Pendahuluan
Perbedaan budaya merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan
manusia. Pluralitas dan kondisi dinamis memungkinkan budaya manusia terus
berkembang serta memiliki keberagaman yang semakin banyak. Kepentingan individu
seringkali berbenturan dengan budaya diluar komunitas atau lingkungan yang lebih
luas. Hal ini memungkinkan terciptanya sebuah upaya pengenalan budaya-budaya baru
yang merupakan hasil akulturasi maupun inkulturasi. Sebuah masyarakat trandisional
dalam era global saat ini, tidak dapat terhindarkan untuk membuka diri dan bergelut
dengan budaya baru yang membawa paradigma baru bagi perkembangan peradaban
manusia.
Secara geografis, kondisi Indonesia yang terdiri dari kurang lebih 18.000 pulau dan 5
diantaranya merupakan pulau-pulau besar (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan
Papua). Memungkinkan Indonesia memiliki kekayaan budaya dan peradaban manusia.
Dengan jumlah sebaran suku bangsa sekitar 1.340 suku bangsa di seluruh wilayah
Indonesia, hal ini menyebabkan budaya, tradisi dan kebiasaan yang berbeda mungkin
saja terjadi dalam relasi sosial. Hadirnya budaya pinggir pantai dan budaya gunung
juga menambah kekayaan sosial berdasarkan garis geografis. Selain itu segmentasi
sebaran masyarakat urban (kota), sub urban dan desa, menjadikan kompleksitas
penerimaan budaya tertentu dengan mudah terjadi. Dengan kekayaan kompleksitas
demikian, maka Indonesia sebagai negara kesatuan haruslah dikenalkan pada
pemahaman sosial lintas budaya, untuk menjamin terciptanya kesatuan tujuan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Era globalisasi juga memberikan tantangannya tersediri terhadap pluralitas budaya.
Nilai-nilai universal yang melandaskan pada rasionalitas barat hadir dan diterima di era
globalisasi. Hak Asasi Manusia yang juga memperjuangkan hak-hak LGBT, demokrasi
barat yang mengedepankan suara terbanyak dan keadaban dalam berpolitik,
kebebesan serta keterbukaan terhadap perdagangan internasional dan teknologi yang
melewati batas-batas kemanusiaan, menciptakan budaya baru yang lain bentuknya.
Budaya ini berkembang sangat cepat dan memiliki pengaruh sangat luas. Desa-desa
yang telah terkoneksi dengan internet, mengalami perubahan cara pandang yang
cepat. Barang-barang dari desa dapat diekspor ke luar negeri dan bersaing dengan
produk sejenis lainnya dari negara lain. Budaya dan peradaban manusia berbagai jenis
bertemu dan berinteraksi di era globalisasi. Hal ini tidak dapat terhindarkan oleh setiap
masyarakat dimuka bumi ini.
Melihat kondisi tersebut, maka pemahaman lintas budaya atau yang lebih dikenal
dengan Cross Cultural Understanding (CCU) adalah salah satu kompetensi yang
dibutuhkan oleh manusia abad ini. Aktivitas manusia merupakan produk dari budaya,
dan produk ini akan saling berinteraksi dalam masyarakat plural tanpa batas. Hal positif
dan negative berinteraksi dengan cara pandang yang baru. Budaya kekeluargaan orang
Asia dipertemukan dan diperkenalkan dengan budaya individualistisnya orang barat
(Amerika & Eropa). Budaya ketertutupan orang timur diperhadapkan dengan budaya
keterbukaan orang barat. Dan masih banyak lagi pertemuan budaya antar kutub,
bangsa dan suku bangsa di saat ini. Hal ini memungkinkan manusia perlu memahami
budaya orang lain, agar dapat berkomunikasi secara efektif dan efesien. Dengan
mengenal perbedaan budaya, aktivitas, kebutuhan dan kebiasaan, maka seseorang
dibekali untuk memahami berbagai bentuk budaya, berkomunikasi dengan cara yang
tepat dan tidak mengalami benturan budaya/ geger budaya (shock culture).
Menurut Bennet, Bennet & Allen (2003), menyatakan bahwa pemahaman lintas
budaya adalah kemampuan untuk bergerak dari sikap etnosentrik menuju sikap
menghargai budaya lain, hingga akhirnya menimbulkan kemampuan untuk dapat ber-
perilaku secara tepat dalam sebuah budaya atau budaya-budaya yang berbeda.
Pemahaman lintas budaya pada dasarnya ibarat memiliki sebuah peran ganda. Corbett
(2003) menyatakan bahwa pemahaman lintas budaya melebihi kemampuan untuk me-
niru penutur asli. Pemahaman lintas budaya merupakan kemampuan yang
memposisikan pembelajar bahasa pada posisi seorang utusan atau diplomat, yang
mampu melihat dan berkomunikasi dengan budaya-budaya yang berbeda melalui sudut
pandang orang yang memiliki kemampuan komunikasi tersebut.
Konsep Budaya
Menurut Koentjaraningrat (2000) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari
bahasa sansakerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau
“akal”. Dengan demikian Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai “daya budi”
yang berupa cipta, karsa dan rasa. Selanjutnya kebudayaan itu sendiri adalah hasil dari
cipta, karsa, dan rasa itu. Jadi kebudayaan atau disingkat budaya, menurut
Koentjaraningrat merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar. Selanjutnya Koentjaraningrat membedakan adanya tiga wujud dari kebudayaan
yaitu: (1) Wujud kebudayaan sebagai sebuah kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-
nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. (2) Wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam suatu masyarakat. (3)
Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Hawkins (dalam Liliweri,
2004) juga mengatakan bahwa budaya adalah suatu kompleks yang meliputi
pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat-istiadat serta kemampuan dan kebiasaan
lain yang dimiliki manusia sebagai bagian masyarakat
Dalam budaya ada konsep tentang identitas dan etnisitas yang merupakan hasil
konstruksi sosial. Dengan konstruksi sosial tersebut tercipta label atau identitas
tertentu, yang menyimbolkan asal, budaya dan ciri khas kelompok tertentu. Pentingnya
identitas ini bagi sebuah kelompok suku bangsa dan etnik, karena menjadi
kesinambungan masa lalu dan masa depan. Oleh karena itu, hampir semua identitas
kultural, dalam kaitan dengan identitas ikatan persaudaran, ras, ataupun etnik,
dibangun dalam konteks yang berhadap-hadapan dengan yang lain.
Teori relasional mendasarkan pada pandangan bahwa kelompok etnik merupakan
penggabungan dua entitas atau lebih yang memiliki persamaan maupun perbedaan
yang telah dibandingkan dalam menentukan pembentukan etnik dan pemeliharaan
batas-batasnya. Kesamaan-kesamaan yang ada pada dua atau lebih entitas yang
disatukan akan menjadi identitas etnik. Menurut perspektif relasional ini, etnik ada
karena adanya hubungan antara entitas yang berbeda-beda. Etnik tergantung pada
pengakuan entitas lain di luar kelompok etnik tersebut.
Pada perkembangan selanjutnya, budaya tidak hanya terfokus pada adat istiadat
tradisional. Namun juga memasuki pada tahap budaya popular. Menurut O’Brien and
Szeman (dalam Danesi, 2004) budaya populer adalah budaya yang ada karena
sekelompok orang membuat atau melakukannya untuk diri mereka sendiri. Karena hal
yang baru tersebut banyak diterima masyarakat maka muncullah budaya populer.
Selanjutnya, menurut Kundera (dalam Danesi, 2012) budaya populer adalah sesuatu
yang menarik untuk kita secara intuitif, karena tidak masalah seberapa banyak kita
merendahkannya, tapi ini adalah sebuah bagian integral dari kondisi manusia. Adapun
definisi budaya populer menurut Storey (2003) adalah sebagai berikut: A) Budaya
populer merupakan budaya yang menyenangkan dan disukai banyak orang; B) Budaya
populer adalah budaya sub standar yang mengakomodasi praktek budaya yang tidak
memenuhi persyaratan budaya tinggi. Budaya tinggi merupakan kreasi hasil kreativitas
individu, berkualitas, bernilai luhur, terhormat dan dimiliki oleh golongan elit, seperti
para seniman, kaum intelektual dan kritikus yang menilai tinggi rendahnya karya
budaya. Sedangkan budaya populer adalah budaya komersial (memiliki nilai jual)
dampak dari produksi massal; C) Budaya populer merupakan budaya massa, yaitu
budaya yang diproduksi oleh massa untuk dikonsumsi massa. Budaya ini dikonsumsi
tanpa pertimbangan apakah budaya tersebut dapat diterima di dalam masyarakat atau
tidak; D) Budaya populer berasal dari pemikiran postmodernisme. Hal ini berarti
pemikiran tersebut tidak lagi mengakui adanya perbedaan antara budaya tinggi dan
budaya populer dan menegaskan bahwa semua budaya adalah budaya komersial.
Budaya memiliki peranan penting dalam era globalisasi saat ini, akan tetapi budaya
memiliki hambatan yang dapat mempersulit dalam negosiasi dan berkomunikasi antar
budaya. Berikut ini merupakan hambatan-hambatan dalam memahami budaya lainnya,
yakni: 1) Etnosentrisme Northouse, mengemukakan bahwa etnosentrime adalah
kecenderungan bagi individu untuk menempatkan kelompok mereka sendiri di suatu
organisasi. Orang cenderung memberikan prioritas dan kepercayaan yang lebih
dibandingkan orang atau kelompok yang memiliki (etnis, ras, atau budaya) yang
berbeda. 2) Prasangka Northouse, mengemukakan bahwa prasangka adalah sikap,
keyakinan, atau emosi yang dimiliki oleh seorang individu tentang individu lain atau
kelompok yang didasarkan pada data yang tidak valid atau tidak berdasar.
Penutup
Daftar Pustaka
(Materi ini disusun dan dibawakan oleh Ricky Arnold Nggili, S.Si-teol.,M.M dalam
Pelatihan Dasar Kepemimpinan Mahasiswa Gel. 2 Fakultas Teknologi Informatika
UKSW dengan tema "Be brave to be a leader", tanggal 12 Februari 2017 pukul
13.00-15.00 WIB di Audiotorium Teologi UKSW)