Anda di halaman 1dari 8

Materi ccu

Pendahuluan

Perbedaan budaya merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan
manusia. Pluralitas dan kondisi dinamis memungkinkan budaya manusia terus
berkembang serta memiliki keberagaman yang semakin banyak. Kepentingan individu
seringkali berbenturan dengan budaya diluar komunitas atau lingkungan yang lebih
luas. Hal ini memungkinkan terciptanya sebuah upaya pengenalan budaya-budaya baru
yang merupakan hasil akulturasi maupun inkulturasi. Sebuah masyarakat trandisional
dalam era global saat ini, tidak dapat terhindarkan untuk membuka diri dan bergelut
dengan budaya baru yang membawa paradigma baru bagi perkembangan peradaban
manusia.
Secara geografis, kondisi Indonesia yang terdiri dari kurang lebih 18.000 pulau dan 5
diantaranya merupakan pulau-pulau besar (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan
Papua). Memungkinkan Indonesia memiliki kekayaan budaya dan peradaban manusia.
Dengan jumlah sebaran suku bangsa sekitar 1.340 suku bangsa di seluruh wilayah
Indonesia, hal ini menyebabkan budaya, tradisi dan kebiasaan yang berbeda mungkin
saja terjadi dalam relasi sosial. Hadirnya budaya pinggir pantai dan budaya gunung
juga menambah kekayaan sosial berdasarkan garis geografis. Selain itu segmentasi
sebaran masyarakat urban (kota), sub urban dan desa, menjadikan kompleksitas
penerimaan budaya tertentu dengan mudah terjadi. Dengan kekayaan kompleksitas
demikian, maka Indonesia sebagai negara kesatuan haruslah dikenalkan pada
pemahaman sosial lintas budaya, untuk menjamin terciptanya kesatuan tujuan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Era globalisasi juga memberikan tantangannya tersediri terhadap pluralitas budaya.
Nilai-nilai universal yang melandaskan pada rasionalitas barat hadir dan diterima di era
globalisasi. Hak Asasi Manusia yang juga memperjuangkan hak-hak LGBT, demokrasi
barat yang mengedepankan suara terbanyak dan keadaban dalam berpolitik,
kebebesan serta keterbukaan terhadap perdagangan internasional dan teknologi yang
melewati batas-batas kemanusiaan, menciptakan budaya baru yang lain bentuknya.
Budaya ini berkembang sangat cepat dan memiliki pengaruh sangat luas. Desa-desa
yang telah terkoneksi dengan internet, mengalami perubahan cara pandang yang
cepat. Barang-barang dari desa dapat diekspor ke luar negeri dan bersaing dengan
produk sejenis lainnya dari negara lain. Budaya dan peradaban manusia berbagai jenis
bertemu dan berinteraksi di era globalisasi. Hal ini tidak dapat terhindarkan oleh setiap
masyarakat dimuka bumi ini.
Melihat kondisi tersebut, maka pemahaman lintas budaya atau yang lebih dikenal
dengan Cross Cultural Understanding (CCU) adalah salah satu kompetensi yang
dibutuhkan oleh manusia abad ini. Aktivitas manusia merupakan produk dari budaya,
dan produk ini akan saling berinteraksi dalam masyarakat plural tanpa batas. Hal positif
dan negative berinteraksi dengan cara pandang yang baru. Budaya kekeluargaan orang
Asia dipertemukan dan diperkenalkan dengan budaya individualistisnya orang barat
(Amerika & Eropa). Budaya ketertutupan orang timur diperhadapkan dengan budaya
keterbukaan orang barat. Dan masih banyak lagi pertemuan budaya antar kutub,
bangsa dan suku bangsa di saat ini. Hal ini memungkinkan manusia perlu memahami
budaya orang lain, agar dapat berkomunikasi secara efektif dan efesien. Dengan
mengenal perbedaan budaya, aktivitas, kebutuhan dan kebiasaan, maka seseorang
dibekali untuk memahami berbagai bentuk budaya, berkomunikasi dengan cara yang
tepat dan tidak mengalami benturan budaya/ geger budaya (shock culture).
Menurut Bennet, Bennet & Allen (2003), menyatakan bahwa pemahaman lintas
budaya adalah kemampuan untuk bergerak dari sikap etnosentrik menuju sikap
menghargai budaya lain, hingga akhirnya menimbulkan kemampuan untuk dapat ber-
perilaku secara tepat dalam sebuah budaya atau budaya-budaya yang berbeda.
Pemahaman lintas budaya pada dasarnya ibarat memiliki sebuah peran ganda. Corbett
(2003) menyatakan bahwa pemahaman lintas budaya melebihi kemampuan untuk me-
niru penutur asli. Pemahaman lintas budaya merupakan kemampuan yang
memposisikan pembelajar bahasa pada posisi seorang utusan atau diplomat, yang
mampu melihat dan berkomunikasi dengan budaya-budaya yang berbeda melalui sudut
pandang orang yang memiliki kemampuan komunikasi tersebut.

Konsep Budaya
Menurut Koentjaraningrat (2000) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari
bahasa sansakerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau
“akal”. Dengan demikian Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai “daya budi”
yang berupa cipta, karsa dan rasa. Selanjutnya kebudayaan itu sendiri adalah hasil dari
cipta, karsa, dan rasa itu. Jadi kebudayaan atau disingkat budaya, menurut
Koentjaraningrat merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar. Selanjutnya Koentjaraningrat membedakan adanya tiga wujud dari kebudayaan
yaitu: (1) Wujud kebudayaan sebagai sebuah kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-
nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. (2) Wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam suatu masyarakat. (3)
Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Hawkins (dalam Liliweri,
2004) juga mengatakan bahwa budaya adalah suatu kompleks yang meliputi
pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat-istiadat serta kemampuan dan kebiasaan
lain yang dimiliki manusia sebagai bagian masyarakat
Dalam budaya ada konsep tentang identitas dan etnisitas yang merupakan hasil
konstruksi sosial. Dengan konstruksi sosial tersebut tercipta label atau identitas
tertentu, yang menyimbolkan asal, budaya dan ciri khas kelompok tertentu. Pentingnya
identitas ini bagi sebuah kelompok suku bangsa dan etnik, karena menjadi
kesinambungan masa lalu dan masa depan. Oleh karena itu, hampir semua identitas
kultural, dalam kaitan dengan identitas ikatan persaudaran, ras, ataupun etnik,
dibangun dalam konteks yang berhadap-hadapan dengan yang lain.
Teori relasional mendasarkan pada pandangan bahwa kelompok etnik merupakan
penggabungan dua entitas atau lebih yang memiliki persamaan maupun perbedaan
yang telah dibandingkan dalam menentukan pembentukan etnik dan pemeliharaan
batas-batasnya. Kesamaan-kesamaan yang ada pada dua atau lebih entitas yang
disatukan akan menjadi identitas etnik. Menurut perspektif relasional ini, etnik ada
karena adanya hubungan antara entitas yang berbeda-beda. Etnik tergantung pada
pengakuan entitas lain di luar kelompok etnik tersebut.
Pada perkembangan selanjutnya, budaya tidak hanya terfokus pada adat istiadat
tradisional. Namun juga memasuki pada tahap budaya popular. Menurut O’Brien and
Szeman (dalam Danesi, 2004) budaya populer adalah budaya yang ada karena
sekelompok orang membuat atau melakukannya untuk diri mereka sendiri. Karena hal
yang baru tersebut banyak diterima masyarakat maka muncullah budaya populer.
Selanjutnya, menurut Kundera (dalam Danesi, 2012) budaya populer adalah sesuatu
yang menarik untuk kita secara intuitif, karena tidak masalah seberapa banyak kita
merendahkannya, tapi ini adalah sebuah bagian integral dari kondisi manusia. Adapun
definisi budaya populer menurut Storey (2003) adalah sebagai berikut: A) Budaya
populer merupakan budaya yang menyenangkan dan disukai banyak orang; B) Budaya
populer adalah budaya sub standar yang mengakomodasi praktek budaya yang tidak
memenuhi persyaratan budaya tinggi. Budaya tinggi merupakan kreasi hasil kreativitas
individu, berkualitas, bernilai luhur, terhormat dan dimiliki oleh golongan elit, seperti
para seniman, kaum intelektual dan kritikus yang menilai tinggi rendahnya karya
budaya. Sedangkan budaya populer adalah budaya komersial (memiliki nilai jual)
dampak dari produksi massal; C) Budaya populer merupakan budaya massa, yaitu
budaya yang diproduksi oleh massa untuk dikonsumsi massa. Budaya ini dikonsumsi
tanpa pertimbangan apakah budaya tersebut dapat diterima di dalam masyarakat atau
tidak; D) Budaya populer berasal dari pemikiran postmodernisme. Hal ini berarti
pemikiran tersebut tidak lagi mengakui adanya perbedaan antara budaya tinggi dan
budaya populer dan menegaskan bahwa semua budaya adalah budaya komersial.
Budaya memiliki peranan penting dalam era globalisasi saat ini, akan tetapi budaya
memiliki hambatan yang dapat mempersulit dalam negosiasi dan berkomunikasi antar
budaya. Berikut ini merupakan hambatan-hambatan dalam memahami budaya lainnya,
yakni: 1) Etnosentrisme Northouse, mengemukakan bahwa etnosentrime adalah
kecenderungan bagi individu untuk menempatkan kelompok mereka sendiri di suatu
organisasi. Orang cenderung memberikan prioritas dan kepercayaan yang lebih
dibandingkan orang atau kelompok yang memiliki (etnis, ras, atau budaya) yang
berbeda. 2) Prasangka Northouse, mengemukakan bahwa prasangka adalah sikap,
keyakinan, atau emosi yang dimiliki oleh seorang individu tentang individu lain atau
kelompok yang didasarkan pada data yang tidak valid atau tidak berdasar.

Pentingnya Pemahaman Antar Budaya


Pemahaman antar budaya merupakan jembatan emas dalam menuju kesepahaman
dalam perbedaan. Menurut Brett (2000) menyatakan bahwa budaya merupakan faktor
kunci yang mempengaruhi sebuah proses negosiasi dan komunikasi. Selanjutnya
menurut Salacuse (2004), praktik negosiasi berbeda dari budaya ke budaya. Budaya
adalah faktor kunci yang mempengaruhi proses negosiasi dan hasil, selanjutnya nilai-
nilai budaya dapat mempengaruhi negosiasi bisnis internasional dalam cara yang
signifikan dan tak terduga dari tahap pertama sampai tahap terakhir dari negosiasi
(Leung et al, 2005). Demi mencapai tujuan dalam berkomunikasi antar budaya, penting
sekali untuk memahami budaya dari berbagai negara, daerah dan kelompok etnik.
Pemahaman lintas budaya yang luas akan membantu para negosiator dan komunikator
dalam melakukan dialog antar budaya. Pemahaman lintas budaya sebelum melakukan
komunikasi lintas budaya akan meningkatkan peluang keberhasilan dari tujuan
komunikasi tersebut. Pemahaman lintas budaya yang baik akan meningkatkan
kemungkinan keberhasilan dalam negosiasi. Sesuatu hal sangat mudah untuk dipahami
jika salah satu komunikator telah bertemu dengan partner komunikasinya sebelum
komunikasi dimulai dan diasumsikan memiliki percakapan yang menyenangkan serta
mengerti budaya masing-masing individu pada saat berkomunikasi. Dengan pola
komunikasi seperti ini, akan memudahkan pencapaian dari tujuan komunikasi.
Selain dari memudahkan komunikasi lintas budaya, dengan memahami antar
budaya, akan memudahkan seseorang membuat stratetgi untuk survive dalam
lingkungan yang plural. Seseorang yang bertahan dalam berbagai situasi adalah
mereka yang mau belajar dan menerima budaya orang lain. Dengan penerimaan
seperti ini, tiap orang akan dimudahkan dalam beradaptasi dengan lingkungan
sekitarnya. Kemampuan adaptasi mampu menjadi strategi cerdas dalam mencapai
sebuah tujuan kehidupan di lingkungan yang plural.

Sikap Berkomunikasi Antar Budaya


Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia. Saat ini kesadaran akan
pentingnya fungsi bahasa dalam meningkatkan kualitas SDM mulai tumbuh di
Indonesia. Banyak orang belajar Bahasa asing agar memahami budaya dan karakter
bangsa tersebut, selain dari ada tujuan untuk belajar hal lain di wilayah negara tersebut.
Upaya memahami Bahasa orang lain, merupakan bentuk dari komunikasi antar budaya.
Komunikasi bertujuan untuk menyampaikan ide, gagasan, dan perasaan. Dalam
komunikasi terdapat pesan-pesan atau informasi-informasi yang disampaikan. Namun,
tidak selamanya komunikasi dapat berjalan dengan lancar sehingga pesan atau
informasi-informasi tidak dapat tersampaikan dengan baik bahkan hal ini dapat
menimbulkan kesalah pahaman antara kedua belah pihak. Komunikasi tidak terlepas
dari peran interpretasi yang melibatkan makna. Sedangkan makna sendiri tidak pernah
bersifat absolut. Perbedaan makna atas satu teks atau kata yang dihasilkan oleh
seseorang dengan seseorang lain mungkin terjadi adanya dalam komunikasi. Hal ini
disebabkan oleh adanya satu hal yang tidak pernah lepas dari makna, yaitu konteks.
Kurangnya pemahaman konteks inilah yang menyebabkan gagalnya komunikasi dan
tidak tersampaikannya pesan dengan benar.
Fenomena kegagalan komunikasi ini menjadi inspirasi bagi pengkajian-pengkajian
pembelajaran bahasa baik asing maupun daerah. Sehingga menguasai tatacara
berkomunikasi atau kemampuan berkomunikasi menjadi hal wajib bagi para pembelajar
bahasa masa kini. Dalam kemampuan berkomunikasi seseorang dituntut untuk tidak
hanya sekedar mampu menghasilkan bahasa-bahasa yang benar sacara gramatikal
saja, akan tetapi dalam kompetensi ini pembelajar diharapkan juga dapat memiliki
kemampuan untuk menggunakan bentuk-bentuk bahasa tersebut sesuai dengan tujuan
komunikasi atau untukmengungkapkan fungsi-fungsi komunikatif bahasa yang ingin
disampaikan kepada pihak lain.
Dalam melakukan komunikasi antar budaya, ada menggunakan pendekatan dua
jenis budaya dalam berkomunikasi, yaitu high culture context dan low culture context.
Kedua jenis konteks berkomunikasi tersebut dapat diterangkan sebagai berikut
(Nishimura et al., 2009):
A. High Context Culture (budaya dengan konteks tinggi). Budaya ini sangat bergantung
pada isyarat non-verbal dan halus dalam komunikasi. Apa yang disampaikan belum
tentu maknanya seperti yang terungkapkan. Dalam budaya Jawa, hal yang seperti ini
sangat sering digunakan. Orang berkomunikasi dengan sanepa, isyarat mata, bahasa
tubuh, dan lain-lain.
B. Low Context Culture (budaya dengan konteks rendah). Budaya yang ini sangat
bergantung pada kata-kata untuk menyampaikan makna dalam komunikasi. Apa yang
disampaikan, maknanya dengan dengan ucapan verbal. Oleh karena itu, biasanya
orang dengan budaya seperti ini akan betul-betul memperhatikan apa yang dibicarakan
oleh lawan bicaranya.

Dalam berkomunikasi ada dua hal yang harus diperhatikan adalah:


A. Komunikasi verbal. Dalam komunikasi verbal, pilihan kata yang digunakan dapat
mempengaruhi baik tidaknya komunikasi kita. Meskipun disuatu daerah kata-kata yang
digunakan dianggap normal, ada kemungkinan ditempat lain kata-kata tersebut
dianggap kurang sopan atau kasar, sehingga ada kemungkinan akan menyebabkan
ketersinggungan. Yang perlu diperhatikan juga adalah volume dan nada suara juga
sangat berpengaruh terhadap keberhasilan komunikasi kita. Volume suara yang keras
bisa menandakan ketegasan, yang lemah berarti kurang tegas. Nada suara tinggi
secara umum dianggap sedang marah dan lain sebagainya.
B. Komunikasi non verbal. Selain Bahasa verbal, hal yang menentukan dalam
keberhasilan berkomunikasi adalah komunikasi non-verbal. Pada saat kita
berkomunikasi dengan orang lain harus diperhatikan: ruang pribadi (beberapa
kebudayaan tidak suka apabila kita berbicara terlalu dekat jaraknya, sementara yang
lain lebih suka kalau saling berdekatan), sentuhan (sentuhan di beberapa bagian tubuh
merupakan penghinaan bagi beberapa budaya, sentuhan antara lelaki dan perempuan
juga harus diperhatikan), ekspresi wajah (bisa menunjukkan emosi kita), kontak mata
(orang-orang berkebudayaan barat lebih menginginkan kita untuk menatap mata
mereka apabila sedang berbicara karena itu menunjukkan keseriusan kita), sikap tubuh
(termasuk cara duduk, posisi tangan ketika berbicara, dan lainnya).
Adapun sikap berkomunikasi yang tepat menurut Grice (dalam Sumarmo, 1988),
agar percakapan dapat dilakukan secara efektif dan efesien yakni dengan selalu
berpegang pada prinsip kerjasama dalam komunikasi. Untuk itu sebagai komunikator
harus selalu : 1) Mengatakan sesuatu yang telah terbukti kebenarannya; 2) Mengatakan
apa yang diperlukan saja; 3) Mengatakan sesuatu yang relevan dan berguna; 4)
Mengatakan sesuatu secara jelas dan singkat. Sikap ini menuntut komunikator dan
partner-nya untuk saling menyumbangkan ide-ide dan informasi yang dibutuhkan
sesuai dengan tujuan komunikasi.
Menurut Gumperz (1982) menyatakan bahwa dalam percakapan yang melibatkan
orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda, memungkinkan
kesalahapahaman ini dapat terjadi karena komunikator menerapkan pola-pola
komunikasi yang biasa diterapkan dalam budayanya, akan tetapi tidak biasa dengan
budaya lainnya. Komunikator antar budaya yang efektif tidak hanya memiliki
kompetensi Bahasa dan kompetensi komunikatif, melainkan juga kompetensi
budaya yang mengarah pada empati dan rasa hormat terhadap adanya perbedaan
budaya. Dengan menerapkan komunikasi seperti ini, maka tujuan dari keuda belah
pihak akan terwujud.
Selanjutnya, yang perlu diperhatikan juga adalah sikap dalam berkomunikasi. Yang
dimaksud disini adalah bagaimana cara menghormati sikap berkomunikasi antar
budaya, misalnya memperhatikan cara menyela pembicaraan, durasi dalam berbicara,
apakah etis jika semua berbicara secara bersama-sama, dan memperhatikan bahasa
non verbal dalam bekomunikasi. Dengan memperhatikan sikap-sikap ini, maka kita
berupaya melakukan perbandingan budaya kita dengan budaya lain yang menjadi
partner komunikasi kita.

Culture Shock (Benturan/ Gegar Budaya)


Culture shock (benturan/ gegar budaya) merupakan hal yang juga perlu diperhatikan
ketika seseorang akan melakukan komunikasi atau memasuki wilayah baru. Culture
shock adalah kondisi dimana seseorang tidak terbiasa dengan budaya baru/ setempat.
Benturan atau gegar budaya sering menjadi hambatan bagi seseorang dalam mencapai
sebuah tujuan di luar daerah wilayahnya. Culture shock seringkali dianggap sebagai hal
yang wajar bagi sebagian besar orang, namun hal tersebut tidak boleh dianggap remeh
karena dapat memicu timbulnya depresi dan rasa stress bagi sebagian orang yang
mengalaminya. Culture shock sangat berkaitan dengan keadaan dimana ada
kekhawatiran dan galau berlebih yang dialami orang-orang yang menempati wilayah
baru dan asing. Biasanya, orang yang mengalami culture shock adalah mereka yang
relatif labil dalam beradaptasi. Keadaan lingkungan yang berbeda dengan yang
biasanya terdapat di tanah air, seperti lingkungan rumah, jenis makanan yang berbeda,
suasana kampus dan perkuliahannya, pergaulan dengan orang-orang yang tidak sesuai
harapan dikenal menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya gejala culture shock.
Culture shock dibagi dalam 4 tahap, yakni :
1. The honeymoon phase (fase bulan madu)
Dalam fase ini, orang yang baru pertama kali memasuki sebuah wilayah baru, biasanya
akan merasa bahagia setibanya di wilayah yang baru tersebut. Biasanya, semua hal
yang baru terasa menarik dan menyenangkan.
2. The crisis phase (fase krisis)
Dalam fase ini, perbedaan di wilayah baru mulai terasa tidak pas atau membosankan.
Hal yang tidak pas ini bisa berupa makanannya (kesulitan mencari makanan yang
sesuai dengan lidah dan lainnya), bahasa yang susah dimengerti, pergaulan dengan
lingkungan yang baru serta kebiasaan-kebiasaan baru serta mulai kesepian karena
jauh dengan kerabat dan keluarga. Dalam fase ini sering sekali terjadi benturan-
benturan seperti yang dianalogikan dengan dua gunung es berbenturan di atas.
3. The adjustment phase (fase penyesuaian)
Fase ini sangat penting karena sukses tidaknya kita melewati masa culture shock
tergantung dari kemampuan kita untuk melakukan penyesuaian. Dalam fase ini,
diharapkan mereka yang masuk wilayah baru sudah mulai bisa berinteraksi dengan
lingkungan di wilayah baru tersebut dan mencari jalan untuk melakukan penyesuaian.
4. Bi-cultural phase (fase dwi budaya)
Setelah sukses melewati tiga fase sebelumnya, maka seseorang akan masuk dalam
fase keempat ini. Ia akan sudah terbisa merasa nyaman hidup dengan dua kebudayaan
sekaligus. Ia sudah bisa menyesuaikan diri dengan budaya di wilayah baru. Meskipun
demikian, harus ada keseimbangan antara memahami kebudayaan asing tanpa
meninggalkan identitas aslinya.
Untuk mengantisipasi dan mengatasi culture shock, maka ada beberapa cara yang
dapat dilakukan, yakni : 1) Menambah wawasan mengenai daerah baru yang akan
dimasuki; 2) Mencari informasi mengenai budaya, kebiasaan hidup dan aktivitas yang
populer di daerah tujuan hingga topik pembicaraaan sehari-hari serta bahasa tubuh
yang biasa digunakan; 3) Setibanya di daerah tujuan, segera berusaha mengenali
kehidupan setempat.

Penutup

Memahami budaya bangsa lain bukanlah berarti menghilangkan budaya bangsa


sendiri. Cross Cultural Understanding merupakan konsep dalam memahami komunikasi
antar budaya, sehingga tercapai tujuan pembelajaran tingkat tinggi. Pada era
globalisasi saat ini, pemahaman akan budaya dan karakter bangsa lain adalah sangat
penting. Dengan memahami karakter bangsa lain, kita mampu menjadi leader dalam
ruang global. Karena leader mensyaratkan komunikasi yang dipahami oleh semua
orang yang dipimpinnya. Cross Cultural Understanding menempatkan nilai
kemanusiaan melampaui batas-batas etnik, negara dan suku-suku bangsa.

Daftar Pustaka

 Bennet, J. M., Bennet, M. J., & Allen, W. (2003) Developing Intercultural


Competence In The Language Classroom. In lange, D. L., & Paige, M. (Eds.).
Culture As The Core: Perspectives On Culture In Second Language Learning
(pp. 237- 270). Greenwich: Information Age Publishing.
 Brett, J. M. (2000) Culture and Negotiation. International Journal of Psychology
Vol. 32 No. 2.
 Corbett, J. (2003). An Intercultural Approach To Second Language Education. In
Corbett, J. (Ed.). An Intercultural Approach To English Language Teaching (pp.
1-30). Clevedon, England : Multilingual Matters.
 Danesi, Marcel. (2004) Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Besar Mengenai
Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta : Jalasutra
 Danesi, Marcel (2012) Popular Culture: Introductory Perspectives. Maryland:
Rowman and Littlefield Publishers, Inc,
 Gumperz, John. J. (1982) Discourse strategies. New York : Cambridge University
Press
 Koentjaraningrat (1986) Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Penerbit Aksara
Baru
 Koentjaraningrat (2000) Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (cetakan
kesembilan belas). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
 Liliweri, Alo. (2004) Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
 Leung.K, Rabi S.B., Buchan, N.R, Erez., M & Gibson, C.B. (2005) Culture and
International Business: Recent Advances and Their Implications for Future
Research. Journal of International Business Studies, Vol 36, No. 4.
 Nishimura, S., Anne Nevgi and Seppo Tella. (2009) Communication Style and
Cultural Features in High/Low Context Communication Cultures:A Case Study of
Finland, Japan and India. Artikel dapat diunduh di:
www.helsinki.fi/~tella/nishimuranevgitella299.pdf.
 Salacuse, J. W. (2005) Negotiating: The Top Ten Ways That Culture Can Affect
Your Negotiation. Ivey Business Journal, Vol. 69, No. 4.
 Sumarno, Marno. (1988) Pragmatik dan perkembangan mutakhirnya dalam
Pelba. Lembaga Bahasa Unika Atmajaya : Jakarta
 Storey, J. ( 2003) Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap
Konseptual Cultural Studies. Yogyakarta : CV. Qalam Yogyakarta

(Materi ini disusun dan dibawakan oleh Ricky Arnold Nggili, S.Si-teol.,M.M dalam
Pelatihan Dasar Kepemimpinan Mahasiswa Gel. 2 Fakultas Teknologi Informatika
UKSW dengan tema "Be brave to be a leader", tanggal 12 Februari 2017 pukul
13.00-15.00 WIB di Audiotorium Teologi UKSW)

Anda mungkin juga menyukai