Anda di halaman 1dari 18

A. Pendahuluan Di Indonesia, tari merupakan satu dari benang-benang kesinambungan yang kokoh pada kebudayaan.

Seni tari menjadi salah satu alat untuk merepresentasikan identitas budaya suatu daerah. Sejak lama, tari telah mampu memperkokoh kehidupan perseorang serta masyarakat. Seni Tari diartikan sebagai keindahan bentuk anggota badan manusia yang bergerak, berirama dan berjiwa yang harmonis (Kussudiardja, 2000: 11). Pada berbagai kebudayaan Indonesia, tari tidak hanya digunakan sebagai sarana hiburan atau tontonan semata. Tari mempunyai peranan penting dalam berbagai aktivitas masyarakat antara lain, upacara hari jadi, pesta-pesta pada siklus daur hidup, bahkan upacara kematian. Selain menghibur, beberapa tarian dianggap mampu memberikan keselamatan dan kemakmuran. Tari juga dipakai sebagai alat regalia yang sakral.1 Sebagai contoh adalah tari Bedhaya. Hampir setiap keraton di Jawa memiliki tari Bedhaya karena setiap raja yang bertahta umumnya mencipta tari ini. Hal ini sesuai dengan keberadaan tari Bedhaya yang dianggap sebagai pusaka dan dapat menambah kekuatan raja yang berkuasa. Tari ini diyakini dapat menambah kewibawaan, kekuatan dan kebesaran raja sehingga setiap raja yang berkuasa akan mewarisi tari Bedhaya dari para pendahulunya kemudian menggubah atau mencipta tari Bedhaya yang baru. Dari sekian banyak tari Bedhaya yang ada, tari Bedhaya Ketawang menjadi perhatian utama karena merupakan induk dari tari Bedhaya-bedhaya lainnya dan menjadi pusaka bagi keraton Surakarta. Oleh karena itu, tulisan ini akan menjadikan tari Bedhaya Ketawang sebagai fokus pembahasan. Permasalahan yang akan dilihat adalah tentang sejarah munculnya tari Bedhaya Ketawang, mengapa tarian ini diangkat sebagai tari pusaka, dan fungsi apa yang terkandung dalam tarian ini. B. Sejarah Tari Bedhaya Ketawang Perjanjian Gianti yang terjadi pada tanggal 13 Mei 1755 menjadi latar belakang terpecahnya Kerajaan Mataram. Perjanjian tersebut dilakukan oleh Sunan Paku Buwana III dengan Sultan Kabanaran dan disaksikan oleh Gubernur Nicolaas Hartings. Hasil dari perjanjian ini membagi Kerajaan Mataram menjadi dua kerajaan, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasultanan
1 Claire Holt. Melacak Jejak Perkembangan Seni Di Indonesia. Terjemahan Soedarsono. (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia,2000). hal. 124.

Surakarta. Kasultanan Yogyakakarta diperintah oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwana I, sedangkan Kasultanan Surakarta dipimpin oleh Paku Buwana III. Perjanjian Gianti ini memunculkan tindakan Palihan Nagri, yaitu membagi wilayah Mataram menjadi dua bagian.2 Pembagian wilayah ini diikuti dengan pembagian pusaka kerajaan. Baik itu senjata, kereta, pakaian, gamelan, tarian, dan lain sebagainya. Sehingga dalam bidang budaya, Kasultanan Yogyakarta dan Kasuktanan Surakarta mengembangkan budaya yang tidak jauh berbeda. Salah satu seni yang berkembang adalah seni tari. Tari Bedhaya Ketawang merupakan salah satu tarian yang ada di Keraton Surakarta. Ada banyak tari bedhaya di keraton Surakarta, diantaranya Bedhaya Tejananta ciptaan Paku Buwana IX pada tahun Jawa 1796, Bedhaya Kabor ciptaan Paku Buwono IX pada tahun Jawa 1788 serta Bedhaya Duradasih ciptaan Paku Buwana IV pada tahun Jawa 1707. Dari sekian banyak tari Bedhaya yang ada di Keraton Surakarta, tari Bedhaya Ketawang-lah yang induk dari dianggap paling tinggi yang derajatnya lain. karena merupakan tari-tari bedhaya Tari Bedhaya

Ketawang merupakan salah satu bentuk tari yang lahir dan disajikan di Keraton dan diprakarsai oleh raja. Tari ini termasuk salah satu jenis tari klasik yang dianggap mempunyai nilai sakral, ghaib, dan dianggap sebagai pusaka kerajaan yang adiluhung. Menurut kitab Wedhapradangga, pencipta tari Bedhaya

Ketawang adalah Sultan Agung (1613-1645), raja pertama terbesar dari kerajaan Mataram. Pada suatu hari di tengah malam, Ingkang Sinuhun (sebutan bagi Kangjeng Sultan Agung) duduk sendiri mengheningkan cipta. Pada malam itu tidak ada kegaduhan, hanya terdengar suara semilir angin. Dari semilir angin, sayup-sayup terdengar ada suara gaib yang indah membawa alunan prabawa luhur. Lagu tersebut tidak henti-hentinya terdengar dengan jelas di awang-awang dan pikiran Sinuhun hingga masuk di hati dan membuat Ingkang Sinuhun tidak tidur. Pagi harinya Ingkang Sinuhun memanggil para empu ahli karawitan dan menceritakan tentang irama ghaib yang didengarnya itu. Keempat empu tersebut adalah : a. Kanjeng Panembahan Purubaya

2 Th. Suharti. Seni Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni. X/02 Agustus 2004. (Yogyakarta: BP ISI, 2004). Hal.128

b. Kyai Panjang Mas (dhalang serta empu gending) c. Pangeran Panji Mudhabagus (anak Kyai Panjang Mas) Tinggal di dukuh Karanggayam (dikenal dengan Pangeran

Karanggayam II) d. Raden Tumenggung Alap-alap (juga seorang empu karawitan di Mataram)

Ingkang Sinuhun ingin menciptakan lelangen Bedhaya. Beliau memerintahkan para empu karawitan untuk menata apa yang telah diceritakannya menjadi gending bedhaya. Belum selesai mengarang gending tersebut tiba-tiba Sunan Kalijaga datang menghadap Sang Nata (juga sebutin bagi Kanjeng Sultan Agung). Melihat apa yang sedang dilakukan Sang Nata beserta para empu, Sunan Kalijaga menyambut baik penciptaan gendhing bedhaya tersebut. Bedhaya tersebut dianggap sebagai pemberian Yang Maha Suci yang menjadi dan lambang kewibawaan bagi Sang Nata dan memberkahi keselamatan kemakmuran Keraton. Karenanya,

Bedhaya ini dijadikan pusaka Sang Narendra hingga akhir zaman. Dalam penciptaannya, Sunan Kalijaga ikut serta memberikan patokan-patokan gending tersebut. Akhirnya, terciptalah gending yang kemudian diberi nama Gending Ketawang yang berlaras pelog pathet 5. Gending ini memiliki kharisma dan wibawa yang besar. Ingkang Sinuhun kemudian mambuat kemanak serta perangkat lain yang dinamakan Gangsa Lokananta atau Lokananta, meliputi : a. Gendhing yaitu kemanak dua buah, laras tengah dan laras

jangga tengah serta jangga yang sama-sama berlaras pelog b. Pamagut yaitu kethuk laras nem (6) c. Sahuran yaitu kenong, larasnya antara lima dan tengah , jadi dibawah lima diatas tengah d. Teteg yaitu kendhang ageng atau kendhang gendhing dilengkapi ketipung sebagai penuntun irama Setelah terbentuk Gangsa Lokananta, munculah ide-ide gerakan tarian yang kemudian dinamakan sebagai tari Bedhaya Ketawang. Bedhaya Ketawang sendiri terdiri dari kata Bedhaya & Ketawang. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia Bedhaya mengandung arti penari wanita di Istana. Sedangkan kata Ketawang adalah nama gendingnya. K.G.P.H Hadiwidjojo (1974, 21) menerangkan kata Ketawang berasal dari kata tawang yang berarti langit atau mendung di langit. Dapat disimpulkan kata Ketawang merupakan lambang sesuatu yang tinggi, suci dan tempat bersemayamnya para dewa. Posisi Bedhaya Ketawang disebutkan sebagai simbol letak bintang di langit. Selama ini belum banyak orang yang menyadari bahwa seni tari itu menyimpan banyak kenyataan sejarah yaitu sebagai fakta mitos dan dongeng, tidak hanya sebagai fakta historis. Sebut saja tari Bedhaya yang dibawakan sembilan wanita. Tari ini dikultuskan sebagai tarian yang sakral. Jika di Surakarta dinamakan Bedhaya Ketawang , maka di Yogyakarta dinamakan Bedhaya Semang. Keduanya diyakini diciptakan oleh Sultan Agung. Namun, tidak sedikit juga yang percaya bahwa tari Bedhaya merupakan ciptaan langsung dari Kanjeng Ratu kidul. Tari Bedhaya Ketawang yang disakralkan di Keraton Surakarta merupakan reaktualisasi hubungan mistis antara keturunan Panembahan Senapati (Raja Mataram Islam) dengan penguasa Laut Selatan, Kanjeng Ratu Kidul. Mitos tersebut dipaparkan dalam Babad Tanah Jawi3 yang menggambarkan pernyataan takluknya penguasa Laut Selatan dengan semua pasukannya kepada panembahan Senapati yang membuat keonaran di wilayah Laut Selatan. Ratu penguasa Laut Selatan memohon kepada Panembahan Senapati agar tidak membuat keonaran dan Sang Ratu juga berjanji akan membantu Senapati beserta keturunannya. Dalam Babad juga diceritakan bahwa keduanya kemudian menjalin percintaan. Reaktualisasi dari hubungan mistis antara penguasa Laut Selatan dengan Panembahan Senapati itulah yang kemudian menjadi ide dalam Bedhaya Ketawang. Dalam mengkaji sisi historikal fenomenologi yang terkandung dalam Babad Tanah Jawi bisa dilakukan secara kritis. Kenyataan tentang perkawinan raja-raja Jawa perlu disadari sebagai sebuah konsep untuk mendewakan diri sebagai seorang penguasa bangsa (Jawa). Seperti kita ketahui, manusia yang tumbuh dan bersandar pada budaya Jawa tumbuh dari perpaduan budaya agraris dan budaya kelautan. Penyatuan antara budaya agraris lebih meyakini keberadaan kekuatan kosmologis alam yang
3 Sudibyo, ZH. (terj), Babad Tanah Jawi.(Jakarta: Depdikbud, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah). 2001. Hal 56.

beorientasi pada gunung (letak arwah nenek moyang ) dan kosmologis alam yang terletak pada laut (letak kekuatan supranatural yang memiliki kekuatan penghancur). Kenyataan dalam mitologi itu adalah sebuah strategi politis. Secara konseptual, perkawinan raja-raja Jawa dengan Nyai Roro Kidul adalah hasil pemikiran Jawa dimana seorang raja (penguasa negara ) membutuhkan legitimasi. Seorang raja Jawa harus menguasai tiga dunia (kosmologi Jawa) yaitu Arupadhatu (dunia atas), Rupadhatu (dunia tengah) dan Kamadhatu (dunia bawah). Dalam menguasai dunia atas harus diciptakan mitologi yang berkaitan dengan dewa-dewa. Kaitannya dengan raja-raja Jawa bahwa tari Bedhaya itu adalah tarian sakral milik para dewa, yang disebut dengan tari Malinggotbawa atau Langgotbowo, kemudian tari itu diturunkan untuk disajikan sewaktu melakukan upacara sakral. Untuk menguasai dunia tengah, dunia kehidupan nyata ini, raja memiliki segenap ilmu pengetahuan dan ketrampilan. Raja Jawa juga harus menguasai dunia yang dikuasai oleh roh jahat, setan, jin, peri atau perayangan. Raja Jawa dimitoskan sebagai suami nyai Roro kidul karena sang ratu itu yang dianggap memerintah dunia bawah tersebut. Oleh karena dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah yang memberikan kharisma bagi raja maka manifact tari Bedhaya merupakan fenomena sosial dalam kehidupan seorang raja Jawa (Admin, Gunung kidul 22 Januari 2005).

C. Penari Bedhaya Ketawang Kekuasaan golongan masyarakat raja tidak akan Salah bertahan satu apabila golongan tidak ada

pendukung.

masyarakat

pendukung dari kekuasaan raja adalah para punggawa kerajaan atau abdi dalem yang berprofesi sebagai seniman pencipta gamelan, pencipta tari, pekerja kreatif, pelaku seni, sampai dengan pembantu pelaksana seni. Abdi dalem terhimpun dalam satu wadah dengan fungsi dan tugasnya masingmasing untuk mencapai satu tujuan yaitu mengabdi dan menjunjung perintah raja, menciptakan dan mengembangkan kesenian. Salah satu seni yang dipelihara oleh abdi dalem adalah seni tari, khususnya Bedhaya Ketawang sebagai salah satu pusaka keraton (Sedyawati, 1984: 97). Dalam Kamus Istilah Tari dan Karawitan Jawa (1977 :90), dijelaskan bahwa Tari Bedhaya adalah komposisi tari putri klasik gaya Surakarta dan Yogyakarta

yang dibawakan sembilan orang penari putri dan bertema cerita legenda, babad dan sejarah. Keseluruhan penari yang berjumlah 9 orang dipercaya merupakan angka sakral yang melambangkan 9 arah mata angin. Hal ini sesuai dengan kepercayaan masyarakat Jawa pada peradaban Klasik, dimana terdapat 9 dewa yang menguasai sembilan arah mata angin yang disebut juga sebagai Nawasanga, yang terdiri dari: Wisnu (Utara), Sambu (Timur Laut), Iswara (Timur), Mahesora (Tenggara), Brahma (Selatan), Rudra (Barat Daya), Mahadewa (Barat), Sengkara (Barat Laut), dan Siwa (Tengah). Upaya mengejawantahkan 9 dewa penguasa arah mata angin dalam wujud 9 orang penari tersebut merupakan suatu simbol bahwa pada hakekatnya tari Bedhaya Ketawang bertujuan untuk menjaga keseimbangan alam yaitu keseimbangan antara mikrokosmos (jagat kecil) dan makrokosmos (jagat besar). Suatu konsep kosmologi yang telah mendarah daging pada masyarakat Jawa sejak berabad-abad silam. Bedhaya Ketawang dibawakan oleh sembilan orang. Delapan penari merupakan putri-putri dari para Bupati Nayaka. Mereka dipilih yang cantik dan pandai menari. Untuk melengkapi menjadi sembilan penari maka diambilah putri dari Pepatih Dalem yang pandai, cantik dan menguasai irama gendhing dan dijadikan pembatak (pemimpin) beksan bedhaya. Pada saat beksan bedhaya baru sampai pada tahap rakit diceritakan bahwa Kanjeng Ratu Kencanasari, ratu dari jin, berkenan untuk menampakkan diri dengan menggunakan busana bangun tulak dan berpaes seperti seorang pengantin putri. Para penari juga berbusana dan berdandan seperti Kanjeng Ratu. Setelah penampakannya itu, Kanjeng Ratu berkenan menunggu dan mengajar tari Bedhaya Ketawang selama tiga bulan lamanya (Kustianta, 1993: 30-35). Para penari yang masih kerabat Keraton lama kelamaan menjadi sedikit dan dikhawatirkan tidak ada generasi penerus yang mampu melestarikan tari Bedhaya Ketawang. Pada tahun 1980, pihak Keraton membuka peluang bagi penari luar Keraton sebagai penyaji tari Bedhaya Ketawang. Menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi gadis luar Keraton yang memiliki kemampuan menari ketika memperoleh kesempatan belajar menari di Keraton dan berpeluang menyajikan tari Bedhaya Ketawang ini. Tidak sedikit penari dari luar Keraton yang pada akhirnya setia terhadap Keraton

dan memutusakan untuk mengabdikan diri kepada Keraton. Keputusan tersebut diambil para penari Bedhaya Ketawang karena adanya kepercayaan bahwa kehidupan keraton penuh dengan kekuatan spiritual yang tinggi sehingga dapat membawa kesejahteraan dan keselamatan dalam kehidupan, tidak mengutamakan segi komersil tapi lebih berdasar pada kesetiaan terhadap raja (Soeratman, 1989: 174 ). Rangkaian kegiatan sebagai proses belajar menari di Keraton dengan tujuan mencari generasi penerus Bedhaya Ketawang dilakukan dengan melibatkan komponen-komponen yaitu pelaku, proses belajar menari, materi dan seleksi (G.R.Ay Koes Murtiyah, wawancara 23 Maret 2007). a. Pelaku Pelaku tari meliputi pelatih dan penari. Pelatih tari adalah orang yang mengelola dan menyelenggarakan pembelajaran. Pembelajaran tari di Keraton Surakarta melibatkan lima pelatih yang benar-benar menguasai jenis tari klasik berikut tata rias dan tata busananya. Kelima pelatih tari klasik tersebut adalah abdi dalem puteri yaitu mantan penari Keraton yang diangkat oleh raja untuk mengajarkan tari-tarian Keraton kepada generasi penerusnnya. Dengan pendidikan formal maupun nonformal dalam bidang seni tari, para pelatih menekuni tari-tarian klasik yang merupakan seni tradisi Surakarta khususnya wilayah Keraton. Penari adalah objek ajar atau orang yang berpotensi dalam bidang seni tari (Sedyawati, 1984: 5). Para penari ini mempunyai latar belakang dan status sosial yang berbeda. Meskipun demikian, pelatih menganggap kondisi para penari sama, yaitu nol dalam arti belum pernah belajar menari. Hal ini dikarenakan materi tari yang diberikan khusus jenis tari klasik terdapat patokan gerak yang harus dilakukan dengan benar. Untuk mempermudah dalam mengevaluasi para penari, pelatih membedakan sebutan untuk para penari sesuai dengan tahap latihan yang harus dilalui, yaitu: 1) Penari Magang. Berjumlah 36 orang yang semuanya berdomisili di Surakarta dan tidak ada yang masih kerabat Keraton. 2) Penari Anggara Kasih. Berjumlah lima orang penari magang yang terpilih dan mendapat ijin menarikan Bedhaya Ketawang yang selalu latihan pada hari Anggara Kasih atau Selasa Kliwon. 3) Abdi Dalem Bedhaya. Penari pada latihan Anggara Kasih yang

terpilih sebagai penyaji tari Bedhaya Ketawang. Abdi Dalem Bedhaya setiap Jumenengan berjumlah sembilan penari, tidak menutup b. kemungkinan terpilih satu diantara lima penari Anggara Kasih. Proses Belajar Menari Proses belajar menari dilakukan melalui empat tahap, yaitu pra latihan, latihan pawiyatan, latihan Anggara Kasih dan latihan menjelang Jumenengan Raja. Pra latihan diawali dengan calon penari yang akan berlatih melakukan pendekatan dengan penari-penari yang terlebih dulu belajar atau para pelatih tari. Para calon penari tersebut datang sendiri ke Keraton dan mendaftarkan diri kepada Pengageng Pawiyatan Beksa. Calon penari yang sudah mendapatkan ijin kemudian mengikuti latihan menari di Keraton yang biasa disebut dengan latihan pawiyatan. Pawiyatan adalah sebutan untuk latihan menari di Keraton dengan tujuan utama adalah mencari generasi penerus Bedhaya Ketawang sekaligus melestarikan tradisi budaya Keraton khususnya seni tari. Penari yang melakukan latihan pawiyatan ini disebut penari magang, Penari magang yang telah lolos seleksi diijinkan mengikuti latihan Anggara Kasih. Setelah mengikuti latihan Anggara Kasih, para penari yang terpilih mendapat kesempatan menyajikan tari Bedhaya Ketawang pada Jumenengan Raja. Para penari yang terpillih berjumlah sembilan dan secara otomatis mendapat sebutan sebagai Abdi Dalem Bedhaya. c. Materi Dalam pelaksanaan kegiatan belajar tari di pawiyatan, tari-tarian yang diajarkan berupa tari klasik gaya Surakarta dengan materi paling dasar yaitu Rantaya Putri Alus. Materi dasar ini menjadi basic penyesuaian terhadap tari-tari selanjutnya. Rantaya Putri Alus merupakan bentuk dasar tari gaya Surakarta yang nantinya selalu digunakan sebagai patokan dalam menari gaya Surakarta. Untuk dapat menguasai materi dasar ini dibutuhkan waktu sekitar tiga sampai empat kali pertemuan. Setelah penari magang menguasai Rantaya Putri Alus, materi selanjutnya adalah Bedhaya (meliputi : Bedhaya Dorodasih, Bedhaya Sukoharjo dan Bedhaya Pangkur) dan Srimpi (meliputi : Srimpi Ludiromadu, Srimpi

Sangopati dan Srimpi Gondhokusumo). Materi tari Bedhaya dan Srimpi diberikan secara bergantian dan berselang-seling. Tari Bedhaya dan Srimpi juga dipilih sebagai materi karena dianggap mempunyai persamaan dengan tari Bedhaya Ketawang sehingga memudahkan penari magang apabila kelak terpilih untuk berlatih tari Bedhaya Ketawang. Sebelum memasuki materi Bedhaya Ketawang, para penari Anggara Kasih akan diberi pengarahan-pengarahan mengenai tata tertib dan peraturan-peraturan dalam latihan tari Bedhaya Ketawang. Setelah para penari Anggara Kasih menaati tata tertib tersebut barulah diberikan materi secara khusus tarian Bedhaya Ketawang.

d. Seleksi Semua penari magang mempunyai pada waktu peluang untuk menjadi penari Bedhaya diajarkan. Ketawang apabila dibutuhkan latihan pawiyatan terjadi tiga tahun untuk dapat

perubahan yang baik dalam arti mampu menguasai semua tarian yang Biasanya menguasai materi-materi yang diajarkan. Kriteria pemilihan penari magang sebagai penari Bedhaya Ketawang berdasarkan pada tingkat kecerdasan emosional dalam menafsirkan dan menjiwai isi tari, kemampuan gerak tari dan fisik penari magang. Yang tidak kalah penting dari proses pemilihan penari adalah konsep dasar tari tradisi keraton yang sudah banyak ditulis oleh banyak empu tari yaitu konsep Hasta Sawanda. Hasta Sawanda dengan sendirinya akan muncul dalam penjiwaan penari apabila mereka telah menguasai gerak tari dengan baik dalam arti dapat memadukan wiraga, wirama dan wirasa disetiap penyajian tari (Jazuli, 1994: 117). Kriteria fisik yang dimaksud adalah bentuk dan kondisi tubuh penari. Bentuk tubuh ideal meliputi tinggi badan kurang lebih 155 cm dan berat badan 45-50 kg serta memiliki kulit kuning langsat. Sedangkan kondisi tubuh yang dimaksud adalah tidak mempunyai penyakit kronis atau mudah kambuh. Selain yang disebutkan di atas, sebagai syarat-syarat berikut menjadi Koes penari Bedhaya Ketawang adalah (G.R.Ay

Murtiyah, wawancara 23 Maret 2007):

1) Harus seorang putri yang masih gadis atau perawan. 2) Suci lahir dan batin (dalam hal ini berarti tidak sedang menstruasi). 3) Bukan putri dari Sinuhun, tapi ini khusus pada zaman dulu. Mulai zaman Paku Buwana XII, putri Sinuhun diperkenankan menari tapi dengan syarat meminta izin terlebih dulu dengan Kanjeng Ratu Kidul. Selain suci lahiriah yang dimaknai dengan sedang tidak haid-nya seorang penari Bedhaya Ketawang, ia juga dituntut untuk suci secara batiniah. Hal ini dapat dicapai dengan menjalani puasa selama beberapa hari menjelang pagelaran. Dengan menjalani lelaku tersebut diharapkan para penari tersebut dapat membawakan tarian Bedhaya Ketawang dengan sebaik-baiknya. Hal ini dikarenakan ada suatu beban tersendiri pada para penari. Dipercaya bahwa dalam suatu pagelaran Bedhaya Ketawang, Kanjeng Ratu Kidul akan hadir bahkan ikut menari dan apabila ada penari yang kurang baik dalam menari maka ia akan dibawa Kanjeng Ratu Kidul ke Laut Selatan. Kepercayaan ini memberikan suatu motivasi tersendiri bagi para penari, bahwa mereka harus membawakan Bedhaya Ketawang dengan sesempurna mungkin supaya tidak dibawa ke Laut Selatan. Persiapan-persiapan menjelang upacara penobatan raja selalu dilakukan dengan teliti, terutama yang menyangkut pergelaran Bedhaya Ketawang. Untuk menjaga kesucian, pada masa Paku Buwana X, jauh hari sebelumnya telah didaftar siapa diantara para penari yang telah mendekati masa menstruasi. Dan bagi penari yang merasa jadwalnya sudah dekat, secara terbuka menyatakan tidak bersedia. Sebagai pengganti diambilkan penari cadangan yang memang selalu disiapkan. Sebagai penyempurna tampilan para penari, maka beberapa hari menjelang pagelaran, para penari harus mempersiapkan diri antara lain dengan meratus rambut serta kain, melulur tubuh, maupun perawatan tubuh lainnya supaya aura mereka dapat terpancar sempurna sehingga memperkuat aura kesakralan dari tari itu sendiri.

Sementara itu busana dan tata rias yang dikenakan penari dalam pagelaran tari Bedhaya Ketawang adalah layaknya pengantin putri Kraton Surakarta. Hal tersebut dikarenakan tari Bedhaya Ketawang merupakan reaktualisasi pernikahan Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul, sehingga busana yang dikenakan haruslah busana pengantin, yang lazim disebut sebagai Basahan. Keseluruhan tata busana dan rias pengantin yang dikenakan oleh para penari Bedhaya Ketawang tersebut seolah mereaktualisasikan perjanjian antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul.

D. Keistimewaan Tari Bedhaya Ketawang Tari Bedhaya membuat tari ini Ketawang berbeda hari memiliki dengan untuk banyak tari keistimewaan yang

lainnya.

Keistimewaanpada hari

keistimewaan itu antara lain (Hadiwidjojo, 1978: 20-21) adalah : 1) Pilihan pelaksanaan hanya Anggara Kasih, yaitu hari Selasa Kliwon. Bukan hanya pada pergelaran resminya saja tetapi juga pada setiap latihannya. Hal ini menjelaskan bahwa latihan Bedhaya Ketawang hanya dilakukan setiap 35 hari sekali. 2) Jalannya penari diwaktu keluar hingga masuk ke Dalem Ageng selalu mengitari menganan. 3) Pakaian penari atau kostum tulak yaitu 7). yang kain dikenakan panjang bawahnya ungu Sinuhun dengan arah

memakai dodot bangun tengah (lihat foto

berwarna dasar biru tua dengan warna putih di bagian Lapisan menggunakan cindhe kembang, berwarna

lengkap dengan perhiasannya dengan pending bermata dan buntal. Rias mukanya seperti pengantin putri. Sanggulnya bokor perhiasannya yang mungkurep, terdiri lengkap dengan garudha dari centhung,

mungkur, sisir jeram seajar, cundhuk mentul, dan menggunakan bunga tiba dhadha di bagian kanan.

4) Gendingnya

berupa Ketawang

Gedhe,

dengan

instrumen yang sederhana. Sebenarnya yang membuat gendhing ini hidup adalah suara gerongannya. Cara membaca cakepannya pun tidak seperti biasanya, tetapi dengan membaca tembang gerongan lain karena diulang-ulang dan maju mundur. Pemanjangan suku kata pada jatuhnya lagu pun sangat panjang. Satu bait bisa dibaca berulang kali serta terjadi pergantian dua kali laras, dari pelog menjadi slendro. a) Gamelannya berlaras pelog tanpa keprak. Ini pertanda tari klasik. b) Rakitan tari dan nama peranannya berbeda-beda. 5) Dalam membawakan tarian ini, masing-masing penari mempunyai berikut: a. Apit mburi melambangkan lengan kiri b. Apit ngarep melambangkan lengan kanan c. Apit meneng melambangkan kaki kiri d. Batak mewujudkan jiwa dan pikiran e. Buncit mewujudkan organ seks f. Dadha melambangkan dada g. Endhel ajeg mewujudkan nafsu atau keinginan hati h. Endhel weton melambangkan kaki kanan i. Jangga (gulu) melambangkan leher peranan yang berbeda-beda sebagai

Selama menari formasi penari tidak tetap. Posisi mereka berubahubah sesuai dengan adegan yang dilambangkan. Hanya pada penutup tarian, mereka duduk berjajar tiga-tiga. Dalam susunan semacam inilah pergelaran Bedhaya Ketawang diakhiri, disusul dengan iringan untuk kembali masuk ke Dalem Ageng, juga dengan cara mengitari Sinuhun dengan arah menganan. 6) Bedhaya Ketawang dapat Hal ini dapat dihubungkan dilihat dari dengan cakepan perbintangan.

sindhennya yang berbunyi :

Anglawat akeh rabine Susuhunan, nde, Anglawat kathah garwane Susuhunan, nde Sosotya gelaring mega Susuhunan kadi lintang kuwasane (Dalam perlawatan Susuhunan banyak menikah, Dalam perlawatan Susuhunan banyak permaisurinya, Permata yang bertebaran di langit yang membentang, Susuhunan yang berkuasa,bak bintang) Dilihat dari syair tersebut, jelaslah bahwa kekuasaan Sinuhun diibaratkan seperti bintang. Selain keistimewaan Ketawang Dalem juga memiliki para yang disebutkan beberapa penari akan di atas, tari Bedhaya setiap

keunikan. selalu

Diantaranya,

tari Bedhaya Ketawang akan digelar, baik pada saat latihan maupun Tingala Jumenengan, memberikan sesaji yang ditujukan untuk Kanjeng Ratu Kidul. Hal ini disebabkan karena kehidupan keagamaan dikalangan Keraton selain percaya dan menghubungkan sesuatu dengan Yang Maha Kuasa atau Tuhan juga masih percaya dengan adanya makhluk-makhluk halus penjelmaan nenek moyang yang sudah meninggal, adanya roh-roh penjaga (bahureksa), adanya setan, hantu atau kekuatankekuatan gaib dalam alam semesta. Keyakinan-keyakinan seperti ini juga dapat dilihat pada peristiwa-peristiwa seperti Caos Dhahar, suatu manifestasi dari kebaktian dan usaha berkomunikasi dengan mahluk halus dan dunia gaib. Caos Dhahar banyak dilakukan oleh masyarakat kalangan Keraton, lebih-lebih mereka yang masih mempunyai hubungan erat dengan Keraton seperti abdi dalem atau kerabat Keraton. Caos Dhahar dilakukan pada harihari tertentu dan pada tujuan-tertentu pula. Hari-hari yang biasa dilakukan untuk Caos Dhahar biasanya adalah hari Kamis malam Jumat, malam Selasa Kliwon (Anggara Kasih) atau malam Jumat Kliwon. Maksud Caos Dhahar bisa ditujukan pada Penguasa Laut Selatan atau Kanjeng Ratu Kencanasari untuk mohon keselamatan atau kesejahteraan (Supriyanto dalam Jurnal Harmonia, 2001: 30-31). E. Unsur Sensualitas di dalam Tari Bedhaya Ketawang Dalam menerjemahkan esensi dari sensualitas, biasanya yang terbesit dalam benak adalah gambaran daya tarik fisik seorang wanita.

Banyak kalangan yang menerjemahkan sensualitas perempuan hanya sebagai objek atau dilihat dari daya tarik biologisnya saja. Beberapa definisi sederhana dari sensualitas antara lain yakni the quality or state of being sensual appetites or lascivious (sifat/karakter (sesuatu yang diadalkan yang sensual atau sesuatu yang menimbulkan birahi),4 devotedness to the gratification of the bodily untuk memuaskan selera/nafsu of its jasmaniah),5 A preoccupation birahinya).6 Objek yang dapat dikatakan sensual merupakan objek yang memiliki daya tarik kuat secara seksual. Tidak hanya gambaran organ intim atau lekuk tubuh, tapi lebih jauh lagi sensual dapat tersirat dalam hal-hal yang syarat akan daya tarik seksual. Seksual mempunyai definisi sebagai cipta rasa penikmat objek terhadap apa yang dilihatnya. Seksualitas dan sensualitas sebenarnya merupakan unsur yang inheren dalam kehidupan masyarakat. Tradisi masyarakat kita menganggap seksualitas sebagai simbol kehidupan. Lebih dari pada itu seksualitas juga merembes ke wilayah kesenian rakyat dalam wujud sensualitas. Sebagai contoh, kita mengenal atau bahkan hanya mendengar beberapa tarian seperti Cokek, Tayuban, Jaipong, Ngibing, dan lain sebagainya. Tari Bedhaya Ketawang merupakan salah satu bentuk kesenian yang paling kental unsur sensualitasnya. Dilihat dari sisi filosofisnya, tari Bedhaya Ketawang melambangkan curahan cinta asmara Kanjeng Ratu Kidul kepada Sultan Agung. Hal ini terlukiskan dalam setiap gerak tangan, gerak tubuh, dan juga cara penari dalam memegang sondher. Semua gerak merayu dan mencumbu dalam tarian ini dirangkum sedemikian halusnya, hingga seringkali mata awam sangat sukar memahaminya. Salah satu sisi
4 Sensuality. Yahoo Education Dictionary 2000. 13 March 2006 <http://education.yahoo.com/ reference/dictionary/;_ylt=AlwOBU1B_xDuABN2fWx45MOugMMF>. 5 Sensuality. Webster Dictionary 2006. 13 March 2006 <www.webster-dictionary.net/definition/sensualities>. 6 Kata preoccupation di sini terkait dengan sesuatu yang sering kita pikirkan secara berlebihan tanpa memikirkan hal yang lain, dapat berupa suatu keasyikkan, obsesi, kekhawatiran, fobia, dan lain sebagainya. Contoh, seseorang yang kecanduan dengan berbagai bentuk pornografi, akan memikirkan (berfantasi/terobsesi) terus-menerus soal seks. Preoccupation. Cambridge Learners Dictionary: smart thesaurus. 2nd ed. CD ROM. Cambridge University Press, 2004, ver. 2.0.

with the body and satisfaction

desire (suatu keasyikkan yang berlebihan karena tubuh dan kepuasan atas

sensual yang keluar dari para penari Bedhaya Ketawang selain dilihat dari gerak tubuh juga dapat dipandang dari busana dodotan, yang dikenakan. Kain batik yang dikenakan hanya menutupi bagian dada hingga kaki. Sedangkan para pandemen tari ini dengan bebasnya dapat melihat berkilaunya bagian bahu para penari yang dibaluri dengan lulur temanten yang biasanya berwarna kuning gading. Selain itu, para penonton juga dapat melihat bagian betis para penari yang kadang kala terlihat dari batik yang tersingkap ketika melakukan gerakan memutar sembari memindahkan kain bagian bawah, dengan kaki. Berdasarkan ilmu katuranggan Jawa, dijelaskan bahwa dalam memilih penari Sang Raja akan memilih penari yang mempunyai bagian betis kaki melengkung kedalam dan juga bagian 'kemiri' atau mata kakinya terlihat menonjol. Ilmu itu menyebutkan bahwa perempuan yang mempunyai ciri fisik seperti itu biasanya akan 'memuaskan' ketika bersetubuh. Di samping ciri fisik dan atribut yang merepresentasikan sensualitas dan seksualitas, ekspresi menyerah yang pasrah serta butiran keringat yang menempel di punggung serta di wajah para penari Bedhaya Ketawang ini konon mampu memancing birahi para lelaki yang menonton. Ekspresi ini merupakan asosiasi dari kesakralan hubungan seks antar Kanjeng Ratu Kidul dengan Sang Raja. F. Pendekatan Semiotik untuk Melihat Makna Sensualitas Bedhaya Ketawang

Bedhaya

Ketawang merupakan

kesenian

tari

tradisional

yang

menceritakan kisah antara Kanjeng Ratu Kidul dengan Sultan Agung dalam berbagai aspek makna. Setiap gerakan dalam tarian tersebut mengandung makna dan mempunyai alur cerita yang berkesinambungan. Karena unsur tarian tersebut berkaitan dengan ketandaan atau simbol-simbol tertentu maka salah satu pendekatan yang dirasa cocok untuk mengkaji mengenai tari tersebut adalah pendekatan semiotik. Pendekatan semiotik merupakan teori tentang kode-kode dan teori tentang produksi tanda-tanda (Eco, 1979: 3). Pendekatan semiotik dipilih karena melalui pendekatan ini sistem komunikasi sebagai dan signifikansi dapat lebih dipahami. Bedhaya Ketawang produk kebudayaan adalah suatu unit semantik yang dapat

diketahui maknanya dengan melalui kajian semiotik (Eco, 1979: 27). Makna kebahasaan diperoleh melalui pembacaan heuristik, yakni pembacaan berdasarkan struktur kebahasaan. Pembacaan pada tingkat ini tidak menyinggung konvensi-konvensi di luar teks. Hasil pembacaan heuristik ini dapat dilihat dalam bentuk parafrase pada pengkajian struktur naratif berupa urutan tekstual. Makna yang diperoleh melalui pembacaan heuristik adalah makna denotatif (Pradopo, 2001: 102). Makna denotatif merupakan makna pada sistem semiotik tingkat pertama. Makna tersebut bersifat lugas dan tidak dihubungkan dengan konvensi-konvensi sosial budaya. Sebagai contoh, kata keris hanya bermakna sebagai senjata dari besi pipih, tidak diberi makna sebagai kekuasaan, legitimasi, dan sebagainya. Secara heuristik, Bedhaya Ketawang bercerita tentang lambang percintaan Kanjeng Ratu Kidul dengan Sultan Agung. Namun, dalam tulisan ini makna kebahasaan tidak dibicarakan. Tulisan ini lebih membahas pada makna dari karya sastra yang dapat diperoleh melalui pembacaan hermeneutik, yaitu pembacaan yang berdasarkan pada konvensi sastra menurut sistem semiotik tingkat kedua. Untuk itu, harus dikenal secara mendalam sistem tanda yang merupakan konvensi sastra di luar teks (Pradopo, 2001: 102). Berdasarkan sistem semiotika tingkat dua ini, Bedhaya Ketawang dipahami bukan sekedar sebagai lambang percintaan Ratu Kidul dan Sultan Agung. Namun, unsur sensualitas didalamnya dikaitkan sebagai sebuah tanda yang bermakna bahwa Bedhaya Ketawang hanyalah bentuk manipulasi politik untuk mencarikan selir bagi Sultan. Hal ini tampak secara implisit dalam penentuan syarat wanita yang menarikan Bedhaya Ketawang haruslah wanita yang masih perawan. Terkait dengan masalah keperawanan ini, sering terjadi Sang Raja merasa 'kesengsem' atau terpesona pada salah satu penari dan menginginkannya untuk menemani sang penguasa melewati malam. Di samping itu, menurut persepsi orang Jawa peranan atau posisi tiap penari Bedhaya Ketawang melambangkan organ-organ sensual wanita. Posisi-posisi tersebut yakni:

Apit mburi melambangkan lengan kiri Apit ngarep melambangkan lengan kanan Apit meneng melambangkan kaki kiri Batak mewujudkan jiwa dan pikiran Buncit mewujudkan organ seks Dadha melambangkan dada Endhel ajeg mewujudkan nafsu atau keinginan hati Endhel weton: melambangkan kaki kanan Jangga (gulu): melambangkan leher

Selain perlambangan sensualitas pada posisi para penari, gerakan yang lemah gemulai dan pakaian yang berbentuk kemben serta aksesoris berupa bulir-bulir keringat para penari Bedhaya Ketawang cenderung sensual dan mampu memancing birahi. Adanya kriteria bahwa dalam memilih penari Sang Raja akan memilih mereka yang bagian betis kakinya melengkung ke dalam, dan yang bagian 'kemiri' atau mata kakinya terlihat menonjol. Kriteria tersebut didasari mitos bahwa perempuan yang mempunyai bentuk fisik seperti itu biasanya akan 'memuaskan' ketika bersetubuh. Berdasarkan hasil analisis di atas, tulisan ini meyakini bahwa keberadaan tari Bedhaya Ketawang tidak murni sebagai usaha untuk menjaga dan melestarikan warisan dari leluhur maupun sebagai media yang menghubungkan antara Arupadhatu dengan Rupadhatu melalui Kanjeng Ratu Kidul, melainkan sebagai salah satu cara untuk mencarikan selir atau wanita idaman bagi Sang Raja dalam memuaskan birahinya.

DAFTAR PUSTAKA

Sedjati, Djandjang Purwo. 2004. Busana Tari Bedhaya Ketawang: Ragam Hias dan Makna Simboliknya. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Eco, Umberto. 1979. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press. Rahayu, Nunuk. 1994. Tari Bedhaya dalam Upacara Perkawinan Agung di Kraton Surakarta Masa Paku Buwana X (1893-1939). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Pradopo, Rachmat Djoko. 2001. Kajian Semiotika. Yogyakarta: Studi Sastra Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Winarni, Tutik. 1997. Tari Golek Gaya Yogyakarta Sebuah Akulturasi Budaya Rakyat dan Budaya Istana. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Rini, Yuli Sectio. 1997. Kajian Sistem Pembinaan Seni Tari Gaya Istana Surakarta pada Masa Susuhunan Paku Buwana X (1893-1939). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni Di Indonesia. Terjemahan Soedarsono. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Suharti, Th. 2004. Seni Yogyakarta: BP ISI,. Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni.

Sudibyo, ZH. 2001. (terj), Babad Tanah Jawi. Jakarta: Depdikbud, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.

Anda mungkin juga menyukai