Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sebagai seorang warga negara, pajak merupakan satu dari sekian banyak hal yang tidak
bisa diabaikan. Setiap warga negara yang memiliki penghasilan wajib bayar pajak, begitu
ketentuannya. Definisi pajak menurut Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan pada pasal 1 ayat 1 berbunyi pajak adalah kontribusi wajib
kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Umumnya, tiap-tiap jenis pajak
membahas tentang subjek pajak, objek pajak dan tarif pajak yang apabila terus dikerucutkan
akan semakin kompleks. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan
kontribusi dari rakyat dan untuk rakyat, maka, pentingnya edukasi seputar macam-macam
pajak diperlukan untuk tercapainya tujuan tersebut. Ada banyak sekali jenis pajak, dan yang
akan kami bahas pada makalah ini adalah Pajak Penghasilan Pasal 24 dan Pajak Pasal
Penghasilan Pasal 4 Ayat (2).
1.2. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah menambah pengetahuan kita mengenai Pajak
Penghasilan Pasal 24 dan Pajak Pasal Penghasilan Pasal 4 Ayat (2), kami berharap para
pembaca dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu juga, tujuan
pembuatan makalah ini adalah untuk melengkapi nilai tugas kelompok dalam mata kuliah
Perpajakan.
1.3. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Pajak Penghasilan Pasal 24?
2. Apa saja ketentuan-ketentuan dalam Pajak Penghasilan Pasal 24?
3. Bagaimana implementasi dari Pajak Penghasilan Pasal 24?
4. Apa pengertian Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2)?
5. Apa saja ketentuan-ketentuan dalam Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2)?
6. Bagaimana implementasi dari Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2)?

Page | 1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pajak Penghasilan Pasal 24


Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan yang
diterimanya, termasuk juga penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Hal ini
disebabkan sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem worldwide income. Hal tersebut
untuk meringankan pajak ganda pada penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri,
ketentuan ini mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau
terutang diluar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas seluruh
penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.
Ketentuan Pasal 24 UU PPh mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak
penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri. Pengkreditan
pajak luar negeri dilakukan dalam tahun digabungkannya penghasilan dari luar negeri dengan
penghasilan di Indonesia. Indonesia menganut tax credit yang ordinary credit method dengan
menerapkan per country limitation.
Dasar hukum PPh Pasal 24 adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh).
Tercantum dalam Pasal 24 ayat 1 UU PPh bahwa pajak yang dibayar atau terutang di
luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam
negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-Undang ini (UU
PPh) dalam tahun pajak yang sama.
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 ayat 2 UU PPh, besarnya kredit pajak adalah
sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi
penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini (UU PPh).

2.1.1 Penggabungan Penghasilan


1. Penggabungan penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak
diperolehnnya penghasilan tersebut.
2. Penggabungan penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya
penghasilan tersebut.

Page | 2
3. Penggabungan penghasilan deviden dilakukan dalam tahun pajak pada saat
perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri
Keuangan.

(CONTOH 1)
PT Mandiri meneriman dan memperoleh penghasilan neto diluar negeri dalam tahun 2014
sebagai berikut
1. Hasil di negara jerman dalam tahun 2014 adalah Rp 700.000.000,00
2. Di negara belanda memperoleh dividen atas kepemilikan saham sebesar Rp
1.000.000.000,00 yaitu berasal dari keuntungan tahun 2012 yang ditetapkan RUPS
tahun 2012,dan baru dibayarkan tahun 2014.
3. Di negara inggris memperoleh deviden atas penyertaan saham sebanyak 75% sebesar
Rp 2.000.000.000,00.saham tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek.dividen itu
berasal dari penghasilan tahun 2013 yang berdasarkan keputusan menteri keuangan
ditetapkan diperoleh tahun 2014.
4. Penghasilan berupa bunga semester II di tahun 2014 sebesar Rp 500.000.000,00 dari
Bangkok bank di Thailand.penghasilan tersebut baru akan diterima pada bulan April
2015.
Penghasilan dari sumber luar negeri yang digabungkan dengan penghasilan PT Mandiri
dari dalam negeri dalam tahun pajak 2014 adalah penghasilan pajak pada point 1,2 dan
3.sedangkan pada point 4 digabungkan dengan penghasilan dalam negeri dalam tahun pajak
2015.

2.1.2 Subjek & Objek PPh Pasal 24


Subjek pajak PPh Pasal 24 yaitu wajib Pajak dalam negeri yang terutang pajak
atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh
dari luar negeri.
Objek pajak PPh Pasal 24 adalah penghasilan yang berasal dari luar negeri.

2.1.3 Batas Maksimum Kredit Pajak


Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber
penghasilan ditentukan sebagai berikut:
1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari
pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan

Page | 3
yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau
bertempat kedudukan;
2. Penghasilan bunga, royalti dan sewa sehubungan dengan penggunaan
harta gerak adalah negara tempat pihak yang yang membayar atau
dibebani bunga, royalty, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau
berada;
3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak
bergerak adalah negara tempat harta tersebut terletak;
4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, penkerjaan, dan
kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani
imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada;
5. Penghasilan Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah negara tempat bentuk
usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan
atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan
berada;
7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta
tetap berada.
8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu
bentuk usaha tetap adalah negara tempat Bentuk Usaha Tetap berada.
Batas maksimum kredit pajak diambil yang terendah dari 3 perhitungan
berikut;
Jumlah pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri.
(Penghasilan luar negeri : Seluruh Penghasilan Kena Pajak) x PPh atas seluruh
yang dikenakan tarif pasal 17.
Jumlah pajak yang terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak (dalam hal
penghasilan kena pajak adalah lebih kecil daripada penghasilan luar negeri).

(CONTOH 2)
PT Cemara memperoleh penghasilan netto dalam tahun 2014 sebagai berikut:
1. Penghasilan luar negeri Rp 5.000.000.000,00 dengan tarif pajak sebesar 40%
2. Penghasilan usaha di Indonesia sebesar Rp 4.000.000.000,00

Page | 4
Maka jumlah penghasilan netto adalah:
Rp 5.000.000.000,00 + Rp 4.000.000.000,00=Rp 9.000.000.000,00
Batas maksimum diambil dari 3 unsur terendah dengan perhitungan sebagai berikut:
1. PPh terutang atau dibayar diluar negeri adalah:
40% X Rp 5.000.000.000 = Rp 2.000.000.000,00
2. (Rp 5.000.000.000,00 : Rp 9.000.000.000,00) X Rp 2.250.000.000,00 = Rp
1.250.000.000,00
3. PPh terutang (menurut tarif pasal 17) = Rp 9.000.000.000,00 X 25%
=Rp 2.250.000.000,00
Dengan demikian kredit pajak yang diperkenankan adalah pada perhitungan 2 sebesar
Rp1.250.000.000,00

2.1.4 Batas Maksimum Kredit Pajak Untuk Setiap Negara (Per Country
Limitation)
Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka
penghitungan batas maksimum kredit pajak dilakukan untuk masing-masing negara.

(CONTOH 3)
PT Diaswati memperoleh penghasilan netto dalam tahun 2014 sebagai berikut :
1. Di negara A memperoleh penghasilan Rp 2.000.000.000,00 dengan tarif pajak
sebesar 35% (Rp700.000.000,00)
2. Di negara B memperoleh penghasilan (laba) Rp1.000.000.000,00 dengan tarif
pajak sebesar 20% (Rp200.000.000,00)
3. Penghasilan usaha di Indonesia Rp 5.000.000.000,00
Perhitungan kredit pajak luar negeri yaitu:
1. Penghasilan luar negeri
a. Laba di negara A Rp 2.000.000.000,00
b. Laba di negara B Rp 1.000.000.000,00
Jumlah penghasilan luar negeri Rp 3.000.000.000,00
2. Penghasilan dalam negeri yaitu Rp 5.000.000.000,00
3. Jumlah penghasilan netto atau penghasilan kena pajak adalah:
Rp 3.000.000.000,00 + Rp 5.000.000.000 = Rp 8.000.000.000,000
4.PPh terutang (menurut tarif pasal 17) = Rp 8.000.000.000,00 X 25%
= Rp 2.000.000.000,00

Page | 5
5. Batas maksimum kredit pajak untuk masing-masing negara adalah:
a) Untuk negara A:
(Rp 2.000.000.000,00 : Rp 8.000.000.000,00) x Rp 2.000.000.000,00
= Rp 500.000.000,00
Pajak terutang di negara A adalah Rp 700.000.000,00 maka maksimum kredit
pajak yang dapat dilakukan adalah Rp 500.000.000,00
b) Untuk negara B
(Rp 1.000.000.000,00 : Rp 8.000.000.000,00) x Rp 2.000.000.000,00
= Rp 250.000.000,00
Pajak terutang di negara B sebesar Rp 200.000.000,00 maka maksimum kredit
pajak yang dapat di kreditkan adalah Rp 250.000.000,00
6.Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah sebesar
Rp 500.000.000,00 + Rp 250.000.000,00 = Rp 750.000.000,00

2.1.5 Rugi Usaha Di Luar Negeri


Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, tidak dihitung kerugian yang
diderita di luar negeri.

(CONTOH 4)
PT Fiskal memperoleh penghasilan netto dalam tahun 2014 sebagai berikut:
1. Di Negara A, memperoleh penghasilan (laba) Rp 1.000.000.000,00 dengan tarif
pajak sebesar 35% (Rp 350.000.000,00).
2. Di Negara B, memperoleh penghasilan (laba) Rp 3.000.000.000,00 dengan tarif
pajak sebesar 20% (Rp 600.000.000,00).
3. Di Negara C, menderita kerugian sebesar Rp 2.000.000.000,00.
4. Penghasilan usaha di Indonesia Rp 4.000.000.000,00.
Penghitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut:
1. Penghasilan luar negeri
a. Laba di Negara A Rp 1.000.000.000,00
b. Laba di Negara B Rp 3.000.000.000,00
c. Rugi di Negara C -
Jumlah penghasilan luar negeri Rp 4.000.000.000,00
2. Penghasilan dalam negeri Rp 4.000.000.000,00

Page | 6
3. Jumlah penghasilan netto atau penghasilan kena pajaknya adalah:
Rp 4.000.000.000,00 + Rp 4.000.000.000,00 = Rp 8.000.000.000,00
4. PPh terutang (menurut tariff pasal 17) = Rp 8.000.000.000,00 x 25%
= Rp 2.000.000.000,00.
5. Batas maksimum kredit pajak untuk masing-masing Negara adalah:
a. Untuk Negara A:
(Rp 1.000.000.000,00 : Rp 8.000.000.000,00) x Rp 2.000.000.000,00 = Rp
250.000.000,00.
Pajak terutang di Negara A sebesar Rp 350.000.000,00, maka
maksimumkredit pajak yang dapat dikreditkan = Rp 250.000.000,00.
b. Untuk Negara B:
Rp 3.000.000.000,00 : Rp 8.000.000.000,00) x Rp 2.000.000.000,00 = Rp
750.000.000,00.
Pajak terutang di Negara B sebesar Rp 600.000.000,00, maka maksimum
kredit pajak yang dapat dikreditkan Rp 750.000.000,00.
c. Di Negara C PT Fiskal menderita kerugian sebesar Rp 2.000.000.000,00.
Kerugian ini tidak dapat dimasukkan dalam penghitungan penghasilan kena
pajak. Kerugian ini juga tidak dapat kompensasikan sebagai kredit pajak
luar negeri.
6. Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah:
Rp 250.000.000,00 + Rp 750.000.000,00 = Rp 1.000.000.000,00

2.1.6 Perubahan Besarnya Penghasilan Di Luar Negeri


Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, wajib
pajak harus melakukan pembetulan SPT tahunan untuk tahun pajak yang bersangkutan
dengan melampirkan dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut. Apabila
karena pembetulan tersebut menyebabkan pajak penghasilan kurang dibayar, maka
atas kekurangan tersebut tidak dikenakan sanki bunga. Apabila karena pembetulan
tersebut menyebabkan pajakpajak penghasilan lebih dibayar, maka atas kelebihan
tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan utang
pajak lainnya.

Page | 7
(CONTOH 5)
PT. Global Prima di Jakarta memperoleh penghasilan netto dalam tahun 2014 sebagai
berikut:
- Penghasilan luar negeri (tariff pajak 20%) Rp 1.000.000.000,00
- Penghasilan dalam negeri Rp 3.000.000.000,00
- Penghasilan luar negeri (setelah dikoreksi di luar negeri) Rp 2.000.000.000,00
- PPh pasal 25 Rp 600.000.000,00
SPT 2014
Penghasilan luar negeri Rp 1.000.000.000,00
Penghasilan dalam negeri Rp 3.000.000.000,00
Penghasilan kena pajak Rp 4.000.000.000,00 +
PPh terutang (menurut pasal 17) Rp 1.000.000.000,00
Kredit pajak luar negeri yang diperkenankan Rp (200.000.000,00)
Harus bayar di Indonesia Rp 800.000.000,00
PPh pasal 25 Rp 600.000.000,00
PPh pasal 29 Rp 200.000.000,00
Pembetulan SPT
Penghasilan luar negeri Rp 2.000.000.000,00
Penghasilan dalam negeri Rp 3.000.000.000,00 -
Penghasilan kena pajak Rp 5.000.000.000,00
PPh terutang (menurut pasal 17) Rp 1.250.000.000,00
Kredit pajak luar negeri yang diperkenankan Rp (400.000.000,00)
Harus dibayar di Indonesia Rp 850.000.000,00
PPh pasal 25 Rp (600.000.000,00)
PPh pasal 29 yang sudah di setor Rp (200.000.000,00)
Masih harus dibayar Rp 50.000.000,00
Terhadap PPh yang masih harus dibayar sebesar Rp 50.000.000,00 tidak ditagih bunga.

2.1.7 Cara Melaksanakan Kredit Pajak Luar Negeri


Untuk melaksanakan pengkreditan pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri,
wajib pajak menyampaikan permohonan kepada direktur jenderal pajak dengan dilampiri:
1. Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri.
2. Fotokopi surat pemberitahuan pajak yang disampaikan di luar negeri.

Page | 8
3. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.
Penyampaian permohonan kredit pajak yang terutang atau harus dibayar di luar negeri
tersebut dilakukan bersaman dengan penyampaian SPT tahunan PPh.

2.2. Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2) (PPh Yang Bersifat Final)
Pajak 4 Ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan menyebutkan bahwa:
Atas penghasilan berupa bunga deposito, dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan
dari transaksi saham dan sekuritas lainnya dibursa efek, penghasilan dari pengalihan
harta berupa tanah/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya. Pengenaan
pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pemotong PPh Pasal 4 ayat (2)


1. Koperasi;
2. Penyelenggara kegiatan;
3. Otoritas bursa; dan
4. Bendaharawan;
Penerima Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 4 ayat (2)
1. Penerima bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi;
2. Penerima hadiah undian;
3. Penjual saham dan sekuritas lainnya; dan
4. Pemilik properti berupa tanah dan/atau bangunan;
Lain-Lain
1. Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) adalah bersifat final;
2. Karena bersifat final, maka pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) tidak dapat
dikreditkan;
3. Omset terkait transaksi yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) tidak dimasukkan
dalam omset usaha, namun dimasukkan dalam omset penghasilan yang telah
dipotong PPh Final;

Penghasilan yang termasuk penghasilan pasal 4 ayat (2) perlu diberikan perlakuan
tersendiri dalam pengenaan pajaknya berdasarkan beberapa pertimbangan-pertimbangan
diantaranya adalah kesederhanaan dalam pemungutan pajak, mengurangi administrative costs

Page | 9
dan salah satu komponen compliance costs, pemerataan pengenaan pajak dan sesuai dengan
perkembangan ekonomi dan moneter.
Jenis penghasilan tertentu yang pengenaan PPh-nya diatur dengan Peraturan
Pemerintah untuk memudahkan proses pemungutannya dan bersifat final (atas penghasilannya
tidak digunggungkan lagi dalam menghitung PPh terutang setahun dan PPh yang telah
dipotong tidak dapat dikreditkan lagi) adalah sebagai berikut :

2.2.1 Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Bunga Deposito Dan Tabungan
Dan Diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan
serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI) diatur dengan Peraturan Pemerintah No.131
tahun 2000. Menurut PP No. 131 tahun 2000, atas penghasilan berupa bunga yang berasal dari
deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima oleh Wajib Pajak dalam negeri dan
BUT dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Besarnya PPh yang dipotong adalah
20% dari jumlah bruto.

PPh (final) = 20% x Bruto

Sedangkan bagi Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap, besarnya PPh yang
dipotong adalah 20% dari jumlah bruto atau tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda yang berlaku.
a) Subjek Pajak : Nasabah.
b) Pemotong Pajak : Bank dan Bank Indonesia.
c) Objek PPh : Bunga deposito/tabungan, Jasa Giro, dan Diskonto SBI.
d) Pengecualian:
- Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI sepanjang jumlah
pokok deposito dan tabungan serta SBI nya tidak melebihi
Rp.7.500.000,00 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
- Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank dalam
negeri;
- Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau
diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan sepanjang dananya diperoleh dari sumber
pendapatan sbb : iuran pemberi kerja;
iuran peserta;

Page | 10
hasil investasi; dan
pengalihan dari Dana Pensiun lain.
- Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk pemerintah dalam rangka
pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap
bangun untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah
susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk
dihuni sendiri.
e) Tarif PPh : - 20% dari Penghasilan Bruto (untuk WP dalam negeri dan BUT)
- 20% dari Penghasilan Bruto atau tarif berdasarkan Tax Treaty (untuk
WP luar negeri).
Catatan :
Bagi Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi yang seluruh penghasilannya (termasuk
bunga dan diskonto ) dalam satu tahun pajak tidak melebihi PTKP, atas pajak yang telah
dipotong dapat diajukan permohonan restitusi.

2.2.2 Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Bunga Atau Diskonto Obligasi
Yang Dijual Dibursa Efek
Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan berupa bunga atau diskonto
obligasi yang dijual dibursa efek diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun
2002. Menurut PP No. 6 tahun 2002, atas penghasilan yag diterima Wajib Pajak berupa
bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dana atau dilaporkan dibursa efek
dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final.
a) Subjek Pajak : Wajib Pajak penerima bunga atau diskonto obligasi
Wajib pajak penjual obligasi.
b) Pemotong Pajak :
- Penerbit obligasi (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku
agen pembayaran, atas bunga yang diterima atau diperoleh
pemegang obligasi dengan kupon pada saat jatuh tempo
bunga/obligasi, dan atas diskonto yang diterima atau diperoleh
pemegang obligasi dengan kupon/obligasi tanpa bunga pada
saat jatuh tempo obligasi
- Perusahaan efek (broker0 atau bank selaku pedagang perantara
(dealer), atas bunga dan diskonto obligasi yang diterima atau
diperoleh penjual obligasi pada saat transaksi.

Page | 11
- Perusahaan Efek (broker), bank, dana pensiun, dan reksadana,
selaku pembeli obligasi langsung tanpa melalui pedagang
perantara, atas bunga dan diskonto obligasi yang diterima atau
diperoleh penjual obligasi pada saat transaksi.
c) Objek PPh : Penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak berupa bunga dan
diskonto obligasi yang diperdagangkan dan atau dilaporkan perdagangannya di bursa
efek.
d) Tarif PPh :
- Atas bunga obligasi dengan kupon (interest bearing bond)
sebesar :
a. 20% bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT (Bentuk
Usaha Tetap)
b. 20% atau Tarif sesuai Tax Treaty yang berlaku, bagi
wajib pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri, dari
jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan
(holding period) obligasi.
- Atas diskonto obligasi dengan kupon sebesar :
a. 20% bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT (Bentuk
Usaha Tetap)
b. 20% atau Tarif sesuai Tax Treaty yang berlaku, bagi
wajib pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri, dari
selisih lebih harga jual pada saat transaksi atau nilai
nominal pada saat jatuh tempo obligasi di atas harga
perolehan obligasi, tidak termasuk bunga berjalan
(accured interest).
- Atas diskonto obligasi tanpa bunga (zero coupon bond) sebesar:
a. 20% bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT (Bentuk
Usaha Tetap)
b. 20% atau Tarif sesuai Tax Treaty yang berlaku, bagi
wajib pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri, dari
selisih lebih harga jual pada saat transaksi atau nilai
nominal pada saat jatuh tempo obligasi di atas harga
perolehan obligasi.

Page | 12
e) Pengecualian :
- Atas bunga dan diskonto obligasi yang diterima atau diperoleh
wajib pajak :
a. Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar
negeri di Indonesia.
b. Dana Pensiun yang pendirian/pembentukannya telah
disyahkan menteri keuangan.
c. Reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar
Modal (BAPEPAM), selama 5 (lima) tahun pertama
sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.
Tidak dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat Final.

2.2.3 Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Sewa Tanah Dan Bangunan
Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan berupa sewa tanah dan bangunan diatur
dalam Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 1996. Sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah No.5 Tahun 2002. Menurut ketentuan tersebut penghasilan berupa
sewa tanah atau bangunan dikenakan PPh yang bersifat final. Besarnya PPh yang dipotong
adalah sebesar 10% bai katas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak badan maupun orang
pribadi dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan bangunan.

PPh (final) = 10% x Bruto

a) Subjek Pajak : Pihak yang menyewakan sebagai penerima penghasilan.


b) Pelunasan Pajak :
- Pemotongan oleh penyewa (jika pihak penyewa Badan
Pemerintah, Subjek Pajak Badan dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, BUT, KSO, perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya, dan Orang Pribadi yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak;
- Penyetoran sendiri oleh yang menyewakan dalam hal penyewa
adalah Orang Pribadi dan Subjek Pajak lainnya.
c) Objek PPh : Penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan.
d) Tarif PPh Terutang : 10% dari jumlah bruto nilai persewaan (semua jumlah yang
dibayarkan atau terutang oleh pihak yang menyewa dengan nama dan dalam bentuk

Page | 13
apapun yang berkaitan dengan tanah dan atau bangunan yang disewa, termasuk biaya
perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan dan service charge baik yang
perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan dengan perjanjian
persewaan yang bersangkutan).
(CONTOH 1):
PT.BDS menyewa sebuah ruko dari tuan wibawa untuk dijadikan kantor dengan nilai sewa
sebesar Rp. 40.000.000,00.
PPh pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh PT.BDS adalah:
10% x Rp. 40.000.000,00 = Rp. 4.000.000,00.

2.2.4 PPh Final Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau

Bangunan
a) Subjek Pajak : Penjual atau pihak yang mengalihkan hak selaku penerima
penghasilan.
b) Pemotong Pajak: Pembeli atau pihak yang menerima pengalihan hak.
c) Objek PPh : Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan
(penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan
hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain atau dengan
pemerintah).
d) Pengecualian :
- Transaksi pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan yang
dilakukan oleh WP Badan termasuk Koperasi yang usaha
pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah
dan atau bangunan (perusahaan real estate) tidak dikenakan
PPh yang bersifat final melainkan PPh dengan ketentuan umum.
- Orang Pribadi atau badan yang melakukan pengalihan tanah dan
atau bangunan sehubungan dengan hibah yang diberikan kepada
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan
kepada badan keagamaan/pendidikan/sosial/pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan Menteri Keuangan,
sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan;

Page | 14
- Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang jumlah penghasilannya
melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), apabila
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang
jumlah brutonya kurang dari Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah), penghasilan yang diperoleh dari pengalihan tersebut
merupakan objek Pajak Penghasilan, dan Pajak Penghasilan
terutang yang bersifat final sebesar 5% dari jumlah bruto nilai
pengalihan, waib dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dengan Surat
Setoran Pajak Final sebelum akhir tahun pajak yang
bersangkutan, kecuali penghasilan yang diperoleh dari
pengalihan penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak,
penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang
memerlukan persyaratan khusus.
- Atas transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
yang dilakukan oleh Wajib Pajak Badan yang melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan di luar kegiatan
usaha pokoknya, diwajibkan menyetor PPh 5% melalui bank
persepsi. Setoran PPh tersebut tidak bersifat final, sehingga
merupakan angsuran PPh dalam tahun berjalan yang dapat
dikreditkan.
- Pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan kepada pemerintah
guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang
memerlukan persyaratan khusus seperti pembebasan tanah oleh
pemerintah untuk proyek jalan umum, saluran pembuangan air,
waduk, saluran irigrasi, pelabuhan laut, Bandar udara, tanggul,
dan fasilitas ABRI;
- Pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan sehubungan
dengan warisan.
- Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
badan termasuk koperasi yang usaha pokoknya melakukan
transaksi pengalihan hak atas tanah dam/atau bangunan,
pengenaan Pajak Penghasilannya berdasarkan ketentuan umum
Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 17 UU PPh. Dengan demikian,

Page | 15
kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan
dihitung dan dilaksanakan sendiri berdasarkan ketentuan Pasal
25.
e) Tarif PPh : 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan (nilai yang tertinggi antara nilai
berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Obyek Pajak NJOP tanah &
bangunan sesuai SPPT PBB) hak atas tanah dan atau bangunan.

PPh (final) = 5% x Bruto

2.2.5 Usaha Jasa Konstruksi


Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi diatur dengan
Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2008. Berikut ini adalah beberapa pengertian menurut
PP No. 51 tahun:
- Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi,
layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi
pengawasan pekerja konstruksi.
- Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan
perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan
arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta
kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
- Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang
dinyatakan ahli yang professional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu
mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
- Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang
dinyatakan ahli yang professional di bidang pelaksanaan jaa konstruksi yang mampu
menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi
bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi
terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan
perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and
construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and
build).
- Pengawasan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang probadi atau badan yang
dinyatakan ahli yang professional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu

Page | 16
melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi
sampai selesai dan diserahterimakan.
- Penyedia Jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap, yang
kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi baik sebagai perencanaan
konstruksi, pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi maupun sub-subnya.
Atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat
final. Besarnya PPh yang dipotong adalah sebagai berikut:
1. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa
yang memiliki kualifikasi usaha kecil;

PPh (Final) = 2% x Jumlah Jasa

2. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa
yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
PPh (Final) = 4% x Jumlah Jasa

3. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa
selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2;

PPh (Final) = 3% x Jumlah Jasa

4. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang


dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan

PPh (Final) = 4% x Jumlah Jasa

5. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang


dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

PPh (Final) = 6% x Jumlah Jasa

Pajak Penghasilan atas jasa konstruksi:


1. Dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Penggunaan Jasa
merupakan pemotong pajak; dan
2. Disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal penggunaan jasa bukan merupakan
pemotong pajak

Page | 17
2.2.6 Pajak Penghasilan Atas Hadiah Undian
Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan berupa hadiah undian diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 132 Tahun 2000. Menurut ketentuan peraturan tersebut
penghasilan berupa undian dengan nama dan dalam bentuk apapun dipotong atau dipungut
Pajak Penghasilan yang bersifat final. Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dipotong atau
dipungut adalah sebesar 25% dari jumlah bruto hadiah undian.

PPh (Final) = 25% x Bruto

a) Subjek Pajak : Penerima Undian.


b) Pemotong Pajak : Penyelenggara Undian.
c) Objek PPh : Hadiah Undian (diundi didepan notaris).
d) Tarif PPh Terutang : 25% dari jumlah bruto hadiah undian atau nilai pasar apabila
hadiah tersebut diserahkan dalam bentuk natura.
(Contoh 2)
PT. Dipta dalam rangka mempromosikan produk barunya menyelenggarakan undian dengan
hadiah berupa uang tunai senilai Rp. 100.000.000,00.
PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh PT. Dipta adalah:
25% x Rp. 100.000.000,00 = Rp. 25.000.000,00

2.2.7 PPh Final Atas Penghasilan Dari Transaksi Derivatif Berupa


Kontrak Berjangka Yang Diperdagangkan Di Bursa
Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa
kontrak berjangka yang di perdagangkan di bursa diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009. Atas penghasilan yang diterima
dan/atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi derivatif berupa
kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final sebesar 2.5 % (dua koma lima persen) dari margin awal.
PPh (Final) = 2,5% x Margin Awal

Page | 18
2.2.8 PPh Final Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau
Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau di peroleh Wajib Pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat Final.
Pengenaan pajak penghasilan ini di atur Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun
2013.
Wajib Pajak yang dimaksud di sini adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
1. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan, tidak termasuk Bentuk
Usaha Tetap (BUP); dan
2. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi
Rp 4.800.000.000,00 (Empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu)
Tahun Pajak.
Yang dimaksud dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas dalam
ketentuan ini, meliputi:
1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, penari;
3. Olahragawan;
4. Penasehat, pengacara, pelatih, pencermah, penyuluh dan moderator;
5. Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. Agen iklan;
7. Pengawas atau pengelola proyek;
8. Perantara;
9. Penjaga barang dagangan;
10. Asuransi; dan
11. Distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau
penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
Wajib Pajak yang di kecualikan dari ketentuan ini adalah:

Page | 19
1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan
dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a. Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat di bongkar
pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
b. Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan
umum yang tidak diperuntukan bagi tempat usaha atau
penjualan.
Misalnya: pedagang makanan keliling, pedagang asongan, warung tenda
di trotoar, dan sejenisnya.
2. Wajib Pajak badan:
a. Yang belum beroperasi secara komersial; atau
b. Yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi
secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Besarnya tarif Pajak Penghasilan adalah 1% (satu persen) dan bersifat final.
Dasar pengenaan pajak yang di gunakan untuk menghitung Pajak Penghasilah
adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan.

PPh (Final) = 1% x Sejumlah Peredaran Bruto Setiap Bulan

(Contoh 3)
Pada bulan Juli 2014, Arman (termasuk kriteria Wajib Pajak PP 46 Tahun 2013)
melakukan penjualan barang sebesar Rp 100.000.000,00. Pajak Penghasilan yang bersifat final
= 1% x Rp 100.000.000,00 = Rp 1.000.000,00
Pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1
(satu) tahun dari tahun pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan. Dalam hal
peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bualan telah melebihi jumlah Rp
4.800.000.00,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak
tetap dikenai tarif 1% sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan. Dalam hal
peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp 4.800.000.00,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah) pada suatu tahun pajak, atau penghasilan yang dierima atau diperoleh Wajib
Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif pajak penghasilan berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Page | 20
(Contoh 4)
CV Jaya memiliki usaha penjualan kerajinanyang berdasarkan pembukuan atau catatan
pada Tahun Pajak 2013 (Januari 2013 sampai dengan Desember 2013), memiliki peredaran
bruto sebesar Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Dengan demikian, atas penghasilan
dari usaha yag diterima oleh CV Jaya pada tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan bersifat Final
sebesar 1% (satu persen), karena peredaran bruto CV Jaya pada Tahun Pajak 2013 tidak
melebihi Rp 4.800.000.00,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Jika CV Jaya pada bulan
Januari sampai dengan Oktober 2014 memperoleh peredaran bruto sebesar Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), maka atas penghasilan dari usaha yang diterima oleh
CV Jaya sampai dengan bulan Desember 2014 (akhir Tahun Pajak 2014) tetap dikenai tarif
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 1 % (satu persen). Jika CV Jaya pada bulan
Januari smapai dengan Desember 2014 memperoleh peredaran bruto sebesar Rp
6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah), maka penghasilan yang diperoleh CV Jaya pada tahun
2015 (tahun berikutnya), dikenai Pajak Penghasilansesuai ketentuan Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
Wajib Pajak wajib menyetor Pajak penghasilan terutang ke kantor pos atau bank yang ditunjuk
oleh Mentteri Keuangan, dengan Menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi
lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak, yang telah mendapat validasi dengan
Nomor Transaksi Penerimaan Negara, paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir. Wajib Pajak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Penghasilan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Wajib Pajak
yang telah me;akukan penyetoran Pajak Penghasilan, dianggap telah menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan, sesuai dengan tanggal validasiNOmor Transaksi
Penerimaan Negara yang tercantum pada Surat Setoran Pajak.
Catatan:
Ketentuan PP 46 Tahun 2013 ini tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajka
Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di
bidang perpajakan.

Page | 21
2.2.9 PPh Atas Penghasilan Tertentu Berupa Diskonto Surat Perbendaharaan
Negara (SPN)
a) Subjek Pajak : Wajib pajak yang menerima penghasilan berupa diskonto SPN
b) Pemotong Pajak : - Penerbit SPN (emiten) atau custodian yang ditunjuk selaku
agen pembayar, atas diskonto SPN yang diterima pemegang SPN saat jatuh tempo, atau
c) Objek PPh : Diskonto SPN.
d) Tarif PPh :
- 20% bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT
- 20% atau tarif sesuai Tax Treaty (P3B) yang berlaku bagi
wajib pajak penduduk/berkedudukan di luar negerid.
e) Pengecualian : Tidak dikenakan terhadap diskonto SPN yang diterima atau
diperoleh wajib pajak :
- Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar
negeri di Indonesia
- Dana pensiun yang pendirian/pembentukannya telah
disyahkan oleh menteri keuangan.
- Reksadana yang terdaftar pada BAPEPAM-LK selama 5
(lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau
pemberian izin usaha.

2.2.10 Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Dan Pelaporan PPh Pasal 4 Ayat (2)
1. Dilakukan oleh pihak yang membayarkan (penerima jasa) dengan cara menerbitkan
Bukti Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) rangkap tiga;
2. Selanjutnya melakukan penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) dengan SSP atas nama dan
NPWP pemotong pajak;
3. Penyetoran dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikut dan pelaporan paling
lambat tanggal 20 bulan berikut.
Untuk transaksi Penghasilan dari Persewaan Tanah/Bangunan atau
Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, penyetoran PPh dapat dilakukan oleh
pihak penerima penghasilan apabila pihak yang membayarkan bukan Pemotong
Pajak. Penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) yang dilakukan sendiri (tanpa melalui
pemotongan) ini dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan berikut sedangkan
pelaporan paling lambat tetap tanggal 20 bulan berikut. Berbeda dengan PPh Pasal

Page | 22
23, bagi pihak yang dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) akan menerima Bukti
Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final, sehingga tidak dapat
digunakan untuk mengkreditkan pajak yang telah dipotong dimuka pada SPT
Tahunan PPh Badan (Formulir 1771) ybs.

Page | 23
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pajak Penghasilan Pasal 24 membahas tentang perhitungan besarnya pajak atas
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak
penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri. Pengkreditan
pajak luar negeri dilakukan dalam tahun digabungkannya penghasilan dari luar negeri dengan
penghasilan di Indonesia. Indonesia menganut tax credit yang ordinary credit method dengan
menerapkan per country limitation, sedangkan
Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2) (PPh Yang Bersifat Final) membahas tentang
macam-macam pajak yang bersifat final atau dalam pengertian lain Pajak Penghasilan Final
(PPh Final) merupakan pajak yang dikenakandengan tarif dan dasar pengenaan pajak tertentu
atas penghasilan yang diterima atau diperolehselama tahun berjalan. Pembayaran, pemotongan
atau pemungutan Pajak Penghasilan Final (PPhFinal) yang dipotong pihak lain maupun yang
disetor sendiri bukan merupakan pembayarandimuka atas PPh terutang akan tetapi merupakan
pelunasan PPh terutang atas penghasilantersebut, sehingga wajib pajak dianggap telah
melakukan pelunasan kewajiban pajaknya.Dengan demikian maka penghasilan yang telah
dikenakan Pajak Penghasilan Final (PPh final)ini tidak akan dihitung lagi Pajak
Penghasilannya pada SPT Tahunan dengan penghasilan lainyang non final untuk dikenakan
tarif progresssif (pasal 17 UU PPh). Namun atas pelunasanpemotongan atau pembayaran PPh
final tersebut juga bukan merupakan kredit pajak pada SPTTahunan.

Page | 24
REFERENSI

Mardiasmo. 2016. Perpajakan Edisi Terbaru 2016. Yogyakarta. C.V Andi Offset
http://www.pajak.go.id/
http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/374/jbptunikompp-gdl-elysuhayat-18685-
6-pertemua-6.pdf
http://news.ddtc.co.id/artikel/9005/pph-pasal-24-1--konsep-dasar-subjek--
objek-pajak/

Page | 25

Anda mungkin juga menyukai