Anda di halaman 1dari 10

MENELUSURI ESENSI, KARAKTERISTIK, DAN TUJUAN KOMUNIKASI

MULTIKULTURAL DAN PLURALISME AGAMA


(Exploring the Essence, Characteristics, and Objectives of Multicultural Communication and
Religious Pluralism)

Muh Syahril Sidik Ibrahim


Universitas Islam Negri Sunan Ampel , Jl. Ahmad Yani Surabaya, Indonesia
*Email: sidiqibrahim15@gmail.com

PENDAHULUAN

Sebagai seoarang Nabi dan Leader Sayyidina Muhammad berhasil membawa Islam
menjadi agama yang besar. Islam sukses menunjukkan suatu pola kehidupan tanpa konflik di tengah
keragaman agama dan suku. Sekitar 1400 tahun yang lalu dan dalam kurun waktu 23 tahun, Nabi
Muhammad berhasil menciptakan pola kehidupan antra muslim dan non muslim dapat hidup
berdampingan. Hidup damai tanpa harus ada pengerbanan jiwa dan harta Pada masa itu (Al
Mubarakfuri, 2014).

Term ukhuwah menjadi tranding topik pada masa itu. Karena keberhasilan islam yang
menjadikan persaudaraan sebagai basis dalam menciptakan perdamaian. Persaudaraan atas
memeluk agama yang sama, persaudaraan karena menjadi warga Negara yang sama dan paling
ujung adalah persaudaraan atas dasar sama-sama manusia. Dengan menjalin persaudaraan dalam
ikatan ukhuwah, Islam mampu menyikapi perbedaan secara proposional (Zuhriyah, 2012).
Meskipun Islam menyebar secara luas, hal ini perlu diimbangi dengan peningkatan literasi tentang
pentingnya ukhuwah (persaudaraan) melalui berbagai aspek, baik itu melibatkan konsep keislaman
klasik maupun studi kontemporer. Hal ini diperlukan untuk memperkuat eksistensi syariat Islam di
tengah ragam suku, etnis, dan budaya yang ada di kalangan penganutnya.

Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, menduduki


peringkat kedua terbesar di dunia dalam jumlah penganut agama Islam. Meskipun demikian,
Indonesia juga menjadi rumah bagi berbagai agama dan kepercayaan lainnya, seperti
Nasrani/Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, dan Khonghucu, yang diakui dan
dicatat secara formal oleh negara. Pada sensus tahun 2021 yang dilakukan oleh Kementerian Dalam
Negeri, penduduk Indonesia mencapai 273,32 juta jiwa, dengan 86,93% beragama Islam, 10,55%
beragama Kristen (7,47% Kristen Protestan, 3,08% Kristen Katolik), 1,71% beragama Hindu,
0,74% beragama Buddha, 0,05% beragama Khonghucu, dan 0,03% beragama lainnya. Selain
pluralitas agama, Indonesia juga kaya akan keragaman suku, budaya, dan bahasa, meskipun bahasa
Indonesia menjadi bahasa persatuan. Menurut sensus tahun 2010, terdapat lebih dari 1.300
kelompok etnis atau suku yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Suku Jawa menjadi suku
terbesar, diikuti oleh Sunda, Batak, Madura, Minangkabau, Bugis, dan banyak lainnya (Hosen,
2005).

Bagi umat Islam yang tinggal di negara besar seperti Indonesia, di mana kebebasan
beragama dijamin sepenuhnya dan keragaman dihargai, penting untuk memiliki kesadaran akan
keadaan ini. Diperlukan pemahaman menyeluruh tentang kompleksitas keragaman di negara yang
multikultural ini, guna mewujudkan kerukunan dan harmoni dalam kehidupan berbangsa (Rosi,
2020)

Oleh karena itu, sangat penting dalam kehidupan sosial untuk saling menghargai dan
memahami setiap perbedaan, sehingga terjalin kerukunan dan hubungan sosial yang baik. Upaya ini
dapat dilakukan dengan menghargai setiap budaya tanpa menganggap superioritas, karena pada
dasarnya semua budaya memiliki nilai positif. Tidak ada budaya yang buruk, namun terkadang
perbedaan budaya dapat menimbulkan salah persepsi di masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk
mengenal keragaman budaya guna meminimalisir perbedaan persepsi yang dapat memicu konflik,
dan literasi komunikasi multikultural menjadi salah satu upaya yang mendesak.

Tulisan ini bersumber dari fenomena kehidupan berbangsa yang melibatkan


multikulturalisme. Tujuannya juga adalah untuk mengoreksi pandangan kita terhadap budaya lain
yang sering kali keliru atau hanya didasarkan pada persepsi yang kita terima dari pihak ketiga. Hal
ini sering menjadi hambatan dalam berkomunikasi dengan individu yang berasal dari latar belakang
budaya yang berbeda. Kesalahan persepsi dan stereotip terhadap budaya tertentu memiliki potensi
dampak negatif, bahkan jika dibiarkan tanpa penyesuaian, dapat mengancam eksistensi negara.

Berdasarkan permasalahan tersebut, sebagai bangsa dengan keragaman yang mencakup


berbagai aspek, sangatlah penting bagi kita untuk menggunakan dan mengajarkan etika
berkomunikasi dalam konteks keberagaman budaya dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu,
diperlukan pemahaman yang mendalam tentang komunikasi multikultural dan pluralisme agama
guna mencapai pemahaman yang menyeluruh.

METODE

Artikel ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan literatur review. Pendekatan
kualitatif digunakan untuk menggali pemahaman mendalam mengenai komunikasi multicultural
dan pluralisme agama secara kompleks. Sumber data utama berasal dari tinjauan literatur, yang
melibatkan analisis terhadap berbagai referensi dan penelitian terkait untuk mendukung argumentasi
dan temuan dalam artikel ini. Pendekatan literatur review memberikan dasar pengetahuan yang
kokoh untuk memahami hakikat komunikasi multikultural dan pluralisme agama beserta
karakteristik dan tujuannya (Raco, 2018).

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hakikat Komunikasi Multikultural

Definisi dan Konsep

Secara seksama Lary (2004) menjelaskan, istilah "komunikasi" dalam bahasa Inggris berasal
dari bahasa Latin "communis", yang artinya "sama", "communico", "communication", atau
"communicare", yang artinya "membuat sama" atau "to make common". Istilah pertama, yaitu
"communis", sering diidentifikasi sebagai akar kata untuk konsep komunikasi dan juga menjadi
dasar untuk kata-kata Latin lain yang serupa. Dengan demikian, komunikasi dapat diartikan
sebagai proses membuat pikiran, makna, atau pesan menjadi bersama atau sama di antara
individu atau kelompok.

Proses komunikasi melibatkan penyampaian pesan yang memiliki makna melalui lambang,
mencakup ide, informasi, kepercayaan, harapan, himbauan, dan sejenisnya. Komunikasi dapat
terjadi secara langsung dalam situasi tatap muka atau tidak langsung melalui media. Tujuan
utama dari komunikasi adalah untuk mempengaruhi sikap, pandangan, atau perilaku orang lain
(Rosi, 2020). Setidaknya, aktivitas komunikasi dapat dianggap sebagai suatu kegiatan yang
tidak hanya bersifat informatif, bertujuan agar orang memahami dan mengetahui, tetapi juga
bersifat persuasif. Dengan kata lain, tujuannya adalah agar orang mau menerima suatu
pemahaman atau keyakinan, terlibat dalam suatu kegiatan, dan sebagainya.

Secara terminologis, komunikasi merujuk pada proses penyampaian pernyataan oleh satu
individu kepada individu lainnya. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa komunikasi
melibatkan partisipasi sejumlah orang, di mana seseorang menyampaikan suatu informasi
kepada orang lain (Prianto, 2023).

Multikulturalisme, dalam pengertian dasarnya, merujuk pada "keberagaman budaya." Istilah


ini sering dipakai untuk menggambarkan situasi dalam masyarakat yang terdiri dari
keanekaragaman dalam agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda (Fikri, 2021). Edward W.
Taylor mendefinisikan budaya sebagai keseluruhan yang kompleks, yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan
lain yang diperoleh oleh individu sebagai anggota masyarakat. Masyarakat, menurut Taylor,
menjadi cikal bakal munculnya kebudayaan atau peradapan yang berkembang pada diri setiap
individu dengan corak karakteristik tertentu (Taylor, 1994). Terdapat definisi lain yang
menyatakan bahwa budaya merupakan tradisi dan gaya hidup yang dipelajari dan diperoleh
secara sosial oleh anggota masyarakat. Ini mencakup cara berpikir, perasaan, dan tindakan yang
terstruktur dan dilakukan secara berulang-ulang (Baran, 2012).

Keterkaitan antara budaya dan komunikasi merupakan sesuatu yang tidak dapat disangkal,
karena manusia selalu terlibat dalam proses komunikasi dan tidak mungkin menghindarinya.
Komunikasi juga menjadi dorongan bagi manusia untuk terus mengembangkan kemampuan diri
melalui interaksi dalam beragam budaya. Budaya, sebagai pola hidup menyeluruh, bersifat
kompleks, abstrak, dan luas, dengan banyak aspek budaya yang memengaruhi perilaku
komunikatif (Purwasito, 2004).

Komunikasi multikultural dalam konteks tulisan ini merujuk pada proses interaksi antara
individu atau kelompok dari budaya tertentu dengan kelompok dari budaya lain, yang pada
akhirnya menghasilkan kebudayaan baru atau subkultur. Seiring berjalannya waktu dan
transformasi dalam suasana multikultural, interaksi antar berbagai budaya akan menyebabkan
lahirnya kebudayaan atau subkultur yang baru. Proses komunikasi dalam masyarakat
multikultur akan terus berlanjut tanpa henti, dengan tujuan menciptakan kebudayaan baru yang
lebih maju dan progresif (Miskan, 2023).

Dinamika dan Tantangan

Samovar mengamati bahwa penilaian terhadap budaya lain seringkali dilakukan tanpa
disadari, karena suatu kelompok menggunakan nilai dan kemampuan mereka sendiri sebagai
standar untuk menilai segala sesuatu. Secara lebih rinci, Samovar, Porter, dan Jain menyebutkan
faktor-faktor yang menghambat hubungan dan komunikasi antar budaya sebagai berikut
(Samovar, 2013) :

a. Perbedaan tujuan berkomunikasi merujuk pada situasi di mana individu yang


berkomunikasi memiliki tujuan atau keinginan yang berbeda. Contohnya, satu orang
mungkin bermaksud untuk menyelesaikan suatu masalah melalui komunikasi, sementara
individu lain mungkin tidak tertarik untuk menyelesaikan masalah tersebut.
b. Etnosentrisme adalah pandangan yang meyakini bahwa kelompok etnik tertentu dianggap
superior dalam berbagai sikap dan tindakan.
c. Ketidakpercayaan adalah sikap tidak percaya terhadap kelompok lain, baik berdasarkan
pengalaman pribadi maupun informasi yang didengar dari orang lain.
d. Penarikan diri, atau withdrawal, merujuk pada tindakan menarik diri dari interaksi atau
komunikasi karena adanya perbedaan dalam berbagai aspek, seperti sikap dan perilaku.
e. Ketiadaan empati merujuk pada ketidakmampuan untuk merasakan atau memahami situasi
dari perspektif individu yang berasal dari kelompok etnik atau bangsa yang berbeda.
f. Jarak kekuasaan adalah dampak dari adanya perbedaan tingkat kekuasaan. Dalam situasi
ini, biasanya individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan dapat menjaga jarak dengan
kelompok lain.
g. Stereotip merujuk pada penilaian emosional terhadap seseorang dengan cara
menggeneralisir atau menganggap semua individu dari kelompok tertentu memiliki sifat dan
perilaku yang sama. Dalam konteks yang sama, stereotip juga dapat diartikan sebagai
prediksi umum berdasarkan interpretasi yang telah kita buat sebelumnya. Saat kita melihat
orang lain dengan stereotip tertentu, kita cenderung membuat perkiraan lebih lanjut
mengenai karakteristik orang tersebut.

Peran Teknologi dalam Komunikasi Multikultural

B. Karakteristik Komunikasi Multikultural


Komunikasi Multikultural merupakan konsep yang memperhatikan dan menitikberatkan
pada aspek saling menghormati keberagaman buday, sukum dan latar belakang social yang ada
dalam masyarakat. Konsep ini berfokus pada aspek-aspek komunikasi dengan pendekatan yang
lebih inklusif, mengakui dan menghormati perbedaan dalam masyarakat. Dalam konteks
keislaman komunikasi multikultural merupakan pendekatan dakwah yang mengakui dan
menghargai pluralitas umat manusia dalam rangka membangun hubungan yang harmonis antara
muslim dan non-muslim (Prianto, 2023).
Maka dalam karakteristik dari komunikasi multikultural meliputi sebagai berikut (Riyanto,
2019):
Prtama, Mengembangkan sikap toleransi melibatkan penghormatan terhadap keberagaman
keyakinan, budaya, dan latar belakang sosial dalam masyarakat. Hal ini juga mencakup promosi
sikap saling menghormati dan kerjasama di antara umat beragama. Pencapaian tujuan
pembangunan nasional untuk menjadi bangsa yang bersaing secara global sangat tergantung
pada sikap toleransi umat beragama. Jika bangsa kita terus diwarnai oleh konflik internal, baik
antar umat beragama maupun di dalam kelompok agama tertentu, maka kemampuan bersaing
kita pada tingkat internasional akan terkendala.
Kedua, menciptakan kesempatan untuk berdialog secara terbuka. Merangsang komunikasi
yang terbuka dan saling pemahaman antara umat beragama dengan tujuan mendalami
pemahaman tentang keyakinan dan praktik masing-masing, serta membentuk hubungan yang
harmonis. Pentingnya mencoba meneladani sikap Rasulullah dalam memperlakukan umat yang
berbeda keyakinan.
Ketiga, Sikap inklusivitas melibatkan pengakuan bahwa setiap individu memiliki hak untuk
menjalankan agama dan keyakinannya tanpa adanya tekanan atau perlakuan diskriminatif.
Sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah selama periode Madinah.
Keempat, memajukan keadilan sosial. Mendukung prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, dan
kesejahteraan sosial dalam masyarakat, serta berperan aktif dalam melawan segala bentuk
ketidakadilan dan penindasan. Sikap keadilan sosial dalam konteks multikultural beragama
mengacu pada prinsip kesetaraan, keadilan, dan pemerataan dalam perlakuan terhadap individu
dan kelompok agama yang beraneka ragam

C. Pluralisme Agama
Definisi dan Ruanglingkup
Istilah "pluralisme agama" seringkali disalahpahami atau memiliki pengertian yang kurang
jelas. Meskipun terminologi ini sangat populer dan diterima secara luas, terutama setelah
Konsili Vatikan II yang memunculkan banyak kajian internasional, namun sangat mengejutkan
bahwa sedikit yang berusaha untuk memberikan definisi yang tegas terhadap pluralisme agama.
Seakan-akan wacana mengenai pluralisme agama telah mencapai kesepakatan konsensus dan
dianggap sebagai sesuatu yang sudah menjadi pokok pikiran. Karena dampaknya yang begitu
luas, istilah ini perlu didefinisikan dengan jelas, baik dari segi arti literal maupun dalam konteks
di mana istilah tersebut banyak digunakan (Hanik, 2014).
Secara etimologis, istilah "pluralisme agama" berasal dari dua kata, yaitu "pluralisme" dan
"agama". Dalam bahasa Arab, diterjemahkan sebagai "al-ta'addudiyyah al-diniyyah" dan dalam
bahasa Inggris sebagai "religious pluralism". Karena istilah ini berasal dari bahasa Inggris,
definisi yang akurat dapat merujuk pada kamus bahasa tersebut. "Pluralism" berarti "jama" atau
lebih dari satu, dengan tiga pengertian dalam kamus bahasa Inggris. Pertama, dalam konteks
kegerejaan, merujuk pada orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur
kegerejaan. Kedua, dalam konteks filosofis, merujuk pada sistem pemikiran yang mengakui
adanya lebih dari satu landasan pemikiran yang mendasar. Ketiga, dalam konteks sosio-politis,
merujuk pada sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok dengan tetap
menjunjung tinggi perbedaan dan karakteristik masing-masing.
Sementara itu, definisi agama dalam wacana pemikiran Barat telah menjadi subjek
perdebatan dan polemik yang tak berkesudahan di berbagai bidang ilmu, seperti filsafat agama,
teologi, sosiologi, antropologi, dan ilmu perbandingan agama. Sulit untuk mencapai definisi
agama yang diterima oleh semua kalangan, bahkan ada yang berpendapat bahwa agama adalah
konsep yang tidak dapat didefinisikan.
Agama dapat didefinisikan melalui tiga pendekatan, yaitu "fungsi", "institusi", dan
"substansi". Ahli sejarah sosial cenderung mendefinisikan agama sebagai institusi historis, suatu
pandangan hidup yang terinstitusionalisasi dan mudah dibedakan dari pandangan hidup sejenis.
Contohnya, perbandingan antara agama Budha dan Islam dapat dilakukan dengan melihat latar
belakang sejarah keduanya serta perbedaan dalam sistem kemasyarakatan, keyakinan, ritual, dan
etika ajaran keduanya.
Di sisi lain, ahli sosiologi dan antropologi lebih cenderung mendefinisikan agama dari sudut
fungsi sosialnya, yaitu sebagai suatu sistem kehidupan yang mengikat manusia dalam satuan-
satuan atau kelompok sosial. Pemikiran ini diperkuat oleh konsep-konsep yang diusulkan oleh
Durkheim, Robert N. Bellah, Thomas Luckmann, dan Clifford Geertz. Sedangkan para ahli
teologi, fenomenologi, dan sejarah agama lebih condong melihat agama dari aspek substansinya
yang sangat mendasar, yaitu sesuatu yang sakral (the sacred). Pendapat ini dianut oleh Rudolf
Otto dan Mircea Eliade.
Gus Dur menyoroti pendapatnya tentang pluralisme agama yang lebih menekankan pada
inklusivitas. Konsep inklusivitas ini terwujud dalam tindakan dan pemikiran yang menghasilkan
sikap toleransi. Menurutnya, toleransi tidak bergantung pada tingkat pendidikan formal atau
kecerdasan alamiah, melainkan merupakan isu yang lebih terkait dengan hati dan perilaku
seseorang. Gus Dur menekankan bahwa semangat toleransi dapat ditemukan pada siapa pun,
tanpa memandang tingkat pendidikan atau kekayaan, dan seringkali terdapat pada "orang-orang
terbaik" yang tidak pintar dan tidak kaya. Melalui pendekatan inklusif ini, Gus Dur merangkul
keberagaman dan mengajak untuk bertindak dan berpikir secara terbuka dalam masyarakat
(Arif, 2013).

D. Tujuan Komunikasi Multikultural dan Pluralisme Agama


Pemahaman dan Integrasi Masyarakat
Komunikasi multikultural dan pluralisme agama bertujuan untuk menciptakan masyarakat
yang penuh pemahaman dan integrasi di tengah beragamnya budaya dan keyakinan. Tujuan
pertama adalah meningkatkan pemahaman antar budaya, mencakup norma-norma, nilai-nilai,
dan tradisi masyarakat yang beragam. Ini diwujudkan melalui kegiatan dialog, seminar, dan
lokakarya yang melibatkan partisipasi aktif dari berbagai kelompok masyarakat.
Selanjutnya, tujuan kedua adalah mendorong sikap toleransi dan inklusivitas terhadap
perbedaan budaya dan agama. Komunikasi multikultural berfokus pada membangun kesadaran
akan pentingnya menerima dan menghormati perbedaan. Kampanye penyuluhan, kelompok
dialog antaragama, dan proyek kolaboratif menjadi implementasi konkrit untuk mencapai tujuan
ini.

Tujuan ketiga adalah mengurangi prasangka dan stereotip negatif antar kelompok budaya
dan agama. Komunikasi multikultural berupaya membuka ruang dialog yang meruntuhkan
prasangka dan stereotip melalui kampanye media, pendidikan multikultural di sekolah, dan
promosi narasi positif.

Selanjutnya, komunikasi multikultural dan pluralisme agama juga bertujuan menciptakan


kehidupan bersama yang harmonis di tengah perbedaan. Proyek-proyek pembangunan
masyarakat yang melibatkan partisipasi semua kelompok, termasuk pembangunan infrastruktur
bersama dan kegiatan sosial, dianggap sebagai sarana untuk mencapai tujuan ini.

Tujuan kelima adalah meningkatkan partisipasi dan keterlibatan semua kelompok dalam
kegiatan sosial, ekonomi, dan politik. Komunikasi multikultural mendorong terciptanya ruang
partisipatif di mana semua komunitas dapat berkontribusi dalam pengambilan keputusan,
penyelenggaraan acara bersama, dan program kerja sama.

Akhirnya, komunikasi multikultural dan pluralisme agama memiliki tujuan memperkuat


identitas bersama yang menghargai keberagaman sebagai kekuatan dan kekayaan masyarakat.
Penciptaan narasi bersama melalui perayaan kebudayaan bersama, pembentukan simbol-simbol
bersama, dan promosi nilai-nilai universal menjadi upaya untuk membangun identitas yang
bersatu dalam keberagaman. Dengan mencapai tujuan-tujuan ini, diharapkan masyarakat dapat
berkembang menjadi entitas yang kuat, inklusif, dan penuh toleransi di tengah perbedaan
budaya dan agama.

Kesimpulan

Dalam menghadapi keberagaman, terutama di Indonesia yang dikenal dengan keberagaman


keyakinan, budaya, dan ideologi, Komunikasi Multikultural dan Pluralisme Agama muncul sebagai
alternatif dan solusi yang sangat relevan. Komunikasi Multikultural, sebagai kerangka kerja,
memberikan landasan untuk berkomunikasi secara efektif di tengah-tengah perbedaan. Pendekatan
ini mencakup pemahaman mendalam tentang keberagaman masyarakat, membangun dialog
terbuka, dan menghargai perspektif yang berbeda.
Pluralisme Agama, sebagai basis dasar, menunjukkan pentingnya mengakui dan menghargai
keberagaman keyakinan. Dengan mendorong sikap inklusif, pluralisme agama mengajarkan
toleransi, saling menghormati, dan kerjasama antarumat beragama. Pemahaman mendalam tentang
ajaran-ajaran agama yang berbeda membantu memecahkan prasangka dan stereotip, membuka pintu
untuk integrasi masyarakat yang harmonis.

Kombinasi Komunikasi Multikultural dan Pluralisme Agama diharapkan dapat menciptakan


lingkungan yang inklusif, di mana setiap individu dan kelompok merasa diakui dan dihormati. Hal
ini juga dapat menjadi landasan untuk membangun identitas bersama yang kuat, yang menghargai
keberagaman sebagai kekayaan budaya dan spiritual. Dengan demikian, kedua pendekatan ini
menjadi instrumen penting dalam mencapai keselarasan dan kerukunan dalam masyarakat yang
heterogen seperti Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Al Mubarakfuri, S. (2014). Sirah Nabawiyah. In Kathur Suhardi. Pustaka Kautsar.

Arif, S. (2013). Humanisme Gusdur (p. 100).

Baran, S. J. (2012). Pengantar Komunikasi Massa Melek Media dan Budaya (S. R. Manalu (ed.)). Erlangga.

Fikri, H. K. (2021). Strtategi dan Solusi Dakwah Pada Masyarakat Multikultural. Mudabbir : Jurnal
Manajemen Dakwah, 138–150.

Hanik, U. (2014). PLURALISME AGAMA DI INDONESIA. Jurnal Pemikiran Keislaman, 25(1).


https://doi.org/10.33367/tribakti.v25i1.154

Hosen, N. (2005). Religion and the Indonesian Constitution: A Recent Debate. Journal of Southeast Asian
Studies, 36(3), 419–440.

Miskan. (2023). Komunikasi Multikultural Di Era Globalisasi. Jurnal Ilmu Sosial Dan Pendidikan, 7(2),
1640–1646. https://doi.org/10.58258/jisip.v7i1.4986/http

Prianto, A. T. (2023). Komunikasi Dakwah Berbasis Multikultural Prespektif Al-Qur’an. Bil Hikmah, 1(1).

Purwasito, A. (2004). Komunikasi multicultural (p. 197). Pustaka Pelajar.

Raco, J. (2018). Metode penelitian kualitatif: jenis, karakteristik dan keunggulannya.


https://doi.org/10.31219/osf.io/mfzuj

Riyanto, B. (2019). Media Sosial dan Multikulturalisme. Research Fair Unisri 2019, 3(1), 188–196.
Rosi, B. (2020). Literasi Komunikasi Multikultural Sebagai Legal Maxims Ukhuwah Wathoniyah. Al-
Ittishol, 1(1), 14.

Samovar, L. (2004). Communication Between Culture. In Fifth edition.Thomson Wadsworth.

Samovar, L. (2013). Communication Between Cultures.

Taylor, E. W. (1994). A learning model for becoming interculturally competent. International Journal of
Intercultural Relations, 18(3), 389–408. https://doi.org/10.1016/0147-1767(94)90039-6

Zuhriyah, L. F. (2012). Dakwah Inklusif Nor Holis Madjid. Komunikasi Islam, 2(1), 219.

Anda mungkin juga menyukai