Wahyu Desantyo
21205241036
Pendidikan Bahasa Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta
Jl. Colombo No.1, Karang Malang, Caturtunggal, Depok, Sleman, 55281
wahyudesantyo.2021@student.uny.ac.id
A. PENDAHULUAN
Orang Jawa adalah audiens utama bagi wayang kulit, seni pertunjukan
tradisional Indonesia. Menurut Kasiyanto (2018: 1), Widadi menjelaskan bahwa
wayang secara resmi diakui sebagai mahakarya budaya global oleh UNESCO,
organisasi yang mengawasi warisan budaya dunia. Penghargaan ini diberikan pada 7
November 2003, di kota Paris, Prancis. Oleh karena itu, pantas bagi kita sebagai
orang Indonesia untuk bangga dengan pengakuan ini dan berupaya menjaga agar
wayang kulit tetap hidup di tengah kemajuan pesat modernisasi.
Wayang adalah bentuk seni yang indah, kaya akan filosofi, dan simbolisme bagi
orang Jawa. Ini memberikan hiburan, arahan, dan jendela ke berbagai aspek budaya
Jawa. Ini sejalan dengan pernyataan Suwaji (1993: 43) bahwa wayang dianggap
sebagai representasi kehidupan yang mencakup aspek pituduh, sanepa, dan piwulang.
Pertunjukan wayang dapat dikatakan mencerminkan seluruh proses kehidupan
manusia alami, mulai dari lahir hingga kematian.
Seorang dalang mengendalikan boneka dalam pertunjukan wayang kulit Jawa.
Dalang merupakan karakter utama dalam pertunjukan wayang kulit; mereka
menyusun naskah, membimbing penonton dalam menceritakan cerita, dan mengatur
musisi wiyaga yang menggunakan instrumen gamelan untuk mengiringi pertunjukan
wayang. Ketika dalang mampu menghibur penonton, menampilkan pertunjukan yang
menarik, dan memberikan nasihat berharga, pertunjukan wayang kulit menjadi hidup.
Cerita asal untuk wayang kulit Jawa berasal dari dua epos utama India, yaitu
Mahabharata dan Ramayana. Mahabharata menggambarkan pertempuran untuk takhta
Astina antara Pandawa dan Kaurawa, sedangkan Ramayana mengisahkan perjalanan
Rama Wijaya (Martina, 2013: 1). Cerita wayang merupakan adaptasi dari Ramayana
dan Mahabharata dari India, yang telah dimodifikasi dan ditambahkan supaya sejalan
dengan filosofi tradisi wayang asli Indonesia (Habibi, 2016).
Pertunjukan wayang kulit saat ini dianggap sebagai salah satu seni pertunjukan
yang menyampaikan nilai-nilai budaya yang mulia. Pertunjukan wayang biasanya
disajikan selama acara Suronan, seperti Sedekah Bumi atau perayaan ulang tahun
kota. Di sisi lain, partai politik kadang-kadang memanfaatkannya sebagai platform
untuk pidato selama kampanye guna menyampaikan tujuan mereka. Wayang
berfungsi sebagai panduan dan hiburan bagi masyarakat Jawa. Wayang berperan
sebagai platform untuk peningkatan kesadaran, alat komunikasi, dan bantuan
pendidikan selain sebagai bentuk hiburan. Selain itu, wayang merupakan cara bagi
dalang untuk menunjukkan komitmen mereka kepada masyarakat, negara,
kemanusiaan, dan masyarakat umumnya (Sujamto, 1992: 26–27).
Wayang pernah digunakan oleh Sunan Kalijaga, salah satu dari Wali Songo, atau
sembilan wali Islam, untuk menyampaikan atau menyebarkan Islam di seluruh Jawa.
Istilah "model dakwah budaya" merujuk pada pendekatan dakwah Sunan Kalijaga,
yang menggabungkan wayang kulit dan dakwah (Insani, 2019). Dalam pertunjukan
wayang Jawa, satu cerita diceritakan melalui beberapa adegan. "Jejer kedhaton"
adalah sinyal pertunjukan wayang standar bahwa sebuah adegan akan dimulai.
Adegan pertama kemudian diperkenalkan, diikuti dengan perkenalan karakter.
Adegan-adegan berikutnya ditentukan oleh konflik atau masalah yang dihadapi oleh
karakter utama setelah pengenalan karakter pendukung dan pusat. Adegan-adegan
berikutnya ditentukan oleh konflik atau masalah yang dihadapi oleh karakter utama
setelah diperkenalkannya karakter pendukung dan pusat. Ketika masalah bagi karakter
utama muncul, masalah tersebut eskalasi dan mencapai puncak konflik, yang
kemudian diikuti oleh penyelesaiannya dan kesimpulan.
Di bawah pemerintahan Mangkunegara VII, Istana Surakarta berhasil menyusun
sebuah naskah yang disebut "Serat Pedhalangan Ringgit Purwa," yang berisi 178
cerita lakon balugan. Lakon, juga dikenal sebagai cerita wayang, memiliki tiga
variasi: lakon sempalan (cerita independen), lakon carangan (cerita yang
dimodifikasi), dan lakon pokok (cerita inti). Lakon pokok didasarkan pada cerita
tradisional seperti Ramayana dan Baratayuda. Lakon carangan adalah alur cerita baru
yang disajikan dalam format baru yang meminjam elemen dari Lakon Pokok. Lakon
sempalan berdiri sendiri dari narasi utama dan sering kali dikritik karena konsepnya
yang radikal, tak terduga, dan mengejutkan (Purwadi, 2006: 67).
Berdasarkan penjelasan di atas penulis tertarik untuk meneliti lakon carangan
dalam wayang kulit. Cerita yang dimodifikasi, atau lakon carangan, adalah
pertunjukan wayang yang menyimpang dari narasi tradisional Ramayana atau
Mahabharata. Namun, seperti biasa, karakter dan pengaturan dalam cerita yang
diadaptasi ini masih menggunakan karakter dan pengaturan dari Wayang Purwa, yang
didasarkan pada Ramayana atau Mahabharata. Lakon carangan yang akan diteliti
yaitu Gatotkaca Jumeneng Ratu.
B. METODE
Metodologi yang digunakan dalam artikel ini adalah tinjauan pustaka (penelitian
perpustakaan), yang melibatkan pengumpulan informasi dengan memahami dan
menelaah teori dari berbagai literatur yang relevan. Menurut Zed (2004), ada empat
langkah yang terlibat dalam melakukan tinjauan pustaka dalam penelitian:
menyiapkan instrumen dan perlengkapan yang diperlukan, membuat daftar pustaka
kerja, menjadwalkan waktu, dan membaca atau mendokumentasikan bahan penelitian.
Menemukan sumber dan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, termasuk
buku, jurnal, dan proyek penelitian sebelumnya, merupakan proses pengumpulan
data. Untuk memperkuat klaim dan konsep, dilakukan analisis literatur yang hati-hati
dan kritis terhadap literatur yang ditemukan melalui referensi ini.
C. PEMBAHASAN
Setelah melakukan studi pustaka dari berbagai sumber, berikut adalah urutan
peristiwa dalam lakon wayang Gatotkaca Jumeneng Ratu.
Raja tertua, Raja Matsyapati, memimpin upacara tersebut. Dengan gelar Prabu
Purubaya, Arya Gatutkaca secara resmi dinobatkan sebagai raja Pringgadani.
Meskipun demikian, karena dia juga merupakan senapati negara Kerajaan Amarta, dia
meminta agar dipanggil dengan sederhana sebagai Arya Gatutkaca. Dalam Kerajaan
Pringgadani, gelar Prabu Purubaya hanya digunakan untuk urusan resmi.
Tema
Bertemakan perjuangan seorang prajurit yang ingin meraih kekuasaan menjadi
Raja.
Alur
Menggunakan alur maju
Setting
Tempat : Cerita berlangsung di Kerajaan Hastina dan Kerajaan Pringgadani.
Peristiwa utama, termasuk pertempuran dan konflik internal, terjadi di kedua
kerajaan ini.
Suasana : Adanya konflik dan pertempuran memberikan kesan bahwa cerita
berlangsung dalam suasana yang kritis dan tegang.
Amanat
Cerita mengandung pesan moral tentang pentingnya persatuan, tanggung jawab
kepemimpinan, dan pengorbanan untuk kepentingan yang lebih besar. Kesetiaan,
bijaksana, dan keberanian dalam menghadapi konflik.
D. KESIMPULAN
Cerita "Gatutkaca Jumeneng Ratu" memiliki beberapa kesimpulan yang dapat
ditarik dari urutan cerita dan pesan moral yang disampaikan. Berikut beberapa
kesimpulan yang mungkin dapat diambil dari cerita tersebut:
1. Jangan mudah terhasut oleh omongan orang lain
Cerita menunjukkan adanya pertentangan dan konflik dalam keluarga, terutama
antara Arya Gatutkaca dan Adipati Brajadenta. Sebaiknya sebagai manusia jangan
mudah percaya kepada omongan orang lain, terlebih omongan tersebut dapat
memicu perpecahan antara keluarga.
2. Takdir dan Pengorbanan
Adipati Brajadenta menunjukkan pengorbanan yang besar demi mengikuti
takdirnya. Dia sadar bahwa ia harus menghadapi kenyataan takdirnya, dan
pengorbanannya menjadi bagian dari perjalanan hidup yang tak dapat dihindari.
3. Keberanian dan Kesetiaan
Arya Gatutkaca menunjukkan keberanian dalam menghadapi konflik dan
kesetiaan pada tugasnya sebagai pemimpin dan raja Pringgadani, bahkan jika itu
berarti harus menghadapi konflik dalam keluarganya sendiri.
E. DAFTAR PUSTAKA
Amrih, P. (2009). The darkness of Gatotkaca: sebuah novel pahlawan
kesunyian. Indonesia: Diva Press.
Darmoko, D. (2015). Moralitas Jawa dalam Wayang Kulit Purwa: Tinjauan pada
Lakon Laire Semar. Paradigma: Jurnal Kajian Budaya, 5(2), 2.
Heri Purwanto (2018). Gatutkaca Jumeneng Ratu : Album Kisah Wayang. Diakses
pada 10 Desember 2023
https://albumkisahwayang.blogspot.com/2018/08/gatutkaca-jumeneng-ratu.html
Sari, A. P. (2021). Filosofi karakter tokoh kesatria dalam lakon wayang purwa
Mahabarata. Piwulang: Jurnal Pendidikan Bahasa Jawa, 9(1), 13-25.