Anda di halaman 1dari 8

Apa sih artinya High Context dan Low Context?

Istilah high context dan low context sebenarnya lebih dekat jika disandingkan dengan konsep kebudayaan (culture) sebuah bangsa. Simak saja di blog Ungkapan Hati, dimana konteks verbal atau penyampaian maksud adalah acuan yang dijadikan standar apakah pembicaraan itu berkonteks high (tinggi) atau low (rendah).

Dan itu betul. Di kehidupan sehari-hari, konteks ini bagi bangsa kita yang masih memegang erat budaya ketimuran memang sering digunakan sebagai sebuah kebiasaan. Contoh, ketika seorang gadis yang berjalan-jalan di toko buku bersama TTM-nya bilang: wah mas, ini bukunya keren betul. Ckckck, pengen deh punya buku ini. Itu adalah pembicaraan high context yang bila dijabarkan pada konsep low context, bisa saja si gadis bilang: Mas, beliin buku ini dong. Nah, kan? Tujuan sama, namun penyampaiannya yang berbeda.

Versi yang lebih bagus ada di artikel Amdhas:

Orang Amerika ingin langsung ke pokok permasalahan dan melakukan transaksi, namun orang China tidak seperti itu. Mereka mengutamakan keramahan ala Asia dengan obrolan yang membuat suasana menjadi akrab. Orang Amerika sudah mulai bosan dengan obrolan yang mereka anggap basa-basi dan dengan seketika dia bilang deal or no deal? Orang China tersinggung dan dia menganggap rekan bisnisnya itu sangat tidak sopan. Walhasil rencana bisnis itu kandas.

Setelah saya renungi, ternyata itu berlaku juga pada blogging. Jika kita cermati beragam jenis tulisan yang dipublikasikan di blogosphere, kita dapat menilai apakah tulisan itu bersifat eksplisit (tersirat) atau implisit (tersurat), apakah berputar-putar dulu atau langsung to the point, juga apakah tulisan itu memakai istilah-istilah baku atau kata-kata yang sudah umum.

Ini bisa dimaklumi karena toh blogger adalah juga seorang individu yang unik, yang memiliki standar ideal sendiri terhadap hasil-hasil karyanya. Dan lagi, tak mungkin lah sebuah artikel dapat langsung dipahami maksudnya oleh semua segmen pembaca, karena pembaca pun adalah individu yang juga unik, yang mempunyai standar ideal sendiri pada apa-apa yang dibacanya. Lho, kok jadi mbulet?

Jennie S. Bev pernah mengatakan:

There are all kinds of writers and all kinds of readers.

Maksudnya sudah pasti. Seruwet-ruwetnya tulisan kita pasti ada saja pembaca yang menyukai. Tak peduli sekriting-kritingnya istilah yang kita pakai, pasti ada pembaca yang memahami. Benar juga, karena dari pengalaman pribadi, jika saya pergi ke toko buku dengan istri, saya lebih suka ngetem di rak buku-buku tentang internet ketimbang nongkrong bareng istri di rak buku-buku tentang kehamilan yang sumpah saya ngga mudheng apa yang dibicarakan :D

Blogger Bingung Menulis Artikel sumber gambar: blog.lib.umn.edu Ok, sekarang saya akan mengajak Anda tuk mengenal istilah yang juga sama-sama ajaibnya, yaitu High Content dan Low Content.

Apa lagi sih High Content dan Low Content itu?

Setelah saya googling, ternyata istilah-istilah itu tak terekam. Mungkin karena memang maksudnya sudah sangat jelas. High content adalah ungkapan untuk sesuatu yang berjumlah banyak dan berulangulang dalam waktu yang sangat dekat. Sedang low content adalah sebaliknya, jumlahnya sangat sedikit dan kemunculannya tak peduli dengan tenggat waktu.

Untuk blogging, ini bisa disamakan dengan frekuensi update artikel. Sederhananya, blog yang high content adalah blog yang selalu memproduksi artikel setiap satu atau dua hari, sedang blog low content update-nya belum tentu seminggu sekali.

Lalu, konsep mana yang sebaiknya diterapkan?

Its up to you. Karena kita adalah pemegang wewenang tertinggi di blog yang kita gawangi, baik high/low context atau high/low content, kesemuanya pasti ada timbal balik. Saya sendiri masih dalam tahap trial and error alias bermain rodeo dengan kombinasi konsep-konsep tersebut.

Bagaimana dengan Anda, apakah Anda suka artikel bergaya formal atau casual, dan apakah dalam meng-update postingan Anda selalu rajin atau cenderung angin-anginan?

Gilang Jiwana Adikara D2C007034 1. Identifikasi Kelompok Budaya Kategori masyarakat konteks budaya tinggi adalah suatu golongan masyarakat yang memiliki suatu tingkat kompleksitas nilai dan budaya tinggi. Hal ini dapat dilihat dari rumitnya hubungan antar anggota di dalamnya sebab masing-masing anggota itu berlaku nilai budaya dan pranata yang menjadi ciri khas konteks masyarakat tersebut. Sebaliknya kategori masyarakat dengan konteks budaya rendah lebih memiliki kebebasan dalam berhubungan antar anggotanya. Nilai-nilai yang berlaku pada konteks budaya rendah tidak serumit pada masyarakat konteks budaya tinggi. Bila melihat dari defiinisi kedua kelompok budaya tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat jawa pesisiran cenderung tergolong dalam masyarakat dengan konteks budaya rendah. Sikap ekspresif mereka dapat menjadi sebuah bukti yang kuat dalam hal ini. Sikap ekspresif menunjukkan adanya kebebasan dalam berpendapat antar anggotanya. Hal ini tidak dimiliki oleh masyarakat jawa kratonan. Pada masyarakat jawa kratonan, berlaku suatu pranata dalam hubungan antar anggotanya, misalnya adanya tingkatan bahasa dalam pergaulan dari ngoko hingga krama inggil yang harus dapat diaplikasikan pada kehidupan dan interaksi dengan orang lain. Jawa kratonan juga sangat menjunjung tinggi tingkatan sosial. Seorang yang memiliki status sosial lebih tinggi harus lebih dihormati, dan sikap yang digunakan dalam berhubunganpun akan berbeda dengan bila berhubungan dengan orang yang status sosialnya lebih rendah, oleh karena kompleksitas nilai yang dimiliki masyarakat jawa kratonan, maka kelompok ini tergolong dalam masyarakat dengan konteks budaya tinggi. 2. Perbedaan Nilai, Sikap dan Pranata Komunikasi Masyarakat konteks budaya tinggi dan mesyarakat konteks budaya rendah memiliki perbedaanperbedaan nilai, sikap dan pranata komunikasi. Nilai yang dianut masyarakat berkonteks tinggi masih sangat menjaga tradisi-tradisi mereka, dan perubahan yang terjadi sangat lamban, berbeda dengan yang terjadi pada masyarakat berkonteks budaya rendah. Mereka tidak terlalu menjaga budaya dan membuka diri pada modernisasi, sehinggaperubahan yang terjadi sangat cepat. Contoh yang terjadi pada masyarakat jawa kratonan sebagai masyarakat berkonteks budaya tinggi adalah masih dijunjungnya budaya-budaya tradisi mereka dan mereka masih menjaga hampir seluruh peninggalan nenek moyang.Perubahan yang terjadi hanya mampu mengakibatkan perbauran budaya tanpa meninggalkan budaya asli mereka. Sementara pada masyarakat jawa pesisiran, mereka membuka diri pada modernisasi. Sebagai bukti, masuknya agama Islam menghilangkan kebudayaan asli mereka. Perpaduan budaya yang terjadi lebih banyak unsur Islamnya daripada unsur tradisi nenek moyang mereka. Dalam hal sikap, masyarakat dengan konteks budaya tinggi tidak begitu ekspresif, dan masyarakat dari golongan ini menjunjung sikap kolektifis, contohnya pada masyarakat jawakratonan, mereka masih bersikap ewuh-pekiwuh maksudnya mereka masih merasa sungkan untuk bersikap secara langsung, akibatnya sering tidak ada ketegasan antar masyarakatnya dan terkesan lembek. Masyarakat ini juga masih membudayakan kerjasama dan dialog antar masyarakat dalam setiap hubungan yang terjadi. Sedangkan masyarakat berkonteks budaya rendah jauh lebih terbuka dalam

bersikap, spontan, ekspresif, dan lebih banyak melakukan aksi dan emosi daripada sekedar kata-kata. Contoh nyata dalam kehidupan masyarakat jawa pesisiran adalah bahasa-bahasa yang mereka pakai. Seringkali terdengar kasar, tapi itu adalah ungkapan kejujuran mereka dalam bersikap, dan mengeluarkan perasaan mereka. Pranata komunikasi antara kedua konteks budaya juga berbeda. Pada masyarakat berkonteks budaya tinggi, ada tingkatan penghormatan dalam berkomunikasi untuk masing-masing anggota masyarakatnya, misalnya dalam budaya jawa kratonan, ada peraturan adat untuk menggunakan bahasa jawa krama kepada orang yang lebih tua atau yang memiliki strata sosial lebih tinggi, dan menggunakan bahasa ngoko untuk orang yang lebih muda atau yang berstrata sosial lebih rendah. Hal ini tidak terjadi pada masyarakat berkonteks budaya rendah, mereka bebas untuk berbahasa dan menyampaikan pendapat tanpa harus melakukan unggah-ungguh yang rumit. Misalnya dalam masyarakat jawapesisiran, mereka bebas berkomunikasi kepada siapapun meskipun terdengar kurang sopan bagi masyarakat berkonteks budaya tinggi. 3. Faktor keberagaman Penghambat Komunikasi Antar Pribadi Beda Budaya Banyak faktor keberagaman antara kedua kelompok masyarakat ini, tetapi ada beberapa faktorfaktor keberagaman yang memiliki potensi untuk menjadi penghambat komunikasi antar pribadi. Beberapa faktor tersebut antara lain: faktor religi, elemen kebudayaan, dan etnisitas. Faktor-faktor tersebut dapat menjadi potensi penghalang komunikasi sebab mereka bersinggungan secara langsung dalam setiap hubungan komunikasi antar pribadi dengan cara memengaruhi cara penyampaian pesan seseorang dari suatu kelompok tertentu. Misalnya seseorang beragama Islam akan memiliki cara pandang dan carapenyampaian pesan yang khas dan unik dari agama yang dia anut, begitu pula pada penganut agama-agaman lainnya. Bila perbedaan cara pandang ini tidak disikapi dengan baik maka akan menimbulkan noise yang menjadi penghambat komunikasi di antara mereka. Dalam kasus hubungan antar pribadi antara komunitas jawa kratonan dengan komunitasjawa pesisiran, terdapat faktor keberagaman religi. Memang kedua komunitas ini memiliki agama mayoritas yang sama, yaitu Islam. Tetapi Islam di komunitas jawa pesisir tidak sama dengan jawa kratonan. Komunitas Jawa pesisir menganut islam secara keseluruhan, dan mereka mendasari islam itu dari aspek-aspek Syariah (hukum) Islam. Sedangkan masyarakat jawa kratonan memang menganut islam, tetapi mereka masih mempercayai adat-adat nenek moyang mereka, seperti mantra-mantra dan kepercayaan animisme-dinamisme. Perbedaan kepercayaan inilah yang memisahkan kedua kelompok masyarakat ini. Perbedaan cara pandang islam di antara mereka dapat memicu persaingan yang tidak sehat, salah satu pihak dapat menyatakan lebih baik dari pihak yang lain dan sebaliknya. Perbedaaan elemen kebudayaan juga menjadi sebuah faktor penghalang. Meskipun mereka berakar dari satu budaya yang sama, yaitu budaya jawa, tetapi kedua komunitas ini memiliki cara pandang yang berbeda tentang budaya ini. Jawa kratonan yang menganut konteks budaya tinggi sangat menjunjung tinggi penghormatan dan etika bergaul dengan masing-masing anggota komunitasnya, sebaliknya jawa pesisiran lebih longgar dalam etika berhubungan, mereka jauh lebih bebas dalam berekspresi dan berbicara, tanpa terikat oleh nilai-nilai etika jawa yang rumit. Bila kedua komunitas ini bertemu, dapat muncul gangguan dan hambatan komunikasi karena masalah ini. Islam jawa merasa harus saling menghormati, tetapi jawa pesisiran merasa hak mereka untuk berekspresi secara lugas dan spontan. Sebenarnya hal ini dapat teratasi seandainya mereka mau

beradaptasi satu sama lain. Yang terakhir adalah faktor etnisitas. Karena letaknya yang berada di pesisir pulau jawa, masyarakat pesisir memiliki berbagai campuran etnis selain etnis jawa, terutama dari etnis cina dan arab. Adanya perpaduan etnis inilah yang menyebabkan masyarakat jawa pesisir lebih terbuka pada modernisasi dan cenderung meninggalkan budaya tradisional mereka. Sementara masyarakat jawa kratonan masih asli beranggotakan etnis jawa. Perbedaan etnis yang menimbulkan perbedaan budaya ini juga berpotensi untuk menjadi penghambat komunikasi yang efektif. 4. Model Komunikasi Antar Pribadi Beda Budaya Fokus terpenting dalam komunikasi antar budaya adalah bagaimana cara kita mengidentifikasi penghalang dan beradaptasi dengan budaya yang lain. Oleh karena itu, saya mengembangkan model komunikasi antar budaya dari model komunikasi dasar, dimana proses penyaluran pesan berlangsung dari source kepada receiver dengan melalui channel dan sebaliknya dengan memberikan efek sebagai hasil komunikasi. Tetapi disini saya menambahkan sebuah elemen yaitu adaptasi yang melingkupi source dan receiver. Maksudnya dalam mengirim maupun menerima pesan, source dan receiver harus memahami lawan bicaranya dan beradaptasi untuk menyesuaikan budaya masing-masing

Diharapkan dengan adanya model komunikasi ini maka tidak ada lagi hambatan dalam berkomunikasi antar pribadai dalam konteks budaya, sebab sudah disadari adanya adaptasi untuuk meminimalisir gangguan yang akan terjadi sehingga muncul sebuah komunikasi yang ideal didalamnya.

Daftar Pustaka Analytictech, Differences in Cultures, http://www.analytictech.com/mb021/cultural.htm (diakses 23 Juni 2008, 08:11) Joshua, Jawa Pesisir, http://www.joshuaproject.net/peopctry.php?rog3=ID&rop3=104221 (diakses 23 Juni 2008, 09:34) www.marin.com, High-context and Low-context Culture Styles, http://www.marin.edu/buscom/index_files/page0009.htm (diakses 23 Juni 2008, 10:02) Naryoso, Agus. Materi Kuliah Komunikasi Antar Pribadi, 16 Juni 2008 Nursidik, Yahya. Model-Model Komunikasi, 2007, http://apadefinisinya.blogspot.com/2007/12/komunikasi.html (diakses 23 Juni 2008, 08:35)

Syam, Nur, Makalah: ISLAM PESISIRAN DAN ISLAM PEDALAMAN: TRADISI ISLAM DI TENGAH PERUBAHAN SOSIAL, http://www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%20Nursyam.doc (diakses 23 Juni 2008, 08:02) Ummi, Shinta Ardhiyani. Pembentukan Karakter Masyarakat Bilingual Melalui Penumbuhan Linguistic Pride Banyumasan, 2008, http://ntacaholic.blogspot.com/2008/04/pembentukan-karaktermasyarakat.html (diakses 23 Juni 2008, 09:44) Wikipedia, High Context Culture, http://en.wikipedia.org/wiki/High_context_culture (diakses 23 Juni 2008, 10:13) -----, Low Context Culture, http://en.wikipedia.org/wiki/Low_context_culture (diakses 23 Juni 2008, 10:13) Indrawati ,Yanita. PERGESERAN KONSEP GENDER PADA RUMAH TRADISIONAL JAWA JOGLO, http://www.fsrd.itb.ac.id/?page_id=107 (diakses 23 Juni 2008, 10:03)

Bangsa Berbudaya Konteks Tinggi Posted on February 11, 2013 by Izmi Rajiani Dan dimanakah kita orang Indonesia? Kita harus bangga karena kita dikategorikan dalam konteks tinggi karena tidak to the point.

Menurut Prof. Tjipta Lesmana seorang gubes Ilmu Politik, dari segi konteks komunikasi, Soekarno, Habibie, dan Gus Dur tergolong rendah. Sebaliknya, Soeharto, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tergolong tinggi (high context). Dari perspektif komunikasi politik, SBY mirip Soeharto. Namun konteks komunikasi SBY rata-rata lebih tinggi daripada Soeharto. Konteks komunikasi sangat tinggi dalam menyikapi kemelut di tubuh PD inilah yang kemudian melahirkan berbagai interpretasi mengenai nasib sang ketua umum ketika beliau menyatakan tanggung jawab Fraksi, DPP, DPD, hingga DPC dialihkan dari ketua umum ke dirinya selaku Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat.

Keputusan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat mengambil alih kewenangan ketua umum adalah final. Dengan adanya keputusan ini, Anas tidak berhak melakukan kegiatan apa pun dengan membawa atribut sebagai ketua umum.

Negara dalam Kategori Berbudaya Konteks Tinggi dan Rendah

Ya keputusan itu artinya semua kewenangan partai yang dimiliki ketua umum jadi ke Pak SBY, termasuk yang simbolik dan pelantikan. Jadi Anas memang tidak lagi menjalani tugasnya sebagai ketua umum, ujar Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat, Sutan Bhatoegana, Senin (11/2/2013), di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

Sementara yang masih pro kepada sang ketum : Bahwa ditempuh dengan langkah apapun, Anas masih merasa tetap Ketua Umum yang sah Partai Demokrat, kata Erlangga di depan rumah Anas, Jakarta, Senin (11/2/2013). Dia pun menambahkan KAHMI mengamini segala pernyataan Anas tersebut.

Tanpa bermaksud memihak kepada siapapun, yang membedakan pola pikir satu bangsa dengan bangsa yang lain adalah BUDAYA.

Geert Hofstede mendefiniskan budaya the collective programming of the mind distinguishing the members of one group or category of people from another. The category can refer to nations, regions within or across nations, ethnicities, religions, occupations, organizations, or the genders.

Definisi yang lebih sederhana adalah the unwritten rules of the social game. Peraturan tidak tertulis yang menjadi norma sosial. Lebih jauh Ries dalam buku terbarunya Repositioning (2010) mengatakan Culture is the way we do things here- inilah cara kami! dan cara kami seperti yang dikatakan oleh Hall dalam High Content Culture tadi adalah tidak to the point . Menurut Teori Konteks dari Profesor Edward T. Hall, pesan komunikasi selalu mengandung konteks tertentu yang bersifat situasional, relasional, politik, ekonomi, dan budaya. Sekalipun yang paling sulit dipahami adalah konteks budaya seperti misalnya, Pak Harto yang terkenal dengan sebutan the smiling general ketika melemparkan senyum, apa artinya, dalam kasus bro Anas, pemahaman akan budaya Jawa sudah cukup untuk membaca isyarat yang diberikan oleh Pak Be Ye. Dalam konteks pidato SBY , pernyataan yang disampaikan ke publik adalah komunikasi simbolik ala Jawa yang sangat high Javanese content culture. Dan bro Anas yang merupakan orang Jawa tentu paham apa maksudnya! Boleh saja bro Anas menerjemahkannya dengan konteks hubungan bapak anak dimana sang bapak sedang marah kepada anaknya, tetapi publik mungkin melihatnya dari konteks hubungan industri dimana pemilik saham memutuskan untuk mengambil alih tugas direktur utama, dan kalau menggunakan konteks inisilahkan terjemahkan sendiri karena itulah uniknya menjadi bangsa yang berbudaya konteks tinggi, semua perlu kejelian untuk menginterpretasi. Bukankah Frederick Nietzsche seorang filosop Jerman mengatakan : tidak ada yang namanya realita hanya interpretasi.

Selamat menginterpretasi mas mas bro semua!

Anda mungkin juga menyukai