Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS STRUKTUR DRAMATIK WAYANG

LAKON GATUTKACA JUMENENG RATU

Wahyu Desantyo
21205241036

Pendidikan Bahasa Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta
Jl. Colombo No.1, Karang Malang, Caturtunggal, Depok, Sleman, 55281
wahyudesantyo.2021@student.uny.ac.id

A. PENDAHULUAN
Orang Jawa adalah audiens utama bagi wayang kulit, seni pertunjukan
tradisional Indonesia. Menurut Kasiyanto (2018: 1), Widadi menjelaskan bahwa
wayang secara resmi diakui sebagai mahakarya budaya global oleh UNESCO,
organisasi yang mengawasi warisan budaya dunia. Penghargaan ini diberikan pada 7
November 2003, di kota Paris, Prancis. Oleh karena itu, pantas bagi kita sebagai
orang Indonesia untuk bangga dengan pengakuan ini dan berupaya menjaga agar
wayang kulit tetap hidup di tengah kemajuan pesat modernisasi.
Wayang adalah bentuk seni yang indah, kaya akan filosofi, dan simbolisme bagi
orang Jawa. Ini memberikan hiburan, arahan, dan jendela ke berbagai aspek budaya
Jawa. Ini sejalan dengan pernyataan Suwaji (1993: 43) bahwa wayang dianggap
sebagai representasi kehidupan yang mencakup aspek pituduh, sanepa, dan piwulang.
Pertunjukan wayang dapat dikatakan mencerminkan seluruh proses kehidupan
manusia alami, mulai dari lahir hingga kematian.
Seorang dalang mengendalikan boneka dalam pertunjukan wayang kulit Jawa.
Dalang merupakan karakter utama dalam pertunjukan wayang kulit; mereka
menyusun naskah, membimbing penonton dalam menceritakan cerita, dan mengatur
musisi wiyaga yang menggunakan instrumen gamelan untuk mengiringi pertunjukan
wayang. Ketika dalang mampu menghibur penonton, menampilkan pertunjukan yang
menarik, dan memberikan nasihat berharga, pertunjukan wayang kulit menjadi hidup.
Cerita asal untuk wayang kulit Jawa berasal dari dua epos utama India, yaitu
Mahabharata dan Ramayana. Mahabharata menggambarkan pertempuran untuk takhta
Astina antara Pandawa dan Kaurawa, sedangkan Ramayana mengisahkan perjalanan
Rama Wijaya (Martina, 2013: 1). Cerita wayang merupakan adaptasi dari Ramayana
dan Mahabharata dari India, yang telah dimodifikasi dan ditambahkan supaya sejalan
dengan filosofi tradisi wayang asli Indonesia (Habibi, 2016).
Pertunjukan wayang kulit saat ini dianggap sebagai salah satu seni pertunjukan
yang menyampaikan nilai-nilai budaya yang mulia. Pertunjukan wayang biasanya
disajikan selama acara Suronan, seperti Sedekah Bumi atau perayaan ulang tahun
kota. Di sisi lain, partai politik kadang-kadang memanfaatkannya sebagai platform
untuk pidato selama kampanye guna menyampaikan tujuan mereka. Wayang
berfungsi sebagai panduan dan hiburan bagi masyarakat Jawa. Wayang berperan
sebagai platform untuk peningkatan kesadaran, alat komunikasi, dan bantuan
pendidikan selain sebagai bentuk hiburan. Selain itu, wayang merupakan cara bagi
dalang untuk menunjukkan komitmen mereka kepada masyarakat, negara,
kemanusiaan, dan masyarakat umumnya (Sujamto, 1992: 26–27).
Wayang pernah digunakan oleh Sunan Kalijaga, salah satu dari Wali Songo, atau
sembilan wali Islam, untuk menyampaikan atau menyebarkan Islam di seluruh Jawa.
Istilah "model dakwah budaya" merujuk pada pendekatan dakwah Sunan Kalijaga,
yang menggabungkan wayang kulit dan dakwah (Insani, 2019). Dalam pertunjukan
wayang Jawa, satu cerita diceritakan melalui beberapa adegan. "Jejer kedhaton"
adalah sinyal pertunjukan wayang standar bahwa sebuah adegan akan dimulai.
Adegan pertama kemudian diperkenalkan, diikuti dengan perkenalan karakter.
Adegan-adegan berikutnya ditentukan oleh konflik atau masalah yang dihadapi oleh
karakter utama setelah pengenalan karakter pendukung dan pusat. Adegan-adegan
berikutnya ditentukan oleh konflik atau masalah yang dihadapi oleh karakter utama
setelah diperkenalkannya karakter pendukung dan pusat. Ketika masalah bagi karakter
utama muncul, masalah tersebut eskalasi dan mencapai puncak konflik, yang
kemudian diikuti oleh penyelesaiannya dan kesimpulan.
Di bawah pemerintahan Mangkunegara VII, Istana Surakarta berhasil menyusun
sebuah naskah yang disebut "Serat Pedhalangan Ringgit Purwa," yang berisi 178
cerita lakon balugan. Lakon, juga dikenal sebagai cerita wayang, memiliki tiga
variasi: lakon sempalan (cerita independen), lakon carangan (cerita yang
dimodifikasi), dan lakon pokok (cerita inti). Lakon pokok didasarkan pada cerita
tradisional seperti Ramayana dan Baratayuda. Lakon carangan adalah alur cerita baru
yang disajikan dalam format baru yang meminjam elemen dari Lakon Pokok. Lakon
sempalan berdiri sendiri dari narasi utama dan sering kali dikritik karena konsepnya
yang radikal, tak terduga, dan mengejutkan (Purwadi, 2006: 67).
Berdasarkan penjelasan di atas penulis tertarik untuk meneliti lakon carangan
dalam wayang kulit. Cerita yang dimodifikasi, atau lakon carangan, adalah
pertunjukan wayang yang menyimpang dari narasi tradisional Ramayana atau
Mahabharata. Namun, seperti biasa, karakter dan pengaturan dalam cerita yang
diadaptasi ini masih menggunakan karakter dan pengaturan dari Wayang Purwa, yang
didasarkan pada Ramayana atau Mahabharata. Lakon carangan yang akan diteliti
yaitu Gatotkaca Jumeneng Ratu.

B. METODE
Metodologi yang digunakan dalam artikel ini adalah tinjauan pustaka (penelitian
perpustakaan), yang melibatkan pengumpulan informasi dengan memahami dan
menelaah teori dari berbagai literatur yang relevan. Menurut Zed (2004), ada empat
langkah yang terlibat dalam melakukan tinjauan pustaka dalam penelitian:
menyiapkan instrumen dan perlengkapan yang diperlukan, membuat daftar pustaka
kerja, menjadwalkan waktu, dan membaca atau mendokumentasikan bahan penelitian.
Menemukan sumber dan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, termasuk
buku, jurnal, dan proyek penelitian sebelumnya, merupakan proses pengumpulan
data. Untuk memperkuat klaim dan konsep, dilakukan analisis literatur yang hati-hati
dan kritis terhadap literatur yang ditemukan melalui referensi ini.

C. PEMBAHASAN
Setelah melakukan studi pustaka dari berbagai sumber, berikut adalah urutan
peristiwa dalam lakon wayang Gatotkaca Jumeneng Ratu.

Para Kurawa menghasut Adipati Brajadenta


Prabu Duryudana mengadakan pertemuan di Kerajaan Hastina dengan para
menteri dan pejabat, termasuk Adipati Karna, Patih Sangkuni, Danghyang Druna, dan
Raden Kartawarma. Selama pertemuan, mereka membicarakan bagaimana Patih
Sangkuni gagal menyebabkan konflik di antara putra-putra Pandawa, terutama antara
Raden Antareja dan Arya Gatutkaca. Awalnya, Raden Antareja didorong untuk
memberontak melawan Kerajaan Amarta, tetapi akhirnya dia mengakui kesalahannya
dan menyatakan penyesalan.
Patih Sangkuni menegaskan bahwa dia memiliki skema lain untuk merusak
harmoni di antara Pandawa. Dia baru saja mengetahui bahwa ibunya, Dewi Arimbi,
akan turun tahta dan Arya Gatutkaca akan naik takhta sebagai Raja Pringgadani.
Melalui rencana pelantikannya ini, Patih Sangkuni berharap dapat memprovokasi
pemberontakan terhadap Kerajaan Pringgadani oleh Adipati Brajadenta, saudara Dewi
Arimbi, di Kepangeranan Glagahtinunu.
Rencana Patih Sangkuni dapat ditebak oleh Prabu Duryudana. Kerajaan
Pringgadani dan Kerajaan Amarta memiliki hubungan yang baik. Perang saudara di
Kerajaan Pringgadani akan merugikan Kerajaan Amarta. Oleh karena itu, Prabu
Duryudana menyetujui rencana ini untuk menanam benih perpecahan. Setelah
membuat pilihannya, Patih Sangkuni berpamitan dan berangkat ke Kepangeranan
Glagahtinunu bersama Kurawa, yang termasuk Arya Dursasana, Raden Kartawarma,
Raden Durmagati, dan lainnya.

Para Kurawa berhasil menghasut Adipati Brajadenta


Kurawa dan Patih Sangkuni telah mencapai Kepangeranan Glagahtinunu.
Adipati Brajadenta, tuan rumah, menyambut mereka dengan sangat hormat dan
hangat. Adipati Brajadenta tertarik dengan kunjungan tak terduga Patih Sangkuni dan
bertanya apa pesan yang ingin disampaikannya.
Sebagai jawaban, Patih Sangkuni menyatakan bahwa Pangeran Duryodana telah
mengutusnya untuk menyampaikan salam hangat antara Kaurawa dan Kepangeranan
Braja serta antara Kerajaan Hastinapura dan Kerajaan Pringgadani. Kedua negara ini
dulunya adalah teman, saat Raja Pandu dan Raja Tremboko berkuasa. Tetapi
persahabatan itu putus karena pengaruh Raja Pandu yang dibawa oleh fitnah Patih
Gandamana. Saat ini, Pangeran Duryodana ingin mendekatkan kembali Kerajaan
Hastinapura dan Pringgandani.
Apa yang dikatakan Patih Sangkuni keliru, kata Adipati Brajadenta karena dia
bukan raja Pringgadani. Raden Arimba, Dewi Arimbi, Raden Brajadenta, Raden
Brajamusti, Raden Brajalamatan, Raden Brajawikalpa, dan Raden Kalabendana
adalah tujuh anak yang ditinggalkan oleh Raja Tremboko. Setelah kematian ayahnya,
Raden Arimba menjadi raja dan dikenal sebagai Prabu Arimba. Suatu hari, Prabu
Arimba kalah dalam pertarungan dengan Raden Bratasena. Sebelum meninggal,
Prabu Arimba memberikan takhta Pringgadani kepada musuh yang mengalahkannya.
Namun, Raden Bratasena menolak untuk naik takhta. Akhirnya, Dewi Arimbi
menikahi Raden Bratasena setelah menerima Kerajaan Pringgadani sebagai warisan
dari Prabu Arimba.
Patih Sangkuni mengakui telah mendengar kisah ini. Selain itu, dia tahu bahwa
Dewi Arimbi adalah pewaris sah Prabu Arimba. Alih-alih memerintah Kerajaan
Pringgadani, Dewi Arimbi sering tinggal di Kesatrian Unggul pawenang bersama
suaminya. Raden Brajadenta, yang juga memegang gelar adipati di Glagahtinunu,
mengawasi operasional sehari-hari Kerajaan Pringgadani. Patih Sangkuni dikirim oleh
Pangeran Duryodana untuk bertemu dengan Adipati Brajadenta karena alasan ini.
Menurut Pangeran Duryodana, Adipati Brajadenta adalah kepala sejati Kerajaan
Pringgadani bukan Dewi Arimbi.
Adipati Brajadenta terlalu berani untuk menerima pujian tersebut. Yang dia
lakukan hanyalah mewakili tanggung jawab Dewi Arimbi. Bukan dirinya, melainkan
Dewi Arimbi yang merupakan ratu sejati Pringgadani. Adipati Brajadenta dipuji oleh
Patih Sangkuni sebagai individu yang bijaksana dan sederhana. Meskipun jelas bahwa
Adipati Brajadenta tahu lebih banyak tentang Kerajaan Pringgadani, dia menahan diri
untuk berbicara. Dia jelas lebih unggul daripada Dewi Arimbi. Dewi Arimbi hanyalah
seorang wanita yang tak berdaya dengan segala keterbatasannya, sedangkan Adipati
Brajadenta adalah seorang pria kuat yang bisa memerintah Kepangeranan
Glagahtinunu dan Kerajaan Pringgadani secara bersamaan.
Adipati Brajadenta mulai menyerah pada tekanan dari Patih Sangkuni. Dia terus
terang mengakui bahwa dia merasa pahit terhadap saudarinya, Dewi Arimbi. Terlihat
bahwa Raja Tremboko, ayah mereka, dibunuh oleh Raja Pandu, tetapi Dewi Arimbi
menikahi Raden Bratasena, yang juga dikenal sebagai Arya Werkudara setelah jatuh
cinta padanya. Prabu Arimba kemudian juga dibunuh oleh Arya Werkudara. Sehingga
hal ini menjadi perselisihan keluarga yang lebih pribadi.
Adipati Brajadenta bertanya mengapa Dewi Arimbi diberi izin untuk
memerintah Pringgadani sebagai ratu oleh Raja Arimba sebelum meninggal. Dewi
Arimbi menikahi musuh, bukankah dia mengkhianati mereka? Tetapi Adipati
Brajadenta tidak berani menentang pada saat itu. Selain itu, penunjukan Dewi Arimbi
sebagai ratu baru didukung oleh semua saudaranya.
Sebagai tanggapan, Patih Sangkuni mengatakan bahwa dia dan Adipati
Brajadenta seharusnya bisa menjalin persahabatan dan bersama-sama menghadapi
Arya Werkudara dan Pandawa lainnya jika mereka saling mengenal lebih awal.
Namun, tidak pernah terlambat untuk membentuk aliansi. Seluruh pasukan Kurawa
dan Kerajaan Hastinapura siap mendukung Adipati Brajadenta dalam usahanya untuk
menjadi penguasa Pringgadani.
Adipati Brajadenta masih merasa khawatir karena dia telah mengetahui bahwa
Dewi Arimbi berencana memberikan takhta Kerajaan Pringgadani kepada putranya,
Arya Gatutkaca. Patih Sangkuni berpura-pura kaget mendengar informasi ini. Dia
menegaskan bahwa ini tanpa ragu adalah rencana licik dari Pandawa. Arya Gatutkaca
adalah keturunan dari kedua keluarga Pandawa dan Pringgadani. Niat Pandawa untuk
secara halus menaklukkan Kerajaan Pringgadani terlihat dari pilihannya untuk
mengangkat Arya Gatutkaca sebagai raja.

Gambar 1. Sengkuni dan Kurawa yang menghasut Adipati Brajadenta

Adipati Brajadenta mendapat kunjungan dari Raden Brajamusti


Saat Adipati Brajadenta mulai merasa dipengaruhi oleh kata-kata Patih
Sangkuni, adiknya yang lebih muda, Raden Brajamusti, muncul entah dari mana.
Ketika Patih Sangkuni melihat Raden Brajamusti, dia terkejut karena, seperti saudara
kembar, wajahnya mirip dengan Adipati Brajadenta.
Setelah mengungkapkan rasa terima kasih kepada Adipati Brajadenta dan tamu
lainnya, Raden Brajamusti mengungkapkan alasan kunjungannya: untuk membawa
saudaranya ke upacara penobatan Arya Gatutkaca sebagai raja baru Pringgadani.
Selain itu, dia menyampaikan pilihan Pandawa untuk menunjuk Adipati Brajadenta
sebagai penasihat utama Arya Gatutkaca.
Alih-alih bahagia, Adipati Brajadenta menjadi marah, menuduh Pandawa ikut
campur terlalu banyak dalam urusan internal Kerajaan Pringgadani. Dia
mempertanyakan otoritas mereka untuk ikut campur dalam segala hal dan
memutuskan siapa yang seharusnya menjadi penasihat utama.
Raden Brajamusti terkejut melihat saudaranya bertindak begitu irasional. Dia
menjelaskan bahwa Pandawa telah menerima usulan Arya Gatutkaca untuk menunjuk
penasihat utama. Namun, Adipati Brajadenta bertugas sebagai utusan harian Dewi
Arimbi selama dia tetap menjadi ratu Pringgadani.
Jika Raden Brajamusti lupa bahwa ayah mereka, Raja Pandu Dewanata, telah
membunuh ayah mereka, Raja Tremboko, itulah yang dipertanyakan oleh Adipati
Brajadenta. Selain itu, saudara mereka, Prabu Arimba, juga dibunuh oleh Arya
Werkudara, Pandawa kedua. Alih-alih menerima setiap keputusan yang diambil oleh
Pandawa, Kadang Braja seharusnya membalas dendam atas perbuatan tersebut.
Raden Brajamusti mulai menyadari bahwa provokasi Patih Sangkuni telah
membuat Adipati Brajadenta berubah pikiran. Dia membicarakan sumpah yang
mereka ambil di depan jenazah saudaranya kepada saudaranya. Saat itu, Raden
Bratasena, yang kemudian mengubah namanya menjadi Arya Werkudara, adalah
orang yang mengalahkan Prabu Arimba. Prabu Arimba memohon kepada Raden
Bratasena untuk naik takhta Pringgadani yang ditinggalkannya sebelum dia
meninggal. Namun, Raden Bratasena menolak undangan tersebut. Dewi Arimbi
kemudian ditunjuk sebagai pewaris Prabu Arimba. Pilihan ini didukung oleh saudara-
saudara lainnya, yaitu Raden Brajadenta, Raden Brajamusti, Raden Brajalamatan,
Raden Brajawikalpa, dan Raden Kalabendana. Mereka juga berjanji untuk
menggantikan Prabu Arimba sebagai kakak mereka dengan Raden Bratasena dan
selalu tunduk kepada Pandawa.
Adipati Brajadenta mengakui bahwa dia akan selalu mengingat sumpah
tersebut. Tetapi sekarang dia mengerti bahwa Pandawa telah melampaui batas.
Mereka tidak memiliki hak untuk campur tangan dalam masalah ini; pilihan raja dan
penasihat utama berada di tangan Kerajaan Pringgadani. Selain itu, dia tidak setuju
dengan kenaikan takhta Arya Gatutkaca sebagai raja Pringgadani karena keturunan
campuran keponakan mereka. Pandawa menggunakan Arya Gatutkaca sebagai raja
untuk secara halus menaklukkan Kerajaan Pringgadani.
Patih Sangkuni membuat pernyataan. Dia meyakinkan Raden Brajamusti untuk
bergabung dengannya dalam menentang penobatan Arya Gatutkaca sebagai raja
Pringgadani. Dia mengatakan bahwa Kadang Braja seharusnya bersatu untuk
menghentikan Pandawa agar tidak menduduki tanah mereka. Sebagai tanggapan,
Raden Brajamusti bertanya mengapa Patih Sangkuni dan Kurawa terlibat dalam
urusan Kerajaan Pringgadani dan mengapa Pandawa tidak boleh terlibat juga. Dia
menuduh Patih Sangkuni berusaha menghasut pemberontakan oleh Adipati Brajadenta
untuk menundukkan Kerajaan Pringgadani kepada Kerajaan Hastinapura.
Raden Brajamusti mendapat teguran dari Adipati Brajadenta karena berani
menghina tamunya. Setelah menyatakan penyesalan, Raden Brajamusti kembali
bertanya apakah saudaranya bersedia pergi dengannya ke Kerajaan Pringgadani
sehingga dia bisa mengemban peran sebagai penasihat utama. Adipati Brajadenta
dengan tegas menolak, mengatakan bahwa dia hanya akan pergi ke sana jika dengan
kejadian yang tidak mungkin terjadi, yaitu jika Arya Gatutkaca tidak naik takhta.
Setelah mendengar jawaban ini, Raden Brajamusti berpikir bahwa tidak ada gunanya
bertahan di sana. Setelah mengucapkan selamat tinggal, dia kembali ke Kerajaan
Pringgadani.
Patih Sangkuni mengusulkan agar Adipati Brajadenta menangkap saudaranya
setelah Raden Brajamusti pergi. Jika mereka bisa meyakinkan Raden Brajamusti
untuk ikut bersama mereka, itu akan menjadi berkah. Jika tidak, lebih baik
menyingkirkannya daripada membiarkannya memperkuat Pandawa. Setelah
menyetujui, Adipati Brajadenta memerintahkan pasukannya untuk mengejar Raden
Brajamusti segera. Para Kurawa juga ikut dalam pengejaran tersebut.

Gambar 2. Raden Brajamusti menemui Adipati Brajadenta

Raden Brajamusti gagal ditangkap oleh Adipati Brajadenta dan Kurawa


Raden Antareja dan Raden Antasena bertemu dengan Raden Brajamusti saat dia
meninggalkan Kepangeranan Glagahtinunu. Kedua pemuda tersebut sedang
melakukan perjalanan ke Kerajaan Pringgadani untuk melihat Arya Gatutkaca naik
takhta. Mereka memberikan penghormatan kepada Raden Brajamusti.
Menurut Raden Brajamusti, Dewi Arimbi dan Pandawa menugaskannya untuk
mencari Adipati Brajadenta, yang dipertimbangkan untuk posisi penasihat utama
bersama Arya Gatutkaca. Di sisi lain, Patih Sangkuni telah memprovokasi saudaranya
untuk memberontak.
Raden Brajamusti sedang dikejar oleh Adipati Brajadenta, yang segera tiba
dengan pasukan Kurawa dan pasukan Glagahtinunu. Karena hasutan Patih Sangkuni,
Raden Antareja sebelumnya telah memberontak, dan dia tidak ingin Adipati
Brajadenta mengalami nasib yang sama. Melangkah maju, dia menghadapi pasukan
Kurawa. Raden Antasena datang untuk membantu saudaranya dan terjadilah
pertempuran.
Ketika Adipati Brajadenta melihat dua pemuda itu menghalau pasukannya, dia
menjadi marah. Dia maju untuk menghadapi mereka. Dalam tekanan, Raden Antareja
meminta saran kepada Raden Brajamusti tentang bagaimana mengalahkan Adipati
Brajadenta. Alih-alih menjawab, Raden Brajamusti menyarankan kepada Raden
Antareja dan Raden Antasena untuk mundur agar mereka tidak menyia-nyiakan waktu
mereka dengan Adipati Brajadenta. Meskipun bingung, Raden Antareja dan Raden
Antasena tidak berani membantah pernyataan pamannya.
Arya Gatutukaca berkunjung ke makam Raja Tremboko
Sementara itu, subjek pembicaraan Arya Gatutkaca sedang melakukan
perjalanan ke candi makam kakeknya, Raja Tremboko. Dia pergi untuk melihat
kakeknya dengan maksud meminta izin untuk naik takhta Pringgadani dan
memerintah seluruh rakyat.
Tiba-tiba, Arya Gatutkaca dihadapkan pada citra hantu sosok raksasa. Sosok ini
tidak lain adalah roh Raja Tremboko, yang datang dengan maksud untuk mendukung
Arya Gatutkaca. Arya Gatutkaca melihat wajah kakeknya untuk pertama kalinya
dalam hidupnya, meskipun tampak samar antara keberadaan dan ketiadaan. Dengan
penuh emosi, dia segera membungkuk kepada kakeknya.
Setelah memberikan berkat kepada cucunya, roh Raja Tremboko mulai
menceritakan tentang pendidikannya di bawah kakek Arya Gatutkaca, yaitu Raja
Pandu Dewanata. Saat itu, Aji Brajadenta dan Aji Brajamusti, dua tokoh ilmu mistis,
diberikan kepada Raja Tremboko. Ilmu ini menyebabkan dua bayi raksasa muncul
dari paha kiri dan kanan Raja Tremboko. Raden Brajadenta dan Raden Brajamusti
adalah nama yang diberikan oleh Raja Tremboko.
Sekarang penobatan cucu Raja Pandu sebagai penguasa Pringgadani sudah
dekat. Ini menandakan bahwa Raden Brajadenta dan Raden Brajamusti tidak akan
hidup lama. Mereka akan segera meninggal dan menjadi bagian dari pengetahuan
mistis Arya Gatutkaca sebagai cucu Raja Pandu.
Hal ini membuat hati Arya Gatutkaca terluka. Dia tidak ingin kehilangan kedua
pamannya hanya untuk naik takhta. Raja Tremboko menegur cucunya. Raden
Brajadenta dan Raden Brajamusti akan tetap meninggal meskipun Arya Gatutkaca
menolak naik takhta. Tidak ada yang hidup selamanya. Apa bedanya jika mereka
meninggal besok atau sekarang? Namun, rakyat biasa akan menderita jika Arya
Gatutkaca menolak naik takhta karena mereka akan kehilangan pemimpin yang
mampu memimpin Pringgandani.
Arya Gatutkaca berusaha menjadi lebih mantap. Para sesepuh telah berkumpul
di Kerajaan Pringgadani untuk menyaksikan upacara penobatan Raja Tremboko, jadi
raja memerintahkan cucunya untuk kembali segera. Roh Raja Tremboko menghilang
dari pandangan setelah mengucapkan ini. Setelah membungkuk hormat di makam
kakeknya, Arya Gatutkaca dengan cepat terbang ke langit.

Penobatan Arya Gatutkaca sebagai Raja Pringgandani


Dewi Arimbi menyambut para pengunjung dari berbagai bagian Kerajaan
Pringgadani bersama tiga saudaranya, yaitu Raden Brajalamatan, Raden
Brajawikalpa, dan Raden Kalabendana. Sesepuh-sesepuh kerajaan Jawa, termasuk
Raja Matsyapati dari Kerajaan Wirata, Pandawa Lima dari Kerajaan Amarta, Raja
Kresna dari Kerajaan Dwarawati, dan Raja Baladewa dari Kerajaan Mandura, hadir di
antara mereka.
Tidak lama kemudian, Arya Gatutkaca tiba dan memberikan penghormatan kepada
semua tamu. Dia mengakui bahwa baru-baru ini dia telah mengunjungi candi makam
Raja Tremboko sebelum dinobatkan sebagai raja Pringgadani. Hal ini disambut baik
oleh para hadirin, dan upacara penobatan pun dimulai.

Raja tertua, Raja Matsyapati, memimpin upacara tersebut. Dengan gelar Prabu
Purubaya, Arya Gatutkaca secara resmi dinobatkan sebagai raja Pringgadani.
Meskipun demikian, karena dia juga merupakan senapati negara Kerajaan Amarta, dia
meminta agar dipanggil dengan sederhana sebagai Arya Gatutkaca. Dalam Kerajaan
Pringgadani, gelar Prabu Purubaya hanya digunakan untuk urusan resmi.

Gambar 3. Penobatan Gatutkaca menjadi Raja Pringgandani

Adipati Brajadenta mengamuk di Pringgandani


Tiba-tiba, Raden Brajamusti muncul dan mengatakan bahwa ia lupa membawa
Adipati Brajadenta. Selain itu, ia menyatakan bahwa Adipati Brajadenta menolak
jabatan penasihat utama dan berencana memberontak atas dorongan Patih Sangkuni.
Hal ini membuat Raja Baladewa sangat marah karena Patih Sangkuni tampaknya
selalu menyebarkan informasi yang salah. Awalnya, Adipati Brajadenta dihasut,
diikuti oleh Raden Antareja dan Raja Boma Narakasura.
Tidak lama kemudian, terdengar suara keras dari luar. Kerajaan Pringgadani
tampak dalam kekacauan karena kedatangan Adipati Brajadenta dan pasukannya.
Raden Brajawikalpa dan Raden Brajalamatan memimpin pasukannya untuk
menghadapi serangan dengan cepat. Namun, kekuatan besar kakak mereka memaksa
mereka untuk mundur.
Tindakan Adipati Brajadenta telah membuat Dewi Arimbi marah. Dia kembali
berubah menjadi rakshasa dan marah-marah, menyerang Adipati Brajadenta. Sambil
menghindari serangan, Adipati Brajadenta menuduh Dewi Arimbi menjual bangsa ini
dan menjadi budak bagi Pandawa. Dewi Arimbi semakin marah setelah mendengar
tuduhan ini dan meningkatkan serangannya terhadap Adipati Brajadenta. Adipati
Brajadenta jelas lebih kuat dan lebih terampil dalam pertarungan dibandingkan Dewi
Arimbi. Meskipun tidak menyerang secara langsung, ia mampu mengatasi Dewi
Arimbi, membuatnya rentan dan tidak mampu membela diri.

Gambar 4. Dewi Arimbi berhadapan dengan Adipati Brajadenta

Arya Gatutkaca berhadapan dengan Adipati Brajadenta


Raja Kresna mendekati Arya Werkudara untuk memberitahunya tentang situasi
setelah melihat Dewi Arimbi berjuang tetapi berusaha untuk membela diri. Raja
Kresna, dengan cara yang cukup provokatif, bertanya apakah Arya Werkudara tidak
peduli dengan istrinya. Tidakkah Arya Werkudara ingin membantu setelah melihat
istrinya ditaklukkan oleh musuh?
Sebagai jawaban, Arya Werkudara mengatakan bahwa Dewi Arimbi berhadapan
dengan saudaranya sendiri, bukan musuh. Pewarisan negara antara dua saudara
sedang dipertaruhkan dalam konflik ini. Perselisihan pewarisan seperti ini bukanlah
sesuatu yang ingin dihadapi oleh Arya Werkudara.
Jika Arya Werkudara tidak bersedia membantu istrinya dalam mendapatkan hak-
haknya, tanya Raja Kresna. Sebagai jawaban, Arya Werkudara mengatakan bahwa ia
tidak ingin terlibat dalam perselisihan pewarisan. Arya Werkudara siap menerima
kematian Dewi Arimbi dalam pertempuran ini.
Jawaban dari Arya Werkudara membuat Raja Kresna puas. Lalu ia mendekati
Arya Gatutkaca. Dia memberitahu pemuda itu tentang pengorbanan besar Dewi
Arimbi untuk mengenang putranya. Namun mengapa Arya Gatutkaca hanya
memperhatikan ibunya terlibat dalam pertempuran dengan pemberontak sambil tidak
melakukan apa-apa?
Sebagai jawaban, Arya Gatutkaca mengatakan bahwa ia bingung harus
menghadapi pamannya sendiri. Menurut Raja Kresna, Adipati Brajadenta telah
berubah menjadi musuh negara dan tidak lagi hanya sebagai paman. Ini adalah
tantangan pertama yang dihadapi Arya Gatutkaca sebagai raja Pringgadani yang baru
diangkat.
Dengan sikap yang mantap, Arya Gatutkaca maju untuk menantang Adipati
Brajadenta, memungkinkan Dewi Arimbi untuk mundur. Arya Gatutkaca
membungkuk kepada Adipati Brajadenta dan menyatakan penyesalannya atas
serangan sebelumnya setelah mengetahui bahwa ibunya aman. Dia juga menyatakan
bahwa jika pamannya berhenti melakukan hal-hal buruk terhadap negara, ia bersedia
turun dari takhta Kerajaan Pringgadani.
Ini membuat Adipati Brajadenta sangat marah. Ia menolak untuk menunjukkan
belas kasihan kepada Arya Gatutkaca. Satu-satunya tujuannya adalah membuktikan
kepada rakyat Pringgadani bahwa ia adalah raja yang paling layak. Agar ia dapat
memutuskan siapa yang lebih baik dan lebih pantas menjadi pemimpin bangsa ini, ia
menantang Arya Gatutkaca untuk berduel.
Adipati Brajadenta menyerang Arya Gatutkaca setelah mengucapkan hal ini.
Konflik pecah. Arya Gatutkaca tidak pernah membalas serangan, hanya menghindar
dan kadang-kadang membelokkan serangan pamannya. Akhirnya, ini membawanya
ke dalam situasi yang sulit. Ketika Aji Gelap Sakethi akhirnya dilepaskan oleh Adipati
Brajadenta, tubuh Arya Gatutkaca terlempar ke udara.
Gambar 5. Gatutkaca berhadapan dengan Adipati Brajadenta

Akhir kehidupan Adipati Brajadenta dan Raden Brajamusti


Melompat untuk menangkap tubuh Arya Gatutkaca, Raden Brajamusti dengan
lembut meletakkannya di tanah. Arya Gatutkaca dikelilingi oleh Dewi Arimbi dan
yang lainnya, yang bertanya-tanya mengapa ia tidak membela diri dari serangan
Adipati Brajadenta. Menurut Arya Gatutkaca, ketika mengunjungi makam Prabu
Tremboko, ia dikunjungi oleh roh kakeknya, yang mengungkapkan bahwa keturunan
Prabu Pandu menjadi raja, berarti kematian bagi Adipati Brajadenta dan Raden
Brajamusti. Ketika Arya Gatutkaca menyadari hal ini, ia memutuskan untuk tidak
bertarung melawan pamannya.
Ketika Raden Brajamusti mendengar ini, ia tersenyum dan mengatakan bahwa
ia sudah tahu hal ini sebelumnya. Awalnya, ia mengira ia akan mati secara tiba-tiba
karena penyakit, tetapi sekarang ia harus menghadapi ketidakpatuhan saudaranya
sendiri agar bisa menghadapi kematian. Namun, Raden Brajamusti tidak takut mati.
Lebih terhormat mati dalam pertempuran sebagai seorang kesatria daripada berbaring
di tempat tidur sepanjang hari.
Arya Gatutkaca menolak untuk melepaskan pamannya. Ia menyatakan bahwa
terpisah dari mereka lebih buruk daripada tidak menjadi raja. Sebagai tanggapan,
Raden Brajamusti mengatakan bahwa semua orang pada akhirnya akan lenyap
menjadi ketiadaan. Yang aneh adalah bahwa besok tidak akan ada lagi orang yang
bernama Brajamusti, sebagaimana tidak ada satu pun sebelumnya? Dua raksasa
Brajadenta dan Brajamusti akan hilang, tetapi rakyat Pringgadani akan lebih
menderita jika ia menolak menjadi raja.
Dewi Arimbi ikut campur dan mengatakan bahwa ia tidak ingin melihat dua
saudara laki-laki membunuh satu sama lain dalam pertempuran. Adipati Brajadenta
belum pernah mau bertarung melawan Raden Brajamusti, jawabnya, karena dalam
pertarungan tersebut mereka berdua akan binasa. Oleh karena itu, menyelinap ke
tangan kiri Arya Gatutkaca adalah strategi terbaik untuk menghilangkan saudaranya.
Raden Brajamusti masuk ke tangan kiri keponakannya tanpa menunggu
persetujuan Arya Gatutkaca. Setelah melihat semuanya, Raja Kresna memberi
perintah kepada Arya Gatutkaca untuk menghadapi Adipati Brajadenta sekali lagi. Ia
memberi semangat kepada Arya Gatutkaca dengan mengatakan bahwa ini adalah
kisah seorang keponakan yang membantu pamannya memenuhi takdirnya daripada
pembunuhan seorang paman oleh keponakannya.
Maju lagi, Arya Gatutkaca menantang Adipati Brajadenta untuk melanjutkan
pertarungan. Adipati Brajadenta menyerang Arya Gatutkaca. Arya Gatutkaca tidak
menggunakan tangan kirinya untuk membela diri; emosinya masih bercampur atas
kematian kedua paman-pamannya. Tetapi ketika serangan Adipati Brajadenta semakin
kuat, Arya Gatutkaca mendapati dirinya dalam situasi yang berbahaya. Arya
Gatutkaca menutup mata dan menggerakkan tangan kirinya selama saat-saat penting
tersebut. Tangan kirinya mendarat dengan pas di dada Adipati Brajadenta. Adipati
Brajadenta langsung tewas, dan mayat Raden Brajamusti muncul dari tangan kiri Arya
Gatutkaca.
Gambar 6. Akhir kehidupan Adipati Brajadenta dan Raden Brajamusti

Wasiat terakhir Adipati Brajadenta dan Raden Brajamusti


Di samping jenazah kedua paman yang tak bernyawa, Arya Gatutkaca menangis
tersedu-sedu. Tiba-tiba, dia mendapati dirinya dihadapkan oleh sosok-sosok Raden
Brajamusti dan Adipati Brajadenta. Arya Gatutkaca menerima penghiburan dari roh
Adipati Brajadenta, yang menasihatinya untuk tidak menangis. Adipati Brajadenta
mengatakan bahwa dia telah mendengar sejak lama bahwa dia akan mati ketika
keturunan Prabu Pandu naik takhta Pringgadani.
Ramalan ini tidak membuat Adipati Brajadenta takut. Sebaliknya, dia
memutuskan untuk memulai pemberontakan, yang merupakan tantangan kerajaan
pertama Arya Gatutkaca. Secara kebetulan, Patih Sangkuni tiba untuk memprovokasi,
memberikan alasan kepada Adipati Brajadenta untuk menyerah.
Raden Brajamusti berhasil menyusup ke tangan kiri Arya Gatutkaca, dan
Adipati Brajadenta mengetahuinya. Itulah mengapa dia terus memaksa Arya
Gatutkaca menggunakan tangan kirinya selama pertempuran mereka. Pada saat Arya
Gatutkaca menggunakan tangan yang memegang Raden Brajamusti, Adipati
Brajadenta terbunuh, memenuhi takdirnya.
Arya Gatutkaca menyatakan penyesalan karena menjadi penyebab kematian
kedua pamannya. Adipati Brajadenta menjawab bahwa tidak ada yang perlu disesali.
Prabu Tremboko mempelajari seni bela diri Aji Brajadenta dan Aji Brajamusti dari
Prabu Pandu di masa lalu. Kejadian misterius menyebabkan kedua seni bela diri itu
berubah menjadi dua raksasa kembar yang diangkat oleh Prabu Tremboko sebagai
anak. Kini saatnya bagi mereka kembali ke tempat asal mereka, bergabung sebagai
ahli bela diri di dalam tubuh keturunan Prabu Pandu.
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, jiwa Raden Brajamusti memasuki
tangan kiri Arya Gatutkaca, dan jiwa Adipati Brajadenta memasuki tangan kanannya.
Arya Gatutkaca merasakan kekuatannya di kedua tangannya meningkat dengan cepat
dan tergerak.
Gambar 7. Wasiat terakhir Adipati Brajadenta dan Raden Brajamusti

Raden Brajalamatan diangkat menjadi Patih baru


Setelah itu, Arya Gatutkaca menghampiri paman-paman yang tersisa, yaitu
Raden Kalabendana, Raden Brajalamatan, dan Raden Brajawikalpa. Setelah kejatuhan
Adipati Brajadenta, Raden Brajalamatan yang kemudian diberi gelar Patih Prabakesa
ditunjuk sebagai perdana menteri Kerajaan Pringgadani. Sementara itu, Raden
Brajawikalpa yang diberi gelar Arya Prabagati dipilih untuk menggantikan Raden
Brajamusti sebagai pemimpin militer Pringgadani. Raden Kalabendana diberi
tanggung jawab mengawasi urusan domestik istana Pringgadani. Ketiga paman
tersebut masing-masing menjalankan tanggung jawab mereka dengan rasa kewajiban.
Pasukan Kurawa dan Patih Sangkuni kemudian diserang oleh Patih Prabakesa
dan Arya Prabagati. Setelah dipaksa mundur, rakyat Hastina terpaksa melarikan diri
ke negara mereka sendiri. Setelah perdamaian dipulihkan, upacara negara diadakan di
depan Pandawa dan tamu-tamu lainnya, dan Arya Gatutkaca melakukan upacara
pemakaman untuk jenazah Adipati Brajadenta dan Raden Brajamusti.

Setelah membaca mengenai urutan peristiwa lakon Gatutkaca Jumeneng Ratu,


maka dapat diketahui secara singkat unsur intrinsik lakon Gatutkaca Jumeneng Ratu
yaitu sebagai berikut :

Tema
Bertemakan perjuangan seorang prajurit yang ingin meraih kekuasaan menjadi
Raja.

Tokoh dan Penokohan


 Gatutkaca : berani, sabar, dan bertanggung jawab
 Para Kurawa (Duryudana, Adipati Karna, Patih Sangkuni, Danghyang Druna,
dan Raden Kartawarma) : licik dan suka mencampuri urusan orang lain
 Dewi Arimbi : bersikap protektif untuk memperjuangkan hak-haknya
 Werkudara : tidak suka ikut campur tentang hak orang lain dan berjiwa besar
 Adipati Brajadenta : Mudah terpengaruh oleh orang lain
 Raden Brajamusti : Setia dan berani mengambil risiko
 Kresna : sedikit provokatif tetapi untuk kebaikan

Alur
Menggunakan alur maju

Setting
 Tempat : Cerita berlangsung di Kerajaan Hastina dan Kerajaan Pringgadani.
Peristiwa utama, termasuk pertempuran dan konflik internal, terjadi di kedua
kerajaan ini.
 Suasana : Adanya konflik dan pertempuran memberikan kesan bahwa cerita
berlangsung dalam suasana yang kritis dan tegang.

Amanat
Cerita mengandung pesan moral tentang pentingnya persatuan, tanggung jawab
kepemimpinan, dan pengorbanan untuk kepentingan yang lebih besar. Kesetiaan,
bijaksana, dan keberanian dalam menghadapi konflik.

D. KESIMPULAN
Cerita "Gatutkaca Jumeneng Ratu" memiliki beberapa kesimpulan yang dapat
ditarik dari urutan cerita dan pesan moral yang disampaikan. Berikut beberapa
kesimpulan yang mungkin dapat diambil dari cerita tersebut:
1. Jangan mudah terhasut oleh omongan orang lain
Cerita menunjukkan adanya pertentangan dan konflik dalam keluarga, terutama
antara Arya Gatutkaca dan Adipati Brajadenta. Sebaiknya sebagai manusia jangan
mudah percaya kepada omongan orang lain, terlebih omongan tersebut dapat
memicu perpecahan antara keluarga.
2. Takdir dan Pengorbanan
Adipati Brajadenta menunjukkan pengorbanan yang besar demi mengikuti
takdirnya. Dia sadar bahwa ia harus menghadapi kenyataan takdirnya, dan
pengorbanannya menjadi bagian dari perjalanan hidup yang tak dapat dihindari.
3. Keberanian dan Kesetiaan
Arya Gatutkaca menunjukkan keberanian dalam menghadapi konflik dan
kesetiaan pada tugasnya sebagai pemimpin dan raja Pringgadani, bahkan jika itu
berarti harus menghadapi konflik dalam keluarganya sendiri.

E. DAFTAR PUSTAKA
Amrih, P. (2009). The darkness of Gatotkaca: sebuah novel pahlawan
kesunyian. Indonesia: Diva Press.

Ardiyasa, I. P. (2022). Internalisasi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Lakon


Gatotkaca Duta Oleh Dalang Cenk Blonk (I Wayan Nardayana). Haridracarya:
Jurnal Pendidikan Agama Hindu, 2(2), 54-60.

Baboning Pepak Basa Jawa. (2020). (n.p.): Genta Group Production.

Darmoko, D. (2015). Moralitas Jawa dalam Wayang Kulit Purwa: Tinjauan pada
Lakon Laire Semar. Paradigma: Jurnal Kajian Budaya, 5(2), 2.

Heri Purwanto (2018). Gatutkaca Jumeneng Ratu : Album Kisah Wayang. Diakses
pada 10 Desember 2023
https://albumkisahwayang.blogspot.com/2018/08/gatutkaca-jumeneng-ratu.html

Honocoroko Live (2022). GATOTKACA JUMENENG RATU – Ki Manteb


Soedharsono (1996). Diakses dari YouTube pada tanggal 10 Desember 2023
https://www.youtube.com/live/eNFjwHGT0q8?si=Y2G7Z6zQaKr3lGMp

Masturoh, T. (2019). POLA-POLA PERTUNJUKAN WAYANG PURWA LAKON


CARANGAN GAYA SURAKARTA.

Mengenal Tokoh Wayang Mahabharata. (2010). (n.p.): Media Pressindo.


Muharyanto, H. (2016). PIWULANG MORAL KEPEMIMPINAN WONTEN ING
GINEM PAGELARAN RINGGIT PURWA LAMPAHAN GATOTKACA
WINISUDA DENING KI ANOM SUROTO. BENING: Jurnal Penelitian
Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Jawa, 1(2).

Nilai-nilai Pembentuk Karakter dalam Cerita/Pertunjukan Wayang


Purwa. (2016). (n.p.): Magnum Pustaka.

Pendit, N. S. (2003). Mahabharata: Sebuah perang dahsjat dimedan


kurukshetra. Indonesia: Gramedia Pustaka Utama.

Sari, A. P. (2021). Filosofi karakter tokoh kesatria dalam lakon wayang purwa
Mahabarata. Piwulang: Jurnal Pendidikan Bahasa Jawa, 9(1), 13-25.

Soedharsono, M., Nugroho, S., & Murtiyoso, B. (2015). KI MANTEB


SOEDHARSONO PEMIKIRAN DAN KARYA PEDALANGANNYA.

Sisi Gelap Gatotkaca. (n.d.). (n.p.): LAKSANA.

Subagyo, T. (2018). Wayang Side Stories. (n.p.): CreateSpace Independent Publishing


Platform.

Tokoh Wayang Inspiratif. (n.d.). (n.p.): Pitoyo Ebook Publishing.

Anda mungkin juga menyukai