Anda di halaman 1dari 7

Pernikahan antar Budaya Tionghoa dan Sunda

Disusun Oleh:

Donabella Alda Keshena


153190075

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2022
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Kebudayaan merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Menurut
KBBI budaya berasal dari kata pikiran; akal budi: hasil, adat istiadat: menyelidiki bahasa dan,
sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab,maju) dengan kata lain
budaya merupakan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar untuk diubah. Menurut
Tylor, kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lain. Oleh sebab itu,
setiap manusia yang melakukan komunikasi dengan manusia lain tidak akan dapat
melepaskan budaya yang sudah melekat pada dirinya. Syarat komunikasi sendiri terjadi
ketika komunikan mengirim pesan dan diterima oleh receiver. Komunikasi akan tetap
berjalan meskipun kedua belah pihak memiliki perbedaaan budaya yang signifikan apabila
dikehendaki. Komunikasi yang terjadi diantara budaya-budaya yang berbeda yang dimiliki
oleh komunikator dan komunikan akrab disebut sebagai komunikasi antarbudaya. Menurut
Deddy Mulyana, pengertian komunikasi antar budaya atau dalam bahasa inggris disebut inter
cultural communication adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang yang
berbeda budayanya. Menurut Alo Liliweri pengertian dari komunikasi antarbudaya
merupakan komunikasi antar dua orang atau lebih yang memiliki perbedaan latar belakang
kebudayaan.

Gambar 1

Penjelasan dari model komunikasi antarbudaya tersebut menunjukkan A dan B merupakan


dua orang yang memiliki perbedaan latar belakang kebudayaan. Melalui latar belakang
tersebut menciptakan sebuah perbedaan kepribadian dan persepsi mereka terhadap relasi.
Ketika A dan B melakukan komunikasi/percakapan itulah disebut sebagai komunikasi
antarbudaya yang dimana kedua belah pihak saling menerima perbedaan diantara mereka. A
dan B mampu mengerti bahwa komunikasinya bersifat adaptif dimana A dan B saling
menyesuaikan diri sehingga komunikasi antarbudaya dapat terlaksana dengan efektif.

Budaya bersifat unik. Budaya merupakan hal yang tidak sederhana. Budaya memiliki
pengaruh kuat terhadap realitas seseorang bahkan langsung memberi pengaruh terhadap
budaya, persepsi dan perilaku seseorang. Menurut Chiu dan Hong setiap proses kognitif
dasar, seperti perhatian maupun persepsi merupakan buah dari pengalaman budaya masing-
masing individu. Budaya memberikan “kacamata” dan sebagian besar yang dialami setiap
individu biasanya akan menggunakan “kacamata” tersebut dalam setiap kesempatannya atau
secara sederhananya, persepsi merupakan suatu hal yang ditentukan oleh budaya yang dianut
setiap masing-masing manusia. Namun, persepsi seseorang tersebut bersifat subjektif dan
tidak ada manusia yang mempunyai nilai-nilai budaya yang sama persis, maka tidak pernah
pula ada dua orang yang mempunyai persepsi yang sama pula.

Hal ini juga berlaku pada pernikahan antarbudaya. Ketika dua insan yang memiliki perbedaan
budaya maka sudah semestinya mengetahui bahwa pandangan atau persepsinya nanti tidak
akan sama persis pula. Oleh karena itu, hal ini menjadi latar belakang penulis dalam
melakukan penelitian tersebut untuk mengetahui bagaimana berjalannya suatu hubungan
dengan perbedaan budaya khususnya pernikahan antara budaya Tionghoa dengan Sunda
didalamnya.

II. Rumusan Masalah


Didapat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana dinamika yang terjadi pada pernikahan antarbudaya Tionghoa-Sunda?

III. Tujuan
Dirumuskan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dinamika yang terjadi pada pernikahan antarbudaya Tionghoa-
Sunda

IV. Metode Penelitian


Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi.
Pengertian dari fenomologi secara harfiah, fenomenologi berasal dari kata pahainomenon
yakni bahasa Yunani berarti gejala atau segala sesuatu yang menampakkan diri. Istilah ini
dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni fenomena itu selalu menunjuk keluar dan
fenomena dari sudut pandang kesadaran kita (Helaluddin). Fokus penelitian fenomologis ini
merupakan memahami bagaimana dinamika yang terjadi pada pernikahan antarbudaya
Tionghoa-Sunda di Yogyakarta. Penelitian kualitatif menggunakan teknik pengumpulan
voluntary response sampling. Teknik voluntary response sampling menunjukkan bahwa
narasumber secara sukarela mau menjadi bagian dalam penelitian. Metode pengumpulan data
observasi yakni pengamatan secara langsung.

PEMBAHASAN
Perlu diketahui bahwa ada enam unsur budaya secara langsung mempengaruhi persepsi
ketika berkomunikasi dengan budaya lain antara lain terdapat;

a. Kepercayaan (belief), nilai (values), dan sikap (attitudes)


Tidak dapat dipungkiri, kepercayaan merupakan hal yang tidak dapat di hilang dari
perspektif setiap manusia yang percaya. Nilai merupakan komponen evaluative dari
kepercayaan yang dimiliki seperti; kegunaan, estetika, kebaikan, dan kepuasan.

b. Pandangan dunia (worldview)


World view terdiri tas orientasi budaya terhadap Tuhan, kehidupan dan kematian,
kebenaran, alam semesta, materi, dan isu-isu lainnya.

c. Organisasi sosial
Organisasi sosial baik formal maupun informal tentu akan mempengaruhi perspesktif
manusia dalam melihat dunia dan kehidupan ini dan hingga akhirnya juga akan
mempengaruhi perilaku setiap manusia baik sadar maupun tidak. Seperangkat
peraturan tertulis maupun tidak yang ditetapkan oleh organisasi nonformal akan
mempengaruhi cara berkomunikasi, begitupun perangkat aturan yang ditetapkan
pemerintah.

d. Tabiat manusia (human nature)


Pandangan tentang setiap individual, sifat dan watak akan mempengaruhi cara kita
mempersepsi lingkungan fisik maupun sosial

e. Orientasi kegiatan

f. Persepsi tentang diri dan orang lain


“Masyarakat timur pada umumnya adalah masyarakat kolektivis, dalam budaya
kolektivis , diri (self) tidak bersifat unik atau otonom, melainkan lebur dalam
kelompok ( keluarga, klan, kelompok kerja, suku, bangsa, dan sebagainya),
sementara diri dalam individualis (barat) bersifat otonom. Akan tetapi suatu budaya
sebenarnya dapat saja memiliki kecendrungan individualis dan kolektivitas, hanya
saja, seperti orientasi kegiatan, salah satu biasanya lebih menonjol.”(Mulyana, 2010)

Jika dilihat dari beberapa budaya (6 unsur budaya) diatas yang mungkin saja muncul ketika
melakukan komunikasi dengan orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda tentu dapat
menjadi tantangan tersendiri bagi perseorangan. Apalagi jika hal ini terjadi pada pasangan
yang memiliki kebudayaan yang berbeda. Salah satu contohnya ialah subjek pada penelitian
kali ini yakni seorang ibu rumah tangga (tionghoa) yang dinikahi oleh pria sunda.

Menurut Romano tahun 2008 pernikahan yang terjadi antara perbedaan budaya kini semakin
kuat pada abad 21 ini. Hal ini dikarenakan mobilitas dan aksesbilitas meningkat, akan
semakin meningkat frekuensi orang melakukan perjalanan dari daerah ke daerah lainnya,
pindah tempat tinggal, bersekolah, wisata maupun bekerja di luar negeri.

Telah diketahui bahwa salah satu tujuan dari melakukan pernikahan adalah melanjutkan
keturunan sekaligus mewariskan budaya dan adat istiadat. Hal ini juga berlaku untuk
masyarakat yang memiliki darah Tionghoa di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri beberapa
masyarakat yang memiliki darah Tionghoa tidak menyarankan keturunannya untuk menikah
dengan orang diluar etnisnya.

Hal serupa juga dirasakan oleh subjek penelitian kali ini, di awal pernikahan bukanlah hal
yang mudah untuk dilewati. Banyak hal yang harus disesuaikan dengan pasangan yang
memiliki latar belakang berbeda, daerah yang berbeda, nilai kehidupan yang mungkin juga
beda dan tentunya budaya yang berbeda. Orang tua dari subjek awalnya cukup
menyayangkan subjek menikah dengan orang yang memiliki budaya yang berbeda dengan
keluarga besarnya. Seperti 6 aspek budaya diatas yang mampu mempengaruhi cara pandang
seseorang dalam berkomunikasi, hal ini adalah bukti nyata dari teori tersebut beberapa aspek
yang menyangkut kepercayaan (belief), nilai (values), dan sikap (attitudes) dapat menjadi
acuan seseorang dalam memilih siapa yang akan diajak berkomunikasi.

Namun, karena hidup adalah pilihan, pada akhirnya subjek memilih untuk menikah dengan
seseorang yang memiliki latar belakang dan budaya yang berbeda. Tentu banyak konsekuensi
yang harus diterima ketika seorang Tionghoa menikah dengan non-Tionghoa. Beberapa
keluarga terutama keluarga yang masih memegang kental budaya Tionghoa menganggap
bahwa jika anggota keluarganya menikah dengan pribumi maka derajatnya akan turun dan
terancam tidak mendapat warisan. Beruntungnya hal ini tidak terjadi pada subjek.
Keluarganya masih mau menerima keputusan anaknya dan masih mengganggap pasangan
tersebut.

Pernikahan bukanlah hal yang sederhana. Pernikahan bukan hanya sekedar dua insan bersatu
dalam suatu ikatan janji suci, namun keluarga dari kedua belah pihak juga ikut bersatu. Oleh
karena itu, pernikahan dari dua kebudayaan bukanlah hal yang simple. Pernikahan tersebut
juga tidak hanya memberikan satu kali dampak untuk kedua belah pihak saja. Namun, hal ini
juga akan memberikan dampak untuk keturunannya kelak.

Hal ini dibuktikan ketika kedua anaknya lahir. Indonesia memang memiliki kekayaan
budaya, adat istiadat, dan bahasa yang beraneka ragam tersebar luas di seluruh penjuru
Indonesia, namun keanekaragaman tersebut seolah tidak menjadi hal yang diindahkan oleh
beberapa masyarakat. Masih banyak masyarakat yang tidak dapat menghargai toleransi. Anak
dari pernikahan perbedaan budaya ini mendapat perlakuan rasisme dari beberapa teman-
temannya di sekolah. Perlakuan rasisme tersebut dikarenakan penampilan dari anak tersebut
yang terlihat “chinese”. Hal ini terjadi, karena anak tersebut mengambil pendidikannya di
sekolah negeri dimana banyak anak-anak dengan etnis Jawa dengan sifat intoleran.

Menurut Aguilar tahun 2001 “diskriminasi terhadap keturunan Tionghoa merupakan produk
ideologi dari proses sosial historis di Indonesia, terutama saat membangun negara (setelah
meraih kemerdekaan” (Pertiwi, 2021). Beberapa masyarakat yang masih memiliki sifat tidak
menghargai perbedaan percaya bahwa etnis Tionghoa di Indonesia serakah dan ambisius.
Etnis Tionghoa hanya fokus dengan dirinya untuk memperkaya diri sendiri dan hanya peduli
dengan golongannya sendiri.

Pada pernikahanan subjek sempat menjadi sebuah perdebatan untuk memilih sekolah mana
yang baik untuk anak mereka. Subjek dengan persepsi yang dibawanya menginginkan
anaknya untuk sekolah di swasta dengan mayoritas peranakan Tionghoa. Sedangkan bagi
pasangannya, menginginkan anaknya untuk bersekolah di sekolah negeri agar mampu
beradaptasi serta berbaur dengan lingkungan sekitarnya. Bagi orang tua maksud dari
keduanya sebenarnya memiliki nilai yang sama-sama baik, namun melihat realitas dan
fenomena yang terjadi di masyarakat lah yang harus menjadi pertimbangan. Orang tua harus
pandai dalam mengarahkan lingkungan pergaulan anak agar tumbuh menjadi anak yang baik
dengan nilai yang baik pula. Namun, sayangnya kembali ke masalah tadi masih banyak
masyarakat yang belum menerapkan nilai toleransi sejak dini. Hal itu dibuktikan dari anak
dari hasil pernikahan dua budaya yang berbeda mendapatkan perlakuan intoleran dari teman-
teman sebayanya.

Tak hanya itu, nilai-nilai kehidupan sehari-hari dari pasangan yang memiliki latar belakang
dan budaya yang berbeda tentu memiliki kebiasaan yang berbeda pula. Salah satu contohnya
adalah budaya tahun baru Imlek bagi masyarakat Tionghoa. “Imlek atau Sin Cia adalah
tradisi pergantian tahun. Kata Imlek (im = bulan, lek = penanggalan) berasal dari dialek
Hokkian atau Bahasa Mandarinnya Yin Li yang berarti kalender bulan (Lunar New Year).
Menurut sejarah Sin Cia merupakan sebuah perayaan yang dilakukan oleh para petani di
Tiongkok yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baru” (Br
Tambunan & Pardede, 2017)
Beberapa budaya yang dianut sebelum tahun baru Imlek yang harus dilakukan adalah;
1. Dilarang menggunting rambut
Menurut kepercayaan leluhur, sebagai masyarakat Tionghoa tidak boleh memotong
atau menggunting rambut saat tahun baru Imlek. Beberapa alasan diantaranya adalah
dianggap keberuntungan akan ikut terpotong sepanjang tahun jika melakukan
pantangan tersebut.

2. Melunasi semua tagihan dan hutang finansial yang tertundah kepada pihak lain
Masyarakat berdarah Tionghoa dilarang berhutang atau meminjam uang di hari tahun
baru Imlek, dan usahakan semua hutang harus dibayar dan lunas sebelum tahun baru
Imlek. Tujuannya agar memulai tahun baru tanpa adanya beban finansial seperti
hutang dari tahun sebelumnya.
3. Pada pagi hari tidak boleh ada pakaian dan piring kotor
4. Tidak dianjurkan untuk mencuci rambut
5. Tidak diperbolehkan untuk menyapu rumah, dan masih banyak lagi.

Bagi masyarakat awam yang tidak memiliki darah Tionghoa tentu akan merasa bahwa tradisi
tersebut kurang masuk akal terutama dilarang membersihkan dan menyapu rumah saat tahun
baru. Hal ini juga dirasakan oleh subjek dan pasangannya. Pasangannya yang memiliki
perbedaan budaya kurang bisa menerima tradisi tersebut. Perdebatan pun terjadi yang
mengakibatkan subjek mengalah dan membiarkan pasangan membersihkan rumah saat tahun
baru Imlek. Mungkin, bagi sebagian orang hal tersebut hanyalah masalah sepele. Namun,
apabila tidak dapat dicari jalan tengahnya tentu akan membuat rasa kurang nyaman antara
kedua pasangannya. Terutama ketika ada pasangan yang merasa tidak dihargai budayanya.
Lagi-lagi soal aspek kepercayaan (belief) yang menjadi permasalahan utama pada kedua
pasangan tersebut.

Meskipun subjek dan pasangan sering memiliki perbedaan pandangan, namun keduanya
dapat menjadi bukti bahwa pernikahan beda budaya bukanlah hal yang buruk. Sebagai
manusia, belajar merupakan hal yang dapat dilakukan seumur hidup. Pada kasus ini, belajar
untuk mengerti dan memahami pasangan yang memiliki latar budaya yang berbeda menjadi
fokus utama hubungan keduanya. Keduanya juga telah menikah dari tahun 1992 sudah
terhitung 29 tahun bersama hingga akhirnya pasangan (suami) subjek meninggal dunia.

Pernikahan antarbudaya memang tidaklah mudah. Akan banyak dinamika didalamnya saat
menjalani hubungan tersebut. Namun, semuanya akan indah apabila keduanya mampu
menghargai perbedaan yang dimilikinya.

KESIMPULAN
Meskipun tidak mudah hidup dengan seseorang yang memiliki perbedaan budaya dengan diri
sendiri, namun banyak hal positif lainnya yang dapat diambil dari setiap individu setiap
pasangan. Banyak pembelajaran hidup yang akan didapat, mulai dari belajar budaya baru,
belajar bahasa baru, belajar kebiasaan dan adat istiadat baru dan hal tersebut dapat
menunjukkan bahwa dunia tidak sesempit ini. Banyak budaya diluar sana yang mampu
membukakan pikiran setiap manusia yang mau mempelajarinya, semua hal itu memberi
pelajaran bahwa dunia ini terlalu sempit apabila hanya fokus pada budayanya masing-masing
yang telah dibawa sejak lahir. Oleh karena itu, pernikahan beda budaya merupakan sesuatu
yang indah bagi manusia yang mampu memaknainya. Solusi untuk kendala dari penelitian
diatas adalah perlunya pemahaman lebih dalam lagi bagi setiap individu pasangan. Setiap
pasangan dituntut untuk cerdas dan bijaksana dalam menemui perbedaan budaya yang ada
untuk keberlangsungan hubungan. Selain itu, setiap pasangan juga harus paham dan mengerti
konsekuensi dari pilihannya akan menikahi seseorang yang bukan dari budaya yang sama.
Setiap pasangan mesti tahu bahwa perbedaan keyakinan pasti akan terjadi. Namun, hal itu
kembali lagi bagaimana tiap individu pasangan menyikapinya.

DAFTAR PUSTAKA

Helaluddin. (n.d.). Mengenal Lebih Dekat dengan Pendekatan Fenomologi. 6.


Mulyana, D. (2010). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar.
Pertiwi, M. (2021). Perkembangan Sentimen anti-Tionghoa di Indonesia. Kaganga Komunika
(Journal of Communication Science), 83.
Br Tambunan, J., & Pardede, Z. H. (2017). Mitos Tradisi Perayaan Tahun Baru Imlek. Pantun
Jurnal Ilmiah Seni Budaya, 113.
(n.d.).

Anda mungkin juga menyukai