menampilkan suasana hati berbeda tiap pertunjukanya. Untuk wanda wayang gaya Surakarta
terdahulu pada dasarnya lahir dari keraton Kasunanan Surakarta, akan tetapi semakin berjalanya
waktu wanda wayang tertentu berkembang dan sedikit demi sedikit mengalami perubahan
visualisasi di lingkungan masyarakat luar keraton karena pengaruh keterbatasan sumber dan
pengaruh tafsir yang berbeda dari tiap senimanya.
Dasamuka yang menjadi objek utama dalam penelitian ini mempunyai peran penting sebagai tokoh
antagonis Sedangkan tokoh protagonisnya adalah Rama dan Sinta, tritagonis diperankan oleh
Wibisana, dan tokoh lainya menjadi pemeran pembantu. Pada pertunjukan tersebut Bambang
Suwarno menampilkan tiga boneka wayang Dasamuka dengan wanda yang berbeda. Ketiga wayang
tersebut adalah Dasamuka wanda bugis, Dasamuka wanda belis dan Dasamuka wanda iblis. Setelah
dikaji melalui perspektif ikonografi, dapat diketahui hasil kajian dari ketiga wanda Dasamuka yang
ditampilkan dalam lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno. Simbol-simbol di dalam ketiga
wanda wayang Dasamuka tersebut menunjukan makna tertentu yang menjadi petunjuk bagaimana
fungsinya dalam pertunjukan. Dasamuka wanda bugis yang menyiratkan rasa kepercayaan diri kuat
dengan jiwa keprajuritan sesuai dengan suasana adegan yang diperankan saat menculik Sinta dan
melakukan penguasaan terhadap Sinta di kerajaan Alengka.
Wayang dalam perkembangannya hingga mencapai bentuknya sekarang sebagai budaya adi luhung,
mengalami suatu proses pemikiran-pemikiran serta penyempurnaan dalam pembentukkannya, dari
pakelirannya hingga penggambaran wayang, dalam proses menatah dan menyunggingnya. Proses ini
dapat dikatakan merupakan suatu proses desain, karena dalam proses-proses tersebut terarahkan
untuk tujuan tertentu.
Dalam suatu pagelaran wayang, dengan dalang sebagai pelaku sentral pertunjukkan, terdapat
banyak nilai dan pesan, khususnya pesan moral yang hendak disampaikan, baik itu dalam garap
pakelirannya sampai pada penggambaran wayang yang mewakili suatu karater tokoh. Wayang, bagi
masyarakatnya, merupakan kesenian yang menyampaikan suatu pandangan hidup dalam bentuk
perlambang-perlambang/ simbol-simbol, yang dalam komunikasi merupakan suatu pesan yang
diutarakan oleh dalang ( komunikator ) kepada penonton ( komunikannya ).
Lebih jauh, ditinjau dari pengaruh kebudayaan dan agama-agama yang berkembang seiring dengan
perkembangannya, wayang merupakan suatu media penyampaian pesan religi, media dakwah
dalam penyebaran suatu agama. Pesanpesan tersebut diungkapkan melalui simbol-simbol. Wayang
dapat dikatakan sebagai komunikasi visual tradisional, ini disebabkan karena wayang bagi
masyarakat tradisional merupakan bentuk komunikasi mereka terhadap sesama maupun dengan
penguasa alam semesta, karena wayang tersebut memiliki makna dan pesan bagi masyarakat. Lebih
spesifik wayang merupakan bentuk komunikasi visual Rupa rungu dwimatra dinamis ( moving Audio
visual ), dimana dalam pagelaran wayang terdapat gabungan seni audio dan visual
DAFTAR PUSTAKA
Bahrudin, Ahmad. 2017. Ornamen Minangkabau “Dalam Perspektif Ikonografi”. Padang Panjang: ISI
Padang Panjang.
Bratakesawa. 1952. Katrangan Tjadrasangkala. Jakarta: Balai Pustaka. Kamajaya. Serat Centhini Latin
2.Yogyakarta: Yayasan Centhini.
Keraf, Gorrys. 1982. Ekspedisi dan Diskripsi. Ende-Flores: PT. Nusa Indah. Koentjaraningrat. 1938.
Kebudayaan Jawa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Mulyono, Slamet. 2008. Kamus Pepak Basa Jawa. Jakarta: Buku Kita.
Murtiyoso, dkk. 1998. Pertumbuhan dan perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. Surakarta:
Laporan penelitian STSI Surakarta bekerjasama dengan Sena Wangi.
Kusumadilaga, K.P.A. Serat Sastramiruda. Dialih bahasakan oleh Kamajaya dan dialih aksarakan oleh
Sudibjo Z. Hadisutjipto. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud,
1981.
Murtiyoso, Sumanto, Suyanto, Kuwato. 2007. Teori Pedalangan; Bunga Rampai Elemen-elemen
Dasar Pakeliran. Surakarta: ISI Surakarta dan Saka Production.
Padmopuspito. 91. Kamus Kawi – Jawa. Yogjakarta: Gadjah Mada University Press. Padmosoekotjo.
1982. Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita Jilid III. Surabaya: CV Citra Jaya.
Padmosoekotjo. 1984. Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita Jilid II. Surabaya: CV Citra Jaya. 129
Poerwadarminta. 1939. Kamus Bausastra Jawa. Batavia: J.B. Wolthers’ Uitgevers Maatchappij N. V.
Groningen.
Purwadi. 2005. Kamus jawa-Indonesia Indonesia-Jawa. Yogyakarta: Bina Media. Salim, Peter.
Salim, Yenny. 1993. Kamus Bahasa Indonesia Kontenporer. Jakarta: Balai Pustaka.
Satoto, Soediro. 1985. “Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya”. Yogyakarta: Laporan
Penelitian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi).
Soedarsono. 1985. Peranan Seni Budaya dalam Sejarah Kehidupan Manusia: Komunitas dan
Perubahanya. Yogyakarta: UGM.
Soetarno, dkk. 1979. Wanda Wayang Purwa Gaya Surakarta. Surakarta: Bagian Proyek ASKI Surakarta
, Proyek Pengembangan IKI Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soetarno, dkk. 2007. Teori Pedhalangan. Surakarta: Jurusan Pedalangan ISI Surakarta.
Soetrisno. 1964. R. Pitakon Lan Wangsulan Bab Wanda Wayang. Surakarta : CV Mahabarata.
Sudjarwo, Sumari, Wiyono. 2010. Rupa dan Karakter Wayang Purwa. Jakarta: Kakilangit Kencana.
Suwarno, Bambang. 1999. Wanda Wayang Kaitanya dengan Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Masa
Kini. Yogyakarta: Tesis S-2 Program 130 Pasca Sarjana UGM. Program Studi Pengkajian Seni
Pertunjukan.
Suwarno, Bambang. 2005. Wanda Waayang Purwa Tokoh Pandawa Gaya Surakarta Kajian Bentuk,
Fungsi, dan Pertunjukan. Yogyakarta: Disertasi S-3 Program Pasca Sarjana UGM. Program Studi
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa.
Tim Penuis Senawangi. 1999. Ensiklopedi Wayang Indonesia. Jakarta: Sekretariat Nasional
Pewayangan Indonesia.
Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta. 2001. Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta:
Kanisius.
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Pustaka dan Pusat bahasa depertemen Pendidikan Nasional.
Waridi. 2005. Menimbang Pendekatan Pengkajian dan Penciptaan Musik Nusantara. Surakarta:
Jurusan Karawitan bekerja sama dengan Program Pendidikan Pasca Sarjana dan STSI Press Surakarta.
Kumbakarna
Pada dasarnya, wayang Kumbakarna adalah wayang Buta Raton. Buta Raton artinya
Raksasa Raja. Wayang ini dalam pakeliran mempunyai banyak sekali nama. biasanya
menggambarkan seorang raja yang berwujud raksasa, berwatak angkaramurka, oleh karena
itu muka disungging warna merah. Kecuali untuk tokoh Kumbakarna biasanya muka
disungging warna prada, namun jika wayang yang demikian tidak tersedia digunakan juga
Buta Raton yang mukanya disungging warna merah, atau semua ini tergantung pada selera
Ki Dalang. Karena tujuan pokoknya untuk menunjukkan bahwa Raden Kumbakarna ini
walaupun berwujud raksasa besar, masih berwatak ksatria. Terkenal dalam serat Tripama
karya Sri Mangkunegara IV. Karena Raden Kumbakarna berperang melawan bala tentara
Sri Rama bukan untuk membela kakaknya Prabu Rahwana, tetapi dia berperang hanya
untuk membela tumpah darahnya atau tanah airnya. Karena Raden Kumbakarna tahu
bahwa pihak kakaknya prabu Rahwana yang salah, sedangkan Sri Rama yang titisan Batara
Wisnu berada dipihak yang benar.
Buta Raton dalam wayang kulit gaya Surakarta meiliki delapan macam wanda, yaitu Wanda
Bagus, Wanda Barong, Wanda Begog, Wanda Endog, Wanda Jaka, Wanda Macan, Wanda
Mendhung dan Wanda Wewe. Namun pada pakeliran, yang sering muncul dan popular ialah
wanda Macan dan wanda Barong.
Wanda Macan memilik ciri bermata satu, rambut bodol dan gigi yang tidak lancip (jagungan).
Wanda Macan berfungsi untuk perang dalam pathet manyura. Ketika menjad tokoh
Kumbakarna wanda macan dirasa paling tepat untuk menggambarkannya.
Sedangkan wanda Barong memiliki ciri bermata dua, rambut bodol, dan gigi taring yang
besar serta gigi yang lancip. Wanda Barong berfunsi untuk menggambarkan raja Raksasa
yang sangat angkara murka dan memiliki sifat dan tabiat yang buruk. Wanda ini kono dibuat
oleh Pakubuwono ke IV.
Dasamuka
Wanda yang kerap mucul dan popular dari dasamuka adalah Wanda
belis/iblis dan Wanda begal.
Wanda begal memiliki dua bentuk, yaitu begal mata dua dan begal mata satu.
Begal mata satu memiliki ciri kumis yang tidak ditatah, sedangkan begal mata dua
memiliki ciri mulut agak naik dan kumis ditatah.
Ciri Utama Wanda begal ialah muka yang diwarna emas/brongsong, postur
yang sedikit membukuk, tangan belakang lebih tinggi, dan kaki belakang juga lebih
tinggi (mancat). Muka dari Wanda begal terkesan konyol dan “bodoh”.
Dalam mitologi kebudayaan Jawa, ada sedulur papat ‘empat saudara’ yang menyertai manusia ketika
lahir. Sedulur atau saudara ini pada hakekatnya adalah nafsu-nafsu. Mereka adalah nafsu mutmainah, supiah,
amarah dan aluamah. Di dalam perang kembang sedulur papat atau nafsu itu digambarkan dengan
raksasa prepat, yang berperang melawan ksatria. Ksatria inilah cerminan sebagai (ego). Cerminan dari diri
pribadi atau nurani penonton.
Dari raut muka dan fisiologi fisik dari raksasa prepat yaitu Cakil, Pragalba, Buta Rambutgeni, atau Buta
Endog/Buta Terong jelas sekali tergambar bahwa mereka adalah simbol nafsu jahat. Raksasa Cakil yang
giginya taring mencuat, mukanya sempit, matanya licik menyiratkan nafsu dengki, iri. Pragalba badannya besar,
mulutnya tebuka lebar dengan gigi tajam, mata melotot, adalah gambaran dari nafsu untuk berkuasa, serakah.
rakus. Buta rambut geni yang rambutnya merah adalah simbol orang yang gampang terbakar kemarahan.
Sedangkan buta terong/buta endog yang bulat, lambat, gembul adalah simbol dari kemalasan, loba dll.
Walaupun bukan tokoh penting, tetapi Pragalba atau Bragalba hampir selalu muncul dalam setiap lakon yang
dipergelarkan.
Bragalba adalah tokoh raksasa yang disebut juga raksasa prepat, yaitu punggawa kerajaan raksasa
yang terkemuka. Wayang ini dapat dipakai dalam segala lakon dengan nama yang berganti-ganti.
Adapun nama Bragalba hanya dipakai secara umumnya. Bragalba sendiri berarti harimau.
Pada suatu hari Bragalba mendapat titah dari Rajanya untuk menyerahkan surat kepada seorang
raja. Baginda memberi restu pada Bragalba.
Titah Baginda: “Bragalba, kamu tak kutitahkan mati, kuharap pintarlah Kamu”.
Keluar Bragalba dari hadapan Raja berjalan mundur diiringi dengan lagu ayak-ayakan pinjalan. Suara
lagu gamelan dan jalan Bragalba dengan mundur dirasakan sebagai pertanda buruk, dan kemudian
matilah Bragalba oleh kesatria di tengah jalan. Terbuktilah kata Bragalba menyembahkan dihadapan
Raja, sebagai kata sembah yang suci dengan bersandar keutamaan yang sejati. Kematian Bragalba
dalam perang dengan kesatria, menghamburkan bau harum yang meliputi negeri tumpah darahnya.
Walaupun Bragalba sebangsa raksasa yang pada umumnya dipandang rendah tetapi memiliki
kebesaran hati dan menjunjung tinggi titah baginda. Inilah prajurit sejati.
Raksasa ini selalu mati kena panah dalam peperangan dengan kesatria pada tiap-tiap lakon.
Wayang Bragalba ini juga sering digunakan sebagai wayang pengganti untuk menggantikan tokoh
punggawa yang tidak ada wayangnnya. Pada Ramayan, sering digunakan juga untuk Punggawa Wira
Dumreksa.
Bragalba bermata belis, (asal dari kata iblis), hidung bentuk haluan perahu, mendongak, mulut
terbuka, tampak gigi dan taringnya. Rambut terurai bentuk gimbal (bergumpal-gumpal). Berjamang
dan bersunting waderan. Bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Kain rapekan. Tangan hanya dapat
digerakkan yang bagian depan.
BUTA RAMBUT GENI
RAMBUT GENI, dalam Wayang Kulit Purwa yakni salah satu raksasa perpat yang muncul dalam perang
kembang. Raksasa ini diciptakan pada zaman Mataram dengan candra sengkala : Jalu Buta Tinata Ratu atau
dalam tahun Jawa 1552. Beberapa wayang diciptakan untuk menandai sebuah peristiwa tertentu. Diantara
wayang itu adalah tokoh Buta Rambut Geni, Kenyawandu dan Raksasa Cakil, Betara Guru bertangan empat dll.
Dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa wayang ini mempunyai ciri-ciri: Bermata satu, rambut merah seperti nyala
api, dahi nonong. Ujung kalungnya mengarah ke belakang, memakai badong. Kakinya memiliki jalu, tangan
bekeman atau menggegam. Warna badannya merah dan memakai sabuk/cancutan kain
Sembilan ciri-ciri raksasa ini untuk memperingati pembuatan sembilan jenis wanda wayang pada zaman
Mataram, yakni Arjuna wanda Mangu, Baladewa wanda Geger, Kresna wanda Gendreh, Sembadara
wanda Rangkung, Banuwati wanda Golek, Semar wanda Brebes, Semar wanda Dhukun, Bagong
wanda Gilut dan Petruk wanda Jeglong.
Wanda adalah nuansa karakter yang khusus dari seorang tokoh wayang. Wanda mencerminkan suasana hati
seorang tokoh. Arjuna sedang marah, Arjuna sedang jatuh cinta, Arjuna sedang khusu’ bertapa mempunyai
sikap tubuh dan mimik yang berbeda yang disebut Wanda. Baladewa wanda geger misalnya, mencerminkan
karakter Baladewa bila sedang marah atau ketika dalam suasana hati yang geger ‘kacau-balau’.
BUTA TERONG
BUTA TERONG adalah salah satu raksasa prepat yang sekali muncul dalam suatu adegan wayang langsung
mati terbunuh. Buta Terong biasanya muncul berempat bersama Buta Rambut Geni, Buta Endog, dan Buta
Cakil dalam perang kembang, dan mereka berempat selalu mati.
Peraga wayang Buta Terong gampang dikenali dengan ciri hidungnya yang besar, bulat menggantung bagaikan
buah terong. Perutnya buncit dan tubuhnya tunduk, condong ke depan. Gerakannya sangat lamban, suaranya
sengau karena hidungnya yang menggantung seperti buah terong itu sering menutupi lubang hidungnya.
Paraga ini sering manjadi bulan-bulanan para panakawan. Terutama Petruk dan Bagong. Beberapa banyolannya
yang klise tetapi tetap ditunggu penonton adalah adegan ketika Buta Terong berdialog dengan petruk. Karena
hidungnya tertutup maka ucapannya tidak jelas. Setiap kali Petruk ingin mendapat jawaban yang jelas harus
mengangkat hidungnya. Bagong rupanya tidak sabar dengan cara Petruk. Bagong tiba-tiba muncul membawa
sebuah tang yang besar. Tanpa banyak bicara lalu mengarahkan guntingnya ke celana Buto Terong …tes! Buto
Terong itu terjengkang mati.
Petruk lalu bertanya kepada Bagong, “kamu apain Gong?”
Penontonpun gerr… Apalagi Petruk lalu menyibakkan celana Buto Terong dan kemudian menyeletuk, “masa
sunat kok sampai habis?” Penonton pun tertawa lagi.
Fungsi Buto Terong ini memang hanya untuk geculan ‘humor’. Selingan suasana genting atau menegangkan
ketika perang kembang. Dengan diselingi gurauan dan dagelan maka penonton tidak lelah menikmati adegan
yang menegangkan. Keseimbangan dan tenaga penonton tetap terjaga. Penonton bisa melanjutkan menonton
pertunjukan sampai semalam suntuk.
CAKIL
CAKIL atau Gendirpenjalin berwujud raksasa dengan gigi tonggos berpangkat tumenggung. Tokoh Cakil hanya
dikenal dalam cerita pedalangan Jawa dan selalu dimunculkan dalam perang kembang, perang antara satria
melawan raksasa yang merupakan lambang perang nafsu angkara murka yang terjadi di dalam diri manusia.
Cakil memiliki sifat; pemberani, tangkas, trengginas, banyak tingkah dan pandai bicara. Ia berwatak kejam,
serakah, selalu menurutkan kata hati dan mau menangnya sendiri. Cakil selalu muncul dalam setiap
pertunjukan. Dia selalu berpihak kepada negara dimana antagonis berada. Ia digambarkan sebagai raksasa
hutan (selalu tinggal di hutan) dengan tugas merampok para satria atau merusak dan mengganggu
ketenteraman kehidupan para brahmana di pertapaan.
Dalam setiap peperangan Cakil mesti menemui ajalnya, karena ia dan anak buahnya merupakan lambang nafsu
angkara murka manusia yang memang harus dilenyapkan.
Dari segi performance, perang antara raksasa cakil dengan satria menjadi tontonan yang menarik. Perang
kembang itu menampilkan gerak-gerak silat yang lincah yang diperagakan dengan gerakan patah-patah oleh
cakil. Sebaliknya ksatrianya memperagakan gerakan yang halus, tenang dengan teknik pukulan gendiran.
Pukulan gendiran adalah degan menggayunkan cempurit ‘tangkai tangan wayang yang terbuat dari tanduk
kerbau.’ Bagi seorang dalang perang kembang ini membutuhkan penguasaan teknik sabet khusus, karena
mempunyai derajat kesulitan yang tinggi.
Ki Manteb Soedarsono adalah salah satu dalang mempunyai gaya dan teknik perang kembang yang khas. Gaya
itu adalah pengembangan gaya gurunya, Ki Gondodarman dari Kedung Banteng, Sragen. Kesan dari gaya
permainan Ki Manteb adalah lincah, variatif dan ekspresif. Gaya ‘oye’ itu banyak ditiru dalang-dalang yang lain
Cakil bermata kriyipan (berkejapan), hidung bentuk haluan perahu mendongak, bergigi dan bertaring
di bagian depan, mulut hingga melebihi bibir atas. Bersanggul bentuk keling dengan dikembangi.
Bersunting sekar kluwih panyang, berkalung ulur-ulur. Berkeris dua buah, satu bentuk sarung ladrang
(panyang dan runcing), diselipkan di pinggang belakang. Sebuah lagi gayaman yaitu sarung; keris
yang serupa buah gayam. (nama sejenis buah). Selipan keris itu dibalikkan tidak seperti pemakaian
biasa, disebut: kewalan.
Pemakaian keris seperti itu dilarang oleh kraton karena dianggap kurang adab, dan mencurigakan,
sebab dia seolah selalu siap sedia untuk mempergunakan keris itu dan sekonyong-konyong keris itu
mudah dihunus. Pemakaian keris yang benar dapat dilihat pada gambar Patih Seberang.
Raksasa Cakil juga digunakan untuk sengkalan perhitungan angka tahun, berbunyi: Tangan yaksa
tataning janma = 1552. Karangan Susuhunan Nyakrawati wafat Krapyak