Anda di halaman 1dari 16

PERAN KOMUNIKASI DALAM MANAJEMEN KONFLIK LINTAS-

BUDAYA

Oleh: Maura Cheza Novano (12010120130274)

Abstrak

Konflik sangat rentan terjadi di antara pihak-pihak yang berasal dari kebudayaan yang
berbeda, terutama konflik nonrealistis. Hal tersebut adalah karena tiap-tiap kebudayaan
memiliki karakteristiknya masing-masing yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Salah satu faktor yang memiliki andil besar dalam konflik lintas-budaya adalah
komunikasi Dalam hal ini, komunikasi memiliki pengaruh dalam menyebabkan konflik
lintas-budaya. Pengaruh tersebut adalah akibat dari adanya pertentangan antara dua
pihak atau lebih yang berasal dari dimensi kebudayaan yang berbeda. Perbedaan
karakteristik dari tiap-tiap dimensi kebudayaan tersebut rentan mengakibatkan
miskomunikasi, termasuk dalam aspek penggunaan konteks, toleransi ruang personal,
pemilihan moda komunikasi, serta ekspresi wajah dan bahasa tubuh. Pada sisi lain,
komunikasi juga berperan dalam manajemen konflik lintas-budaya. Dalam melakukan
manajemen konflik lintas-budaya, manajer harus memahami seluk beluk dan
karakteristik dari tiap-tiap dimensi kebudayaan yang bertentangan sehingga dapat
memberikan pengertian terhadap pihak-pihak yang berkonflik satu sama lain. Strategi
komunikasi lintas-budaya harus diterapkan agar konflik dapat terselesaikan tanpa ada
pihak yang merasa dirugikan secara sepihak.

Kata Kunci: konflik lintas-budaya, komunikasi, manajemen konflik, dimensi


kebudayaan
PENDAHULUAN

Manusia hidup dalam kondisi masyarkat yang beragam, dengan kebudayaan


yang berbeda satu dengan yang lainnya. Tiap-tiap kebudayaan tersebut pun
memiliki karakteristik-karakteristiknya tersendiri. Karakteristik-karakteristik
tersebut pada esensinya merupakan hal kodrati yang keberadaannya tidak dapat
dinafikan. Perbedaan-perbedaan karakteristik tersebut semestinya hanyalah
menjadi bentuk dari keberagaman yang harus dihargai. Namun, tidak dapat
dipungkiri bahwa perbedaan-perbedaan tersebut dapat menyebabkan konflik.
Munculnya konflik tersebut lazim disebabkan karena adanya interaksi dari pihak-
pihak yang berasal dari kebudayaan yang berbeda dari suatu dimensi kebudayaan.
Konflik yang terjadi sebagaimana demikian adalah konflik lintas-budaya.
Salah satu aspek yang memainkan peranan penting dalam terjadinya konflik
lintas-budaya adalah komunikasi. Dalam hal ini, komunikasi yang dilakukan oleh
pihak-pihak yang berasal dari kebudayaan yang berbeda belum tentu terjalin
dengan baik. Oleh karena itu, diperlukan suatu manajemen konflik lintas-budaya
untuk menyelesaikan permasalahan yang terkait dengan perbedaan kebudayaan.
Dalam penyelesaian konflik tersebut, aspek komunikasi harus ditekankan sebagai
poin utama yang harus diperhatikan oleh manajer yang akan melakukan
manajemen konflik lintas budaya.
Rumusan Masalah
Peneliti ingin mengetahui bagaimana komunikasi berpengaruh dalam
menyebabkan konflik lintas-budaya? Selain itu, peneliti juga ingin mengetahui
bagaimana peran komunikasi dalam manajemen konflik lintas-budaya?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana komunikasi
berpengaruh dalam menyebabkan konflik lintas-budaya dan mengetahui
bagaimana peran komunikasi dalam manajemen konflik lintas-budaya
LANDASAN TEORI

Komunikasi Lintas-Budaya

Menurut Ruben, Komunikasi merupakan suatu proses di mana seorang individu


menciptakan, mengirimkan, dan menggunakan informasi dalam hubungannya,
dalam kelompok, dalam organisasi dan dalam masyarakat untuk mengkoordinasikan
lingkungannya. Dalam kaitannya dengan manajemen lintas-budaya, komunikasi
merupakan aspek yang penting untuk diperhatikan. Komunikasi lintas-budaya sendiri
dapat didefinisikan sebagai suatu fenomena interaktif di mana dua kebudayaan yang
memiliki identitas berbeda melakukan kontak dan berinteraksi satu sama lain dengan
membawa pemikiran, nilai-nilai, serta ciri khasnya masing-masing. Dalam hal ini,
komunikasi dan kebudayaan merupakan dua aspek yang saling terintegrasi satu sama
lain. Ketika dua kebudayaan melakukan komunikasi lintas budaya, terdapat hal-hal
yang secara tidak sadar saling ditukarkan di antara kedua kebudayaan tersebut. Hal-hal
tersebut adalah pengetahuan, pengalaman, norma, dan asumsi.
Dalam komunikasi lintas-budaya, salah satu aspek yang penting untuk
diperhatikan adalah mengenai penggunaan konteks dalam berkomunikasi. Konteks
dapat didefinisikan sebagai kondisi suatu lingkungan di mana proses komunikasi
terjadi yang membantu mendefinisikan komunikasi itu sendiri. Setiap kebudayaan
memiliki pandangannya sendiri terhadap kehidupan. Pemilihan konteks berguna untuk
membantu menegaskan maksud utama dari komunikasi dan apa yang sejatinya ingin
disampaikan. Komponen konteks dapat menentukan sejauh mana dua pihak yang
melakukan komunikasi memiliki kesamaan pemahaman terhadap simbol-simbol dalam
komunikasi. Kesamaan pemaknaan simbol-simbol komunikasi akan memudahkan
terjadinya kesepahaman dalam komunikasi lintas-budaya.
Hal lainnya yang perlu diperhatikan dalam melakukan komunikasi lintas-
budaya adalah terkait dengan apa yang disebut sebagai proxemics. Menurut Hall,
proxemics merupakan istilah untuk menjelaskan bagaimana seseorang
mempersepsikan ruang sosial dan personalnya masing-masing. Ketika komunikasi
lintas-budaya terjadi, tiap-tiap kebudayaan memiliki perbedaan dalam
mempersepsikan kesadaran atas ruang sosial dan personalnya. Artinya, tiap-tiap
kebudayaan memiliki kemampuan yang berbeda dalam menemukan dan memahami
makna dari pesan-pesan tersembunyi yang tidak diutarakan secara verbal dalam proses
komunikasi. Begitu pula, tiap-tiap kebudayaan dapat saja memberikan pemaknaan
yang berbeda dari pesan-pesan tersembunyi yang sama.
Ruang personal merupakan suatu zona tidak terlihat yang memiliki batas-batas
tegas, yang mana jika seseorang memasuki zona ini, orang akan merasa tidak nyaman.
Ruang personal merupakan semacam mekanisme pertahanan diri dari seseorang untuk
melindungi dirinya sendiri. Tiap-tiap kebudayaan cenderung memiliki persepsi ruang
personal yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh beragam faktor seperti gender, usia,
sifat, kemampuan bersimpati, situasi yang dihadapi, serta perbedaan karakteristik
kebudayaan itu sendiri. Tiap-tiap kebudayaan memiliki pereferensinya masing-masing
terkait dengan seberapa besar ruang personal yang dimiliki oleh seseorang.
Perbedaan kebudayaan juga dapat mengakibatkan adanya perbedaan preferensi
dalam pemilihan sarana komunikasi antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain.
Beberapa kebudayaan memiliki toleransi yang tinggi dalam melakukan komunikasi
tidak langsung, misalnya melalui telepon, dengan orang asing dan langsung
membicarakan hal yang perlu dibahas tanpa basa-basi. Namun, terdapat pula
kebudayaan yang boleh jadi menganggap hal yang dilakukan sebagaimana telah
dijelaskan bukanlah hal yang etis untuk dilakukan. Kemudian, terdapat pula
kebudayaan yang lebih nyaman melakukan komunikasi tatap muka secara langsung
dibandingkan melali sarana lain seperti perangkat elektronik dan digital.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam komunikasi lintas-budaya adalah
penggunaan bahasa. Komunikasi lintas-budaya sering kali terjadi antara dua
kebudayaan yang menggunakan bahasa sehari-hari yang berbeda satu dengan yang
lainnya. Namun demikian, sejatinya komunikasi dapat tetap dilaksanakan sekalipun
dua pihak yang melakukan komunikasi menggunakan bahasa yang berbeda. Dalam hal
ini, terdapat beberapa solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi kendala bahasa
dalam komunikasi lintas-budaya, misalnya dengan menggunakan bantuan penerjemah,
mempelajari bahasa kebudayaan lain, atau menggunakan bahasa lain yang cenderung
netral dan dapat diterima oleh semua pihak seperti bahasa Inggris.
Selain itu permasalahan penggunaan bahasa, komunikasi lintas-budaya juga
menekankan pada aspek penyampaian dan penempatan diri dalam berinteraksi. Dalam
komunikasi lintas-budaya, tiap-tiap kebudayaan memiliki perbedaan dalam
preferensinya terhadap komunikasi yang dilangsungkan langsung secara tatap muka.
Preferensi ini dapat tercermin dari berbagai aspek, misalnya bagaimana suatu
kebudayaan lebih menyukai suatu cara penempatan diri dalam pertemuan pertama
dibandingkan dengan cara lainnya. Kemudian, tiap-tiap kebudayaan juga memiliki
preferensinya masing-masing atas gaya berbincang dengan orang lain.
Hal yang tidak kalah penting untuk diperhatikan dalam komunikasi lintas-
budaya adalah terkait dengan ekspresi wajah. Dalam interaksi sosial, termasuk dalam
konteks bisnis, ekspresi wajah memainkan peran penting yang dapat dipersepsikan
secara berbeda pada tiap-tiap kebudayaan. Sebagai gambaran, tiap-tiap kebudayaan
memiliki preferensi yang berbeda terkait penggunaan tatapan mata, ekspresi, serta
mimik atau raut wajah. Masih berkaitan dengan hal ini, tiap-tiap kebudayaan juga dapat
memiliki interpretasi yang berbeda terhadap bahasa tubuh yang digunakan dalam
komunikasi. Meskipun terkesan remeh, sejatinya ekspresi wajah dan bahasa tubuh
memainkan peran penting dalam menentukan keberhasilan komunikasi lintas-budaya.

Manajemen Konflik Lintas-Budaya

Secara umum, konflik merupakan perselisihan yang terjadi baik antarindividu.


Antara individu dengan kelompok, maupun antarkelompok akibat adanya suatu
pertentangan. Menurus Liu, konflik dapat dikelompokkan menjadi konflik realistis dan
konflik tidak realistis. Konflik realistis adalah konflik yang terkait dengan perebutan
sumber daya yang terbatas seperti tanah, bahan tambang, dan sumber daya lainnya.
Sementara itu, konflik nonrealistis terjadi akibat pertentangan antara hal-hal yang
bersifat personal berdasarkan perbedaan identitas sosial. Suatu konflik, baik realistis
maupun nonrealistis dapat terjadi secara lintas-budaya. Dalam hal ini, konflik lintas-
budaya cenderung rentan terjadi karena tiap-tiap kebudayaan akan berupaya untuk
mempertahankan harga dirinya masing-masing.
Ketika suatu konflik terjadi secara lintas-budaya, perlu ada suatu manajemen
konflik untuk menyelesaikan konflik tersebut. Dalam manajemen konflik lintas-
budaya, terdapat aspek-aspek yang harus diperhatikan. Pertama, manajemen konflik
harus memperhatikan tingkat ketidaksetujuan yang sekiranya dapat ditoleransi antara
kebudayaan-kebudayaan yang berkonflik. Selanjutnya, manajemen konflik harus
memperhatikan sekiranya strategi mana yang harus digunakan dalam menangani
konflik. Kemudian, manajemen konflik harus memperhatikan kapan momen yang tepat
bagi seorang manajer untuk melakukan intervensi dan bagaimana intervensi tersebut
dilakukan.
Dalam melakukan manajemen konflik, terdapat beberapa pendekatan yang
dapat digunakan. Pertama, manajemen konflik dapat menggunakan pendekatan win-
lose. Dalam pendekatan ini, kepentingan satu pihak dimenangkan dengan
mengorbankan kepentingan pihak lainnya. Pendekatan lain yang dapat digunakan
dalam manajemen konflik adalah pendekatan win-win. Dalam pendekatan ini,
dilakukan kolaborasi antara dua pihak untuk memastikan terciptanya suatu resolusi
konflik yang menguntungkan kedua belah pihak. Meskipun kedua pendekatan tersebut
sejatinya dapat diterapkan, kodrat manusia yang cenderung mengutamakan
kepentingannya membuat pendekatan win-win lebih baik untuk digunakan. Dalam
mengupayakan solusi yang menguntungkan kedua belah pihak yang berkonflik,
manajer harus memiliki kepekaan atau perhatian sehingga dapat menempatkan diri dan
mengambil keputusan dengan baik. Tujuannya, manajemen konflik diharapkan dapat
menciptakan suatu dialog kolaboratif antara pihak-pihak yang berkonflik.

Dimensi Budaya

Menurut Hofstede, pada dasarnya kebudayaan-kebudayaan di seluruh dunia


dapat dikelompokkan satu dengan yang lainnya. Pengelompokan tersebut adalah
berdasarkan perbedaan-perbedaan utama yang signifikan dari tiap-tiap kebudayaan.
Perbedaan tersebut kemudian mengakibatkan tiap-tiap kebudayaan memiliki
karakteristiknya masing-masing. Karakteristik-karakteristik ini merupakan cerminan
dari masyarakat yang berasal dari kebudayaan tersebut. Oleh karenanya, penting bagi
seseorang untuk bertindak sesuai dengan kebudayaan masyarakat yang mana seseorang
tersebut berada. Secara umum, dimensi kebudayaan dapat dibagi berdasarkan: power
distance; uncertainty avoidance; individualis atau kolektivis; maskulin atau feminin;
serta orientasi jangka panjang atau pendek.
Power distance merupakan karakteristik mengenai bagaimana anggota
masyarakat dalam suatu kebudayaan memiliki ekspektasi dan menerima
ketidakseimbangan kekuasaan dalam masyarakat. Pada esensinya, dimensi ini
merefleksikan bagaimana suatu kebudayaan mengakrabkan diri dengan kekuasaan,
misalnya seberapa bergantung seorang bawahan terhadap atasannya. Dalam
kebudayaan high power distance, masyarakat lebih menerima kondisi kekuasaan yang
tidak didistribusikan secara merata. Sementara dalam kebudayaan low power distance,
kekuasaan cenderung terbagi secara lebih merata di mana atasan cenderung lebih
mudah dijangkau
Uncertainty avoidance merupakan perbedaan karakteristik tiap-tiap
kebudayaan dalam merespons ketidakpastian. Dalam hal ini, terdapat masyarakat yang
sangat tidak nyaman berada di dalam kepastian, dan ada yang sebaliknya. Kebudayaan
uncertainty-avoiding cenderung menganggap bahwa kehidupan merupakan sebuah
pertemputan melawan kecemasan. Oleh karenanya, masyarakat dalam kebudayaan ini
cenderung lebih mungkin untuk menerima risiko yang dapat diperhitungkan.
Sementara itu, kebudayaan yang bukan merupakan uncertainty-avoiding tidak merasa
terancam dengan ketidakpastian karena hal tersebut dianggap sebagai bagian dari
kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Dimensi kebudayaan juga dibedakan berdasarkan karakteristik individual atau
kolektivis. Dalam hal ini, tiap-tiap kebudayaan memiliki pandangan yang berbeda
tentang bagaimana hubungan dengan kelompok harus dijalin. Seseorang yang berasal
dari masyarakat berkebudayaan individualis akan merasa lebih bertanggung jawab
terhadap dirinya sendiri. Hal tersebut berbeda dengan masyarakat kebudayaan
kolektivis yang lebuh mementingkan nilai-nilai bersama suatu kelompok.
Selanjutnya, tiap-tiap kebudayaan memiliki kecenderungan untuk memiliki
karakteristik yang lebih maskulin atau feminin. Dimensi ini membedakan kebudayaan
berdasarkan ekspektasi masyarakatnya yang diibaratkan layaknya gender. Kebudayaan
maskulin cenderung menghargai kesuksesan materi, sikap agresif, dan kekuatan
sehingga mendorong masyarakatnya untuk menjadi tegas, ambisius, dan memiliki jiwa
kompetitif. Sementara itu, kebudayaan feminin menghargai sopan santun, hubungan
baik antara individu, dan kelembutan sehingga lebih cenderung untuk mendorong
masyarakatnya berkompromi dan bernegosiasi untuk memecahkan suatu masalah demi
menguntungkan semua pihak.
Lalu, dimensi kebudayaan dapat dibedakan berdasarkan orientasinya terhadap
masa depan. Tiap-tiap kebudayaan cenderung memiliki karakteristik untuk lebih
berfokus kepada rentang tertentu dalam memandang masa depan. Kebudayaan yang
memiliki orientasi jangka pendek menekankan kehidupan pada masa lalu dan hari ini,
sehingga cenderung lebih menghargai tradisi, harga diri, dan obligasi sosial. Sementara
itu, kebudayaan yang memiliki orientasi jangka panjang cenderung lebih
mengorientasikan kegiatannya untuk keperluan masa depan, sehingga lebih
menghargai kegigihan, kepastian masa depan, serta memiliki rasa malu yang tinggi.
Terakhir, tiap-tiap kebudayaan memiliki perbedaan berkaitan dengan apakah
suatu informasi disampaikan secara gamblang (eksplisit), atau apakah informasi yang
disampaikan memiliki makna tersembunyi bergantung pada konteks informasi tersebut
disampaikan (implisit). Dalam kebudayaan high-context, interpretasi dari informasi
yang disampaikan bergantung pada konteks atau orang yang menyampaikan. Sebagai
contoh, suatu informasi diketahui semua orang karena pernah dikomunikasikan
sebelumnya atau tiap orang pernah memiliki pengalaman yang sama sehingga memiliki
informasi tersebut. Namun, informasi tersebut tidak dikomunikasikan secara verbal,
tetapi harus dimaknai secara tidak langsung berdasarkan asumsi dan pengalaman-
pengalaman sebelumnya (implisit). Sementara itu, dalam kebudayaan low context,
informasi disampaikan secara gamblang dan akan tertulis di atas kertas apabila
merupakan sebuah transaksi formal (eksplisit). Kebudayan berkonteks tinggi lebih
menekankan pada informasi disampaikan secara langsung dan tidak terlalu memikirkan
hubungan personal.

PEMBAHASAN

Pengaruh Komunikasi dalam Mengakibatkan Konflik Lintas-Budaya

Sebagaimana telah dijabarkan dalam landasan teori, konflik dapat terjadi ketika
adanya pertentangan antara dua pihak. Dalam interaksi antara pihak yang memiliki
kebudayaan berbeda atau lintas-budaya, konflik lebih rentan untuk terjadi mengingat
fakta bahwa terdapat perbedaan-perbedaan dalam hal identitas. Pada akhirnya,
perbedaan identitas tersebut dapat mengakibatkan konflik nonrealistis. Dalam
prosesnya, suatu konflik dapat terjadi karena adanya miskomunikasi. Suatu
miskomunikasi, terutama dalam konteks lintas-budaya dapat terjadi akibat adanya
perbedaan-perbedaaan karakteristik dimensi kebudayaan sebagaimana juga telah
disampaikan dalam landasan teori. Terdapat beberapa aspek dari komunikasi lintas-
budaya yang dapat memberikan andil dalam mengakibatkan konflik lintas-budaya.

Salah satu permasalahan dalam aspek komunikasi yang dapat mengakibatkan


konflik lintas-budaya adalah kekeliruan penggunaan konteks dalam berkomunikasi.
Hal ini sangat mungkin terjadi terutama dalam beberapa aspek dimensi kebudayaan,
misalnya dalam dimensi kebudayaan high-context atau low-context. Kedua jenis
kebudayaan tersebut memiliki cara yang sangat berbeda dalam mengomunikasikan
makna. Konflik dapat terjadi misalnya ketika pihak dari kebudayaan high-context
menganggap bahwa perkataan gamblang dari pihak kebudayaan low-context
merupakan suatu bentuk penghinaan atau ketidaksopanan. Begitupun, pihak dari
kebudayaan low-context dapat menganggap bahwa pihak kebudayaan high-context
tidak jelas dalam menyampaikan maksudnya dan terkesan licik karena tidak berterus
terang. Konflik tersebut terjadi akibat adanya perbedaan pemahaman makna simbol-
simbol dalam komunikasi. Pada akhirnya, kurang baiknya komunikasi dalam aspek
pemilihan konteks dapat berperan dalam mengakibatkan terjadinya konflik lintas-
budaya.

Selanjutnya, konflik juga dapat terjadi akibat hubungan komunikasi yang terkait
dengan aspek ruang personal atau ruang sosial. Dalam hal ini, konflik lintas-budaya
dapat terjadi terhadap dimensi kebudayaan yang berada, salah satunya adalah dalam
perbedaan dimensi kebudayaan individualis dan kolektivis. Kebudayaan individualis
cenderung lebih menghargai pencapaian pribadi dan tidak terlalu terikat dengan
kelompok dalam masyarakat. Secara kontras, kebudayaan kolektivis menjunjung tinggi
kebersamaan dan nilai-nilai kelompok. Suatu konflik dapat terjadi secara lintas-budaya
karena adanya perbedaan batasan ruang personal dalam komunikasi. Sebagai contoh,
masyarakat kolektivis dapat melakukan interaksi dan ikut campur terlalu dalam
terhadap urusan personal pihak dalam kebudayaan individualis. Di satu sisi, pihak
kebudayaan kolektivis menganggap hal tersebut sebagai bentuk kepedulian, sementara
pihak kebudayaan individualis menganggap hal tersebut sebagai pelanggaran terhadap
privasi dan ruang personal.

Lalu, komunikasi juga dapat mengakibatkan dalam permasalahan terkait dengan


pemilihan moda komunikasi. Dalam hal ini, konflik lintas-budaya dapat terjadi karena
adanya perbedaan preferensi moda komunikasi. Hal ini cenderung dapat terjadi dalam
komunikasi lintas-budaya antara kebudayaan high-context dengan low-context. Selain
itu, konflik yang sama juga dapat terjadi antara dimensi kebudayaan kolektivis dan
individualis. Dalam hal ini, kebudayaan high-context dan kolektivis akan cenderung
menyukai komunikasi tatap muka secara langsung. Sementara itu, kebudayaan low-
context dan individualis akan cenderung lebih memberikan toleransi terhadap
komunikasi yang dilakukan melalui sarana perangkat elektronik seperti telepon. Dalam
hal ini, pihak dari kebudayaan high-context dan kolektivis dapat menganggap bahwa
pihak dari kebudayaan low-context dan individualis melakukan tindakan yang tidak etis
karena enggan melakukan hubungan secara tatap muka. Sebaliknya, pihak dari
kebudayaan low-context dan individualis dapat menganggap bahwa pihak tersebut
membuang-buang waktu saja.

Permasalahan selanjutnya yang kerap muncul dalam komunikasi lintas-budaya


adalah terkait dengan perbedaan dalam hal presentasi diri. Dalam hal ini, tiap-tiap
kebudayaan memiliki preferensinya masing-masing terkait dengan bagaimana orang
tersebut ingin seseorang mempresentasikan diri di hadapan mereka. Hal ini cenderung
dominan terjadi pada dimensi kebudayaan power structure. Pihak dari kebudayaan
high power distance akan cenderung lebih menyukai orang yang menekankan sopan
santun dan hal-hal terkait dengan etika ketika melakukan hubungan secara tatap muka,
sekalipun hal tersebut tidak esensial dalam substansi pembahasan dalam komunikasi.
Semenntara itu, pihak dari kebudayaan low power distance akan cenderung lebih suka
memandang orang yang berhubungan dengannya sebagai setara. Hal tersebut
cenderung mengakibatkan pihak dari kebudayaan low power distance tidak terlalu
menganggap penting etika-etika detil yang mungkin dianggap penting oleh pihak
kebudayaan high power distance. Konflik dapat terjadi akibat kesalahpahaman dalam
komunikasi antara kedua pihak tersebut, di mana terdapat satu pihak yang merasa
bahwa pihak lain tidak mengerti etika, padahal hal tersebut hanyalah perkara perbedaan
preferensi semata.

Aspek komunikasi lainnya yang mungkin menjadi sumber konflik lintas-budaya


adalah terkait dengan ekspresi wajah dan bahasa tubuh. Dalam hal ini, tiap-tiap
kebudayaan dapat memiliki pemahaman yang berbeda atas ekspresi wajah dan bahasa
tubuh. Permasalahan ini dapat terjadi terutama terkait dengan dimensi kebudayaan
maskulin dan feminin. Pihak kebudayaan maskulin akan cenderung lebih menghargai
ekspresi yang tegas dan sarat akan kekuatan. Sementara itu, pihak kebudayaan feminin
akan cenderung lebih mengahrgai ekspresi wjah dan bahasa tubuh yang menunjukkan
sifat kepedulian, empati, dan keinginan untuk berkompromi. Dalam hal ini, konflik
lintas-budaya dapat terjadi karena satu pihak merasa tidak dihargai oleh pihak lainnya
karena menunjukkan ekspresi wajah dan bahasa tubuh yang tidak sesuai dengan
preferensi kebudayaannya masing-masing.

Peran Komunikasi dalam Manajemen Konflik Lintas-Budaya

Sebagaimana telah dijabarkan pada pembahasan sebelumnya, komunikasi dapat


memberikan peran dalam menciptakan konflik lintas-budaya. Namun demikian, hal
tersebut tidaklah mutlak. Komunikasi yang baik dapat pula berperan dalam manajemen
konflik lintas-budaya. Peran komunikasi yang baik dalam hal ini bergantung pada
bagaimana seseorang dapat menentukan cara komuunikasi terbaik dalam melakukan
manajemen konflik lintas-budaya. Sesuai dengan landasan teori, manajemen konflik
lintas-budaya harus menerapkan strategi khusus agar konflik dapat teratasi. Pada
akhirnya, kemampuan seseorang untuk menempatkan diri sesuai dengan karakteristik
kebudayaan yang dihadapinya akan menentukan penerimaan masyarakat terhadap
orang tersebut. Hal tersebut berlaku pula dalam konteks manajemen, yang mana
keberhasilan suatu tindakan manajemen memiliki kaitan yang erat dengan
ketepatannya menerapkan langkah-langkah yang diperlukan berdasarkan dimensi
perbedaan kebudayaan.

Pada dimensi kebudayaan power distance, komunikasi harus dilakukan dengan


memperhatikan karakter dari masing-masing pihak beserta kebudayaannya. Ketika
berhadapan dengan pihak dari kebudayaan high power distance, komunikasi harus
dilakukan dengan memandang status pihak tersebut dalam struktur masyarakatnya.
Kemudian, penggunaan bahasa dan cara komunikasi harus lebih disesuaikan dengan
status pihak tersebut. Hal ini semata-mata adalah untuk menghindari terjadinya
kesalahpahaman. Sementara itu, komunikasi dengan pihak yang berasal dari kebuayaan
low power distance dapat dilakukan tanpa perlu terlalu memandang status pihak
tersebut dalam masyarakat itu. Malahan, sebaiknya komunikasi dengan pihak low
power distance dilakukan dengan memandang pihak tersebut sebagai berstatus sama
agar pihak tersebut merasa nyaman dalam berkomunikasi. Penggunaan konteks,
bahasa, dan cara penyampaian yang tepat dalam komunikasi antara pihak-pihak
tersebut akan membuat para pihak saling mengerti satu sama lain dan konflik dapat
terselesaikan dengan menguntungkan seluruh pihak.

Pada dimensi kebudayaan uncertainty avoidance, komunikasi harus diarahkan


untuk memberikan jalan tengah yang memberikan kepastian pada masa sekarang,
sekaligus memberikan harapan pada masa depan. Dalam hal ini, pihak yang memiliki
kebudayaan uncertainty avoiding cenderung tidak ingin mengambil keputusan yang
bisa merugikannya dalam waktu dekat, sekalipun terdapat potensi menguntungkan dari
keputusan tersebut. Sebaliknya, pihak yang berasal dari kebudayaan yang tidak
memiliki karakteristik uncertainty avoiding akan ingin mengambil risiko tersebut demi
potensi besar di masa depan. Oleh karena itu, komunikasi harus dimanfaatkan untuk
mencari keputusan yang sekiranya tidak memberikan kerugian terlalu besar pada masa
sekarang, namun juga tetap memiliki potensi untuk menghasilkan keuntungan di masa
depan. Dengan demikian, konflik antara dua kebudayaan yang memiliki karakteristik
berbeda tersebut dapat terselesaikan.

Pada dimensi kebudayaan individualis atau kolektivis, komunikasi harus diarahkan


untuk saling mengerti pihak-pihak satu sama lain. Dalam hal ini, pihak dari kebudayaan
individualis harus dapat mengerti karakteristik dari pihak kebudayaan kolektif.
Misalnya, pihak kebudayaan kolektif akan memikirkan konsekuensi dari suatu
tindakan terhadap kepentingan kelompoknya yang boleh jadi dianggap berlebihan oleh
pihak kebudayaan individualis. Sementara itu, pihak dari kebudayaan kolektivis pun
harus memahami bahwa pihak kebudayaan individualis akan cenderung lebih
mengutamakan kesejahteraan individunya. Oleh karena itu, komunikasi harus
digunakan untuk mencari keputusan mana yang sekiranya tidak merugikan
kepentingan individu dan kelompok secara bersama-sama. Dengan demikian, solusi
yang saling menguntungkan dapat tercapai.
Pada dimensi kebudayaan maskulin atau feminin, komunikasi harus diarahkan
untuk memberikan pemahaman bahwa perbedaan penyampaian diri antara kedua
kebudayaan tersebut sejatinya bukanlah perkara besar. Pihak dari kebudayaan
maskulin akan cenderung mempresentasikan dirinya secara tegas dan sarat akan
kekuatan. Sementara itu, pihak dari kebudayaan feminin akan cenderung
mempresentasikan dirinya secara lebih harus dan sarat akan sopan santun. Perbedaan
presentasi diri ini semestinya tidaklah menjadi perkara besar asalkan kedua pihak
menjauhkan diri dari pemberian stigma dan prejudice. Dengan demikian, komunikasi
harus dibangun untuk memberikan pemahaman tersebut kepada pihak yang berkonflik
agar konflik dapat terselesaikan.

Pada dimensi kebudayaan yang terkait dengan orientasi terhadap masa depan,
komunikasi harus dibangun untuk mencari keputusan yang dapat menguntungkan
dalam jangka waktu pendek dan jangka waktu panjang sekaligus. Dalam hal ini, kedua
pihak yang berasal dari kebudayaan berbeda tersebut sejatinya memiliki poin yang
sama-sama valid. Oleh karena itu, komunikasi harus diarahkn untuk memastikan
bahwa kedua poin tersebut bisa terakomodasi dengan baik. Terlebih lagi, suatu
keputusan memang sebaiknya memberikan keuntungan dalam jangka waktu pendek
dan panjang. Melalui komunikasi yang baik, para pihak yang berkonflik dapat
memahami bahwa tiap-tiap pihak sejatinya berupaya untuk sama-sama mencari
keputusan yang menguntungkan sehingga tidak semestinya hal tersebut bereskalasi
menjadi konflik.

Pada dimensi kebudayaan yang terkait dengan cara penyampaian pesan,


komunikasi harus diarahkan untuk mengakomodasi karakteristik masing-masing
kebudayaan. Ketika berhaapan dengan pihak yang berasal dari kebudayaan high-
context, komunikasi sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan norma dan dengan
kehati-hatian. Sementara ketika berhadapan dengan pihak yang berasal dari
kebudayaan low-context, komunikasi sebaiknya disampaikan secara gamblang dan
terus terang. Hal tersebut adalah demi menghindari adanya kesalahpahaman. Dengan
adanya pengertian di antara kedua pihak, konflik semestinya dapat teratasi.

PENUTUP

Kesimpulan dan Saran

Pada kesimpulannya, komunikasi yang buruk dapat memberikan andil dalam


terhadap terjadinya konflik lintas-budaya. Konflik tersebut terjadi akibat penggunaan
komunikasi yang tidak tepat antara pihak-pihak dari kebudayaan yang berbeda, yang
memiliki karakteristik dan preferensi komunikasi yang berbeda-beda pula. Namun
demikian, komunikasi yang baik dapat bermanfaat dalam melakukan manajemen
konflik. Dalam hal ini, komunikasi dapat diarahkan sesuai dengan tujuan dari
manajemen konflik itu sendiri, yakni untuk menghasilkan penyelesaian yang saling
menguntunkan bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu, seorang manajer harus
menerapkan strategi yang tepat dalam melakukan penyelesaian konflik lintas-budaya
berdasarkan dimensi kebudayaan dari pihak-pihak yang mengalami konflik.
DAFTAR PUSTAKA

Browaeys, Marie-Joelle & Roger Price. (2015). Understanding Cross-Cultural


Management. Harlow: Pearson.

Handayani, Tutut. (2011). Membangun Komunikasi Efektif untuk Meningkatkan


Kualitas dalam Proses Belajar Mengajar. Ta’dib Vol. 16 No. 2. 273-302.

Hapsari, E.R.D. (2017). Manajemen Konflik Antarbudaya pada Organisasi


Internasional. Interaksi Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 6 No. 2. 11-19.

Hasibuan, A.A. (2016). Strategi Manajemen Konflik Antarpribadi Antarbudaya pada


Mahasiswa Perantau Luar Pulau Jawa di Kota Semarang. Intuisi: Jurnal
Psikologi Ilmiah Vol. 8 No. 2. 1-9.

Hofstede, G. (1991). Cultures and Organizations: Software of Mind. New York:


Harper-Collin.

Lutfi, Muhammad. (2018). Upaya Meningkatkan Komunikasi Antar Budaya Dengan


Tujuan Harmonisasi Hegemonitas Warga. Jurnal Network Media Vol. 1 No. 2.
1-35.

Mas’ud, Fuad. (2010, 22 Juni) Pengaruh Budaya Nasional terhadap Praktek


Manajemen Organisasi. Makalah disampaikan pada acara lokakarya dosen
Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. 1-39.

Muchtar, Khoirudin, dkk. (2016). Komunikasi Antar Budaya dalam Perspektif


Antropologi. Jurnal Manajemen Komunikasi Vol. 1 No. 1. 113-124.

Sakti, Andika. (2016). Manajemen Konflik pada Pasangan Lintas Bangsa. Skripsi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai