Anda di halaman 1dari 7

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Berkomunikasi merupakan kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dalam

kehidupan manusia, mulai dari masih dalam kandungan sampai kita meninggal.

Hal ini dikarenakan komunikasi adalah suatu bentuk kegiatan penyampaian dan

pertukaran pesan dari pihak satu ke pihak yang lain, antara dua orang atau lebih,

baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara umum komunikasi terbagi

dua, yaitu komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Dalam komunikasi

verbal seseorang akan mengutarakan apa yang ingin disampaikanya melalui lisan.

Sedangkan komunikasi nonverbal terjadi melalui simbol-simbol ataupun

kebiasaan yang ada dalam suatu masyarakat.

Dalam kehidupan bermasyarakat, komunikasi akan berbeda antara satu

kelompok dengan kelompok yang lain, komunikasi seperti ini disebut komunikasi

antarbudaya. Menurut DeVito (2015: 53), komunikasi antarbudaya adalah

komunikasi budaya yang memiliki perbedaan kepercayaan, nilai, norma sampai ke

cara bertindak. Semua pesan berawal dari konteks budaya yang unik atau spesifik,

atau konteks tersebut akan mempengaruhi isi atau bentuk komunikasi. Hal ini

dibuktikan dengan adanya faktor-faktor yang menyebabkannya antara lain karena

wilayah Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau, dan penduduk Indonesia

bermacam-macam suku dan ras. Indonesia sebagai negara yang terdiri dari

bermacam-macam suku bangsa (multietnik), dengan derajat keberagaman yang

tinggi dan mempunyai peluang yang besar dalam perkawinan yang berbeda
2

budaya atau suku. Di satu sisi fakta ini merupakan kekayaan budaya, namun di

sisi lainnya sebagai perbedaan yang dapat berpotensi munculnya konflik.

Sangat bisa dipahami keberadaan budaya yang berkembang di lingkungan

sosial sebagai kesatuan yang memiliki norma atau hukum. Budaya yang secara

turun-temurun ada dalam sistem sosial mampu mempengaruhi perubahan diri

seseorang berupa sikap perilaku, dan simbol-simbol sebagai identitas diri maupun

kelompok, dan biasanya dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi

selanjutnya. Budaya menjadi sumber terciptanya adat yang mendapatkan

kesahihannya dan terpelihara sejak awal munculnya masyarakat, sehingga selalu

dapat dikembangkan berdasarkan tingkat kebutuhan untuk memperkuat posisi

pranata sosial yang ada. Kondisi ini semakin diperjelas dengan kemajuan di

bidang teknologi komunikasi membawa pengaruh besar terhadap kontak budaya

antarsuku. Kota-kota besar telah menjadi tempat berkumpulnya orang dari

berbagai suku, dengan begitu penyebarannya menjadi sangat cepat. Perjumpaan

dengan lawan jenis yang berbeda suku telah menjadi hal yang tak terhindari.

Demikian halnya dengan hubungan asmara, telah mempengaruhi orang-orang dari

beragam budaya atau suku, dan pada akhirnya menumbuhkan tekad baru untuk

menuju pada jenjang yang lebih tinggi, yaitu membangun mahligai rumah tangga.

Rumah tangga yang dibangun oleh pasangan suami-istri yang berbeda

latar belakang budaya, suku dan norma, memiliki potensi besar munculnya

konflik, yang juga dapat diatasi oleh pasutri tersebut. Namun, apabila yang terjadi

sebaliknya maka perceraianlah ujung solusi dari konflik itu. Perceraian

merupakan terputusnya hubungan antara suami istri, disebabkan oleh kegagalan


3

suami atau istri dalam menjalankan obligasi peran masing-masing. Perceraian

(cerai hidup) dipahami sebagai akhir dari ketidakstabilan perkawinan antara suami

istri yang kemudian hidup terpisah dan diakui secara sah berdasarkan hukum yang

berlaku (Gulardi dalam Ihromi, (1999). Ketidakstabilan perkawinan baik yang

diakhiri dengan perceraian maupun keharmonisan kembali (rujuk) secara legal,

formal biasanya difasilitasi oleh Badan Penasehat Perselisihan Perceraian dan

Perkawinan (BP4).

BP4 di lingkungan KUA didirikan oleh pemerintah sebagai salah satu

upaya untuk menekan angka perceraian dan menyosialisasikan keluarga sakinah,

mawaddah dan warahmah di setiap kesempatan. Pemerintah memberdayakan

perekonomian keluarga dengan segala macam programnya karena perceraian

dianggap juga berkaitan dengan faktor ekonomi keluarga. Akan tetapi kebijakan

dan upaya tersebut ternyata masih kurang berhasil karena perceraian terus

mengalami trend peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan perceraian dalam

masyakarat perlu dicermati dan disikapi dengan baik, karena perceraian

cenderung berdampak negatif, baik terhadap anak, pasangan bercerai, keluarga

maupun terhadap lingkungan masyarakat secara umum Hendrawati, (1990);

Karim dalam Ihromi (1999); Fachrina dan Anggraini, (2007).

Dari data yang dirilis oleh Pengadilan Agama Kota Kendari menyebutkan

bahwa terdapat tiga wilayah di Sulawesi Tenggara dengan tingkat perceraian yang

meningkat di tahun 2019, salah satunya yaitu Kota Kendari. Berdasarkan data

laporan persentasi tingkat perceraian dari Badan Pusat Statistik, khususnya di

Kota Kendari, yakni pada tahun 2015 tingkat perceraian mencapai 25,5 %,
4

kemudian pada tahun 2016 meningkat menjadi 30,2 %, lalu pada tahun 2017

mengalami fluktuatif 28,7%, dan kemudian di tahun 2018 meningkat signifikan

menjadi 39,9 %. Ini menunjukkan bahwa trend angka perceraian terjadi fluktuatif

dari tahun ke tahun. Dari data SULTRAKINI.COM mencatat bahwa hingga Mei

2019 Pengadilan Agama (PA) Kendari Kelas 1A menerima sebanyak 512 berkas

perkara, sekitar 80 persennya adalah berkas perkara perceraian. Adapun alasan

perceraian tersebut beragam antara lain masalah kecemburuan, perselisihan,

masalah ekonomi, masalah sosial budaya dan ketidak harmonisan dalam rumah

tangga.

Memahami budaya khususnya dalam konteks hubungan antar pribadi yang

berbeda budaya tentu bukanlah hal yang mudah. Karena itu pasangan suami istri

dituntut untuk mau mengerti realitas budaya masing-masing dan paham akan

adanya keberagaman. Hal ini sebagaimana salah satu fungsi komunikasi antar

budaya dalam konteks interpersonal relation. Fungsi komunikasi antar pribadi

ialah berusaha meningkatkan hubungan insan (human relations), Menghindari dan

mengatasi konflik-konflik pribadi, Mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta

berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain (Cangara, 2012: 68).

Konflik yang terjadi di dalamnya adalah konflik interpersonal, yaitu situasi yang

terjadi ketika kebutuhan atau ide dari seseorang yang dianggap berbeda atau

bertentangan dengan kebutuhan atau ide dari lainnya (Verdeber & Fink, 1998:

286).

Problem utama yang sering timbul adalah kecenderungan menganggap

budayanya sendiri sebagai sesuatu kemestian tanpa mempersoalkan lagi dan


5

karenanya budaya digunakan sebagai standar untuk mengukur budaya pasangan

atau bersifat etnosentris. Etnosentrisme adalah memandang segala sesuatu dalam

kelompok sendiri sebagai pusat segala sesuatu itu dan hal-hal lainya diukur dan

dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya (dalam Gudykunst dan Kim, 1984: 51-

52).

Membangun hubungan interpersonal yang efektif dalam pernikahan beda

budaya bukanlah hal yang sederhana. Mengingat bahwa masing-masing dari

pasangan suami istri yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda.

Kebudayaan yang berbeda menciptakan perbedaan pengalaman, nilai dan cara

pandang seseorang terhadap dunia. Hal tersebut akan mempengaruhi perilaku

komunikasi seseorang, menciptakan pola komunikasi yang berbeda antar suatu

kelompok budaya yang satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu komunikasi

antar budaya perlu dipelajari dengan tujuan agar dapat memahami perbedaan

budaya yang mempengaruhi komunikasi, mengidentifikasi kesulitan yang muncul,

kemudian meningkatkan keterampilan verbal dan nonverbal yang diperlukan agar

komunikasi dapat berjalan secara efektif dan menghindari konflik yang berpotensi

muncul, khususnya komunikasi di antara pasangan suami istri.

Hal ini juga terjadi bagi pasangan dari kaum transmigran di Kota Kendari.

Salah satu contoh transmigran yakni yang didominasi orang-orang dari etnis

Makassar yang menikah dengan penduduk lokal (orang asli Kendari). Tidak

dipungkiri bahwa etnis Makassar yang semakin banyak bermukim di Kota

Kendari bukan saja membawa dampak pembangunan, namun juga membawa

dampak sosial budaya pada adanya pernikahan warga pendatang dengan warga
6

pribumi. Dari contoh tersebut menunjukkan rintangan komunikasi antar budaya

dari pasangan beda etnis ini pun menjadi sangat rumit, mengingat begitu banyak

hambatan-hambatan komunikasi dan hambatan budaya yang kemudian penulis

merasa tertarik ingin melakukan penelitian lebih lanjut tentang “Analisis Model

Komunikasi Antar Budaya Terhadap Tingkat Perceraian (Studi Kasus Pada

Masyarakat Kelurahan Kendari Barat, Kota Kendari)”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan urutan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka

rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah rintangan yang sering terjadi di dalam komunikasi antar budaya?

2. Bagaimanakah model komunikasi antar budaya yang menjadi faktor

signifikan penyebab terjadinya perceraian?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengidentifikasi dan menganalisis rintangan yang sering terjadi di

dalam komunikasi antar budaya.

2. Untuk mengetahui model komunikasi antar budaya yang menjadi faktor

signifikan penyebab terjadinya perceraian.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:


7

a. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat menambah khasanah pemahaman

penulis tentang esensi komunikasi antar budaya dalam kaitannya dengan

perceraian yang terjadi. Hal ini pula sebagai bahan kajian dalam konsultasi

permasalahan keluarga, sehingga ditemukan strategi manajemen konflik

yang tepat dalam mencapai komunikasi antar budaya yang efektif pada

pasangan suami istri, sehingga tingkat perceraian yang terjadi di Provinsi

Sulawesi Tenggara khususnya di Kelurahan Kendari Barat, Kota Kendari

dapat diminimalisir.

b. Secara praktis, hasil studi dari penelitian ini dapat memberikan kontribusi

bagi peneliti di bidang komunikasi untuk dapat memperoleh pengalaman

belajar dalam penelitian yang realistis dan memperluas wawasan dan

pengembangan keilmuan pada masa yang akan datang, khususnya pada

komunikasi antar budaya.

Anda mungkin juga menyukai