Anda di halaman 1dari 12

Literasi

Volume 4 No. 1, Juni 2014 Halaman 116 – 127

Janger Banyuwangi dan Menakjinggo:


Revitalisasi Budaya
THE JANGER OF BANYUWANGI AND MENAKJINGGO:
A REVITALIZATION OF CULTURE
Novi Anoegrajekti

Fakultas Sastra Universitas Jember


Pos-el: novi.anoegrajekti@gmail.com

Abstrak

Kajian ini menekankan bagaimana sebuah identitas dibangun dalam persentuhannya dengan
modernisasi. Hal ini tampak pada perubahan dalam teks Janger Banyuwangi. Sebagai peristiwa
budaya seni Janger Banyuwangi termasuk unik karena bersifat hibrid, yaitu perpaduan seni yang
berasal dari Banyuwangi, Jawa, dan Bali. Konstum, tari, dan alat musik memiliki kemiripan dengan
Bali. Sebagai kajian etnografi, masyarakat Using Banyuwangi memandang dan menyikapi kesenian
Janger sebagai konstruksi identitas yang berubah terus-menerus.

Kata kunci: identitas, janger, modernisasi

Abstract

This study emphasizes how an identity has been built in its contact with modernization. This is
evident in the changes in the Janger text of Banyuwangi. As a cultural event, the Banyuwangi Janger
art performance is unique because it is a hybrid, which is a combination of art which originated
from Banyuwangi, Java, and Bali. Costumes, dances, and musical instruments are similar to Bali.
As an ethnographic study, the Using people of Banyuwangi perceive and respond to the Janger art
performance as a continously changing identity construction.

Keywords: identity, janger, modernization

A. Pendahuluan

Janger termasuk seni teater tradisional, seperti Kisah Damarwulan-Menakjinggo merupakan


wayang orang, kethoprak, topeng dhalang, pra­ sejarah barat-timur (mulai dari zaman Maja­
buroro, kentrung, jemblung, dan ludruk. Aneka pahit-Blambangan sampai Mataram-Blam­
seni teater ini mengalami kemunduran ketika hidup bangan) selalui diwarnai hubungan yang
berdampingan dengan seni populer. Seni teater tidak harmonis, peperangan, dan penaklukan.
Janger di Banyuwangi yang termasuk subgenre Menurut cerita klasik Jawa, Menakjinggo
drama tari yang sampai saat ini ma­sih diminati adalah Bre Wirabumi yang memberontak
masyarakat. Seni pertunjukan Janger sering pula pada saat Majapahit diperintah Sri Jayanegara
disebut Damarwulan atau Jinggoan. Istilah ini pada abad ke-13. Pemberontakan Menakjinggo
diambil dari lakon yang biasa dipentaskan yaitu mendapat terminologi yang sama dengan
cerita yang bersumber dari perlawanan antara perang antara Bang Wetan dengan Bang Kulon
Minakjinggo dari kerajaan Blambangan dengan untuk menunjukan garis demarkasi yang dibuat
Damarwulan dari Majapahit. pendiri Majapahit Raden Wijaya dengan Aria

116
Janger Banyuwangi dan Menakjinggo: Revitalisasi Budaya
Novi Anoegrajekti

Wiraraja. Interpretasi lain menyebutkan bahwa yang berasal dari Banyuwangi, Jawa, dan Bali.
kisah Damarwulan-Menakjinggo adalah rekaan Kostum, tari, dan alat musik memiliki kemiripan
penjajah Belanda untuk menjelek-jelekkan dengan Bali. Gending-gendingnya Banyuwangi,
penguasa Tanah Semenanjung Banyuwangi, dan dialognya menggunakan bahasa Jawa
Wong Agung Wilis yang melakukan perlawanan krama. Bahasa Using digunakan pada adegan
yang dikenal dengan perang Puputan Bayu.1 lawak. Hal tersebut menunjukkan adanya
Istilah Jinggoan digunakan juga oleh masya­ kontak budaya antara Bali, Banyuwangi, dan
rakat Using di Banyuwangi, diambil dari Jawa Kulonan. Damarwulan merupakan seni
nama tokoh Prabu Minakjinggo sebagai tokoh tradisi paling unik karena menggunakan musik
kepahlawanan, sedangkan nama Janger dapat Bali, gending Banyuwangi, antarwacana (dialog)
dikaitkan dengan dominasi pengaruh unsur menggunakan bahasa Jawa, tari dan kostumnya
Bali pada gamelan, tari, dan busananya. Dari Bali.
segi ceritanya kesenian ini bersumber dari Dari sudut pandang Majapahit, Damarwulan
Langendriya2 yang berasal dari lingkungan sebagai protagonis yang mengemban tugas
keraton Yogyakarta. Kajian ini menekankan membinasakan Menakjinggo yang dipandang
bagaimana sebuah identitas dibangun dalam sebagai pemberontak. Sementara itu, Menakjinggo
persentuhannya dengan modernisasi. Hal ini sebagai antagonis yang membuat gerakan untuk
tampak pada perubahan dalam teks Janger melakukan pemberontakan terhadap Majapahit.
Banyuwangi. Sebagai peristiwa budaya Seni Versi cerita tersebut cenderung menyudutkan
Janger Banyuwangi termasuk unik karena bersifat masyarakat Using dan menorehkan tuduhan
hibrid, yaitu perpaduan seni yang berasal dari sebagai masyarakat pemberontak, penentang
Banyuwangi, Jawa, dan Bali. Kostum, tari, dan penguasa, dan pengganggu stabilitas.
alat musik memiliki kemiripan dengan Bali. Sejak perang Paregreg usai dan Banyuwangi
Tema kesenian Langendriya ini pada berada di dalam genggaman kekuasaan
prinsipnya berkisar pada kepahlawanan pihak luar (Mataram, Bali, dan VOC), praktis
Damarwulan dari kerajaan Majapahit melawan komunitas “sisa Paregreg” ini terus-menerus
Minakjinggo dari Kerajaan Blambangan. Di terpinggirkan secara sosial dan politik. Peng­
Banyuwangi, minat masyarakat menanggap angkatan Bupati pertama, R. Wiroguno (Mas
Janger masih ada. Beberapa kelompok Janger Alit) tahun 1773 oleh pemerintah kolonial
yang masih eksis dan sering mendapat Belanda mempertegas marjinalisasi itu. Mas
tanggapan antara lain Setyo Kridho Budoyo, Alit adalah tokoh pribumi yang dihadirkan dari
Dharma Kencana, Sri Budoyo Pangestu, Dipa Madura dan ia merepresentasikan Jawa atau
Candra Budaya, Temenggung Budoyo, Madyo Madura. Naskah Resolusi 7 Desember 1773 pasal
Utomo Banje, Patoman, Langgeng Eko Budoyo, pertama menjelaskan bahwa Mas Alit sebagai
dan Jinggo Wangi. Bupati diberi wewenang penuh untuk mengatur
Seni Janger Banyuwangi termasuk unik Banyuwangi bahkan secara mandiri (tunggal)
karena bersifat hibrid, yaitu perpaduan seni tanpa pejabat lain yang diangkat sebagai wali.

1 Selanjutnya lihat Kompas, “Prabu Minakjinggo Beroperasi Plastik,” Minggu, 3 Januari 1993; Novi Anoegrajekti, Konstruksi Pahlawan dalam Teks
Jinggoan dan Sri Tanjung: Relasi Kuasa dan Identitas, dalam Prosiding Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. (Singaraja: FBS Universitas pendidikan
Ganesha, 2012), hlm 360.
2 Langendriya ini mula-mula merupakan gubahan dari koreografer Raden Tumenggung Purwodiningrat dan KGPH Mangkubumi. Kemudian
Langendriya ini di Surakarta digubah oleh KGPAA Mangkunegara V dan R.M. Harya Tandakusuma pada tahun 1881. Pada prinsipnya kedua bentuk
ini sama. Kalau di Yogyakarta pelakunya laki-laki, sedangkan di Surakarta pelakunya semuanya perempuan. Temanya berkisar pada hubungan
antara Damarwulan dengan Menakjinggo yang dikaitkan dengan cerita historis antara Majapahit dan Blambangan. Selanjutnya lihat Soedarsono,
Djawa dan Bali Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1972).

117
Vol. 4, No. 1, Juni 2014

Dalam naskah itu pula dijelaskan bahwa untuk B. Representasi Identitas


mengisi dua patih yang selalu membantu Mas
Alit, pemerintah Belanda maupun Mas Alit Teks lakon Janger sebagai peristiwa dan tanda
sendiri hanya memperkenankan salah satu budaya, proses pemaknaannya terus-menerus
jabatan diisi oleh keturunan Blambangan asli, mengalami pergeseran dan pergerakan dinamis.
yaitu Patih Pertama (tertua). Bawa Laksana, Pilihan penanda berwujud dalam representasi.
seorang keturunan Blambangan asli (wong Bentuk representasi diproduksi dan dipahami
Using), ditunjuk untuk menduduki jabatan itu dalam konteks sosial tertentu. Sebagai sesuatu
dengan alasan ia setia dan loyal. yang berawal dari konstruksi dan pemaknaan,
Masa-masa pemerintahan sesudah Mas Alit, representasi yang selalu berkaitan dengan
posisi komunitas Using tetap tidak berubah identitas tidak mungkin dipahami sebagai
dan jabatan orang nomor satu di Banyuwangi sesuatu yang natural dan given. Representasi
selalu diduduki oleh keturunan Mas Alit. Dalam dapat dianggap sebagai ‘medan perang’ dan
perkembangan selanjutnya, keturunan Mas kekuasaan (Hall, 1997; Budianta, 2002:211;
Alit ini menjadi kelompok priyayi tersendiri di Anoegrajekti, 2012:363).
Banyuwangi yang kurang apresiasi terhadap Dengan metode etnografi, analisis se­
Using dan keusingan. Sejumlah informan cara terus-menerus dilakukan selama di
dari kalangan elite Using3 menyatakan bahwa lapangan. Identifikasi bagian-bagian, me­
sebagian besar penguasa yang pernah memimpin ma­hami relasi antarbagian, memahami
Banyuwangi tidak memperdulikan orang Using, hu­­bungan bagian dengan keseluruhan,
bahkan beberapa di antaranya justru cenderung dan mengungkapkannya merupakan ke­
memojokkannya. Satu-satunya bupati non giatan paling penting dalam analisis ini.
Using yang menaruh perhatian besar terhadap Spradley menyebut analisis etnografi seba­
Using adalah Djoko Supaat Slamet yang menjadi gai pemeriksaan ulang terhadap catatan
bupati pada 1966-1978. Bagi umumnya orang lapangan untuk mencari simbol-simbol
Using, Supaat dikenal sangat berjasa terhadap budaya (yang biasanya dinyatakan dengan
komunitas dan kebudayaan Using; dialah bahasa asli) serta mencari hubungan
yang menghidupkan kembali kesenian dan antarsimbol itu. Sebuah analisis etnografis,
kebudayaan Using setelah masa vakum 1965- seperti yang dikatakan Spradley (1997:118),
1970, sebagai akibat kebijakan politik bersih berangkat dari keyakinan bahwa seorang
lingkungan rezim Orba untuk menghabisi PKI informan telah memahami serangkaian
dan seluruh kekuatannya (Anoegrajekti, 2011). kategori kebudayaannya, mempelajari relasi-
Stereotif tersebut tentu menimbulkan ketidak­ relasinya, dan menyadari atau mengetahui
nyamanan masyarakat Using. Oleh karena itu, hubungan dengan keseluruhannya.
muncul pertanyaan bagaimana masyarakat Menakjinggo merupakan tokoh sentral dalam
Using menyikapi gejala tersebut? Tulisan ini sejarah Blambangan yang ditempatkan sebagai
memfokuskan pembahasan bagaimana revi­ seorang ksatria, pemimpin, pahlawan, dan tokoh
talisasi budaya seni tradisi Janger sebagai repre­ kebanggaan masyarakat Using. Sebaliknya,
sentasi identitas Using? dalam sejarah kerajaan Majapahit, Damarwulan
adalah tokoh yang dapat membunuh Menak­
jinggo atau Bre Wirabumi. Kisah yang

3 Antara lain, Hasan Ali (budayawan dan pensiunan pegawai Pemda Banyuwangi, Hasnan Singodimayan (budayawan Using), Fatrah Abal (pemerhati
Using), dan Sahuni (pensiunan pegawai Kantor Pariwisata dan pimpinan organisasi kesenian ”Sidopekso”).

118
Janger Banyuwangi dan Menakjinggo: Revitalisasi Budaya
Novi Anoegrajekti

berkembang dalam seni Damarwulan adalah seorang ksatria, tinggi besar, gagah berani,
Lakon Bambang Menak yang mengisahkan masa dan merupakan tokoh yang menjadi ikon
kanak-kanak Menakjinggo, Lakon Joko Umbaran dalam cerita itu dan sekaligus sebagai
pahlawan Blambangan/Banyuwangi.
mengisahkan masa remajanya, dan Lakon
Kalaupun pada kenyataannya Menak­
Menakjinggo mengisahkan perjalanan hidupnya jinggo digambarkan sebagai tokoh yang
setelah berhasil mengalahkan Kebomercuet jelek, bagi masyarakat Using Banyuwangi, itu
dan diberi hadiah tanah perdikan Blambangan. hanya sebagai pertunjukan, sebagai tontonan
Selanjutnya Menakjinggo diwisuda sebagai untuk menyenangkan penonton, dan dalam
Adipati Blambangan. Ketiga lakon tersebut pertunjukan pasti terjadi pelaku yang
protagonis dan antagonis dan ini diwujudkan
menempatkan Menakjinggo sebagai sosok ksatria
dalam peperangan. Jika tidak ada tokoh
yang berjasa terhadap kerajaan Majapahit. yang antagonis dan protagonis seandainya
Setelah menjadi adipati, Menakjinggo di­ ada perang menjadi tidak ramai sehingga
tempatkan sebagai antagonis karena dalam penonton tidak berminat untuk menontonnya.
pandangan kerajaan Majapahit, ia seorang Hal ini adalah menjadi hak mereka. Namun
adipati yang hendak memberontak. Oleh karena sebagai orang Using Banyuwangi tidak terima
itu, penampilan fisiknya tidak sempurna. jika tokoh Menakjinggo dijelek-jelekkan.”
Wajahnya penuh bopeng, jalannya timpang, Pandangan tersebut menempatkan karakter
ucapannya menunjukkan karakter orang yang Menakjinggo sebagai seni pertunjukan dan
tidak memiliki kewibawaan, dan berperilaku sebagai pahlawan Using. Hal tersebut menun­
tidak baik. Menurut Sahuni, hal tersebut terjadi juk­kan daya kritis masyarakat Using dalam
karena bahan cerita Menakjinggo berdasarkan menyikapi gejala tersebut. Kemungkinan lainnya
versi yang dikembangkan di Jawa (kulonan) adalah karena masyarakat Using tidak mampu
yang jelek. Keadaan tersebut berlangsung cukup dan tidak berani melakukan perlawanan budaya.
lama, paling tidak sejak berdirinya kesenian Menakjinggo sebagai tokoh dalam seni tersebut
Janger pada tahun 1918. Dalam versi cerita di memiliki kemungkinan dimaknai sebagai
wilayah Jawa Kulonan, penggambaran tokoh representasi keberadaan masyarakat Using. Jika
Menakjinggo sebagai antagonis tersebut masih itu yang terjadi, mereka tentu mulai terusik
berlangsung hingga saat ini. kenyamanannya. Mereka cenderung tidak bisa
Menakjinggo oleh masyarakat Using di­ menerima kalau pahlawan mereka ditampilkan
tempatkan sebagai seorang ksatria, pemimpin, jelek dan sebagai antagonis.
pahlawan, dan tokoh kebanggaan mereka. Akan Oleh karena itu, muncullah gerak perlawanan
tetapi dalam jangka waktu yang lama masyarakat budaya yang dilakukan oleh tokoh masyarakat
Using tidak mampu melakukan perlawanan. Using di Banyuwangi. Hasan Ali salah seorang
Ketika tokoh Menakjinggo yang ditampilkan budayawan dan cendekiawan Banyuwangi
dalam seni kethoprak atau Janger dipandang ber­inisiatif memodifikasi kisah dan karakter
sebagai hiburan tentu tidak menimbulkan Menakjinggo menjadi protagonis yang berwajah
persoalan, sebagaimana yang dikemukakan oleh tampan, gagah, berani, bijaksana, berwibawa,
Purwadi, ketua Asosiasi Masyarakat Adat Using, dan sakti mandraguna. Inovasi tersebut dilaku­
di Banyuwangi berikut. kan pada tahun 1970-an dan di kalangan
Kalau ada rekonstruksi itu setuju sekali masyarakat Banyuwangi. Menurut Sahuni,
karena untuk mengubah image yang meng­ Hasan Ali mengubah pakem cerita Menakjinggo
gambarkan Menakjinggo sebagai tokoh
tersebut karena Pak Supaat, bupati ketika itu
yang jelek, baik postur tubuhnya, wajahnya,
suaranya, maupun sifatnya. Padahal sebetul­ menilai bahwa raja/pahlawan Blambangan itu
nya tidak demikian. Menakjinggo adalah tentu digambarkan dengan bagus.

119
Vol. 4, No. 1, Juni 2014

Istilah Jinggoan bersifat kontroversial.


Sebagian seniman tidak mau mengakui dan
menggunakan nama Jinggoan. Haji Tejo, misalnya
mengatakan, “Nama kelompok seninya adalah
Damarwulan, nama Jinggoan itu tidak ada.”
Kesenian tersebut berdiri tahun 1918 dengan
nama Damarwulan, yang diambil dari nama
tokoh sentralnya. Pendiri Janger Mbah Darji dari
Singonegaran. Janger memiliki anggota pemain
(pada mulanya semuanya laki-laki) dan panjak
yang mencukupi untuk sebuah pertunjukan.
Seni Janger telah mengalami beberapa per­
Foto 1: Tokoh Menakjinggo, tampan, gagah, berwibawa, ubahan. Dari segi cerita, pada mulanya cerita
bijaksana, dan sakti mandraguna berpusat pada perjalanan hidup Raja Blam­
bangan. Kisah mulai dari kelahiran sampai ketika
Perubahan tersebut bukan karena tuntutan
menjadi Raja Blambangan. Kisah kelahiran dalam
pasar atau masyarakat penikmat Janger, akan
lakon Bambang Menak. Masa remaja dalam
tetapi atas permintaan penguasa saat itu.
lakon Joko Umbaran. Penobatannya sebagai
Penguasa dengan otoritasnya memiliki penga­
Raja Blambangan dalam lakon Menakjinggo,
ruh yang kuat untuk mengubah pakem cerita
sampai kisah kematiannya dalam perang
yang telah hidup di masyarakat. Hal tersebut
dengan Damarwulan. Saat ini lakon cenderung
menunjukkan bahwa pertunjukan seni Janger
mengikuti permintaan penanggap. Hal tersebut
bukan hanya sebagai hiburan akan tetapi
sejalan dengan pandangan yang dikemukakan
ditempatkan sebagai representasi identitas
Sugiyo Pranoto salah seorang seniman Janger
masyarakat Using. Ketika kisah dalam seni
di Banyuwangi yang mengatakan bahwa lakon
tersebut mengusik identitas muncul perlawanan
mengikuti permintaan penanggap mulai dari
atau resistensi disertai aksi untuk menciptakan
ceritera Calonarang, Majapahit, Demak, meskipun
kenyamanan dengan menciptakan simbol yang
masih ada kaitannya dengan Kerajaan Majapahit,
menegakkan identitas mereka.
seperti lakon “Boyong Putri Banjarmasin” pada
pertunjukan tanggal 13 Agustus 2013.
C. Perkembangan Mutakhir Pengamatan terhadap dua pertunjukan
Janger yang diselenggarakan 25 Agustus 2012
Kesenian Janger Banyuwangi, pada mulanya
dan 13 Agustus 2013, pertunjukan dibedakan
bernama kelompok seni Damarwulan. Nama
menjadi dua kelompok, yaitu pralakon dan
Damarwulan berdasarkan dua pertimbangan,
lakon. Pralakon diisi tari daerah dan lagu-
yaitu: (1) protagonisnya bernama Damarwulan,
lagu yang sedang populer di masyarakat. Ter­
yaitu senapari perang dari kerajaan Majapahit
masuk lagu-lagu yang diminta atau dipesan
yang mengemban tugas untuk membunuh Adipati
oleh penonton. Lakon berisi kisah cerita yang
Blambangan, Menakjinggo. (2) Dipentaskan
dibawakan oleh kelompok Janger. Pertunjukan
pada setiap malam bulan purnama. Istilah Janger
tanggal 25 Agustus 2012 membawakan lakon
berasal dari Bali karena pembinanya penari
“Joko Umbaran”, sedangkan pertunjukan
Janger dari Bali. Oleh karena itu, masyarakat
tang­gal 13 Agustus 2013 membawakan lakon
menyebut, “Nonton Janger” dan nama tersebut
“Boyong Putri Banjarmasin”.
berterima di kalangan masyarakat Banyuwangi.
Istilah lainnya Jinggoan yang dipopulerkan oleh
Hasan Ali tahun 1970-an.

120
Janger Banyuwangi dan Menakjinggo: Revitalisasi Budaya
Novi Anoegrajekti

1. Tanggapan Janger 25 Agustus 2012 2. Tanggapan Janger 13 Agustus 2013


Pertunjukan diselenggarakan di Dusun Pertunjukan dimainkan oleh kelompok Janger
Wonorejo, Kelompok Janger yang bermain Dharma Kencana dari Glondong, Watukebo,
adalah Dipa Candra Budaya dari Mangir, Rogojampi, Banyuwangi membawakan lakon
Krajan, Rogojampi, Banyuwangi dengan Pernikahan Adipati Slebar. Hajat keluarga
lakon Joko Umbaranh. Hajat keluarga yang yang menanggap adalah menikahkan putrinya.
menanggap adalah sunatan. Lakon menceritakan Dikisahkan bahwa Adipati Slebar menjadi
kelahiran Joko Umbaran, masa kanak-kanaknya, adipati akan tetapi belum memiliki istri. Ia
dan masa remajanya sampai dia memasuki mendambakan putri dari kerajaan Banjarmasin.
sayembara untuk mengalahkan Kebo Mercuet. Oleh karena itu, ia melamar putri tersebut ke
Skenario penumpasan pemberontakan Kebo Banjarmasin. Putri Banjarmasin mau menjadi
Mercuet tersebut didesain oleh Patih Majapahit, istrinya kalau dapat mengalahkannya. Dalam
Maudoro. perang tanding tersebut Adipati Slebar kalah,
Pertunjukan diawali tari daerah, Tari oleh karena itu kemudian meminta bantuan ke
Burung Garuda, Tari Margapati, Tari Singa kerajaan Majapahit.
Liar, Tari Jejer Gandrung, Tari/Lagu Anoman Pertunjukan diawali jejer gandrung, tari Bali,
Obong, adegan putri-putri yang menampilkan dan dilanjutkan 13 lagu dan tari yang dibawakan
lagu-lagu dan tari. Sesudah adegan putri- oleh sepuluh putri yang muncul di panggung.
putri baru kemudian dimulai adegan cerita Ketiga belas lagu tersebut dinyanyikan oleh tiga
mengenai Joko Umbaran. Adegan kerajaan belas putri yang hadir dalam adegan tersebut.
Majapahit dan kadipaten Grati masing- Banyaknya lagu-lagu tersebut untuk memenuhi
masing juga masih menampilkan lagu-lagu permintaan penonton.
dan tari yang menampilkan putri-putri yang Pada pertunjukan tersebut ada permintaan
terlibat dalam adegan tersebut. Adegan penonton yang belum dipenuhi. Penonton
lagu dan tari sebelum cerita maupun dalam tersebut kemudian memberanikan diri naik ke
adegan cerita merupakan kesempatan para panggung dan “memaksa” agar permintaan
penonton untuk memesan lagu sambil lagunya dikabulkan. Peristiwa tersebut ternyata
memberikan saweran. jarang terjadi. Oleh karena itu, peristiwa tersebut
Adegan lain yang menyajikan lagu-lagu termasuk unik terutama dari sisi perilaku
adalah lawak. Dalam adegan lawak lazimnya penonton.
semua tokoh dalam adegan ikut terlibat dalam
bentuk dialog, tembang, dan tari. Hal tersebut 3. Struktur Pentas
berbeda dangan dalam adegan kerajaan yang Dua pentas Damarwulan yang menjadi objek
cenderung hanya melibatkan tokoh-tokoh putri, pengamatan menunjukkan adanya struktur
sedangkan peran laki-laki cenderung diam. dasar yang sama, seperti tampak pada diagram
Dengan demikian, tokoh laki-laki bersifat pasif. berikut.
Sebagai suatu adegan seni hal tersebut tampak
kurang harmoni.

121
Vol. 4, No. 1, Juni 2014

Pentas Janger
No Adegan
25 Agustus 2012 13 Agustus 2013
1. Tari Burung Garuda 1. Tari Jejer Gandrung
2. Tari Margapati 2. Tari Margapati
Pracerita (Tari 3. Tari Singa Liar 3. Lagu/Tari oleh Putri-putri (tiga belas lagu)
1
dan Lagu) 4. Tari Jejer Gandrung
5. Tari/Lagu Anoman Obong
6. Lagu/Tari oleh Putri-putri (enam lagu)
1. Kerajaan Majapahit 1. Kadipaten Slebar
2. Kadipaten Grati 2. Kerajaan Banjarmasin
3. Perang Prajurit Majapahit dengan Grati 3. Perang Sayembara Putri Banjarmasin
4. Kebo Marcuwet Mencari Mangsa (Adipati Slebar kalah, minta bantuan ke
5. Lawak Majapahit)
2 Cerita 6. Kebo Marcuwet membunuh Adipati Grati 4. Lawak
7. Joko Umbaran membunuh Kebo Marcuwet 5. Kerajaan Majapahit (Tali pusat bayi yang
8. Joko Umbaran diberi hadiah perdikan lahir harus dipotong dengan keris milik putri
Blambangan Banjarmasin)
6. Pertapaan Parang Kencono
7. Kerajaan Majapahit

Dua kelompok Janger tersebut memiliki D. Tuntutan Pasar


struktur dasar pentas yang sama, yaitu adegan
praceritera (yang juga disebut adegan tari Tradisi seni melibatkan tiga pihak, yaitu pelaku
penyambutan) dan ceritera. Adegan ceritera seni, penikmat seni, dan penguasa. Pelaku seni
disesuaikan atau mengikuti skenario yang merupakan wilayah yang mengkreasi seni dan
dirancang oleh sutradara. Adegan praceritera menawarkannya kepada masyarakat penikmat
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. seni. Harapannya penikmat seni mendapatkan
Pentas tanggal 25 Agustus 2012 mementaskan kepuasan. Sebaliknya penikmat seni merupakan
enam jenis tari, sedangkan pentas tanggal 13 wilayah yang menikmati hasil kreasi pelaku
Agustus 2013 mementaskan tiga jenis tari. seni. Karena telah mendapatkan kenikmatan,
Sedikitnya tari diimbangi dengan banyaknya penikmat seni memberikan imbalan atas jasa
lagu yang dibawakan oleh putri-putri pada yang telah dikorbankan. Penguasa merupakan
adegan praceritera. Dengan demikian, putri-putri wilayah yang memiliki otoritas formal menata,
yang terlibat dalam pertunjukan Damarwulan mengontrol, dan melakukan pengawasan agar
memiliki kemampuan dan potensi tata suara kreasi-kreasi yang berkembang dapat diper­
yang bagus dan kemampuan menari. tanggung jawabkan secara estetis, yuridis, dan
Perbedaan lainnya adalah bahwa pada pentas moral.
tanggal 25 Agustus 2012 setiap adegan diawali Modifikasi cerita yang dibawakan dalam
Janturan, yaitu deskripsi situasi dari adegan yang lakon Janger mengalami perubahan juga karena
akan terjadi, sedangkan pada pentas tanggal tuntutan pasar, yaitu masyarakat penikmat
13 Agustus 2012 tidak disertai Janturan. Selain Janger, seperti yang dikemukakan Sugiyo
memberikan gambaran atau menginformasikan berikut.
situasi yang ada pada adegan yang akan terjadi, Cerita yang ditampilkan sesuai dengan
Janturan yang menggunakan bahasa yang indah permintaan yang punya gawe, bisa Calon
Arang, tapi bisa juga cerita dari Majapahit,
juga mendukung kekuatan estetis pentas secara
Demak, atau Mataram.
verbal.

122
Janger Banyuwangi dan Menakjinggo: Revitalisasi Budaya
Novi Anoegrajekti

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa E. Tantangan Memasuki Industri Kreatif


pasar atau penikmat seni Janger memiliki
oto­ritas untuk mengubah dan membentuk Dalam kebijakan pemerintah, industri kreatif
performansi baru. Legenda Calonarang masih dipahami sebagai industri yang berasal dari
berkaitan dengan Majapahit. Akan tetapi, cerita pemanfaatan kreativitas, keterampilan, serta
kerajaan Demak dan Mataran sudah jauh dari bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan
kerajaan Majapahit. Dengan demikian cerita serta lapangan kerja dengan menghasilkan
yang disajikan dimungkinkan tidak lagi berpusat dan mengeksplorasi daya kreasi dan daya
pada Majapahit. Otoritas atau tuntutan tersebut cipta industri tersebut. Sebanyak 14 sub-sektor
disikapi oleh seniman dengan mengikuti industri kreatif juga telah ditetapkan, yaitu
kehendak penanggap (yang punya gawe). industri periklanan, arsitektur, pasar seni dan
Fenomena munculnya banyak lagu dan tari barang antik, kerajinan, desain, fashion, video
terjadi atas tuntutan pasar terutama penonton film dan fotografi, permainan interaktif, musik,
yang meminta lagu. Kuatnya permintaan seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan,
lagu tersebut sampai ada penonton yang naik layanan komputer dan piranti lunak, televisi
panggung karena permintaan lagunya belum dan radio, serta riset dan pengembangan.
dipenuhi, seperti tampak pada gambar berikut. Tujuan utama dari kebijakan industri kreatif
adalah terciptanya “ekonomi kreatif” (creative
economy) atau “ekonomi-berbasis-pengetahuan”
(knowledge-based-economy) berlandaskan pada
pengetahuan, kemampuan, dan talenta kreatif
warga negara yang bisa menyejahterakan serta
menciptakan peluang-peluang baru pekerjaan
(Flew, 2002; Galloway & Dunlop, 2006).
Beberapa kelompok seni tradisi di
Banyuwangi telah memasuki industri rekaman.
beberapa kelompok Janger juga telah memasuki
industri rekaman. Industri rekaman tersebut
menjajikan popularitas kelompok dan bintang
panggung yang dimiliki kelompok. Salah satu
bentuk industri kreatif berbasis seni tradisi
Foto 2: Penonton naik panggung meminta lagu
adalah rekaman video.
Selain meminta lagu penonton tersebut juga Nama Jinggoan sering juga disebut Jangger
memilih putri yang harus menyanyikannya. atau Damarwulan. Hasan Ali mengubah pakem
Tuntutan penonton yang semacam itu menjadi Jinggoan tahun 1965-an karena Menakjinggo
alasan kelompok Janger untuk memberikan adalah raja dan pahlawan Blambangan. Oleh
ruang yang longgar dalam hal lagu-lagu dan tari. karena itu, Menakjinggo harus ditampilkan tam­
Oleh karena itu adegan pracerita pertunjukan pan dan berwibawa. Pada akhirnya Menakjinggo
tanggal 25 Agustus 2012 diisi enam lagu dan memang kalah akan tetapi ka­rena siasat yang
pertunjukan tanggal 13 Agustus 2013 diisi digunakan Damarwulan yang memanfaatkan
tigabelas lagu. Penyajian lagu tersebut masih istri Menakjinggo untuk mengambil senjata
ditambah lagi pada adegan kerajaan yang (gada wesi kuning) andalan Menakjinggo.
memberi kesempatan para putri menyanyikan Saat ini beberapa kelompok Janger telah
lagu-lagu, demikian juga pada adegan lawak. masuk dapur rekaman. Sistem yang digunakan

123
Vol. 4, No. 1, Juni 2014

adalah perjanjian putus. Kelompok Janger Ihwal kedigdayaan Menakjinggo, para pe­
seperti menerima tanggapan dengan besaran nonton sepakat bahwa Menakjinggo memang
biaya mencapai lima kali lipat (15-20 juta tokoh yang sakti mandraguna. Empat penonton
rupiah), akan tetapi tidak menerima royalti. Oleh yang ditemui semua menempatkan Menakjinggo
karena itu, masuknya industri rekaman belum sebagai raja, pemimpin, dan pahlawan mereka.
dapat meningkatkan kesejahteraan para pemain Oleh karena itu, Menakjinggo digambarkan
Janger. Hal itu sejalan dengan pengakuan yang seorang pemimpin yang gagah perkasa, tampan,
dinyatakan oleh pararesponden, bahwa kesenian bijaksana, berwibawa, dan sakti madraguna.
Damarwulan belum dapat digunakan sebagai Sugiyo dan Sanusi sebagai seniman cenderung
andalan yang menghidupi rumah tangga. tidak terlalu kaku. Keduanya masih mau
Sebagian besar, bahkan hampir semua pemain mengikuti keinginan penanggap. Ia menyikapi
Damarwulan memiliki pekerjaan lain sebagai perbedaan versi tersebut hanya sebatas dalam
andalan untuk memenuhi kebutuhan keluarga seni pertunjukan. Akan tetapi pada dasarnya,
(seperti guru, tukang batu, berdagang, dan yang secara pribadi, keduanya menempatkan Menak­
lain). jinggo sebagai raja, pemimpin, dan pahlawan
oleh karena itu menggambarkannya sebagai
1. Versi Damarwulan raja yang tampan, gagah, berwibawa, dan sakti
Kisah Menakjinggo antara lain tampak pada mandraguna. Sugiyo, yang sering berperan
tembang asmaradana yang mengemukakan sebagai Menakjingga memeragakan pakaian
keluhan Damarwulan yang terdesak dan merasa dan make up-nya seperti tampak pada foto 1 di
tidak mampu mengimbangi kedikdayaan depan.
Menakjinggo berikut. Sugiyo salah satu seniman Damarwulan
Anjasmara ari mami yang sebagian besar hidupnya diabdikan untuk
Masmirah kulaka warta seni teater rakyat Damarwulan. Ia juga me­
Dasihmu tan wurung layon libatkan anak-anaknya ikut terlibat dalam seni
Aneng kuta Prabalingga Damarwulan. Kelompok Damarwulan yang ia
Prang tanding lan Urubismo pimpin berdiri pada tahun 1942 dan terus hidup
Kario mukti wong ayu sampai saat ini. Sebagai seniman ia berusaha
Pun kakang pamit palastra mempertahankan cerita Menakjinggo dengan
memperhitungkan aspek sejarah. Ihwal tayangan
Dalam tembang Asmaradana di atas, Damar­­ di televisi yang mengisahkan peperangan antara
wulan dilukiskan merasa tidak mampu me­­ Damarwulan dengan Kebo Mercuet dikatakan
nandingi kedigdayaan Urubismo atau Menak­ bersifat anakronis. Dikatakan peperangan itu
jinggo. Darmarwulan tampak putus asa dan bukan zamannya. Saat Kebo Mercuet dibunuh
mengeluh kepada Anjasmara, istrinya. Hal oleh Joko Umbaran, saat itu Damarwulan masih
tersebut menunjukkan adanya keti­dak­­­se­ anak-anak.
imbangan. Damarwulan sebagai tokoh muda Versi tokoh Menakjinggo yang berwajah
yang lemah bila dibandingkan dengan Menak­ jelek, suara sumbang, dan penampilan fisik
jinggo. Hal itu menunjukkan kedigdaya­an timpang berasal dari Jawa Kulonan. Hal ter­
Menakjinggo yang memang tidak sebanding sebut dipengaruhi pandangan Kerajaan Maja­
dengan Damarwulan. Oleh karena kedigdayaan­ pahit dalam memandang dan menyikapi
nya itulah, Ratu Putri Kencana Wungu meng­ Adipati Blambangan, Menakjinggo. Dalam
adakan sayembara besar. Siapa yang dapat versi kethoprak di Jawa Kulonan menempatkan
me­nga­lahkan Menakjingga akan dijadikan Menakjinggo sebagai pemberontak karena tidak
suaminya. mau tunduk kepada Majapahit. Perlawanan

124
Janger Banyuwangi dan Menakjinggo: Revitalisasi Budaya
Novi Anoegrajekti

tersebut dilakukan karena Menakjinggo merasa


dibohongi. Sebab ketika mengalahkan Kebo
Mercuet diberi janji akan dijadikan suami Ratu
Putri Kencanawungu. Akan tetapi hal tersebut
diingkari. Oleh karena itu, dalam versi Using,
Menakjinggo adalah pemimpin dan pahlawan
yang gagah perkasa, berwibawa, dan sakti
mandraguna. Kekalahannya terjadi karena
tipudaya dan kelicikan Damarwulan yang
memanfaatkan kedua istri Menakjinggo, Waito
dan Puyengan yang kebetulan jatuh cinta kepada
Damarwulan. Kelicikan Damarwulan tersebut Foto 3: Awal Pertunjukan, Penonton Berdesakan di Depan
dan Samping Panggung
bukan sifat seorang ksatria.
Waito dan Puyengan berusaha membantu Foto 3, di atas diambil pada awal pertunjukan
Damarwulan dengan mencuri senjata andalan pada adegan praceritera. Penonton tampak
Menakjinggo, yaitu Godo Wesi Kuning. Disam­ memenuhi sisi panggung. Kondisi tersebut juga
paikan oleh Haji Slamet bahwa, ada versi terjadi pada sisi yang lain dan ruang di depan
cerita yang menampakkan adegan kematian panggung. Mereka antusias menikmati sajian
Menakjinggo yang tidak sampai dipenggal tembang dan tari yang dipersembahkan sebagai
leher­nya, akan tetapi sebelum dipenggal ia sajian pada adegan praceritera. Kondisi penonton
menghilang, moksa dan yang dibawa Damar­ pada sekitar pukul 00.30. Ruangan sudah
wulan dan dipersembahkan kepada Raja Maja­ mulai berkurang. Kursi yang semula dipenuhi
pahit adalah mahkotanya. penonton mulai ditinggalkan dan banyak yang
2. Minat Penonton kosong. Saat itu jumlah penonton tinggal 50%
atau sekitar 400-an orang. Beberapa penonton
Pengamatan terhadap penonton dalam dua yang ditemui menyampaikan alasan mengapa
pertunjukan menunjukkan gejala yang cen­ mereka bertahan. Sebagian karena menunggu
derung sama. Pada awal pertunjukan jumlah sampai munculnya lawak, yang lain mengatakan
penonton sangat banyak, mencapai jumlah bertahan sampai perang, dan ada pula yang
delapan ratusan dan terkonsentrasi di sekitar mengemukakan alasan karena memanfaatkan
panggung. Jika penghitungan termasuk yang hiburan gratis dan memang penggemar. Kondisi
hanya datang untuk berjualan dan sekedar penonton pada akhir pertunjukan, sekitar pukul
melihat-lihat situasi lalu membeli makanan, dan 4.00. Jumlah penonton yang bertahan tinggal
pengunjung lain yang tidak berada di sekitar sekitar 50 orang. Mereka yang bertahan karena
panggung jumlahnya tentu jauh lebih banyak, masih saudara dan anggota keluarga dari yang
dan bisa mencapai dua kali lipat, sekitar seribu memiliki hajat.
limaratusan orang. Pada dini hari sekitar pukul Gejala semakin menurunnya jumlah pe­
00.30 penonton tinggal sekitar lima puluh persen nonton yang sangat signifikan, sebagai salah
dan sudah tersebar jauh dari panggung. Sekitar satu indikasi bahwa durasi waktu yang panjang,
pukul 04.00 jumlah penonton semakin berkurang, pukul 21.00 s.d. 05.00 cukup melelahkan. Hal
tinggal sekitar lima puluh orang yang berada di tersebut mengakibatkan banyak penonton yang
sekitar panggung dan menempati tempat duduk tidak tahan menyaksikan pertunjukan Damar­
yang tersedia karena sudah cukup longgar. wulan.
Secara kronologis, penurunan jumlah penonton
tersebut dapat dilihat pada sajian foto berikut.

125
Vol. 4, No. 1, Juni 2014

3. Kebijakan Kebudayaan dalam mena yang dihadapi para seniman adalah


Merevitalisasi dan Mengembangkan Seni ketidakberdayaan berhadapan dengan pemodal
Damarwulan yang mengembangkan industri kreatif. Dalam
Damarwulan yang lahir pada tahun 1918, hal tersebut perlu ada mediator dan institusi
pada tahun 1920 mengalami modifikasi dalam yang memproteksi seniman agar memiliki
hal dekorasinya. Kelompok seni Damarwulan daya tawar, misalnya ketika masuk dapur
yang ada pada saat itu juga mendapat pembinaan rekaman mereka mendapat royalti agar mereka
dari pemerintah. Sampai saat ini, telah banyak mendapatkan peningkatan kesejahteraan dan
group Damarwulan di Banyuwangi. Akan semakin setia menghidupi dunia seni tradisi.
tetapi sebagian mengalami nasib “hidup segan Pentas kolaborasi seni tradisi dan modern
mati tak hendak”. Beberapa group yang masih seperti yang terjadi pada tanggal 16 November
eksis antara lain Setyo Kridho Budoyo, Dharma 2013 dalam ajang Banyuwangi Jazz Festival
Kencana, Sri Budoyo Pangestu, Dipa Candra yang menampilkan Sahrani dengan Gandrung
Budaya, Temenggung Budoyo, Madyo Utomo Temu berpotensi untuk dikembangkan sebagai
Banje, Patoman, Langgeng Eko Budoyo, dan salah satu model. Kolaborasi tersebut juga dapat
Jinggo Wangi. dilakukan untuk aneka jenis seni yang lain.
Untuk pembinaan dan pengembangan seni
Damarwulan, Pemerintah Kabupaten Banyu­ F. Simpulan
wangi senantiasa mengirimkan kontingen untuk
mengikuti festival atau lomba yang diseleng­ Seni tradisi Damarwulan mengalami pasang
garakan pada tingkat regional (provinsi) atau surut. Hal tersebut menginspirasi seni­man
nasional. Hal tersebut sebagai kesempatan berkreasi dengan mengubah kostum, menambah
untuk mengevaluasi seberapa jauh kualitas pem­ alat musik, memasukkaan lagu-lagu baru yang
binaan, pengembangan, dan kreativitas dalam digemari masyarakat, menambah isi cerita, dan
mengembangan seni Janger. Kebijakan lain berupa memadukan dengan seni lain.
pemberian bntuan fasilitas kepada kelompok Memasuki industri kreatif, pemodal perlu
Damarwulan. Pada masa Pemerintahan Samsul lebih peduli terhadap seniman tradisi, agar
Hadi bahkan setiap kelompok Damarwulan kesejahteraannya meningkat. Hal itu akan
diseyogiakan memiliki gamelan perunggu. Oleh menambah kepercayaan diri seniman dalam
karena itu, kelompok yang belum memiliki berkreasi dan berinovasi yang pada gilirannya
gamelan perunggu diminta mengajukan pro­ akan dipetik pemodal. Kepedulian dapat
posal kepada pemerintah kabupaten, melalui adiwujudkan dalam bentuk pemberian royalti,
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. festival, pelatihan, anugerah seni, atau lomba.
Pada saat ini seni tradisi hidup berdampingan Untuk itu, perlu ada yang menjembatani,
dengan seni populer yang diminati masyarakat misalnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata,
banyak. Jika dibiarkan “bersaing” seni tradisi Dewan Kesenian, atau LSM yang berkecimpung
cenderung tidak mampu bersaing. Oleh karena dalam bidang hukum dan advokasi. Hal tersebut
itu, di berbagai negara, seni tradisi mendapat dapat dilakukan melalui tahap penyadaran,
proteksi dari negara. Bentuk proteksi cukup sosialisasi, pelatihan, pengorganisasian, dan
beragam mulai dari upaya dan pelatihan manajemen industri kreatif. Semua itu untuk
komodifikasi yang melibatkan, pemberian mewujudkan semangat bahwa kebudayaan
bantuan fasilitas, penyelenggaraan festival, harus mampu menyejahterakan masyarakat
pemberian anugerah seni, pelatihan manajemen pendukungnya.
kesenian, dan manajemen pemasaran. Feno­

126
Janger Banyuwangi dan Menakjinggo: Revitalisasi Budaya
Novi Anoegrajekti

Daftar Pustaka Flew, Terry. 2002. “Beyond ad hocery: Defining


Creative Industries”. Paper dipre­sentasi­
Anoegrajekti, Novi. 2011. ”Legenda Sri Tanjung
kan dalam The Second International
dan Dukun Perempuan: Mantra Using
Conference on Cultural Policy Research:
dan Pembongkaran Mitos”. Seminar
Cultural Sites, Cultural Theory, Cultural
Internasional Kekayaan Budaya dalam
Policy, Te Papa, Wellington, New Zealand,
Bahasa Ibu diselenggarakan oleh Balai
23-26 Januari 2002. Versi on-line diunduh
Bahasa Bandung, 3-4 Mei 2011.
dari http://www.library.auckland.ac.nz/
Anoegrajekti, Novi. 2012. ”Konstruksi subjects/bus/execprog/docs/creative_
Pahlawan dalam Teks Jinggoan dan Sri industries.pdf, 2 Juni 2009.
Tanjung: Relasi Kuasa dan Identitas”.
Hall, Stuart. 1997. “The Work of Representation”
Seminar Nasional Bahasa, Sastra, dan
dalam Representation: Cultural Repre­
Pengajarannya diselenggarakan oleh
sentations and Signifying Practices. London:
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas
Sage Publication.
Pendidikan Ganesha, 9-10 Juni.
Kompas, “Prabu Minakjinggo Beroperasi Plastik,”
Budianta, Melani dan Manneke Budiman. 2001.
Minggu, 3 Januari 1993.
“Kebijakan Sastra” dalam Kebijakan
Kebudayaan di Masa Orde Baru. Jakarta; Spradley, James. P. 1997. Metode Etnografi.
LIPI dan Ford Foundation. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Budianta, Melani. 2002. “Pendekatan Feminis Sudarsono. 1972. Djawa dan Bali Dua Pusat
dalam Wacana” dalam Aminudin, dkk. Perkembangan Drama Tari Tradisional di
Analisis Wacana: Dari Linguistik sampai Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
Dekonstruksi. Yogyakarta: Kanal. University Press.

127

Anda mungkin juga menyukai