Anda di halaman 1dari 7

MULTIKULTURALISME: FENOMENA GLASS CEILING DALAM BUDAYA

KETIDAKSETARAAN GENDER

Gaizka Aulia Aziza


211104040041
ABSTRAK
Multikultural atau multikulturalisme merupakan suatu bentuk keberagaman budaya. Suatu kultur atau
biasa kita sebut budaya memiliki keberagaman yang membuat beberapa perbedaan tersebut muncul
dalam segala aspek dalam kehidupan masyarakat. Indonesia merupakan suatu negara dengan sejuta
keragaman, dimana keragaman ini lah yang tercermin dalam keragaman dalam bentuk Bahasa, ras,
etnis, suku, budaya, hingga agama. Agama berkaitan dengan prespektif kepercayaan yang mana
diwujudkan melalui tingkah laku sosial. Oleh karena itu, tingkah laku sosial dan kebudayaan di
masyarakat ini lah yang tentunya dipengaruh oleh keagamaan, termasuk dalam pandangan kesetaraan
gender. Terdapat fenomena Glass Ceiling dalam budaya ketidaksetaraan gender. Fenomena ini banyak
dijumpai dalam kekuasaan yang diporel dalam suatu organisasi sosial atau perusahaan. Dalam sudut
pandang keagamaan, fenomena ketidaksetaraan gender ini memliki beberapa pandangan yang beragam,
namun dalam budaya di era globalisasi ini menjadi suatu kekhawatiran kan pudarnya sakratalis islam
dalam memandang wanita. Tujuan penulisan ari artikel ini adalah untuk menilisik fenomena
multikulturalisme dalam sudut pandang kebudayaan dan keagamaan. Menggunakan metode library
research atau pendekatan studi literatur dapat disimpulkan bahwa, multikulturalisme yang ada di negara
ini membuat berbagai budaya masuk dan budaya yang melekat dalam pandangan masyarakat,
mengakibatkan munculnya budaya glass ceiling dalam fenomena ketidaksetaraan gender. Dalam
fenomena ini juga didasari dengan beberapa paham keagamaan yang sudah mandarah daging di
kalangan masyarakat.

Kata kunci: Multikuturalisme, Gender, Glass Ceiling, Islam

Pendahuluan

Di era globalisasi dan Gen Z menyebabkan masyarakat multikultural semakin berkembang


pula. Menurut etimologis multikulturalisme merupakan bentukan dari suatu kata multi yang memiliki
artian banyak, kemudian kultur yang memiliki artian budaya, dan isme yang memiliki artian aliran atau
paham. Secara umum, multikultural merupakan validasi atas martabat masyarakat yang hidup dengan
banyak komunitas dan kebudayaan masing-masing. Dengan kata lain multikulturalisme merupakan
suatu ideologi yang menandaskan dalam penghargaan pada tingkat kesederajatan ragam kebudayaan.
Ideologi ini merupakan pendukung dalam setiap bagian, baik secara individual ataupun kelompok,
terutama ini ditujukan kepada golongan-golongan sosial yaitu, suku bangsa atau ras, umur, maupun
gender. Namun, dalam hal ini tidak membuat masyarakat global apalagi masyarakat lokal Bangsa
Indonesia dapat serta merta memahami makna dan menerapkan suatu konsep multikultural ini.1

Keberagaman budaya akibat dari era globalisasi yang begitu pesat menyebabkan masyarakat
dituntut untuk memahami bagaimana cara untuk dapat menyampaikan suatu maksut dan tujuan tertentu
dan penyampaian pesan agar mendapat tujuan bersama.2 Adanya perspektif bias gender dalam dunia
kerja maupun lingkungan bisnis membuat perempuan mengalami kesulitan dalam mencapai posisi
menjadi pemimpin. Hal ini disebabkan oleh, posisi kepimpinan ini lebih familiar dengan keterkaitan
karakter maskulin yang diasosiasikan dengan laki-laki. (Schlamp., 2021). Dalam hal ini penulis ingin
membahas dan mengkaji secara teoritis tentang analisis multikulturalisme yang memunculkan
fenomena bias gende, dimana kesetaraan gender sangat dikesampingkan terutama dalam pandangan
islam.

Di tempat kerja multikultural dalam melakukan bisnis terdampat hambatan budaya komunikasi
yang berlimpah. Perbedaan budaya dapat menyebabkan hambatan di antara anggota tim, ketika gaya
pendekatan mereka yang berbeda disalahpahami, disalahartikan, atau tidak diterima Kegagalan
komunikasi antara pekerja multikultural seperti kesalahpahaman, miskomunikasi, dan salah tafsir akan
muncul di tempat kerja jika manajer dan karyawan tidak sepenuhnya memahami budaya satu sama lain.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mengapa jumlah perempuan masih sangat sedikit untuk
posisi kepemimpinan. Dengan munculnya stereotip bahwa, gender bias serta diskriminasi dimana dapat
menimbulkan ekspektasi dan evaluasi yang berat sebelah dalam keadilan dalm pemimpin perempuan.
(Spencer et al, 2019, hal. 30).
Tinjauan Literatur

Di dunia global bahkan di Indonesia sendiri stereotip tentang lemahnya kekuatan perempuan
masih di pandang sebelah mata. Wacana mengenai kesempatan serta pemberdayaan peran perempuan
yang setara dalam kebutuhan kepemimpinan di dalam suatu instansi masih belum didukung dengan
baik. Pandangan perempuan dalam pernikahan, budaya patriarki, serta domestikasi peran perempuan
yang menjadi hambatan dalam pemberdayaan peran perempuan dalam kepemimpinan di dunia kerja.
Faktor-faktor inilah yang menyebabkan sebagaian perempuan sangat sulit untuk mencapai posisi
pemimpin dan manajerial. (Utomo. 2015, hal. 50) 3

Hambatan lainnya yaitu tertera dalam nilai-nilai dan norma yang mana didominasi oleh peran
laki-laki, rendahnya struktur keorganisasian suatu perusahaan atau lembaga, serta kurangnya

1 Surahman, S. (2013). Dampak Globalisasi Media Terhadap Seni dan Budaya Indonesia. Universitas
Serang Raya, 29-38
2 Ningsih, A. R. (2018). Pendidikan Multikultural: Penguatan Identitas Nasional di Era Revolusi Industri 4.0.
44-49
3 Muhammad Ihwanul. M. dan Mirwan Surya Perdhana. 2017. Glass Ceiling Sebuah Studi Literatur. Jurnal Bisnis Strategi.
26(1): 28-38
pengetahuan yang luas mengenai perbedaan gender dalam pola dan gaya pengambilan suatu keputusan.
Dalam hal ini masih berkembang pemikiran tentang pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang
memiliki karater atau sifat, dan emosi yang sesuai dengan stereotip dengan gender maskulin. Gender
maskulin ini biasanya dikaitkan dengan perilaku yang tegas, keras, dan kemampuan vokal yang tinggi.
(Andajani et al., 2016, hal. 39). Hal itulah yang menyebabkan perempuan mendapat pandangan yang
negatif jika mereka memiliki karakter yang terlalu feminim. Perempuan seringkali diasosiasikan dengan
sifat yang feminim seperti sifat emosional, lemah lebut atau tidak tegas. Karakter-karakter itulah yang
menjadi pandangan buruk dan bertolak belakang dengan karakter atau sifat pemimpin yang selama ini
selalu dikonstruksikan oleh khal layak.4

Dalam organisasi perusahaan glass ceiling dianggap sebagai salah satu bentuk diskriminasi
gender yang seringkali terjadi tanpa disadari. Glass Ceiling masih terjadi di era modern, Data statistik
global per 2019, dari survei International Labour Organization (ILO), menyebutkan bahwa 52 persen
responden perempuan setuju mereka alami kesulitan besar untuk mencapai puncak manajemen. Selain
itu, Survei Angkatan Kerja Nasional tahun 2020, juga menyatakan bahwa porsi perempuan yang
menduduki posisi manajerial di perusahaan hanya 33 persen. Glass ceiling yang dialami pekerja wanita
seringkali disebabkan oleh faktor level personal yang juga didukung oleh faktor level sosial. Hambatan
kemajuan karir ini bersifat budaya bukan pribadi - melakukan sebagian besar kerusakan pada karier
wanita. aspirasi dan peluang.5

Perempuan dalam pandangan islam memiliki beberapa prespektif yang beragam. Ada beberapa
macam respon baik yang menunjukkan negative ataupun pandangan positif. Dalam pandangan negative
secara umum menolaknya karena hal ini dianggap sebagai salah satu hal uang dating dari barat dan akan
merusak citra islam. Realitas dalam berbagai respon tersebut yang menjadisuatu kekhawatiran
masyarakat umum terhadap memudarnya sakratalis dalam islam, karena pada dasarnya masyarakat
meyakini tidak ada yang boleh masuk dalam skratalis islam dimana islam merupakan suatu system
ajaran yang sudah lengkapdan tidak ada kurang suatu apapun6

Dalam Al-Quran dijelaskana bahwa perempuan dan laki=laki merupakan zauj atau
berpasangan. Dalam konteks ini tentu jelas bahwa ajaran ini menunjukkan perempuan dan laki-laki itu
adalah setara dan bersifat komplementaris atau saling melengkapi. Allah telah menciptakan manusia
berpasang-pasangan. Laki-laki dan perempuan, siang dan malam, suami dan istri, bumi dan langit erta

4 Titik Mulyaningsih. 2014. Studi Persepsi Terhadap Hambatan Glass Ceiling, Strategi Pengembangan Karir dan Tingkat
Promosi Pejabat Perembuan di Daerah Istimewa Yogyakarta. EBBANK Jurnal. 5(1):639-674.
5 Muhammad Ihwanul. M. dan Mirwan Surya Perdhana. 2017. Glass Ceiling Sebuah Studi Literatur. Jurnal Bisnis Strategi.
26(1): 28-38.
6. Tessa Shasrini & Al Sukri. 2021. Pengaruh Glass Ceiling Terhadap Pengembangan Karir Wanita di Dunia Pendidikin. Jurnal
Ranah Komunikasi. 5(1): 70-76
positif dan negative. Pasang-pasangan inilah yang mengandung suatu perbedaan dan juga sekaligus
kebersamaan dan kesamaan 7

Pembahasan

Keberagaman budaya akibat dari era globalisasi yang begitu pesat menyebabkan masyarakat
dituntut untuk memahami bagaimana cara untuk dapat menyampaikan suatu maksut dan tujuan tertentu
dan penyampaian pesan agar mendapat tujuan bersama. Di era digitalisasi ini, komunikasi antar budaya
sangatlah dibutuhkan. Budaya merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
Sehingga dalam hal ini masyarakat global dituntut dengan adanya komunikasi yang baik dengan teori-
teori yang ada. Adapun beberapa teori yang ada yaitu : teori anxiety dan ketidakpastian dimana teori ini
merupakan perbedaan bagaimana budaya antar kelompok dengan orang asing. Gudykunts mengatakan
bahwa salah satu kecemasan itu merupakan faktor penyebab kegagalan dalam berkomunikasi.
Kemudian teori face negotiation dimana Stela T. Memaparkan bahwa perbedaan dalam berbagai udaya
dapat merespon berbagai konflik yang ada. Kemudian teori teori kode berbicara dimana Gerry P.
Mengemukakan teori ini dengan bagaimana keberadaan kode bicara dalam cara berkomunikasi.
(Mulyaningsih T., 2014)

Di tempat kerja multikultural dalam melakukan bisnis terdampat perbedaan budaya dapat
menyebabkan hambatan di antara anggota tim, ketika gaya pendekatan mereka yang berbeda
disalahpahami, disalahartikan, atau tidak diterima Dalam mengatur manajemen organisasi perusahaan
antara pegawai laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan untuk mencapai jenjang karir jabatan
pimpinan. Adanya perspektif bias gender dalam dunia kerja maupun lingkungan bisnis membuat
perempuan mengalami kesulitan dalam mencapai posisi menjadi pemimpin. Hal ini disebabkan oleh,
posisi kepimpinan ini lebih familiar dengan keterkaitan karakter maskulin yang diasosiasikan dengan
laki-laki

Posisi pemimpin perempuan dalam lingkungan kerja masih begitu jauh dibandingkan dengan
kepemimpinan seorang laki-laki. Terutama dalam sektor perusahaan atau instansi yang didominasi oleh
laki-laki seperti keuangan, engineering, dan konstruksi. Hal ini membuktikan bahwa masih terdapat
banyak hambatan yang besar bagi perempuan dalam mencapai puncak karir mereka. Karena kuantitas
dalam konteks ini masih sangat minim, sehingga dalam hal ini penulis tertarik untuk mengkaji.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mengapa jumlah perempuan masih sangat sedikit
untuk posisi kepemimpinan. Dengan munculnya stereotip bahwa, gender bias serta diskriminasi dimana
dapat menimbulkan ekspektasi dan evaluasi yang berat sebelah dalam keadilan dalm pemimpin

7 Schlamp, S., Gerpott, F. H., & Voelpel, S. C. (2021). Same talk, different reaction? Communication, emergent leadership
and gender. Journal of Managerial Psychology, 36(1): 51–74..
perempuan. (Spencer et al. 2019). Bukan hanya berasal dari internal organisasi atau suatu perusahaan
tertentu, tetapi hambatan juga terjadi pada para perempuan yang dianggap remeh.

Di dunia global bahkan di Indonesia sendiri stereotip tentang lemahnya kekuatan perempuan
masih di pandang sebelah mata. Wacana mengenai kesempatan serta pemberdayaan peran perempuan
yang setara dalam kebutuhan kepemimpinan di dalam suatu instansi masih belum didukung dengan
baik. Pandangan perempuan dalam pernikahan, budaya patriarki, serta domestikasi peran perempuan
yang menjadi hambatan dalam pemberdayaan peran perempuan dalam kepemimpinan di dunia kerja.
Faktor-faktor inilah yang menyebabkan sebagaian perempuan sangat sulit untuk mencapai posisi
pemimpin dan manajerial. Hal itulah yang menyebabkan perempuan mendapat pandangan yang negatif
jika mereka memiliki karakter yang terlalu feminim. Perempuan seringkali diasosiasikan dengan sifat
yang feminim seperti sifat emosional, lemah lebut atau tidak tegas. Karakter-karakter itulah yang
menjadi pandangan buruk dan bertolak belakang dengan karakter atau sifat pemimpin yang selama ini
selalu dikonstruksikan oleh khal layak.

Fenomena ini juga dapat disebut disebut Glass Ceiling. Sebuah konsep yang menjelaskan
hambatan tak terlihat yang membatasi perempuan menempati posisi tertinggi sebuah organisasi
perusahaan. Istilah Glass Ceiling dikenalkan pertama kali oleh Marilyn Loden pada tahun 1978 dalam
sebuah diskusi panel tentang aspirasi perempuan. Saat Loden memperhatikan bagaimana panelis
(perempuan) berfokus pada kekurangan dalam sosialisasi perempuan, cara-cara yang mencela diri
sendiri di mana perempuan berperilaku, dan citra diri yang buruk yang diduga dibawa oleh banyak
perempuan. Selama rentang tahun 1970-an sampai 1980-an, tidak ada undang-undang yang berlaku di
Amerika Serikat untuk melindungi perempuan dari pelecehan atau penyerangan di tempat kerja. Juga
tidak ada kesadaran dalam organisasi tentang beratnya masalah dan tidak ada minat untuk mendengar
atau menyelesaikannya.

Budaya kesetaraan gender sudah menjadi hal yang menjadi bias di kalangan masyarakat.
Fenomena bias gender atau memandang sebelah gender tertentu terutama perempuan menjadi hal yang
mendarah daging. Hal ini terbukti dalam konteks kekuasaan atau kepemimpinan suatu organisasi sosial
atau perusahaan dimana bias gender masih melekat karena banyaknya wanita yang sulit untuk mencapi
suatu kepemimpinan itu. Wanita dianggap lemah dan tidak memiliki kompeten. Dalam prespektif islam
memang secara umum memiliki banyak pandangan. Dalam segi positif laki-laki dan perempuan
ditakdirkan berpasang-pasangan dimana hal ini sudah jelas tergambar bahwa kesetaraan gender harus
dijunjung tinggi untuk kesamarataan. Namun dalam hal ini penulis masih menemui banyak fenomena
bias gender, sebagai contoh glass ceiling tersebut. Dalam islam memang ketika sudah menjadi pasangan
suami-istri, istri harus menghormati suami namun dalam hal ini tentu tak lantas menjadikan posisi istri
lebih rendah daripada laki-laki.
Kesimpulan

Dari berbagai kajian literatur yang telah dibaca dan dikaji, dalam hal ini peneliti dapat mengambil
kesimpulan bahwa di era globalisasi dimana dunia serba digital keberagaman budaya menyebabkan
masyarakat yang multikulturalis, yang berdampak dalam segala aspek yaitu salah satunya yaitu
perbedaan budaya dalam konteks kesetaraan gender. Perbedaan dan banyaknya budaya ini
menyebabkan masyarakat global memiliki berbagai pandangan yang berbeda. Bias gender atau glass
ceiling merupakan salah satu contoh fenomena dari budaya yang tidak mensamaratakan antara laki-laki
dan perempuan. Dalam pandangan islam kesetaraan gender memiliki berbagai pandangan, namun
dewasa ini konteks gender menjadi keresahan yang berkalanjutan karena dianggap mengandung budaya
barat yang tidak sesuai dengan aktualisasi islam. Sehingga dalam hal ini penulis mencoba memberikan
pandangan lain bahwa kesetaraan gender memang perlu adanya perhatian khusus agar bias gender itu
pudar dan tidak menjadikan berat sebelah antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari,
terutama dalam hal kekuasaan atau kepemimpinan

Refrensi

Titik Mulyaningsih. 2014. Studi Persepsi Terhadap Hambatan Glass Ceiling, Strategi
Pengembangan Karir dan Tingkat Promosi Pejabat Perembuan di Daerah Istimewa
Yogyakarta. EBBANK Jurnal. 5(1):639-674.

Muhammad Ihwanul. M. dan Mirwan Surya Perdhana. 2017. Glass Ceiling Sebuah Studi Literatur.
Jurnal Bisnis Strategi. 26(1): 28-38.

Schlamp, S., Gerpott, F. H., & Voelpel, S. C. (2021). Same talk, different reaction?
Communication, emergent leadership and gender. Journal of Managerial Psychology,
36(1): 51–74.

Rizki Fatmula dan Bianca Virgin. 2020. Strategi Komunikasi PT. Bank Negara Indonesia (PERSERO)
Tbk dalam Acquisition and Existing Potential Nasabah Emerdal di Kep. Martapura. Jurnal
Komunikasi dan Budaya. 1(2): 143-153.

Tessa Shasrini & Al Sukri. 2021. Pengaruh Glass Ceiling Terhadap Pengembangan Karir Wanita di
Dunia Pendidikin. Jurnal Ranah Komunikasi. 5(1): 70-76.

Irwan Sumarsono. 2019. The Inferiority Complex Of Laura Wingfield in Tennessee William’s The
Glass Menagerie. Jurnal Sastra dan Budaya. 7(1):716-723).
Siti Ruhaini Dzuhayatin. 2020. Gender Glass Ceiling in Indonesia Manisfetation, Roots and
Theological Breakthrough. Al-jami’ah: Journal of Islamic Studies. 58(1): 210-240

Ali, Taskina, & Akter, Nasrin. 2021. The Effect of Glass Ceiling on Women Advancement: A Case
Study of Financial Institutions in Bangladesh. In: Economics and Business Quarterly Reviews.
Vol.4, No.4, 56-63.

Meidila Anggita. 2019. Analisis Budaya dan Hambatan Organisasi pada Bank “X” di Bandung.
Jurnal Manajemen Maranatha. 19(1): 81-92.

Surahman, S. (2013). Dampak Globalisasi Media Terhadap Seni dan Budaya Indonesia Universitas
Serang Raya, 29-38

Ningsih, A. R. (2018). Pendidikan Multikultural: Penguatan Identitas Nasional di Era Revolusi Industri
4.0. 44-49

Suharsono, Suharsono. (2017). Pendidikan Multikultural. EDUSIANA: Jurnal Manajemen Dan


Pendidikan Islam. 4(1): 13–23

Suparlan, Parsudi. (2014) “Menuju Masyarakat Indonesia Yang Multikultural.”. Jurnal Antropologi
Indonesia. 35(1): 98–105.

Anda mungkin juga menyukai