Abstrak
Kajian ini menekankan bagaimana sebuah identitas dibangun dalam persentuhannya dengan
modernisasi. Hal ini tampak pada perubahan dalam teks Janger Banyuwangi. Sebagai peristiwa
budaya seni Janger Banyuwangi termasuk unik karena bersifat hibrid, yaitu perpaduan seni yang
berasal dari Banyuwangi, Jawa, dan Bali. Konstum, tari, dan alat musik memiliki kemiripan dengan
Bali. Sebagai kajian etnografi, masyarakat Using Banyuwangi memandang dan menyikapi kesenian
Janger sebagai konstruksi identitas yang berubah terus-menerus.
Abstract
This study emphasizes how an identity has been built in its contact with modernization. This is
evident in the changes in the Janger text of Banyuwangi. As a cultural event, the Banyuwangi Janger
art performance is unique because it is a hybrid, which is a combination of art which originated
from Banyuwangi, Java, and Bali. Costumes, dances, and musical instruments are similar to Bali.
As an ethnographic study, the Using people of Banyuwangi perceive and respond to the Janger art
performance as a continously changing identity construction.
A. Pendahuluan
116
Janger Banyuwangi dan Menakjinggo: Revitalisasi Budaya
Novi Anoegrajekti
Wiraraja. Interpretasi lain menyebutkan bahwa yang berasal dari Banyuwangi, Jawa, dan Bali.
kisah Damarwulan-Menakjinggo adalah rekaan Kostum, tari, dan alat musik memiliki kemiripan
penjajah Belanda untuk menjelek-jelekkan dengan Bali. Gending-gendingnya Banyuwangi,
penguasa Tanah Semenanjung Banyuwangi, dan dialognya menggunakan bahasa Jawa
Wong Agung Wilis yang melakukan perlawanan krama. Bahasa Using digunakan pada adegan
yang dikenal dengan perang Puputan Bayu.1 lawak. Hal tersebut menunjukkan adanya
Istilah Jinggoan digunakan juga oleh masya kontak budaya antara Bali, Banyuwangi, dan
rakat Using di Banyuwangi, diambil dari Jawa Kulonan. Damarwulan merupakan seni
nama tokoh Prabu Minakjinggo sebagai tokoh tradisi paling unik karena menggunakan musik
kepahlawanan, sedangkan nama Janger dapat Bali, gending Banyuwangi, antarwacana (dialog)
dikaitkan dengan dominasi pengaruh unsur menggunakan bahasa Jawa, tari dan kostumnya
Bali pada gamelan, tari, dan busananya. Dari Bali.
segi ceritanya kesenian ini bersumber dari Dari sudut pandang Majapahit, Damarwulan
Langendriya2 yang berasal dari lingkungan sebagai protagonis yang mengemban tugas
keraton Yogyakarta. Kajian ini menekankan membinasakan Menakjinggo yang dipandang
bagaimana sebuah identitas dibangun dalam sebagai pemberontak. Sementara itu, Menakjinggo
persentuhannya dengan modernisasi. Hal ini sebagai antagonis yang membuat gerakan untuk
tampak pada perubahan dalam teks Janger melakukan pemberontakan terhadap Majapahit.
Banyuwangi. Sebagai peristiwa budaya Seni Versi cerita tersebut cenderung menyudutkan
Janger Banyuwangi termasuk unik karena bersifat masyarakat Using dan menorehkan tuduhan
hibrid, yaitu perpaduan seni yang berasal dari sebagai masyarakat pemberontak, penentang
Banyuwangi, Jawa, dan Bali. Kostum, tari, dan penguasa, dan pengganggu stabilitas.
alat musik memiliki kemiripan dengan Bali. Sejak perang Paregreg usai dan Banyuwangi
Tema kesenian Langendriya ini pada berada di dalam genggaman kekuasaan
prinsipnya berkisar pada kepahlawanan pihak luar (Mataram, Bali, dan VOC), praktis
Damarwulan dari kerajaan Majapahit melawan komunitas “sisa Paregreg” ini terus-menerus
Minakjinggo dari Kerajaan Blambangan. Di terpinggirkan secara sosial dan politik. Peng
Banyuwangi, minat masyarakat menanggap angkatan Bupati pertama, R. Wiroguno (Mas
Janger masih ada. Beberapa kelompok Janger Alit) tahun 1773 oleh pemerintah kolonial
yang masih eksis dan sering mendapat Belanda mempertegas marjinalisasi itu. Mas
tanggapan antara lain Setyo Kridho Budoyo, Alit adalah tokoh pribumi yang dihadirkan dari
Dharma Kencana, Sri Budoyo Pangestu, Dipa Madura dan ia merepresentasikan Jawa atau
Candra Budaya, Temenggung Budoyo, Madyo Madura. Naskah Resolusi 7 Desember 1773 pasal
Utomo Banje, Patoman, Langgeng Eko Budoyo, pertama menjelaskan bahwa Mas Alit sebagai
dan Jinggo Wangi. Bupati diberi wewenang penuh untuk mengatur
Seni Janger Banyuwangi termasuk unik Banyuwangi bahkan secara mandiri (tunggal)
karena bersifat hibrid, yaitu perpaduan seni tanpa pejabat lain yang diangkat sebagai wali.
1 Selanjutnya lihat Kompas, “Prabu Minakjinggo Beroperasi Plastik,” Minggu, 3 Januari 1993; Novi Anoegrajekti, Konstruksi Pahlawan dalam Teks
Jinggoan dan Sri Tanjung: Relasi Kuasa dan Identitas, dalam Prosiding Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. (Singaraja: FBS Universitas pendidikan
Ganesha, 2012), hlm 360.
2 Langendriya ini mula-mula merupakan gubahan dari koreografer Raden Tumenggung Purwodiningrat dan KGPH Mangkubumi. Kemudian
Langendriya ini di Surakarta digubah oleh KGPAA Mangkunegara V dan R.M. Harya Tandakusuma pada tahun 1881. Pada prinsipnya kedua bentuk
ini sama. Kalau di Yogyakarta pelakunya laki-laki, sedangkan di Surakarta pelakunya semuanya perempuan. Temanya berkisar pada hubungan
antara Damarwulan dengan Menakjinggo yang dikaitkan dengan cerita historis antara Majapahit dan Blambangan. Selanjutnya lihat Soedarsono,
Djawa dan Bali Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1972).
117
Vol. 4, No. 1, Juni 2014
3 Antara lain, Hasan Ali (budayawan dan pensiunan pegawai Pemda Banyuwangi, Hasnan Singodimayan (budayawan Using), Fatrah Abal (pemerhati
Using), dan Sahuni (pensiunan pegawai Kantor Pariwisata dan pimpinan organisasi kesenian ”Sidopekso”).
118
Janger Banyuwangi dan Menakjinggo: Revitalisasi Budaya
Novi Anoegrajekti
berkembang dalam seni Damarwulan adalah seorang ksatria, tinggi besar, gagah berani,
Lakon Bambang Menak yang mengisahkan masa dan merupakan tokoh yang menjadi ikon
kanak-kanak Menakjinggo, Lakon Joko Umbaran dalam cerita itu dan sekaligus sebagai
pahlawan Blambangan/Banyuwangi.
mengisahkan masa remajanya, dan Lakon
Kalaupun pada kenyataannya Menak
Menakjinggo mengisahkan perjalanan hidupnya jinggo digambarkan sebagai tokoh yang
setelah berhasil mengalahkan Kebomercuet jelek, bagi masyarakat Using Banyuwangi, itu
dan diberi hadiah tanah perdikan Blambangan. hanya sebagai pertunjukan, sebagai tontonan
Selanjutnya Menakjinggo diwisuda sebagai untuk menyenangkan penonton, dan dalam
Adipati Blambangan. Ketiga lakon tersebut pertunjukan pasti terjadi pelaku yang
protagonis dan antagonis dan ini diwujudkan
menempatkan Menakjinggo sebagai sosok ksatria
dalam peperangan. Jika tidak ada tokoh
yang berjasa terhadap kerajaan Majapahit. yang antagonis dan protagonis seandainya
Setelah menjadi adipati, Menakjinggo di ada perang menjadi tidak ramai sehingga
tempatkan sebagai antagonis karena dalam penonton tidak berminat untuk menontonnya.
pandangan kerajaan Majapahit, ia seorang Hal ini adalah menjadi hak mereka. Namun
adipati yang hendak memberontak. Oleh karena sebagai orang Using Banyuwangi tidak terima
itu, penampilan fisiknya tidak sempurna. jika tokoh Menakjinggo dijelek-jelekkan.”
Wajahnya penuh bopeng, jalannya timpang, Pandangan tersebut menempatkan karakter
ucapannya menunjukkan karakter orang yang Menakjinggo sebagai seni pertunjukan dan
tidak memiliki kewibawaan, dan berperilaku sebagai pahlawan Using. Hal tersebut menun
tidak baik. Menurut Sahuni, hal tersebut terjadi jukkan daya kritis masyarakat Using dalam
karena bahan cerita Menakjinggo berdasarkan menyikapi gejala tersebut. Kemungkinan lainnya
versi yang dikembangkan di Jawa (kulonan) adalah karena masyarakat Using tidak mampu
yang jelek. Keadaan tersebut berlangsung cukup dan tidak berani melakukan perlawanan budaya.
lama, paling tidak sejak berdirinya kesenian Menakjinggo sebagai tokoh dalam seni tersebut
Janger pada tahun 1918. Dalam versi cerita di memiliki kemungkinan dimaknai sebagai
wilayah Jawa Kulonan, penggambaran tokoh representasi keberadaan masyarakat Using. Jika
Menakjinggo sebagai antagonis tersebut masih itu yang terjadi, mereka tentu mulai terusik
berlangsung hingga saat ini. kenyamanannya. Mereka cenderung tidak bisa
Menakjinggo oleh masyarakat Using di menerima kalau pahlawan mereka ditampilkan
tempatkan sebagai seorang ksatria, pemimpin, jelek dan sebagai antagonis.
pahlawan, dan tokoh kebanggaan mereka. Akan Oleh karena itu, muncullah gerak perlawanan
tetapi dalam jangka waktu yang lama masyarakat budaya yang dilakukan oleh tokoh masyarakat
Using tidak mampu melakukan perlawanan. Using di Banyuwangi. Hasan Ali salah seorang
Ketika tokoh Menakjinggo yang ditampilkan budayawan dan cendekiawan Banyuwangi
dalam seni kethoprak atau Janger dipandang berinisiatif memodifikasi kisah dan karakter
sebagai hiburan tentu tidak menimbulkan Menakjinggo menjadi protagonis yang berwajah
persoalan, sebagaimana yang dikemukakan oleh tampan, gagah, berani, bijaksana, berwibawa,
Purwadi, ketua Asosiasi Masyarakat Adat Using, dan sakti mandraguna. Inovasi tersebut dilaku
di Banyuwangi berikut. kan pada tahun 1970-an dan di kalangan
Kalau ada rekonstruksi itu setuju sekali masyarakat Banyuwangi. Menurut Sahuni,
karena untuk mengubah image yang meng Hasan Ali mengubah pakem cerita Menakjinggo
gambarkan Menakjinggo sebagai tokoh
tersebut karena Pak Supaat, bupati ketika itu
yang jelek, baik postur tubuhnya, wajahnya,
suaranya, maupun sifatnya. Padahal sebetul menilai bahwa raja/pahlawan Blambangan itu
nya tidak demikian. Menakjinggo adalah tentu digambarkan dengan bagus.
119
Vol. 4, No. 1, Juni 2014
120
Janger Banyuwangi dan Menakjinggo: Revitalisasi Budaya
Novi Anoegrajekti
121
Vol. 4, No. 1, Juni 2014
Pentas Janger
No Adegan
25 Agustus 2012 13 Agustus 2013
1. Tari Burung Garuda 1. Tari Jejer Gandrung
2. Tari Margapati 2. Tari Margapati
Pracerita (Tari 3. Tari Singa Liar 3. Lagu/Tari oleh Putri-putri (tiga belas lagu)
1
dan Lagu) 4. Tari Jejer Gandrung
5. Tari/Lagu Anoman Obong
6. Lagu/Tari oleh Putri-putri (enam lagu)
1. Kerajaan Majapahit 1. Kadipaten Slebar
2. Kadipaten Grati 2. Kerajaan Banjarmasin
3. Perang Prajurit Majapahit dengan Grati 3. Perang Sayembara Putri Banjarmasin
4. Kebo Marcuwet Mencari Mangsa (Adipati Slebar kalah, minta bantuan ke
5. Lawak Majapahit)
2 Cerita 6. Kebo Marcuwet membunuh Adipati Grati 4. Lawak
7. Joko Umbaran membunuh Kebo Marcuwet 5. Kerajaan Majapahit (Tali pusat bayi yang
8. Joko Umbaran diberi hadiah perdikan lahir harus dipotong dengan keris milik putri
Blambangan Banjarmasin)
6. Pertapaan Parang Kencono
7. Kerajaan Majapahit
122
Janger Banyuwangi dan Menakjinggo: Revitalisasi Budaya
Novi Anoegrajekti
123
Vol. 4, No. 1, Juni 2014
adalah perjanjian putus. Kelompok Janger Ihwal kedigdayaan Menakjinggo, para pe
seperti menerima tanggapan dengan besaran nonton sepakat bahwa Menakjinggo memang
biaya mencapai lima kali lipat (15-20 juta tokoh yang sakti mandraguna. Empat penonton
rupiah), akan tetapi tidak menerima royalti. Oleh yang ditemui semua menempatkan Menakjinggo
karena itu, masuknya industri rekaman belum sebagai raja, pemimpin, dan pahlawan mereka.
dapat meningkatkan kesejahteraan para pemain Oleh karena itu, Menakjinggo digambarkan
Janger. Hal itu sejalan dengan pengakuan yang seorang pemimpin yang gagah perkasa, tampan,
dinyatakan oleh pararesponden, bahwa kesenian bijaksana, berwibawa, dan sakti madraguna.
Damarwulan belum dapat digunakan sebagai Sugiyo dan Sanusi sebagai seniman cenderung
andalan yang menghidupi rumah tangga. tidak terlalu kaku. Keduanya masih mau
Sebagian besar, bahkan hampir semua pemain mengikuti keinginan penanggap. Ia menyikapi
Damarwulan memiliki pekerjaan lain sebagai perbedaan versi tersebut hanya sebatas dalam
andalan untuk memenuhi kebutuhan keluarga seni pertunjukan. Akan tetapi pada dasarnya,
(seperti guru, tukang batu, berdagang, dan yang secara pribadi, keduanya menempatkan Menak
lain). jinggo sebagai raja, pemimpin, dan pahlawan
oleh karena itu menggambarkannya sebagai
1. Versi Damarwulan raja yang tampan, gagah, berwibawa, dan sakti
Kisah Menakjinggo antara lain tampak pada mandraguna. Sugiyo, yang sering berperan
tembang asmaradana yang mengemukakan sebagai Menakjingga memeragakan pakaian
keluhan Damarwulan yang terdesak dan merasa dan make up-nya seperti tampak pada foto 1 di
tidak mampu mengimbangi kedikdayaan depan.
Menakjinggo berikut. Sugiyo salah satu seniman Damarwulan
Anjasmara ari mami yang sebagian besar hidupnya diabdikan untuk
Masmirah kulaka warta seni teater rakyat Damarwulan. Ia juga me
Dasihmu tan wurung layon libatkan anak-anaknya ikut terlibat dalam seni
Aneng kuta Prabalingga Damarwulan. Kelompok Damarwulan yang ia
Prang tanding lan Urubismo pimpin berdiri pada tahun 1942 dan terus hidup
Kario mukti wong ayu sampai saat ini. Sebagai seniman ia berusaha
Pun kakang pamit palastra mempertahankan cerita Menakjinggo dengan
memperhitungkan aspek sejarah. Ihwal tayangan
Dalam tembang Asmaradana di atas, Damar di televisi yang mengisahkan peperangan antara
wulan dilukiskan merasa tidak mampu me Damarwulan dengan Kebo Mercuet dikatakan
nandingi kedigdayaan Urubismo atau Menak bersifat anakronis. Dikatakan peperangan itu
jinggo. Darmarwulan tampak putus asa dan bukan zamannya. Saat Kebo Mercuet dibunuh
mengeluh kepada Anjasmara, istrinya. Hal oleh Joko Umbaran, saat itu Damarwulan masih
tersebut menunjukkan adanya ketidakse anak-anak.
imbangan. Damarwulan sebagai tokoh muda Versi tokoh Menakjinggo yang berwajah
yang lemah bila dibandingkan dengan Menak jelek, suara sumbang, dan penampilan fisik
jinggo. Hal itu menunjukkan kedigdayaan timpang berasal dari Jawa Kulonan. Hal ter
Menakjinggo yang memang tidak sebanding sebut dipengaruhi pandangan Kerajaan Maja
dengan Damarwulan. Oleh karena kedigdayaan pahit dalam memandang dan menyikapi
nya itulah, Ratu Putri Kencana Wungu meng Adipati Blambangan, Menakjinggo. Dalam
adakan sayembara besar. Siapa yang dapat versi kethoprak di Jawa Kulonan menempatkan
mengalahkan Menakjingga akan dijadikan Menakjinggo sebagai pemberontak karena tidak
suaminya. mau tunduk kepada Majapahit. Perlawanan
124
Janger Banyuwangi dan Menakjinggo: Revitalisasi Budaya
Novi Anoegrajekti
125
Vol. 4, No. 1, Juni 2014
126
Janger Banyuwangi dan Menakjinggo: Revitalisasi Budaya
Novi Anoegrajekti
Budianta, Melani. 2002. “Pendekatan Feminis Sudarsono. 1972. Djawa dan Bali Dua Pusat
dalam Wacana” dalam Aminudin, dkk. Perkembangan Drama Tari Tradisional di
Analisis Wacana: Dari Linguistik sampai Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
Dekonstruksi. Yogyakarta: Kanal. University Press.
127