Anda di halaman 1dari 21

Tugas Makalah Manajemen Lintas Budaya

Cross Cultural Intelligence (CCI) dan Penerapan pada Multinational Enterprise (Studi

Kasus Bank HSBC)

Disusun oleh :

Dwi Ambarwati (0215101529)

FAKULTAS BISNIS DAN MANAJEMEN

UNIVERSITAS WIDYATAMA

BANDUNG

2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa sebab atas segala rahmat, karunia, serta taufik

dan hidayah-Nya, makalah mengenai “Etika Bisnis Masyarakat Jepang” ini dapat diselesaikan

tepat waktu. Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Ismail Solihin, S.E., M.Si.

yang telah membimbing dan memberikan tugas ini.

Dalam makalah ini penulis membahas tentang Cross Cultural Intelligance dan

penerapannya pada Multinational Enterprise (Studi Kasus pada Bank HSBC) Kami sangat

berharap dengan adanya makalah ini dapat memberikan manfaat dan edukasi kepada para

pembaca.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita

semua.

Bandung, 11 Desember 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 1

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

A. Latar Belakang .......................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3

2.1. Pengertian Cross Cultural Intelligance (CCI) ........................................... 3

2.2. Empat Kemampuan Cross Cultural Intelligance ....................................... 4

2.3. Level Kompetensi Cultural Intelligance ................................................... 5

2.4. Manfaat Cultural Intelligance....................................................................6

2.5. Intercultural Communication ....................................................................7

2.6. Diversity in Organization ........................................................................ 10

BAB III Penerapan Masalah............................................................................... 12

3.1. Penerapan Cross Cultural Intelligance pada Bank HSBC ....................... 12

Referensi ............................................................................................................... 13

3
BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Kecerdasan budaya atau kecerdasan budaya ( CQ ) adalah istilah yang digunakan

dalam penelitian bisnis, pendidikan, pemerintah, dan akademis. Kecerdasan budaya

dapat dipahami sebagai kemampuan untuk berhubungan dan bekerja secara efektif

lintas budaya. Awalnya, istilah kecerdasan budaya dan singkatan "CQ" dikembangkan

oleh penelitian yang dilakukan oleh Soon Ang dan Linn Van Dyne sebagai cara

berbasis penelitian untuk mengukur dan memprediksi kinerja antar budaya.

Istilah ini relatif baru: definisi awal dan studi tentang konsep yang diberikan

oleh P. Christopher Earley dan Soon Ang dalam buku Cultural Intelligence: Individual

Interactions Across Cultures (2003) dan dikembangkan lebih lanjut kemudian oleh

David Livermore dalam buku ini, Memimpin dengan Kecerdasan Budaya . Konsep ini

terkait dengan kompetensi lintas budaya . Tetapi melampaui itu untuk benar-benar

melihat kemampuan antarbudaya sebagai bentuk kecerdasan yang dapat diukur dan

dikembangkan. Menurut Earley, Ang, dan Van Dyne, kecerdasan budaya dapat

didefinisikan sebagai "kemampuan seseorang untuk beradaptasi ketika dia berinteraksi

dengan orang lain dari daerah budaya yang berbeda", dan memiliki aspek perilaku,

motivasi, dan metakognitif. Tanpa kecerdasan budaya, pelaku bisnis dan militer yang

berusaha melibatkan orang asing rentan terhadap pencitraan cermin.

4
Kecerdasan budaya atau CQ diukur dalam skala, mirip dengan yang digunakan

untuk mengukur kecerdasan kecerdasan individu. Orang dengan CQ yang lebih tinggi

dianggap lebih mampu untuk berbaur dengan lingkungan apa pun, menggunakan

praktik bisnis yang lebih efektif, dibandingkan dengan CQ yang lebih rendah. CQ

dinilai menggunakan penilaian yang divalidasi secara akademis yang dibuat oleh Linn

Van Dyne dan Soon Ang. Baik penilaian sendiri maupun penilaian multi-rater tersedia

melalui Pusat Intelejensi Budaya di East Lansing, Michigan, dan Pusat membuat Skala

CQ tersedia bagi peneliti akademis lain tanpa biaya. Penelitian menunjukkan bahwa

CQ adalah prediktor kinerja yang konsisten dalam pengaturan multikultural.

Para globalisi percaya bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang

memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan lembaga maupun

organisasi di seluruh dunia berjalan. Mereka percaya bahwa negara-negara dan

kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi global yang homogen.

Para globalis optimistis dalam menanggapi perkembangan semacam itu dan

menyatakan bahwa globalisasi akan menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan

bertanggung jawab.

Dalam menghadapi arus globalisasi diperlukan sikap terbuka terhadap

informasi dengan secara aktif dan selektif tetap menyaring hal-hal yang mempunyai

dampak positif. Dengan berpegang teguh pada komitmen tersebut, diharapkan

organisasi dapat berperan aktif dan tetap memiliki sikap dan semangat yang tinggi.

Kita tentu tidak menghendaki, bahwa era globalisasi yang terus menggelinding ini

dapat mengakibatkan kejatuhan dan konflik dalam organisasi. Namun sebaliknya kita

5
menghendaki agar dalam globalisasi ini, dapat mensejahterakan dan meningkatkan

kemajuan organisasi.

Dalam era globalisasi sekarang ini, tentu terjadi perubahan dalam tubuh

organisasi yang sangat terasa akibatnya, misalnya di tempat kerja. Ada perubahan

komposisi demografik dari para pekerja. Data di Amerika Serikat saat ini

menunjukkan bahwa pekerja kulit putih semakin menurun jumlahnya, dan 35%

pekerja yang ada di Amerika saat ini berasal dari benua Asia, Afrika dan Amerika

Latin, yang berbeda budayanya. Secara kasat mata, kondisi yang sama terjadi juga di

Indonesia, walau yang pekerja Indonesia masih dominan, namun banyak kita lihat

pekerja asing atau klien perusahaan dari negara Jepang, Korea, India, Cina, dan kulit

putih dari Australia, Eropa maupun Amerika yang bekerja di Indonesia, baik di kota-

kota besar atau di proyek-proyek di pelosok Indonesia.

Maka Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk

menelititi tentang “Penerapan Cross Cultural Intelligance pada Bank HSBC”

6
BAB II

Pemmbahasan

2.1 Pengertian Cross Cultural Intelligance (CCI)

Cultural intelligence adalah ketrampilan yang makin penting dalam dunia

bisnis saat ini. Dunia makin “datar” dan dengan mudah kita terhubung dengan

siapapun di manapun. Tak dapat dihindari, orang bekerja dan hidup dalam komunitas

multikultural. Kita akan makin sering berhadapan dengan orang dari ras, budaya dan

latar belakang yang berbeda. Dalam situasi demikian, butuh serangkaian perspektif,

pengetahuan dan ketrampilan mengenali perbedaaan budaya agar dapat memahami

dan beradaptasi dengan mulus dalam berbagai situasi.

Kemajuan teknologi dan munculnya generasi baru memunculkan dunia kerja,

cara kerja dan jenis-jenis pekerjaan baru -- yang sangat berbeda dengan yang pernah

ada sebelumnya. Orang bisa bekerja dari mana saja dan berinteraksi dengan orang lain

di belahan bumi yang berbeda. Blur-nya batas negara, membuat pergerakan karyawan

ke negara lain makin meluas. Sementara itu, makin banyak perusahaan merekrut juga

talent asing untuk mengembangkan bisnisnya.

Bekerja dengan orang dari latar belakang berbeda seringkali membuat kita lupa

bahwa orang-orang tersebut mempunyai perspektif dan persepsi yang berbeda dengan

diri kita. Karena itu penting untuk mengembangkan kepekaan budaya. Cultural

intelligence membuat kita menjadi lebih memahami dan sensitif terhadap orang lain.

Kemampuan kita dalam menjembatani perbedaan budaya dapat meningkatkan bisnis

7
kita. Sebaliknya, ketidakmampuan akan hal ini bisa menghancurkan bisnis. Seseorang

yang belajar bagaimana kecerdasan ini dibangun akan mengalami proses dimana ia

mendapatkan perspektif dan insight berbeda tentang dirinya dan orang lain yang tidak

perlu diperdebatkan. Perbedaan ini justru membantu mendapatkan solusi lebih baik

dalam situasi lintas budaya.

Kecerdasan budaya, juga dikenal dalam bisnis sebagai "budaya quotient" atau

"CQ", adalah teori dalam manajemen dan psikologi organisasi , menempatkan bahwa

memahami dampak latar belakang budaya individu pada perilaku mereka sangat

penting untuk bisnis yang efektif, dan mengukur kemampuan individu untuk berhasil

terlibat dalam lingkungan atau pengaturan sosial apa pun.

2.2 Empat Kemampuan Cross Cultural Intelligance

Ang, Van Dyne, & Livermore menggambarkan empat kemampuan CCI: motivasi

(CCI Drive), kognisi (CCI Knowledge), meta-kognisi (Strategi CCI) dan perilaku (Aksi

CCI). CCI Assessments melaporkan skor pada keempat kapabilitas serta beberapa sub-

dimensi untuk setiap kapabilitas. Empat kemampuan berasal dari pendekatan berbasis

intelijen untuk penyesuaian dan kinerja antar budaya.

1. CCI-Drive

CCI-Drive adalah minat dan keyakinan seseorang untuk berfungsi secara efektif dalam

pengaturan beragam budaya. Itu termasuk:

 Minat intrinsik - mendapatkan kenikmatan dari pengalaman budaya yang

beragam

8
 Kepentingan ekstrinsik - memperoleh manfaat dari pengalaman yang beragam

secara budaya

 Self-efficacy - memiliki kepercayaan diri untuk menjadi efektif dalam situasi

yang beragam budaya

2. CCI-Knowledge

CCI-Knowledge adalah pengetahuan seseorang tentang bagaimana budaya mirip dan

bagaimana budaya berbeda. Itu termasuk:

 Bisnis - pengetahuan tentang sistem ekonomi dan hukum

 Interpersonal - pengetahuan tentang nilai-nilai, norma-norma interaksi sosial,

dan keyakinan agama

 Sosio-linguistik - pengetahuan tentang aturan bahasa dan aturan untuk

mengekspresikan perilaku non-verbal

3. CCI-Strategi

CCI-Strategy adalah bagaimana seseorang memahami pengalaman budaya yang

beragam. Itu terjadi ketika orang membuat penilaian tentang proses pemikiran mereka

sendiri dan orang lain. Itu termasuk:

 Kesadaran - mengetahui tentang pengetahuan budaya yang sudah ada;

 Perencanaan - menyusun strategi sebelum pertemuan yang beragam secara

budaya;

 Memeriksa - memeriksa asumsi dan menyesuaikan peta mental ketika

pengalaman aktual berbeda dari harapan.

4. CCI-Action

9
CCI-Action adalah kemampuan seseorang untuk mengadaptasi perilaku verbal dan

nonverbal agar sesuai dengan beragam budaya. Ini melibatkan memiliki repertoar

fleksibel tanggapan perilaku yang sesuai dengan berbagai situasi. Itu termasuk:

 Non-verbal - memodifikasi perilaku non-verbal (mis., Gerakan, ekspresi

wajah)

 Verbal - memodifikasi perilaku verbal (misalnya, aksen, nada)

Penelitian tambahan tentang kecerdasan budaya sedang dilakukan oleh para akademisi

di seluruh dunia, termasuk penelitian tentang organisasi budaya cerdas, korelasi antara

ilmu saraf dan pengembangan kecerdasan budaya, dan pembuatan penilaian

situasional dan Penilaian CQ.

2.3 Level Kompetensi Cultural Intelligence

Livermore (The Cultural Intelligence Difference, 2011) menggambarkan

tingkatan cultural intelligence, dalam bentuk skala. Dari 1 (cultural intelligence

rendah) hingga skala 5 (cultural intelligence tinggi). Skala dalam cultural intelligence

dan contoh perilakunya adalah sebagai berikut :

Skala 1 : Kita bereaksi terhadap stimuli eksternal (apa yang kita lihat, dengar, atau

rasakan, dalam lingkungan budaya baru) dan kita langsung membuat penilaian

berdasarkan budaya kita sendiri. Contoh : Kita melihat seseorang yang diam selama

rapat berlangsung, kemudian kita menganggap bahwa mereka sedang menunjukkan

kebosanannya.

Skala 2 : Kita mulai mengenali norma-norma yang berlaku dalam budaya lainnya dan

kita termotivasi untuk mempelajari lebih dalam bagaimana perbedaan-perbedaan antar

10
budaya. Contoh : Kita melihat seseorang yang diam selama rapat berlangsung,

kemudian kita merasa penasaran apakah perilaku diam dalam budaya orang tersebut

memiliki makna yang sama dengan perilaku diam dalam budaya kita.

Skala 3 : Kita mulai mengakomodir norma-norma budaya yang lain ke dalam pikiran

kita. Kita dapat menjelaskan bagaimana suatu budaya dapat mempengaruhi cara

seseorang dalam merespon keadaan. Kita paham bahwa situasi atau realitas yang sama

dapat direspon secara berbeda oleh orang-orang yang berbeda budayanya. Contoh :

Kita melihat seseorang yang diam selama rapat berlangsung, kemudian kita berusaha

mencari tahu apakah diamnya mereka merupakan bentuk penghargaan, sebagaimana

yang berlaku di beberapa budaya lainnya.

Skala 4 : Kita beradaptasi dan menyesuaikan pikiran dan perilaku kita dengan norma-

norma yang berlaku dalam budaya lain. Contoh : Kita melihat seseorang yang diam

selama rapat berlangsung, kemudian kita meminta dia untuk memberikan pendapatnya

(dalam hal ini kita tahu bahwa menurut budaya mereka memberikan pendapat adalah

sesuatu hal yang tidak sopan, kecuali jika diminta).

Skala 5: Secara otomatis kita melakukan penyesuaian pikiran dan perilaku, saat kita

mendapatkan isyarat yang sesuai. Seringkali hal ini terjadi tanpa kita disadari

sepenuhnya. Contoh : Kita melihat seseorang yang diam selama rapat berlangsung,

kemudian kita langsung menawarkan beberapa pilihan cara menyampaikan pendapat.

Pada saat melihat isyarat-isyarat tertentu, secara otomatis kita langsung menyadari

bahwa dalam budaya mereka ‘diam’ itu dimaksudkan untuk menunjukkan respek /

penghargaan.

11
2.4 Manfaat Cultural Intelligence

Cultural intelligence membawa manfaat bagi organisasi dalam berbagai aspek.

Dalam memahami pelanggan, mengelola sumber daya manusia (SDM), menyesuaikan

gaya kepemimpinan, dan meningkatkan efektivitas komunikasi. Saat ini makin banyak

organisasi yang melakukan ekspansi dengan membidik pasar di luar areanya, yang

pastinya memiliki karakter budaya yang berbeda dengan daerah asalnya. Cultural

intelligence memungkinkan organisasi mengenali sifat-sifat pelanggan dengan latar

belakang budaya yang berbeda. Maka tidak heran bila makin banyak perusahaan yang

merekrut karyawan yang memiliki cultural intelligence agar dapat memberikan

respons yang efektif terhadap pelanggan dengan latar belakang budaya yang berbeda.

Karyawan dengan tingkat cultural intelligence yang tinggi serta mampu meningkatkan

keragaman budaya, diharapkan dapat menyelaraskan kegiatan pemasaran dan

pengembangan produk yang kompetitif bagi pelanggan di wilayah yang berbeda-beda.

Dalam mengelola SDM, cultural intelligence mutlak diperlukan. Seiring dengan

maraknya globalisasi dan lajunya pertumbuhan, organisasi dituntut merekrut,

mengembangkan, serta mempertahankan talenta-talenta terbaik dengan latar belakang

yang beragam untuk berinteraksi dengan para pemangku kepentingan yang semakin

beragam pula. Oleh karena itu, organisasi wajib mempertimbangkan faktor cultural

intelligence sebagai bagian integral dari kebijakan SDM-nya.

Cultural intelligence juga sangat bermanfaat dalam kaitan dengan leadership

style. Setiap budaya memiliki preferensi beragam berkaitan dengan gaya

kepemimpinan. Sebagai contoh, budaya tertentu menghargai gaya kepemimpinan

partisipatif, dimana pemimpin melibatkan pengikutnya dalam pengambilan keputusan.

12
Sementara di tempat yang berbeda, anggota organisasi menyerahkan keputusan kepada

pemegang jabatan tertinggi. Cultural intelligence yang diaplikasikan dalam

keterampilan interpersonal akan meningkatkan kemampuan dalam memahami realitas

perbedaan antara diri kita dengan orang lain. Kecerdasan ini akan memungkinkan kita

melihat dengan jelas dan ‘fair’ pola-pola perilaku, standar norma dan nilai-nilai

(budaya) orang lain tanpa ‘terganggu’ oleh budaya kita sendiri.

Jika diri atau organisasi kita ingin makin dipertimbangkan dalam bisnis, maka

asahkan cultural intelligence sejak sekarang.Semakin tinggi cultural intelligence,

maka semakin mudah dan semakin efektiflah kita dalam memulai dan menjalani dan

menikmati sebuah hubungan interpersonal -- khususnya dengan orang yang memiliki

latar belakang budaya berbeda.

2.5 Intercultural Communication

Istilah “intercultural communication” sering digunakan untuk menjelaskan isu-

isu komunikasi dalam arti yang luas yang akan selalu meningkat dalam organisasi yang

tersusun atas individu dari bermacam-macam kepercayaan, sosial, etnik dan latar

belakang pendidikan. Masing-masing dari individu tersebut membawa pengalaman

dan nilai-nilai yang unik ke lingkungan tempat dia bekerja. Bisnis-bisnis yang mampu

memfasilitasi komunikasi yang efektif, baik tertulis maupun lisan, antara anggota dari

berbagai macam kelompok kebudayaan akan jauh lebih baik untuk berhasil dibanding

dengan organisasi lain yang membiarkan konflik-konflik meningkat dari perbedaan

budaya kalangan internal menjadi lebih tajam. Kegagalan dalam menempatkan dan

menyelesaikan konflik berbasis budaya dan tekanan, akan memunculkan dampak

13
berupa penampilan yang menurun dan produktivitas berkurang baik diinginkan

maupun tidak. Pentingnya intercultural communication yang efektif bisa jadi susah

didefinisikan.

Seperti yang digarisbawahi oleh Trudy Milburn dalam Management Review,

komunikasi tidak hanya sebagai ekspresi latar belakang budaya, tetapi juga sebagai

‘pembentuk’ identitas budaya. Dia menuliskan, “Cultural identities, like meaning, are

socially negotiated.” “Ethnic identities, class identities, and professional identities are

formed and enacted through the process of communication. What it means to be white,

Jewish, or gay is based on a communication process that constructs those identities. It

is more than just how one labels oneself, but how one acts in the presence of like and

different others, that constructs a sense of identity and membership.”

Perbedaan budaya merefleksikan dirinya dalam cara yang beragam. Misalnya

saja, satu dari norma budaya mungkin memiliki sebuah konsepsi berbeda terhadap

waktu daripada hal lain secara signifikan, atau sebuah ide yang berbeda dari apa yang

mengkonstitusikan body language, dan jarak personal ketika melakukan percakapan.

Tetapi kebanyakan peneliti, karyawan, dan pemilik bisnis sependapat bahwa elemen

yang paling penting dalam intercultural communication yang efektif menitikberatkan

pada bahasa (language).

Kata John P. Fernandez, dalam Managing a Diverse Work Force: Regaining

the Competitive Edge, “A great deal of ethnocentrism is centered around language.”

“Language issues are becoming a considerable source of conflict and inefficiency in

the increasingly diverse work force throughout the world…. No corporation can be

competitive if co-workers avoid, don’t listen to, perceive as incompetent, or are

14
intolerant of employees who have problems with the language. In addition, these

attitudes could be carried over into their interactions with customers who speak

English as a second language, resulting in disastrous effects on customer relations and,

thus, the corporate bottom line.”

Pemilik bisnis kecil patut pencoba dan menghindari membuat asumsi tentang

kemampuan orang lain, walaupun itu seorang vendor; karyawan; atau rekan kerja,

berdasarkan asumsi-asumsi etnosentris dari superioritas kebudayaan mereka dalam

komunikasi yang sesungguhnya. Herta A. Murphy dan Herbert W. hildebrandt, dalam

Effective Business Communications, menyatakan bahwa “Withhold evaluative

statements on foreign communication styles until you recognize that different cultures

use different communication methods.”

Sering diabaikan dalam diskusi tentang komunikasi antar budaya, terkadang

hal signifikan yang terjadi adalah perbedaan budaya mengenai praktek mendengarkan.

Tips tentang bagaimana mengembangkan sensitivitas budaya verbal dan praktek-

praktek komunikasi tertulis dalam sebuah organisasi sangat berlimpah, tapi dalam

banyak kasus, relatif sedikit perhatian diberikan kepada perbedaan budaya dalam

mendengarkan. Itulah sisi lain dari komunikasi. “Kode etik yang menentukan

bagaimana harus dibuktikan mendengarkan didasarkan pada asumsi-asumsi budaya

tertentu tentang apa yang dianggap sebagai mendengarkan,” kata Milburn. Tapi

sementara norma-norma yang berlaku komunikasi dalam bisnis Amerika mungkin

panggilan untuk para pendengar untuk diam dan menawarkan bahasa tubuh (kontak

mata yang mantap, misalnya) dimaksudkan untuk memastikan bahwa si pembicara

atau kata-katanya sedang diperhatikan, banyak kebudayaan memiliki standar yang

15
berbeda dapat menyerang belum tahu sebagai kasar atau membingungkan. “Seseorang

yang berkomunikasi dengan bersandar ke depan dan semakin dekat mungkin sangat

mengancam pada seseorang yang menghargai ruang pribadi,” menunjukkan Oregon

Business’s Megan Monson. “Dan orang itu bisa dianggap sebagai bermusuhan dan

tidak ramah, hanya karena kurangnya kontak mata.” Kuncinya, mengatakan analis,

adalah untuk memastikan bahwa organisasi Anda mengakui bahwa perbedaan budaya

berlimpah dalam mendengarkan serta berbicara praktik, dan untuk membangun

komunikasi antar praktek yang sesuai.

2.6 Diversity in Organization

Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan dari berbagai bentuk,

ukuran, dan dalam berbagai bidang usaha telah memeluk program yang dirancang

untuk merayakan keragaman dan mendorong komunikasi antara individu dan

kelompok-kelompok dari latar belakang budaya yang berbeda. Tetapi menurut

Milburn, “keragaman adalah salah satu konsep yang sangat konteks terikat. Ia tidak

memiliki makna tunggal bagi semua orang. Perusahaan yang mencoba untuk

melembagakan program-program tanpa memahami keragaman budaya yang asumsi-

asumsi atas program-program ini didasarkan dapat menemukannya sulit untuk

menetapkan kebijakan keragaman bermakna. Banyak perusahaan percaya bahwa

melalui berbagi, mereka dapat mempromosikan nilai-nilai budaya yang berbeda-beda.

Namun, bagaimana perusahaan mendefinisikan ‘berbagi’ mungkin sebenarnya

menghalangi keragaman inisiatif sementara beberapa kebudayaan memiliki aturan

16
khusus tentang berbagi. Peraturan-peraturan ini diundangkan dalam komunikasi

sehari-hari praktek.

Kebanyakan pemilik bisnis mengakui bahwa perusahaan mereka jauh lebih

mungkin berhasil jika mereka mampu membangun sistem yang efektif antar

komunikasi antara karyawan yang berbeda agama, sosial, dan latar belakang etnis.

Tetapi perbedaan-perbedaan yang mendalam dalam gaya komunikasi juga dapat

ditemukan dalam area fungsional perusahaan juga, dan ini juga perlu dibahas untuk

memastikan bahwa organisasi mampu beroperasi pada tingkat tertinggi efisiensi.

Sebagai contoh, karyawan yang terlibat dalam bidang teknik (komputer, teknik mesin,

dll) sering memiliki latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang sangat berbeda dari

para pekerja yang terlibat dalam “kreatif” wilayah perusahaan (pemasaran, public

relations, dll). Perbedaan-perbedaan ini sering menampakkan diri dalam modus

komunikasi yang menguntungkan pihak-pihak yang bersangkutan. “Engineers

cenderung introver dan analitis dengan sangat logis cara memecahkan masalah,” kata

salah seorang veteran industri perangkat lunak dalam sebuah wawancara dengan

Monson. “Mereka dalam pemasaran cenderung ekstrover dan intuitif. Ini adalah

sumber abadi mungkin pertentangan, dan benar-benar, itu hanya masalah gaya.”

Para konsultan dan peneliti setuju, meskipun, bahwa banyak perbedaan antara

budaya fungsional yang berbeda ini dapat diatasi melalui kebijakan yang proaktif

mengenali perbedaan-perbedaan semacam itu ada dan bekerja untuk mendidik semua

orang tentang legitimasi dari setiap kebudayaan. “Hari ini pasar yang dinamis

menuntut bahwa perusahaan-perusahaan teknologi tinggi dapat bergerak cepat, yang

pada gilirannya akurat kebutuhan komunikasi, baik dengan pelanggan dan di antara

17
karyawan. Miskin komunikasi dapat berarti kehilangan semangat kerja, produksi

terjun, dan bahkan mungkin gagal start up, “kata Monson.

18
BAB III

Penerapan Masalah

3.1 Penerapan Cross Cultural Intelligance pada Bank HSBC

HSBC adalah salah satu bank terbesar di dunia yang berpusat di London.

Jaringan internasional HSBC menyebar hingga mencapai 8500 kantor cabang di 86

negara dan teritorial di Eropa, Asia-Pasifik, Amerika, Timur Tengah, dan Afrika.

Pegawai yang dipekerjakan mencapai 335.000 orang dari berbagai latar belakang di

seluruh dunia dan terdapat lebih dari 100 juta customer base.

Memiliki ribuan kantor cabang di berbagai belahan dunia mau tidak mau

membuat organisasi HSBC menghargai keberagaman budaya. “Diversity is central to

our brand,” demikian kutipan pernyataan yang terdapat di situs resmi HSBC. HSBC

juga menyesuaikan penghargaannya terhadap budaya dengan tagline yang dimilikinya

yaitu “world’s local bank” yang selalu diselipkan di setiap iklan-iklannya di seluruh

dunia.

HSBC mengklaim sebagai organisasi global yang mengerti populasi lokal dan

menghargai kebudayaan dimana mereka berada. Bagaimanapun, mereka butuh

memahami customernya jika ingin memperoleh profit yang maksimal. Karena itu,

pemahaman terhadap budaya merupakan salah satu jalan untuk meraih hal tersebut.

Beberapa hal yang diterapkan HSBC untuk menghargai multikulturalitas

dalam organisasinya:

19
 Pemahaman terhadap pentingnya kontribusi tiap individu untuk kesuksesan

organisasi

 Memaksimalkan potensi mereka dan memberi mereka inspirasi

 Menciptakan kerangka nilai dan perilaku sebagai panduan

 Menciptakan prinsip dasar yang mendefinisikan organisasinya

Untuk menggambarkan multikulturalitas ini, dalam setiap iklan-iklannya, HSBC

menggunakan tema diversity. Dalam satu iklan biasanya digambarkan kemajemukan

budaya atau mobilitas yang tinggi yang menggambarkan bahwa HSBC peduli dengan

budaya local, meskipun tarafnya sudah internasional. Dengan demikian, pesan yang

ingin disampaikan akan mengena pada audiesnya dan audiens tidak ragu lagi untuk

memilih HSBC bank.

20
REFERENSI

http://www.jtanzilco.com/blog/detail/537/slug/cultural-intelligence-kompetensi-

yang-makin-dibutuhkan-dalam-bisnis-saat-ini-bagian-1

https://en.wikipedia.org/wiki/Cultural_intelligence

https://communicationista.wordpress.com/2010/03/28/komunikasi-dan-organisasi-

multikultural/amp/

21

Anda mungkin juga menyukai