan pada keanekargaman, perbedaan, kesederajatan,
persamaan, penghormatan pada demokrasi dan solidaritas. Watson (dalam Agus Salim,
2006), memaknai kulturalisme lebih luas lagi, yaitu masyarakat yang di salamnya
berkembang banyak kebudayaan. Sementara itu Kymlicka (2003), menjelaskan
multikulturalisme sebagai tuntutan pengakuan atas identitas kelompok yang berkembang
dan penerimaan perbedaan kebudayaan yang berkembang. Hal ini menjadi penting bagi
bangsa Indonesia karena fakta keragaman dapat membawa konsekuensi logis yang
mungkin timbul dan kepentingan integrasi nasional.

Selanjutnya, di dalam retorika lama sering terdengar semboyan berbeda-beda tapi


satu, maka dengan adanya tuntutan akan kemajemukan, terjadi pembalikan besar dalam
semboyan tersebut; satu tetapi berbeda-beda. Kesadaran tentang pluralisme budaya
memang sudah ada dalam kesadaran kolektif di nusantara ini sejak lama, misalnya;
kelompok budaya, kelompok etnik dan suku serta kelompok agama. Namun demikian,
dalam pandangan Ignas Kleden (2005) dinyatakan bahwa keragaman budaya itu
dipandang tak berbeda dari keanekaragaman hayati dengan dua asumsi utama. Pertama,
perbedaan budaya dianggap terdapat antara satu kelompok budaya dan kelompok budaya

15
lain. Kedua, perbedaan-perbedaan itu sudah ada begitu saja secara “alamiah” dan
sepatutnya diterima dan dihormati.

Masalah kemajemukan budaya, pluralisme etnis, bahasa, ras, dan agama


sesungguhnya merupakan realitas yang sudah lama ada dalam masyarakat Indonesia.
Perlakuan terhadap masalah kemajemukan dilakukan dengan cara dialog, toleransi, dan
penegakan HAM. Karena perbedaan ini sering memicu konflik yang bila tidak
diselesaikan, dapat menimbulkan kerusuhan dengan pelanggaran HAM yang lebih luas.

Konflik sosial biasanya berangkat dari reaksi kelompok minoritas untuk menuntut hak
dalam kesertaannya untuk menentukan jalannya kebijakan publik dan untuk menetapkan
diri sebagai manusia. Oleh karena itu, isu multikulturalisme sebagai paradigma baru
menjadi layak untuk disebarluaskan dalam upaya mengatasi konflik. Melalui konsep isu
multikulturalisme, diharapkan akan muncul kesadaran bersama terhadap kenyataan
kemajemukan (pluralitas) kehidupan modern, baik pada tataran kemajemukan etnik,
agama, tradisi, bahasa, budaya hingga orientasi politik.

2.8 Konflik di Antara Keragaman


Kemajemukan etnik, di samping sebagai kekayaan, pada aspek yang lain dianggap
sebagai pesoalan suatu negara dan bangsa, terutama pada saat meletus konflik
kepentingan berbasis etnik. Sebagaimana telah disebutkan, studi kasus kerusuhan etnik di
Sambas, Ambon, Papua, Kupang dan Aceh berangkat dari permasalahan yang beragam.
Di Kupang misalnya, konflik berangkat dari kompetisi antara masyarakat asli dan
pendatang atas sumber-sumber ekonomi. Kerusuhan di Mataram berpangkal pada
provokasi solidaritas Ambon, rusuh Sambas akibat revitalisasi etnis Dayak dan Melayu
dengan etnis Madura yang sudah lama terpendam (Agus Salim,2006).

Istilah konflik itu sendiri sering kali mengandung pengertian negatif, yang cenderung
diartikan sebagai lawan kata dari pengertian keserasian, kedamaian, dan keteraturan.
Konflik sering kali diasosiasikan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Pengertian
inilah yang selanjutnya, melihat konflik, termasuk konflik etnik, merupakan bagian dari
pelanggaran HAM.

Ciri kemajemukan bangsa dan wilayah negara kita yang berbentuk kepulauan harus
diterima sebagai kenyataan objektif yang mengandung potensi konflik. Sumber-sumber
konflik pada umumnya berangkat dari konflik; separatis, perebutan sumber daya alam,

16
persoalan kesenjangan ekonomi, kriminalitas, penganguran, perang saudara,
pemberontakan bersejata , politik, dan sebagainya. Indonesia juga memiliki potensi
konflik lain yang dapat menimbulkan integrasi nasional, yaitu pontensi antarsuku, agama,
ras, golongan, pusat-daerah, sipil-militer, lembaga-lembaga pemerintah atau negara
Jawa-non Jawa, penguasa-masyarakat, dan lain-lain.

Selain itu, terdapat potensi konflik yang mewarnai implementasi otonomi daerah,
seperti konflik antarpemerintah lokal, konflik-konflik antarkekuatan rakyat berbasis lokal
melawan aparat pemerintah, konflik tentang pemerintah daerah dan pemerintah pusat, dan
sebagainya. Umumnya, konflik tentang identitas dalam suatu masyarakat cenderung lebih
rumit, bertahan lama serta sulit dikelola, sedangkan konflik yang berdiri primordial sulit
dipecahan karena sangat emosional.

Akibat yang ditimbulkan dari bebagai konflik sangat luar biasa banyaknya, misalnya
kehilangan nyawa, kehilngan tempat tinggal, kehilangan sanak famili, kehilangan sumber
ekonomi , keluarga bercerai-berai, dan masih banyak lagi. Tidak terbayangkan oleh kita
semua, apa yang harus dilakukan oleh para korban konflik tersebut. Di sinilah HAM di
pertaruhkan dalam upaya penegakkan kehidupan yang damai dan harmoni.

2.9 HAM dan Upaya Penyelesaian Konflik


Ketika konflik antaretnik tengah berlangsung dapat kita bayangkan betapa pedihnya
penderitaan korban. Terjadinya konflik dalam kehidupan dalam bentuk apapun
merupakan bagian dari pelanggaran nilai HAM. Akan tetapi, mengatasi konflik tersebut,
tidak ada resep mujarab yang langsung menyembuhkan, karena selalu muncul interaksi
rumit antarkekuatan yang berbeda.
Agus Sriyanto (2007) dalam salah satu analisisnya mengatakan bahwa pola
penyelesaian konflik di suatu daerah tak mungkin diterapkan di daerah lain. Oleh karena
itu, dalam menentukan langkah penyelesaian berbagai peristiwa konflik perlu dicermati
dan dianalisis, tidak saja berdasarkan teori-teori konflik universal, tetapi perlu juga
menggunakan paradigma nasional dan lokal agar objektivitas tetap berada dalam bingkai
kondisi,nilai,dan tatanan kehidupan bangsa kita.
Cara penyelesaian konflik lebih tepat jika menggunakan model-model penyelesaian
yang disesuaikan dengan kondisi wilayah serta budaya setempat. Idealnya, apabila
penyelesaian tersebut dilakukan atas inisiatif penuh dari masyarakat bawah yang masih
memegang teguh adat lokal(kearifan lokal) serta sadar atas pentingnya budaya lokal

17
dalam menjaga dan menjamin keutuhan masyarakat. Di antara kearifan lokal yang sudah
ada sejak dahulu dan masih terpelihara sampai sekarang, antara lain dalihan
natolu(Tapanuli), rumah betang (Kalimantan Tengah), menyama braya (Bali), saling jot
dan saling pelarangan (NTB), siro yo ingsun, ingsun yo siro (Jawa Timur), alon-alon
asal kelakon (Jawa Tengah/DI Yogyakarta), dan basusun sirih (Melayu/Sumatra).
Tradisi yang masih ada dan berlaku di masyarakat, berpotensi untuk dapat mendorong
keinginan hidup rukun dan damai. Hal itu karena kearifan tradisi lokal pada dasarnya
mengajarkan perdamaian dengan sesamanya, lingkungan, dan Tuhan. Hal yang sangat
tepat menyelesaikan konflik dengan menggunakan adat lokal atau kearifan lokal karena
selama ini dianggap membudaya dalam masyarakat. Oleh karena itu, kearifan lokal
adalah sesuatu yang sudah mengakar dan biasanya tidak hanya berorientasi profan
semata, tetapi juga berorientasi sakral, sehingga pelaksanaannya bisa lebih cepat dan
mudah diterima oleh masyarakat. Melalui adat lokal ini diharapkan resolusi konflik bisa
terwujud, kemudian bisa diterima semua kelompok, sehingga tidak ada lagi konflik laten
yang tersembunyi dalam masyarakat.
Sebagai sebuah catatan bahwa dalam upaya menyelesaikan konflik haruslah dipahami
betul kompleksitas serta kerumitan konflik yang dihadapi. Semua harus sadar bahwa
setiap konflik memiliki kompleksitas masing-masing, sehingga tidak bisa begitu saja
mengaplikasikan sebuah teori untuk menyelesaikannya. Semua juga harus ingat bahwa
selain teori-teori resolusi konflik yang ada, sebenarnya masyarakat juga memiliki budaya
sendiri dalam menyelesaikan masalahnya. Namun demikian, penyelesaian konflik sering
melupakan adat dan budaya lokal tersebut. Untuk itulah penting untuk menggali kembali
kekayaan budaya sendiri.

2.10 Toleransi Dan Harmoni di Dalam Keragaman


Keragaman untuk sesama sangat diperlukan dikehidupan kita, yaitu hidup tanpa
konflik yang mengakibatkan disintegrasi bangsa, namun hidup yang saling menghormai
dan penuh dengan kedamaian. Secara hakiki, bahwa tidak ada manusia yang hidup
sendirian di dunia ini. Seseorang pasti membutuhkan lainnya dalam menjalani kehidupan.
Di dalam cerita keagamaan, maka ketika Nabi Adam hidup sendirian di surga, maka
beliau kesepian. Ketika beliau melamun seorang diri, maka datanglah kemudian Hawa
yang kemudian menjadi kawannya. Maka, ketika Nabi Adam dipindahkan ke dunia, maka
kemudian Hawa menjadi isterinya. Dari dua orang inilah kemudian menghasilkan
manusia yang jumlahnya sangat banyak dengan bergolongan-golongan, dalam etnis, suku

18
dan bahasa. Keragaman dan toleransi adalah pasangan kata yang memang tepat
dipersandingkan. Keragaman merupakan keniscayaan di dalam kehidupan ini, sebab tidak
ada masyarakat yang tidak beragam keadaannya. Keragaman dalam etnis, suku, agama
dan bahasa dan budaya. Di dalam suatu masyarakat yang paling simple pun pasti terdapat
suatu keadaan yang beragam. Keragaman bisa dikaitkan dengan kata pluralitas dan juga
multikulturalitas.
Dalam presfektif HAM kebudayaan yang berbeda-beda dibentuk manusia dan
pendukung nya sebagai jawabn atas tantangan yang dihadapinya. HAM merupakan
karunia Tuhan yang tidak mungkin untuk di perdebatkan pada konteks hak persamaan
dan kebebasan juga sekaligus merupakan kodrat yang dimiliki oleh setiap manusia
semenjak manusia lahir kedunia. Keragaman adalah sunnatullah. Keragaman merupakan
bagian dari sesuatu yang bercorak natural. Memang harus seperti itu. Ada etnis Cina,
Arab, Eropa, Negro. Amerika Latin dan sebagainya dengan corak warna kulit, adat
istiadat, tradisi, bahasa dan komunikasi dan sebagainya. Semua memiliki ciri khasnya
masing-masing. Oleh karena itu, yang terpenting saat ini adalah memperkuat nilai nilai
toleransi dengan sesama.
Toleransi HAM salah satu wujud nilai universal HAM yang dipahami sebagai
kebijakan dalam berhadapan dengan perbedaan antar-budaya. Toleransi berasal dari
bahasa latin : Tolerare, artinya menahan diri, bersikap sabar, membiarkkan orang
berpendapat lain, dan berhati lapang terhadap orang orang yang memiliki pendapat
berbeda. Menurut George Cuvier, bahwa  terdapat  tiga ras yang menghuni dunia ini.
Kaukasoid menghuni benua Eropa, Mongoloid menghuni Benua Asia dan Negroid
menghuni benua Afrika. Tetapi juga terjadi mutasi antar benua. Jika dicermati maka
sesungguhnya terdapat mutasi antar etnis di dalam dunia ini. Misalnya mutasi yang
dilakukan oleh Etnis Arya dari Eropa ke Timur Tengah, dan juga mutasi orang kulit hitam
dari Australia ke wilayah Polinesia atau sebaliknya. Demikian pula suku Mongoloid ke
wilayah Asia Tenggara dan sebagainya. Secara antropologis, bahwa mutasi etnis ini
merupakan suatu yang sangat wajar, sebab mereka memang malakukan perjalanan dari
suatu wilayah ke wilayah lain. Bahkan lebih jauh, juga terjadi perkawinan antar etnis.
Misalnya terjadi di Amerika, Australia dan sebagainya.
Toleransi dapat dimaknai sama maksudnya dengan harmoni dalam perbedaan.
Toleransi adalah kunci bagi ko-eksistensi damai. Karena penduduk yang damai adalah
penduduk yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleran. Sebagai bangsa yang beragam atau

19
majemuk, terdapat keuntungan adanya toleransi di dalam kehidupan bersama, antara lain
seperti berikut.
1. Terciptanya hubungan yang harmonis dalam kehidupan bermasyarakat
2. Terhindar dari rasa permusuhan.
3. Terciptanya kehidupan yang tenang dan damai.
4. Semua orang melaksanakan kewajiban tanpa beban
5. Terbinanya persahabatan atau persaudaraan yang sejati

Komitmen bersama menjadi pedoman agar hubungan antarsemua umat manusia dan
etnis berlangsung dengan harmonis ditandai dengan tampilan interaksi yang
menggambarkan adanya hal berikut.

1. Komitmen untuk saling pengertian dan menghargai perbedaan antar sesama manusia.
2. Komitmen untuk mencintai perbedaan.
3. Komitmen untuk musyawarah dan mufakat dalam menyelesaikan konflik.
4. Komitemn untuk saling memajukan
5. Komitmen untuk saling belajar.
Berikut penjelasan perilaku toleran terhadap keberagaman agama, suku, ras, budaya,
dan gender di bawah ini. 

1. Perilaku Toleran dalam Kehidupan Beragama


Semua orang di Indonesia tentu menyakini salah satu agama atau kepercayaan
yang ada di Indonesia. Pemerintah Indonesia mengakui enam agama yang ada di
Indonesia. Agama tersebut adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan
Khonghucu. Bukankah kalian sejak kecil sudah meyakini dan melaksanakan ajaran
agama yang kalian anut.
Negara menjamin warga negaranya untuk menganut dan mengamalkan ajaran
agamanya masing-masing. Jaminan negara terhadap warga negara untuk memeluk
dan beribadah diatur dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2). Bunyi lengkap Pasal 29 ayat
(2) adalah “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”.
Dalam kehidupan berbangsa, seperti kita ketahui keberagaman dalam agama itu
benar-benar terjadi. Agama tidak mengajarkan untuk memaksakan keyakinan kita

20
kepada orang lain. Oleh karena itu, bentuk perilaku kehidupan dalam keberagaman
agama di antaranya diwujudkan dalam bentuk:
 menghormati agama yang diyakini oleh orang lain;
 tidak memaksakan keyakinan agama kita kepada orang yang berbeda agama;
 bersikap toleran terhadap keyakinan dan ibadah yang dilaksanakan oleh yang
memiliki keyakinan dan agama yang berbeda
 melaksanakan ajaran agama dengan baik; serta
 tidak memandang rendah dan tidak menyalahkan agama yang berbeda dan dianut
oleh orang lain.
Perilaku baik dalam kehidupan beragama tersebut sebaiknya kita laksanakan, baik
dikeluarganya, sekolah, masyarakat maupun dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.

2. Perilaku Toleran terhadap Keberagaman Suku dan Ras di Indonesia


Perbedaan kita dengan orang lain tidak berarti bahwa orang lain lebih baik dari
kita atau kita lebih baik dari orang lain. Baik dan buruknya penilaian orang lain
kepada kita bukan karena warna, rupa, dan bentuk, melainkan karena baik dan
buruknya kita dalam berperilaku. Oleh karena itu, sebaiknya kita berperilaku baik
kepada semua orang tanpa memandang berbagai perbedaan tersebut.

3. Perilaku Toleran terhadap Keberagaman Sosial Budaya


Kehidupan sosial dan keberagaman kebudayaan yang dimiliki bangsa
Indonesia tentu menjadi kekayaan bangsa Indonesia. Kita tentu harus bersemangat
untuk memelihara dan menjaga kebudayaan bangsa Indonesia. Siapa lagi yang akan
mempertahankan budaya bangsa jika bukan kita sendiri. Bagi seorang pelajar perilaku
dan semangat kebangsaan dalam mempertahankan keberagaman budaya bangsa di
antaranya dapat dilaksanakan dengan:

 mengetahui keanekaragaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia.


 mempelajari dan menguasai salah satu seni budaya sesuai dengan minat dan
kesenangannya;
 merasa bangga terhadap budaya bangsa sendiri; dan
 menyaring budaya asing yang masuk ke dalam bangsa Indonesia.
1. Kesadaran Gender

21
Tuhan menciptakan manusia dalam dua jenis, yaitu laki-laki dan perempuan. Laki-
laki dan perempuan pada dasarnya sama. Hubungan sosial antara laki-laki dan
perempuan itulah yang dinamakan dengan jenis kelamin. Jadi, jenis kelamin
merujuk pada hubungan antara laki-laki dan perempuan, anak laki-laki dan anak
perempuan, dan bagaimana hubungan tersebut dilihat berdasarkan sifat kodrat.
  Pengertian gender tidak didasarkan pada sifat kodrat manusia. Gender adalah
konsep hubungan sosial yang membedakan kedudukan, fungsi, dan peran antara
laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Gender dibentuk dan berkembang
seiring dengan budaya masyarakat. Gender bukan bawaan sejak lahir.

Tiap-tiap masyarakat memiliki perkembangan budayanya sendiri, demikian


pula dalam perkembangan budaya bangsa Indonesia. Pemahaman gender di
Indonesia tentulah akan sejalan dengan perkembangan budaya bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, pemahaman dan kesadaran gender bersifat dinamis dan dapat
berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain.

Kesadaran gender bararti meletakan kedudukan, fungsi, dan peran antara laki-
laki dan perempuan dalam masyarakat secara sejajar. Misalnya dalam keluarga,
maka setiap anggota keluarga bertanggung jawab atas kebersihan dan kerapian
rumah tempat tinggalnya. Anak laki-laki atau anak perempuan, keduanya bisa
menjaga kebersihan dan kerapian rumah tempat tinggalnya. Di sekolah, laki-laki
atau perempuan sama-sama dapat menjadi guru. Dalam masyarakat, baik laki-laki
maupun perempuan dapat mengambil peran yang berguna bagi sesama manusia
lainnya.

Pengaruh terhadap kehidupan beragama, bermasyarakat, bernegara, dan


kehidupan global.

Manusia sebagai kodrat diciptakan sebagai makhluk yang mengusung nilai


harmoni. Perbedaan yang mewujudkan baik secara fisik maupun mentak,
sebernarnya merupakan kehendak Tuhan yang seharusnya dijadikan sebagai
sebuah potensi untuk menciptakan sebuah kehidupan yang menjunjung tinggi
toleransi. Di kehidupan sehari-hari, kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan
agama, bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara,

22
mewarisi perilaku dan kegiatan kita. Berbagai kebudayaan itu beriringan, saling
melengkapi, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan dalam kehidupan sehari-
hari. Sering kali yang terjadi malah sebaliknya. Perbedaan – perbedaan tersebut
menciptakan ketegangan hubungan antar anggota masyarakat. Hal ini disebabkan
oleh sifat dasar yang selalu dimiliki oleh masyarakat majemuk sebagaimana
dijelaskan oleh van de bergh, sebagai berikut :

a. Terjadinya segmentasi kedalam kelompok-kelompok yang sering kali memiliki


kebudayaan yang berbeda
b. Memiliki struktur sosial yang terbagi bagi kedalam lembaga-lembaga yang bersifat
nonkomplemeter
c. Kurang mengembangkan konsensus diantara para anggota masyarakat tentang
nilai-nilai sosial yang bersifat dasar.
d. Secara relative sering kali terjadi konflik diantara kelompok yang satu dengan yang
lainnya
e. Secara relative integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan di
dalam bidang ekonomi.
f. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain

Kerukunan Sebagai Pilar Keragaman dan Toleransi

Bahwa hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun. Inilah yang disebut sebagai freedom to be. Di dalam hal ini, negara
tidak boleh mencampuri urusan freedom to be dimaksud. Misalnya orang Islam harus
menyebut Muhammad saw sebagai rasulullah. Shalat wajib harus lima kali sehari
dengan urutan dan waktu yang sudah ditentukan.

Negara  menjamin  kemerdekaan  tiap-tiap penduduk utk memeluk agamanya


masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. di
dalam hal ini, maka pemerintah berkewajiban melindungi setiap usaha penduduk
melaksanakan ajaran agama dan ibadat pemeluk-pemeluknya. Pemerintah mempunyai
tugas untuk memberikan bimbingan dan pelayanan agar setiap penduduk dalam
melaksanakan ajaran agamanya dapat berlangsung dengan rukun, lancar, dan tertib;

23
Arah kebijakan Pemerintah dalam pembangunan nasional di bidang agama antara
lain peningkatan kualitas pelayanan dan pemahaman agama, kehidupan beragama,
serta peningkatan kerukunan intern dan antar umat beragama. Agama memang selalu
menjadi topik menarik dalam setiap even membahas relevansinya bagi kehidupan
masyarakat, pemerintah dan negara. Tidak terkecuali adalah ketika agama
dipertanyakan kembali relevansinya bagi pembangunan nasional. Agama memang
menjadi pattern for behavior di dalam kehidupan manusia dan juga masyarakat.

Sebagai pedoman di dalam kehidupan manusia, agama sering menjadi sasaran


ketika tafsir agama dimaksud menyebabkan terjadinya permasalahan di dalam
masyarakat tersebut. Tidak terkecuali di dalam acara National Summit yang
dilaksanakan selama dua hari, Kamis –Jum’at, 29-30 Oktober 2009. Di dalam
National Summit ini juga banyak yang mempertanyakan bagaimana agama dapat
dijadikan sebagai spirit dalam membangun masyarakat Indonesia.

Ada tiga fokus pembicaraan tentang relasi agama dan masyarakat, yaitu agama
dalam relasinya dengan kerukunan umat, agama dalam relevansinya dengan
peningkatan kehidupan umat dan agama dalam relevansinya dengan tantangan
pembangunan secara menyeluruh atau menjadikan agama sebagai spirit
pembangunan.  Tentu yang saya tulis ini bisa saja tidak sama dengan rekomendasi
sidang Komisi VI yang membincang tentang “agama dan Pembangunan Nasional”.
Tetapi yang jelas bahwa perbincangan dari para diskusan dapatlah diresume dalam
tiga fokus pembicaraan tersebut. Tulisan ini baru membincangkan tentang relasi
antara agama dengan tantangan pembangunan keberagamaan ke depan.

Kerukunan umat beragama merupakan pilar kerukunan bangsa dan negara.


Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang
dilandasi toleransi,  saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan
dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya bersama    umat beragama


dan Pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan umat beragama.

24
Rukun, bahwa maknanya orang Indonesia (khususnya Orang Jawa) selalu
mengedepankan kerukunan dalam kehidupannya. Harmoni, artinya orang Indonesia
(khususnya Orang Jawa) selalu mengedepankan keseimbangan antara mikro kosmos
dan makro kosmos. Kemudian Selamet, yang berarti bahwa  orang Indonesia
(khususnya orang Jawa) sangat menjaga keselamatan baik dengan sesama manusia,
alam dan Tuhan.

Dengan demikian, yang sesungguhnya diharapkan adalah bagaimana


mengembangkan sikap dan tindakan yang mengedepankan kerukunan antar suku,
etnis dan  agama secara sungguh-sungguh. Jadi yang diharapkan bukan pluralisme
atau multikulturalisme butik, di mana kerukunan dan keharmonisan hanyalah di
luarnya saja. Hal itu hanya dilakukan dengan duduk bersama, makan bersama dan
berbicara bersama, akan tetapi tidak menjelma ke dalam membangun program kerja
bersama. Jadi, ke depan yang perlu dikembangkan adalah bagaimana membangun
tidak sekedar co eksistensi tetapi pro eksistensi.

2.11 Pendidikan Multikultural di Tengah Keragaman


Pendidikan adalah upaya sadar manusia unuk melakukan perubahan serta peningkatan
pengetahuan yang lebih baik dalam jangka mencapai kehidupan yang kita baik. Dalam
hal ini, pendidikan dimaknai upaya pengubahan sikap, perilaku, wawasan, keterampilan
dan tindakan lainnya dari tidak mengerti menjadi lebih mengerti, dan tidak jahat bisa
menjadi lebih jahat, itu semua berkat pendidikan.
Pendidikan multikultural dimaknai upaya melakukan pembelajaran dalam upaya
peningkatan demokratisasi peserta didik dalam menghadapi perbedaan budaya. Oleh
karena itu, pendidikan multikultural adalah merupakan suatu wacana lintas batas, karena
terkait dengan masalah-masalah keadilan sosial (social justice), demokrasi dan hak asasi
manusia (Ghoirul, 2008 dan M.Ainul Yaqin. 2005).
Tokoh pendidikan Indonesia, Azyumardi Azra, mendefinisikan pendidikan
multikultural sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalm merespon
perubahan demografi dan kultur kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan demi
secara keseluruhan. Prodence grandall mengemukakan bahwa pendidikan multikultural
adalah pendidikan yang memerhatikan secara sungguh-sungguh terhadap latar belakang
peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis),ras,agama, (aliran kepercayaan) dan
budaya (kultur) (Tilaar,2002 dan zamroni, 2011). Andresen dan Gustur (1994)
mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan mengenai keragaman

25
budaya, musa asy’ari juga mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah proses
penanaman cara hidup menghormati,tulus, dan toleren terhadap keanekaragaman yang
hidup di tengah-tengah masyarakat multikutural (Musa Asy’arie. 2004). Jadi, definisi
pendidikan multikutural tersebut di atas, cukup ideal untuk digunakan acuaan dalam buku
ini.
Berdasarkan konseptual di atas, multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan
menurut parsudi suparlan (2002), akar katadari multikultural adalah kebudayaan, yaitu
kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia dalam
konteks pembangunan bangsa , istilah multikultural ini telah membentuk suata ideologi
yang disebut multikulturalisme. Konsep multikultural tidaklah dapat disamakan dengan
konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi
ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan bahwa keanekaragaman
kebudayaan dalam kesederajatan.
Konsep multikultural identik dengan wacana pemikiran, oleh karena itu
multikuturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatan derajat
manusi dan kemanusianya. Untuk dapat memahami konsep multikurturalisme diperlukan
landasan pengetahuan yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya
multikulturalisme dalam kehidupan manusia.
Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang
mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikulturalisme, sehingga terdapat
kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi. Berbagai
konsep yang relavan dengan multikulturalisme anatara lain adalah, demokrasi, keadilan
dan hukum, nilai-nilai budaya, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, suku
bangsa, kesuku bangsaan, kebudayaan suku bangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-
ungkapan budaya. Domain privat dan publik, HAM, hak budaya komunitas, dan konsep-
konsep lainnya yang relevan (Achmad, Nur (ed), 2001 dan ainul yaqin, 2005).
Selanjutnya suparlan (2002) menyebutkan bahwa multikulturalisme akan menjadi
acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme
sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kederajatan
baik secara individual maupun secara individual maupun secara kebudayaan. Dengan
demikian multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang
damai dan harmonis meskipun terdiri atas beraneka ragam latar belakang kebudayaan.
Mengingat pentingnya pemahaman mengenai multikultural dalam membangun
kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama bagi negara-negara yang mempunyai aneka

26
ragam budaya seperti di Indonesia, maka pendidikan multikultural ini perlu
dikembangkan. Melalui pendidikan multikultural diharapkan akan dicapai suatu
kehidupan masyarakat yang damai, harmonis dan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan.
Pendidikan multikultural yang marak didengungkan sebagai langkah alternatif dalam
rangka mengelola masyarakat multikultural d indonesia, tampaknya masih menjadi
wacana belaka. Gagasan ini belum mampu dijawantahkan, baik oleh masyarakat maupun
pemerintah, dalam tindakan praksis. Oleh karena itu, kita berkeyakinan penerapan
pendidikan multikultural di indonesia dapat terlaksana jika semua pihak baik pengambil
kebijakan maupun pelaksanaan kurikulum dibuat sebaik mungkin.
Jadi, pengelolaan masyarakat multikultural indonesia tidak bisa dilakukan secara
taken for granted atau trial and error. Sebaliknya, harus diupayakan secara sistematis,
programatis, integrated, dan berkeseimbangan (Hernandez, Hilda, 1989). Di sinilah
fungsi strategis pendidikan multikultural sebagai sebuah proses dimana seseorang
mengembangkan kompetensi dalam beberapa sistem standar untuk mempersepsi,
mengevaluasi, meyakini, dan tindakan.
Beberapa hal yang dibidik dalam pendidikan multikultural ini adalah pendidikan
multikultural menolak pandangan yang menyamakan pendidikan (education) dengan
persekolahan (schooling) atau pendidkan multikultural dengan program-program sekolah
formal. Pandangan yang lebih luas menganai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan
juga bermaksud membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer dalam
mengembangkan kompetensi kebudayaan semata-mata berada ditangan mereka,
melainkan tanggung jawan semua pihak direktur (Djohar, 2003).
Jadi, melalui pandangan pendidikan multikultural, terdapat hal penting untuk
diperhatikan kepada semua pihak.
1. Pendidikan multikultural menolak pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan
kelompok etnik. Hal ini dikarenakan seringnya para pendidik, secara tradisional,
mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif
self suffcient. Oleh karena itu, individu-indvidu memiliki berbagai tingkat kompetensi
dalam berbagai dialek atau bahasa, dan berbagai pemahaman mengenai situasi-situasi
dimana setiap pemahaman tersebut sesuai, maka individu-individu memiliki berbagai
tingkat kompetensi dalam sejumlah kebudayaan. Dalam konteks ini, pendidikan
multikultural akan melenyapkan kecenderungan memandang eksplorasi pemahaman

27
yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari
berbagai kelompok etnik.
2. Pendidikan multikultural multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa
kebudayaan. Maksudnya adalah kebudayaan mana yang akan diadopsi seseorang pada
suatu waktu ditentukan oleh situasinya. Meski jelas berkaitan, harus dibedakan secara
konseptual antara indentitas-identitas yang disandang individu dan identitas sosial
primer dalam kelompok etnik tertentu.
3. Kemungkinan bahwa pendidikan akan meningkatkan kesadaran mengenai kompetensi
dalam beberapa kebudayaan akan menjauhkan kita dari konsep dwi-budaya
(bicultural) atau dikotomiantara pribumi dan non-pribumi. Karena dikotomi semacam
ini bersifat membatasi kebebasan individu untuk sepenuhnya mengekspresikan
diversitas kebudayaan.

Dalam menerapkan pendidikan multikurtural mesti dikembangkan prinsip solidaritas,


yakni kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi pengakuan
perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri (Ainul Yaqin, 2005), dan Syamsul
Ma’rif, 2005). Solidaritas menuntut untuk menguatkan dentitas untuk bersama dengan
yang lain. Melalui konsep demikian, kehidupan multikultural yang dilandasi kesadaran
akan eksistensi diri tanpa merendahkan yang lain.

Dari berbagai keterangan diatas pendidikan multikultural sangat penting diterapkan


guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik didaerah maupun dipusat. Melalui
pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa maupun
mahasiswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keragaman. Pendidkan
multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya
konflik sosial.

2.12 Implementasi Pendidikan Multikultural


Indonesia adalah negara yang majemuk, hal ini dapat ditinjau dari sudut pandang;
geografis, agama, suku, ras, kebudayaan, adat istiadat, bahasa, seni, dan lain sebagainya.
Dalam kehidupan yang penuh dengan keragaman umumnya akan menjadi tantangan besar
untuk mempersatukan bangsa indonesia menjadi satu kesatuan yang dapat menjunjung
tinggi perbedaan dan keragaman masyarakat.
Jadi, pada prinsipnya pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat
dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua manusia

28
yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan
penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua pihak agar
memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam menjalankan
peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik. Oleh karena itu,
diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok
beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan
bersama.
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk
berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini.
1. Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang
merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
2. Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran
tunggal terhadap kebenaran sejarah.
3. Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut
pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
4. Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinsip pokok dalam memberantas
pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.

Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan


dan perbedaan budaya mendorong individu dalam rangka mempertahankan dan
memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri. Jadi, kenyataan yang tak
dapat ditolak bahwa masyarakat dan bangsa indonesia terdiri atas berbagai keragaman
sosial, kelompok etnis, agama, aspirasi politik dan keanekaragaman budaya. Pada pihak
lain, realitas keanekaragaman tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk
merekonstruksi kembali “kebudayaan nasional indonesia” atau “budaya bangsa” yang
dapat menjadi “integrating force” yang dapat mengikat seluruh keragam etnis, suku
bangsa dan budaya tersebbut. Kesdaran tentang keanekaragaman budaya sudah muncul
sejak negara republik indonesia terbentuk dan digunakan oleh pendiri bagsa indonesia
untuk mendesain kebudayaan banga indonesia.

29
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan
Sebagai individu yang menjalani hidup di tengah masyarakat, fungsi dan peran
manusia sangat penting dalam membentuk identitas diri dan masyarakatnya. Keragaman
pernah merendahkan martabat manusia, namun dari perspektif HAM dan agama, jelas
bahwa manusia pada hakekatnya adalah sama dan sederajat. Dinegara demokrasi,
kedudukan dan perlakuan yang sama dari warga Negara merupakan ciri utama sebab
demokrasi menganut prinsip persamaan dan kebebasan. Persamaan kedudukan di antara
warga Negara, misalnya dalam bidang kehidupan seperti persamaan dalam bidang politik,
hukum, kesempatan, ekonomi, dan sosial. Keragaman adalah modal, tetapi sekaligus
potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang memperkaya khazanah budaya dan
menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural.

30
DAFTAR PUSTAKA

Digdoyo, Eko. 2015. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. (Cet. Pertama). Bogor: Ghalia
Indonesia.

Abdul Hakam, Kama. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. (Cet. Ketiga). Jakarta: Kencaba
Prenadamedia Group.

Nursyam, Keragaman dan Toleransi (online) tersedia di http://nursyam.uinsby.ac.id/?p=913


(Diakses tanggal 18 Februaru 2017)

Bertoleransi dalam Keberagaman di Indonesia (online) tersedia di


https://nurutamidarojah.wordpress.com/sesi-2/bab-2-bertoleransi-dalam-keberagaman-di-
indonesia/b-perilaku-toleran-terhadap-keberagaman-dalam-bingkai-bhineka-tunggal-ika/
(Diakses tanggal 18 Februari 2017)

31

Anda mungkin juga menyukai