Anda di halaman 1dari 30

MENELISIK BUDAYA BANYUWANGI: CULTURAL DAN KEPERCAYAAN

MASYARAKAT BANYUWANGI

Pada era globalisasi dengan dunia yang serba digital membuat segala aspek kehidupan
mengalami transformasi yang begitu cepat. Globalisasi merupakan suatu masa dimana terjadi
perkembangan yang begitu pesat dengan pengaruh teknologi. Dalam era digital 5.0
kecanggihan teknologi semakin dirasakan dalam segala aspek. Teknologi yang berkembang
sangat pesat inilah yang membuat segala bentuk informasi dan komunikasi dapat dilakukan
dengan sangat mudah. Proses pentransferan informasi yang begitu cepat membuat segala
sesuatunya dapat diakses dengan mudah, sehingga dalam hal ini akan sangat berpengaruh
dalam bidang pendidikan, sosial politik, bahkan budaya dan kultur di setiap negara ataupun di
dalam negara itu sendiri. Budaya dan kultur global akan saling bertemu dan menunjukkan
eksistensinya masing-masing. Melalui digitalisasi konsep budaya di suatu daerah tertentu
akan berkembang dan meluas.1
Menurut Giddens dalam Sholahuddin (2019:104) mengatakan bahwa globalisasi
merupakan intensifikasi dalam hubungan sosial di dunia yang mana suatu kejadian pada
negara tertentu akan saling berpengaruh terhadap kejadian di negara lainnya. Hal ini akan
sejalan dengan konsep globalisasi yang penulis kemukakan, dimana segala bentuk informasi
dan komunikasi dapat dengan mudah diakses dan disebarluaskan. Dapat diartikan juga,
bahwa globalisasi ini menuntut negara-negara saling keterbukaan dan menjalin iteraksi serta
komunikasi yang begitu kuat. di era globliasi yang serba digital membuat sekat dan batasan
seperti norma, nilai, maupun budaya masyarakat lokal akan hilang dan akan tergantikan oleh
ketentuan dan makna global.2
Di era globalisasi dan Gen Z menyebabkan masyarakat multikultural semakin
berkembang pula. Menurut etimologis multikulturalisme merupakan bentukan dari suatu kata
multi yang memiliki artian banyak, kemudian kultur yang memiliki artian budaya, dan isme
yang memiliki artian aliran atau paham. Secara umum, multikultural merupakan validasi atas
martabat masyarakat yang hidup dengan banyak komunitas dan kebudayaan masing-masing.
Dengan kata lain multikulturalisme merupakan suatu ideologi yang menandaskan dalam
penghargaan pada tingkat kesederajatan ragam kebudayaan. Ideologi ini merupakan
pendukung dalam setiap bagian, baik secara individual ataupun kelompok, terutama ini
ditujukan kepada golongan-golongan sosial yaitu, suku bangsa atau ras, umur, maupun

1
Adi, Prasetijo. 2009. Keragaman Budaya Indonesia. Jakarta: Etno Budaya.
2
. Arum, Winda Falah Setianing (2013) Menyelamatkan, Melestarikan Budaya Indonesia. Jurusan Teknologi Pendidikan,
Universitas Negeri Semarang.
gender. Namun, dalam hal ini tidak membuat masyarakat global apalagi masyarakat lokal
Bangsa Indonesia dapat serta merta memahami makna dan menerapkan suatu konsep
multikultural ini. Secara umum globalisasi ini menjadi suatu konsep yang fenomenal dalam
rasionalitas berpikir masyarakat global. Konsep ini dapat dengan mudah merasuk dalam suatu
lingkup bidang dalam kehidupan.3
Indonesia merupakan kedalam kelompok salah satu Negara terbesar di dunia jika
dilihat dari aspek luas wilayah dan penduduk. Berdasarkan data yang didapat, bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang memiliki 1,86 juta km2 daratan, 3,2 juta km2
lautan, dan 17.604 pulau, serta dihuni oleh 237 juta penduduk (sensus penduduk 2010).
Sumberdaya Alam (SDA) dan Sumberdaya Manusia (SDM) yang melimpah perlu dikelola
secara maksimal. Tujuannya pengelolaan Sumberdaya Alam (SDA) dan Sumberdaya
Manusia (SDM) ini adalah agar tidak terjadinya keterlantaran dan tidak menjadi incaran bagi
Negara lain yang dapat menjadi ancaman bagi Negara Indonesia itu sendiri. Beberapa aspek
yang mampu menjadi ancaman bagi Negara Indonesia antara lain aspek sosial, ekonomi, dan
budaya. Pada aspek sosial, diketahui bahwa telah banyak masyarakat Indonesia khususnya
yang tinggal di daerah. perbatasan sudah mulai luntur kebiasaan budaya sosialnya seperti
sikap gotong royong, senyum sapa, musyawarah, dan lain-lain. Pada aspek ekonomi diketahui
bahwa cukup banyaknya masyarakat Indonesia di perbatasan yang lebih sering melakukan
kegiatan mencari mata pencaharian, kegiatan jual-beli, barter, dan lebih mengetahui mata
uang Negara tetangga seperti Malaysia. Aspek ini cukup menjdi sebuah ancaman yang besar
karena pada hakikatnya masyarakat Indonesia seharusnya dapat memanfaatkan Sumberdaya
Alam (SDA) yang ada di Negaranya (red: Indonesia) yang begitu melimpah.4

Sedangkan pada aspek budaya, masyarakat Indonesia yang tinggal di perbatasan lebih
mengetahui budaya Negara tetangga. Padahal salah satu ikon dari suatu Negara yaitu
kebudayaannya. Indonesia merupakan Negara yang indah akan kekayaan alam dan
budayanya. Memiliki lebih dari 20 suku dan ribuan budaya yang ada. Namun, belum
optimalnya pengawasan, pengenalan kepada masyarakat Indonesia khususnya masyarakat di
perbatasan, dan hak paten mengakibatkan beberapa kebudayaan Indonesia telah di klaim oleh
Negara lain. Oleh karena itu, harus adanya sebuah solusi atau gebrakan seperti sarana yang
mampu untuk mengenalkan dan menjadikan sarana tersebut sebagai informasi akan
kebudayaan Indonesia khususnya di wilayah perbatasaN. Seiring dengan bertumbuhnya
perkembangan gaya hidup dan teknologi, kebudayaan asli Indonesia terlihat sangat
3
Peter, dkk. 2009. Kebudayaan Tradisional. Jakarta: LSPP.
4
Ekadjati, Edi.S. (2005) . Kebudayaan Sunda Jaman Pajajaran. Bandung : Pustaka Jaya.
ketinggalan zaman. Banyak dari warga Indonesia yang kurang peduli bahkan ada yang tidak
peduli tentang budaya Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan banyak budaya Indonesia di
klaim oleh Negara lain, khusunya Malaysia. Hal lain yang menyebabkan pengklaiman budaya
Indonesia adalah terlambatnya dalam mematenkan suatu budaya.5

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan


Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat
itu adalah Cultural-Determinisme. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang
turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai
superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian
nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius,
dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas
suatu masyarakat. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota
masyarakat. Dapat kita klasifikasikan dalam dua kelompok besar. Yaitu Kebudayaan
Indonesia Klasik dan Kebudayaan Indonesia Modern. Para ahli kebudayaan telah
mengkajidengan sangat cermat akan kebudayaan klasik ini. Mereka memulai dengan.6
Kebudayaan Indonesia adalah keseluruhan kebudayaan lokal yang ada disetiap daerah
di Indonesia.Kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah “puncak-
puncak dari kebudayaan daerah”.Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan makin
dimantapkan, sehingga ketunggalikaan makin lebih dirasakan daripada
kebhinekaan.Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional, serta
bahasa nasional.Kebudayaan Indonesia dari zaman ke zaman selalu mengalami perubahan,
perubahan ini terjadi karena faktor masyarakat yang memang menginginkan perubahan dan
perubahan kebudayaan terjadi sangat pesat yaitu karena masuknya unsur-unsur globalisasi ke
dalam kebudayaan Indonesia. Unsur globalisasi masuk tak terkendali merasuki kebudayaan
nasional yang merupakan jelmaan dari kebudayaan lokal yang ada disetiap daerah dari
Sabang sampai Merauke.7
Kebudayaan dan masyarakat adalah ibarat dua sisi mata uang, satu sama lain
tidakdapat dipisahkan.Disamping itu, Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai
5
. Budimansyah, Dasim, et. Al. (2004). Dinamika Masyarakat Indonesia. Bandung: PT. Genesindo.
6
. Arum, Winda Falah Setianing (2013) Menyelamatkan, Melestarikan Budaya Indonesia. Jurusan Teknologi Pendidikan,
Universitas Negeri Semarang
7
. Nurul, D. 2010. Kebudayaan Indonesia. Gegdiah. Hal: 1-6.
macam budaya sosial masyarakat yang unik dan indah serta sangat cocok bagi para pelancong
yang ingin melihat pesona sosial budaya Indonesia. Oleh karena itu, para wisatawan sangat
antusias untuk memenuhi kerinduannya dalam menyaksikan langsung akanNatural
Wonderful cultureyang sulit ditemui pada bagian bumi yang lain di dunia ini. Pada tahun
2018, semua orang dari semua penjuru di dunia berbondongbondong datang ke Labuanbajo
NTT, hanya untuk mau menyaksikan langsung kebudayaan lokal dan komodo-komodo yang
ada disana. Teori Sinkronisasi Budaya (Hamelink dalam Liliweri, 1983: 23) menyatakan
“lalu lintas produk budaya masih berjalan satu arah dan pada dasarnya mempunyai mode
yang sinkronik. Negara-negara Metropolis terutama Amerika Serikat menawarkan suatu
model yang diikuti negara-negara satelit yang membuat seluruh proses budaya lokal menjadi
kacau atau bahkan menghadapi jurang kepunahan. Dimensi-dimensi yang unik dari budaya
Nusantara dalam spektrum nilai kemanusiaan yang telah berevolusi berabad-abad secara
cepat tergulung oleh budaya mancanegara yang tidak jelas manfaatnya.Ironisnya hal tersebut
justru terjadi ketika teknologi komunikasi telah mencapai tataran yang tinggi, sehingga kita
mudah melakukan pertukaran budaya. 8
Pada awalnya, Indonesia mempunyai banyak peninggalan budaya dari nenek moyang
kita terdahulu, hal seperti itulah yang harus dibanggakan oleh penduduk Indonesia sendiri,
tetapi saat ini budaya Indonesia sedikit menurun dari sosialisasi di tingkat nasional,sehingga
masyarakat kini banyak yang melupakan dan tidak mengetahui apa itu budaya Indonesia.
Semakin majunya arus globalisasi rasa cinta terhadap budaya semakin berkurang, dan hal ini
sangat berpengaruh terhadap keberadaan budaya lokal dan bagi masyarakat asli Indonesia.9

Dalam konteks pelestarian kebudayaan, tulisan ini dimaksudkan menjelaskan tentang


kebudayaan di Banyuwangi beserta adat dan istiadatnya. Banyuwangi merupakan daerah di
Jawa Timur yang banyak memiliki kekayaan budaya. Kekayaan budaya Banyuwangi ini
terlihat dari beragamnya produk-produk budayanya, mulai dari bahasa, tradisi ritual, tari,
teater dan musik tradisional. Menurut catatan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi
pada tahun 2009, tercatat ada 12 macam kebudayaan berbasis ritual, 12 macam tari
tradisional, 4 macam musik tadisional dan 2 macam teater tradisional yang hidup di
Banyuwangi. Salah satu ikon kebudayaan di Banyuwangi adalah kebudayaan masyarakat
Using. Banyak dan beragamnya produk seni dan tradisi budaya yang hidup di masyarakat
Banyuwangi tersebut tentu bagi pemimpin pemerintahan dipandang sebagai sesuatu yang

8
. Rahmadi, D. 2012. Hasil Reportase Tentang Budaya Indonesia yang Diklaim Malaysia. Bogor.
9
. Anoegrajekti, Novi. 2006. “Gandrung Banyuwangi: Pertarungan Pasar, Tradisi, dan Agama, Memperebutkan Representasi
Identitas Using.” Disertasi. Jakarta: Program Pascasarjana FIB Universitas Indonesia.
patut menjadi perhatian dan agenda penting dalam kebijakannya. Untuk itu menjadi penting
bagi penulis untuk mengetahui bagaimana wacana dan strategi kebijakan pemerintahan
Kabupaten Banyuwangi terkait dengan kebudayaan yang ada di Banyuwangi, khususnya
terkait Using. Bagaimana relasi dalam kebijakan tersebut serta bagaimana model kebijakan
yang yang dikembangkan terkait kebudayaan di Banyuwangi.10

Pluralitas dalam kehidupan mewarnai masyarakat Kabupaten Banyuwangi. Di lihat


dari sisi keagamaan, masyarakat Banyuwangi terdiri atas Islam dengan pemeluk sebesar
1.386.633 jiwa (95,33%), Hindu sebanyak 35.958 jiwa (2,47%), Protestan sebanyak 16.503
jiwa (1,13%), Katolik sebanyak 9.016 jiwa (0,62%) dan pemeluk agama Budha termasuk
Khong Hu Chu sebanyak 6.471 jiwa (0,44%). Sementara keragaman etnis-etnis yang ada,
jumlah etnis Jawa paling dominan, disusul etnis Using dan etnis Madura. Masyarakat di
Kabupaten Banyuwangi memiliki banyak bentuk seni budaya dan adat istiadat tradisional
yang berbasiskan pada etnik. Beberapa bentuk produk budaya masyarakat Banyuwangi yang
merupakan kesenian asli maupun dari akulturasi budaya antaretnis adalah: gandrung,
angklung caruk, angklung paglak, angklung blambangan, kuntulan, hadrah, gedogan, bordah,
patrol, barong teater, barong arak-arakan, damarwulan/ jinggoan/ janger, bali-balian/
balaganjur, praburoro/ rengganis, jaranan buto, jaranan pegon, reog, mocoan pacul goang/
campursari banyuwangen, campursari jowoan, tabuhan boning/ pesisiran, wayang kulit,
ludruk, aljin, barongsai, wayang topeng, pencak silat, jaran kencak, kendhang kempul,
keroncong, samroh, gambus, marawis, dan zapin.11
Sedangkan tradisi budaya yang masih dipelihara yang tak terpisahkan dengan nilai
kepercayaan, antara lain: seblang, kebo-keboan, petik laut, rebo wekasan, gredoan, barong
ider bumi, puter kayun, mocoan lontar, resik kagungan, resik lawon, endhog-endhogan,
manjer killing, ngarak jodhang, cap gomek, mantu kucing, dan ruwatan. Peta upacara adat
dan kesenian tradisional di Banyuwangi tersebut memberikan gambaran yang utuh
menyangkut realitas kultural dan dinamika kebudayaan yang ada di Banyuwangi. Sebuah
dinamika kebudayaan yang tumbuh di atas pondasi kebudayaan yang relatif kuat dengan
dukungan penuh masyarakat sebagai anggota kolektifnya. Peta tersebut juga sekaligus
memberikan gambaran bagi eksisnya suatu realitas tradisi di tengah ruang identitas yang
sedang mengalami konstruksi. Di Banyuwangi salah satu produk kesenian yang cukup
terkenal dan diidentikan dengan PKI pada masa pemerintah Orde Baru adalah lagu “Genjer-
10
. Dariharto. 2009. “Kesenian Gandrung Banyuwangi, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi.” Tulisan
lepas tidak diterbitkan.
11
. Effendy, Bisri dan Anoegrajekti, Novi. 2004. “Perempuan dalam Ritual, Mengangan Dewi Sri Membayang Perempuan.”
Jurnal Srinthil, edisi 07
Genjer”. Menurut catatan Suripan, 1990 yang dikutip Hasan (2011) bahwa sekitar tahun
1942, berkembang lagu kesenian Angklung yang terkenal berjudul “Genjer-Genjer”. Syair
lagi ini diciptakan oleh M. Arif, seorang seniman pemukul alat instrumen Angklung. Lagu
“Genjer-Genjer” itu diangkat dari lagu rakyat yang hidup di Banyuwangi yang berjudul
“Tong Alak Gentak”. Lagu ini dimaksudkan sebagai sindiran atas kedatangan Jepang ke
Indonesia. Dimana pada saat itu, kondisi rakyat semakin sesangsara dibanding sebelumnya. 12
Pasca-Orde Baru, menurut G.R. Lono Lastoro Simatupang yang disitir Rheza (2012)
muncul upaya pemerintah daerah untuk mencari unsur-unsur kedaerahan yang dianggap
paling asli dan autentik untuk dihidupkan dan diangkat sebagai yang mewakili identitas
kedaerahan. Bupati Banyuwangi pertama pada era otonomi daerah adalah Samsul Hadi.
Sebagai pemimpin yang dianggap lare Using asli sangat kuat upayanya untuk menunjukkan
Using sebagai identitas Banyuwangi. Serangkaian kebijakan dan program pemerintah dibuat
dengan jargon Jenggirat Tangi. Jenggerat Tangi merupakan serangkaian program pemerintah
yang bertujuan mengonservasi adat dan budaya Using sebagai wajah lokal Kabupaten
Banyuwangi. Latar belakang penetapan program tersebut adalah kesadaran dan usaha untuk
menjamin dan melestarikan eksistensi budaya Using sebagai budaya dan identitas lokal
Banyuwangi. Upaya pemerintahan bupati Samsul Hadi untuk membangunkan kesadaran
keotentikan Banyuwangi termanifestasikan dalam program pembangunan patung gandrung
secara masif. Patung gandrung menghiasai sudut kota dan desa. Terlihat dari obeservasi
peneliti diperbatasan pintu masuk Banyuwangi baik arah Jember maupun Situbondo, patung
penari gandrung berdiri kokoh, begitu juga di beberapa gang perumahan di kota. 13
Program Pembangunan patung dan gambar Gandrung ini merupakan implikasi dari
Surat Keputusan Bupati nomor 173 tahun 2002 yang menetapkan Gandrung sebagai maskot
pariwisata Banyuwangi. Gandrung sebagai kesenian masyarakat Using yang dianggap
sebagai masyarakat asli Banyuwangi menjadi pilihan pemerintahan Bupati Samsul Hadi
sebagai upaya untuk memperteguh Using sebagai identitas Banyuwangi. Langkah selanjutnya
Pemerintahan Samsul Hadi membangun wacana dominan terhadap gandrung. Secara estetik
pemerintahan Samsul Hadi menetapkan sebuah pakem gandrung dan menjadikannya sebagai
tari resmi penyambutan tamu yang datang di Banyuwangi. Penetapan ini dimuat dalam SK
bupati nomor 147 tahun 2003.14

12
. Gagriel Almond dan Sidney Verba, The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations, Princeton:
Princeton University Press, 1963
13
Makmur, Moh. Hadi dan Taufiq, Akhmad. 2014. “Otonomi Daerah dan Praksis Wacana Kebijakan Kebudayaan.” Dalam
Novi Anoegrajekti, dkk. (ed.). 2014. Dinamika Budaya Indonesia dalam Pusaran Pasar global. Yogyakarta: Ombak.
14
. Parson, Wayne. 2005. Public Policy, Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Prenada Media
Dua tahun terakhir ini, kota Banyuwangi menjadi sangat terkenal, bukan hanya di
Indonesia, tetapi juga dunia. Hal ini tentu terkait dengan berbagai festival yang
diselenggarakan di kota wisata ini. Pada tahun 2012 sampai 2017, penyelenggaraan festival
hanya 12 sampai 20 even festival dalam setahun. Sedangkan, tahun 2018 melonjak menjadi
75 festival dan tahun 2019 bertambah menjadi 99 festival. Di bulan Oktober tahun 2019 ini,
diselenggarakan festival fenomenal yakni ‘Tari Gandrung Sewu’, suatu tarian tradisional
‘kolosal’ yang dibawakan oleh 1000 penari wanita. Suatu penyelenggaraan festival yang
melibatkan banyak orang dan mampu mendatangkan banyak wisatawan lokal dan
mancanegara ke kota Banyuwangi. Ketika naik pesawat ke berbagai tujuan di Indonesia,
maka akan ditemukan brosur tentang kegiatan terkait dengan promosi daya tarik wisata di
Banyuwangi, yang sangat luar biasa, yakni salah satunya ‘festival gandrung sewu’. Saat ini,
Kota wisata yang menjadi destinasi unggulan baru di wilayah Jawa Timur bagian timur ini
disorot banyak pihak terkait dengan upaya pemerintah daerah dan seluruh masyarakatnya
untuk menjadikan kota Banyuwangi menjadi destinasi penting di Indonesia.15

Kota Banyuwangi, di tahun 2019 ini telah menjadi destinasi unggulan. Kota ini
melakukan ‘city branding’ dan ‘city image’ (Jannah, 2014), sehingga mampu mensejajarkan
dengan destinasi yang telah lama dikenal dunia, yakni Bali dan Yogyakarta. Saat ini,
Banyuwangi menjadi pilihan berwisata bagi wisatawan lokal dan mancanegara. Kalau
sebelumnya, wisatawan lokal dan mancanegara akan mengunjungi dua tempat wisata
legendaris itu, sekarang Kota Banyuwangi telah menjadi tempat kunjungan pilihan yang
menjanjikan. Dulu, kota Banyuwangi hanya sekedar tempat singgah atau sekedar numpang
lewat, dari wisatawan yang berkunjung ke Bali maupun ke Yogyakarta, maka sekarang ini
telah menjadi destinasi pilihan utama. Kota Banyuwangi, hadir sebagai pilihan manakala
wisatawan belum menemukan tempat wisata budaya, alam-lingkungan yang baru dan berbeda
dengan kedua destinasi tersebut. Banyuwangi menawarkan pesona berwisata yang tidak kalah
menariknya dan sulit dilupakan bagi wisatawannya tentang budaya dan lingkungan yang
menjadi tempat wisatanya karena sangat menarik dan atraktif. Banyuwangi sangat penting
untuk dikunjungi oleh para wisatawan, baik yang lokal maupun mancanegara. Perkembangan
kota Banyuwangi menjadi destinasi penting bagi wisatawan lokal dan mancanegara tidak
terlepas dari upaya pemerintah daerah dan seluruh masyarakatnya melakukan berbagai
langkah promosi. Diantaranya adalah melakukan branding bahwa ‘Banyuwangi Kota Wisata’.
Di mulai tahun 2000-an sampai tahun 2019 ini, Kota Banyuwangi menjadi destinasi wisata
15
. Rhiza Eka Purwanto. 2012. “Politik Representasi Penari Gandrung Sebagai Maskot Kab. Banyuwangi.” Yogyakarta:
Thesis, Program Studi Kajian Budaya dan Media, UGM
nasional dan internasional, karena tempat ini telah menyandang beberapa julukan, di
antaranya: ‘The Sunrise of Java’, ‘Bumi Blambangan’, ‘Kota Osing’, ‘Kota Santet’, ‘Kota
Gandrung’, ‘Kota Banteng., ‘Kota Pisang’, dan ‘Kota Festival’. Dengan program kota festival
diharapkan wisatawan lokal dan mancanegara berkunjung ke Banyuwangi bertambah
banyak.16
Perjalanan dan perkembangan kota Banyuwangi tidak bisa dilepaskan dari sejarah
panjang Kerajaan Blambangan (Zulfahri, M. H., et al., 2015). Pada pertengahan abad ke-17,
kota Banyuwangi merupakan bagian dari pemerintahan Kerajaan Hindu Blambangan. Pada
waktu itu, kerajaan ini dipimpin oleh seorang Pangeran yang bernama Tawang Alun.
Banyuwangi merupakan wilayah penting dan banyak disebut dalam sejarah Indonesia. Pada
masa kolonial Belanda, pemerintah yang secara administratif diselenggarakan oleh VOC
(Vereenidge Oostandische Compagnie), menganggap Blambangan atau Banyuwangi sebagai
wilayah kekuasan dari pemerintahannya. Hal ini dilandasi oleh penyerahan kekuasaan Jawa
Bagian Timur dan juga wilayah Blambangan dari Pakubuwono II kepada VOC. Menurut
catatan sejarah, Kerajaan Mataram belum pernah mampu menguasai daerah Blambangan,
yang merupakan ‘Kerajaan Hindu’ tersisa kala itu, di pulau Jawa.17
Walaupun sudah mendapat mandat untuk menguasai Blambangan, tetapi VOC tidak
pernah benar-benar mampu menancapkan kekuasaannya di wilayah ini. Kemudian, sampai
pada akhir abad ke-17, tatkala pemerintah Inggris menjalin hubungan dagang dengan
Blambangan maka memberikan bekas hubungan Inggris dan Blambangan yakni sutau daerah
yang sekarang dikenal sebagai ‘kompleks Inggrisan’. Masyarakat sampai sekarang
mengenalnya dengan sebutan bekas kantor dagang Inggris di bumi Blambangan Banyuwangi.
VOC tidak tinggal diam setelah penyerahan kekuasaan tersebut dan kemudian segera
bergerak untuk mengamankan kekuasaanya atas Blambangan akhir abad ke-18. Tindakan ini
menyulut perang besar selama lima tahun (1767–1772) antara VOC dan Kerajaan
Blambangan. Dalam berbagai peperangan, ada salah satu perang besar yang disebut ‘Puputan
Bayu’, merupakan upaya terakhir Kerajaan Blambangan dalam mempertahankan
kerajaannya. Namun, VOC yang memenangkan sehingga pertempuran itu menewaskan
banyak orang yang dibuang ke sungai. Tatkala, sungainya yang banyak mayatnya bukan

16
. Utama, Mahendra P. 2009. Globalisasi, Diplomasi Kebudayaan, dan Komodifikasi Budaya. Semarang: Jurusan Sejarah,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro.
17
. Raharjo, Bahagio. 2016. Dinamika Kesenian Gandrung di Banyuwangi 1950-2013. ?- Jurnal Humanis, Fakultas Sastra
dan Budaya Unud. 15, 7-14
berbau busuk melainkan berbau ‘wangi’, kemudian wilayah Blambangan disebut
‘Banyuwangi’.18
Sebagaimana biasanya, VOC mengangkat bupati sebagai kepala wilayah Banyuwangi
dan untuk pertama kali, pejabatnya adalah R. Wiroguno I (Mas Alit). Namun demikian,
perlawanan rakyat masih terus berlangsung secara sporadis. Hal ini, ditandai tidak adanya
pabrik gula di wilayah Banyuwangi. Baru 5 tahun terakhir ini Banyuwangi mempunyai
pabrik gula, sedangkan di wilayah Besuki setiap kabupaten mempunyai banyak pabrik gula.
Nama Banyuwangi kemudian dikuatkan dengan sebuah fiksi atau legenda tentang sejarah
‘Putri Sri Tanjung’ (Hutomo, 1996). Dalam kisah tersebut yang dibunuh oleh suaminya
karena suaminya ragu atas janin yang dikandungnya. Si suami merasa bahwa janinnya bukan
keturunannya melainkan hasil selingkuh istri. Dalam cerita disebutkan manakala si istri
dibunuh maka mayat dan janinnya dimohon untuk dihanyutkan ke sungai. Si istri berpesan,
manakala bau air sungai atas mayat yang dihanyutkan dari mayat dirinya dan anaknya busuk
– air sungai berbau busuk, dia berselingkuh. Namun, bisa air sungai, mayat diri dan anaknya
harum, maka dia tidak selingkuh. Di akhir cerita, bahwa setelah pembunuhan ‘Sri Tanjung
dan Janinnya’, ternyata sungainya harum atau wangi, kemudian wilayah itu dinamakan
‘Banyuwangi’.19

Perjalanan sejarah Banyuwangi juga tidak bisa dilepaskan dengan ‘Pangeran Minak
Djinggo’ (Anoegrajekti, 2014). Dia adalah seorang Adipati Blambangan yang melakukan
perlawanan terhadap kerajaan Mahapahit. Perlawanannya dapat dikalahkan oleh utusan
Majapahit yang bernama Damarwulan. Kisah ini juga banyak diceritakan dalam sejarah.
Penting untuk diketahui, bahwa Minak Djinggo, dirupakan dengan pemuda jelek. Hal ini
terkait dengan asal-usul Minak Djinggo, yang merupakan anak dari Raja Wirabumi dari istri
selirnya. Sesungguhnya, Minak Djinggo pemuda tampan, karena memberontak dan dari istri
selir sehingga digambarkan pemuda yang tidak tampan. Dengan sejarah panjang kota
Banyuwangi, maka berbagai destinasi wisata berdasarkan budaya banyak ditemukan. Bahkan,
budaya ‘Osing’ yang merupakan ciri khas masyarakat Banyuwangi sampai sekarang
dipertahankan dan dilestarikan untuk dijadikan daya tarik wisata di wilayah ini melalui Sastra
Lisan Berbasis Industri Kreatif (Anoegrajekti, 2018). Berbagai kegiatan budaya seperti

18
Mohammad Ayoob, Migth of the Monolith, Mohammad Ayoob (ed), The Politic of Islamic Reassertion, London: Croom
Helm, 1981.
19
Khursid Ahmad, Islam and Democracy: Some Conceptual and Contemporary Dimensions, The Muslim World, Vol. 90,
No. 1 dan 2, Spring 2000.
misalnya: ‘Gandrung Sewu’, ‘Upacara Kebo-kebo-an’, dan berbagai kegiatan budaya Osing
lainya menjadi daya tarik wisatawan lokal dan mancanegara. 20

Banyuwangi juga memiliki berbagai macam destinasi dan daya tarik wisata.
Diantaranya, keindahan alam lingkungan sampai kekayaan budaya masyarakat setempat.
Destinasi tersebut mulai dari: ‘Ijen dengan BlueFire-nya’ (Wirakusumah, 2019), ‘Pantai
Pulau Merah’, ‘Pantai Watu Dodol’, ‘Air Terjun Kalibendo’, dan ‘Taman Nasional Baluran'
dan banyak lagi destinasi berdasarkan kondisi alam lingkungan. Semuanya menyuguhkan
panorama alam lingkungan yang sungguh mempesona bagi wisatawan lokal dan
mancanegara. Sedangkan kekayaan sosial-budaya masyarakat yang masih terjaga secara turun
temurun dan menjadi daya tarik wisata diantaranya adalah desa budaya yang sangat terkenal,
yakni ‘Desa Kemiren’. Desa ini menjadi tempat masyarakat Osing menjalankan tradisi
budayanya, misalnya tari ‘gandrung’ sebagai wisata unggulan. Bahkan, tari gandrung tahun
2019 dilaksanakan secara kolosal untuk dapat menarik para wisatawan ke Kabupaten
Banyuwangi. Kemudian, berbagai peninggalan dan warisan purbakala dari para leluhur orang
Banyuwangi, dijadikan objek wisata budaya. Wisata ini merupakan warisan nenek moyang
pendahulu masyarakat Banyuwangi, yang jumlahnya cukup banyak. Seperti misalnya, situs
peninggalan purbakala untuk wisata religi. Contohnya, makam Datuk Malik Ibrahim, Taman
Perdamaian Dunia Watu Gedhek, Candi Alas Purwo, Klenteng Hoo Tong Bio, serta Pura
Luhur Giri Saloka, dan lain sebagainya. Kekayaan ini dapat menambah destinasi wisata yang
ada di Banyuwangi. Semua itu dijadikan objek dan daya tarik wisata terkait dengan wisata
edukasi. 21
Pengembangan potensi pariwisata di Banyuwangi yang luar biasa dibandingkan
tempat lain menjadikan daerah ini menjadi tujuan wisata utama ketiga setelah Bali dan
Yogyakarta. Sekarang ini, wisatawan lokal dan mancanegara banyak berwisata ke objek-
objek wisata yang ada di wilayah ini. Hal ini tentu terkait dengan semua potensi tersebut
dipasarkan atau dipromosikan.22
Desa Wisata Adat Osing Kemiren merupakan salah satu desa wisata yang secara
administratif terletak di Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Desa Wisata Kemiren dikenal
dengan kebudayaan Osing yang masih sangat kental di tengah-tengah masyarakatnya.
Keunikan dari budaya tersebut menjadikan Desa Kemiren sebagai salah satu cagar budaya
yang diresmikan oleh pemerintah. Daya tarik wisata budaya Desa Wisata Kemiren yang
20
. Dariharto. 2009. Kesenian Gandrung Banyuwangi. Banyuwangi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi.
21
. Raharjo, B. 2016. Dinamika Kesenian Gandrung di Banyuwangi Tahun 1950-2013. EJurnal Humanis. Vol 15: 7-14.
22
. Swastika, dkk. 2016. Dinamika Kesenian Topeng Kona di Desa Blimbing Kecamatan Klabang Kabupaten Bondowoso
Tahun 1941-2014. Jurnal. Vol.51 (1): 104-117.
terenal adalah kesenian Suku Osing yang sangat unik dan mengandung unsur mistis yakni
Gandrung yang biasanya ditampilkan pada saat acara penerimaan tamu (Wahyudiono dan
Imaniar, 2021). Tidak heran jika nama Desa Wisata Kemiren juga populer di kalangan
wisatawan. Perkembangan pariwisata di Desa Wisata Kemiren memberikan dampak
yangpositif secara ekonomi terhadap masyarakat lokal. Terbukanya lapangan pekerjaan yang
baru bagi masyarakat lokal dan juga meningkatkan pendapatandaerah (Ariyanti, 2020).
Dalampengelolaannya, Desa Wisata Kemiren secara praktis dikelola olehPemerintah Desa
dan Masyarakat Kemiren. 23
Pariwisata berbasis masyarakat merupakansalah satu prinsip pembangunan
berkelanjutan. Desakemiren merupakan desa wisata yang menerapkanpariwisata berbasis
masyarakat. Masyarakat lokal terlibat langsung dalam pengelolaan pariwisata di desa
tersebut. Salah satu cara dalammenghadapi tantangan pembangunan adalah partisipasi
masyarakat (Claudia, 2017). Desa wisata merupakan pengembangan yang menyatukan
berbagai daya tarik yang ada di dalamnya, termasuk daya tarik alam, budaya, dan buatan
yang didukung dengan adanya atribut pariwisata yang terdiri dari atraksi, amenitas,
akesibilitas, dan ancilaris.24

Desa Wisata Kemiren sendiri memiliki daya tarik alam dan budaya yang sangat
beragam. Keberlanjutan dalam sosial budaya dinyatakan dalam keadilan sosial, harga diri,
dan peningkatan kualitas hidup manusiayang memiliki sasaran stabilitas penduduk,
kebutuhan dasar manusia, melestarikan kebudayaan lokal, dan mendorong partisipasi
masyarakat (Sunarta dan Arida, 2017). Selanjutnya, pengembangan daya tarik wisata
diharapkan mampu memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat lokal (Lestari dan
Tripalui, 2021). Dapat disimpulkan, bahawa Desa Kemiren merupakan desa wisata yang
dalam pelaksanaanya melibatkan partisipasai masyarakat.25

Meskipun Desa Wisata Kemiren sudah berkembang, perlu dilakukan pengukuran dan
mendeskripsikan desa wisata kemiren melalui perspektif indikator desa wisata dan pariwisata
berbasis masyarakat agar dapat diketahui kondisi sesungguhnya sehingga dapat dilakukan
pengidealan sesuai dengan standar desa wisata dan pariwisata berkelanjutan, namun tetap
memperhatikan karakteristik dari desa itu sendiri karena setiap desa wisata memiliki keunikan
23
. Valida, M .S 2017. Peran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi Pada Penyelenggaraan Festival Gandrung Sewu
Sebagai Daya Tarik Wisata. Skripsi. Malang: Universitas Brawijaya
24
Khursid Ahmad, Islam and Democracy: Some Conceptual and Contemporary Dimensions, The Muslim World, Vol. 90,
No. 1 dan 2, Spring 2000.
25
. Yuliana, I. 2018. Dinamika Gandrung Sebagai Identitas Kabupaten Banyuwangi Pada Tahun 2002-2017. Skripsi. Jember:
Universitas Jember.
masing masing sesuai dengan karakteristik desanya. Diketahui, setiap desa wisata memiliki
karakteristik tergantung dengan kondisi geografis dan sosial budaya masyarakatnya.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan
mendeskripsikan Desa Wisata Kemiren melalui perspektif indikator desa wisata dan
pariwisata berbasis masyarakat.26
Berdasarkan cerita yang diwariskan secara turun temurun, pada awalnya Desa Wisata
Kemiren merupakan hutan yang terdapat banyak pohon kemiri dan durian. Maka dari itu,
daerah tersebut dinamakan sebagai Desa Kemiren. “Kemiren” dalam hal ini berasal dari
gabungan dua kalimat yaitu kemiri dan durian. Berdasarkan sejarah, asal usul masyarakat di
Desa Kemiren berasal dari sekumpulan orang yang mengasingkan diri dari kerajaan
Majapahit setelah kerajaan ini mulai runtuh sekitar tahun 1478 M. Desa Kemiren secara
administratif termasuk, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur dan secara
historis geneologis-sosiologis masih memperlihatkan tata kehidupan sosio-kultural yang
mempunyai kekuatan nilai tradisional Osing sehingga pada saat kepemimpinan Gubernur
Jawa Timur Basofi Sudirman, Desa Kemiren ditetapkan menjadi kawasan wisata desa adat
Osing. Desa Wisata Kemiren dikenal dengan kebudayaan Suku Osing yang ditetapkan
sebagai cagar budaya dengan tujuan pelestarian dari budaya itu sendiri. Wisata budaya yang
dapat dirasakan langsung oleh wisatawan ketika berkunjung ke Desa Wisata Kemiren adalah
penggunaan bahasa khas yaitu bahasa Osing yang terdapat ciri khas adanya sisipan “Y”
dalam pengucapannya. Contohnya, kopi menjadi kopay.27
Atraksi utama desa wisata ini adalah menawarkan wisatawan kebudayaan asli desa
wisata Kemiren. Selain itu, wisatawan dapat belajar menyangrai kopi secara tradisional
dimulai dari penyangraian, penumbukan, pengayakan dan pengemasan. Wisatawan dapat
belajar memasak kuliner asli dengan cara tradisional di dapur Kemiren yang masih terjaga
keasliannya. Belajar menari dan alat musik tradisional Banyuwangi. Wisatawan juga dapat
menikmati tracking sawah dan berwisataedukasi mulai menanam padi, membajak
sawahdanbermain lumpur. Lalu belajar membatik dimulai dari proses pembuatan Batik khas
suku osing Banyuwangi, mulai dari mencanting hingga finishing.28
Desa wisata Adat Kemiren dilengkapi dengan fasilitas yang cukup memadai. Kamar
mandi umum tersedia di setiap tempat singgah yangdisediakan, mushola, rumah makan dan
jika inginmenikmati kuliner khas di desa tersebut setiappagi dibuka pasar umum yang

26
. Dariharto. 2009. Kesenian Gandrung Banyuwangi. Banyuwangi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi
27
. Raharjo, B. 2016. Dinamika Kesenian Gandrung di Banyuwangi Tahun 1950-2013. EJurnal Humanis. Vol 15: 7-14.
28
. Swastika, dkk. 2016. Dinamika Kesenian Topeng Kona di Desa Blimbing Kecamatan Klabang Kabupaten Bondowoso
Tahun 1941-2014. Jurnal. Vol.51 (1): 104-117.
menjajakan segala macamjajanan khas dari Banyuwangi, penduduk desa di Desa Kemiren
juga membuka warung-warung kecil didepan rumah mereka. Masyarakat lokal di DesaWisata
Kemiren sangat mejaga kebersihan wilayahdesa. Ketia kita berkunjung ke Desa Wisata
Kemirenmaka akan ditemui tempat sampah disempanjangjalan. Selanjutnya, terdapat juga
taman bermainanakyang biasanya dimanfaatkan oleh wisatawan yangmembawa anak-anak,
taman bermain tersebut dapat ditemui di desa bagian barat. Taman bermain di DesaWisata
Kemiren juga dilengkapi dengan fasilitaskolam renang yang dapat dinikmati oleh masyarakat
lokal dan wisatawan. Fasilitas lainnya yang dapat dinikmati di Desa Wisata Kemiren adalah
homestayyang disediakan oleh masayarakat lokal. Posisi homestay sangat strategis dan
memiliki fasilitas yangstandar dan harga yang terjangkau.29

Salah satu keunikan Desa Wisata Kemirenadalah bangunan adat Suku Osing.
Kekhasan ini yangmenjadi modal utama pemerintah daerah membangunWisata Osing.
Infrastruktur di desa ini mewadahi aktivitas budaya masyarakat Osing sekaligus menjadi
wadah edukasi dan pengenalan budaya untukmasyarakat yang tidak hanya secara lisan
melainkandari segi arsitektural dan lingkungannya. FasilitasWisata Budaya Osing ini terletak
di Desa Kemiren yang merupakan kawasan desa adat Osing yang telah ditetapkan pemerintah
kota karena keberadaan pemukiman masyarakat Osing asli dimana tradisi dan adat istiadat
masih kental dirasakan.30

Wisata budaya memperhatikan tradisi, adatistiadat dan kepercayaan masyarakat Osing


serta memperhatikan kondisi dan potensi lingkungan sekitarnya agar dapat mewujudkan
desain bangunan dan lanskap yang mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitar secara
langsung dan bukan merupakan sebuah desain yang berdiri sendiri melainkan menjadi satu
kesatuan dengan lingkungan aslinya. Rumah tradisional Osing memiliki keunikan dari segi
bentuk arsitektural dan struktur kontruksinya yang berbeda dengan rumah adat tradisional di
daerah lain sehingga pendalaman struktur konstruksi diambil untuk mengenalkan pada
masyarakat mengenai identitas asli rumah Osing.31
Masyarakat Desa Wisata Kemiren memiliki sifat yang sangat ramah tamah. Hal
tersebut dapat kita rasakan ketika bertemu langsung denganmasayarakat lokal di desa
tersebut. Disepanjangjalandi Desa Wisata Kemiren dapat ditemui warung- warung yang
menjual kopi khas Kemiren. Selamaperjalanan di desa tersebut warga juga menyapa

29
. Valida, M .S 2017. Peran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi Pada Penyelenggaraan Festival Gandrung Sewu
Sebagai Daya Tarik Wisata. Skripsi. Malang: Universitas Brawijaya.
30
. Yuliana, I. 2018. Dinamika Gandrung Sebagai Identitas Kabupaten Banyuwangi Pada Tahun 2002-2017. Skripsi. Jember:
Universitas Jember.
31
Sidung Haryanto, Sosiologi Agama dari Klasik Hingga Postmodern, Yogyakarta: Ar-ruzz Media, (2018), h. 13
parawisatawan di sela-sela kegiatan mereka. Begitupuladengan pokdarwis di desa tersebut
yang notabeneadalah anak muda lokal disana yang sangat ramahmenyambut dan memberikan
segala informasi yangditanyakan oleh para wisatawan yang berkunjung. Para pengelola
disana juga dengan sigap membantupara wisatawan yang memerlukan bantuan.32
Dalam mendukung penerapan pariwisataberbasis masyarakat di Desa Kemiren,
seluruhmasyarakat dapat terlibat dan memiliki peran yangadil antara antara laki-laki,
perempuan, tua dan muda. Seluruhnya tergabung dalam komunitas pariwisata. Jika dahulu
siswa-siswi hanya memiliki perandi sekolah dan di rumah, maka berbeda setelahmasuknya
pariwisata di Desa Kemiren. Siswa-siswi tersebut dapat bekerja pada bidang pariwisata
denganposisi sebagai pramuwisata dibawah POKDARWIS. pada bagian kuliner, posisi
dominan masihdiperankan oleh ibu-ibu dan tidak menutupkemungkinan jika ada laki-laki
yang ikut bergabungdalam usaha kuliner di Desa Kemiren.33
Dalam pertunjukan seni dan tari untukpenyambutan wisatawan di Desa Kemiren
memberdayakan para lansia sehingga lebih produktif dan unik. Maka dari itu dapat
disimpulkan bahwa dengan masuknya pariwisata di Desa Kemiren memberikan dampak yang
positif bagi kondisi sosial masyarakat. Pembagian profesi dilakukan secara adil dan
menjunjung tinggi rasa gotong royong serta saling menghargai antara sesama masyarakat di
Desa Kemiren Banyuwangi. Konsep yang dikembangkan dalam pariwisata desa Kemiren
adalah pariwisata budaya dengan mengangkat kesenian Desa Kemiren seperti Gandrung,
Barong dan Mocoan Lontar Yusuf. Jika duhulu penggunaan kesenian di Desa Kemiren
Banyuwangi hanya ditunjukkan pada saat acara adat atau keagamaan, maka penggunaanya
sudah berbeda setelah masuknya pariwisata di Desa Kemiren Banyuwangi. Sejalan dengan
konsep yang diterapkan oleh Desa Kemiren dalam mengembangkan pariwisatanya yaitu
budaya, maka pertunjukan kesenian budaya Desa Kemiren pada saat ini memiliki peran
ganda. Pertama yaitu kesenian yang dipertunjukkan pada saat acara keagamaan dan adat, lalu
kedua kesenian yang dipertunjukkan untuk wisatawan.34

Terdapat tiga jenis kesenian yang digunakan untuk untuk pertunjukan bagi wisatawan
yakni: pertama adalah Gandrung yang merupakan kesenian tertua di Kabupaten Banyuwangi.
Penari gandrung kemudian membawakan Gendang-Gending Banyuwangi yang berisikan
petuah dengan berbalasan pantun. Kedua adalah Barong yang sering dimainkan pada berupa

32
. Aref, F. (2009) Community Perceptions Toward Economic and Environmental Impacts of Tourism on Local
Communities. Journal of Asian Social Science, Vol. 5 No, 7.
33
. Kinant, L. A. B. et al. (2017). Uapaya Penyelamatan Benda Purbakala Sebagai Wisata Edukasi. Prosiding Seminar
Nasional. SNAPER – EBIS. 2017
34
. Anoegrajekti, N. (2014). Janger Banyuwangi dan Minakjinggo. Revitalisasi Budaya. Literasi. Vol 4. No. 1.
atraksi teater. Ketiga adalah Mocoan Lontar Yusuf yang merupakan kitab yang berisikan
kosakata berupa tembang dan ayat-ayat. Lontar ini merupakan gabungan antara agama Islam
dan kebudayaan suku Osing (Syaiful et al., 2015). Meskipun kesenian Desa Kemiren
dipertunjukkan kepada wisatawan, masyarakat lokal tetap berusaha menjaga keskralan dari
seni tersebut denganmenjalankan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Sehingga dapat
disimpulkan, terdapat perubahanpadapenggunaan kesenian di Desa Kemiren
pascaberkembangnya pariwisata, akan tetapi keseniantersebut masih dijaga kesakralannya
oleh masyarakat lokal.35

Seperti halnya suku lainnya di Indonesia, masyarakat Osing merupakan masyarakat


yang sangat kental terhadap tradisi leluhur. Nuansa itu bahkan sudah terasa sangat jelas
ketika memasuki gerbang Desa Kemiren dimana terdapat miniatur rumah adat masyarakat
suku Osing. Bahkan bukan hanya sekedar miniatur yang terpajang, melainkan sebuah harapan
yang akan diwujudkan dalam sebuah program pembangunan yang berbasis kearifan lokal,
yakni pelestarian rumah adat masyarakat suku Osing.
Rumah adat merupakan sebuah seni arsitektur yang memiliki ciri khas tertentu.
Rumah adat merupakan representasi kebudayaan yang paling tinggi dalam sebuah komunitas
suku/masyarakat. Rumah adat masyarakat Osing merupakan rumah asli atau rumah
tradisional daerah Banyuwangi. Rumah adat masyarakat Osing telah dibangun dari generasi
ke generasi oleh masyarakat Osing yang ada di Banyuwangi. Rumah adat Osing mengandung
makna yang luas, tidak hanya makna kegunaan tetapi mempunyai fungsi sosial dan makna
budaya36
Rumah adat masyarakat Osing dibagi menjadi tiga model konstruksi, yaitu model
tikel balung dengan empat atap rumah, model baresan dengan tiga atap rumah dan model
cerocongan dengan dua atap rumah. Untuk bagian dalam rumah terdiri atas bale (ruang
tamu), jerumah (kamar) dan pawon (dapur), sedangkan bagian luar terdiri atas amper (teras)
dan ampok (teras samping kanan-kiri). Ketiga model rumah tersebut menggambarkan filosofi
awal proses dalam berumah tangga. Model Cerocongan menggambarkan penghuninya
merupakan pasangan suami isteri muda yang baru menikah dan dari sisi kemapanan belum
maksimal. Model Baresan menggambarkan keluarga sudah lumayan mapan dan secara

35
. Anoegrajekti, N. dan Macaryus S. (2018). Sastra Lisan Berbasis Industri Kreatif: Ruang Penyimpanan, Pengembangan,
dan Identitas. Jurnal Atavisme. Vol 21 (1).
36
. Antariksa dkk. 2010. Pelestarian Pola Permukiman Masyarakat Osing di Desa Kemiren Kabupaten Banyuwangi, Jurnal
Penelitian. Malang: Universitas Brawijaya
struktur keluarga sudah memiliki beberapa anak. Model tikel balung menggambarkan
keluarga bahagia yang sangat mapan dan sejahtera.37
Secara umum rumah sebagai tempat untuk melepaskan lelah, bergaul, membina rasa
kekeluargaan antar anggota keluarga, berlindung, menyimpan barang berharga dan sebagai
lambang status sosial.38 Dalam artian khusus, rumah adat merupakan bangunan yang
memiliki ciri khas, digunakan untuk tempat hunian oleh suatu komunitas masyarakat tertentu.
Rumah merupakan representasi kebudayaan yang paling tinggi dalam sebuah komunitas
suku/masyarakat. Kesadaran akan artian khusus inilah yang membuat masyarkat Osing
tersadar akan pentingnya pelestarian rumah adat Osing. Satu diantara program pengembangan
desa adat adalah pelestarian rumah adat masyarakat Osing. Adanya simbolis rumah sebagai
peninggalan arsitektur budaya cukup menyita perhatian, dilihat dari bentuk bangunan yang
khas dan tradisional membuat setiap wisatawan seakan terasa hidup dizaman tradisionil dan
sangat natural. Namun tidak semua rumah adat yang ada di Desa Kemiren masih
dipertahankan, melainkan sudah berganti layaknya rumah modern saat ini.39
Dalam adat istiadat Banyuwangi juga terdapat ritul dan tradisi. Ritual merupakan
sebuah kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pelestarian dan pengembangan
budaya agar tetap lestari, serta sebagai bentuk komunikasi atas rasa syukur dalam kehidupan
manusia. Ritual tersebut pelaksanaanya sudah diatur, ditentukan, dan tidak dapat
dilaksanakan secara sembarangan. Hal tersebut dijelaskan oleh (Manafe, 2011) ritual
merupakan cara manusia menyampaikan sesuatu dalam bentuk komunikasi simbolik dalam
situasisituasi sosial. Tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat salah satunya yakni tradisi
ritual Tari Seblang. Tradisi ritual tersebut berada di Desa Olehsari Kecamatan Glagah
Kabupaten Banyuwangi. Tradisi ini memiliki makna sebagai gambaran manusia dalam
menghadapi suatu krisis di dalam kehidupan seharihari. Hal tersebut dijelaskan oleh (Saputra,
2014) bahwa Tari Seblang merupakan suatu tradisi ritual masyarakat Osing yang dipercayai
sebagai ritual kesuburan dan tolak balak yang bersifat sakral. Tari Seblang tidak terlepas dari
unsurunsur yang lain seperti koor music, tata rias, tata busana, dan tata panggung. Adapun
peran penting yang tidak bisa ditinggalkan dalam tradisi ritual Tari Seblang adalah adanya
seorang dukun dalam pertunjukan. Sedangkan menurut Yashi (2018) tradisi Seblang
dilaksanakan sebagai penghormatan cikal bakal, ungkapan terima kasih atas panen yang
dihasilkan serta sebagai pengusir roh jahat yang mengganggu kedamaian masyarakat desa.

37
. Kuswanto, Heru. 2013. Pengertian Hukum Adat. Fakultas Hukum. Universitas Narotama Surabaya.
38
. Syaiful, Moh dkk. 2015. Jagat Osing Seni, Tradisi dan kearifan Lokal Osing. Lembaga Mayarakat Adat Osing
39
Mohammad Ayoob, Migth of the Monolith, Mohammad Ayoob (ed), The Politic of Islamic Reassertion, London: Croom
Helm, 1981.
Oleh karena itu, Tari Seblang merupakan sebuah tradisi ritual yang diyakini oleh masyarakat
untuk bersih desa ataupun sebagai tolak balak masyarakat Desa Olehsari Kecamatan Glagah
Kabupaten Banyuwangi.40

Beberapa kajian baik secara teoritis maupun empiris telah menunjukkan bahwa
keberadaan tradisi ritual Tari Seblang di Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, Kabupaten
Banyuwangi menarik untuk dikaji. Hal tersebut karena Tari Seblang merupakan sebuah
tradisi ritual yang hanya ada di daerah suku Osing Banyuwangi. Tradisi ritual ini hanya
dilaksanakan disatu titik tempat dimana Tari Seblang tersebut berada. Masyarakat desa
Olehsari sampai saat ini masih tetap melestarikan dan melaksanakan tradisi ritual tersebut.41

Dalam tradisi ritual tersebut dilaksanakan selama tujuh hari berturut-turut, dan juga
dikaitkan dengan tradisi ritual masyarakat yang diyakini mempunyai makna tersendiri
(Yuliani, 2007). Disisi yang lain, dikatakan Tari Seblang pada etos masyarakat masih tetap
terjaga eksistensinya, karena Tari Seblang dapat mencakup semua aspek kehidupan bagi
masyarakat (Vita, 2015) termasuk di dalamnya Kerjasama tim (Idris & Adi, 2019; Purwadita
et al., 2018) dan peran kepemimpinan dalam masyarakat (Sani et al., 2018; Supriyanto et al.,
2020). Dengan demikian selain fungsi dan etos Tari Seblang. Tujuan adanya tradisi ritual Tari
Seblang penting juga di teliti latar belakang munculnya tradisi ritual Tari Seblang, prosesi
tradisi ritual Tari Seblang, dan makna simbolik yang ada di setiap busana dan gerakannya.42
Sejarah Seblang merupakan suatu kajian yang sulit dijabarkan berdasarkan data-data
yang telah untuk pengecekan keabsahan data yaitu menggunakan triangulasi. Teknik
wawancara digunakan untuk menggali informasi dari informan kunci dan informan
pendukung. Informan kunci dalam penelitian ini terdiri dari ketua adat, penari Seblang, dan
para pelaku tradisi ritual Tari Seblang (pawang, perias, pembuat omprog (mahkota), sinden,
penabuh, pengetut, pengudang, pewadah, dan penata sesaji). Sedangkan, informan pendukung
dalam penelitian ini adalah kepala Desa Olehsari. Penelitian ini mengunakan teknik analisis
data dari model interaktif Miles dan Hubermen, yang meliputi pengumpulan data, reduksi
data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.43
Masyarakat menganggap tradisi ritual Tari Seblang bersumber pada Sanghyang (roh
leluhur) yang dianggap menjadi Seblang. Dalam tradisi ritual ini, sejarahnya masih
40
. Arida, I.N; Sunarta, I.N. 2017. PariwisataBerkelanjutan. Fakultas PariwisataUniversitas Udayana: Cakra Press
41
. Ariyanti, I.D. 2020. Dampak Sosial Ekonomi Pengembangan Desa Wisata Osing Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten
Banyuwangi. Digital Repository Universitas Jember
42
. Wahyudiono, A; Imaniar, D. 2021. DampakPariwisata Terhadap Aspek Sosial BudayaMasyarakat Desa Kemiren di
KabupatenBanyuwangi. Jurnal Representamen, Vol. 7, No. 01
43
. Gagriel Almond dan Sidney Verba, The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations, Princeton:
Princeton University Press, 1963
berhubungan dengan sejarah Blambangan dan sejarah kerajaan macan putih. Dimana pada
mulanya masyarakat melakukan perlawanan terhadap kompeni Belanda terutama pada saat
perang puputan bayu. Adanya peristiwa tersebut gendhinggendhing dan gerakan tarian
ditampilkan secara simbolis. Hal ini sesuai pernyataan Agustianto (2011) bahwa simbol
merupakan suatu representasi mental dari subjek yang menyatakan bahwa suatu hal dapat
mengandung maksud tertentu. Pada saat itu, prajurit perempuan Blambangan selalu
mengawali persiapannya dengan melaksanakan tradisi ritual adat Tari Seblang.44
Berkaitan dengan tradisi ritual Tari Seblang di Desa Olehsari bahwa sejarah
munculnya tradisi ritual tersebut, masyarakat Desa Olehsari terkena wabah penyakit dan
gagal panen, sehingga masyarakat Desa Olehsari melakukan selamatan desa sebagai wujud
syukur hilangnya penyakit tersebut. Tradisi ritual ini telah tercatat sekitar tahun 1930-an,
yang mana awal munculnya tradisi ritual Tari Seblang ini didasari atas adanya wujud syukur
masyarakat Desa Olehsari karena dijauhkan dari balak. Hal ini sesuai pernyataan (Zackaria et
al., 2019) bahwa ritual Seblang pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang memiliki
fungsi sebagai ritual bersih desa serta tolak balak bagi masyarakat Desa Olehsari. Balak
tersebut dinamakan pageblug. Dimana penyakit ini membuat korban yang terkena penyakit
tersebut tidak bisa hidup dengan jangka waktu yang lama, Sebagai contoh pada pagi hari
korban merasakan sakit kemudian malam harinya korban meninggal, contoh lain jika korban
pada sore hari merasakan sakit, maka pada pagi hari korban ditemukan meninggal.
Terjadinya peristiwa pageblug membuat masyarakat Desa Olehsari mengalami keresahan dan
kekawatiran, pada saat itulah masyarakat diberikan petunjuk dari roh leluhur untuk
melakukan bersih desa yang dilaksanakan sebagai ritual Tari Seblang. Ritual tersebut
dilaksanakan pada bulan syawal tepat setelah hari raya Idul Fitri, selama tujuh hari berturut-
turut. Hal ini sesuai pernyataan (Kholil, 2010) jika Tari Seblang merupakan sebuah tradisi
ritual tahunan keagamaan yang diadakan masyarakat Desa Olehsari sebagai persembahan
agung untuk selamatan desa. Hal tersebut membuat masyarakat Desa Olehsari percaya bahwa
melakukan ritual Tari Seblang sebagai upaya menjaga keselamatan desa. 45

Pada perkembangannya, tradisi ritual Tari Seblang ini dari tahun ketahun memiliki
sebuah peningkatan yang sangat pesat, yang dulunya lokasi ritual masih memanfaatkan lahan
kosong dari masyarakat setempat, namun untuk sekarang sudah memiliki lahan, sarana dan
prasarana yang memadai untuk pelaksanaan ritual Tari Seblang. Masyarakat Desa Olehsari
44
Mohammad Ayoob, Migth of the Monolith, Mohammad Ayoob (ed), The Politic of Islamic Reassertion, London: Croom
Helm, 1981.
45
. Arifal, Fahad Hisyam dan Crys, Endrayadi Eko. 2017. Pengembangan Sektor Pariwisata di Kabupaten Banyuwangi
Tahun 2002-2013. Jurnal Publika Budaya. Vol 5(1): hal. 28-35
memiliki suatu aturan dalam melaksanakan prosesi tradisi ritual Tari Seblang. Prosesi tradisi
ritual ini cukup panjang, seminggu sebelum pelaksanaan dan sesudah pelaksanaannya disebut
dengan bersih desa. Bersih desa tersebut dilaksanakan dengan tujuan sebagai keselamatan
desa. Pada tahap sebelum persiapan masyarakat. melakukan selamatan desa, dimana
selamatan tersebut sebagai cara menghormati arwah roh leluhur yang masih berhubungan
dengan manusia dengan cara mengirimkan doa. Hal ini sesuai dengan pernyataan (D. A. A.
Sari, 2018) bahwa selamatan merupakan suatu bentuk aktivitas sosial yang dilakukan secara
tradisional, agar mendapatkan keselamatan, ketentraman, dan menjaga kelestarian, serta
sebagai kepercayaan masyarakat jawa terhadap arwah yang selayaknya dikirim doa dengan
cara menyelenggarakan selamatan.46

Tradisi ritual Tari Seblang terdiri dari tiga tahap yakni tahap pra prosesi, tahap prosesi,
dan tahap pasca prosesi. Pada tahap pra prosesi dilakukan dengan penentuan penari, hari, dan
tanggal pelaksanaan dengan suatu proses yang disebut dengan kajiman, dimana seseorang
mengalami kerasukan roh leluhur. Kajiman atau kerasukan ini terjadi biasanya pada puasa ke-
21 hari atau sekitar dua pekan sebelum pelaksanaannya. Penentuan ini dialami oleh orang
yang menjadi terima tamu khusus roh leluhur 47
Dengan adanya perantara seseorang tersebut yang dirasuki oleh roh leluhur. Maka
pawang, ketua adat, dan kepala desa mendatangi rumah orang yang mengalami kajiman
tersebut. Proses kajiman ini sebagai alat berkomunikasi pawang dengan roh leluhur untuk
menentukan penari, hari, dan tanggal pelaksanaannya. Penari Seblang yang terpilih dalam
proses ini, merupakan keturunan penari Seblang sebelumnya. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Ristanti (2019) bahwa penari Seblang merupakan perempuan yang masih suci
atau perawan dari keturunan penari Seblang sebelumnya.48
Pada tahap prosesi, pada hari H pelaksanaan tradisi ritual Tari Seblang, malamnya
diadakan selamatan di rumah perias, dengan menyiapkan sesaji-sesaji yang akan di bawa ke
panggung ritual. Isi sesaji tersebut merupakan hasil bumi masyarakat Desa Olehsari. Setelah
selesai, paginya perias Seblang membuat omprog (mahkota) yang akan dikenakan oleh penari
Seblang. Pada saat penari Seblang akan dirias, ada orang yang mempunyai bagian.
menjemput Seblang untuk di bawa ke rumah perias. Tradisi ritual Tari Seblang dimulai pukul
14.00 sampai menjelang magrib. Mula-mula, penari Seblang berangkat dari rumah perias
46
. Indiarti, Wiwin. 2015. Kajian Mengenai Desa Kemiren Sebagai Penyangga Tradisi dan Kearifan Lokal Masyarakat Osing.
Banyuwangi: Lembaga Masyarakat Adat Osing
47
. Tahir, Arifin. 2011. Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Jakarta: PT. Pustaka
Indonesia Press.
48
. Gagriel Almond dan Sidney Verba, The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations, Princeton:
Princeton University Press, 1963
dengan keadaan masih sadar, saat perjalanan ke panggung ritual, penari Seblang diapit oleh
pawang dan pengudang, selanjutnya diikuti oleh pengetut dan sinden-sinden yang ada
dibelakangnya sebagai pembawa sesaji. Sesampainya di tempat ritual, penari Seblang
didudukan pada tempat yang sudah disediakan oleh pawang. Pawang tersebut membantu
penari Seblang berdiri dengan membawa tempeh (nampan) sembari membaca mantra,
membawa perapen dan kemenyan serta memakaikan omprog (mahkota) dikepala Seblang,
disertai dengan kegiatan menutupi mata oleh penekeb. Penutupan mata dilakukan karena
penari Seblang menari dengan keadaan mata tertutup dengan mengikuti alunan gamelan
gendhinggendhing yang dinyanyikan oleh pesinden.49
Tari Seblang memiliki tatanan tertentu yang berhubungan dengan gendhing, gerakan
tersebut terus dilakukan berulang kali dan terlihat monoton. Gerakan Seblang ada 4 (empat)
antara lain gerak sapon, gerak ukel buang, celeng mogok, dan condro dewi. Gerak sapon,
memiliki makna sebagai bersih desa. Gerak ukel buang sebagai tolak balak masyarakat Desa
Olehsari. Celeng mogok mempunyai makna tangguh dan perkasa yang dimiliki masyarakat.
Ondro dewi sebagai simbol suatu pelindung, dimana perlindungan tersebut mempunyai
sebuah makna sebagai penghalang atau penangkal hal buruk yang akan menimpa masyarakat
Desa Olehsari. Pada pertengahan ritual, ada yang namanya gendhing dermo, gendhing ini
merupakan suatu interaksi antara Seblang dengan penonton untuk melakukan jual beli bunga.
Menurut kepercayaan masyarakat Olehsari bunga tersebut mengandung nilai magic, yang
memiliki banyak manfaat sebagai penyembuh penyakit, memperoleh rejeki, dan memperlaris
dagangan. Dalam bunga tersebut terdapat bunga pecari dan bunga wongso. Hal ini sesuai
dengan penyataan Asha, dkk (2018) bahwa kembang dermo merupakan bunga yang
dipercayai oleh masyarakat dapat dijadikan sebagai menyembuhkan penyakit, mendapat
jodoh, dan memperlancar dagangan. Setelah melakukan jual bunga, penari Seblang naik ke
atas meja untuk melemparkan sampur (selendang) kepenonton untuk ikut menari bersama di
atas meja yang ada di panggung ritual. Kegiatan melempar sampur (selendang) kepenonton
ini disebut dengan “tundikan”. Pada prosesi terakhir sinden menyanyikan gendhing sampun.
Gendhing tersebut sebagai mantra untuk menyadarkan penari Seblang. Setelah sadar, penari
Seblang berserta rombongan kembali kerumah perias. 50

Pelaksanaan tradisi ritual Tari Seblang, dilaksanakan selama tujuh hari berturut-turut,
dan di hari terakhir (pungkasan) dilanjutkan prosesi yang dinamakan ngelungsur. Sebelum
49
Mohammad Ayoob, Migth of the Monolith, Mohammad Ayoob (ed), The Politic of Islamic Reassertion, London: Croom
Helm, 1981.
50
Khursid Ahmad, Islam and Democracy: Some Conceptual and Contemporary Dimensions, The Muslim World, Vol. 90,
No. 1 dan 2, Spring 2000.
melakukan ngelungsur, dipertengahan prosesi ritual diadakan ider bumi (arak-arakan)
mengelilingi. Desa Olehsari. Setelah selesai ider bumi (arak-arakan) penari Seblang kembali
lagi ke panggung ritual untuk menyelesaikan prosesi ritual tersebut dengan keadaan tidak
sadar atau kerasukan. Prosesi ritual awal sampai akhir selesai, penari Seblang berserta
rombongan kembali ke rumah perias untuk melakukan ngelungsur (memandikan penari
Seblang, pawang, pengudang, pengetut, sinden, penabuh, dan para pelaku adat) guna
membersihkan diri dari hal-hal negatif yang masih terbawa dalam ritual Tari Seblang.51

Masyarakat Desa Olehsari, memaknai tradisi ritual Tari Seblang sebagai bersih desa
untuk perwujudan syukur masyarakat atas berkah yang diberikan. Tradisi ritual Tari Seblang
ini menjadi simbol budaya lokal yang dimiliki oleh masyarakat Desa Olehsari. Menurut
Cassier (dalam Haris & Amalia, 2018) tanpa adanya suatu kompleks simbol, suatu pikiran
relasional tidak akan mungkin terjadi. Hal tersebut, membuat manusia memiliki sebuah
kemampuan untuk mengisolasi hubungan dan mengembangkannya dalam suatu makna yang
abstrak.52
Tradisi ritual Tari Seblang Desa Olehsari Banyuwangi mengandung beberapa makna
simbolik yang tersirat pada setiap busana dan gerakannya. Pada busana Seblang tersebut
yaitu; (1) Omprog (mahkota) diyakini memiliki makna sakral yang mistis, dalam omprog
(mahkota) berisi pupus pisang yang memiliki makna manusia yang masih suci dan bersih dari
dosa, bungabunga hidup diyakini mengandung makna kehidupan di dunia tetap wangi, dan
kaca kecil sebagai penolak sihir hitam; (2) Kemben memiliki makna sebagai suatu
perwujudan keanggunan seorang wanita; (3) Sampur (selendang) memiliki makna sebagai
tanggung jawab yang diberikan keseseorang agar selalu ingat kepada orang yang berada
dikalangan bawah; (4) Sabuk, sebagai simbol perut masyarakat yang memiliki makna sebagai
gambaran atas penderitaan yang dialami oleh masyarakat seperti kekurangan makan dan
kelaparan; (5) Pendhing sebagai simbol kebesaran dan keagungan; (6) Sarung
jawa/sewek/jarik yang bermotif gajah oling, bersimbol tumbuhan yang memiliki makna
sebagai kesuburan bagi masyarakat Banyuwangi; (7) Kaos kaki sebagai perlindungan kaki
penari Seblang.53
Kebudayaan lainnya yang mencuriperhatian berbagai kalangan yaitu Tari Gandrung
dan perayaan Gandrung Sewu. Dua tahun terakhir ini, kota Banyuwangi menjadi sangat

51
. Yusuf Al-Qardhawi, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik: Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan Liberalisme,
Jakarta: Pustaka AL-Kautsar, 2008.
52
Sidung Haryanto, Sosiologi Agama dari Klasik Hingga Postmodern, Yogyakarta: Ar-ruzz Media, (2018), h. 13
53
. Gagriel Almond dan Sidney Verba, The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations, Princeton:
Princeton University Press, 1963
terkenal, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga dunia. Hal ini tentu terkait dengan berbagai
festival yang diselenggarakan di kota wisata ini. Pada tahun 2012 sampai 2017,
penyelenggaraan festival hanya 12 sampai 20 even festival dalam setahun. Sedangkan, tahun
2018 melonjak menjadi 75 festival dan tahun 2019 bertambah menjadi 99 festival. Di bulan
Oktober tahun 2019 ini, diselenggarakan festival fenomenal yakni ‘Tari Gandrung Sewu’,
suatu tarian tradisional ‘kolosal’ yang dibawakan oleh 1000 penari wanita.54
Suatu penyelenggaraan festival yang melibatkan banyak orang dan mampu
mendatangkan banyak wisatawan lokal dan mancanegara ke kota Banyuwangi. Ketika naik
pesawat ke berbagai tujuan di Indonesia, maka akan ditemukan brosur tentang kegiatan
terkait dengan promosi daya tarik wisata di Banyuwangi, yang sangat luar biasa, yakni salah
satunya ‘festival gandrung sewu’. Saat ini, Kota wisata yang menjadi destinasi unggulan baru
di wilayah Jawa Timur bagian timur ini disorot banyak pihak terkait dengan upaya
pemerintah daerah dan seluruh masyarakatnya untuk menjadikan kota Banyuwangi menjadi
destinasi penting di Indonesia.55

Kesenian yang paling populer adalah Gandrung. Pada 31 Desember 2002 Gandrung
ditetapkan sebagai maskot Kabupaten Banyuwangi melalui Surat Keputusan Bupati
Banyuwangi (Dariharto, 2009:36). Tidak hanya sebagai maskot, Gandrung juga mulai
dipandang sebagai identitas Kabupaten Banyuwangi oleh masyarakat pada umumnya
(Yuliana, 2018:3). Para seniman Banyuwangi yang tergabung dalam Paguyuban Pelatih Seni
dan Tari Banyuwangi (Patih Senawangi) melihat bahwa Gandrung sebagai identitas
Banyuwangi bisa menjadi sesuatu yang menjanjikan untuk dipentaskan. Bukan hanya sebagai
slogan nama Gandrung Banyuwangi saja, akan tetapi di Banyuwangi memang benar-benar
ada ribuan Gandrung dan bahkan hal tersebut telah menjadi salah satu bagian dari kehidupan
masyarakat yang sudah mendarah daging dan tidak bisa dipisahkan. Lebih ditegaskan lagi
bahwa dimana ada masyarakat Banyuwangi, maka disitu pula ada komunitas yang bisa
menari Gandrung.56

Latar belakang penyelenggaraan Festival Gandrung Sewu juga didorong dari faktor
politik yakni dari pihak pemerintah. Pemerintah daerah berupaya untuk tetap melestarikan
Gandrung sebagai maskot Kabupaten Banyuwangi. Kurang adanya daya tarik di Banyuwangi
juga mengharuskan pemerintah daerah untuk mencari strategi agar dapat mendatangkan

54
Mohammad Ayoob, Migth of the Monolith, Mohammad Ayoob (ed), The Politic of Islamic Reassertion, London: Croom
Helm, 1981.
55
Khursid Ahmad, Islam and Democracy: Some Conceptual and Contemporary Dimensions, The Muslim World, Vol. 90,
No. 1 dan 2, Spring 2000.
56
Agustianto. (2011). Makna Simbol dalam Kebudayaan Manusia. Jurnal Ilmu Budaya, 8(1), 1–63.
wisatawan ke Banyuwangi. Hal ini dikarenakan pada tahun 2010-2011 Gunung Kawah Ijen
yang menjadi tempat wisata unggulan di Kabupaten Banyuwangi berstatus siaga. Sehingga
wisatawan yang datang ke Banyuwangi juga semakin sedikit. Abdullah Azwar Anas selaku
Bupati Kabupaten Banyuwangi mempunyai ide untuk menarik wisatawan yaitu dengan
membuat jadwal acara tahunan berupa kalender Banyuwangi Festival (B-Fest). Bertepatan
dengan pembuatan kalender Banyuwangi Festival (B-Fest), Bupati Abdullah Azwar Anas
juga menginginkan sebuah pertunjukkan yang dapat mengangkat budaya lokal di Kabupaten
Banyuwangi. Tujuan dibuatnya Banyuwangi Festival adalah untuk menarik wisatawan agar
datang ke Banyuwangi.57
Faktor ekonomi terjadi karena pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Banyuwangi
mengalami penurunan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) semakin rendah disebabkan
menurunnya wisatawan yang datang ke Banyuwangi. Kunjungan wisatawan pada tahun 2011
mengalami penurunan khususnya pada wisatwan mancanegara. Faktor ekonomi juga
didominasi oleh keinginan masyarakat Kabupaten Banyuwangi untuk dapat menambah
penghasilan. Keluhan dirasakan oleh masyarakat yang bermata pencaharian sebagai pengrajin
di Banyuwangi karena tidak adanya pesanan dari masyarakat lokal maupun non lokal.
Keluhan yang sama juga terjadi pada beberapa pemilik sanggar tari yang merasa bahwa
semakin lama sanggar yang dikelola semakin meredup. Hal ini karena tidak adanya antusias
dari para generasi muda untuk melestarikan kesenian Banyuwangi.58
Gagasan Festival Gandrung Sewu sebenarnya sudah mulai dirintis sejak tahun 2006
oleh Paguyuban Pelatih Seni dan Tari Banyuwangi (Patih Senawangi). Kegiatan tersebut
belum bisa langsung dilaksanakan karena jumlah pakaian Gandrung yang masih sedikit.
Tahun 2009 jumlah pakaian Gandrung yang terkumpul kurang lebih sebanyak 650 pakaian.
Festival Gandrung Sewu mulai diselenggarakan pada masa kepemimpinan Bupati Abdullah
Azwar Anas, yakni pada tahun 2012. Diadakannya Festival Gandrung Sewu bertepatan
dengan disusunnya Banyuwangi Festival oleh Pemerintah Daerah Banyuwangi. Banyuwangi
Festival (B-Fest) adalah serangkaian kegiatan atau event yang diselenggarakan oleh
pemerintah daerah yang mengangkat potensi alam dan budaya yang ada di Banyuwangi
dalam bentuk festival.59
Paguyuban Pelatih Seni dan Tari Banyuwangi (Patih Senawangi) yang diwakili oleh
Bapak Budianto menyampaikan kepada pemerintah daerah bahwa para seniman Banyuwangi
57
. Anny, A. A. R. (2017). Proses Ritual Sêblang Olehsari. JOGED, 8(1), 239–250
58
. Herawati Niken, E. (2010). Makna Simbolik dalam Tatarakit Tari Bedhaya. In Tradisi Jurnal Seni dan Budaya (Vol. 1, pp.
81–94). Asosiasi Pendidik Seni Indonesi (APSI).
59
Mohammad Ayoob, Migth of the Monolith, Mohammad Ayoob (ed), The Politic of Islamic Reassertion, London: Croom
Helm, 1981.
mempunyai usulan untuk mengadakan Festival Gandrung Sewu. Akan tetapi usulan dari
Patih Senawangi untuk mengadakan Festival Gandrung Sewu tersebut tidak mendapatkan
persetujuan dari pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan pemerintah daerah tidak yakin
bahwa Patih Senawangi bisa mengumpulkan seribu penari Gandrung. Tahun 2012 Paguyuban
Pelatih Seni dan Tari Banyuwangi (Patih Senawangi) mencoba memaksakan untuk
menyelenggarakan Festival Gandrung Sewu walaupun tanpa adanya bantuan dari pemerintah
daerah. Berbagai upaya dilakukan agar Festival Gandrung bisa terlaksana di tahun 2012.
Dengan segala usaha, kendala dan kekurangan yang dihadapi, akhirnya pada 17 November
2012 Paguyuban Pelatih Seni dan Tari Banyuwangi (Patih Senawangi) mampu mengadakan
Festival Gandrung Sewu. Patih Senawangi berhasil membuktikan kepada pemerintah daerah
bahwa mampu mengumpulkan seribu penari Gandrung dan berhasil menyelenggarakan event
tersebut dengan lancar.60

Penyelenggaraan tahun pertama diberi nama Parade Gandrung Sewu yang diadakan
pada tanggal 17 November 2012. Diadakannya Parade Gandrung Sewu yang pertama
mengalami banyak kendala, terutama dialami oleh Paguyuban Pelatih Seni dan Tari
Banyuwangi (Patih Senawangi). Hal ini karena Patih Senawangi yang mengadakan Parade
Gandrung Sewu dan tidak ada campur tangan dari pemerintah. Walaupun Parade Gandrung
Sewu yang pertama sudah masuk dalam kalender Banyuwangi Festival, namun tidak ada
instansi yang terlibat di dalamnya. Pemerintah daerah pun enggan untuk memberikan bantuan
kepada Paguyuban Pelatih Seni dan Tari Banyuwangi (Patih Senawangi) untuk keperluan
penyelenggaraan Parade Gandrung Sewu. Kendala yang dialami adalah terkait perlengkapan
dan keamanan, biaya pun menjadi salah satu kendala utama dalam penyelenggaraan Parade
Gandrung Sewu. Dalam penyelenggaraannya belum kompak dalam melakukan gerakan, hal
ini karena tidak adanya seleksi. Busana yang dikenakan pun masih berwarna-warni.
Walaupun demikian, Parede Gandrung Sewu mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor
Indonesia-Dunia (MURI).61

Festival Gandrung Sewu yang kedua diadakan pada tanggal 23 November 2013.
Jumlah penari Gandrung pada Festival Gandrung Sewu tahun 2013 ini merupakan jumlah
yang paling banyak diantara tahun-tahun yang lainnya, yakni mencapai 2.106 peserta. Tema
yang diambil adalah bagian kedua dalam pertunjukan Gandrung yaitu Paju Gandrung. Paju
Gandrung merupakan tari berpasangan antara laki-laki dan perempuan. Event yang kedua ini
60
Khursid Ahmad, Islam and Democracy: Some Conceptual and Contemporary Dimensions, The Muslim World, Vol. 90,
No. 1 dan 2, Spring 2000.
61
. Kholil, A. (2010). Seblang dan Kenduri Masyarakat Desa Olehsari: Relasi Ideal Antara Islam dan Budaya Jawa di
Banyuwangi. El-Harakah (Terakreditasi), 12(2), 131–153.
diberi nama Paju Gandrung Sewu. Hal ini karena disesuaikan dengan tema yang digunakan.
Kendala yang dihadapi Patih Senawangi dalam event yang kedua ini adalah mencari penari
laki-laki. Patih Senawangi tidak mau jika membuat manipulasi. Artinya dalam Festival
Gandrung Sewu harus benar-benar laki-laki, bukan perempuan yang didandani seperti laki-
laki.62
Dampak positif adanya Festival Gandrung Sewu di bidang budaya adalah masyarakat
memahami bahwa Gandrung tidak hanya tarian tetapi juga memiliki sejarah karena dalam
tema yang dibawakan selalu menceritakan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di
Banyuwangi pada masa lampau. Jadi masyarakat bisa memahami sejarah Banyuwangi
walaupun secara garis besar. Selain itu, Gandrung juga lebih dikenal masyarakat luas baik
nusantara maupun mancanegara. Sejak adanya Festival Gandrung Sewu, Gandrung sering
diundang diberbagai acara nasional maupun internasional.63
Sesuai dengan tujuan dasar untuk menyatukan perbedaan-perbedaan etnis yang ada di
Banyuwangi, diadakannya Festival Gandrung Sewu dapat meminimalisir adanya perbedaan
yang terjadi. Sejak adanya Festival Gandrung Sewu, sanggar tari di Banyuwangi yang
awalnya meredup menjadi ramai. Adanya seleksi Festival Gandrung Sewu yang semakin
ketat membuat para calon peserta harus berlatih jauh sebelum event tersebut dilaksanakan.
Hal inilah menjadi faktor utama yang membuat sanggar tari di Banyuwangi semakin hidup
kembali.64
Diadakannya Festival Gandrung Sewu tidak hanya untuk melestarikan kesenian asli
Banyuwangi, tetapi juga untuk kepentingan pariwisata. Sejak adanya Festival Gandrung
Sewu, data kunjungan obyek wisata dari tahun ke tahun semakin meningkat. Ketika Festival
Gandrung Sewu hendak diselenggarakan, banyak hotel yang penuh hingga beberapa
wisatawan tidak mendapatkan tempat penginapan. Beberapa wisatawan bahkan menginap di
rumah penduduk. Oleh sebab itu, saat ini mulai dibangun Home Stay agar para wisatawan
mendapat tempat penginapan secara keseluruhan. Selain hotel, penerbangan, transportasi, dan
tempat kuliner pun dipenuhi wisatawan selama Gandrung Sewu dilaksanakan. Dengan
demikian, terjadi perputaran uang yang pesat di Banyuwangi.65

62
Sidung Haryanto, Sosiologi Agama dari Klasik Hingga Postmodern, Yogyakarta: Ar-ruzz Media, (2018), h. 13
63
. Lestari, G. (2015). Bhinnekha Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia di Tengah Kehidupan Sara. Jurnal
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 28(1), 31–37.
64
Mohammad Ayoob, Migth of the Monolith, Mohammad Ayoob (ed), The Politic of Islamic Reassertion, London: Croom
Helm, 1981.
65
. Manafe, Y. D. (2011). Komunikasi Ritual pada Budaya Bertani Atoni Pah Meto di TimorNusa Tenggara Timur. Jurnal
ASPIKOM, 1(3), 287–298.
Perkembangan obyek wisata budaya di Kabupaten Banyuwangi meliputi obyek-obyek
wisata menampilkan kesenian adat daerah serta budaya menawarkan lokalitas kehidupan
sosial dan budaya masyarakat. Hal itu diisi dengan adanya program kesenian hiburan yang
sejak tahun 2002 dilakukan. 3URJUDP NHVHQLDQ¥8PEXO-8PEXO¥ GLODNXNDQ
VHEDJDL bentuk promosi wisata yang di lokasikan di kawasan Pantai Boom Kabupaten
Banyuwangi sebagai prioritas kebijakan Samsul Hadi dengan memberikan ruang bagi
kesenian Gandrung sebagai bentuk industri hiburan modern, memiliki tujuan terutama untuk
membangkitkan citra dari kesenian Gandrung sendiri sebagai bagian dari kehidupan sosial
masyarakat Kabupaten Banyuwangi. Program-program wisata budaya turut dilakukan pada
masa pemerintahan Bupati Abdullah Azwar Anas bersama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
tahun 2010 melalui sebuah event-event yang digelar setiap satu tahun sekali. Hal tersebut
bertujuan untuk menambah program obyek. wisata sekaligus melestarikan budaya daerah
setempat. Program-program tersebut meliputi: Festival Gandrung Sewu Pantai Boom,
Festival Kuwung di Kota Banyuwangi, Seblang Desa Olehsari-Bakungan, Barong Ider Bumi,
Banyuwangi Etnho Carnival (BEC)66

Banyuwangi Ethno Carnival menjadi salah satu event Kebudayaan Unggulan andalan
bagi pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Indikasi tersebut tidak terlepas dari usaha
pemerintah Banyuwangi mendorong Banyuwangi Ethno Carnival diadakan secara rutin setiap
tahun dan menjadi acara yang berskala internasional. Tahun 2014 Kementrian Kebudayaan
dan Pariwisata mendukung Banyuwangi Ethno Carnival masuk kalender pariwisata nasional.
Menteri Pariwisata Arief Yahya, mengagendakan acara Banyuwangi Ethno Carnival masuk
dalam promosi wisata yang mencakup nasional maupun mancanegara. Lebih lanjut, Arief
Yahya menyatakan setuju dan mendukung Banyuwangi Ethno Carnival masuk kalender
pariwisata nasional dan agenda wisata bagus seperti di Banyuwangi ini promosinya jangan
hanya lokal, tapi juga harus internasional ke mancanegara.67
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi berhasil dalam melaksanakan Banyuwangi Ethno
Carnival secara rutin setiap tahun dan mampu menunjukan komitmen dalam
mengkolaborasikan budaya lokal dengan kemasan modernitas pada setiap penyelenggaraan
acara. Penyelenggaraan Banyuwangi Ethno Carnival secara rutin setiap tahun menunjukkan
bahwa pemerintah dan rakyat Kabupaten Banyuwangi berupaya membangun industri kreatif
dengan mendefinisi dan mendefinisiulang dan memproduksi budaya secara serial aspek seni
dan budaya sebagai sektor industri, dan diselenggarakan secara rutin setiap tahun. Pada awal
66
. Njatrijani, R. (2018). Kearifan Lokal dalam Perspektif Budaya
67
Sidung Haryanto, Sosiologi Agama dari Klasik Hingga Postmodern, Yogyakarta: Ar-ruzz Media, (2018), h. 13
pelaksanaanya di tahun 2011, Banyuwangi Ethno Carnival mengambil tari “Gandrung,
Damarwulan, dan Kunduran” sebagai tema acara. Pelaksanaan Banyuwangi Ethno Carnival
di tahun 2012 mengambil tema “Re-Barong Using.” Banyuwangi Ethno Carnival di tahun
2013 mengambil tema “The Legend of Kebo-Keboan.” Penyelengaraan Banyuwangi Ethno
Carnival 2014 mengambil tema “Tari Seblang,” (banyuwangibagus.com). Untuk tahun 2015
mengambil tema “Busana Pengantin Suku Using (Usingnese Royal Wedding ).68
Banyuwangi Ethno Carnival yang dilaksanakan secara rutin dengan kolaborasi budaya
lokal dan desain modernitas mampu memberikan dampak terhadap citra budaya Banyuwangi
di lingkup nasional. Salah satu pencapaian positif yang diberikan dalam penyelenggaraan
Banyuwangi Ethno Carnival adalah penghargaan. Kebudayaan 2015 yang di berikan oleh
Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata tanpa mengesampingkan kegiatan kebudayaan lain
yang ada di Banyuwangi. Salah satu poin yang mendapatkan nilai lebih dari Kementrian
Kebudayaan dan Pariwisata terkait pelestarian budaya Banyuwangi adalah usaha yang
dilaksanakan oleh pemerintah Banyuwangi dalam menjalankan berbagai even kebudayaan
secara konsisten dan budaya daerah ditampilkan secara berbeda dan istimewa.
Penyelenggaraan Banyuwangi Ethno Carnival merupakan implementasi kebijakan industri
kreatif dengan memberdayakan dan mengelola aspek seni dan budaya lokal sebagai sektor
industi (Rodhause, 2008). Banyuwangi Ethno Carnival juga merupakan implementasi dari
industri kreatif yang merujuk kepada industri budaya yang memadukan kreasi, produksi, dan
komersialisasi konten budaya yang tidak berbentuk (intangible) dan terkandung dalam
budaya69
Pelaksanaan sedekah desa di masyarakat Using lainnya yaitu, selalu diadakan ritual
keliling desa yang disebut dengan ider bumi. Kata ider artinya keliling, sehingga ider bumi
ini berarti mengelilingi tanah atau area tempat tinggal mereka, yaitu perkampungan
penduduk. Ider bumi di desa Kemiren dilakukan dengan arak-arakan kesenian barong pada
setiap tanggal 2 Syawal. Di tengah perjalanan rombongan berhenti sejenak tepat di dekat
makam Buyut Cili yang menurut sesepuh desa adalah luluhur masyarakat Kemiren. Wujud
kegiatan dengan kesenian Barong itu juga merupakan pesan dari Si Buyut dan kini telah
menjadi mitos yang (harus) dipatuhi bersama, sehingga warga masyarakat tidak
diperkenankan merubah apalagi meninggalkannya. Serupa dengan di Kemiren, di desa
Olehsari ider bumi dilakukan mengiringi penari seblang yang intrance sambil berjalan

68
. Gagriel Almond dan Sidney Verba, The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations, Princeton:
Princeton University Press, 1963
69
Mohammad Ayoob, Migth of the Monolith, Mohammad Ayoob (ed), The Politic of Islamic Reassertion, London: Croom
Helm, 1981.
berkeliling desa. Arak-arakan seblang berhenti sejenak di dekat makam Buyut Bisu (leluhur
masyarakat) untuk memberi hormat kepadanya. Setelah menunjukkan tanda bekti dengan
ritual tanpa gerakan apa-apa, rombongan kemudian melanjutkan perjalanan menuju balai desa
tempat penutupan acara sedekah desa. Di tempat yang lain, yaitu di sebagian besar desa di
wilayah yang masuk dalam kategori wilayah masyarakat Using, ider bumi dilakukan dengan
melantunkan kalimah thayyibah selama perjalanan mengelilingi desa. Kemudian lantunan
kalimah thoyyibah itu berhenti berganti dengan kumandang adzan pada setiap sudut jalan.
Warga masyarakat pria yang bergabung dalam acara ider bumi berhenti di sudut jalan,
kemudian mereka menghadap ke arah kiblat untuk bersama-sama mengumandangkan adzan
dan setelah berdoa untuk keselamatan desa dan para penghuninya, perjalanan dilanjutkan
meskipun dinamakan sedekah desa, pada dasarnya bukanlah desa secara administratif, tapi
hanya dusun atau kampung (pemukiman). Karena itu, setiap dusun pada desa yang sama
memiliki waktu dan cara tersendiri dalam pelaksanaan acara sedekah desa ini. Demikian juga,
ider bumi tidak selalu dilaksanakan, meskipun dusun tersebut tidak meninggalkan ritual yang
dinamakan sedekah desa ini.70

Kebo-keboan di Alasmalang dan ritual ider bumi di hampir keseluruhan masyarakat


Using mengandung spirit religius yang khas, karena pada dasarnya adalah upaya sosial dan
doa (ritual) untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa bagi kesejahteraan dan
keselamatan hidup masyarakat. Kondisi yang demikian itu, pada masyarakat agraris terwujud
di antaranya pada kesuburan tanah, panenan yang melimpah, dan terhindar dari segala macam
malapetaka. Pembahasan pada makalah ini akan diawali dengan tradisi kebo-keboan dan
fungsinya menurut kepercayaan masyarakat setempat serta nilai yang bisa diambil sebagai
ritual maupun atraksi budaya. Sebelum mengakhiri dengan penutup, penulis akan membahas
ider bumi dan nilai yang terkandung dengan tafsiran filosofis dan kultural yang selanjutnya
akan diakhiri dengan simpulan dan rekomendasi kultural pada bagian penutup71

Ritual kebo-keboan digelar setahun sekali pada bulan Muharram atau Syura (Kalender
Jawa). Konon, ritual ini sudah ada sejak abad ke-18. Di Banyuwangi, kebokeboan
dilestarikan di dua tempat yakni di desa Alasmalang, kecamatan Singojuruh, dan desa Aliyan,
kecamatan Rogojampi (Hasan Bashri, wawancara: 17 Juli 2011). Munculnya ritual kebo-
keboan di desa Alasmalang berawal dari terjadinya musibah pagebluk (epidemi). Kala itu,
seluruh warga diserang penyakit, hama wereng juga menyerang tanaman petani. Banyak
70
Khursid Ahmad, Islam and Democracy: Some Conceptual and Contemporary Dimensions, The Muslim World, Vol. 90,
No. 1 dan 2, Spring 2000.
71
. Yusuf Al-Qardhawi, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik: Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan Liberalisme,
Jakarta: Pustaka AL-Kautsar, 2008.
warga yang kelaparan dan mati akibat penyakit misterius itu. Dalam kondisi seperti itu,
sesepuh desa yang bernama Buyut Karti melakukan meditasi di sebuah bukit dekat desa.
Selama meditasi, tokoh ini mendapatkan wangsit (pesan spiritual) yang isinya meminta
seluruh warga menggelar ritual kebo-keboan sebagai penghormatan kepada Dewi Sri, yaitu
dewi yang dipercaya sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran. Keajaiban muncul ketika
warga menggelar ritual kebo-keboan, warga yang sakit mendadak sembuh dan hama yang
menyerang tanaman padi sirna. Sejak itu, ritual kebo-keboan dilestarikan karena warga
khawatir akan terkena musibah lagi jika tidak melaksanakannya.72
Prosesi upacara kebo-keboan di Alasmalang dilaksanakan setahun sekali, yaitu pada
hari Minggu antara tanggal 1-10 Syura dengan tanpa melihat hari pasarannya (pon, wage,
kliwon, legi, pahing). Dipilihnya hari Minggu dengan pertimbangan bahwa pada hari tersebut
kebanyakan warga masyarakat libur, sehingga dapat mengikuti jalannya upacara yang selalu
dihadiri warga luar desa ini, bahkan juga dari luar kota. Adapun dipilihnya bulan Syura
dengan pertimbangan bahwa bulan tersebut menurut kepercayaan masyarakat Jawa adalah
bulan yang keramat, di samping juga memang merupakan pesan Buyut Karti seminggu
sebelum pelaksanaan acara, warga yang berada di dusun Krajan mengadakan kegiatan
gotong-royong untuk membersihkan lingkungan rumah dan dusunnya. Selanjutnya, satu hari
menjelang pelaksanaan acara, ibu-ibu mempersiapkan sesajen yang terdiri dari tumpeng,
peras, air kendi, kinang ayu, aneka jenang, inkung ayam dan lain sebagainya. Selain itu,
dipersiapkan pula berbagai perlengkapan upacara seperti para bungkil, singkal (alat bajak
tradisional), pacul (cangkul), peras pitung tawar, beras, pisang, kelapa dan bibit tanaman
padi. Seluruh sesajen tersebut selain untuk acara slametan, nantinya juga akan ditempatkan di
setiap perempatan jalan yang ada di dusun Krajan. Pada malam harinya, para pemuda
menyiapkan berbagai macam hasil tanaman palawija seperti pisang, tebu, ketela pohon,
jagung, pala gantung, pala pendhem, dan pala kesimpar. Tanaman tersebut kemudian ditanam
kembali di sepanjang jalan dusun Krajan. Selain itu, mereka mempersiapkan pula genangan
air mirip bendungan yang nantinya akan digunakan untuk mengairi tanaman palawija yang
telah ditanam itu.73

Kebo-keboan, sebagai aset budaya yang mengandung kebijaksanaan lokal (local


wisdom) adalah salah satu contoh budaya yang dipercaya bernilai sakral di masyarakat Using
Alasmalang. Dari tata cara pelaksanaan dan unsur tersirat yang memotivasi warga untuk
72
Mohammad Ayoob, Migth of the Monolith, Mohammad Ayoob (ed), The Politic of Islamic Reassertion, London: Croom
Helm, 1981.
73
. Everett, S & Aitchison, C. (2008). The role of food tourism in sustaining regional identity: A case study of Cornwall,
South West England. Journal of Sustainable Tourism, 16(2), 150-167
menyelenggarakannya, tampak upacara ini merupakan warisan budaya HinduBudha. Salah
satu cirinya adalah kepercayaan masyarakat kepada makhluk halus dan kekuatan supranatural
untuk mengendalikan sesuatu dengan menggunakan sarana religi (Koentjaraningrat, 1984:
237). Upacara kebo-keboan bagi masyarakat Alasmalang merupakan sarana komunikasi
dengan Tuhan maupun dengan leluhurnya. Dengan demikian, kesenian ini di samping
membawakan pesan-pesan yang kaitannya dengan religi juga membawa pesan dalam tata
hubungan sosial atau pergaulan antar sesame.74

74
. Sutarto, Ayu dkk. 2004. Pendekatan Kebudayaan dalam Pembangunan Provinsi Jawa Timur. Jember: Kompyawisda
Jatim.

Anda mungkin juga menyukai