Anda di halaman 1dari 11

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas ridho Nya sehingga dapat
menyelesaikan masalah ini dengan tepat waktu.
Makalah dengan judul “Seni Rupa” disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas
mata pelajaran Seni Budaya serta untuk mengetahui lebih jauh tentang manfaat mempelajari
Seni Rupa.
Penulis menyadari bahwa baik isi maupun cara penyusunan makalah ini jauh dari
sempurna. Juga kemungkinan kesalahan cetak tak dapat dihindarkan. Karena itu segala saran
dan kritik yang membangun sangat penulis harapan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
pembaca yang membutuhkan informasi berkaitan dengan makalah ini.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Kerajaan Sriwijaya........................................................................2
B. Kehidupan Politik Kerajaan Sriwijaya.........................................................................3
C. Kehidupan Sosial Kerajaan Sriwijaya..........................................................................3
D. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Sriwijaya.....................................................................3
E. Kehidupan Agama Kerajaan Sriwijaya.........................................................................5
F. Masa Keemasan Kerajaan Sriwijaya.............................................................................5
G. Masa Penurunan Kerajaan Sriwijaya...........................................................................5

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan...................................................................................................................8
B. Saran.............................................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................9

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan. Tidak terdapat catatan
lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia. Masa lalunya yang terlupakan
dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar
mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an. Ketika sarjana Perancis George Cœdès
mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedès
menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap “San-fo-ts’i”, sebelumnya dibaca “Sribhoja”,
dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.

Historiografi Sriwijaya diperoleh dan disusun dari dua macam sumber utama. Catatan sejarah
Tiongkok dan sejumlah prasasti batu Asia Tenggara yang telah ditemukan dan diterjemahkan.
Catatan perjalanan bhiksu peziarah I Ching sangat penting. Terutama dalam menjelaskan
kondisi Sriwijaya ketika ia mengunjungi kerajaan itu selama 6 bulan pada tahun 671.
Sekumpulan prasasti siddhayatra abad ke-7 yang ditemukan di Palembang dan Pulau Bangka
juga merupakan sumber sejarah primer yang penting.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah berdirinya kerajaan Sriwijaya?


2. Bagaimana kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan agama kerajaan Sriwijaya?
3. Kapankah masa keemasan kerajaan Sriwijaya?
4. Bagaimana penurunan kekuasaan kerajaan Sriwijaya?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Berdirinya Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara bahari. Namun kerajaan ini
tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara. Dengan
pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa
ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya. Selain itu
kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya. Namun kawasan yang
menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa. Sedangkan daerah
pendukungnya diperintah oleh datu setempat.

1. Perjalanan Siddhayatra

Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing. Dari prasasti
Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta
Hyang. Bahwa beliau berangkat dalam perjalanan suci siddhayatra untuk “mengalap berkah”.
Dengan memimpin 20.000 tentara dan 312 orang di kapal dengan 1.312 prajurit berjalan kaki
dari Minanga Tamwan menuju Jambi dan Palembang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit
adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat bahwa
prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini. Pada abad ke-7 ini, orang
Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian
kemaharajaan Sriwijaya.

Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka.
Kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung,
hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan
ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya.
Peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing
(Kerajaan Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya.
Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh
dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut
China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

2. Penaklukan Kawasan

Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya


mengendalikan simpul jalur perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi,
ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Pada abad ke-7,
pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari
Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa
serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal
abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas
Kamboja. Sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan
hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama.

Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada
di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra

2
bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana. Pada abad ini pula, Langkasuka di
semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Pada masa berikutnya, Pan Pan dan
Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh
Sriwijaya. Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada
periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak
melakukan ekspansi militer. Tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya
di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah
yang selesai pada tahun 825.

B. Kehidupan Politik Kerajaan Sriwijaya

Kehidupan politik kerajaan Sriwijaya dapat ditinjau dari raja-raja yang memerintah, wilayah
kekuasaan, dan hubungannya dengan pihak luar negeri. Setelah berhasil menguasai
Palembang, ibukota Kerajaan Sriwijaya dipindahkan dari Muara Takus ke Palembang. Dari
Palembang, Kerajaan Sriwijaya dengan mudah dapat menguasai daerah-daerah di sekitarnya.
Seperti Pulau Bangka yang terletak di pertemuan jalan perdagangan internasional, Jambi
Hulu yang terletak di tepi Sungai Batanghari dan mungkin juga Jawa Barat (Tarumanegara).
Maka dalam abad ke-7 M, Kerajaan Sriwijaya telah berhasil menguasai kunci-kunci jalan
perdagangan yang penting seperti Selat Sunda, Selat Bangka, Selat Malaka, dan Laut Jawa
bagian barat. Pada abad ke-8 M, perluasan Kerajaan Sriwijaya ditujukan ke arah utara, yaitu
menduduki Semenanjung Malaya dan Tanah Genting Kra.

Pendudukan pada daerah Semenanjung Malaya memiliki tujuan untuk menguasai daerah
penghasil lada dan timah. Sedangkan pendudukan pada daerah Tanah Genting Kra memiliki
tujuan untuk menguasai lintas jalur perdagangan antara Cina dan India. Hubungan dengan
luar negeri, Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di luar
wilayah Indonesia. Terutama dengan kerajaan-kerajaan yang berada di India, seperti Kerajaan
Pala/Nalanda di Benggala. Raja Nalanda, Dewapala Dewa menghadiahi sebidang tanah untuk
pembuatan asrama bagi pelajar dari nusantara yang ingin menjadi ‘dharma’ yang dibiayai
oleh Balaputradewa.

C. Kehidupan Sosial Kerajaan Sriwijaya

Letak Sriwijaya sangat strategis di jalur perdagangan antara India-Cina. Di samping itu juga
berhasil menguasai Selat Malaka yang merupakan urat nadi perdagangan di Asia Tenggara,
menjadikan Sriwijaya berhasil menguasai perdagangan nasional dan internasional.
Penguasaan Sriwijaya atas Selat Malaka mempunyai arti penting terhadap perkembangan
Sriwijaya sebagai negara maritim, sebab banyak kapal-kapal asing yang singgah untuk
menambah air minum, perbekalan makanan dan melakukan aktivitas perdagangan. Sriwijaya
sebagai pusat perdagangan akan mendapatkan keuntungan yang besar dan akan berpengaruh
terhadap kehidupan masyarakat yang hidup dari pelayaran dan perdagangan.

D. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Sriwijaya

Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan
Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab
mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu,
cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-
raja di India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan
dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau

3
pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan
perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya
senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasai urat nadi pelayaran antara
Tiongkok dan India.

Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu
mengawasi dan jika perlu memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Keperluan untuk
menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi
militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap
mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka,
Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar
Kedah dan Chaiya di semenanjung Melaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang
ditaklukan dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya.

Disebutkan dalam catatan sejarah Champa adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang
berasal dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin angkatan
laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa Sailendra di
Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk
menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar
pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sedari tahun
670 hingga 1025 M.

Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal


Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara
sekitar abad ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan
perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia dan
perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia
Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief
Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya
dalam pelayaran antarpulaunya, kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun
abad ke-7 hingga ke-13 Masehi.

Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin
perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang
mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718,
kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan
kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-‘o-pa-mo
(Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina, berupa ts’engchi
(bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).

Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song,
perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan
Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan
keuntungan dari perdagangan ini. Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai
mengenal buah semangka (Citrullus lanatus (Thunb.) Matsum. & Nakai), yang masuk melalui
perdagangan mereka.

4
E. Kehidupan Agama Kerajaan Sriwijaya

Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana
dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan
kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun
671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha
sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita
yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang belajar
agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.

Terdapat lebih dari 1000 pandita Buddhis di Sriwijaya yang belajar serta mempraktikkan
Dharma dengan baik. Mereka menganalisa dan mempelajari semua topik ajaran sebagaimana
yang ada di India; vinaya dan ritual-ritual mereka tidaklah berbeda sama sekali [dengan yang
ada di India]. Apabila seseorang pandita Tiongkok akan pergi ke Universitas Nalanda di India
untuk mendengar dan mempelajari naskah-naskah Dharma auutentik, ia sebaiknya tinggal di
Sriwijaya dalam kurun waktu 1 atau 2 tahun untuk mempraktikkan vinaya dan bahasa
sansekerta dengan tepat.

Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian
diikuti pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya dengan
membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand. Raja-raja Sriwijaya
menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7
hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu
beserta kebudayaannya di Nusantara.

F. Masa Keemasan Kerajaan Sriwijaya

Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza. Pada
tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik
menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah
kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang
tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau
wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana,
pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.

Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan dari
seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan
dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj
(Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur
dan kekuasaan yang luas hingga ke seberang lautan.

G. Masa Penurunan Kerajaan Sriwijaya

1. Serbuan Kerajaan Chola

Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan,
mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh
1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah
Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-
Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya

5
telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap
memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap
tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts’i ke Cina
tahun 1028.

Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor alam. Karena adanya pengendapan lumpur di
Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di
Palembang semakin berkurang. Akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh dari laut dan
menjadi tidak strategis. Akibat kapal dagang yang datang semakin berkurang, pajak
berkurang dan memperlemah ekonomi dan posisi Sriwijaya.

Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang sezaman dengan
Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh pelarian orang Melayu
Sriwijaya, yang ketika pada saat itu Sriwijaya diserang Kerajaan Chola mereka bermigrasi ke
Kalimantan Selatan. Namun pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari
dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I
(Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts’i, yang kemudian
mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton.

Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-
fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan
Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-
fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta
menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga
mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088. Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap
hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan
melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang
kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung
Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.

2. Munculnya Malayu Dharmasraya

Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta
besar pada Cina. Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta besar tersebut
mengunjungi Cina. Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota
maupun kota lainnya selama periode tersebut. Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan
dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi untuk mengambil kepemimpinan
Sriwijaya pada abad ke-11.

Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-
Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat
kuat dan kaya, yakni San-fo-ts’i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa
rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts’i memeluk Budha,
dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling
(Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan
Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-
nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-
t’ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts’ien-mai (Semawe, pantai timur
semenanjung malaya), Pa-t’a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li
(Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t’o (Sunda).

6
Namun, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya,
melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi
tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber
Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut Cina
Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini mengisahkan
bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan
kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja
Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco.
Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu
juga dalam Nagarakretagama yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit, juga
sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya merupakan
kawasan Sriwijaya.

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sriwijaya adalah salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera
dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan berdasarkan peta
membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa Barat
dan kemungkinan Jawa Tengah. Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti “bercahaya” atau
“gemilang”, dan wijaya berarti “kemenangan” atau “kejayaan”, maka nama Sriwijaya
bermakna “kemenangan yang gilang-gemilang”.

Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta
Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6
bulan. Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7,
yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya
terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan di antaranya
tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan
Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.

B. Saran

Saran untuk para siswa agar jangan melupakan sejarah bangsa kita, dan berusaha
menjaga dan melestarikan peninggalan sejarah yang ada di Indonesia.

8
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Sriwijaya

http://sejarahbudayanusantara.weebly.com/kerajaan-sriwijaya.html

http://kakakpintar.com/sejarah-kerajaan-sriwijaya-peninggalan-pendiri-prasasti-letak-
penyebab-runtuhnya

Anda mungkin juga menyukai