Anda di halaman 1dari 4

TUGAS REVIEW JURNAL MK KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA

[ Culture and Communication]


Nama : Dini Salsabilah Gasim
NIM : 291418045
Kelas : C – Semester VI

Pengantar
Pada bagian pengantar, penulis membuka jurnal ini dengan suatu pernyataan bahwa
perihal “budaya” dan “komunikasi” pada dasarnya tidak memiliki definisi yang pakem, karena
seiring berjalannya waktu telah banyak didefinisikan berulang kali. Sedangkan dari sudut
pandang para antropolog, ketika manusia pertama kali muncul dan menjalin hubungan dengan
manusia lainnya hingga membentuk komunitas yang terpisah, maka dari sinilah variabel budaya
berkembang.
Sehingga, muncullah sebuah pertanyaan yang mewakili realitas dari komunikasi antar
budaya yang terjadi pada zaman globalisasi dan telekomunikasi ini yakni, apakah benar bahwa
aspek paling penting dari komunikasi adalah “bahasa” saja ? Bahasa penyambung yang
digunakan oleh berbagai individu dari beragam latar belakang budaya untuk menjalin hubungan
sosial. Oleh karena itu, para ahli bahasa menyadari fenomena ini, sehingga mereka membuat
penelitian untuk memahami apa sebenarnya hal yang paling dibutuhkan manusia dalam
berkomunikasi. Ini bukanlah pertanyaan yang ditanyakan begitu saja, namun diperkuat oleh
keyakinan Cerrioni-Long (1998) yang melakukan penelitian selama dua decade di Amerika
Serikat yang kita kenal sebagai negara dimana seluruh kebudayaan berkumpul, dari penelitian ini
dia menunjukkan bahwa, pendidikan multicultural yang terjadi di Amerika secara krusial justru
dibentuk oleh factor-faktor spesifik budaya, bahwa lebih dari sekadar bahasa, fenomena
multicultural ini terbentuk dari kompleksitas budaya dalam kewarganegaraan dan keragaman
yanag berbeda.
Setelah memberikan pemahaman bahwa komunikasi dan budaya lebih dari sekadar
“bahasa”, penulis mencoba memberikan deskripsi kepada kita tentang fenomena dunia dewasa
ini yang menjadi lebih terintegrasi dengan adanya globalisasi dan perkembangan teknologi
digital yang sangat pesat. Semua ranah masyarakat di zaman ini lebih butuh untuk terkoneksi
dengan individu lain dari berbagai latar kebudayaan yang pada dasarnya dapat menjembatani
kesenjangan. Namun, hal ini tidak berubah dengan mudahnya, budaya masih menjadi hal yang
tidak mudah dipahami, dalam banyak kasus, budaya lebih sering menjadi konflik daripada
sinergi. Oleh karena itu, Baumgratz (1998) menyatakan bahwa, untuk menciptakan keadaan yang
diharapkan dari komunikasi lintas budaya, maka perlu adanya pemetaan yang relevan dari
berbagai dimensi budaya yang melibatkan individu atau kelompok yang berasal dari budaya
maupun kebangsaan yang berbeda, untuk mencapai tujuan sosial yang diharapkan.
Untuk mencipatakn situasi komunikasi antar budaya yang produktif, maka penulis
menawarkan sebuah proposal berupa penyediaan “pelatihan”. Pada proses pembelajaran ini,
penulis menawarkan strategi permainan dan simulasi untuk merangsang pemahaman responden
terkait realitas yang membutuhkan banyak pengetahuan terkait budaya lain.

Klasifikasi Budaya
Dalam jurnal mengenai studi komunikasi multibahasa ini, penulis merujuk pada sebuah
teori mengenai kebudayaan yang didefinisikan oleh Spencer-Oatey, yaitu :
Budaya adalah serangkaian yang kabur dari sikap, keyakinan, perilaku yang disepakati
bersama, asumsi, dan nilai dasar yang dimiliki oleh sekelompok orang, dan
mempengaruhi perilaku dan interpretasi setiap anggota tentang “makna” dari perilaku
orang lain.

Klasifikasi budaya digambarkan oleh penulis dalam dua pendapat paling dipercayai dari dua ahli
dalam bidang kebudayaan, yaitu Hall (1976) dan Hofstede (1980). Hall mengusulkan gagasan
mengenai perbedaan antara budaya konteks tinggi dan rendah. Dalam komunikasi masyarakat
konteks rendah, harus ada rujukan ekspilisit terhadap topik yang ingin disampaikan. Sedangkan
pada komunikasi masyarakat konteks tinggi, Hall mengatakan bahwa banyak informasi yang
ditemukan dalam konteks fisik atau diinternalisasikan seakan-akan dalam diri orang itu sendiri.
Sedangkan menurut Hosdtede terdapat 4 dimensi pemetaan budaya yang dipaparkannya
dari hasil penelitiannya. Dimensi tersebut adalah :
1. Perbedaan kekuasaan/ kekuatan : Hal ini membicarakan tentang tingkat rasa penerimaan
anggota kelompok yang kurang berkuasa terhadap perbedaan kekuasaan yang menurut
mereka hal itu terjadi secara alamiah.
2. Individualism/ kolektivisme : Menurut Hofstede, poin ini adalah poin yang paling banyak
digunakan untuk menjelaskan variable-variable budaya. Contoh yang digambarkan
penulis adalah orang-orang dengan sifat individualisme cenderung berasal dari bangsa
Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. Sedangkan para penganut Kolektivisme, berasal
dari negara-negara seperti Jepang serta masyarakat Asia lainnya. Namun bisa jadi,
pengelompokan ini mungkin saja terjadi karena banyak factor lain, tidak hanya
berdasarkan factor geografis.
3. Penghindaran ketidakpastian : ini merujuk pada kecenderungan utama dalam suatu
budaya dan bukan untuk semua individu.
4. Maksulinitas : Dikotomi pria-wanita ini terutama mempengaruhi komunikasi dalam
peran gender. Dalam budaya "maskulin" perannya jelas jauh, laki-laki menjadi tegas,
tangguh, dan materialistis sedangkan "feminin" melibatkan kesopanan, pengasuhan dan
kepekaan. Budaya "feminin" akan lebih mementingkan kualitas hidup dan menunjukkan
lebih sedikit perbedaan antara jenis kelamin. Skala bipolar yang digunakan oleh penulis
lain untuk menggambarkan hubungan peran, seperti kooperatif / kompetitif, setara / tidak
setara, sosio-emosional / berorientasi tugas mungkin juga termasuk dalam kategori ini.

Secara keseluruhan, ulasan singkat terkait beberapa klasifikasi budaya ini dapat membantu kita
melihat dan memperkirakan masalah yang mungkin bisa terjadi dalam komunikasi lintas budaya.

Komunikasi Antar Budaya


Fokus dari komuikasi lintas budaya adalah melihat bagaimana orang yang berasal dari
latar belakang budaya berbeda, berusaha untuk berkomunikasi. Komunikasi antar budaya secara
langsung berkaitan dengan antropologi sosial budaya, studi holistik tentang kemanusiaan. Para
antropolog berpendapat bahwa budaya dan bidang komunikasi yang mapan mengacu pada proses
pertukaran informasi, biasanya melalui sistem simbol yang umum. Manusia telah
mengembangkan kapasitas universal untuk memahami dunia secara simbolis, untuk mengajar
dan mempelajari simbol-simbol semacam itu secara sosial, dan untuk mengubah dunia (dan diri
kita sendiri) berdasarkan simbol-simbol tersebut. 3. Kegiatan memahami dan mengadaptasi
simbol dapat didefinisikan sebagai “praktik antar budaya,” karena praktik budaya terdiri dari
cara orang melakukan berbagai hal dalam budaya tertentu. “Praktik budaya” ini secara langsung
terkait dengan pengetahuan dan “pengetahuan tentang dunia”, dan dari daftar ini variabel dan
konteks yang tak berujung campur tangan dan menentukan tingkat pemahaman dan, akibatnya,
komunikasi antar budaya.
Tapi, bagaimana hubungan budaya dan komunikasi ini dibuat antar individu? Banyak
publikasi mendukung keyakinan bahwa simulasi dan permainan menawarkan kepada kita
kemungkinan untuk mencampurkan budaya yang berbeda dan menghasilkan komunikasi.
Crookall dan Saunders (1989) dalam bab pengantar mereka untuk Komunikasi dan Simulasi
Bertajuk “Menuju Integrasi Komunikasi dan Simulasi” menganalisis berbagai aspek hubungan
antara simulasi dan komunikasi pada berbagai tingkatan dan dari berbagai sudut pandang. Di
bidang komunikasi mereka menekankan pada aspek negosiasi dan interpretasi antara pihak-pihak
yang mungkin membangun berbagai makna yang berakar pada budaya, media dan masyarakat.
Dalam bidang simulasi lintas disiplin yang sama, mereka menarik perhatian pada kegunaan
simulasi dalam mengeksplorasi proses komunikasi, di mana simulasi secara unik cocok sebagai
alat dalam mempelajari bidang-bidang seperti konflik, pengambilan keputusan, perilaku bahasa,
hubungan antarkelompok dan nilai-nilai budaya. Hubungan dari dua disiplin, karena keduanya
bergantung pada aturan, simbol dan kode yang melibatkan model, representasi, realitas dan
makna yang dinegosiasikan digarisbawahi dan sinergi yang diciptakan melalui persatuan mereka
disorot. Komentar mereka bahwa "kebutuhan untuk memahami dan menerima budaya lain lebih
mendesak daripada kapan pun dalam sejarah umat manusia" (hlm. 27) adalah benar ketika artikel
itu ditulis dan sama benarnya sekarang.
Jurnal ini menitikberatkan pada keanekaragaman budaya sebagai aset yang harus dibina
dan dimanjakan. Namun demikian, telah diperjelas bahwa keberagaman budaya yang tidak
dibarengi dengan kesadaran dan pemahaman budaya dapat menimbulkan “culture shock” dan
kesalahpahaman. Pelatihan melalui metodologi yang berbeda, terutama simulasi karena
pandangan gestalt dan interaksi yang melekat, sangat penting untuk komunikasi nyata dalam
masyarakat global kita.

Anda mungkin juga menyukai